Pertanyaan pertama (kategori practical living):
Seberapa kita boleh mengucapkan Selamat Idul Fitri atau Mohon Maaf Lahir Batin, atau Selamat Idul Adha, atau Selamat Waisak?
Jawaban/respons:
Saya kemarin sempat tanya lebih lanjut kepada si penanya, ini kira-kira maksudnya bagaimana, situasinya seperti apa, jadi saya juga lebih jelas menjawabnya. Basically penanya tersebut menjelaskan kepada saya mengenai situasinya, yaitu ketika kita mengucapkan kalimat-kalimat tersebut di sosmed juga, jadi bukan secara in person. Dalam hal ini, maksudnya ketika kita satu sisi intention-nya merangkul orang yang beragama lain, di sisi lain kita lalu dilihat bablas oleh orang-orang Kristen sesama orang beriman, bahwa karena kita mengucapkan hal-hal seperti itu, kita jadi bisa dianggap percaya hal yang sama. Demikian maksud si penanya; dan si penanya memang mengalami hal seperti ini waktu dia posting ucapan-ucapan demikian di sosmed. Jadi ada keberatan-keberatan dari beberapa orang Kristen melihat postingan ucapan tersebut. Mereka mengatakan, kalau “mohon maaf lahir batin” itu levelnya beda dengan “selamat Idul Adha”, karena “mohon maaf lahir batin” itu lebih generik, sesuatu yang kita mungkin agak oke, sedangkan kalau mengucapkan “selamat Idul Adha” seakan-akan jadi ada indikasi kita seperti ikut percaya bahwa yang dikorbankan Abraham adalah Ismail, dan bukan Ishak.
Saya lalu berdialog dengan penanya ini, saya mengusulkan solusinya adalah kita ganti kalimatnya, misalnya instead of “selamat Idul Adha”, kita mengatakannya “selamat merayakan Hari Raya Idul Adha”. Kalau Saudara mengatakannya kayak begini ‘kan tidak masalah, karena waktu orang lain melahirkan seorang anak, dan saya mengatakan “selamat merayakan lahirnya seorang anak”, itu ‘kan bukan berarti saya juga sedang punya anak, itu simply congratulations.
Namun penanya ini masih keberatan. Menurut penanya, kalau kita mengatakannya “selamat merayakan Hari Raya Idul Adha”, maka orang-orang Kristen sekeliling dia bisa tetap tidak merasa oke, karena menurut mereka ini berarti kita membiarkan orang lain menyembah ilah palsu. Di sini saya merespons dengan mengatakan, bahwa Kalender Yahudi punya nama-nama bulan seperti bulan Kislev, bulan Nisan, dsb. –dan itu muncul di Perjanjian Lama– dan ternyata nama-nama bulan tersebut adalah saduran atau resapan dari nama-nama bulan kalender bangsa Babilonia. Jadi Jewish calendar sebenarnya mereka sadur daripada Babylonian calendar waktu mereka ada di pembuangan, lalu mereka pakai terus. Dan menariknya, nama-nama bulan Babel itu –Kislev, Nisan, Tamuts, dsb.– ternyata diambil dari nama-nama dewa-dewi Babilonia. Saya kemudian ingin coba tanya, kalau misalnya orang-orang Kristen sekeliling si penanya mengetahui hal ini, responsnya kira-kira bagaimana, karena ternyata penulis-penulis Alkitab pun oke pakai nama-nama bulan yang berasal dari nama-nama dewa-dewi bangsa kafir. Kalau tadi keberatannya bahwa mengucapkan “selamat Idul Adha” dsb. Itu seakan-akan meng-oke-kan penyembahan berhala, ternyata penulis Alkitab pun tidak terlalu masalah memakai nama-nama bulan seperti itu. Omong-omong, nama-nama bulan kita hari ini juga diambil dari nama-nama dewa kafir, misalnya bulan Juni diambil dari nama Juno, yang adalah Dewa Jupiter. Jadi Saudara, kita harus menyadari bahwa memang Alkitab ternyata ‘gak sampai segitunya juga soal urusan-urusan kayak begini gitu.
Penanya ini lalu bilang, mungkin orang-orang Kristen sekelilingnya akan mengatakan bahwa semua kepercayaan Babilonia dan kepercayaan dewa-dewi Romawi Yunani yang kita hari ini pakai jadi nama bulan, itu kepercayaan yang sudah mati, sudah pudar, sementara Islam masih sangat eksis dan hidup hari ini. Makin kompleks urusannya, tapi saya tidak terlalu setuju dengan argumen itu, karena pada saat penulis-penulis Alkitab menggunakan nama-nama bulan tadi, itu adalah zaman ketika kepercayaan-kepercayaan Babilonia masih hidup. Jadi, saya setidaknya kita bisa melihat bahwa menjadi umat Tuhan, bahkan di zaman Perjanjian Lama pun, yang kesannya seakan lebih ketat, ternyata tidak berarti kita jadi orang-orang yang tidak bersentuhan sama sekali dengan culture sekeliling kita, culture-culture yang melawan Tuhan, culture-culture yang menyembah berhala –termasuk menggunakan nama-nama bulan dari nama dewa-dewi Kafir.
Satu prinsip yang kita perlu tarik, janganlah kita jadi orang yang lebih suci daripada Alkitab. Saya juga mengingatkan, seringkali kita lupa Tuhan Yesus sendiri seringkali dituduh oleh orang-orang religius pada zaman-Nya bahwa Dia melenceng, yaitu karena Dia bersekutu serta menerima pelacur dan pemungut cukai. Bukan cuma Yesus tentunya, murid-murid-Nya dan juga Gereja-mula-mula seringkali menerima tuduhan tersebut.
Seorang theolog modern pernah mengatakan Gereja-mula-mula itu kontroversial, tapi kontroversi mereka bukan karena siapa yang mereka larang masuk, mereka kontroversial justru karena siapa yang mereka bawa masuk. Ini menarik, karena kadang-kadang Gereja hari ini kebalikannya, kita seringkali kontroversi dalam hal siapa yang kita larang masuk, bahwa kita ini orang Reformed maka kita tidak terima orang-orang seperti ini dan itu, perpustakan kita tidak semua buku boleh masuk, dan sebagainya. Ada kesan seperti itu, kontroversi kita kontroversi pelarangan, sedangkan ternyata Gereja-mula-mula tidak demikian, mereka justru kontroversial karena siapa yang mereka bawa masuk, bukan karena siapa yang mereka larang masuk. Ini satu hal yang menarik, kalau kita memang harus jadi Gereja yang kontroversial, kontroversi macam apa yang kita pilih. Jadi, saya kira kita perlu merenungkan baik-baik. Kalau kita mengucapkan selamat hari raya kepada orang beragama lain saja tidak boleh, dan itu dilihat sebagai tindakan kita meng-oke-kan orang lain menyembah berhala, jangan-jangan orang-orang Kristen yang berespon seperti itu juga akan jadi orang-orang yang menghakimi Tuhan Yesus karena terlalu sering ketemu pelacur dan pemungut cukai. Menyedihkan.
Respons tambahan dari saya yaitu kejadian tersebut terjadi di sosmed, sehingga memang yang membaca bahwa kita memberi ucapan seperti itu, bukan cuma orang yang kepadanya kita mengucapkan, bukan cuma target/ sasaran kita, tapi juga berbagai jenis orang dari mana-mana. Itu sebabnya ketika kita sebagai orang Kristen menghadapi orang Kristen lain di sosmed, kita boleh coba mempraktikan semacam restraint (tahan diri). Saya tidak mengingkari bahwa sosmed itu banyak sampah, sehingga kita mungkin concern akan hal itu dan mungkin kepingin orang-orang Kristen yang ada di sosmed menjaga postingan-postingan mereka, jangan sampai menjadi batu sandungan, dsb.
Satu hal yang menarik mengenai sosmed, bahwa sosmed itu platform yang masih sangat-sangat baru, bisa dibilang masih remaja, masih sangat-sangat muda; dan dengan demikian aturan mainnya memang masih sangat rancu. Ini berbeda dengan platform-platform lainnya, media-media yang selama ini kita tahu, yang sudah puluhan tahun, seperti misalnya surat kabar atau televisi, yang bentuk dan normanya sudah lebih jelas, kita tahu apa yang boleh masuk dan apa yang tidak boleh masuk. Orang kalau muncul di TV , pakaiannya harus seperti apa dsb., itu kira-kira sudah lebih jelas, sedangkan sosmed itu tidak seperti itu. Kenapa? Karena sosmed itu something yang very new, maka belum terlalu ada kejelasan. Jadi, dalam situasi kita menghadapi platform yang baru, saya rasa the wise thing to do sebagai orang Kristen waktu kita melihat orang posting hal-hal yang mungkin offensive buat kita, ucapan dan sebagainya yang mungkin kita rasa ini harusnya tidak perlu, adalah kita menahan diri, instead of kita langsung masuk dengan pilihan-pilihan dan judgement kita bahwa ini boleh, itu tidak boleh, dsb.
Hati-hati untuk tidak menjadi orang Kristen yang terlalu cepat bertindak, terlalu cepat ngomong, terlalu cepat menentukan posisi; kenapa? Karena jangan-jangan 200-300 tahun dari sekarang, kelompok-kelompok seperti ini bisa-bisa dikenang sejarah seperti teolog-teolog jaman Kopernikus yang kecepatan mengatakanKopernikus itu sesat karena mengajarkan bumi mengelingi matahari. Saudara tentu tahu ceritanya, bahwa waktu Kopernikus pertama kali mengusulkan model heliocentris, orang tidak percaya; orang percayanya bukan bumi yang mengelingi matahari melainkan matahari yang mengelingi bumi. Kopernikus lalu ditentang oleh banyak orang, termasuk oleh para theolog, dan akhirnya kita hari ini melihat hal tersebut menjadi salah satu blunder Gereja yang besar sekali, yang membuat banyak orang hari ini bisa tersandung. Dalam hal ini, saya kira bisa jadi sosmed juga salah satunya.
Waktu Saudara berhadapan dengan sosmed –berhadapan dengan orang-orang posting di sosmed, Saudara boleh ada faktor tahan diri ketika kita melihat orang-orang melakukan sesuatu yang kita mungkin tidak setuju, apalagi diantara sama orang Kristen; kenapa? Sekali lagi, karena ini platform yang baru, kita tidak terlalu bisa judge persis aturan mainnya, kita belum tahu benar-benar sejauh apa dampak sosmed itu dalam hidup kita, masih banyak sekali research mengenai itu, dan research-nya pun masih ongoing. Saudara tentu tahu, mengenai urusan sosmed ini kita baru saja mulai berhadapan dengan generasi yang mengenal sosmed sejak lahir, sementara generasi sebelumnya tidak sejak lahir tahu sosmed, baru belakangan tahu sosmed. Jadi ini platform yang baru, dan kalau Saudara berhadapan dengan sesuatu yang Saudara belum benar-benar mengenal serta tahu sikap apa yang tepat, sikap apa yang wise, maka Saudara harus menahan diri, jangan nyemplung kecepetan, jangan berposisi kecepetan, baik dalam sisi jangan terlalu cepat menghakimi, maupun jangan terlalu cepat menggunakan sebebas-bebasnya, jangan terlalu cepat tenggelam di dalamnya. Perlu restraint dari dua belah pihak.
Demikian respons saya yang pertama; kalau Saudara merasa orang lain harusnya tidak mengucapkan ini, harusnya tidak posting itu, dsb., dalam sosmed, Saudara boleh pikir lagi, jangan-jangan Saudara sedang jadi orang yang mau lebih suci daripada Alkitab. Khususnya dalam hal particular case, urusan ucapan-ucapan postingan Selamat Idul Fitri, Selamat Idul Adha, dan yang lain-lain itu, Saudara jangan terlalu cepat menghakimi orang, karena ternyata Alkitab pun memakai nama-nama bulan yang berasal dari nama-nama dewa-dewi bangsa kafir. Jadi ternyata standar Alkitab jangan-jangan tidak sesuci kamu.
Respon sisi yang kedua, yaitu kepada Saudara yang mungkin berada di pihak melakukan atau mem-posting ucapan-ucapan itu. Ketika Saudara mengucapkan kalimat-kalimat ucapan tersebut kepada orang, apalagi di sosmed, Saudara harus sadar dampaknya itu luas, dampaknya seringkali tidak terkontrol. Dunia sosmed memang ada resiko yang sangat besar untuk disalah mengerti, itu sebabnya Saudara harus belajar bijak dalam menggunakan sosmed.
Yang namanya bahasa atau komunikasi –dan sosmed termasuk di dalamnya– selalu dua arah. Saudara Tidak bisa misalnya kotbah ke anak-anak SD dengan bahasa-bahasa yang super akademik, lalu ketika anak-anak SD itu salah menangkap, Saudara protes, Saudara ngomel, “Saya ‘kan kotbahnya benar, mereka itu yang tidak belajar”. Tidak bisa demikian, Saudara, karena bahasa komunikasi perlu dua arah. Saudara tidak bisa mengatakan, yang penting intention saya murni, yang penting saya mau melakukan yang benar, yang penting saya mau merangkul orang dan bukan mau menyembah berhala ini, kenapa sih orang lain salah ngerti saya, karena bahasa dan komunikasi selalu dua sisi, tidak cuma satu sisi.
Omong-omong, kita baru saja merapikan kegiatan persekutuan pingpong di gereja kita tidak lagi mengizinkan gedung ini dipakai untuk pingpong pada hari Minggu, hari lain boleh. Kenapa? Karena masalah persepsi; kegiatan pingpong ini sudah mulai ramai sekali, sehingga kalau orang masuk gedung kita hari Minggu sore, itu bisa berasa seperti masuk ke GOR, bukan masuk ke gereja. Dan ini suatu concern, kenapa? Karena Paulus mengatakan, kalau kamu beribadah, lalu orang luar masuk, persepsi mereka itu sah untuk kamu pertimbangkan. Waktu kamu di dalam ibadah begitu kacau, semua orang boleh bicara bahasa roh lalu diterjemahkan, dsb., mereka bisa jadi melihat ini kacau dan menyangka kamu gila. Dan, di sini Paulus tidak lalu mengatakan, ‘tapi jangan khawatir ya, yang penting intention hatimu baik, orang lain lihat apa itu tidak masalah’; Paulus mengatakan ‘bikin ibadahmu teratur, sehingga kalau orang luar masuk, orang bisa mengatakan sungguh Tuhan Allah ada di tengah-tengah kamu’. Poinnya, persepsi dari luar adalah something yang ternyata penting bagi Paulus.
Kita bukan orang-orang yang main pencitraan, itu sudah pasti. Tapi kita juga bukan orang yang lalu mengatakan, “Ah yang penting saya di dalamnya oke, sedangkan di luar rambut acak-acakan, kancing lepas-lepas, baju robek-robek , itu ‘gak masalah”. Tidak bisa demikian, Saudara, dua-duanya penting. Saya rasa prinsip yang sama juga bisa kita terapkan untuk postingan kita di sosmed.
Hal pertama yang pasti, waktu Saudara mengucapkan kalimat-kalimat seperti “Selamat Idul Fitri” dan kawan-kawannya, mengucapkannya di sosmed atau mengucapkannya secara pribadi, itu sangat berbeda. Saudara harus sadar, sosmed itu platform publik, dan Saudara sudah lihat banyak kasus di mana orang melakukan abuse di sosmed. Kenapa? Karena mereka pikir ‘oh ini dunia virtual, ini tidak riil, saya ngomong apa aja sembarangan ‘gak masalah’. Tidak bisa demikian, Saudara, tetap saja itu komunikasi antar manusia, yang posting adalah orang, yang membaca juga orang.
Lagipula, sosmed seringkali melepaskan kita dari konteks, sehingga komunikasi di sosmed itu makin susah. Konteks itu sangat berpengaruh dalam komunikasi. Saya beri contoh satu kata yang sama dalam tiga konteks yang berbeda, sehingga artinya jadi beda semua. Kata Saudara di bioskop, lalu tiba-tiba ada orang teriak, “Fire!!” Maksudnya apa? Maksudnya ada kebakaran, segera kabur, selamatkan dirimu. Sekarang Saudara pindah ke konteks lain, yaitu base militer tentar. Saudara mendengar seorang sersan berteriak, “Fire!!” Maksudnya apa? Bukan kebakaran ‘kan; maksudnya adalah ‘tembakan senapanmu’, karena mereka mungkin lagi latihan menembak atau semacamnya. Artinya beda, kata-nya sama. Kenapa bisa beda artinya meski kata-nya sama? Karena konteksnya beda; dan di situ tidak ada orang yang salah pikir lalu bingung, karena ada konteks yang jelas. Konteks yang ketiga, Saudara sedang di kantor, dan bosmu mengatakan, “You are fired.” Ini lain lagi artinya, kata-nya sama Saudara tapi konteksnya berbeda; dan pada waktu bosmu mengatakan ‘you are fired’, Saudara tidak bakal keliling-keliling cari kebakaran.
Waktu kita berkomunikasi, kita seringkali pikir dalam komunikasi yang penting kata-katanya. Tapi, konteks itu sangat penting; di mana Saudara mengatakannya, itu sangat membantu orang mengerti apa maksudnya. Dalam hal ini sosmed adalah platform di mana konteks itu hilang, maka platform ini sangat mudah disalah mengerti. Saudara harus mengerti dan menyadari hal ini, itulah salah satu bijaksana/hikmat dalam menggunakan sosmed. Dan, memang benar ada beberapa orang mencurigai bahwa aplikasi-aplikasi sosmed memang sengaja melepaskan postingan dari konteks. Kenapa? Karena inilah yang bisa bikin kontroversi, yang bikin orang gampang salah mengerti; dan ketika orang salah mengerti, itulah yang bikin orang semakin gencar pakai sosmed, dan itu berarti pemasukan lewat iklan, dsb. lebih banyak.
Jadi, Saudara perlu menyadari, waktu Saudara mengucapkan Selamat Idul Fitri secara personal, itu beda dengan mem-posting Selamat Ucapan Idul Fitri di sosmed. Saudara perlu belajar menjadi orang yang berhikmat. Saya tidak akan mengatakan bahwa dengan mengucapkan kalimat tersebut maka Saudara jadi membiarkan orang lain menyembah berhala –saya tidak sampai sejauh itu– karena Alkitab pun ternyata tidak ada masalah dengan itu. Saya cuma mengajak Saudara untuk belajar berhikmat dalam berkomunikasi; ini bahkan bukan urusan iman, ini urusan basic communication. Sebagai orang Kristen, Saudara perlu berhikmat, Saudara perlu berpikir, perlu banget ‘gak sih Saudara mengucapkan seperti itu di sosmed? Kalau tidak perlu, ya mungkin tidak usah; dan kalau memang tujuan Saudara adalah untuk merangkul, maka the best way to do it mungkin dengan mengucapkan hal seperti ini face to face, itu lebih meaningful. Itu juga sebabnya kalau di grup WA ada orang mengucapkan “happy birthday”, saya males banget ikut-ikutan mengucapkan, tapi kalau saya dalam hari-hari yang dekat dengan ucapan tersebut bertemu dengan orangnya, saya akan ucapkan face to face. Dan, apakah jadinya tidak boleh mengucapkan selamat ulang tahun di grup? Bukan tidak boleh sama sekali, ini bukan soal boleh atau tidak boleh, karena hikmat itu tidak pernah urusan boleh atau tidak, 300 meter belok kiri atau belok kanan, bukan itu, tapi saya merasa lebih baik saya mengucapkan personal ke lebih sedikit jumlah orang dibandingkan saya ucapkan via WA ke 2000 orang lebih.
Saya rasa sebisanya penggunaan sosmed kita perlu dijangkarkan, disauhkan kepada dunia nyata. Misalnya kalau orang minta counseling lewat WA, saya itu pasti tidak mau menjawab lewat WA, tapi Tapi saya akan ajak lewat WA untuk ketemuan dan counseling. Menjawab lewat WA itu bahaya, meski kadang-kadang saya mungkin lakukan kalau memang tidak ada opsi lain yang lebih baik, misalnya orangnya entah ada di ujung bumi mana dan kita tidak bakal ketemu lagi, tidak bisa ditelepon juga. Saya rasa kita sebagai orang Kristen perlu sekali lagi punya habit kristiani yang wise dalam zaman sosmed. Tidak perlu ekstrim buang semua app sosmed-mu –meskipun kalau mau ya silakan, dan saya rasa hidup Saudara akan lebih bahagia– tapi Saudara perlu menjadi wise dalam menggunakan sosmed. Banyak-banyak baca analisa mengenai sosmed, biasakan waktu menggunakan suatu barang, kita cari pendapat ahli, expert review, dsb., dan tidak cuma satu sisi.
Ini juga sebabnya sometimes saya kurang suka kalau dengar orang bicara mengenai pengobatan alternatif; kenapa? Karena mereka memang bukan tidak ada dasar riset atau apa, tapi seringkali dasar risetnya hanya satu sisi. Orang bilang, “Ini nih, pakai ini obat ini. Ada risetnya Pak, risetnya membuktikan kayak begini”, dst. Memang itu riset yang mendukung, tapi pasti ada riset lain yang juga tidak setuju, ‘kan; dan, kamu pernah baca itu atau tidak? Kamu pernah memikirkan dua sisi ini –mungkin bahkan lebih– atau tidak? Kalau kamu tidak pernah, berarti Saudara bukan berangkat dalam hikmat.
Kembali lagi, in conclusion respon saya adalah: perlu ada penahanan diri, perlu ada hikmat dari dua belah pihak, baik yang mem-posting ucapan-ucapan tersebut, maupun yang menanggapi ucapan-ucapan seperti itu. Panggilan kita sebagai orang Kristen adalah menjadi pembawa damai; dan pada zaman semua orang merasa bisa berteriak-teriak di sosmed, menjadi pembawa damai bukanlah dengan menambah kebisingan, ikut-ikutan teriak. Menjadi pembawa damai salah satunya adalah dengan menahan diri, dan mungkin approach orangnya face-to-face.
Saya pernah dengar kesaksian seorang teman hamba Tuhan, dia berantem habis-habisan lewat sosmed, perang dengan jemaat, dengan pengurus. Lalu waktu bertemu di kebaktian penghiburan face-to-face, no problem, bisa ngobrol cukup lama, cerita, curhat, dan segala macam –sedangkan waktu di sosmed sengit. Itulah dunia virtual. Jadi baiklah Saudara berhikmat, jangkarkan, sauhkan kehidupan sosmed-mu dalam dunia nyata. Itu respons saya dalam pertanyaan pertama ini.
——————————————————
Pertanyaan kedua (kategori doktrinal):
Ada tiga pertanyaan sekaligus mengenai predestinasi:
- Mohon dijelaskan bagaimana penginjilan dilakukan, apabila Tuhan sudah menetapkan chosen people.
- Mengenai predestinasi: apakah kemahatahuan Allah yang menentukan orang masuk surga atau neraka? Jika iya, buat apa ada free will?
- Bagaimana menyeimbangkan pemikiran tentang predestinasi dan dosa manusia? Manusia yang tidak terpilih apakah mereka akan tetap dihakimi atas perbuatan-perbuatan mereka, padahal Allah tidak mempertobatkan mereka?
Jawaban/respons:
Pertama-tama kita coba simpulkan dulu apa problem dari ketiga pertanyaan ini, ketegangan apa yang kita masih lihat dalam doktrin ini, yaitu: kalau Tuhan sudah menetapkan yang selamat. Jadi sepertinya pertanyaan pertama mengatakan: “Kita jadi bingung Pak, bagaimana caranya menginjili; apakah masih perlu meyakinkan orang, atau kita cuma perlu mungkin ketok kepalanya, karena ‘kan dia sudah dipilih?” Dengan kata lain, pertanyaan pertama ini mengenai seberapa banyak peran kita dalam menginjili, jika Tuhan sudah menetapkan siapa yang selamat dan siapa yang tidak selamat. Pertanyaan kedua, ketegangannya adalah: kalau Tuhan sudah menetapkan segala sesuatu, bagaimana dengan kehendak bebas manusia, perlunya buat apa kehendak bebas manusia itu, dan sebebas apa? Dan lalu pertanyaan ketiga, ketegangannya juga sama, kalau Tuhan menetapkan, saya merasa jadinya kurang ada tanggung jawab manusia ketika dia berdosa. “Kalau saya berdosa, lalu Tuhan tidak pilih saya untuk diselamatkan, mana bisa sih saya dihakimi, Pak? ‘Kan bukan salah saya, not my fault.”
Saudara lihat, problem utamanya adalah ketegangan antara peran Tuhan dengan peran manusia, yang mungkin kita sering kali lihat dalam doktrin predestinasi. Kita merasa semakin Tuhan berperan di atas dunia ini, semakin sedikit porsi manusia, baik itu dalam hal menginjili, baik itu dalam kita berkehendak, maupun juga dalam tanggung jawab kita atas dosa-dosa kita yang jadi semakin kecil. Demikian juga sebaliknya, semakin kita menekankan peran manusia –harus menginjili, menginjilinya harus beres, harus belajar ini itu, punya kehendak bebas, ada tanggung jawab atas dosa– semakin kita merasa peran Tuhan itu kecil. Jadi di sini saya memformulasikan problemnya dulu, kira-kira inilah yang saya deteksi sebagai problemnya. Sekarang kita merespons dengan kembali ke Alkitab, apa yang Alkitab katakan mengenai peran Tuhan dan peran manusia.
Waktu Tuhan menciptakan manusia, apa peran atau panggilan manusia? Menjadi gambar dan rupa Tuhan. Apa artinya menjadi gambar dan rupa Tuhan? Begini: misalnya Saudara punya nomor Whatsapp baru atau akun sosmed baru, Saudara akan melakukan membuat yang disebut profile picture, yaitu gambar dan rupamu. Apa tujuannya benda yang namanya profile picture itu? Tujuannya adalah: karena Saudara tidak bertemu langsung dengan orang-orang yang Saudara WA, jadi profile picture inilah yang mengungkapkan kepada orang yang melihat profile picture tersebut, something mengenai diri Saudara. Itulah tujuannya. Saya juga suka pakai analogi, bahwa menjadi gambar dan rupa Allah itu bukan jadi cermin, tapi jadi kaca spion. Bedanya apa? Cermin itu dua pihak, Allah ngaca sama cermin, Allah ingin melihat sesuatu dalam diri kita, sesuatu yang mirip Dia. Itulah dua pihak cermin. Tetapi menjadi gambar dan rupa Tuhan bukanlah jadi cermin, melainkan menjadi kaca spion; dan kaca spion selalu ada tiga pihak, ada saya, ada kaca spion, dan ada truk di belakang. Tujuannya selalu adalah supaya saya, lewat kaca spion, bisa melihat si truk. Jadi selalu tiga pihak seperti ini dalam kaca spion. Demikian profile picture juga sama: ada saya si user, ada profile picture, ada user-user lain yang melihat profile picture itu dan lewat profile picture itu mereka mengenal saya. Jadi, Saudara melihat manusia itu peran panggilannya apa? Manusia harus jadi kaca spionnya Tuhan kepada dunia ini, itulah tiga pihaknya –ada Tuhan, ada kita si kaca spion, dan ada dunia ini.
Manusia adalah profile picture-nya Tuhan bagi dunia ini, maka desain awal manusia adalah menjadi perpanjangan tangan Tuhan bagi dunia ini. Kalau inilah desain awal manusia, antara peran Tuhan dan peran manusia jadinya tabrakan atau tidak? Tidak. Jadi misalnya Tuhan berkehendak untuk dunia/bumi ini bisa diatur sesuai bijaksana ilahi-Nya, maka Tuhan mengutus manusia untuk menjalankan tugas tersebut, memelihara taman Eden, berkuasa dan menguasai bumi. Saudara lihat, peran Tuhan dan peran manusia tidak ada tabrakannya sama sekali. Tuhan berkehendak, kehendak ini dijalankan di dunia, salah satunya lewat tangan manusia, gambar dan rupa-Nya. Inilah desain awal di dalam Alkitab.
Manusia tidak pernah diciptakan sebagai sesuatu yang perannya manusia 90% lalu Tuhan cuma 10%; atau kalau Tuhan 90% maka manusia cuma 10%. Awalnya tidak demikian; awalnya adalah Tuhan berkehendak 100% dan manusia berkehendak 100% juga. Tidak pernah tabrakan, karena manusia adalah profile picture-nya Allah. Tentunya kita tahu, manusia lalu jatuh dalam dosa, yaitu mereka menolak peran ini, mereka tidak mau cuma jadi profile picture sosmed, mereka mau jadi user-nya. Saudara bisa bayangkan kalau profile picture-mu mengatakan, “Aku memberontak, aku mau ambil tempatmu sebagai user”, tentu Saudara tertawalah, Saudara mungkin langsung hapus profile picture itu, Saudara ganti dengan profile picture yang lain, yang taat sama Saudara. Atau, mungkin bahkan Saudara tidak akan mau pakai sistem profile picture lagi, ‘ah sudahlah ini profile picture memberontak terus, saya ‘gak usah pakai profile picture lagi, saya pokoknya mau bertemu orangnya langsung saja, saya ‘gak pakai whatsapp lagi’ — Saudara buang itu semua karena kapok. Yang menarik, Tuhan tidak melakukan hal itu. Ini anehnya Tuhan, yaitu Tuhan lalu mau menyelamatkan si profile picture, padahal apalah artinya sebuah profile picture. Itulah manusia dihadapan Tuhan.
Tuhan lalu berjanji begini kepada si profile picture: Aku akan mendatangkan keselamatan bagi kamu melalui keturunan profile-profile picture yang sudah memberontak ini. Saudara lihat patternnya ntara peran Tuhan dan peran manusia, yaitu: “Aku mau mendatangkan keselamatan –ini kehendak-Ku– tapi caranya lewat profile picture yang sudah rusak ini”. Jadi, Tuhan ini berkehendak, kehendak ini mau dijalankan, tapi tetap saja kehendak ini mau dijalankan melalui tangan dan peran manusia yang sudah rusak itu.
Sekali lagi, peran Tuhan dan peran manusia itu tidak dihadirkan sebagai sesuatu yang bertabrakan. Peran Allah, ketika Allah bekerja mendatang keselamatan di bumi ini, itu bukan diberikan tanpa peran manusia. Justru yang aneh adalah bahwa setelah kejatuhan, Allah ini koq seperti menambah peran manusia, bukan cuma untuk mengatur bumi tapi bahkan menjadi bagian di mana Ia mendatangkan keselamatan-Nya, yaitu dengan melalui manusia, melalui keturunan perempuan. Inilah cerita Alkitab. Allah lalu melanjutkan cerita ini, Dia memanggil Abraham, Ishak, Yakub, Israel, Musa, Daud, lengkap dengan jatuh bangunnya masing-masing, karena meskipun keturunan profile picture ini mulai mengenal siapa diri Tuhan, tetap mereka profile picture yang sudah jatuh dalam dosa, sudah rusak sehingga banyak ketidaktatannya kepada Tuhan. Namun Tuhan terus ngotot pake cara ini. Kenapa ya? Suatu hari kemudian ini menjadi jelas, yaitu karena suatu hari Tuhan ini berinkarnasi menjadi profile picture; dan inkarnasi-Nya adalah menjadi profile picture keturunan dari profile-profile picture yang rusak itu. Jadi Saudara lihat, proyek keselamatan ini akhirnya terjadi bukan ketika Tuhan menghapus peran profile picture, bukan ketika Tuhan membuang peran profile picture.
Keselamatan terjadi ketika Tuhan ini menebus peran profile picture –melalui peran profile picture. Peran profile picture sebagai perpanjangan tangan Tuhan itulah klimaks keselamatan. Jadi Tuhan mendatang keselamatan lewat apa? Lewat tangan profile picture-Nya –seperti desain awalnya, ada peran Tuhan dan peran manusia (ini sebabnya kita insist Yesus Kristus itu 100% Allah tetapi juga 100% profile picture –100% manusia maksudnya). Saudara lihat, bahkan dalam keselamatan, peran manusia tidak bertentangan dengan peran Tuhan, peran manusia tidak pernah dibuang, peran manusia malah dikembalikan sejalan dengan peran Allah. Itulah keselamatan. Hopefully dengan pakai model cerita ini, Saudara jadi bisa mengikuti.
Lanjut ceritanya. Profile picture yang klimaktik ini, yaitu Yesus Kristus, kemudian melahirkan generasi profile-profile picture yang baru, bukan melalui keturunan daging dan darah melainkan melalui roh dan kebenaran. Inilah yang namanya Gereja, yaitu komunitas-komunitas yang isinya profile-profile picture yang baru ini, yang diubah sedikit demi sedikit, dari rusak jadi semakin menyerupai diri user-nya, Allahnya. Lewat apa? Lewat mereka semakin mirip dengan Profile picture yang sejati tadi, Yesus Kristus. Bagaimana caranya? Dengan dilahirbarukan ke dalam komunitas profile picture yang baru ini. Lewat apa? Lewat pertobatan, mengakui dosa, beriman kepada Yesus. Lewat apa lagi? Lewat percaya Dia sebagai Profile picture yang sejati. Dan, ini semua peran manusia bukan? Lalu bagaimana bisa, manusia-manusia atau profile-profile picture rusak ini menerima kehadiran Profile picture yang sejati, karena bukankah kalau Saudara profile picture yang rusak, yang sudah corrupted file-nya, lalu ada Profile picture yang sejati datang, Saudara merasa terancam, Saudara ingin mengenyahkan si Profile picture yang sejati itu? Dan, memang itulah yang terjadi.
Profile-profile picture yang rusak itu membunuh Profile picture yang sejati ini. Itulah yang terjadi. Jadi, kalau kita sekarang adalah profile-profile picture yang rusak, harusnya kita itu tidak akan mau mengakui dosa kita, harusnya kita tidak akan mau menerima Dia sebagai Profile picture yang sejati –sebagai anak Allah. Lalu bagaimana bisa? Inilah peran Roh Kudus. Allah memberikan Roh-Nya kepada profile-profile picture ini, dengan demikian bukan jasa mereka sendiri sebagai profile-profile picture yang rusak ini, bisa selamat.
Saudara lihat, pattern-nya tetap tidak berbeda, tetap mengikuti pattern-pattern yang sebelumnya. Keselamatan merupakan peran Tuhan, bukan jasa-jasanya si profile picture –namun datang melalui peran mereka. Ada manusia yang mengabarkan Injil, maka ada yang selamat. Ada manusia yang mendengar Injil, maka selamat. Ada yang hatinya tertusuk oleh Injil, maka selamat. Ada yang bertobat, ada yang mengaku dosa, ada yang percaya kepada Yesus Kristus. Koq bisa? Itu jasa Allah, itu semua pekerjaan Roh Kudus. Tanpa itu, tidak mungkin orang mau bertobat. Namun Saudara lihat, semua pekerjaan Roh Allah ini datang melalui peran manusia. Bukan jasa manusia, itu jasa Allah, tapi datang melalui peran manusia. Pendeta Agus Marjanto mengatakan, doktrin predestinasi itu bukan meniadakan peran manusia, doktrin predestinasi itu meniadakan jasa manusia. Dua hal ini Saudara harus bedakan. Kenapa Tuhan pakai cara ini, adalah karena itulah desain awalnya Tuhan menciptakan profile picture, untuk melakukan sesuatu melalui si profile picture. Kalau bahasa bagusnya, Tuhan bikin profile picture, to do something through it and not just to it. Allah menciptakan manusia untuk melakukan sesuatu melalui manusia, bukan cuma untuk melakukan sesuatu kepada si manusia. Jadi kalau itu desain awalnya, maka masuk akal bahwa waktu diselamatkan juga pakai cara itu. Itulah keselamatan yang sejati. Waktu Tuhan menyelamatkan manusia secara sejati, yang namanya keselamatan bukanlah cuma memindahkan kita dari tempat jelek ke tempat bagus, sama juga seperti kejatuhan juga bukan semata-mata yang tadinya tinggal di Pondok Indah lalu sekarang jadi gelandangan di tempat jin buang anak, lalu keselamatan berarti pindah lagi ke Pondok Indah. Bukan demikian.
Kejatuhan adalah kita menolak peran awal kita, kita tidak mau eksis jadi perpanjangan tangan Allah di dunia ini, yang seharusnya merupakan purpose kita dicipta, yang membedakan kita dari ciptaan yang lain. Lalu ketika Saudara diselamatkan, berarti dipulihkannya peran ini, dipulihkannya tugas ini. Kalau seandainya Tuhan menyelamatkan kita tanpa pakai peran kita, maka Dia sebenarnya bukan sedang menyelamatkan, Dia cuma pindahin kita ke folder lain, kita simply belum dihapus tapi tidak diselamatkan, karena kita tidak digunakan sebagaimana mestinya.
Misalkan Saudara menciptakan pensil; pensil tujuannya apa? Buat menulis. Lalu Saudara pake pensil ini, dan pensilnya cepat rusak, dipakai menulis sedikit, patah, menulis sedikit, patah. Lalu Saudara berpikir, bagaimana ya pensil rusak kayak begini, mau buat apa, ya sudahlah, saya selamatkan deh, saya ‘gak buang, saya simpan saja, tapi saya ‘gak pakai lagi. Apakah itu keselamatan? Tentu tidak, karena kalau Saudara tidak digunakan sebagaimana mestinya, itu bukan keselamatan. Keselamatan adalah ketika Saudara dipakai lagi, ketika Tuhan ini somehow ngotot, meskipun pensilnya patah terus, Dia terus berusaha pakai pensil itu untuk mendatang keselamatan; sampai suatu hari Dia bisa –lewat keturunan pensil-pensil ini– berinkarnasi menjadi pensil yang sempurna, dan lewat itu Dia melahirkan generasi pensil yang baru, yang sekarang menjalankan tugas menulis sebagaimana mestinya. Itulah keselamatan. Itu sebabnya orang mengatakan, keselamatan itu bukan akhir perjalanan orang Kristen, tapi simply permulaan perjalanan orang Kristen. Kenapa? Karena keselamatan adalah restorasi. Keselamatan adalah dipulihkannya kita menjadi orang-orang yang berperan di atas dunia ini, yang menjalankan kehendak Tuhan sesuai hatinya Tuhan.
Keselamatan tidak membuatmu kehilangan peran, keselamatan meniadakan jasa-mu. Keselamatan tidak meniadakan peranmu, keselamatan malah mengembalikan peranmu yang sejati itu, yaitu peran untuk melakukan/menjalankan kehendak Tuhan di bumi seperti di surga. Sekali lagi Saudara lihat, peran Tuhan dan peran manusia tidak pernah ditabrakan, kecuali karena dosa.
Oke, sekarang sudah dapat gambaran Alkitabnya, konsep dasarnya. Sekarang kita akan jawab tiga pertanyaan tadi. Yang pertama: mohon dijelaskan kembali bagaimana penginjilan dilakukan apabila Tuhan sudah menetapkan umat yang terpilih. Maksud pertanyaannya, Tuhan sudah berkehendak, lalu apa peran kita jadinya dalam menginjili kalau Tuhan sudah menetapkan?
Saudara, justru karena Tuhan sudah menetapkan kaum pilihan, maka sekarang kita melakukan penginjilan, karena peran kita adalah menjalankan ketetapan Tuhan tersebut. Waktu Tuhan menetapkan orang yang dipilih, Tuhan tidak otomatis menjalankan semuanya sendiri. Tuhan melibatkan kita. Tuhan memakai kita, anak-anaknya, profile-profile picture-Nya. Kenapa? Karena Tuhan ini adalah Tuhan yang mengasihi. Ini Tuhan yang melibatkan Saudara. Kalau Tuhan tidak mau melibatkan kamu dan saya, itu berarti Tuhan tidak mau lagi kerja melalui kita, Dia kapok dengan kita, Dia pakai sistem lain –dan itu berarti Dia tidak mengasihimu.
Sekali lagi, Saudara selamat bukan karena jasamu, kita aminkan itu; tapi kalau Saudara juga selamat tanpa peranmu, maka itu bukan keselamatan, karena Saudara tidak dipakai menjadi alat, tidak dipakai menjadi saluran berkat. Saudara sekadar disimpan di folder backup, tidak dihapus. Sekadar belum di-delete saja, tapi tidak digunakan lagi. Itu bukan keselamatan. Jadi, kenapa penginjilan dilakukan, sementara Tuhan sudah menetapkan, adalah karena Tuhan menetapkan kita untuk tidak cuma ongkang- ongkang kaki, kita menjadi orang-orang yang menjalankan ketetapan tersebut.
Dari pertanyaan yang kedua mengenai predestinasi, apakah kemahatahuan Allah yang menentukan orang masuk surga atau neraka, dan jika iya, buat apa ada free will. Saudara, kenapa perlu free will? Karena yang namanya free will, itu adalah dasar untuk manusia bisa menjalankan peran profile picture tadi, bisa menjalankan peran gambar dan rupa Allah ini. Itulah requirement-nya. Waktu Allah mau bekerja melalui kita, Dia tidak mau melakukannya seperti kita melakukan hal-hal lain. Kita merasa, ‘sudahlah Tuhan, jadikan saya robot saja, yang Engkau mau ‘kan ketaatanku, yang Engkau mau ‘kan hasil kerjaku; saya juga kayak begitu. Kalau saya punya bawahan, saya punya perpanjangan tangan, yang saya expect adalah dia menjalankan sesuai apa yang saya mau, maka semakin sedikit kehendak dalam dirinya, semakin bagus, sedangkan kalau bawahan yang punya banyak mau, males ah, saya maunya bawahan yang nurut. Itulah cara kerja yang baik, Tuhan harusnya juga kayak gitu. Tuhan ‘gak usah pakai free will sayalah, Tuhan enyahkan itu; saya juga capek sama free will saya, akhirnya berdosa terus. Kalau saya jadi robot, itu ‘kan lebih enak. Kenapa sih mesti ada free will kalau Tuhan menetapkan??’ Kita seringkali pikir kayak begitu. Tapi Tuhan bukan bosmu, Tuhan tidak pakai caramu menjadi bos. Tuhan waktu bekerja, Dia bukan hanya berfokus kepada hasilnya, Dia sangat peduli kepada orang-orang yang dipakai-Nya. Itu sebabnya dalam Alkitab, gambaran relasi kita dengan Tuhan bukanlah bos dan karyawan, melainkan Bapak dan anak. Kalau bapak ingin bekerja sesuatu melalui anaknya, tujuannya itu tidak pernah terutama hasil kerjaannya. “Eh gue capek ngeliat kamar lu berantakan terus. Bersihin! Pokoknya mesti bersih. Kalau ‘gak bersih, lu gue usir ke pantai asuhan”, bapak gila kalau kayak begini –meski mungkin kadang-kadang dalam hit of the moment kita bisa jadi ngancem kayak begitu. Tapi kenapa seorang bapak suruh anaknya membersihkan kamar? Supaya kamarnya bersih. Kita suruh anak kita bersihin kamar demi si anak. Demi si anak belajar kerapian, keindahan, itulah seorang bapak yang baik. Saya ajak anak saya membiasakan dia berdoa. Kenapa? Apakah karena saya terutama percaya urusan gaib, kalau anak saya ‘gak doa makan, nanti makanannya akan beracun dsb.? Tentu tidak; saya membiasakan mereka berdoa supaya mereka belajar mengucap syukur, supaya mereka belajar melihat apa yang tidak keliatan dibalik apa yang keliatan. Tujuannya adalah ke anak. Allah juga demikian. Itu sebabnya Allah bekerja memakai orang-orang yang jatuh bangun. Kalau Allah fokusnya kepada hasil kerjanya, ngapain Dia pake orang-orang seperti kita, yang kerjanya ‘gak beres, yang jatuh bangun, yang seperti Abraham hidupnya naik turun, yang seperti Petrus jatuh bangun, yang seperti Daud, dsb. Ngapain dia pakai Yunus? Lebih gampang Tuhan menginjili pakai ikan besar, dibandingkan pakai Yunus. Ikan besar itu menurut, sedangkan Yunus membangkang habis-habisan. Jadi berarti tujuan Tuhan bukan hanya Niniwe; tujuan Tuhan pake Yunus adalah demi Yunus juga.
Kita seringkali tidak sadar ini. Kita pikir disuruh berperan di hadapan Tuhan, dalam kerajaan Tuhan sebagai profile picture itu beban. Saudara, itu adalah privilege. Dia mau kita merasakan nikmatnya melakukan something bagi orang lain karena kasih, bukan karena hasil akhir. Dan, itu perlu free will. Saudara tidak bisa melakukan sesuatu karena kasih tanpa free will. Itu sebabnya Dia memberikan free will, karena Dia mau kita belajar mengasihi. Sukacita yang terbesar bukanlah sukacita yang datang ketika kita taat secara dipaksa. Sukacita yang sejati datang ketika kita taat secara rela. Minta maaf ya, saya pake ilustrasi ini: Saudara menikmati seks itu tertinggi waktu apa; bukan waktu Saudara dipuaskan, tapi waktu pasanganmu boleh terpuaskan. Itu sebabnya gambaran pornografi misleading, karena dalam pornografi yang terutama adalah kepuasan saya. Sebaliknya, kehidupan seks antara suami istri yang saling mengasihi, kenikmatan tertinggi adalah ketika lewat saya dia boleh merasakan kenikmatan; dan ini tidak bisa lahir tanpa free will. Tuhan itu memberikan kepada kita free will karena Dia mau kita mengalami sukacita seperti itu, waktu kita bekerja mendatangkan kehendak-Nya karena kita mengasihi Dia, bukan dipaksa. Sukacita menjadi manusia jauh lebih tinggi dibandingkan sukacita jadi robot; robot bahkan tidak sukacita, ataupun kalau ada, sukacitanya sukacita hasil programming.
Pertanyaan yang ketiga, bagaimana menyeimbangkan pemikiran terhadap predesinasi dan dosa manusia? Karena manusia yang tidak terpilih, apakah mereka akan tetap dihakimi atas perbuatan mereka padahal Allah tidak mempertobatkan mereka? Jadi pertanyaan pertama tadi, urusan peran manusia dalam penginjilan; yang kedua, peran manusia secara umum, kehendak bebas; yang ketiga ini, peran manusia dalam tanggung jawab akan dosa dan pemberontakan mereka. Dalam hal ini sebenarnya jelas mereka akan dihakimi, tapi penghakimannya bukan terutama karena mereka tidak bertobat.Tentu saja mereka tidak mampu bertobat kecuali Roh menggerakan mereka, jadi penghakimannya bukan terutama karena itu. Penghakimannya karena apa? Karena mereka itu profile-profile picture yang rusak. Itu yang jadi dasar penghakimannya. Karena mereka profile picture yang menggunakan kehendak bebas mereka bukan untuk melayani Allah, tapi untuk melawan Allah. Inilah ceritanya dari awal itu, semua manusia sudah melawan Allah.
Semua manusia itu sudah menjadi profile-profile picture yang rusak. Ada sebagian diselamatkan, ada sebagian dihakimi, lalu pertanyaannya kenapa ada sebagian dihakimi? Saudara salah, bukan itu harusnya pertanyaannya. Pertanyaannya adalah kenapa ada sebagian diselamatkan. Kalau orang tanya, kenapa orang-orang dihakimi, mereka ‘kan ‘gak bertobat bukan karena mereka tapi karena Allah tidak mempertobatkan mereka, berarti Saudara pikir sebelum urusan pertobatan terjadi, semua orang netral dihadapan Tuhan, semua orang bisa baik bisa jahat, bisa selamat bisa tidak selamat, orang-orang ini innocent. Lalu mereka bertemu dengan Tuhan, dan ada yang selamat karena jasa Tuhan, ada yang tidak selamat karena tidak diberikan Roh Kudus. Akhirnya Saudara melihat ‘wah, celaka ya, tadinya level sekian, lalu jadi turun; kalau kayak begini lebih baik tidak usah’. Tapi tidak demikian, Saudara; tadinya semua orang di bawah, tadinya itu semua orang rusak, tadinya semua orang patut dihakimi. Saudara dan saya sama saja. Kalau malaikat maut datang ke Mesir. Kalau orang-orang Israel tidak membubuhi darah anak domba di depan pintu mereka, mereka juga akan mati seperti orang Mesir; sementara orang-orang Mesir yang ikut-ikutan membubuhi darah anak domba di depan pintu mereka seperti orang Israel, mereka ikut diselamatkan. Ini berarti poinnya adalah: semua orang itu patut dihakimi, karena semua dari kita adalah profile picture yang sudah rusak.
Kita semua menggunakan kehendak kita bukan untuk melayani Allah, tapi untuk melayani diri. Semua orang melakukan hal ini. Semua orang sudah jatuh. Maka yang Saudara perlu tanya, bukan mengenai kenapa sebagian dihakimi, melainkan kenapa ada yang diselamatkan, kenapa saya yang harusnya mengalami nasib yang sama dengan orang-orang yang lain itu lalu diselamatkan. Kenapa saya tidak dibiarkan binasa seperti selayaknya harusnya saya dibinasakan? Saya ini profile picture yang rusak, jadi apalagi sisanya jikalau bukan untuk dihapus dan dibuang ke recycle bin. Harusnya demikian.
Lalu kenapa Tuhan tidak menyelamatkan sebagian? Kita merasa itu tidak adil; kalau Tuhan menyelamatkan saya, maka harusnya menyelamatkan mereka jugalah. Saudara, sudah banyak argumen dalam hal ini, bahwa anugerah itu tidak boleh paksakan. Kalau Saudara di lampu merah melihat 10 pengemis, Saudara mau berikan uang kepada satu orang, apakah jadinya Saudara harus berikan kepada semua juga? Tidak ‘kan. Saudara tahu koq, ini anugerah, dan mereka tidak ada hak untuk mendapatkan itu, anugerah tidak boleh dipaksakan, kalau dipaksakan namanya bukan anugerah. Saudara tentu tahu argumen seperti ini; jadi Allah bukan tidak adil.
Kalau Saudara masih tidak terima, baca sekali lagi Roma 9 ayat 20. “Siapakah kamu, hai manusia? Mengapakah kamu membantah Allah? Dapatkah yang dibentuk berkata kepada yang membentuknya, mengapa Engkau membentuk aku demikian? Tuhan menciptakan beberapa barang, ada untuk tujuan yang mulia, ada untuk tujuan yang kurang mulia. Lalu apakaah si tukang periuk ini salah, tidak adil? Saudara sendiri juga kayak begitu koq. Waktu Saudara menggunakan barang-barang, ada barang luxury dalam hidup ini, ada barang-barang yang Saudara jadikan penerima eek-mu, namanya toilet. Kalau itu tidak adil, jadi konyol. Yang dibentuk tidak bisa berkata kepada yang membentuk, kenapa engkau membentuk kami demikian; yang ada adalah kita harusnya bertanya, “Tuhan why me? Kenapa Tuhan memilih saya? Saya sama hancurnya dengan orang lain, mungkin bahkan lebih hancur.” Dan, jawabannya cuma satu: grace alone, karena Tuhan adalah kasih.
Saya harap dengan konsep cerita Alkitab dari awal sampai belakang, Saudara bisa melihat peran Tuhan dan peran manusia dalam Alkitab tidak pernah tabrakan, peran manusia dan peran Tuhan justru awalnya sejalan, dan desain awalnya sejalan. Ketika Tuhan berkehendak, manusia ada untuk menjalankan kehendak tersebut. Ketika Tuhan berkehendak 100%, manusia harusnya berkehendak 100% juga. Itu kesempurnaan yang kita lihat dalam diri Yesus Kristus, 100% Allah, 100% manusia, tidak ada pertentangan. Dan, itulah gambaran yang kita mau dibentuk menjadi semakin hari semakin mirip dengan-Nya.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading