Di dalam bagian sebelumnya kita sudah membahas tentang Yesus yang memanggil Lewi si pemungut cukai, diakhiri dengan pernyataan Yesus Kristus dalam ayat 31-32, kita sudah membahas bagian ini, spiritualitas kontras antara pengikut-pengikut Kristus dengan spiritualitas yang dihadirkan di dalam kalangan orang-orang Farisi, setidaknya sebagian dari pada mereka, mungkin sedikit agak stereotyping memang, karena alkitab juga melakukan itu tapi safe enough untuk mengatakan setidaknya sebagian dari pada orang-orang Farisi dan murid-murid mereka. Ini juga gambaran yang mewarnai menjadi latar belakang dari pada kontroversi berikutnya yaitu tentang puasa dan hari Sabat.
Waktu kita membaca tentang puasa di dalam spirit yang sama dan orang-orang Farisi juga belum bisa mengerti, dan mereka mengontraskan gambaran murid-murid Yohanes yang sering berpuasa, tetapi murid-murid Yesus makan dan minum. Di dalam kepercayaan Yahudi, doa, puasa dan memberi sedekah itu menjadi praktek kesalehan yang sangat penting di dalam sikap kesalehan orang Yahudi, sehingga itu almost take it for granted bahwa orang yang hidup saleh, semua orang yang hidup di dalam spiritualitas yang benar akan menjalankan ketiga hal itu, tidak ada perdebatan tentang hal itu. Matius mencatat profil yang sedikit berbeda waktu Yesus juga memberikan spirit yang betul, apa sih sebetulnya artinya puasa yang benar, bagaimana prakteknya, sikap hati dsb., memberi sedekah dan berdoa yang benar, itu dibahas di dalam khotbah di bukit Matius, di situ tidak ada polemik, karena Yesus sendiri mengajarkan tentang puasa, sedekah dan berdoa. Yang dikritik dalam bagian ini lebih substansial dari pada sekedar persoalan puasa atau tidak puasa, tetapi ada persoalan tentang kesesuaian, jawaban Yesus dalam ayat 34 adalah metafora tentang pesta pernikahan, secara motif istilah ini juga dipakai untuk menggambarkan Kerajaan Allah. Lalu di dalam gambaran seperti ini pasti orang tidak berpuasa, kalau dalam pesta dia tetap berpuasa, itu bisa menjadi satu penghinaan terhadap orang yang punya acara, kalau kamu berpuasa ya tidak usah datang sekalian, kalau begitu kan menjadi orang yang aneh, kenapa? Karena tidak sesuai dengan situasi atau keadaan dari pada pesta itu sendiri.
Yesus menggambarkan ini di dalam arti bahwa Yesus sekarang sedang berada di dunia, inkarnasi bersama dengan para murid, itu seperti suatu pesta, itu perayaan, perayaan dimana mereka menjadi kurang cocok kalau di dalam keadaan bahagia seperti itu berpuasa. Karena berpuasa di dalam PL seringkali dikaitkan dengan lamentasi, dengan dukacita, orang berdukacita almost natural sebenarnya yaitu di dalam arti kalau orang terlalu sedih, saking sedihnya tidak ada nafsu makan, bukan puasa yang dipaksa-paksa. Tetapi di dalam pengertian sangat natural, karena orang begitu terobsesi dengan satu pergumulan yang sangat berat, lalu dia mau menaikkan itu dihadapan Tuhan, maka dia menjadi tidak nafsu makan, di dalam kehidupan kita sehari-hari, bisa terjadi seperti itu. Tapi dalam bagian ini Yesus yang ada bersama dengan murid Yesus seperti sedang dipesta, ini bukan Yesus naik ke sorga lalu murid-murid ditinggalkan atau di dalam penganiayaan, ini bukan di dalam pengertian seperti itu, tetapi Yesus sedang bersama-sama dengan mereka dan murid-murid itu menikmati keberadaan Yesus, di sini puasa menjadi sesuatu yang tidak cocok. Kalau kita kaitkan di dalam spiritualitas kristen, kepekaan kapan kita merayakan sukacita yang kita terima dari Tuhan, kapan kita menanggapi kesulitan di dalam kesedihan, di dalam dukacita dan bukan pesta, itu adalah orang yang punya kelincahan, kepekaan bisa mengerti saat, dibedakan dengan saat yang lain, karena memang hidup ini penuh dengan dinamika. Yesus mengajarkan bukan tidak boleh berpuasa, tetapi berpuasa di dalam saat seperti apa? Kalau kita melayat, lalu di situ kita tertawa-tawa, itu orang yang tidak mengerti situasi, sebaliknya Yesus bilang, ini sedang pesta, kita ini di dalam perayaan Kerajaan Allah karena Aku hadir di sini dan murid-muridKu sedang merayakan ini. Sebetulnya yang dikatakan di sini ada challenge, meskipun tersembunyi dan yang pasti tidak eskplisit, maksudnya tantangannya adalah berbunyi kenapa murid-muridmu tidak berhenti berpuasa, sedang Saya sekarang berada di dunia? Kan kamu juga menantikan Kerajaan Allah bukan? Sekarang Saya ada di dalam dunia, kenapa kamu puasa?
Tetapi sekali lagi Yesus tidak pernah mengajarkan bahwa bagi orang kristen itu puasa tidak perlu lagi karena itu belong to the old covenant, ada mungkin sebagian hamba Tuhan yang mengajarkan seperti itu, tapi itu tidak ada dukungan alkitabnya sama sekali. Dalam ayat 35 dikatakan, tetapi akan datang waktunya apabila mempelai itu diambil dari mereka, pada waktu itu mereka akan berpuasa, berarti bukan tidak usah puasa sama sekali, “akan datang waktunya”, maksudnya ada kairos, akan ada saat yang lain dimana pada saat itu orang akan berpuasa, termasuk juga murid-murid Yesus akan berpuasa. Di sini dikatakan makan dan minum, apa maksudnya? Waktu seseorang di dalam keadaan kesulitan, alkitab menyediakan praktek puasa, sesuatu yang natural, jadi tidak nafsu makan, bukan justru bagaimana di dalam keadaan susah, supaya tidak terlalu susah, nanti malah bunuh diri, jadi saya makan-makan saja supaya menghibur saya agar tidak terlalu susah, tidak. Akan datang waktunya, pada waktu itu mereka akan berpuasa, kehidupan kristen yang lincah, bergerak antara makan-makan, pesta dan puasa, antara berbicara dan berdiam diri, antara pelayanan to the crowd dan kesendirian, seperti dalam kehidupan Yesus. Lalu Yesus memberikan perumpamaan yang lebih luas, “tidak seorangpun yang mengoyakkan secarik kain dari baju yang baru untuk menambalkan pada baju yang tua atau anggur yang baru ditaruh di dalam kantong kulit yang tua, atau orang yang sudah pernah minum anggur tua, lalu jadi ingin minum anggur baru”, bagaimana memahami bagian ini? Apa maksudnya baju yang baru, baju yang tua? Lalu bicara tentang anggur, satu sisi bilang anggur baru kantong tua, yang disayangkan anggur baru-nya, setelah itu bicara tentang anggur tua, yang lebih baik dari pada anggur baru, ini membingungkan.
Sebetulnya kita bisa mengerti di dalam arti yang rather sinonim, ya memang ada tiga contohnya tentang baju yang ditempelkan, tentang anggur baru dan kulit tua, anggur tua dan anggur baru, tetapi sebetulnya almost sinonim yaitu menempatkan puasa ini di dalam kaitan apa? Tafsiran yang salah akan mengatakan, misalnya anggur baru dan kulit yang tua yaitu kita sudah hidup di dalam PB (anggur baru), lalu kemudian ditaruh di dalam kantong kulit yang tua (praktek-praktek PL, seperti puasa, doa dan memberi sedekah). Anggur baru kalau ditaruh di dalam kulit tua, itu akhirnya anggur baru-nya akan terbuang karena kulit tuanya tidak bisa menampung, jadi ya tidak usah puasa, tidak usah berdoa dan tidak usah memberi sedekah (puasa, doa dan memberi sedekah itu satu paket). Alkitab mengajarkan baik memberi, berdoa dan berpuasa itu memang betul sudah diajarkan dalam PL, tetapi bukan berarti setelah Yesus datang, semua itu jadi tidak perlu lagi, either kita tidak perlu semuanya atau kita masih perlu semuanya. Jadi kalau bagian ini ditafsir, anggur baru itu adalah PB, kedatangan Yesus yang menggagalkan semua yang lain, yang semua dibelakang kulit tuanya yaitu praktek-praktek yang tidak berguna itu, yang hanya dipraktekkan oleh anak-anak, kita sudah dewasa, yang ironis adalah gambaran seperti ini kan bicara tentang teguran terhadap self righteousness, tapi konsep seperti ini kan konsep self righteousness sebetulnya. Jadi ini tafsiran yang kacau balau, sama sekali berbenturan dengan spirit yang sedang diajarkan oleh Yesus, ini bukan tentang masalah orang kristen masih perlu puasa atau tidak puasa, bukan, tetapi di dalam pengertian yang lain. Anggur baru, kulit tua atau baju baru ditambalkan pada baju yang tua, di sini masing-masing memiliki dimensi tersendiri, kita mulai pada baju yang baru menambalkan baju yang tua, apa maksudnya? Kalau secarik kain baru ditambalkan ke baju yang tua, ya tidak akan banyak menolong, tetapi itu adalah tambalan, meskipun tambalan itu baju yang baru, yang jadi pertanyaan adalah mana sebetulnya yang lebih penting bagi pemiliki baju ini, lebih berharga secarik kain barunya itu atau baju tuanya? Mungkin kita tidak perlu masuk di dalam bagian itu, tetapi yang pasti, antara yang baru dan tua itu tidak akan match, tidak akan berguna. Sama juga dengan anggur yang baru waktu ditaruh dalam kantong kulit yang tua, harusnya anggur yang baru itu ditaruh di dalam kantong kulit yang baru, tapi ini anggur baru ditaruh dalam kantong kulit yang tua, kantong kuit yang tua itu tidak bisa menampung anggur baru maupun anggur tua, karena persoalannya ada dalam kantong kulitnya, Yesus mau mengatakan apa di sini?
Kamu itu berpuasa, memberi sedekah, berdoa dsb., tetapi masih di dalam spirit yang lama dan itu tidak akan menolong, spiritualitasmu itu akan terbuang sia-sia, tidak ada gunanya, waktu Yesus mengatakan kalimat ini, Dia bukan lalu bilang, oleh karena itu tidak usah berpuasa lagi, bukan. Berpuasalah di dalam spirit yang baru, jalanilah kesalehan hidupmu di dalam spirit yang baru, jangan di dalam spirit yang tua itu, karena spirit yang tua itu tidak bisa menahan, apa itu spirit yang tua? Ya sederhana, kehidupan yang legalistik, berpuasa demi puasa itu sendiri, karena sejak kecil saya sudah diajarkan satu minggu berpuasa dua kali sudah tertera dalam kalender, tapi orang tidak mengerti lagi apa arti puasa itu? Sikap hati yang bagiamana waktu berpuasa? Dan waktu berada di tengah Yesus tidak perlu berpuasa, mereka tidak mengerti itu semua, pokoknya yang saya tahu kita harus berpuasa ya berpuasa. Orang-orang legalis seperti ini susah berhubungan secara personal, karena hukum itu kan impersonal, di dalam gambaran alkitab secara keseluruhan, kita tahu bahwa kita orang kristen bukan hidup tanpa hukum, itu clear, Yesus sendiri mengatakan, barangsiapa mengasihi Aku, ia menjalankan perintah-perintahKu, ada kaitan antara mengasihi dan hukum. Waktu seseorang menjalankan hukum bukan di dalam ekspresi kasih kepada Tuhan, tapi menjalankan hukum demi hukum itu sendiri, main hukum dsb., akhirnya kehidupannya itu makin lama makin impersonal dan tidak heran orang-orang seperti ini sangat kesulitan berurusan secara personal, kenapa? Karena dia terus-menerus melatih dirinya berurusan dengan hukum yang impersonal, akhirnya secara tidak langsung atau bahkan langsung menjadikan dirinya sendiri juga ikut impersonal. Kita ini kan pribadi, pribadi itu bisa bergaul dengan pribadi, ini ada kasih, termasuk juga bahkan kalau ada resiko konflik rekonsiliasi, setidaknya itu ada konflik yang personal, bukan impersonal konflik. Kita tidak mungkin konflik dengan benda mati (HP dll), tetapi juga tidak bisa ada love relationship kan ya?
Yang namanya kasih itu selalu ada balik, meskipun balik tidak harus bilateral (balik ke orang itu), dikasih bisa menyebar ke tempat lain lagi, kekayaan kasih itu selalu melibatkan persons (plural), bukan kasih antara person kepada barang, bukan dan barang tidak mungkin mengasihi person. Tapi ada orang yang legalistik, hidup di bawah hukum, itu hubungannya person dengan hukum, sekali lagi orang-orang seperti ini sulit sekali berurusan dengan person yang lain. Karena itu waktu orang-orang Farisi ini melihat murid-murid Yesus dan melihat Yesus sendiri, mereka tidak bisa ada pembicaraan personal, yang ada adalah kenapa kamu tidak dibawah hukum, kita ini dibawah hukum? Enak saja, kita dibawah hukum, kita susah payah puasa, kenapa kamu tidak puasa? Jadi kacau, ini spiritualitas yang terbebani, lalu merasa tidak rela kalau orang lain juga tidak disiksa menjalankan kesalehan keagamaan seperti saya, spiritualitas seperti ini aneh sekali. Kalau kita bahagia dengan kesalehan kita, ya sudah, kalau orang lain tidak melakukan itu, ya paling kita sedih, bukan berkata, mengapa saya puasa sendirian, orang lain juga harus puasa, mengapa saya melayani sendirian, orang lain juga harus melayani seperti saya, itu spiritualitas aneh.
Anggur tua, anggur baru mungkin kita bisa tafsir di dalam pengertian gambaran penantian akan Kerajaan Allah yang diharapkan di dalam PL, sebetulnya puasa kan itu, puasa penantian Kerajaan Allah, anggur baru, anggur tua dan di sini sedikit agak terbalik, jadi agak membingungkan, karena PL, PB, otomatis kita akan berpikir, PB adalah anggur baru, PL adalah anggur tua, begitu kan ya? Tapi di sini yang lebih dihargai kan anggur tua? Tekanannya bukan kata tua atau baru, tapi yang mana yang lebih berharga, di sini bukan perbandingan tentang umur, tetapi bicara tentang anggur tua, anggur baru, bisa ditafsir dengan pengertian, anggur tua lebih baik dari pada anggur baru, memang begitu kan? Tidak ada seorang pun yang telah minum anggur tua ingin minum anggur baru, sebab ia akan berkata, anggur tua itu baik, apa maksudnya? Yesus di dalam kehadiranNya, ini merelatifisasi praktek penantian Kerajaan Allah yang ada di dalamPL, menantikan Kerajaan Allah, karena Kerajaan Allah itu sendiri sudah hadir bersama-sama dengan mereka. Anggur yang lebih berkualitas, itu Yesus sendiri yang hadir menghadirkan sukacita, anggur, minyak di dalam PL itu dipakai dalam metafora sukacita kan ya? Yesus mau mengatakan, sukacita yang ada di sini, yang dialami oleh murid-muridKu bersama dengan Aku, ini melampaui sukacita yang ada di dalam PL mana pun, karena mereka tidak pernah bisa melihat Aku seperti ini dan sekarang saat seperti ini kamu puasa, itu namanya tidak menghargai anggur tua. Puasa itu offense, seperti kita pergi ke tempat pesta, tetapi kita tidak ikut bersukacita, muka kita muram, sedih, di pesta pernikahan muka kita muram, orang akan tafsir bahwa kamu mantan pacar, makanya mukanya muram, sebetulnya lebih baik tidak usah datang. Ini di dalam pengertian yang sama, ini Yesus sedang pesta dan murid-muriKu merayakan pesta ini, tapi kamu malah puasa dan bukan hanya itu, kamu puasa sudah salah, malah sekarang kamu menyalahkan orang yang sukacita. Absurd spiritualitas dari pada orang-orang Farisi ini.
Kontroversi berikutnya tentang hari Sabat, murid-murid memetik gandum pada hari Sabat, seperti kita baca di dalam kitab Ulangan, tidak ada isu dengan memetik bulir gandum dan memakan, itu diatur oleh hukum Torah, dan bukan kategori pencurian. Memetik dengan tangan tidak usah dipersoalkan, itu adalah kemurahan Tuhan. Menarik di dalam pengaturan hukum ini, ada aspek compassion, itu yang seringkali miss di dalam pengaturan istilah hukum secara general. Waktu Torah membicarakan tentang hukum, itu ada aspek mercy and compassion, bukan hanya hukum, hukum, hukuman, bukan, ada orang dijalan, traveling, lalu kemudian dia lewat satu field yang ada gandum, itu boleh saja, tidak usah dituduh mencuri, itu adalah pemeliharaan Tuhan seperti Tuhan memeliharakan burung, demikian juga Tuhan memeliharakan manusia. Waktu kita melihat di dalam hukum Torah, pengaturan bagaimana memikirkan dengan detail, kemungkinan orang yang berjalan tidak membawa bekal dsb., lalu kelaparan, dia boleh memetik bulir gandum dan memakannya dsb., semuanya sudah diatur dalam Torah, termasuk orang yang mempunyai ladang itu tidak boleh marah. Jadi ini isu-nya bukan isu memetik bulir gandum dan memakannya, tetapi isu-nya seperti dikatakan oleh orang Farisi, mengapa kamu berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat? Di sini digeser, kita assume orang-orang Farisi sangat mengenal deutoronomi, tetapi di sini kemudian digeser menjadi isu hari Sabat, kenapa kamu melakukan ini pada hari Sabat? Yesus menjawab dari yang kecil menuju kepada kesimpulan yang lebih besar, Dia membaca bukan sekedar bulir gandum, tapi di sini berbicara tentang Daud, makan roti sajian, lebih menakutkan lagi kan ya? Daud masuk ke rumah Allah mengambil roti sajian, ini kan dekat sekali dengan isu Sabat, kekudusan bait Allah dsb., sebetulnya roti yang ada di dalamnya hanya boleh dimakan oleh imam-imam. Tetapi di dalam Samuel kita membaca bahwa Daud makan dari roti itu, karena dia memang sangat memerlukan dan tidak ada yang memperdebatkan tentang hal ini, orang-orang Farisi tidak mempertimbangkan cerita ini untuk membentuk ajaran-ajaran mereka, tidak.
Tapi ada certain bias, ketidaksukaan mereka kepada Yesus dan murid-muridNya, apapun yang dilakukan oleh Yesus dan murid-muridNya semuanya salah, prejudis, tapi kalau Daud, ya itu kan Daud, Daud itu orang suci, jadi kita tidak membicarakan Daud, tidak ada persoalan dengan Daud, tapi ada persoalan dengan Yesus dan murid-muridNya. Prejudis seperti ini akhirnya membawa orang tidak mengenal firman Tuhan secara limpah, big picture dari firman Tuhan itu tidak bisa dikenal dengan baik, demikian juga waktu kita mengenal orang lain, sesama kita, prejudis-prejudis seperti itu yang seringkali membuat pandangan kita distorted, karena sudah prejudis sebetulnya. Apapun yang dilakukan orang itu pokoknya saya tertarik untuk melihat adalah yang negatifnya saja, saya tidak mau melihat positifnya, buat saya tidak ada positifnya, yang ada negatif, kenapa? Karena sebetulnya dia prejudis, tentu saja lawan katanya juga bisa, orang yang punya bias positif, dia selalu tidak pernah bisa melihat kelemahannya dsb., hanya melihat kebaikannya, pokoknya semuanya yang baik-baik, mau salah bagaimanapun tetap benar dst. Seperti di sini, kalau mereka mau mempersoalkan, ini apa sih artinya? Murid-murid Yesus memetik bulir gandum dibandingkan dengan Daud yang makan roti dari rumah Allah, itu tidak comparable at all, urusan bulir gandum itu terlalu simple, itu seharusnya non isu, pertanyaannya, kenapa kamu tidak pernah mempersoalkan Daud? Lalu ini urusan memetik bulir gandum jadi ada persoalan, Yesus kemudian mengakhiri dengan kalimat, “Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat”, di dalam bagian ini end of discussion.
Dalam injil Lukas kita sudah sering bahas tentang Yesus yang menempatkan diri sebagai orang Yahudi yang taat sepenuhnya melakukan Torah, tapi dalam bagian ini Dia mirip dengan profil teologi dari pada Matius waktu mengatakan “Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat”, jadi Dia yang menafsir Sabat itu apa? Apa yang harusnya dilakukan seseorang itu pada hari Sabat? Dan bagian ini nyambung dengan perikop berikutnya, waktu setelah mengatakan Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat, ini bukan hanya berbicara untuk menjelaskan peristiwa urusan bulir gandum, lalu Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat, sekarang Saya terserah mau melakukan hari Sabat, mau makan bulir tidak makan bulir, karena Saya adalah Tuhan atas hari Sabat. Bukan kaitannya hanya kesitu, tapi ini juga sekaligus antisipasi at least di dalam penulisan Lukas, untuk menjelaskan apa yang akan terjadi pada perikop berikutnya. Di sini Yesus klaimDia punya otoritas sebagai Tuhan atas hari Sabat, Tuhan yang mengatur, yang memberikan kepada manusia aturan hari Sabat itu adalah Tuhan sendiri dan Yesus di sini menggunakan otoritas itu, seperti di dalam profil teologi Matius. Tapi kalau kemudian kita kaitkan dengan perikop selanjutnya yang juga tentang Sabat, ada perbedaan teologi Sabat antara Yesus yang mengklaim dirinya Tuhan atas hari Sabat dengan orang-orang Farisi, ahli-ahli Taurat yang berusaha observing Sabat, menjalankan Sabat di dalam penafsiran mereka (ayat 7). Jadi motivasinya mencari kesalahan supaya bisa mempersalahkan, bisa menghukum dan itu karakteristik spiritualitas orang Farisi dan ahli-ahli Taurat.
Yesus yang mengetahui pikiran mereka melakukan “provokasi” ini (ayat 8), lalu kalimat penting dalam ayat 9, pertanyaan Yesus, “manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat”, ini kalimat paradigmatis, Yesus tidak bertanya, mana yang pada hari Sabat diperbolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan, itu Farisi. Dalam pertanyaan yang dilontarkan Yesus itu bukan urusan mana boleh dan mana tidak boleh, itu spiritualitas terlalu dangkal, pilihannya itu bukan mana boleh, mana tidak boleh atau kalau dihadapkan pada satu kasus, terus pertanyaannya apakah ini boleh atau tidak? Menurut Yesus hari Sabat bukan itu pertanyaannya, tetapi pertanyaannya adalah melakukan apa pada hari Sabat, melakukan yang baik atau yang jahat? Kalau kita kaitkan dengan pembicaraan keseluruhan alkitab, dalam PB ada ayat yang mengatakan, barangsiapa mengetahui yang baik dan tidak melakukan, dia berdosa dihadapan Tuhan. Di sini Yesus menggunakan prinsip yang sama, jadi di dalam hari Sabat, itu berbuat baik atau berbuat jahat, yang mana yang lebih boleh, karena kamu kan selalu pakai kategori “boleh”, tapi kategori boleh kamu itu yang mana tidak boleh. Sekarang Saya memakai kategori boleh juga, boleh melakukan baik atau boleh melakukan jahat, mana yang boleh, menyelamatkan nyawa orang atau membinasakannya? Ini kan pertanyaan retoris (jawabannya tentu saja adalah menyelamatkan nyawa orang, bukan membinasakannya), mereka tidak jawab karena jawabannya jelas sekali apa. Kemudian Yesus memandang keliling kepada mereka semua, berkata kepada orang sakit itu, ulurkanlah tanganmu, orang itu berbuat demikian dan sembuhlah tangannya, maka meluaplah amarah mereka, lalu mereka berunding apakah yang akan mereka lakukan terhadap Yesus (ayat 10-11).
Hari Sabat, hukum-hukum, ritual-ritual kristen bisa di twist akhirnya bukan lagi menyembuhkan dan menyelamatkan nyawa orang, tetapi sebetulnya dipakai untuk menjadi justifikasi, membenarkan ketidakpedulian kita kepada sesama dan alasan-alasan rohani. Seperti seolah-olah sikap ibadah kepada Tuhan, tetapi sebenarnya pengalihan perhatian, seperti dalam bagian ini, jelas-jelas ada orang yang di dalam kesulitan, tapi mereka beribadah kepada Tuhan, sambil melihat ke atas sambil tidak sadar bahwa disebelah ada orang yang sakit, ada orang miskin, ada orang susah dsb., tetap beribadah kepada Tuhan. Yesus membongkar kesulitan di dalam praktek kesalehan orang Yahudi yang seperti ini, waktu Dia mengatakan, pada hari Sabat orang boleh berbuat baik atau berbuat jahat. Apa itu berbuat jahat kalau di dalam konteks ini? Kamu tahu apa yang baik, tapi kamu tidak melakukannya, malah kamu membenarkan dirimu, antara yang vertikal dan horizontal itu tidak bisa didualismekan, menurut alkitab itu satu paket, social responsibility dan ibadah yang benar itu satu paket. Kiranya Tuhan menolong kita untuk mengerti Sabat seperti Tuhan mengajarkan kepada kita. Amin.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (AS)