Kalau kita memilih judul untuk Mazmur 33 ini, kita bisa memilih dari ayat yang pertama, yaitu “Sorak-sorai Orang Benar” atau “Puji-pujian Orang Benar”; di sini LAI memberi judul “Puji-pujian kepada Allah Israel”, sementara terjemahan ESV memberi judul “Steadfast Love of The Lord” (“Kasih Setia Tuhan”), pilihan yang juga baik. Memang kita tidak bisa memisahkan antara sorak-sorai orang benar dengan pengharapannya dalam kasih setia Tuhan.
Kita bisa baca di bagian ini, apa artinya disebut orang benar; jangan sampai kita salah tafsir ‘orang benar’ ke dalam pengertian ‘self-righteous’, lalu merasa kita inilah orang-orang yang lebih benar daripada orang lain. Kalau Saudara lihat dalam konteks ini, alasannya disebut ‘orang benar’ adalah karena orang-orang ini percaya kepada Tuhan atau berharap kepada Tuhan. Mereka bukan benar karena lebih qualified, lebih suci, atau lebih sempurna secara moral daripada orang lain; pemazmur tidak bicara soal itu di bagian ini. Di dunia ini orang-orang yang moralnya tinggi tentu saja ada, tapi mereka tidak tentu percaya atau bergantung kepada Tuhan. Sebaliknya, kalau Saudara dan saya melihat dengan jujur kehidupan kita, kita tahu kita banyak kekurangan, banyak kelemahan, namun Tuhan menerima ketika kita percaya dan berharap kepada-Nya. Percaya kepada Tuhan ini satu hal, namun dalam Mazmur 33 pemazmur juga menggambarkan dan bersaksi tentang Tuhan yang layak dipercaya. Itu sebabnya di sini bicara tentang sorak sorai, tentang pujian. Di dalam pujian ini ada aspek kesaksian. Pemazmur bukan cuma percaya, tapi dia juga bersaksi akan Tuhan yang dia percaya itu.
Saudara perhatikan di bagian ini, pemazmur bersaksi tentang Tuhan yang dia percaya, dia bukan bersaksi tentang kepercayaannya. Ada orang yang bersaksi, tetapi yang dia saksi-kan bukan Tuhan melainkan kepercayaannya sendiri, pengalamannya sendiri, dirinya sendiri. Pemazmur bukan seperti itu. Coba Saudara baca mulai ayat 4, dikatakan: “Sebab firman TUHAN itu benar, segala sesuatu dikerjakan-Nya dengan kesetiaan. Ia senang kepada keadilan dan hukum; bumi penuh dengan kasih setia TUHAN. Oleh firman TUHAN … “ –semuanya tentang Tuhan, tentang firman-Nya, tentang perbuatan-Nya, bukan tentang pemazmur. Kita musti bisa membedakan kesaksian yang sungguh-sungguh mempermuliakan Tuhan, dari kesaksian yang agak narsisistik yang cuma bicara tentang diri sendiri. Di dalam Mazmur 33 ini tidak ada cerita tentang pemazmur, yang ada adalah cerita tentang Tuhan dan karya-Nya. Meski demikian, memang pemazmur sendiri bukan tidak terlibat dalam karya Tuhan, dia sendiri mengalaminya. Harap kita bertumbuh di dalam Gereja yang terus bersaksi akan Tuhan, dan bukan membicarakan pengalaman pribadi.
Kalau kita lompat ke ayat 22, Mazmur ini ditutup dengan “kasih setia Tuhan”; lalu di mana pengalaman pemazmur sebagaimana kita katakan tadi, koq tidak disebut di sini, koq semuanya bicara tentang Tuhan? Jawabannya, ini adalah satu puji-pujian yang dinaikkan melalui iman kepada Kristus, Tuhan, yang mode-nya adalah ‘pengharapan’; maka sampai pada akhir, di ayat 22 ini dikatakan: “Kasih setia-Mu, ya TUHAN, kiranya menyertai kami, seperti kami berharap kepada-Mu.” Jadi, bisa dikatakan bahwa pengalaman tersebut memang sebagian sudah terjadi, tapi ada juga yang belum terjadi, namun pemazmur tetap berharap dan percaya bahwa kasih setia Tuhan itulah yang akan membuat dirinya disertai oleh Tuhan. Hal ini akan membuktikan/membenarkan (vindicate) pemazmur, bahwa yang dipercaya oleh pemazmur itu benar.
Kembali ke ayat-ayat sebelumnya, di sini banyak disebutkan tentang alat-alat musik, seperti kecapi, gambus sepuluh tali –pembicaraan tentang musik. Musik di dalam kehidupan manusia seringkali hadir sebagai sesuatu yang menghibur, yang bisa entertain kita, bahkan sebagian orang rela beli perlengkapan sound system yang cukup mahal untuk itu. Saya pernah mampir ke rumah seseorang, dan dia punya satu ruangan khusus untuk koleksi piringan hitamnya, yang kalau tidak salah ada 10.000 buah. Anggaplah rata-rata satu piringan hitam harganya 1 juta rupiah –harga yang cukup rendah, karena ada yang bisa mencapai 6 juta rupiah, bahkan 10 juta rupiah—berarti hanya dengan piringan hitamnya saja dia bisa beli 2 ruko. Saya mendengarkan musik di sana; lalu setelah pulang, kembali ke ruangan saya sendiri dengan sound system-nya dan mendengarkan musik, wah, sound system saya langsung jadi jelek sekali bunyinya.
Musik itu hadir dalam kehidupan manusia, orang suka mendengarkan musik; misalnya waktu pulang kerja, capek, lalu kita relaksasi, putar musik, dsb. Bahkan musik juga dikaitkan dengan setting-setting tertentu; ada studi khusus untuk menyelidiki misalnya kalau kita makan di restoran Perancis itu jenis musiknya harusnya apa, kalau kita jogging itu jenis musiknya apa, dsb. –kompleks sekali. Musik sebenarnya tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Tapi kalau Saudara melihat Mazmur 33 –di sini kita bicara teologi musik—maka Saudara membaca dalam bagian ini, yang memberikan makna bagi musik adalah pujian bagi Tuhan. Bukan tidak boleh Saudara mendengarkan musik sebagai anugerah yang diberikan Tuhan untuk menyegarkan kita –Luther pun percaya itu—tapi kalau musik hanya sampai di situ saja dan tidak pernah berkaitan dengan pujian, maka ada yang kurang dalam kehidupan manusia. Musik dan seni itu sesuatu yang sudah ditanamkan di dalam hati manusia oleh Tuhan, sangat berkaitan dengan budaya; tapi budaya tidak pernah jadi bermakna tanpa sikap ibadah kepada Tuhan, tanpa pujian. Bahkan dalam kehidupan ini, segala pemberian Tuhan –bukan cuma musik—yang tidak membawa kita kepada sikap memuji dan beribadah, itu jadi tidak bermakna.
Ibadah itu esensial dan substansial dalam kehidupan manusia. Waktu seseorang memuji Tuhan dengan otentik dari dalam dirinya, di situlah musik mendapat pemenuhan yang tertinggi. Itu sebabnya waktu kita memuji Tuhan dalam kebaktian, Saudara jangan melihatnya sebagai suatu elemen kebaktian yang memang musti kita lewati sebelum mendengarkan kotbah, lalu kita cuma menyanyikan begitu saja seperti mengerjakan tugas yang harus diselesaikan karena yang penting ‘kan dengerin kotbah. Di dalam tradisi Lurtheran, mereka mengerti bahwa waktu menyanyi, itu pun tidak bisa dipisahkan dari mendengarkan firman Tuhan. Waktu seseorang menyanyi, dia juga sedang menyanyikan firman Tuhan. Waktu menyanyi, dia juga memberitakan firman Tuhan melalui nyanyian, atau mendengar pemberitaan firman Tuhan melalui nyanyian. Waktu kita menyanyi, kita sebetulnya saling berkotbah satu dengan yang lain. Ini keunikan tersendiri yang bahkan tidak ada pada kotbah. Di dalam ‘kotbah’, Saudara pasif mendengar, sementara saya yang menyampaikan firman Tuhan; tapi waktu kita memuji Tuhan dan nyanyian tersebut di dalamnya adalah prinsip firman Tuhan, di situ kita sedang berkotbah satu kepada yang lain, dan juga menerima kotbah satu dari yang lain. Harap di dalam kehidupan kita, kita bisa lebih mengerti apa artinya teologi musik, teologi memuji Tuhan, khususnya waktu kita beribadah.
Ada banyak orang menulis tentang keindahan musik, tentang keindahan orang bernyanyi, yang bahkan dibedakan dari orang memainkan instrumen musik. Tentu saja beda yang paling jelas adalah instrumen tidak bisa mengeluarkan kata-kata, sementara kalau kita menyanyi, bisa ada teksnya, bisa ada kata-katanya. Tapi bukan hanya itu, waktu seseorang menyanyi, dari dalam tubuhnya dia menghasilkan suara keluar dan sekaligus dia sendiri juga mendengar; jadi ada menghasilkan suara dan mendengar suara. Ini mirip seperti yang kita katakan tadi, sekaligus berkotbah dan menerima kotbah. Secara personal, tubuh kita dan jiwa kita jadi seperti kotak resonansi, waktu kita menyanyi.
Sayang sekali orang di zaman modern ini, waktu membaca, kita biasa membaca di dalam hati; tetapi orang zaman dulu, ketika membaca, mereka membaca dengan keluar suara. Ada keindahan sendiri waktu Saudara membaca dengan keluar suara dan bukan cuma di dalam hati, karena ada resonansi ini; waktu saudara membaca, kata-kata tersebut berbalik kepada Saudara sendiri, Saudara mendengarkan kata-kata tersebut. Resonansi seperti ini memang bisa terjadi tanpa musik, tapi seperti Saudara tahu, praktek membaca seperti ini sudah jarang sekali di dalam dunia modern. Suatu ketika saya pernah melihat dalam MRT di Singapur, ada orang membuka Alkitab lalu membacanya dengan suara keras; di situ kita jadi bertanya-tanya, ‘apa maksudnya orang ini’, kita merasa koq sepertinya tidak wajar, jangan-jangan dari bidat atau apa. Intinya, kita tidak biasa dengan praktek membaca dengan suara keras ini. Itulah sebabnya, karena praktek tersebut katakanlah lumayan hilang, Saudara bisa melihat dalam hal ini betapa pentingnya kita menyanyi. Waktu seseorang menyanyi, di situ ada resonansi; dan dengan adanya resonansi, itu makin memperkuat. Kita banyak kehilangan pengalaman resonansi semacam ini dalam kehidupan spiritualitas kita.
Kita melanjutkan. Tadi kita mengatakan, bahwa pemazmur bersaksi tentang Tuhan, dan bukan tentang pengalamannya sendiri. Dia memberitakan tentang atribut-atribut Allah, sifat-sifat Allah; ada banyak yang bisa kita daftarkan dari Mazmur 33 ini. Misalnya, ayat 4 bicara tentang ‘benar’ (upright), ‘setia’ (faithful), ‘senang kepada keadilan dan hukum’ (righteousness/justice), dan yang terakhir ‘kasih setia’ (chesed/steadfastness/steadfast love).
Steadfastness/steadfast love ini disebutkan paling akhir; dalam bahasa Indonesia pakai istilah ‘kasih setia’. Ini bicara tentang ‘love’, tapi love yang steadfast; bicara tentang ‘kasih’, tapi kasih yang tekun. Waktu kita merenungkan atribut Ilahi tersebut, ‘steadfast love of the Lord’, ini kontras dengan kasih-nya manusia, dengan love-nya Saudara dan saya. Kita bisa saja punya cinta, punya kasih, tapi apakah itu kasih yang di dalam ketekunan?? Ada orang yang kasih, tapi kasih-nya musiman; ada saatnya kasih itu menggebu-gebu, ada saatnya kendor sekali, bahkan ada saatnya tidak ada praktek kasih. Tuhan yang kita kenal bukan Tuhan yang demikian. Tuhan yang kita kenal adalah Tuhan yang kasihnya di dalam ketekunan, maka disebut ‘kasih setia’; istilah ini hampir tidak muncul selain di Alkitab. Istilah chesed, kalau diterjemahkan baik dalam bahsa Inggris maupun bahasa Indonesia jarang sekali dipakai. Dalam bahasa Inggris, kita tidak bicara ‘steadfast love’ dalam percakapan sehari-hari; bicara ‘love’ memang ada, dan ‘steadfast’ mungkin juga ada, tapi istilah ‘steadfast love’ ini gabungan kata apa ya, sebetulnya?? Namun justru sifat inilah yang membedakan Tuhan dengan kita, dan yang Tuhan mau kita juga memiliki sifat seperti Tuhan ini. Pemazamur ini benar di hadapan Tuhan, bukanlah karena moral dia lebih qualified daripada orang lain, melainkan karena dia berharap pada kasih setia Tuhan.
Sudah berkali-kali kita mengatakan, waktu bicara tentang atribut Ilahi, baik itu kasih setia atau kekudusan, atau kebenaran, atau kasih, ini artinya bicara dua arah. Di satu sisi kita menerima; kalau kita mengenal kasih setia Tuhan, berarti kita mengalami kasih setia Tuhan bagi kita. Tapi bersamaan dengan itu, kita diubahkan jadi orang yang juga memiliki kasih setia, maksudnya kasih yang di dalam ketekunan. Teologi selalu tidak bisa dipisahkan dari antropologi; pengertian kita akan Allah atau doktrin Allah, itu sekaligus juga doktrin manusia kita. Kita tidak bisa mengatakan “O, saya tahu, saya percaya kasih setia Tuhan; Tuhan memang kasih setia, tapi saya ya, cuma penerima kasih setia-Nya. Kalau saya sih, ya, tidak kasih setia, ‘kan itu exclusively belong to Tuhan; saya sih ‘gak ada kasih setia kepada Tuhan dan kepada yang lain, karena saya’ kan bukan Tuhan”. Kalau seperti itu, pengenalan akan Allah-nya jadi kacau.
Saudara tahu, istilah fidei dalam bahasa Latin, itu tidak bisa dipisahkan dari fidelitas; termasuk juga dalam bahasa Yunani, pistis dan pistós. Dalam bahasa Indonesia dua hal itu benar-benar jadi dua kata, ‘iman’ dan ‘kesetiaan’; tapi kalau dalam bahasa Latin, bicara fidei dan fidelitas, atau dalam bahasa Inggris faith dan faithful, itu dekat sekali. Jadi waktu mengatakan kita ‘beriman’, memang kita datang dengan tangan kosong, kita pengemis, kita menerima kasih dari Tuhan, kita menerima kebenaran Tuhan –di sini kita pasif– tapi kata yang sama, ‘beriman’, dalam bahasa aslinya artinya kita juga secara aktif setia kepada Tuhan. Aktif dan pasif, beriman dan setia, tidak bisa dipisahkan dalam hal ini. Jadi, siapakah itu orang yang mengenal Tuhan dan kasih setia-Nya? Yaitu orang yang juga setia kepada Tuhan. Memang kasih setia kita tentu saja berbeda kualitas dari kasih setia Tuhan, tapi Saudara dan saya diundang untuk semakin menyerupai Tuhan, dalam kasih kita yang terus dilakukan di dalam kesetiaan/ ketekunan ini.
Apa lagi yang kita bisa belajar dari Mazmur 33? Di sini dikontraskan antara firman Tuhan, rencana Tuhan, dengan rencana bangsa-bangsa. Waktu Dia berfirman, semuanya jadi. Suatu bangsa tentu punya policy-nya sendiri, punya strateginya, dan di dalam politik segala sesuatu direncanakan setuntas-tuntasnya; lalu orang bisa berpikir sejarah ini berjalan sesuai dengan rencana those powerful people itu. Tetapi lagi dan lagi, sejarah mengajarkan kepada kita bahwa Tuhan tidak dikendalikan perencanaan bangsa-bangsa. Bahkan di sini dikatakan: “TUHAN menggagalkan rencana bangsa-bangsa; Ia meniadakan rancangan suku-suku bangsa”; dalam bahasa Inggris memakai kata ‘frustrate’ –“he frustrates the plans of the peoples”. Maksudnya, kalau kita beriman kepada Tuhan dan kasih setia-Nya, itu berarti termasuk juga di dalamnya kita tidak percaya akan rencana bangsa-bangsa ini , kita tidak menggantungkan diri pada kekuasaan bangsa-bangsa ini. Kalau kita betul-betul percaya pada kasih setia Tuhan, kita tidak menggantungkan pada partai mana yang menang, yang ini atau yang itu, karena Tuhan-lah yang berencana, dan Dia menggagalkan rencana bangsa-bangsa. Kita jangan terlalu kecewa kalau partai yang kita dukung kalah, dan juga jangan terlalu euforia kalau partai yang kita dukung menang; itu bukan pemahaman Mazmur 33.
Saudara bahkan membaca di ayat 16: “Seorang raja tidak akan selamat oleh besarnya kuasa; seorang pahlawan tidak akan tertolong oleh besarnya kekuatan. Kuda adalah harapan sia-sia untuk mencapai kemenangan …”. Salah satu objek yang sering dilukis dalam Chinese painting, yaitu kuda –ada gambaran kemegahan yang diharapkan di situ; tapi di sini dikatakan ‘kuda adalah harapan sia-sia untuk mencapai kemenangan’. Saudara, kalau kita percaya pada kasih setia Tuhan, maka kita akan melucuti kuasaa-kuasa palsu yang dipercaya dunia ini, entah itu kuda, entah itu pahlawan, atau kekuatan uang, kekuatan relasi dengan orang-orang penting, dsb. Itu semua jadi berbenturan dengan kasih setia Tuhan. Kalau kita percaya pada kasih setia Tuhan, maka langsung ada critic of power –critic of false power. Kalau kita tidak ada critic of worldly power, berarti kita bukan berharap pada kasih setia Tuhan. Cuma omong kosong bicara kasih setia Tuhan, sementara kita masih berharap juga kepada kuda, kepada pahlawan, kepada kekuatan-kekuatan yang dibanggakan oleh dunia itu.
Salah satu hal penting yang Saudara baca dalam narasi ‘exodus’ itu apa? Yaitu bahwa Tuhan membebaskan umat-Nya bukan dengan kekuatan dunia ini –itulah narasinya. Tuhan bukan memberikan kemenangan dan kelepasan bagi Israel dengan mengirimkan kuda-kuda atau kereta-kereta yang lebih mutakhir daripada Mesir –bukan itu ceritanya. Tapi berapa banyak di dalam kehidupan ini kita bergantungnya bukan pada kasih setia Tuhan, sebaliknya kita sebetulnya bergantung kepada this worldly powers? Kita mendukakan hati Tuhan di dalam kehidupan yang seperti ini. Jadi, satu poin terakhir dari Mazmur 33 ini, saya akhiri dengan kutipan dari Luther Mays, dalam tafsiran tentang Mazmur: “The issue is not whether one does whatever one can to face threats but, rather, in what one places ultimate trust and hope.” Maksudnya, ini bukan tentang ketika dalam kesulitan lalu Saudara ada rencana apa, solusi apa, strateginya bagaimana –bukan tentang itu– tapi apakah Saudara dan saya berharap kepada kasih setia Tuhan atau berharap kepada yang lain. Berbahagia orang yang meletakkan kepercayaan dan pengharapannya yang paling ultimat itu di dalam Tuhan dan kasih setia-Nya. Orang-orang yang demikian, tidak akan dikecewakan oleh Tuhan. Tapi mereka yang berharap pada kekuatan-kekuatan dunia ini —kereta kuda, pahlawan, uang, dsb.– mereka akanterus masuk ke dalam kekecewan demi kekecewaan, demi kekecewaan.
Dalam 1 Yohanes 3 ada ayat yang indah yang mengaitkan tentang pengharapan kita yang satu-satunya, yang sebetulnya adalah Kristus yang akan kembali dan akan menyempurnakan segala sesuatu, bahwa kalau kita mempunyai satu-satunya pengharapan ini –yaitu Kristus– maka barulah kita akan menyucikan diri kita, ada penyucian (purification) di dalam kehidupan kita. Tanpa pengharapan yang satu-satunya ini, kalau pengharapan kita diletakkan pada banyak tempat dalam kehidupan kita, tidak akan ada penyucian, purification tidak akan terjadi, karena pengharapan kita dibagi-bagi pada banyak tempat, ya Tuhan, ya kuda, ya uang, ya politik, ya kenalan orang penting, dsb. –banyak sekali pengharapannya. Tapi Saudara dan saya bukan orang-orang seperti itu; kita sudah ditebus oleh Kristus. Dan Tuhan mau supaya kita menjadikan Dia satu-satunya pengharapan kita –Tuhan dan kasih setia-Nya yang tidak pernah gagal itu. Inilah yang dipuji oleh pemazmur. Inilah alasannya dia bersorak sorai, dan alasannya dia disebut orang benar. Kiranya Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading