Pertanyaan pertama (kategori biblikal):
Apa maksud dari Amsal 3:16, “Umur panjang ada di tangan kanannya, di tangan kirinya kekayaan dan kehormatan”?
Jawaban/respons:
Kita bisa membaca mulai dari ayat 13 sampai 16, karena ini ada sedikit konteksnya: “Berbahagialah orang yang mendapat hikmat, orang yang memperoleh kepandaian, karena keuntungannya melebihi perak, dan hasilnya melebihi emas, ia lebih berharga daripada permata, apapun yang kau inginkan tidak dapat menyamainya, umur panjang ada di tangan kanannya, di tangan kirinya kekayaan dan kehormatan.”
Jadi kalau Saudara lihat dari ayat 13, maka waktu dikatakan di ayat 16 ‘umur panjang ada di tangan kanannya, di tangan kirinya kekayaan dan kehormatan’, maksudnya tangan siapa? Tangan hikmat; bahwa orang yang mendapatkan hikmat, orang yang memperoleh kepandaian itu beruntung, karena orang seperti ini umur panjang ada di tangan kanannya, di tangan kirinya ada kekayaan dan kehormatan. Saya sempat tanya lebih lanjut kepada si penanya, maksudnya pertanyaannya apa; dan ternyata konteks dari pertanyaan ini adalah karena ayat-ayat ini, khususnya ayat 16, seringkali dipakai menjadi ayat-ayat motivasional, semacam kata-kata berkat, misalnya juga dalam grup-grup WA orang Kristen waktu pagi-pagi orang kirim ucapan “selamat pagi” lalu disertai ayat-ayat seperti ini. Atau, kalau misalnya lagi ngobrol di kantor dengan orang seiman, cerita mengenai pergumulan kekayaan, pergumulan finansial, pergumulan umur, pergumulan jabatan, lalu mereka bisa jadi mengatakan, “Ingat Amsal 3:16 ya, pegang janji Tuhan”, dsb. Lalu pertanyaannya, bagaimana kita menyikapi penggunaan seperti ini, bagaimana kita merenungkan ayat ini dengan tepat, karena ayat-ayat ini seringkali dipakai seperti ada bau-bau theologi kemakmuran. Dalam hal ini, saya rasa yang lebih penting adalah ayat-ayat ini sering dipakai menjadi semacam janji Tuhan yang kita bisa pegang, bahwa kalau kita melakukan ini dan itu, maka kita akan mendapatkan begini dan begitu –kira-kira seperti itu. Jadi inilah yang saya ingin coba responi pada hari ini.
Saudara, Amsal adalah salah satu genre Alkitab yang paling sering disalah mengerti, kita expect Amsal itu sebagai janji Tuhan yang kita bisa pegang, semacam prinsip universal kekal yang berlaku di segala tempat dan 100% ampuh. Amsal seringkali dibaca seperti hukum fisika, berlaku di sini, berlaku di bulan, berlaku di semua tempat, pasti berhasil; itu sebabnya kalau kamu ada pergumulan kekurangan uang, ya, inilah janji Tuhan –kira-kira seperti itu. Tapi itu salah mengerti; itu salah kaprah dalam kita mengerti dan menafsir dan membaca kitab Amsal. Dalam hal ini, salah satu buku yang saya sangat rekomendasikan adalah buku darip Gordon Fee, “How to Read the Bible for All Its Worth”, ini sebuah hermeneutika dasar untuk orang-orang awam mengenai bagaimana belajar membaca Alkitab dengan tepat. Di buku itu dia bahas beberapa genre dalam Alkitab, dan bagaimana membacanya; misalnya surat Paulus membacanya bagaimana, kalau baca Mazmur kita harus tariknya apa, dan salah satunya juga tentang Amsal, bagaimana kita mengerti Amsal, bagaimana kita menafsir Amsal. Gordon Fee mengatakan: “Proverbs are worded to be memorable rather than to be technically precise”, Amsal itu dibuat, dituliskan, lebih untuk tujuan gampang diingat, dan bukan untuk tujuan menjadi sesuatu yang akurat. Jadi, salah kaprah dalam membaca Amsal terjadi ketika kita mengharapkan kalimat-kalimat ini jadi semacam janji tanpa syarat, bahkan semacam nubuat bahwa kalau begini maka begitu, dsb., yang akurat, precise. Tapi itu bukan gaya genre tulisan bijaksana pada zaman tersebut, maupun zaman ini. Saudara bisa lihat dalam ucapan-ucapan bijaksana –atau mungkin yang hari ini disebut kalimat-kalimat emas– dari kalimat-kalimatnya kita tahu bahwa kalimat-kalimat itu ditulis supaya gampang diingat, supaya berkesan dengan mendalam, bukan ditulis menjadi satu rumusan universal. Itulah yang namanya Amsal, kita tidak boleh salah membacanya.
Tremper Longman, seorang ahli Alkitab yang lain, waktu membahas Amsal, dia cerita tentang neneknya yang suka bikin amsal. Neneknya ini kalau bicara, dia suka bikin amsal sendiri. Misalnya ada acara keluarga besar, dan neneknya sedang masak di dapur, lalu ada banyak orang mau ikut bantu dia di dapur, dan nenek ini lalu bikin amsal,
mengatakan begini: “Terlalu banyak koki merusak kaldu.” Maksudnya apa? Saudara tentu mengerti, maksudnya ‘terlalu banyak koki merusak kaldu, jadi kalian semua keluarlah dari dapur, jangan gangguin gue, biar gue kerjain sendiri’. Kira-kira seperti itu. Tapi yang menarik, setelah selesai makan, semua sudah tergeletak di atas sofa dan lantai karena kekenyangan, nenek ini kemudian mengeluarkan amsal yang lain, “Banyak tangan kerja ringan.” Maksudnya apa Saudara? Sudah pasti maksudnya ‘ayo cuci piring, bantuin gue sekarang’. Saudara lihat, ini jadinya berkontradiksi atau tidak? Tadi disuruh keluar dapur, sekarang suruh masuk dapur; kontradiksi atau tidak? Kalau Saudara berpikirnya terlalu hurufiah, ya, Saudara akan pikir ini kontradiksi. Tapi tidak demikian. Ini bukan rumusan universal bahwa di dapur cuma boleh ada satu orang, ada konteksnya, ada situasi tertentu. Jadi amsal adalah bijaksana-bijaksana yang diberikan, untuk menimbulkan kesan mendalam supaya gampang diingat, berkesan. Tentu akan lain banget kalau misalnya nenek mengatakan, “Sudah, lu keluar sana semua, jangan gangguin gue, gue mau masak sendiri”, dibandingkan nenek mengatakan kayak tadi, “Terlalu banyak koki merusak kaldu” yang jadinya berkesan sekali.
Saudara, itulah tujuannya amsal; itulah bedanya amsal dengan kalimat prosa. Jadi, Amsal itu bukan prinsip universal. Amsal itu tujuannya untuk menimbulkan kesan yang mendalam, dengan demikian gampang diingat, dan dengan demikian berguna untuk mendidik orang. Itu sebabnya Kitab Amsal dimulai dengan: “Hai Anakku, jangan lupakan teguranku, pelajari ini dan pelajari itu”, karena memang Amsal itu semacam buku pelajaran bagi anak-anak orang Yahudi.
Kita lihat beberapa contoh yang lain. Misalnya Amsal 15:22, “Rancangan gagal kalau tidak ada pertimbangan, tetapi terlaksana kalau penasihat banyak.” Benar atau tidak, Saudara? Ya, benar sih, tapi ini bukan universal. Secara umum benar, bahwa kita lebih bisa mendapatkan kesuksesan kalau kita merencanakan sesuatu dan tidak cuma langsung jalan; kalau kita mempertimbangkan sebanyak mungkin advice, itu akan lebih sukses. Namun ini tentu tidak universal ‘kan. Secara umum sudah pasti lebih mungkin gagal kalau kita tidak pakai rencana, tapi Saudara juga tahu bahwa tidak semua kesuksesan adalah hasil perencanaan, dan tidak semua kegagalan adalah karena kurang banyak penasihat. Jadi Saudara lihat ini dituliskan karena ini prinsip umum yang bukan universal, yang tidak selalu jaminan, tapi ditulis supaya orang gampang mengingat dan mulai bisa meraba-raba apa itu bijaksana.
Contoh yang lain misalnya Amsal 16:31, “Rambut putih adalah mahkota yang indah, yang didapat pada jalan kebenaran”, maksudnya uban adalah mahkota yang indah yang didapat pada jalan kebenaran. Ini contoh yang sangat bagus karena sangat jelas ini tidak universal; uban tidak tentu datang dari orang yang benar. Kalau Saudara membaca dalam konteks zaman orang Yahudi, itu masuk akal, karena dalam konteks zaman tersebut life expectancy sangat pendek dibandingkan zaman kita sekarang. Zaman sekarang orang bisa hidup sampai 70-80 tahun, itu normal, tapi zaman dulu orang bisa hidup sampai 50-60 tahun saja sudah hebat sekali. Itu sebabnya orang yang mulai ada uban, orang akan melihatnya ini hebat, dia ada something, karena dia bisa umur panjang, ada something yang bijaksana dalam orang-orang seperti ini makanya bisa survive sampai selama itu. Kira-kira konteksnya seperti itu, maka dibikinlah Amsal seperti ini.
Saudara lihat, ini kalimat-kalimat yang tepat, dalam konteks yang tepat, tapi bukan kalimat yang bisa kita ambil berlaku secara scientific seperti hukum fisika, yang berlaku baik di bumi, di bulan, dan di mana pun. Amsal tidaklah demikian, maka Saudara perlu menelaah lebih dari dalam itu; dan inilah namanya bijaksana. Ditulisnya untuk membuat kita mikir, ditulis bukan untuk bikin kita enggak mikir. Amsal itu bukan ditulis supaya kita pokoknya tinggal ikuti seperti google maps, 300 meter belok kiri, enggak usah mikir. Amsal ditulis justru supaya kita memikirkan, supaya kita tersentil dan kita berhenti, pause, dan memikirkan maksudnya apa, dan sebagainya. Itu adalah cara orang mendidik dalam bijaksana, bukan dengan menghentikan pemikiran, tapi juga justru dengan merangsang orang untuk berpikir.
Contoh yang lain, Amsal 29:12, “Kalau pemerintah memperhatikan kebohongan, semua pegawainya menjadi fasik.” Kalimat tersebut secara umum oke, benar, bahwa kalau pemerintah memperhatikan kebohongan, semua pegawainya menjadi fasik. Namun walaupun kita tahu ini secara umum benar, bahkan di Alkitab pun kita tahu ada kasus-kasus yang jelas perkecualian. Misalnya, kasus Daniel. Dalam kasus Daniel yang terjadi adalah Raja Darius menghukum Daniel masuk ke gua singa karena dia mendengarkan kebohongan dari beberapa pegawainya yang cemburu terhadap Daniel. Saudara bisa lihat di sini, karena Raja (pemerintahan) memperhatikan kebohongan, maka ada kefasikan, namun Daniel juga bawahannya Raja ini, dan tidak berarti Daniel ikut jadi fasik. Jadi jelas ada perkecualian, bukan universal principle. Meski demikian, ini nasihat yang baik, karena ini nasihat yang merangsang kita untuk berpikir.
Contoh yang lain lagi Amsal 29:16, “Jika orang fasik bertambah, bertambahlah pula pelanggaran. Tetapi orang benar akan melihat keruntuhan mereka”. Kalimat ini kenyataannya tidak tentu, tidak selalu, namun secara umum, kita tahu in the end biasanya kebenaran akan menampakkan dirinya, meski in the end-nya kapan, kita tidak tahu.
Contoh yang lain lagi, Amsal 22:6, salah satu ayat yang paling sering dibahas dalam Amsal: “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang daripada jalan itu.” Ini juga something yang kita tahu, secara umum pasti menuju ke sana, namun tidak tentu ini berlaku secara universal.
Mungkin sekarang Saudara bertanya, “Pak, kalau begitu buat apa jadinya Amsal itu? Kalau Amsal itu cuma kalimat-kalimat emas yang dibikin untuk memorable, tapi bukan 100% money back guarantee, buat apa??” Sekali lagi Saudara, tujuannya adalah untuk mendidik orang dalam kebijaksanaan; dan mendidik orang dalam kebijaksanaan itu tidak dengan memberikan kepada mereka prinsip universal kekal 100% yang pasti berhasil di manapun, karena yang seperti itu tidak bikin orang jadi bijaksana.
Seorang ahli Perjanjian Lama bernama John Walton, pernah membandingkan antara dokumen Amsal dengan dokumen hukum dalam Perjanjian Lama. Walton mengatakan, ternyata dokumen Amsal, kalimat bijaksana itu, tidak terlalu beda dengan dokumen hukum, dan dokumen hukum Perjanjian Lama tidak terlalu beda dengan Amsal. Sampai di sini, mungkin ada yang berpikir, “Nah, itu yang saya mau, Amsal harusnya berfungsi seperti hukum, seperti KUHP gitu loh, kalau sudah melakukan ini pasti akan begini, dst. Jadi berarti John Walton sesuai dengan saya”. Tidak demikian, Saudara, justru terbalik, justru dia mengatakan dokumen hukum di Perjanjian Lama dalam Taurat itu genre-nya mirip Amsal, bukan something yang 100% money back guarantee. Menarik ya. Jadi bukan cuma Amsal yang kayak begini, tapi bahkan hukum pun demikian. Lalu kenapa bisa begitu? John Walton pakai argumen seperti ini: cara orang pada zaman orang Israel kuno menuliskan kitab hukum, ternyata tujuannya lain dengan kita; kalau kita menuliskan kitab hukum, salah satu hal yang pasti paling terlihat dalam kitab hukum modern apapun adalah bahwa kitab hukum itu sebisa mungkin bersifat komprehensif, menyeluruh, menyentuh segala suatu. Misalnya kitab hukum mengenai perceraian di zaman modern pasti paling tebal, karena coba sebisa mungkin membahas semua situasi dan semua kondisi yang mungkin terjadi –sebisa mungkin detail komprehensif– karena kita inginnya tidak usah mikir, kita inginnya langsung ambil, pokoknya begini begitu lalu kita tinggal jalanin. Itulah prinsip hukum zaman sekarang, sedangkan orang zaman dulu tidak demikian. Misalnya melihat dalam kitab Taurat ada hukum-hukum, namun anehnya urusan perceraian meskipun ada tapi sedikit banget. Bukan cuma dalam Taurat, kalau Saudara mengintip dokumen-dokumen hukum dalam culture-culture yang lain, misalnya dokumen hukum Hammurabi yang terkenal itu, ternyata juga sama, hukumnya tidak komprehensif, tidak menyeluruh,
sangat sedikit menyentuh hal-hal yang sebenarnya penting. Lalu kenapa ada hukum-hukum tersebut? Faktor yang pertama, Walton mengatakan bahwa sepertinya orang zaman dulu memakai hukum itu dengan cara yang berbeda dibandingkan kita. Faktor yang kedua, pada zaman itu tradisinya tradisi oral, tradisi mendengar dan berbicara, bukan tradisi membaca, maka dokumen-dokumen yang ditulis biasanya bukan untuk disebarkan secara publik untuk semua orang baca, melainkan ditulis untuk dibacakan, bukan untuk dipakai jadi rekaman. Kitab-kitab hukum pada zaman kuno tidak di-copy lalu ditaruh di setiap tempat-tempat pengadilan untuk jadi semacam acuan bagi para hakim di tempat-tempat pengadilan tersebut. Hukum Hammurabi tidak pernah ditemukan copy-nya di tempat yang lain, cuma ada di satu tempat, yaitu tempat penyembahan dewa berhala. Jadi bukan di tempat pengadilan ditemukannya; itu adalah hukum yang sepertinya diberikan untuk si Raja Babylonia menunjukkan bahwa inilah hukum yang kubuat kepada seorang dewa, dan dengan demikian menyatakan “saya ini raja yang patut memerintah”. Tujuannya bukan untuk jadi standar hukum bagi orang lain; tujuannya adalah sebagai cara dia untuk meng-appease, memuja dewanya, mengatakan, “Saya ini patut jadi raja, engkau boleh memperpanjang kerajaanku karena saya ini mampu bikin hukum-hukum seperti ini.” Menarik ya.
Dalam ekskavasi arkeologi tempat-tempat yang dipercaya sebagai tempat pengadilan, tidak ditemukan salinan hukum seperti itu, karena zaman itu memang zaman oral tradition. Pada waktu itu, untuk memutuskan suatu hak hukum, orang tidak memutuskannya berdasarkan sebuah kitab hukum, mereka memutuskan berdasarkan tradisi, mereka memutuskan berdasarkan bijaksana. Kontras, ya. Saudara lihat hal ini misalnya dalam cerita Salomo. Kalau di zaman sekarang hakim bertindak kayak Salomo, hakim bakal dipecat, karena hakim apa ini, yang tidak pakai dasar kitab hukum, waktu Salomo ketika itu memutuskan membelah bayi itu, yang tidak ada presedennya, tidak ada dasar hukumnya, dan dia pakai cara itu karena dia menggunakan intuisinya dalam menilai situasi. Dia menggunakan bijaksananya; dan itulah justru yang dipuji. Ini berbeda sekali dengan hakim pada hari ini. Hakim hari ini justru diberikan batasan, apa yang hakim boleh lakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan; sedangkan zaman Israel kuno seorang hakim justru dilatih intuisinya, dilatih wisdom-nya, bukan dikasih teks standar. Itu sebabnya mereka dilatih untuk mempunyai hokmah, sebuah skill, bukan knowledge.
Jadi, teks-teks hukum pada waktu itu, kalau bukan untuk jadi standar, kalau bukan untuk jadi KUHP, kalau bukan untuk jadi acuan, lalu tujuannya apa? Tujuannya adalah bukan memberitahu para hakim apa itu hukum, tapi memberitahukan kepada hakim tentang model keadilan, contoh mengenai apa yang adil. Kita bisa pakai contoh seperti orang belajar seni; Saudara kalau belajar seni caranya bagaimana? Misalnya bisa mulai dengan tanya apa itu seni ‘kan, tapi saya bisa jamin meskipun si dosen akan berusaha memformulasikan apa itu seni, kalau dia dosen yang baik maka dia tidak akan berhenti di situ, dia akan berlanjut dengan membahas contoh-contoh, model-model seni, dari berbagai zaman; dan dia mungkin tidak akan pernah memformulasikan benar-benar apa persisnya seni itu, karena seni memang sangat susah untuk diformulasikan. Yang dia akan lakukan adalah berusaha untuk memperlihatkan model, contoh dari apa yang nyeni kepada murid-muridnya, sehingga setelah 2-3 tahun para muridnya dibombardir dengan contoh-contoh apa yang nyeni dari berbagai zaman, mereka akan terlatih. Terlatih untuk apa? Untuk menjiplak seni yang mereka lihat? Tidak, melainkan terlatih untuk mengenali apa yang berseni dan apa yang tidak, sehingga setelah mereka selesai kuliah, mereka diharapkan menghasilkan sesuatu seni yang baru, yang tidak mengulang, yang berseni dalam variasi mereka sendiri. Saudara lihat, inilah seni; orang waktu dididik seni, mereka dilatih intuisinya, dilatih wisdom-nya, dilatih skill-nya, bukan terutama cuma dilatih urusan storage data dan knowledge.
Contoh lain, misalnya soal cerita matematika waktu kita SD, SMP, SMA di Indonesia; begini: Dua kereta yang berbeda berangkat dari stasiun yang berbeda, dengan kecepatan yang berbeda dan dalam jam yang berbeda; lalu pertanyaannya kalau berangkatnya jam sekian, kecepatannya sekian, jaraknya sekian, maka jam berapa kedua kereta ini akan berpapasan? Biasanya soal cerita kayak begitu. Sekarang saya mau tanya, tujuan soal cerita matematika ini apa? Apakah tujuannya untuk membuat para murid jadi tertarik dengan jadwal kereta? Apakah tujuannya untuk membuat mereka bisa jadi petugas stasiun? Tidak ‘kan; tujuannya pakai soal cerita seperti ini adalah untuk mereka bisa mendapatkan skill matematika, bijaksana matematika, bukan teknik-teknik dan metode mengoperasikan stasiun kereta. Ini sebabnya soal matematika tidak perlu komprehensif, tidak perlu menyentuh semua bidang kehidupan. Kenapa? Karena tujuannya bukan memberi contekan, tujuannya simply mendidik intuisi dan bijaksana sehingga seorang untuk mengerti apa itu matematika. Sama juga dengan hukum pada zaman Israel, dan juga dengan amsal pada zaman mereka, itu bukan diberikan untuk ‘begini ya, taati ya, pokoknya harus begini’, melainkan sebagai contoh-contoh, model-model, dari apa yang secara umum benar dan baik; dan hal tersebut ditulis supaya gampang diingat. Jadi, dengan mereka membaca dan membaca, merenungkan dan merenungkan, begitu mereka baca satu kalimat, mereka disentil, mereka mikir, mereka disentil, mereka mikir, maka lama-lama mereka mulai mengenali intuisi mereka, bijaksana mereka dilatih untuk mengenali apa yang bijak, apa yang berhikmat, dan apa yang tidak, apa yang fasik, apa yang bodoh; dan bukan untuk mereka lalu memonyeti semua kalimat-kalimat itu. Bangsa Israel itu bangsa budak, maka mereka memang harus belajar dengan cara kayak begini.
Jadi Saudara bisa melihat sekarang, kalau membaca dengan perspektif seperti ini, maka kegunaan dari hukum-hukum dan juga Amsal-amsal mereka bukan untuk kita jadikan standar hukum yang kita ikuti 100% –bahkan standar hukum Perjanjian Lama memang tidak kita ikuti ‘kan. Lalu apakah jadinya bagian-bagian tersebut berhenti jadi firman Tuhan? Tentu tidak. Waktu Saudara melihat bahwa Amsal ternyata bukan prinsip hukum kekal 100% universal, Saudara bertanya, jadi gunanya apa? Waktu Saudara lihat dokumen hukum Perjanjian Lama pun bukan suatu hal yang bersifat prinsip universal kekal, Saudara juga bertanya, jadi gunanya buat apa? Saudara, gunanya sangat berguna; gunanya itu tidak berhenti hanya karena ini bukan 100% money back guarantee, gunanya adalah memberikan kepada kita model-model/contoh-contoh mengenai apa yang namanya hidup berkenan di hadapan Tuhan, bukan dengan sekadar memperlihatkan caranya tapi dengan mengajak kita mikir, melatih kita, mendidik intuisi kita, mengenai apa yang namanya bijaksana di hadapan Tuhan, di hadapan Alkitab. Itulah gunanya.
,Itu sebabnya seperti misalnya Bible Project, mengajak kita untuk menyadari Alkitab bukan textbook, Alkitab itu meditatif literature, sastra yang penggunaannya untuk direnungkan. Orang merenungkan, itu tidak bisa cuma satu kali, sedangkan textbook tidak demikian, textbook biasanya Saudara bahkan tidak taruh di meja, Saudara taruh textbook itu di rak, lalu nanti kalau Saudara perlu, baru Saudara ambil dan Saudara langsung refer ke bagian yang Saudara perlu saja, dan begitu selesai langsung Saudara kembalikan lagi, karena textbook bukan meditatif literature, bukan Alkitab Saudara. Alkitab ada di meja kita, Alkitab itu ada untuk kita renungkan pagi dan malam –demikian kata pemazmur– penggunaannya seperti itu karena Alkitab ada untuk melatih bijaksana kita, melatih intuisi kita, sehingga waktu kita menghadapi situasi yang lain pun, yang tidak di-cover oleh bagian yang ditulis dalam Alkitab, kita bisa tetap punya bijaksana, punya intuisi yang sudah dilatih oleh firman Tuhan. Itu sebabnya hukum-hukum dalam Perjalanan Lama dan Amsal tidak perlu bersifat universal kekal 100%.
Amsal tidak memberikan kepada kita hal-hal itu, Amsal memberikan kepada kita something better. Amsal tidak memberikan kepada kita ikannya, Amsal memberikan kepada kita pancingnya. Itulah kira-kira jawaban/respon saya.
——————————————————————
Pertanyaan kedua (kategori practical living):
Bagaimana sesungguhnya mengasihi Allah? Kita perlu untuk mengasihi saudara yang kelihatan, tapi bagaimana sesungguhnya mengasihi Allah?
Jawaban/respons:
Saudara kalau mau membahas bagaimana mengasihi, Saudara harus tanya apa itu yang namanya mengasihi. Kalau Saudara mau tanya bagaimana mengasihi Allah, Saudara harus tahu dulu mengasihi itu apa sih, to love itu apa maksudnya. Kita sudah banyak yang tahu bahwa kasih bukan sekadar emosi, tapi lalu kasih itu apa kalau bukan sekadar emosi? Waktu kita yang cuma 10-15 menit sebenarnya terlalu pendek untuk membahas mengenai kasih, tapi at least saya bisa ingatkan mengenai apa yang dulu sempat kita khotbahkan pada masa-masa mulai kebaktian fisik setelah pandemi, yaitu pengertian kasih dari Agustinus, salah satu pengertian mengenai kasih yang saya rasa the best.
Alasannya kita sering kali mengasosiasikan kasih dengan emosi, dengan perasaan, adalah karena kita semua tahu bahwa kasih atau hasrat itu berkaitan dengan hati. Kasih itu fungsi utamanya hati; dan hati bagi kita urusannya adalah perasaan, makanya kita suka mengatakan, “Pakai hati sedikitlah”, maksudnya dikontraskan atau dibandingkan dengan pakai otak. Kita memakai seperti itu, memang karena kita mengasosiasikan hati –kasih– dengan urusan perasaan. Tetapi, kita melihat di dalam Alkitab, istilah hati/kardia dalam bahasa Yunaninya bukan menuju kepada, atau bukan dikunci, di dalam hal emosi dan perasaan. Kembali ke Amsal, Amsal 4:23 mengatakan: “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar perasaan”, begitukah? Tidak; yang dikatakan dalam Amsal adalah: “…, karena dari situ terpancar kehidupan” (because it is the source, the fountain of life itself). Kalimatnya pakai metafora fountain, pakai istilah terpancar, seperti suatu mata air. Hati itulah sumber dari segala sesuatu dalam kehidupan manusia. Apakah perasaan berasal dari hati? Benar; tapi tidak cuma perasaan, pertimbangan rasio juga mengikuti hati, kehendakmu juga datang dari hati, semuanya dari hatimu. Dikatakan: “di mana hartamu berada, di situ hatimu berada”; Paulus mengutip Tuhan Yesus mengatakan seperti itu. Ini berarti pertimbanganmu itu tidak objektif sebenarnya, pertimbanganmu, rasiomu itu, akan berusaha membela apa yang hatimu anggap berharga. Kita tahu itu. Bukan cuma pertimbangan, perasaan sudah pasti akan ditarik kepada apa yang hati kita anggap berharga. Kehendak kita itu akan memperjuangkan apa yang hati kita anggap berharga. Hati itu sumber segala sesuatu. Itu sebabnya hati menurut Alkitab bukan cuma urusan perasaan.
Hati adalah sumber dari segala sesuatu. Emosi, perasaan, rasio, pertimbangan, kehendak, semuanya mengikuti apa yang hati kita kasihi. Itu sebabnya Agustinus mengatakan urusan “punya hati” bukan urusan “punya perasaan”. Punya hati, bagi Agustinus berarti hidup bagi sesuatu. Punya hati, itu berarti punya arah kepada sesuatu, ditarik menuju sesuatu, punya orientasi terhadap sesuatu; dan inilah yang kita sebut dengan cinta. Makanya mitologinya dewa cinta, Cupid, adalah memegang panah. Kenapa pakai panah? Karena panah menunjukkan tentang arah; panah –cinta– itu membuat manusia yang tadinya titik sekarang menjadi sebuah panah, mengarah kepada sesuatu, bergulir kepada sesuatu, mempunyai sesuatu sebagai target dirinya. Ini mitologi yang menarik, karena merepresentasikan pemikiran yang saya rasa lebih dekat dengan Alkitab dibandingkan pemikiran kita. Apakah ini melibatkan perasaan? Ya, sudah pasti; namun ini juga melibatkan pikiranmu, kehendakmu, tindakanmu –melibatkan seluruh keberadaanmu. Memiliki hati berarti menghasrati sesuatu target; kita akan mempertimbangkan segala sesuatu untuk mencapai target tersebut. Kita merindukan untuk target itu bisa dicapai, kita akan mengusahakan tangan kita untuk mencapai target tersebut –itu namanya punya hati. Memiliki hati berarti hidup bagi sebuah telos, bagi sebuah tujuan, bagi sebuah akhir. Mengasihi adalah fungsi ini.
Saudara lihat, ini berarti menjadi manusia adalah punya panah ini. Bagi Agusinus –dan bagi Alkitab– tidak ada manusia yang tidak sedang mengarah kepada sesuatu. Semua manusia punya hati, maka semua manusia punya telos, semua manusia punya tujuan akhir yang dia sedang bergerak menuju ke situ. Apakah ini maksudnya bahwa kalau saya mengingini/mengasihi seseorang berarti saya bergulir kepada dia; atau kalau saya ingin beli sesuatu barang, saya mencintai barang tersebut, maka saya ingin bergulir kepada barang tersebut, ingin mendapatkannya? Jawabannya: iya, tapi bukan cuma itu, lebih daripada itu, karena cinta manusia (hati manusia) tidak terfokuskan hanya kepada sebuah objek atau kepada seorang pribadi.
Cinta manusia itu, sebenarnya apa yang jadi objeknya? Apa yang jadi arah utama dari kasih manusia? Saya pernah ngobrol dengan seorang bekas mahasiswa STT kita, dia resign dari STT karena dia memutuskan jadi ateis. Saya tanya kepada dia, “Kenapa lu mau jadi ateis?” Dia lalu mengeluarkan berbagai macam argumentasi, tapi dia lalu bilang, “Sejujurnya sih, Pak, semua argumentasi ini cuma argumentasi. Bukan itu yang menyebabkan saya ingin jadi ateis, saya juga tidak tahu kenapa persisnya. Ada argumentasi yang saya bisa keluarkan, tapi bukan ini.” Lalu saya mengatakan ke dia, “Apakah karena kamu merasa hidup lebih hidup tanpa Tuhan dalam hidupmu?”, dan dia bilang, “Benar, Pak, itu sebabnya saya mau jadi ateis!” Jadi dia keluarin argumentasi rasional segudang, tapi dia mengatakan bukan itu, ujungnya adalah dia melihat –bukan memikirkan– melihat suatu gambaran kehidupan yang lebih hidup di luar Gereja, di luar Tuhan. Ini bukan sesuatu yang terutama rasional, Saudara; ada argumentasinya, argumentasi rasional, tapi ketika semua argumentasi itu dipatahkan pun dia tetap berkomitmen terhadap gambaran tadi. Inilah hati, Saudara. Agak susah untuk dibikin kata-katanya, tapi ketika seseorang memimpikan a castle on a cloud, memimpikan istananya di angkasa, dia sedang menghasrati sebuah visi kehidupan yang lebih hidup. Dan kalau Saudara ambil bahasa Alkitab, ini adalah gambaran kerajaan.
Manusia sedang menghasrati suatu gambaran kingdom, Saudara. Kenapa kingdom? Karena ini visi yang bersifat sosial. Mimpi Saudara yang terdalam, hasrat hatimu yang terdalam, itu tidak bicara cuma mengenai dirimu, tapi bicara mengenai suatu gambaran yang bersifat sosial, misalnya tentang bagaimana orang lain memperlakukanmu, bagaimana engkau memperlakukan orang lain. Kalau pun visi hidupmu adalah “saya kepingin punya istana di mana saya bisa malas-malasan tidak diganggu orang seumur hidup”, tetap saja itu sosial Saudara, yaitu gambaran sosialmu adalah gambaran antisosial. Orang-orang tidak mengganggumu, itu ‘kan gambaran sosial, suatu ide akan ideal sosial, bahwa orang-orang tidak mengganggu Saudara, Saudara dibiarkan sendirian. Dengan demikian ini adalah suatu gambaran kerajaan, suatu gambaran mengenai dunia itu harusnya bagaimana, suatu gambaran mengenai kehidupan itu harusnya bagaimana. Dan, sadar atau tidak sadar semua dari kita punya gambaran ini, kita sedang bergulir menuju ke situ. Siapa pasangan yang Saudara cari, bagaimana Saudara mencari pekerjaan, itu semua simply adalah upaya-upaya kita untuk mendatangkan gambaran kehidupan yang lebih hidup ini. Waktu Saudara mengatakan ‘saya punya tipe yang kayak begini, saya ingin pasangan yang kayak gini, saya tidak suka yang kayak gitu’, itu kenapa? Saudara pikir itu cuma selera yang tidak bisa dijelaskan? Tidak, Saudara; itu bisa dijelaskan. Saudara mungkin boleh coba bandingkan dengan bagaimana Saudara memilih pekerjaan, mungkin ada kemiripan-kemiripannya.
Saya pernah melihat suatu bahan PA Remaja mengenai memilih pasangan; lalu aktivitas yang dibuat adalah dengan memberikan semacam budget. Misalnya Saudara dapat 10 ribu, lalu dikasih beberapa pilihan sifat di papan tulis. Kalau mau pasanganmu pintar, harganya 500; kalau mau pasanganmu kaya, harganya 1000, dst. Jadi kamu bisa pakai budget itu untuk beli yang mana sifat yang kamu mau. Ini menarik, karena ini membongkarkan apa yang seseorang inginkan dari pasangannya. Dan waktu Saudara melihat hal ini, ternyata semua ini sebenarnya bisa menjelaskan gambaran kehidupan kerajaan ideal seperti apa yang Saudara inginkan. Saudara mementingkan apa dalam kerajaan tersebut, itulah yang Saudara sedang khasrati, itulah yang sedang hatimu sedang cari, yang hatimu sedang bergulir ke arah itu. Bukan terutama kepada pribadi-pribadi atau objek-objeknya, tapi kepada gambaran kehidupan visi kerajaan yang seperti apa. Itu sebabnya Saudara bisa melihat, bahwa di dalam Alkitab problem dari dosa adalah ketika kerajaan tersebut tidak mempunyai Allah sebagai Rajanya.
Kembali ke pertanyaan tadi, bagaimana mengasihi Allah? Mengertikah Saudara sekarang kenapa Alkitab menjawab, kasihilah Allahmu dengan segenap hatimu, kekuatanmu, akal budimu –seluruhnya? Mengertikah Saudara di balik perintah itu ada makna apa? Inilah namanya mengasihi Allah. Mengasihi Allah berarti menjadikan Allah sebagai arah hati kita yang terdalam. Menjadikan Allah sebagai kasih kita, itu berarti kita menghasrati kerajaan-Nya terjadi di bumi ini seperti di surga, sementaraselama ini kita menghasrati supaya kerajaanku terjadi di bumi ini seperti di hatiku. Bagaimana caranya bisa sampai ke situ? Saudara sekarang menyadari, itul sebabnya hal ini tidak mungkin jikalah bukan karena anugerah. Ini tidak mungkin jikalau bukan karena Tuhan, lewat Roh Kudus, memperbarui hati kita, melahirbarukan hati kita, sehingga kita bisa menginginkan hal ini. Kalau Saudara lihat gambaran mengasihi seperti ini, Saudara baru tahu betapa tidak ada seorang pun manusia yang bisa menginginkan hal ini.Kalau pun Saudara adalah orang-orang yang bilang mencintai Allah, baginya Allah itu mungkin sekadar kayak pasangan atau pekerjaan tadi. Kita mencintai Allah karena kita ingin Allah ini menggenapkan bayangan kerajaan ideal kita tadi.
Itu sebabnya Agustinus mengatakan, problem dosa bukanlah orang tidak mengasihi Allah, problem dosa adalah orang mengasihi something else lebih daripada dia mengasihi Allah. Bagi Agustinus, orang berdosa itu bukan cuma orang di luar sana yang tidak menyembah Tuhan, yang tidak datang ke gereja, dsb.; orang yang di dalam Gereja pun bisa ada masalah ini, orang yang mengaku sebagai orang yang percaya Tuhan dan memuliakan Tuhan pun bisa ada masalah seperti ini, karena ini satu hal yang sulit untuk kita telahah, satu hal yang terselubung, yang sangat tersembunyi di dalam. Contoh paling jelas kalau kita mengalami hal-hal yang tidak enak dari Allah, pada saat-saat seperti itulah kita baru mulai mempertanyakan, sebenarnya ngapain gue ini ikut Allah itu? Untuk apa sebenarnya? Contoh yang gampang misalnya Saudara sudah jadi orang Kristen 25 tahun, Saudara selalu memberi perpuluhan, bahkan kalau bulan itu tidak ada uang, Saudara berdoa minta ampun, “Tuhan saya tidak ada uang, benar-benar tidak ada uang, saya utang Tuhan, bulan depan saya akan bayar, dan saya bayar pakai bunga”, dan dan Saudara benar-benar melakukan itu. Saudara melakukan itu 25 tahun, lalu suatu hari Saudara tertabrak mobil, lumpuh sumur hidup dari leher sampai ke bawah; apa yang Saudara akan katakan kepada Tuhan? Kita dalam keadaan seperti itu akan gampang sekali untuk mengatakan, “Apa-apaan Tuhan? Semua pengabdianku itu apa buat-Mu??” Dan di situ kalau Tuhan beranugerah, kita mungkin baru bisa sadar, semua pengabdianku itu sebenarnya apa buatku? Jangan-jangan kita baru sadar, Tuhan itu alat supaya saya bisa mendapatkan gambaran kerajaanku itu. Sulit ya. Jadi, mengasih Allah itu ketika Allah bergerak dari prioritas ke-2, ke-3, ke-4, menjadi prioritas yang pertama.
Contoh yang lain misalnya saya itu dulu mendengarkan musik di sekolah musik, karena saya ingin dapat nilai bagus dalam ujian; setiap semester kita harus mendengarkan musik-musik tertentu, lalu kita harus bisa mengenali di akhir ketika ada ujian. Jadi saya mendengarkan musik ini supaya saya bisa dapat nilai bagus, supaya waktu saya nilainya bagus maka saya bisa cari uang, supaya saya bisa kaya, dan seterusnya –jadi saya mendengarkan musik supaya saya bisa dapat uang; musik itu prioritasnya di bawah. Tapi setelah belajar musik beberapa tahun, saya mulai mengeluarkan uang buat mendengarkan musik. Musik sekarang bergerak lebih dalam. Inilah gambarannya; makanya Agustinus mengatakan problem dosa adalah seperti ini, problem dosa bukanlah tidak mengasih Tuhan, tapi mengenai di mana Tuhan berada dalam urutan kasih ini. Itu sebabnya dia menyebutnya ordo amoris, urutan cinta, urutan kasih.
Jadi, bagaimana Saudara mengasihi Tuhan? Mengasihi Tuhan adalah berarti menempatkan Dia sebagai yang terutama, benar-benar yang terutama yang menjadi hasrat hati kita; ideal hati kita adalah mendatangkan kerajaan Tuhan di bumi ini seperti di surga. Itulah yang namanya mengasihi Tuhan. Bagaimana caranya? Saudara harus dididik dalam firman Tuhan, Saudara harus mendengar mengenai Dia. Kalau ini adalah urusan cinta, maka Saudara tidak bisa melakukannya dengan kekuatanmu sendiri, harus Dia yang datang kepadamu, Dia yang harus memenangkan hatimu; dan caranya bagaimana? Dengan Dia mengutus anaknya, dengan Dia menciptakanmu, dengan Dia menopangmu, dengan Dia memberikan kepada firman-Nya, dan seterusnya yang kita lakukan setiap minggu. Itulah caranya.
———————————————————————-
Pertanyaan ketiga:
Apabila tidak ada orang yang benar di hadapan Allah, apakah dosa itu ada tingkatannya? Seperti misalnya dalam kisah Sodom dan Gomorah yang dicatat Alkitab, dikatakan bahwa dosa-dosa mereka sangat keji di hadapan Tuhan.
Jawaban/respons:
Respons saya yang pertama, saya tidak yakin persisnya ayat mana yang Saudara maksudkan, tapi dugaan saya mungkin Kejadian 18:20, meskipun di situ bukan menggunakan kata keji; dikatakan demikian: ‘Sesungguhnya banyak keluh kesah orang tentang Sodom dan Gomorah, dan sesungguhnya sangat berat dosanya’ (pakai kata berat, bukan keji). Kalau Saudara lihat istilah dosa kekejian dalam Alkitab, ada banyak, misalnya di Imamat, dosa meniduri istri ayah sendiri dianggap sebagai kekejian.Tapi dalam hal dosa Sodom, saya tidak menemukan ayatnya. Namun doesn’t matter-lah, karena sepertinya maksud Saudara memang mau tanya, apakah dosa ada tingkatan atau tidak; waktu dosa orang Sodom dan Gomorah itu dikatakan sangat berat, apakah berarti ada dosa-dosa yang ringan, ada dosa-dosa yang berat, atau bagaimana. Kira-kira pertanyaan seperti itu.
Kita bisa menjawab ini sekali lagi dengan beberapa lapisan. Lapisan pertama, Saudara mengerti istilah dosa dalam arti apa, itu yang jadi pertanyaan. Alkitab sendiri memang memakai beberapa istilah yang berbeda untuk mengungkapkan dosa. Hidup memang kompleks ya, jangan terlalu sederhanakan.
Kalau dosa yang Saudara maksudkan adalah dalam arti perbuatan dosa (evil deeds), yang memang dalam Alkitab salah satu pengertiannya seperti itu (mengenai perbuatannya), maka tentu saja perbuatan dosa jelas ada tingkatannya. Saudara iseng lempar kecoak karet ke orang sampai bikin kaget, itu sudah pasti beda tingkatan sama Saudara itu jadi pemimpin militer yang melakukan genocide misalnya. Sudah pasti beda tindakan, beda kadar, beda derajat dalam hal keparahan/keberatan dosa. Jadi Saudara bisa mengerti bahwa waktu dikatakan ‘dosa Sodom dan Gomorah sangat berat’, maksudnya dalam pengertian seperti itu. Dalam hal akibat langsung juga jelas ada; misalnya Saudara mengingini barang orang dan Saudara benar-benar mencuri barang orang lain tersebut, itu punya dampak yang jelas berbeda. Jadi dalam skala seperti ini, dalam perspektif seperti ini, memang bisa ada tingkatannya.
Di sisi lain, tentunya dosa tidak cuma punya satu pengertian. Pengertian dosa yang lain misalnya yang berasal dari istilah Yunani hamartia atau hamartano, yang merupakan kata aslinya, artinya to fall short, meleset. Inilah pengertian yang biasanya muncul di dalam pengertian-pengertian orang Kristen ketika mengatakan semua dosa sama seriusnya di hadapan Tuhan –yang mungkin membuat orang jadi berpikir kalau begitu tidak ada dosa berat dan sebagainya. Bukan demikian maksudnya, itu simply menunjukkan bahwa ada perspektif-perspektif yang berbeda. Misalnya dalam Roma 3.23, ini pengertian dosa yang pakai kata hamartano, pengertian hamartia, karena maksudnya di sini semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah, telah fall short of the glory of God, telah meleset dari kemuliaan Allah. Ini perspektif luas, perspektif general, perspektif umum, ini bukan perspektif case by case. Dalam perspektif seperti ini, memang semua dosa sama seriusnya di hadapan Tuhan, Saudara mau meleset sedikit ataupun meleset banyak, ya tetap meleset.
Analoginya misalnya seperti ini: sekelompok orang mau melompati sebuah kali kecil. Ada beberapa yang langsung lompat dan langsung jatuh nyemplung. Ada beberapa yang lari dulu, lompat, lalu jatuh nyemplung. Ada beberapa yang waktu lompat dia kepak-kepak tangan, dan tetap jatuh nyemplung. Intinya, semuanya gagal, semuanya masuk ke kali, tidak ada pun satu pun yang berhasil mendarat di tepi sebelah sana. Maka dalam hal perspektif ini, Saudara bisa mengatakan, ya sudah ‘dalam Alkitab, Saudara mau lompatnya seberapa panjang, mau 30 cm atau 3 m, itu ‘gak ngaruh, mau sisa jaraknya cuma 2 cm atau masih 1 m, itu ‘gak ngaruh, karena semuanya meleset, semuanya akhirnya nyemplung ke kali. Inilah pengertian dosa dalam pengertian hamartia.
Yang berikutnya, mungkin not the best example, dengan segala sensitivity Saudara lihat kemarin Trump ditembak dan pelurunya itu tipis banget melesetnya; Trump dalam momen dia ditembak itu, dia sempat membelokkan kepalanya, sehingga pelurunya cuma kena kuping. Si penembak sudah mati sekarang, tapi Saudara pikir seandainya si penembak masih hidup, apa dia akan mengatakan, “Ya boleh jugalah gue, gue cuma meleset sedikit”? Tentu tidak, karena meleset ya meleset. Dalam perspektif seperti ini, semua dosa sama seriusnya di hadapan Tuhan, karena semua dosa itu meleset, mau melesetnya sedikit atau banyak, itu semua meleset. Bahkan dalam perspektif seperti ini, semakin tipis melesetnya, mungkin semakin nyesek.
Itu sebabnya misalnya dalam Khotbah di Bukit, Tuhan Yesus sengaja membandingkan antara dua dosa besar, perzinahan dan pembunuhan, lalu memparalelkan dengan dosa yang biasanya dianggap kecil, yaitu mata yang bernafsu menginginkan perempuan dan hati yang marah. Di situ Tuhan Yesus mengatakan, “Kamu jangan pikir dosa yang ini kalah serius, kalau kamu mengingini seorang perempuan dengan matamu, kamu sudah berzinah dengan dia, kalau hatimu ada kemarahan, kamu sudah membunuh orang itu.” Kenapa Tuhan Yesus pakai bahasa seperti ini? Inilah perspektif yang kedua tadi, perspektif hamartia. Tuhan Yesus mau mengatakan bahwa itu semua dosa, dan semua harus diresponi secara serius, tidak cuma dosa-dosa yang besar. Dalam hal ini tentunya perspektifnya bisa beda, dosa-dosa yang bersifat secara hati, motivasional, tentunya secara dampak langsung sudah pasti beda. Menghamili perempuan atau baru mengingini dia, tentunya dampak direct-nya sangat lain. Tapi poin Tuhan Yesus adalah: kita tidak bisa argue bahwa dosa-dosa yang cuma mengingini itu, dosa dalam hati itu, bisa dianggap less berbahaya; bahkan justru inilah exactly poinnya bahwa dosa-dosa seperti itu berbahaya karena dosa-dosa ini terselubung. Saudara, kecelakaan di jalan itu lebih banyak terjadi kenapa? Karena ada truk besar yang lebar, yang menakutkan, yang kelihatan jelas, gede sekali, atau karena genangan air yang diremehkan? Lebih berbahaya yang mana? Saudara bisa bilang yang lebih ada kuasa untuk menghancurkan ya sepertinya gede itu, karena kalau gue kelindes mampuslah gue. Tapi kalau mau dibilang lebih berbahaya yang mana, ya mereka sama berbahaya, dua-duanya berpotensi mencabut nyawa orang, yang satu mungkin karena tidak terhindari kuasanya karena kalau sudah kelihatan pun tidak terhindari, yang satu lagi kuasanya tidak terhindari karena tidak kelihatan, karena terselubung. Dan dalam pengertian seperti inilah, dosa itu sama seriusnya.
Saudara bisa melihat jadinya bahwa ada perspektif di mana dosa bisa dilihat sebagai sama seriusnya di hadapan Tuhan, namun sekali lagi itu bukan satu-satunya perspektif dosa di Alkitab. Hidup itu kompleks, Saudara, jadi tidak usah ditabrakkan ala kompetisi anak kecil di playground. Anak kecil bilang, “Aku Superman,” lalu yang satu lagi, “Aku Spiderman”. Lalu yang satu bilang, “Aku Superman lebih hebat, bisa terbang; Spiderman tidak bisa.” Lalu yang Spiderman bilang, “Oh iya, tapi Superman kalau kena batu kriptonit mati, Spiderman pakai batu kriptonit cuma dimain-mainin kayak baseball saja.” Susahlah kalau kayak gini ‘kan; tapi orang dewasa itu tandanya adalah bisa baca komik Superman menikmati, bisa baca komik Spiderman juga menikmati, tidak usah dibikin kompetisi, segala sesuatu ada tempatnya. Itulah orang dewasa. Ada yang tempatnya di rumah, ada yang tempatnya di kantor, yang tidak usah ditabrakin. Tentu doesn’t mean jadi orang dewasa itu terima segala sesuatu; karena segala sesuatu ada tempatnya, maka ada juga tempat yang namanya tempat sampah. Jadi kalau kita orang dewasa, kita tidak hanya menerima cuma satu, kita tidak pakai kaca mata kudalah, kita mampu melihat dari berbagai sisi –termasuk urusan dosa.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading