Pertanyaan pertama:
Mengapa silsilah Tuhan Yesus di kitab Matius berbeda dengan silsilah di kitab Lukas, padahal keduanya mencatat dari sisi Yusuf?
Respons:
Pertama-tama tidak tentu sih dua-duanya dari sisi Yusuf; namun saya tidak mulai dari situ, kita akan coba perhatikan dulu beberapa perbedaan yang seringkali jadi masalah.
Misalnya salah satu perbedaan yang paling jelas adalah kalau menurut Matius, ayahnya Yusuf (Yusuf ayahnya Yesus maksudnya) bernama Yakub (jadi grandpa-nya Yesus bernama Yakub di Matius),; sedangkan di kitab Lukas, grandpa-nya Yesus bernama Eli. Jadi di sini saja sudah beda, ya. Selain itu, kalau Saudara runut terus ke belakang, maka Saudara akan menemukan bahwa silsilah dalam Matius dan Lukas mulai dari atasnya mirip, lalu mereka mulai bercabang ketika sampai ke Daud. Jadi di kitab Matius, garis keturunan Daud sampai kepada Yesus adalah melalui anak Daud, Salomo; sedangkan di kitab Lukas garis keturunan Daud sampai kepada Yesus adalah dari anak Daud yang lain, yang bernama Natan. Jadi actually dari Daud sampai ke Yusuf, hampir tidak ada satu nama pun yang sama, antara garisnya Matius dan garisnya Lukas.
Memang ada dua nama yang sama, yaitu Sealtiel dan Zerubabel, namun nama bapaknya dan juga nama anaknya lagi tetap beda, tidak matching. Dalam hal ini maka para theolog merasa bahwa cuma kebetulan saja nama dua orang ini sama namun sebenarnya bukan orang yang sama. Kenapa bisa kayak begitu? Karena memang Sealtiel dan Zerubabel ini nama-nama yang cukup populer, khususnya nama Zerubabel. Dalam zaman Israel kembali dari pembuangan, zaman Ezra dan Nehemia, pemimpin mereka waktu itu namanya Zerubabel. Jadi kemungkinan besar nama Sealtiel dan Zerubabel ini keluar pada zaman setelah kembali dari pembuangan, karena kalau nama pemimpin besarnya Zerubabel, ada kemungkinan banyak orangtua menamakan anaknya dengan nama Zerubabel juga, sehingga bisa banyak orang yang bernama Zerubabel pada waktu itu. Jadi, dalam kedua silsilah tersebut mungkin memang dua orang yang berbeda, tapi dengan nama yang sama. Demikianlah misalnya perbedaan-perbedaannya seperti itu yang ada. Selain itu, masih ada permasalahan-permasalahan yang lain. Misalnya dalam catatan Matius saja, ketika Saudara bandingkan dengan urutan raja-raja di Perjanjian Lama, Saudara menemukan bahwa ternyata Matius skip tiga nama, ada tiga nama raja yang tidak disebut; dan juga ada nama-nama yang hurufnya berubah, misalnya nama Asa jadi Asaf, nama Amon jadi Amos.
Jadi, Saudara sekarang tahu kenapa hal-hal ini jadi salah satu alasan yang seringkali dipakai sebagai evidence bahwa Alkitab tidak akurat, digaung-gaungkan orang untuk menjadi dasar mempertanyakan keabsahan Alkitab sebagai firman Tuhan. Nah, lalu bagaimana kita merespon hal ini? Saudara harus tahu satu hal, pertama-tama bahwa hampir semua problem-problem ini, meskipun Saudara sebagai orang awam mungkin baru tahu, namun sebenarnya pembahasannya atau perdebatannya sudah sejak zaman-zaman Bapa-bapa Gereja, sudah sejak abad pertama, kedua, keempat. Itu sebabnya bagi kami, para orang yang belajar Alkitab dan para sarjana Alkitab yang bertanggung jawab, kita sedikit banyak sudah familiar dengan hal-hal tadi, sudah tahu, dan kita tidak masalah. Jemaat awam mungkin heboh dengan hal-hal tersebut, ‘koq bisa kayak begini ya, saya tidak tahu ini, pendeta saya tidak pernah cerita ini, jangan-jangan dia tidak tahu juga’, dsb. Tidak tentu demikian, Saudara, orang-orang yang belajar Alkitab dan bertanggung jawab belajarnya, pasti tahu hal-hal seperti ini; dan kami malas membicarakan itu bukan karena kami mau cover up, tapi memang karena hal-hal seperti ini sebenarnya tidak signifikan. So, ini pertanyaan yang buat saya agak membosankan, namun ya, Saudara mungkin perlu tahu. Nah, sekarang bagaimana kita meresponinya?
Saudara, kalau kita misalnya melihat Matius dan Lukas melakukan pencatatan yang berbeda, kita biasanya problematik dengan hal tersebut; kenapa? Karena kita merasa kalau ada dua catatan yang harusnya sama tapi nyatanya berbeda, berarti salah satu salah, atau dua-duanya salah. Begitulah asumsi kita. Tapi asumsi bahwa Matius dan Lukas itu mencatat dengan salah, merupakan asumsi yang terlalu gampangan, karena orang-orang Yahudi terkenal sebagai orang-orang yang sangat rapi, dan actually sangat saklek dalam urusan mencatat, apalagi urusan silsilah mereka tidak main-main. Perlu Saudara tahu, Raja Herodes pada zaman Yesus sebenarnya orang Edom, bukan orang Yahudi. Dia punya silsilah yang membuktikan hal ini, dan itu sebabnya dia bakar silsilahhnya, Saudara. Dia bakar catatan silsilah keluarganya, supaya orang tidak tahu dia punya silsilah seperti itu. Silsilah bagi orang Yahudi adalah something yang benar-benar matters, bukan something yang sampingan atau sekadar catatan yang ditinggalkan; maka kalau kita mengasumsikan Matius dan Lukas salah mencatat, itu sepertinya asumsi yang terlalu lazy, terlalu easy. Lalu apa penjelasannya, bahwa bisa ada catatan yang kita rasa harusnya sama tapi ternyata berbeda seperti ini?
Ada beberapa penjelasan, misalnya dari Eusebius, sejarawan gereja pada abad keempat. Sekali lagi, saya ambil penjelasan Eusebius ini karena saya mau memperlihatkan kepada Saudara bahwa urusan kayak begini bukan baru muncul di abad ke-20, ini sudah muncul sejak kapan-kapan. Eusebius coba mengusulkan penyelesaiannya dengan menjelaskan bahwa memang garis keturunan bisa dirunut dari beberapa jalan, tidak harus cuma satu. Misalnya, dalam budaya Yahudi, sebagaimana diatur di kitab Imamat, ada yang namanya levirate marriage.Apa itu levirate marriage? Itu adalah tradisi dari kitab Imamat yang mengatur seperti ini: misalnya seorang laki-laki, katakanlah namanya A, menikah; namun kemudian dia mati sebelum punya anak laki-laki, sehingga dia tidak punya ahli waris untuk meneruskan keluarganya, untuk mengambil estate-nya. Lalu apa yang terjadi dalam sebuah culture Yahudi? Yang terjadi adalah sebagaimana diatur dalam kitab Imamat, sbb.: anggaplah si A ini punya Saudara laki-laki yang namanya B, maka B akan diwajibkan –akan didorong dengan sangat– untuk menikahi istri si A, dengan harapan bisa menghasilkan ahli waris anak laki-laki bagi si A. Sekarang saya mau tanya, anak laki-laki ini akan Saudara tulis dalam garis silsilah sebagai anaknya siapa, anaknya si A atau anaknya si B? Bisa dua-duanya ‘kan? Jadi Saudara bisa mengerti, bahwa secara legal, di mata hukum dia adalah anaknya si A, dia ahli warisnya si A, dia ada untuk menuruskan garis keturunannya si A; namun secara biologis, dia anaknya si B, ‘kan? Kalau misalnya seperti ini, maka di dalam garis keturunan (silsilah), mengatakan dia ini anaknya siapa, itu bisa berbeda, dan dua-duanya benar.
Satu contoh skenario yang lain misalnya begini: Katakanlah si A yang tadi itu tidak punya anak laki-laki, tapi dia tidak meninggal. Nah, kalau dia tidak meninggal, tentunya error kalau istrinya diberikan ke orang lain; tidak mungkin seperti itu, ‘kan. Jadi bagaimana kalau dia tidak meninggal dan dia tetap tidak punya anak laki-laki, misalnya dia hanya punya anak-anak perempuan? Itu sebabnya dalam budaya Yahudi, ketika anak perempuan si A ini menikah, let’s say dengan si D yang adalah anak dari si C, maka dalam kasus seperti ini, waktu garis keturunan dirunut si A itu, si D ini bisa dianggap sebagai anak adopsi karena dialah yang menjadi ahli waris bagi si A. Saudara lihat, dalam kasus seperti ini, si D ini bisa dibilang secara biologis anaknya si C, tapi secara legal dia anaknya si A. Nah, mulai pusing ‘kan?
Memang dalam masyarakat Yahudi seperti ini, mereka itu sangat terobsesi dalam hal memastikan ada garis keturunan dan ahli waris, itu sebabnya Saudara bisa merunut garis keturunan yang bersifat legal (dejure), dan juga bisa merunut garis keturunan yang bersifat biologis (defacto), dua-duanya berlaku, dua-duanya benar, Saudara bisa pakai beberapa versi. Lalu apakah ini pasti alasan dibalik perbedaan-perbedaan nama dalam silsilahnya Matius dan Lukas? Tidak tentu. Kita tidak tahu. Saya bukan mengusulkan itu, namun setidaknya sekarang Saudara tahu ada kemungkinan-kemungkinan seperti ini, kemungkinan-kemungkinan yang membuka pikiran kita bahwa silsilah beda tidak tentu ada kesalahan. Itu poinnya. Silsilah beda, itu tidak tentu berarti salah, karena cara orang merunut garis keturunan tidak hanya satu cara, bisa ada beberapa cara, bisa secara biologis, bisa secara legal, bisa secara dejure, bisa secara defacto; dan itu tidak masalah, tergantung tujuan Saudara apa, misalnya tergantung Saudara dari sisi keluarga yang mana. Jadi, detail berbeda tidak tentu berarti salah satu pasti salah, atau dua-duanya salah; actually, detail berbeda bisa jadi dua-duanya benar. Ini sebabnya kami tidak terlalu tertarik bahas ini, bukan karena cover up, tapi karena ini memang boring sih.
Saudara, coba belajar satu hal di sini, bahwa banyak skandal-skandal Alkitab itu memang biasanya cuma seru karena salah kaprah doang. Belum lama ini selagi Olimpiade masih berlangsung, Saudara lihat ada foto-foto viral atlet-atlet cabang olahraga menembak. Beritanya di Instagram dan segala macam. Ada satu atlet perwakilan Korea yang keren banget gayanya, kayak cewek Stone Cold Assassin, dengan kacamata khusus dan segala macam, lalu menembaknya itu keren banget –dan jadi viral. Lalu ada satu lagi yang perwakilan Turki, seorang om-om, yang gayanya malah viral karena totally different. Dia itu tangannya dia masukin kantong, dia tidak pakai kacamata khusus apa-apa, dia nembaknya kayak orang baru bangun tidur, tapi menang perak dsb. Ini jadi viral karena komen orang-orang, “Wah, keren banget nih orang, dia tidak pakai kacamata khusus, tapi bisa dapat perak; tangannya dimasukin kantong, gaya nembaknya kayak begitu”, dst. Saudara, itu komen orang yang tidak mrngerti olahraga tersebut, karena kalau Saudara perhatikan foto-foto atlet menembak, mayoritas memang taruh tangan di kantong, memang itu postur mereka. Mereka kalau menembak, ‘kan mesti akurat, maka mereka mesti sesantai mungkin, makanya posturnya kayak begini. Lalu soal kacamata khusus, ada kacamata khusus yang satu matanya ditutup hitam, ada yang ini kayak ada lensa dan segala macam, kelihatan keren banget. Namun itu biasa saja sebenarnya. Kenapa orang pakai kacamata khusus seperti itu? Karena kalau Saudara atlet menembak, Saudara satu hari bisa jadi satu jam menembak-nembak terus; dan menembak itu filosofinya satu mata, maka kalau Saudara harus menutup satu mata terus, lama-lama capek, itu sebabnya dibikin kacamata khusus yang ditutup sebelah, supaya Saudara simply tidak capek menutup mata berhubung Saudara cuma mau pakai satu mata. Lalu, lensa-lensa keren itu sebenarnya apa? Itu cuma lensa minus saja, yang sesuai dengan matanya dia, yang kadang-kadang diberi kontras sedikit, dsb., karena yang pasti, pihak Olimpiade tidak mengizinkan adanya peralatan khusus yang bisa memberikan advantage. Lensa-lensa keren itu cuma kelihatannya saja keren, tapi sebenarnya bukan apa-apa. Itu sebabnya juga si om-om yang tidak pakai kacamata khusus, adalah karena dia memang tidak perlu, karena dia punya filosofi menembak pakai dua mata, yang menurut dia lebih akurat.
Jadi, kenapa sih yang diviralin hal-hal seperti ini? Karena tidak mengerti, karena salah kaprah, padahal sebenarnya biasa saja. Kalau Saudara dari generasi yang lebih muda, saya cukup berani jamin Saudara lebih terlatih untuk mengenali hal seperti ini, mengenali bahwa apa yang viral itu tidak tentu penting; sedangkan generasi yang lebih tua agak lebih rentan dengan hal ini. Itu sebabnya kalau Saudara lihat di grup-grup WA, yang biasanya forward-forward hoax adalah orang-orang generasi lebih tua –minta maaf– tapi realitanya memang seperti itu karena Saudara adalah orang-orang yang lahir dalam kebudayaan yang lebih jujur, sehingga waktu sekarang Saudara terima sesuatu di internet, Saudara pikir pasti benar. Sebaliknya, Kalau anak-anak zaman sekarang lebih sinis, mereka lahir dalam kebudayaan yang terlalu banyak hoax, maka mereka mungkin sudah terlatih untuk tidak cepat percaya dengan hal-hal seperti ini.
Nah, sama juga dengan urusan-urusan skandal-skandal Alkitab; makanya kami tidak terlalu peduli sama kayak begituan, tidak terlalu niat bahas kayak begituan. Bukan karena cover up, tapi karena banyak “bukti-bukti kesalahan Alkitab” sebenarnya cuma datang dari kesalahkaprahan saja. Lalu begitu dijelaskan ‘cuma gitu doang toh’, penjelasannya seperti itu tidak menarik, makanya seringkali penjelasannya sudah ada, tapi tidak populer –karena tidak menarik. Yang menarik itu skandalnya. Kalau Saudara mendapat berita skandal, ‘oh ini Alkitab salah nih’, langsung disebar ke banyak orang, sangat niat menyebarkannya, tapi begitu dapat jawabannya yang ternyata cuma gitu doang, malas sebarnya ‘kan. Jadi hati-hati Saudara dengan hal-hal seperti ini. Kita tidak bisa menjawab semua keberatan orang, tidak ada waktu juga buat itu, dan ada banyak hal lain yang lebih penting untuk kita kerjakan. Namun Saudara bisa ambil satu prinsip di sini, bahwa seringkali dalam hal-hal seperti ini, itu cuma menarik karena salah kaprah saja.
Pertanyaan kedua:
Apakah tujuan Sekolah Minggu identik sebagai wadah ibadah untuk anak-anak, atau lebih ke pembelajaran seperti dasar kata-nya (“sekolah”)? Pertanyaan ini terkait dengan bagaimana sebagai guru perlu adhere dengan tata ibadah, kekhusukan selama Sekolah Minggu, dan seberapa jauh berinteraksi dua arah dengan anak-anak. Apakah perlu ada komunikasi terencana antara guru Sekolah Minggu dan orangtua anak-anak dalam mendidik anak-anak secara spiritual (misalnya, bagaimana guru Sekolah Minggu bisa membantu lebih spesifik kebutuhan anak dalam hal rohani)?
Respons:
Sekolah Minggu identik sebagai wadah ibadah anak-anak? Ya, dalam konteks kita memang seperti itu, karena memang mereka tidak beribadah selain dari di Sekolah Minggu. Kalau misalnya Saudara mengatakan Sekolah Minggu identik sebagai pembelajaran dasar seperti sekolah, katanya dulu Sekolah Minggu waktu pertama-tama muncul seperti itu, namun sekarang sudah tidak lagi. Memang zaman dulu Sekolah Minggu seperti Sekolah Dasar, karena memang anak-anak yang masuk Sekolah Minggu itu tidak bersekolah, dengan demikian gereja menjadi cikal bakal pendidikan bagi mereka. Sekarang sudah tidak lagi, karena anak-anak sekarang sudah bersekolah, sudah ada wajib belajar, dsb., maka Sekolah Minggu memang tidak mengisi bagian itu lagi. Jadi konteks kita sudah jelas, Sekolah Minggu memang identik sebagai wadah ibadah anak-anak.
Lalu apakah ini mempengaruhi bagaimana guru mengajar Sekolah Minggu? Ya, jelas; hanya saja saya berpesan bahwa kalau Sekolah Minggu itu ibadah, maka bukan berarti tidak ada ruang sama sekali untuk berinteraksi dua arah misalnya. Oh, Sekolah Minggu itu ibadah, jadi harus satu arah, harus khusuk, anak-anak harus diam dari awal sampai akhir, apakah begitu? Tidak tentu, Saudara. Kalau Saudara mikirnya kayak begitu, maka Saudara terlalu sempit pikirannya mengenai apa itu ibadah. Saudara jangan mengerti ibadah Kristiani secara permukaan tok, dalam arti pokoknya ikutin liturgi kayak gini, orangnya diem-diem, manut-manut. Tidak demikian, Saudara, itu terlalu permukaan.
Kita sudah bahas liturgi beberapa kali, saya bahas, Pak Billy juga bahas; liturgi itu apa sih? Liturgi itu sebenarnya esensinya apa? Liturgi itu esensinya adalah sebuah retelling, sebuah penceritaan ulang dari kisah Kristiani. Misalnya, kenapa kita mulai Kebaktian dengan kalimat Votum, panggilan beribadah, bukan dengan Puji-pujian? Kita mungkin pikir secara logika harusnya kalau saya datang kepada Tuhan, saya datang menawarkan pujian saya dulu, baru Tuhan berkenan; tapi itu bukan cerita Alkitab, itu bukan cerita Kekristenan. Cerita Kekristenan bukanlah orang datang kepada Tuhan, maka Tuhan berkenan, Tuhan lihat dulu persembahannya bagus atau tidak. Cerita Alkitab adalah Tuhan memilih kita sebelum dunia dijadikan. Cerita Alkitab adalah tidak ada yang sanggup datang kepada Yesus, kecuali ditarik oleh Bapa. Itu sebabnya kita mulai dengan Votum, bukan dengan Puji-pujian. Votum itu panggilan beribadah, dalam arti Saudara datang beribadah karena diundang; kecuali karena diundang, maka Saudara tidak bisa datang –itu sebabnya kita mulai dengan Votum.
Saudara juga melihat dalam rangkaian tersebut, antara Pujian-pujian dengan Pengakuan Dosa, Pengakuan Dosa tidak di depan melainkan di belakang setelah Puji-pujian; kenapa demikian? Kita mungkin berpikir logikanya saya datang menghadap Tuhan minta ampun dulu, baru setelah minta ampun lalu saya memuji Dia; tapi itu juga bukan cerita Alkitab. Cerita Kristiani adalah bahwa yang menyebabkan Saudara itu bisa sampai meminta ampun kepada Tuhan, kita bisa meminta ampun kepada Tuhan, itu karena berita pengampunan datang terlebih dahulu. Kita bersukacita karena Tuhan menyentuh kita terlebih dahulu, kita diubah oleh Tuhan, hati kita dilahirbarukan oleh Tuhan, makanya kita bisa datang meminta ampun; kita memuji Dia lebih dulu, kita merespon karunia Tuhan dulu, bukan minta ampun dulu baru layak, dan setelah itu baru memuji Dia. Saudara lihat, ibadah Kristiani secara esensial adalah sebuah penceritaan ulang dari kisah Kekristianan, inisiatif Allah, tanggung jawab manusia. Dengan demikian, kalau essential story-nya benar, story-nya tepat, mungkin melakukan story ini di dalam bentuk yang lebih dua arah ya bisa saja, meski sekarang ini saya belum kebayang.
Poinnya, bukan yang kelihatan di permukaannya, kayak apa ibadah itu, melainkan story apa yang sedang diceritakan lewat ibadah tersebut itulah yang esensial; maka berarti story ini bisa diceritakan dalam cara-cara yang berbeda, bisa diceritakan dengan lebih dua arah, bisa diceritakan dengan cara yang sedemikian sehingga mungkin bisa tetap komunikatif terhadap anak-anak yang masih kecil. Saya rasa ini bisa, dan maka buat saya gtidakak ada masalah sama sekali. Namun demikian, di GRII ini prinsipnya “you say, you pay”, itu Yang Pak Tong berkali-kali katakan, jadi saya harap Saudara tanya pertanyaan ini karena Saudara sedang mempertimbangkan diri untuk ikut terjun dalam Sekolah Minggu, Saudara melihat ada kebutuhan dalam Sekolah Minggu lalu Saudara mau ikut terjun. Saya harap Saudara bukan tanya kayak begini karena Saudara mau menuntut orang lain yang gerak.
Orang zaman sekarang sudah terlalu banyak menjadi armchair critic, jadi tukang kritik di armchair-nya masing-masing tapi tidak mau terjun sendiri. Tidak bisa kayak begitu, Saudara. Kalau Saudara sekarang lihat ada kebutuhan tertentu di Sekolah Minggu, Saudara misalnya melihat perlu ada komunikasi terencana antara guru Sekolah Minggu dan orangtua anak-anak, mungkin berarti Tuhan mau Saudara melayani dalam hal itu. “Wah, saya tidak ada talenta Pak, saya tidak ada kemampuan”; maka Saudara perlu belajar, Saudara mendalami di hadapan Tuhan. Memangnya Saudara pikir, saya lahir, keluar dari mama saya, lalu langsung bisa khotbah, langsung bisa menjawab pertanyaan seperti ini?? Saya belajar, Saudara. Saya diajar, saya diperlengkapi oleh Tuhan lewat banyak hal, salah satunya lewat self-study, lewat baca buku, lewat segala macam. Dan saya baca buku banyak bukan mulai saya masuk di STT, ya, saya baca buku banyak sejak saya di Remaja, sejak saya SMA, sejak saya kuliah, sejak saya kerja. Jadi Saudara jangan pikir, ‘Oh bapak ‘kan STT, jadi ya memang kerjanya baca buku terus’. Tidak, Saudara; saya sudah mulai sebelum itu. Kalau saya tidak mulai sebelum itu, saya tidak akan seperti yang sekarang terus terang saja. Hamba-hamba Tuhan yang baru mulai belajar waktu mereka masuk STT, itu repot membimbingnya, tidak ada modal, susah; bukan tidak berarti tidak bisa sukses ya, tapi terus terang saja akan susah.
Atau, Saudara mau kembali ke ideal cerita talenta, Saudara mengatakan, “Itu ‘kan dikasih dulu, Pak, baru punya talenta”. Tapi Saudara jangan lupa, dalam cerita talenta, talenta yang ideal itu nambah; yang diberikan lima akhirnya jadi sepuluh, yang diberikan dua akhirnya jadi empat –artinya nambah, Saudara. Talenta itu idealnya berlipat ganda; itu sebabnya ada talenta-talenta yang tadinya belum ada, lalu jadi ada. Yang dikritik dalam cerita talenta adalah orang yang tidak mau nambah, yang dikritik –yang jadi tokoh negatifnya– itu bukan karena talentanya hilang, melainkan talentanya bertahan. Dia punya talenta, dan talentanya itu tidak dia buang, dia simpan, bertahan, tapi ujungnya tidak bertambah; itulah yang dikritik. Jadi Saudara jangan tidak fair, waktu melihat tanggung jawab Saudara sebagai Gereja.
Saya sedikit curcol sekarang, bahwa sering kali jemaat banyak komplain ‘Gereja kurang cepat ini, kurang cepat itu, musti cepat lakukan ini, musti berespon cepat, harus siap subsidi jemaat, harus siap visitasi jemaat, harus siap ini dan itu, dan ini dan itu, tapi lalu waktu Saudara sebagai jemaat –sebagai Gereja– diminta pelayanan, diminta jadi pengurus, apa jawabannya? “Beri waktu dulu, Pak, bergumul dulu; saya harus mikirin dulu, saya harus doa dulu”. Gereja disuruh berespons cepat-cepat, tapi kalau Saudara disuruh melayani, Saudara minta waktu segala macam; awas ya, Saudara. “You say, you pay,” kata Pak Tong; dan saya mungkin bisa tambahkan: “You say, you pay, we pray for you-lah”.
Pesan saya, saya harap Saudara tanya pertanyaan tadi karena Saudara mau ikut terjun, dan bukan simply untuk kritik-kritik dan minta Gereja melakukan sesuatu. Kalau Saudara ada kepekaan untuk hal itu, berarti Tuhan mau mengerjakan sesuatu lewat Saudara. Kalau Saudara tidak punya kemampuannya, Saudara belajar, Saudara ikut, terjun, jadilah orang-orang yang learn how to serve, jangan jadi orang-orang yang cuma learn how to criticize. Dalam Gereja tidak ada tempat untuk orang-orang seperti itu.
Pertanyaan ketiga:
Minta tolong Bapak jelaskan perihal idolatry; seberapa batasannya, dan bagaimana kita tahu bahwa kita sudah menjadikannya idolatry –karena idolatry bisa sangat banyak bentuknya, tidak harus fisik dan materi.
Respons:
Saudara bisa baca buku yang sangat bagus dari Tim Keller, judulnya “Counterfeit Gods” (counterfeit artinya barang palsu). Saya yakin ada terjemahan Indonesianya, itu buku yang sangat populer. Itu tipe buku yang cukup easy reading, tidak terlalu susah, buku yang didesain untuk bisa dibaca orang-orang awam, namun juga sangat-sangat biblikal dan cukup dalam. Saudara tadi sudah mengatakan bahwa idolatry bisa sangat banyak bentuknya, maka Saudara tahu ini tema yang sangat luas dan kompleks, at the very least ya Saudara harus rela baca buku mengenai itu kalau Saudara serius untuk belajar, karena 15 menit menjawab di Kebaktian tidak akan bisa memuaskan.
Saya respons sedikit bagian mengenai bagaimana kita mengetahui idol kita, dan bagaimana kita telah menjadikan sesuatu dari hidup kita sebagai idol –dan ini saya dapat dari buku “Counterfeit Gods” tersebut, meskipun cara saya memaparkannya mungkin beda.
Yang pertama, Saudara perlu menyadari bahwa yang namanya berhala, itu selalu bukanlah sesuatu yang najis, bukanlah sesuatu yang busuk, bukanlah sesuatu yang kotor. Berhala tidak pernah merupakan hal-hal seperti itu, tidak ada orang yang menyembah sampah. Sebaliknya, justru yang biasanya jadi berhala adalah hal-hal yang paling murni, paling indah, paling agung dalam hidupmu. Itu yang jadi berhala. Infact, semakin sesuatu itu baik, semakin sesuatu itu indah, semakin sesuatu itu agung, semakin tinggi kemungkinan jadi berhala. Menurut Saudara, apa yang paling bahaya jadi berhala bagi seorang pendeta? Pelayanannya. Misalnya, ketika seorang pendeta lebih mementingkan pelayanannya kelihatan bagus, dibandingkan sesungguhnya melayani jemaat. Kenapa bisa kayak begini? Kenapa ini jadi berhala? Karena ini justru hal-hal yang baik, karena ini hal-hal yang bisa dipakai Tuhan. Saudara bisa jamin, pendeta yang tergoda untuk memberhalakan pelayanannya, itu adalah pendeta yang pelayanannya baik. Kalau pelayanannya selama ini ancur, orang-orang tidak peduli pada dia, orang-orang benci dengan khotbahnya, dengar khotbahnya jadi tidur terus dan segala macam, saya berani jamin dia akan sangat sulit menjadikan pelayanannya sebagai berhala. Jadi, itu satu hal yang pertama Saudara, kita mesti mengerti bahwa tidak ada orang yang menyembah apa yang dianggap sampah.
Berhala itu problemnya apa? Problem berhala bukanlah karena barangnya jelek, bukan karena barangnya najis, bukan karena barangnya kotor, tapi ustru barangnya baik. Problem berhala adalah kita mengambil barang yang baik ini, dan menjadikannya sebagai yang terbaik, yang harusnya hanya jadi tempatnya Allah. Itulah definisi berhala Saudara. Jadi, kalau Saudara mau tahu apa yang menjadi berhalamu, Saudara harus runut, apa hal-hal yang Saudara anggap baik dalam hidupmu, yang sering kali sudah menjadi hal yang terbaik.
Contohnya dari buku Harry Potter, sda satu adegan di buku-buku yang pertama, waktu dia masih belajar. Si Harry Potter ini lari-lari, exploring gudang di atas Hogwarts, lalu dia menemukan suatu benda yang ditutupi kain. Dia buka, dan ternyata itu adalah suatu cermin; dan dalam cermin itu ada ukiran Mirror of Erised. Saudara, ini buku cerita anak-anak ‘kan, jadi tidak susah Saudara untuk menerka kata erised itu maksudnya apa, kata erised kalau Saudara pantulkan ke cermin, maka balik menjadi desire; jadi ini mirror of desire. Lalu waktu Harry Potter memandang ke cermin itu. Dia melihat apa? Dia melihat dirinya, lalu di belakangnya ada orangtuanya. Orangtuanya ini sebenarnya sudah meninggal Saudara, tapi ini bukan maksudnya horor melihat orangtua yang sudah meninggal. Dia melihat orangtuanya itu memeluk dia, mengasihi dia, memandang kepada dia dengan mata yang penuh kasih, dsb. Harry Potter kaget, koq bisa ada seperti ini, lalu dia panggil Ron temannya, “Ron, Ron, coba lihat.. Gue bisa lihat parents gue yang sudah mati itu”. Ron datang ke situ, dan Ron tidak melihat orangtua Harry Potter, Saudara. Apa yang Ron lihat? Ron melihat ‘wuihh.. gila.. gue keren banget, gue juara olahraga, ganteng, disukai cewek’, dsb. Saudara, ini cermin apa? Kemudian mentor mereka, Dumbledore, datang; dan Dumbledore mengatakan: “Ini cermin yang sangat berbahaya, makanya kita taruh di gudang dan kita tutupi, karena inilah cermin yang akan memberitahu kepada kamu the deepest and most desperate desire of your heart.”
Apa hasrat hatimu yang terdalam, yang paling desperate, Saudara? Apakah itu, yang kita merasa kalau saya mempunyainya, maka saya tahu saya ini somebody, saya punya makna dalam kehidupan ini, saya bisa happy akhirnya? Itu adalah sesuatu yang semua orang punya; dan bagi Harry Potter itu adalah orangtuanya, karena dia hidup sebagai anak yatim piatu, dia tidak pernah kenal orangtuanya, dia tidak pernah merasakan kasih kebapaan atau kasih keibuan –makanya dia cari itu. Ron carinya sesuatu yang lain. Itu sebabnya mentornya, Dumbledore, bilang, “Iini cermin harusnya kita buang saja karena sudah banyak korbannya, yaitu orang-orang yang hidupnya terbuang habis hanya untuk ngeliatin cermin tersebut.” Saudara, itulah kita, itulah manusia. Hidup kita itu habis untuk mengejar hal-hal seperti itu. Dan, itulah hal-hal berhala. Saudara bisa tahu hal itu ketika Saudara melihat dan coba cari dalam hidupmu, apakah itu, hal yang Saudara merasa harus punya bahkan sebelum Saudara punya pun, itu adalah yang mengontrol hidupmu, itu adalah yang menyetir arah hidupmu, itu adalah yang mengontrol pikiranmu, itu adalah yang mendorong kehendakmu. Apakah itu, Saudara?
Contoh buat saya adalah sbb.: waktu kecil, saya anak yang sangat pendek, saya pubernya kayak telat gitu loh. Jadi, kalau di sekolah Saudara, sepanjang umur-umur saya di SD, saya selalu baris paling depan –karena saya paling kecil. Dan, saya benci dengan itu. Saya merasa gara-gara itu, hidup saya miserable, gara-gara itu saya selalu gampang di-bully sama orang-orang yang lebih besar badannya. Itu sebabnya saya kepengen banget jadi orang yang tinggi. Lalu, ini salah satu hal yang paling nyesek— waktu dulu ada department store yang namanya MAKRO,
tidak kayak department store biasa tapi kayak gudang, dan di situ banyak forklift berlalu-lalang untuk mengambilkan barang-barang dari tempat-tempat yang tinggi. Karena itu, anak kecil tidak boleh masuk; dan mereka memasang suatu pembatas di depan pintunya, untuk anak-anak diukur tingginya berdasarkan pembatas tersebut sebelum boleh masuk, kalau lu tingginya sekian baru boleh masuk. Mama saya waktu itu mengajak saya ke MAKRO, “Yuk, ada department store, baru mau ikut?” Saya lalu ikut, eh, ternyata tidak bisa masuk, karena tingginya masih jauh. Kesal banget, Saudara, jadi bener ‘kan ini problem hidup saya, saya tuh tidak tinggi kemana-mana, di-bully-lah, segala macemlah, masuk department store saja tidak bisa. Kesal banget. Lalu apa yang terjadi? Yang terjadi adalah: hidup saya berubah. Hidup saya berubah untuk apa? Untuk mencapai tujuan ini, yang saya rasa kalau saya punya hal ini, hidup saya akan oke. Jadi salah satunya adalah saya minta kepada grandma saya yang sebelumnya pernah mengatakan, ‘lu kalau mau tinggi, ya minum ramuan Cina ini’, sesuatu yang dulunya saya tidak mau, jijik banget, dan saya paling benci kayak gitu-gituan, tapi karena peristiwa di MAKRO itu, saya minta ramuannya. Saya minum, rasanya parah banget, kayak minum daun direbus, tidak enak –tapi saya minum sampai habis. Tiap hari saya minum –dan ujungnya tidak tinggi-tinggi banget juga. Kesel juga, sih, akhirnya tidak ada gunanya –tapi itulah berhala, in some sense.
Saudara, apa dalam hidupmu, hal yang baik, yang Saudara rasa bisa menghasilkan banyak hal indah, yang Saudara itu merasa ‘kalau saya tidak punya ini, hidup saya hancur; kalau saya punya ini, hidup saya akan jadi oke’ ? Harusnya yang menjadi tempat seperti itu, hanya Tuhan; tapi Saudara bisa lihat, betapa dalam hidup kita yang menempati tempat ini bukan Tuhan, ada banyak hal-hal yang lain, dan bisa berubah-berubah juga sepanjang hidup kita. Sekarang saya sudah tidak cari urusan tinggi, bahkan sekarang saya bersyukur postur tubuh saya tidak terlalu tinggi, karena orang kalau gowes, semakin tinggi semakin repot. Sepeda itu size-nya bisa beda-beda, tapi size ban-nya tidak berubah Saudara, sehingga kalau orang tinggi naik sepeda biasa (road bike), jadi kayak jerapah naik sepeda sirkus. Di grup gowes kami ada penginjil Tata, yang kita suka ledekin karena dia badannya tinggi banget, kalau naik sepeda itu, benar-benar kayak jerapah sirkus. Jadi, saya sekarang sudah tidak merasa ‘jadi tinggi’ itu perlu lagi.
So, kehidupan kita bisa berubah-ubah berhalanya, tapi inilah caranya kita coba mengidentifikasi berhala apa dalam hidup kita: Saudara cari hal-hal apa dalam hidupmu, yang Saudara sangat panik kalau itu terancam, yang sangat takut kalau Saudara kehilangan itu, hal-hal yang Saudara rasa kalau saya punya, itulah yang paling penting, itulah yang bisa membuat hidup saya jadi oke –dan itu biasanya tidak pernah hal yang jelek, najis, dan kotor.
Demikianlah kita mengidentifikasi berhala dalam hidup kita.
Pertanyaan keempat:
Seberapa penting counseling pastoral untuk jemaat dalam konteks penggembalaan GRII Kelapa Gading saat ini?
Respons:
Penting; dan itu sebabnya sudah sejak November 2023 kita godok cara untuk Saudara sebagai jemaat bisa minta waktu counseling, dengan memakai Google Form. Saat ini kita masih dalam tahap soft opening, sudah ada beberapa nama yang masuk juga, tapi kita belum publikasikan secara lebih luas karena kita masih tahap soft opening, masih trial and error, masih coba figuring out sistem yang bagus itu kayak bagaimana. Mungkin sebulan ke depan saya akan umumkan aturan mainnya untuk kita semua, Saudara tunggu saja.
Intinya, respons singkatnya adalah: counseling pastoral itu penting; namun di sisi lain, respons saya juga adalah mengklarifikasi apa definisi counseling pastoral buatmu. Misalnya, kamu merasa itu penting, saya merasa itu penting, tapi definisinya bisa beda, counseling pastoral buatmu dan buatku mungkin tidak sepenuhnya sama. Salah satu bedanya, mungkin yang Saudara maksudkan dengan counseling pastoral adalah sesuatu pelayanan yang dikerjakan dan diberikan hanya oleh para pendeta dan vikaris, hanya oleh orang-orang yang masuk STT. Saya tidak setuju dengan penyempitan seperti ini, Saudara, karena saya percaya –dan sudah berkali-kali ngomong— Alkitab mengajarkan the priesthood of all believers, bukan cuma some believers. Kita itu semua imam, kita itu semua hamba Tuhan. Kita perlu belajar melihat panggilan penggembalaan sebagai panggilan Gereja, seluruh Gereja, bukan cuma sebagian kecil orang yang masuk STT. Saudara perlu belajar melihatnya secara lebih luas kayak begini.
Contoh paralelnya, urusan disiplin gereja. Saudara tentunya pikir, dalam pengertian sempit disiplin adalah sesuatu yang dilakukan atas wewenang pimpinan gereja; dan bentuknya biasanya semacam sanksi, seperti tidak boleh ikut Perjamun Kudus, dsb. Kalau kita dengar istilah disiplin gereja, kita mikirnya kayak begini. Tapi yang menarik, kalau Saudara baca buku mengenai disiplin gereja –dan buku tersebut adalah buku yang bertanggung jawab– saya rasa salah satu poin yang terus akan muncul adalah bahwa disiplin gereja yang sehat tidak bisa dimulai dari urusan wewenang pimpinan gereja, tidak bisa dimulai dengan bentuk yang tadi, yang tiba-tiba keluar sanksi dari atas “tidak boleh ikut Perjamun Kudus”. Tidak bisa mulai dari situ, Saudara. Kalau itu menjadi satu-satunya bentuk disiplin gereja dalam sebuah gereja, itu disiplin gereja yang tidak sehat. Jadi disiplin gereja harus dimulai dari mana? Disiplin gereja itu –dalam buku yang saya baca– dimulai dari kalimat teguran oleh sesama orang percaya. Bentuk disiplin gereja mulai dari situ, karena kita semua dipanggil untuk saling menegur, itu panggilan Alkitab, mungkin dari persahabatan, mungkin dari relasi di KTB, mungkin dari kita pelayanan bareng, dan sebagainya. Kalau tidak ada bagian disiplin gereja dari level yang seperti ini, maka disiplin secara institusi tadi, dari wewenang pimpinan atas dsb., itu tidak terlalu ada efeknya. Saudara kalau diberi disiplin gereja dari atas kayak gitu, yang tiba-tiba kena sanksi, Saudara akan ngapain? Saudara tinggal pindah cari gereja lain ‘kan; dan itu tidak membawa pertobatan. Tapi kalau kita sudah melakukan disiplin dari awal, dari satu orang coba ngomong empat mata dulu, kalau tidak berhasil lalu ajak orang yang lain, enam mata dan seterusnya, tidak berhasil juga, maka akhirnya dibawa ke pimpinan gereja, lalu kalau tetap tidak bertobat, diberi sanksi; dan mungkin baru bisa ada perbaikan di situ, itulah pengharapannya.
Sama halnya dengan konseling pastoral. Tentu saja, saya mengakui bahwa orang yang masuk STT kemungkinan besar mereka lebih diperlengkapi untuk mengonseling orang-orang, meski tidak tentu juga, sih. Saudara tentu melihatlah, tidak semua yang masuk STT juga beres, toh. Anyway, intinya begini, kalau konseling pastoral baru dimulai di level pendeta, itu justru tanda gereja yang tidak sehat; konseling pastoral juga harus dimulai dari level akar rumput. Saya sudah ngomong berkali-kali, alasannya KTB justru tempat yang paling baik untuk memulai konseling pastoral, adalah karena di dalam KTB, Saudara benar-benar saling mengenal, dan yang mengenalmu itu tidak cuma satu orang. Yang mengenalmu itu, mungkin lima orang, empat orang, yang bisa punya perspektif-perspektif yang berbeda, and therefore lebih utuh; juga karena dalam waktu yang lebih lama, mereka lebih sejati mengenalmu dibanding pendetamu yang cuma dengar ceritamu, toh. Itu sebabnyamisalnya yang saya dalam konseling pranikah, orang yang mau menikah di gereja ini, selalu saya wajibkan masuk ke dalam KTB couple lebih dulu sebelum konseling dengan saya. Lalu kalau someday mereka mau konseling lagi sama saya, misalnya mereka sudah menikah dan ada problem, saya akan tanya dulu, selama ini ikut KTB atau tidak? Kalau tidak, sekarang saya wajibkan ikut lagi; kalau tidak ada konseling secara komunal ini, kalau tidak ada konseling secara akar rumput ini, saya tidak mau memberikan konseling pribadi. Saudara, mimpi saya someday sistem KTB di tempat kita benar-benar cukup kuat untuk bisa melakukan model seperti ini untuk semua jenis konseling, tidak cuma pranikah. Saudara bisa lihat logikanya, kenapa saya kepingin kayak begini? Karena –ini poin pentingnya menjawab pertanyaanmu– saya merasa konseling pastoral sangat-sangat penting, itu sebabnya ini tidak bisa dikerjakan oleh saya sendiri. Hal yang sangat-sangat penting ini tidak bisa dikerjakan hanya oleh orang-orang yang masuk STT. Ini sangat-sangat penting, makanya ini harus dikerjakan oleh seluruh Gereja.
Jadi, saya bertanya balik kepada Saudara, buatmu, konseling pastoral itu sepenting apa? Seberapa pentingnya engkau menilai hal ini, bisa Saudara lihat dari menurutmu seberapa banyak orang yang harus dilibatkan dalam hal ini. Richard Pratt pernah memberi satu contoh, kalau saya diberi pekerjaan untuk mencat ulang sebuah ruang rapat di gereja misalnya, saya akan bilang, “Beri saya cat”, dan saya akan kerjakan. Tapi, kalau saya diberi pekerjaan untuk mencat ulang seluruh gedung gereja, saya akan bilang, “Saya tidak bisa kerjain sendiri, saya butuh bantuan orang lain.” Pekerjaan ini terlalu besar, pekerjaan ini terlalu penting, saya butuh bantuan seluruh Gereja untuk hal tersebut; itulah bagaimana kita harusnya melihat seberapa pentingnya konseling pastoral. Saya harap Saudara bisa melihatnya seperti itu juga.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading