Kalau Saudara membaca Nyanyian Pujian Hana, Saudara mungkin teringat ada nyanyian pujian yang mirip sekali, yaitu Nyanyian Pujian Maria (Magnificat). Sedemikian miripnya sampai-sampai ada teolog liberal, misalnya seperti Hermann Gunkel, yang mengatakan bahwa sebetulnya waktu Lukas mencatat Nyanyian Pujian Maria, itu bukan suatu peristiwa historis melainkan fiktif, tidak pernah terjadi tapi diambil dari Nyanyian Pujian Hana, diubah-ubah dan dikemas demikian rupa lalu dicatat seolah-olah Maria pernah mengatakan kalimat-kalimat itu. Ini pengamatan yang menarik, meski kita tidak setuju kalau dikatakan bahwa Nyanyian Pujian Maria itu fiktif, kita percaya itu betul-betul terjadi secara historis. Namun setidaknya, dari pengamatan tersebut kita jadi sadar memang ada kemiripan antara Nyanyian Pujian Hana dengan Nyanyian Pujian Maria. Maksudnya, waktu Maria memuji Tuhan, itu bukan tanpa tradisi yang ada di belakang. Waktu Maria memuji Tuhan, itu bukan suatu nyanyian baru yang sama sekali tidak pernah ada –tidak ada kaitannya dengan tradisi, out of nowhere, selalu baru setiap pagi, dan tidak pernah orang mengatakan seperti itu– melainkan ada kaitannya dengan tradisi, ada kontinuitas pekerjaan Tuhan di masa lampau, yang terus menyambung ke masa yang baru, dan seterusnya.
Sebaliknya, kalau kita melihat di dalam perspektif Nyanyian Pujian Hana, kita juga bisa mengatakan bahwa jika Maria sampai memuji dengan meminjam konsep yang ada di situ dan membangun di dalam tradisi nyanyian pujian yang pernah dinaikkan oleh Hana, maka berarti Nyanyian Pujian Hana ini bukan sekedar ucapan syukur yang sifatnya personal dan individual, melainkan sifatnya kolektif. Ini bukan nyanyian pujian Hana saja, ini nyanyian pujian Israel sebetulnya. Pengharapan di dalam perspektif Kristen, tidak boleh kita batasi hanya di dalam perspektif personal atau individual.
Dalam bagian ini, kalau Saudara bandingkan dengan masa Renaissance pada zaman Reformasi, gambaran yang kolektif merupakan penggambaran yang alamiah. Luther sampai-sampai musti menekankan bahwa bukan cuma kolektif tapi juga ada perspektif individual; Yesus bukan cuma mati bagi Gereja-Nya, tapi Yesus juga mati bagiku, maka ini berarti individual. Jadi di zaman itu, sementara semua orang berpikir bahwa kolektif dan komunal itu biasa, Tuhan membangkitkan orang-orang seperti Luther. Waktu Martin Luther menekankan pentingnya aspek individual dalam kehidupan Kristen, saya percaya dia sedang mengimbangi satu zaman yang sangat menekankan komunal, sangat menekankan kolektif, sampai-sampai individu seolah tidak ada tempatnya. Tapi kemudian setelah kita masuk zaman Reformasi, zaman Barok, zaman Rasionalisme, zaman Abad Pencerahan, dsb., lalu masuk kepada Eksistensialisme, penekanan pada individu/ personal makin menjadi-jadi sampai kita lupa bahwa ada yang namanya kolektif/ komunal. Sekarang ini, kita di zaman Post Modern, orang lebih banyak menekankan aspek komunitas daripada individual/ personal karena orang sudah terlalu jenuh dengan pembicaraan individual/ personal.
Waktu kita membaca Nyanyian Pujian Hana, ditambah lagi zaman kita sekarang ini banyak orang kena penyakit narsisistik, kita lebih lagi harus hati-hati terhadap aspek individual/ personal saja. Memang betul di sini adalah pergumulan yang sangat personal, yaitu Hana tidak punya anak. Tidak punya anak itu sedih; dan lebih sedih tidak punya anak pada saat itu dibandingkan tidak punya anak di zaman sekarang. Ada kultur yang orang-orangnya tidak mau punya anak –bukan tidak bisa punya anak—karena kalau punya anak sepertinya jadi tidak bisa menikmati pernikahan, tidak bisa travelling, repot; anak membatasi kebebasannya. Atau yang punya anak terus berpikir kapan anak ini besar, lulus, bisa kerja, dan cepat-cepat lepas dari mereka karena repot sekali dsb. Tapi banyak juga orang –khususnya dalam kultur Indonesia– yang menikmati punya anak, bahkan banyak orang yang di dalam pergumulan karena tidak bisa punya anak. Mandul itu satu keadaan yang sedih; tapi sesedih-sedihnya orang sekarang yang tidak punya anak, itu tidak sesedih orang di zaman dulu di Israel yang tidak punya anak, karena mandul dianggap seperti kena kutuk. Sekarang, kalau seseorang mandul, orang tidak berpikir dia kena kutuk, tapi pada zaman Hana hidup, orang memang berpikir seperti itu. Dan Hana bergumul di hadapan Tuhan, dia menjadikan Tuhan sumber pertolongan dan sumber penghiburannya.
Kadang-kadang Tuhan mengizinkan kita berada dalam penderitaan, pergumulan, kekecewaan, keadaan yang sulit, dsb. Di situ setidaknya kita bisa belajar berharap, karena waktu kita di atas, biasanya kita kehilangan pengharapan. Kalau semuanya sudah di depan mata, sudah kelihatan, saya mau berharap apa lagi?? Dalam Firman Tuhan dikatakan, kita berharap kepada apa yang kita tidak lihat (unseen); kalau semua sudah kita lihat, mau harap apa lagi?? Waktu dalam kehidupan ini ada yang belum terlihat, yang belum ada, maka di situ kita belajar berharap.
Demikian juga Hana belajar berharap kepada Tuhan. Dia tidak memaki-maki Tuhan, tidak marah-marah kepada Tuhan, tapi dia menaikkan ratapannya kepada Tuhan. Bahkan ketika Imam Eli mengatakan kalimat memberkati –yang mungkin cuma rutinitas–, hal itu ditangkap sebagai satu berkat yang begitu bermakna untuk Hana. Imam Eli itu bukan imam yang baik, bukan imam yang takut akan Tuhan; dia banyak sekali kelemahannya, sampai Tuhan akhirnya membuang anak-anaknya dan membuang dia juga. Tapi waktu Imam Eli mengatakan kalimat penghiburan, Hana tidak melihat sempurna atau tidak sempurnanya Imam Eli, Hana menerimanya sebagai Firman Tuhan yang menghibur dirinya.
Orang yang bergumul karena tidak punya anak, sementara dia juga menyaksikan suaminya memiliki istri yang lain dan punya anak lalu menghina serta menyakiti dirinya, dia betul-betul penuh dengan kepedihan. Kemudian Tuhan mendengar doanya karena Hana meminta dari Tuhan; Tuhan memberikan yang dia minta. Anak itu dinamai Shemu’el, artinya ‘diminta dari Allah’ (Samuel). Samuel adalah seorang yang dipakai Tuhan luar biasa; kanonisasinya dari Tuhan sendiri. Di dalam Perjanjian Lama, waktu Tuhan begitu kesal dengan Israel, Dia sampai mengeluarkan kalimat: “Sekalipun di sini ada Musa dan Samuel yang berdoa (untuk melerai Tuhan yang sedang murka), Aku tetap tidak aan mendengarkan.” Kalimat itu penting; dari kanonisasinya Tuhan, paling tidak kita tahu bahwa pendoa syafaat terbaik sepanjang sejarah Perjanjan Lama adalah dua orang ini, Musa dan Samuel. Dan yang mengatakan bukan Daud, bukan Salomo, bukan Yeremia, bukan Yesaya, melainkan Tuhan. Samuel seorang pendoa syafaat yang luar biasa dipakai Tuhan, sangat diberkati Tuhan, dan dia seseorang yang diminta oleh Hana. Hana diberikan dari tangan Tuhan, dan dia menerimanya.
Kita bisa belajar apa dari Nyanyian Pujian Hana ini? Banyak, bahkan bukan cuma dari nyanyian itu saja. Kita tahu, orang yang dalam pergumulan sulit mendapatkan sesuatu lalu akhirnya Tuhan memberikan, orang itu cenderung tidak bisa melepaskan karena hal tersebut sudah lama dimintanya. Ada keluarga yang bergumul untuk mendapatkan sesuatu –termasuk mendapatkan anak– lalu setelah Tuhan akhirnya memberikan, maka anak itu cenderung jadi dimanja. Dan itu sepertinya sangat natural. Tidak harus selalu soal anak tunggal, mungkin juga anak perempuan satu-satunya, mungkin anak laki satu-satunya, atau anak bungsu. Meskipun dalam Alkitab banyak juga anak bungsu yang dipakai Tuhan, seperti Daud, Habel, Yakub, tapi kita tahu banyak anak bungsu yang bermasalah. Dan yang menyebabkan problem tersebut bukan si anak bungsu, melainkan orangtuanya. Maka kita musti berhati-hati. Tapi secara manusia, mungkin kita pikir ‘yah, namanya juga pergumulan berat, sudah minta lama sekali akhirnya Tuhan beri, tentu saja orang jadi cenderung mempertahankan mati-matian karena dulunya tidak punya’. Ada juga orang yang bergumul dalam kehidupan secara ekonomi, waktu kecil miskin. Lalu ketika Tuhan memberkati, dia jadi takut sekali miskin, dia jadi luar biasa pelit dan sangat hitung-hitungan soal uang, padahal sudah tidak miskin lagi. Mengapa? Karena dia tahu dulunya miskin, lalu waktu mendapat pemeliharaan Tuhan, dia tidak menghayatinya sebagai pemberian Tuhan, maka dia pegang itu erat-erat.
Hana, kalau mau seperti orang-orang tadi, kita bisa maklum juga karena dia minta lama sekali dan akhirnya Tuhan memberikan. Jadi kalau dia mencintai Samuel habis-habisan, wajar saja. Tapi nyatanya tidak. Di dalam doksologinya (nyanyian pujian), bukan sekedar nyanyian yang ngomong tok, tapi suatu tindakan nyata. Orang seringkali mengatakan: “Orang Kristen memang tidak berdusta, mereka menyanyikannya saja” (Christian don’t tell lies, they just sing them) –ini teguran untuk orang Kristen, bahwa orang Kristen itu menyanyikan dusta. Maksudnya apa? Kita menyanyikan “di dunia dan di surga, tidak ada yang kuingini selain Engkau”, kalimat yang tinggi sekali, kalimat mazmur yang tidak mungkin salah; tapi kemudian Tuhan bilang: “Gombal!” Betulkah kita menyanyikan kalimat itu dari dalam hati kita, atau kita sedang menyanyikan kebohongan-kebohongan? Kalau seperti ini, memang lebih baik tidak menyanyi. Kalau kita integrated, kita menyanyi dan kita menjalankan nyanyian tersebut, seperti Hana.
Hana ini memuji Tuhan. Memuji berarti doksologi. Doksologi berarti meberikan kemuliaan kepada Tuhan. Memberi kemuliaan kepada Tuhan berarti mengakui bahwa yang ada pada dirinya itu diterima dari Tuhan, bukan karena usahanya sendiri, dan karena itu dia mengembalikannya kepada Tuhan. Mengembalikan kepada Tuhan itulah doksologi. Dan doksologi dalam kehidupan Hana adalah Hana menyerahkan Samuel ke Bait Suci.
Saudara mau tahu sampai berapa dalam pengertian kita akan sola gratia, yang bukan sekedar semboyan, apalagi semboyan 500 tahun sekali? Sola gratia berarti Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil. Kalau kita mengatakan sola gratia, berarti kita mengakui ‘ini saya terima dari Tuhan, karena saya terima dari Tuhan berarti ini milik Tuhan, maka waktu Tuhan mengambilnya kembali, terpujilah nama Tuhan’. Ini kalimat iman, kalimat pergumulan. Mengatakannya seperti gampang, menyanyikannya juga gampang, namun dalam kehidupan Hana kita melihat integrasi antara doksologi, antara puji-pujian yang dia nyanyikan, dengan yang dilakukan. Dia tidak mempertahankan erat-erat Samuel. Yang diminta dari Allah, diserahkannya kembali kepada Allah.
Abraham menyerahkan Ishak bukan tanpa pergumulan; tapi setelah diserahkan, Tuhan mengembalikan. Ini melambangkan Bapa yang menyerahkan Anak-Nya sendiri. Setelah diserahkan, apakah lalu Anak binasa tidak pernah bangkit selamanya?? Tidak. Kita merayakan kebangkitan. Kebangkitan itu termasuk juga kebangkitan penyerahan. Sacrifice bukan berakhir pada kematian, tapi pada kebangkitan. Sang Anak yang diserahkan bagi kita itu kembali kepada Bapa. Dan waktu Dia kembali kepada Bapa, Dia bukan kembali sendiri tapi Dia membawa kita semua. Dalam hal ini Alkitab malah memakai istilah ‘rampasan’; ini bahasa militer, bahasa orang yang menang perang. Dia membawa rampasan-Nya –maksudnya Saudara dan saya—kepada Bapa. Rampasan yang dikeluarkan dari dosa, yang tadinya kita terjerat di sana lalu dikeluarkan oleh Tuhan dan dikembalikan kepada Bapa. Bagaimana kita menghayati ini dalam kehidupan kita? Saya percaya, orang-orang Kristen yang hidupnya terus-menerus menyerahkan diri, termasuk juga menyerahkan segala sesuatu yang ada padanya –uang, talenta, rencana, impian, cita-cita, karir, keluarga—itulah orang yang betul-betul mengerti isi hati Tuhan. Tapi mereka yang terus mempertahankan kehidupannya, bukan cuma uang tapi segala sesuatu –perasaannya, mukanya, gengsinya, egonya, dsb.—dia semakin lama semakin kehilangan.
Maka waktu kita melihat Nyanyian Pujian Hana –"Hatiku bersukaria karena TUHAN”– ini bukan sukacita pribadi. Memang hatinya Hana bersukacita, tapi ini kolektif. Seperti kalau kita baca Mazmur ada istilah ‘aku/ ku’, itu tidak harus dimengerti secara individual/ personal melainkan juga bisa dihayati secara kolektif, yaitu Israel. Dalam bagian ini, Israel juga bisa beresonans; Israel yang tadinya mandul, tidak berbuah, lalu terjadi kebangkitan, ada buah yang dihasilkan, pengharapan yang baru, sebagaimana Yesus bangkit dari kematian, yang seperti keadaan mandul. Israel dibentuk dari cerita kemandulan seorang perempuan, yaitu Sara. Hana juga mandul. Dalam keadaan seperti ini, bagi Abraham dan Sara diberikan seorang Ishak, yang kemudian menurunkan Yakub/ Israel. Untuk Hana, diberikan seorang Samuel.
Samuel ini kepentingannya di mana? Waktu kita baca kitab Samuel, kita tahu isinya bukan tentang Samuel, tapi tentang kerajaan yang dibangunkan oleh Yahweh, yaitu kerajaan Israel. Nama kitabnya kitab Samuel, tapi ceritanya bukan cuma tentang Samuel, ada cerita tentang Saul yang diurapi jadi raja, juga tentang Daud. Maksudnya apa? Bahwa waktu Hana bersukaria, sukacitanya itu eskatologis, ada nuansa pengharapan yang dia tidak benar-benar mengerti sepenuhnya. Hana bahkan tidak tahu posisinya Samuel sampai di mana. Hana tidak tahu bahwa Samuel adalah salah satu yang bisa dikatakan hakim terbesar di Israel sebelum zaman raja-raja, hakim yang akan membimbing dan mengurapi baik Saul tapi juga terutama Daud. Jadi ada kepentingan Kerajaan Allah di sini; dan inilah nyanyian pujian Hana. Perspektifnya bukan individual/ personal, bahwa orang yang dulu disakiti, sekarang ternyata punya anak, lalu anaknya lucu, dinamakan Samuel, kemudian dia posting di Facebook, di Instagram, mulai berbangga diri karena dulu pernah diinjak-injak oleh istri yang lain itu, dsb. Itu bukan nyanyian pujian Hana tapi lebih mirip kondisi kita yang narsisistik. Kita berputar terus di dalam pergumulan pribadi, dalam kesusahan pribadi, lalu akhirnya waktu bersukaria, sukarianya juga sukaria pribadi. Ada orang yang posting di Facebook selalu cuma urusan anaknya sendiri, keluarganya sendiri, terus-menerus berputar di situ seakan dalam kehidupannya tidak ada yang lain kecuali urusan keluarganya; kalau kesulitan, ya, kesulitan keluarganya; kalau sukaria, ya, sukaria keluarganya. Dia tidak tertarik bicara tentang keluarga lain; tidak ada perspektif keluarga lain, apalagi perspektif Kerajaan Allah.
Jangan lupa, kita berdoa Bapa Kami: “Datanglah Kerajaan-Mu”, dan dalam konteks visi Kerajaan Allah ini, kita mengatakan: “Berilah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya” –yang lapar bukan cuma saya, orang lain juga lapar. Inilah Kingdom of God, bukan kingdom of mine. “Ampunilah kesalahan kami”, kita ini orang-orang yang bersalah satu sama lain, kita musti saling mengampuni; inilah Kingdom of God. Bukan cuma kesalahan saya tok yang diampuni, tapi saya sendiri tidak pernah bisa mengampuni kesalahan orang lain; dan juga bukan cuma saya tok yang mengampuni orang lain, saya sendiri juga orang berdosa yang perlu diampuni oleh orang lain. Waktu kita berdoa Bapa Kami dan sampai pada kalimat-kalimat yang di bawah, jangan lupa kalimat yang di atas mengatakan “Datanglah Kerajaan-Mu”, maksudnya bahwa kita membaca doa Bapa Kami ini bukan dalam perspektif individual/ personal saja melainkan di dalam perspektif komunal –perspektif Kerajaan Allah.
Orang mandul, kemudian punya anak, itu bukan pengalaman sehari-hari di Israel, sebagaimana juga orang bangkit dari kematian bukanlah hal sehari-hari seperti matahari terbit. Ini bukan hal biasa, ini gambaran yang sama sekali tidak bisa kita katakan ‘rutinitas’ di dalam Israel, sebagaimana juga kebangkitan Kristus bukan rutinitas. Ini sesuatu yang seperti menerobos keadaan zaman yang tidak ada pengharapan, mandul, tidak berbuah, lalu tiba-tiba ada kejadian itu –seorang anak diberikan, Yesus dibangkitkan dari kematian. Maksudnya apa? Dalam gambaran seperti ini, kita jadi menyadari bahwa ini betul-betul pemberian Tuhan. Keadaan yang bisa berbuah (fruitfulness) itu adalah anugerah dan pemberian Tuhan, bukan karena kita kerja keras. Dan karena itu, Hana bisa bersukaria –“Karena Tuhan, hatiku bersukaria.” Hana tidak bilang ‘hatiku bersukaria karena ada Samuel’. Kita tidak baca di sini kalimat-kalimat yang sibuk membicarakan Samuel, sibuk membicarakan kesenangan hatinya; yang dikatakan Hana adalah "… karena TUHAN, tanduk kekuatanku ditinggikan oleh TUHAN”.
Selanjutnya ayat 1b “… mulutku mencemoohkan musuhku”; pertanyaannya: musuh yang mana? Saudara mungkin berpikir ‘ya, pastilah istri yang sialan itu yang selalu menyakiti hatinya Hana, si Penina brengsek itu; siapa lagi??’ Tapi saya percaya, bagian ini adalah tambahan belakangan, semacam kritik redaksi [dalam eksegese ada yang merupakan ‘kritik redaksi’, jadi kemungkinan besar bagian ini belum ada dalam Nyanyian Pujian Hana yang asli, tapi setelah dihayati Israel dalam konteks ‘kerajaan’, nyanyian ini di-kontekstualisasi-kan oleh Kerajaan Israel, dan sebagai kerajaan pastinya punya musuh; termasuk juga ayat 10 karena di zaman Hana belum ada raja]. Jadi kemungkinan besar ini adalah penambahan belakangan; waktu Israel membaca Nyanyian Pujian Hana, mereka mendapatkan cerita kehidupan mereka itu persis seperti cerita kehidupan Hana. Israel juga mandul, tidak berbuah, tandus, lalu berdoa minta kepada Tuhan.
Ada orang ‘mandul’ tapi tidak sadar. Dia tidak sadar kalau kehidupannya tidak berbuah, tidak bertumbuh, karena dia seperti batu –melihat tapi tdak melihat, mendengar tapi tidak mendengar, dst. Tetapi, berbahagia orang yang menyadari kadaan hidupnya yang menyedihkan seperti ini. Kalau kita membaca katekismus, di situ dimulai dengan cerita tentang keadaan manusia yang menyedihkan (miserable state of man), dan dari situ barulah bicara tentang pembebasan (deliverance) yang dilakukan oleh Tuhan.
Waktu Nyanyian Pujian Hana dibaca oleh Israel, mereka mendapati bahwa cerita kehidupan dan pergumulan mereka persis seperti kehidupan Hana. Mereka menyadari berada di dalam zaman yang tidak selalu berbuah, mandul. Jangan lupa, Sara itu mandul; dan Israel keluar dari kemandulan itu sebagai pemberian Tuhan, bukan karena Sara yang subur. Dan bukan cuma itu. Pasal-pasal dalam kitab Kejadian sebelum Abraham dipanggil Tuhan, berbicara tentang kemanusiaan yang sudah runtuh (the collapse of humanity). Pada zaman Nuh, Tuhan sudah murka dan terjadi peristiwa air bah; lalu Tuhan mulai lagi dengan satu keluarga yaitu Nuh, dengan satu perjanjian yang baru –Noah covenant. Setelah itu manusia mulai berkembang-biak, lalu jahat lagi, dan berakhir dengan cerita Menara Babel. Kemudian Tuhan membentuk satu bangsa dari Abraham, melalui Sara yang mandul. Jadi gambaran kemandulan bagi Israel itu sudah biasa. Maka waktu Israel membaca Nyanyian Pujian Hana, mereka bisa meletakkan identitasnya di dalam cerita Hana itu, sehingga nyanyian ini bukan cuma sekedar nyanyian Hana secara pribadi, tapi nyanyian yang bisa diresepsi oleh Israel, dinyanyikan oleh Israel, dan juga dinyanyikan oleh Maria pada akhirnya. Kebahagiaan Maria karena melahirkan Yesus Kristus pun pasti bukan kebahagiaan dirinya pribadi. Maria bukan mandul, dia bisa punya anak (setidaknya Alkitab tidak pernah mengatakan dia mandul). Memang Yesus bukan dilahirkan dari benih laki-laki (Yusuf), tapi kita tidak pernah membaca bahwa Maria mandul. Dalam keadaan seperti itu, Maria memang bisa punya anak (dari perspektif Protestan, kita percaya Yesus bukan satu-satunya anak Maria), tapi Yesus itu lebih daripada yang lain karena Yesus bukan cuma sukacitanya Maria secara peribadi, karena Maria sebetulnya tidak mandul, tanpa dinaungi Roh Kudus pun dia tetap bisa punya anak dan akan punya sukaria juga. Tapi mengapa Maria menyanyikan Gagnificat hanya dalam kelahiran Yesus, dan tidak memberikan nyanyian magnificat yang lain waktu saudara-saudara Yesus lahir? Karena waktu Yesus lahir, ini bukan cuma tentang Maria dan Yusuf, ini adalah tentang Israel, tentang Kerajaan Allah.
Kita bisa melihat keluarga kita di dalam 2 pilihan perspektif ini. Orang yang perspektifnya individual –‘ini keluarga-ku, maka aku bergumul di dalam urusan ‘aku dan keluargaku’– terus-menerus berputar di situ, maka waktu nanti ditolong Tuhan, dia akan tetap dalam perspektif yang sama. Tidak mungkin orang yang perspektifnya individual lalu setelah ditolong Tuhan, mendadak persektifnya jadi visi Kerajaan Allah. Kalau waktu dalam pergumulan kita sudah mengerti apa artinya visi Kerajaan Allah, maka waktu Tuhan memberikan, kita punya visi Kerajaan Allah. Hana waktu bergumul, bukan cuma bergumul ‘saya mandul, saya dihina, dsb.’, melainkan pergumulan Israel yang mandul tidak, tidak berbuah bagi Tuhan, keadaan Israel yang tidak bisa dinikmati oleh Tuhan. Lalu Tuhan memberikan anugerah-Nya. Di sinilah, ketika itu diberikan, Hana tahu, ‘ini bukan punya saya, ini kepunyaan Tuhan’, dan dia serahkan kembali kepada Tuhan, ini untuk Tuhan –ini urusan Kerajaan Allah. Dia pikirannya sangat terbatas; saya percaya, secara manusia dia belum mengerti apa artinya Kerajaan Allah, karena waktu itu pun belum ada raja. Tuhan belum memunculkan Saul, Daud, dsb., Hana tidak bisa berpikir jauh seperti itu. Tapi di dalam samar-samar, nyanyian pujiannya –“Ia memberi kekuatan kepada raja yang diangkat-Nya”– bisa dianggap kalimat nubuat yang diucapkan Hana tanpa dia sendiri sangat mengerti artinya (jika Saudara terganggu dengan teori ‘kritik redaksi’ bahwa ini kalimat yang ditambahkan belakangan).
Intinya, Hana sendiri terbatas dalam melihat apa yang akan datang. Dia melihat ke depan, ada Kerajaan Allah, tapi dia terbatas melihatnya; sama seperti Daud waktu menulis tentang Mesias, Daud juga terbatas pengertiannya. Nyanyian Hana ini bukan cuma nyanyian dari dirinya sendiri, tapi juga ada wahyu dari Tuhan yang diberikan kepadanya sehingga dia bisa menyanyi seperti itu. Sebagaimana juga Maria waktu menyanyikan Magnificat, itu terlebih dahulu diberikan kepadanya. Agustinus menekankan hal seperti ini, bahwa waktu kita memuji Tuhan, itu terlebih dahulu diberikan Tuhan –anugerah Tuhan– kepada kita sehingga kita bisa memuji Tuhan. Dalam hal ini bukan cuma kemampuan menyanyinya saja, tapi isinya/ kontennya juga pemberian dari Tuhan.
Jadi, karena pergumulan ini adalah pergumulan komunal, maka waktu dinaikkan secara doksologi, itu juga doksologi komunal. Saya ingin membenturkan hal ini dengan kultur kita yang narsisistik; seringkali kita mengatakan seperti ini: ‘saya pasang sesuatu di Facebook, tentang sukacita keluarga saya, lalu kalau orang lain melihat dan tidak ada resonans, maka persoalannya bukan ada pada saya yang narsis tapi pada dia yang iri hati, yang hatinya sempit’. Tapi masalahnya, giliran orang lain yang posting, kita juga tidak ada resonans. Jadi bagaimana? Yang sebenarnya adalah yang posting juga sombong, yang lihat juga iri hati; jadi orang sombong ketemu orang sempit hati, klop. Kalau orang sombong ketemu orang luas hati, masih lunak sedikit. Tapi kalau orang sombong ketemu orang sempit hati, ya sudahlah, gang buntu, tidak ada komunikasi. Jadi kalau kita bilang, bahwa kita menyatakan sukacita pribadi lalu orang lain tidak bisa beresonans dan persoalan ada pada dia yang sempit hati, nanti dulu; mungkin dia memang sempit hati, tapi mungkin juga karena kita terlalu narsisistik. Orang mau sempit hati atau tidak sempit hati, itu urusan dia dengan Tuhan, bukan urusan kita. Kita musti cek diri sendiri; waktu kita pesta, sukaria, senang-senang, ataupun waktu kita meratap, ini komunal atau individual? Ini ratapan dan sukacita narsisistik atau ratapan dan sukacita komunal, ratapan dan sukacita Kerajaan Allah?
Kita dipanggil Tuhan dari orang Kristen kanak-kanak yang tahunya cuma ratapan dan sukacita individual, lalu bertumbuh, sehingga ketika kita makin dewasa, waktu kita meratap, itu urusan Kerajaan Allah, waktu kita sukacita, sukacitanya Kerajaan Allah bukan sukacita ‘saya pribadi’. Dan saya percaya, kalau seseorang bersukacitanya sukacita Kerajaan Allah, orang yang sempit hati pun masih bisa beresonans. Kalau yang bicara di sini sombong, yang mendengar di sana sempit hati, tidak akan ketemu sama sekali. Tapi kalau orang sombong cerita-cerita kebaikannya, dan yang mendengar kesaksian orang sombong tersebut hatinya luas, dia masih bisa ikut bersyukur. Jadi orang yang hatinya luas masih bisa menolong orang yang sombong, masih bisa menerima kesaksiannya. Sekarang dibalik; yang di sana sempit hati, yang di sini bersaksinya Kerajaan Allah, maka itu bisa menolong orang yang sempit hati. Yang ideal tentu saja kalau yang mendengar luas hati, dan yang di sini sharing-nya Kerajaan Allah; dua-duanya beres. Tapi hidup ini tidak selalu beres. Kadang-kadang pendengar kita tidak beres, kadang-kadang kita yang sharing juga tidak beres.
Kalau sukacita kita sukacita Kerajaan Allah, itu bisa membuat orang sedikit beresonans meski hatinya sempit, karena ini bukan tentang saya yang tidak punya anak lalu punya anak dan senang sekali, melainkan ini tentang pengharapan Israel. Samuel ini tentang Israel, karena Samuel akan mendampingi raja-raja Israel. Ini cerita Kerajaan Allah. Dan Hana waktu bersukacita, dia bersukacita karena Tuhan, karena Kerajaan-Nya –di dalam keterbatasannya.
Kita juga punya keluarga, dan tidak ada keluarga yang tidak punya pergumulan. Kita melihat pergumulan keluarga kita itu apa sebetulnya? Misalnya anak kita nakal, kurang cinta Tuhan, malas, tidak suka belajar, lalu Saudara melihat kekuatiran apa di situ? Bahwa anak ini akan mempermalukan kita, orangtuanya? Atau melihat bahwa anak seperti ini bisa membahayakan Kerajaan Allah? Itu 2 perspektif yang berbeda. Saudara melihat di dalam perspektif ‘anak kalau seperti ini terus, dia tidak akan berbagian di dalam Kerajaan Allah, akan disisihkan oleh Tuhan karena tidak bertanggung-jawab hidupnya’, atau Saudara melihatnya ‘wah, anak saya koq begini, ini tidak memelihara dinasti keluarga saya kalau kayak begini’ dan putar-putar di situ terus dalam urusan diri sendiri? Pergumulan di dalam perspektif Kerajaan Allah atau pergumulan di dalam perspektif narsisistik?
Dan ini nyambung/ paralel dengan doksologi kita. Saya senang karena ini keluarga saya sendiri –putar-putar di situ terus—atau ini sukacita Kerajaan Allah yang mau saya share karena ini bukan cuma tentang saya? Hana mau mengajak kita bertumbuh ke sana. Waktu dikatakan “mulutku mencemoohkan musuhku”, itu maksudnya Israel. Memang Hana dilukai oleh Penina, tapi apakah Hana menganggap Penina itu musuhnya? Mungkin juga tidak. Tapi Israel pasti punya musuh, sebagaimana kita di dalam Kerajaan Allah juga punya musuh. Siapa musuh kita? Kalau belajar dari Surat Efesus, musuh kita bukan darah dan daging, bukan manusia, tapi penguasa-penguasa yang tidak kelihatan itu –Iblis, setan. Bagian dari penghayatan ‘kerajaan’, itu termasuk juga bahwa kita musti tahu siapa lawan, siapa musuh. Ada orang yang salah meng-identifikasi lawan; istri atau suami sendiri dianggap lawan. Orang ini tidak mungkin hidup di dalam realita Kerajaan Allah; Paulus jelas bilang bahwa musuh kita bukan darah dan daging.
Ada orang memperlakukan menantunya sendiri sebagai musuh, ada yang mengatakan musuhnya adalah mertua. Mertua dan menantu, apalagi yang perempuan, itu salah satu hubungan yang paling rumit; tapi di Alkitab kita membaca cerita Naomi dan Rut. Ini cerita redemption, dalam cerita hubungan menantu dengan mertua perempuan. Ini Firman Tuhan yang diberikan kepada kita supaya kita bisa belajar. Dalam hubungan yang serumit apapun, di dalam Alkitab ada redemption, ada cerita penebusannya. Dan salah satunya adalah kalau kita bisa meng-identifikasi dengan tepat musuh kita yang sebenarnya. Jangan yang bukan musuh, kita jadikan musuh; itu berarti kita berpolemik yang sia-sia karena sebenarnya orang itu bukan musuh kita. Kita harusnya merangkul, tapi kita perlakukan dia sebagai musuh, dst. dst. Kalau kita betul-betul ber-doksologi, betul-betul memuji Tuhan, di situ ada ketajaman/ kecermatan kita melakukan mapping/ pemetaan siapa musuh yang sebenarnya. Itu dimungkinkan terjadi waktu kita ber-doksologi.
Ketika dalam kehidupan tidak ada doksologi, kita cenderung jadi kacau. Yang seharusnya bukan musuh, kita perlakukan sebagai musuh. Itu menyatakan kehidupan kita kurang doksologi. Mengapa kurang doksologi? Karena kurang mengerti sola gratia. Waktu dalam pergumulan, tidak minta kepada Tuhan; atau kalau minta kepada Tuhan pun, itu untuk memuaskan keinginannya sendiri. ‘Kamu bukan minta sesuai kehendak Tuhan, tapi minta untuk memuaskan nafsumu sendiri; kamu berdoa minta itu untuk kepuasan nafsumu sendiri, kamu bukan berdoa seturut prinsip Kerajaan Alllah’, ini dikatakan dalam Surat Yakobus. Visi Kerajaan Allah ini luar biasa penting. Bahkan ada New Testament scholar yang mengatakan bahwa sebetulnya center dari Alkitab adalah Kerajaan Allah [dalam hal ini saya tidak tentu setuju]. Memang Kerajaan Allah itu satu topik yang luar biasa besar di dalam Alkitab; dan kita bisa membaca puji-pujian Hana ini dari perspektif Kerajaan Allah.
Ayat 2 mengatakan: “Tidak ada yang kudus seperti TUHAN, sebab tidak ada yang lain kecuali Engkau”. Di sini yang Hana lihat adalah ke-berlainan Tuhan, Tuhan yang tidak ada duanya, Tuhan yang kudus. Hana bukan sibuk terkagum-kagum akan kelucuan Samuel, dia tidak bilang ‘tidak ada yang lucu selain Samuel’. Tidak. Ini bukan tentang kelucuan Samuel, ini tentang kekudusan Tuhan. Dalam nyanyian puji-pujiannya, kita melihat Hana tidak tenggelam dalam pemberian yang Tuhan berikan, meskipun tadinya satu pergumulan yang berat. Dalam pergumulan yang berat, biasanya waktu ditolong Tuhan, kita tenggelam dalam sukacita itu karena Tuhan melepaskan kita. Waktu kita bergumul dan bergumul dalam sakit-peyakit, ketika Tuhan melepaskan, kita tenggelam di dalam sukacita kesehatan itu. Hana tidak tenggelam dalam sukacita memiliki anak yang namanya Samuel itu, Hana tenggelam dalam sukacita kekudusan Tuhan. Ini kehidupan yang teosentris –“Tidak ada yang kudus seperti TUHAN, sebab tidak ada yang lain kecuali Engkau dan tidak ada gunung batu seperti Allah kita.”
Selanjutnya, ada reversal motif (penjungkir-balikan) seperti yang sangat dirayakan dalam Injil Lukas; ayat 7-8 “TUHAN membuat miskin dan membuat kaya; Ia merendahkan, dan meninggikan juga. Ia menegakkan orang yang hina dari dalam debu, dan mengangkat orang yang miskin dari lumpur … .” Orang-orang yang rendah diangkat ke atas; kalau dalam Magnificat dikatakan: “yang kaya, pergi dengan tangan hampa”. Di dalam Kerajaan Allah, terjadi penjungkir-balikan ini karena Tuhan mau memulai komunitas yang baru. Mengapa Tuhan seringkali memakai orang-orang yang biasa-biasa saja, orang-orang yang sederhana, untuk masuk dalam Kerajaan-Nya, bukan bukan orang-orang elit/ high achiever yang bisa mencapai ini dan itu? Di dalam Gereja bukan tidak ada orang-orang seperti ini; tapi seperti dikatakan satu commentary, kalau gereja kita isinya cuma komunitas seperti itu, ini gereja gagal. Kalau Gereja isinya cuma orang-orang sukses seperti ini –dokter, lawyer, bussinessman, CEO, dsb.—orang-orang biasa jadi minder, ‘ini bukan komunitas saya, saya cuma tukang sapu’, jadi tidak ada tempatnya dalam komunitas seperti itu. Ini gereja gagal, karena bukan new community tapi old community. Dunia –the old community itu—memang seperti itu; dokter dengan dokter, lawyer dengan lawyer, bussinessman dengan bussinessman, tidak ada yang baru.
Tuhan memulai satu komunitas yang baru, ciptaan yang baru, yang lama sudah berlalu. Jadi kalau Gereja modelnya seperti yang lama lagi, itu ciptaan lama yang tidak ada bedanya. Waktu Tuhan memulai ciptaan yang baru, di situ ada pelacur, ada pengedar narkoba, ada koruptor. Lalu bagaimana? Bukannya lebih baik kita ketemu orang-orang bersih karena kita bangga dengan mereka? Tapi inilah komunitas yang baru. Bukan berarti kita merayakan keberdosaan, tapi penjungkir-balikan yang dikerjakan Tuhan; this is the new community bukan the old community.
“Tuhan mengangkat orang yang miskin dari lumpur, untuk mendudukkan dia bersama-sama dengan para bangsawan”. Inilah Perjamuan Kudus. Dalam Perjamuan Kudus, kita berkumpul bersama dengan those spiritual giants –Ishak, Yakub, Calvin, Luther, Thomas Aquinas, dsb. Kita, orang-orang biasa-biasa ini, satu meja dengan mereka. Waktu kita Perjamuan Kudus, itu bukan cuma di sini tapi persekutuan dengan orang pilihan sepanjang zaman yang ada di surga, dan persekutuan dengan semua orang di semua tempat. Dan semuanya adalah orang biasa di hadapan Tuhan, Tuhan itu yang paling luar biasa. Waktu kita berbagian di dalamnya, mari kita merayakan di dalam komunitas kita juga penjungkir-balikan yang Tuhan kerjakan; Tuhan tidak memilih yang di atas tapi Dia memilih yang di bawah untuk mempermalukan apa yang dianggap mulia oleh dunia. Barulah di situ kita menghidupi Injil.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading