Hari ini kita melanjutkan pembahasan mengenai Daud, kali ini mengenai tulisan Daud yaitu Mazmur. Kita memilih Mazmur 110, yang juga sesuai secara Kalender Gereja dalam masa-masa kita mengingat kebangkitan Tuhan dan mengantisipasi kenaikan Tuhan. Mazmur ini termasuk mazmur mesianik, yaitu mazmur yang membicarakan tentang Mesias. Mazmur ini tidak terlalu terkenal tapi merupakan bagian Perjanjian Lama yang paling sering dikutip oleh penulis-penulis Perjanjian Baru, melebihi semua bagian Perjanjian Lama lainnya (20 kali kutipan yang langsung, dan lebih banyak lagi kutipan yang tidak langsung). Kristus menggunakan Mazmur 110 ini, untuk menjelaskan siapa diri-Nya. Petrus dalam kotbah Kristen yang pertama pada hari Pentakosta juga membahas Mazmur 110. Penulis kitab Ibrani ketika membicarakan sejarah keselamatan, berkali-kali mengacu ke mazmur ini. Jadi, apa yang menarik dalam Mazmur ini?
Mazmur ini menceritakan figur Mesias. Tapi figur Mesias yang diceritakan di sini sangat “aneh”, karena dalam figur tersebut ada penggabungan aspek-aspek dan kualitas-kualitas yang tidak biasanya kita temukan dalam diri satu pribadi. Kita akan melihat beberapa hal tentang itu, pertama bahwa Mesias ini adalah manusia tapi juga ilahi; yang kedua, Mesias ini adalah raja yang kuat tapi juga raja yang lemah. Dan di situlah keindahannya.
YANG PERTAMA: Mesias ini adalah mesias yang ilahi, dan juga manusiawi. Untuk hal ini kita bisa melihat Matius 22 dan Markus 12, ketika para ahli Taurat dan imam-imam kepala melakukan konfrontasi secara sangat publik terhadap Tuhan Yesus. Di situ mereka memberikan pertanyaan-pertanyaan yang menjebak, misalnya soal membayar pajak kepada Kaisar, soal kebangkitan orang mati, dsb.; dan Tuhan Yesus selalu menjawab dengan begitu bijaksana dan mencengangkan sampai lawan-lawan-Nya heran. Setelah itu Yesus bertanya balik kepada mereka, dan Dia mengutip dari Mazmur 110 ini. Kalimat yang di-disputasi-kan pada dasarnya yang tertulis di ayat 1 dan 2 mazmur ini: ‘Demikianlah firman TUHAN kepada tuanku : "Duduklah di sebelah kanan-Ku, sampai Kubuat musuh-musuhmu menjadi tumpuan kakimu." Tongkat kekuatanmu akan diulurkan TUHAN dari Sion: memerintahlah di antara musuhmu!’ –penekanannya pada kalimat yang pertama: ‘Demikianlah firman TUHAN kepada tuanku’. Tuhan Yesus mengatakan seperti ini: "Apakah pendapatmu tentang Mesias? Anak siapakah Dia?" Mereka menjawab: "Anak Daud” (ayat 42). Perlu Saudara ketahui, Mazmur 110 ini secara tradisional bagi orang-orang Yahudi dimengerti merujuk kepada Mesias, bahwa “tuan” yang disebut Daud di sini adalah Mesias, Yang Diurapi Allah, Raja yang akan datang itu. Dan di sini Tuhan Yesus mengatakan, jika Daud menyebut Mesias itu tuannya, bagaimana mungkin Mesias itu juga adalah anaknya? (ayat 43). Lalu setelah itu dikatakan ‘Tidak ada seorangpun yang dapat menjawab-Nya, dan sejak hari itu tidak ada seorangpun juga yang berani menanyakan sesuatu kepada-Nya’ (ayat 45).
Saudara lihat di sini, efek dari Tuhan Yesus mengutip Mazmur 110 ini, membungkam orang-orang Yahudi yang mau melawan Dia, mereka sampai tidak berani tanya lebih lanjut. Mengapa bisa begitu; apa artinya? Kita akan coba menelusuri hal ini.
Mazmur ini ditulis oleh Daud. Daud mengatakan –dalam bahasa Ibraninya lebih jelas—yaitu “Yahweh berkata kepada Adhon”. Adhon artinya my Lord/ Tuanku, kependekan dari Adhonay; Adhonay adalah ‘Tuhan’, kata ganti yang dipakai untuk ‘Yahweh’, yang adalah nama Allah, supaya kita tidak perlu menyebut nama tersebut karena nama itu terlalu suci.
Pertanyaan yang pertama, kalau Daud itu raja, lalu siapa yang dia sebut sebagai Adhon/ my Lord/ tuanku itu? Jawabannya: Mesias. Selanjutnya, kalau Mesias ini adalah anaknya, bukankah harusnya Daud mengatakan ‘Yahweh berkata kepada anakku’ bukan ‘Yahweh berkata kepada tuanku’, karena masakan dia menyebut keturunannya itu ‘tuanku’? Bukankah itu konyol? Dan yang aneh, Yahweh mengatakan kepada Mesias ini: “Duduklah di sebelah kanan-Ku”. Mengapa tidak dikatakan-Nya ‘duduklah di kaki-Ku’? Pada zaman dulu, duduk di sebelah kanan raja bukan berarti lebih rendah daripada raja, melainkan setara; dan itu berarti raja berbagi kekuasaannya dengan orang ini (waktu Yusuf dikatakan duduk di sebelah kanan Firaun, itu sebuah metafor yang menyatakan bahwa dia memerintah bersama-sama dengan Firaun). Ini dikonfirmasikan juga di ayat 2: “Tongkat kekuatanmu akan diulurkan TUHAN dari Sion: memerintahlah di antara musuhmu!”
Jadi di sini sebenarnya Tuhan Yesus mau mengatakan kepada orang-orang Yahudi seperti ini: “Kamu mengatakan Mesias itu anak Daud, berarti kamu pikir Mesias itu manusia, yang akan jadi pembebas seperti Daud membebaskan Israel”. Ekspektasi orang Israel akan Mesias pada waktu itu adalah seorang penyelamat yang menyelamatkan dari rezim Romawi; jadi ini agendanya manusia, yang datang juga manusia, untuk menyelesaikan problemnya manusia. Lalu Tuhan Yesus mengatakan: “Kamu pikir Mesias itu cuma manusia; itu tidak mungkin”. Kalau Mesias cuma manusia, maka bahasa Mazmur 110 ini tidak bisa dimengerti sama sekali, karena di satu sisi, Mesias ini bukan Allah Yahweh (bukan Allah Bapa), tetapi Dia ini setara dengan Allah Bapa. Jadi bagaimana mungkin Mesias ini cuma manusia? Pasti lebih daripada itu; Mesias bukan cuma manusia tapi juga adalah seorang Ilahi’ –dan tentu selanjutnya Tuhan Yesus mau mengatakan “Sayalah Mesias”. Dengan kata lain, Tuhan Yesus menghantam konsep mesianik orang-orang Yahudi, dengan memakai dasar Alkitab. Itu yang menyebabkan mereka bungkam.
Lalu apa yang bagian ini katakan buat kita? Kalau hal ini membuat bungkam orang-orang Yahudi itu, tidakkah seharusnya juga membuat kita bungkam? Kalau bagian ini dipakai Tuhan Yesus untuk menghajar konsep yang salah tentang Mesias bagi orang-orang Yahudi itu, maka seharusnya ini juga bisa dipakai untuk mengoreksi konsep kita mengenai Mesias. Secara sederhana, yang Tuhan Yesus katakan kepada mereka adalah: “Kalau kamu sadar siapa Saya sesungguhnya, kalau kamu sadar seperti apa Mesias sesungguhnya, kamu tidak akan mengunci Saya di dalam kotak-kotakmu yang kecil itu”. Dalam hal ini, kotak-kotak mereka adalah Mesias itu pembebas dari Romawi –manusia yang datang, untuk agenda manusia, untuk menjawab problemnya manusia; itu kotak yang terlalu sempit! Yesus mengatakan:”Saya ini bukan cuma anaknya Daud, Saya ini tuannya Daud; dan itu berarti agenda yang Saya bawa jauh lebih besar dibandingkan kotak-kotakmu yang kecil itu”.
Lalu apa kotak kita pada hari ini? Apakah kita selama ini juga mengotak-ngotakkan Mesias? Contoh yang gampang, bagaimana kita menjawab pertanyaan ini: Untuk apa Saudara mencari Allah dalam hidup Saudara? Kalau Mesias itu bukan cuma anak Daud, tapi Dia seorang yang Ilahi, seorang Raja atas segala raja, itu berarti bukan tugas Mesias untuk masuk ke dalam hidup kita lalu menambal bolong-bolong yang ada dalam hidup kita. Kalau Mesias itu seorang Raja, Tuannya Daud, maka kedatangan Mesias berarti kita yang harus bekerja bagi Dia, menambal bolong-bolong di dalam dunia ini, di dalam Kerajaan-Nya ini. Yesus pada dasarnya sedang mengatakan: “Kalau kamu sadar siapa Mesias sesungguhnya, maka kamu akan menyerahkan hakmu untuk mengendalikan hidupmu sebagaimana yang kamu mau. Kamu akan sadar bahwa kamu tidak punya hak untuk memakai uangmu, waktumu, dsb., dsb., sebagaimana yang kamu pikir baik”.
Lebih jelas lagi kalau kita membandingkan kotak kita dengan kotak orang lain, misalnya orang Barat. Hari ini di negara-negara yang ‘post-Christian’, ada fenomena orang-orang mengatakan seperti ini: “I am not religious, but I am spiritual” –saya tidak mau keagamaan, tapi saya tetap orang yang rohani. Yang dimaksud: “Saya mau tetap ada koneksi dengan semacam figur ilahi, tapi saya tidak mau figur ilahi tersebut mengontrol diri saya”. Oleh sebab itu, bagi orang-orang seperti ini cara gampangnya adalah: “Dia itu semacam satu kuasa yang impersonal, semacam roh saja, tidak ada personalnya, dan dengan demikian saya tidak perlu berurusan dengan kehendaknya” –karena semakin suatu allah itu impersonal, semakin kita tidak perlu peduli soal kehendaknya, dan juga saya tidak perlu dikontrol, saya mengontrol diri saya sendiri. Itulah yang pada dasarnya mereka katakan. Sedangkan kita orang Timur sepertinya adalah orang-orang yang sangat peka bahwa figur Allah ini adalah seorang Pribadi, Pribadi ini punya kehendak, dan kehendak-Nya harus kita taati.
Tetapi, seringkali kita mengertinya Pribadi ini sebagai seorang bapa, atau lebih tepatnya seorang papa, bahkan seorang kakek. Seorang bapa yang senantiasa mengayomi, sabar, bicaranya lemah lembut, itulah Allah yang kita mau. Mengapa kita mau Allah yang seperti itu? Karena kita juga mau Gereja yang seperti itu. Kita tidak mau melihat Dia sebagai seorang suami. Gambaran Mesias/ Kristus itu tidak pernah dihadirkan sebagai seorang bapa, seringnya sebagai seorang suami; sedangkan gambaran bapa itu dihadirkan dalam Allah Bapa. Seorang suami berbeda sekali dengan seorang bapa. Waktu seorang istri punya seorang suami, realitanya adalah suaminya itu punya kehendaknya sendiri. Gambaran indah yang pecah berkeping-keping waktu kita telah menikah adalah, bahwa ternyata pasangan kita –terutama suami– tidak eksis untuk memenuhi kebutuhan kita, tapi yang sering justru dia minta kita memenuhi kebutuhannya. Dia punya agendanya sendiri, punya rencananya sendiri, itulah seorang suami; dan paling celakanya dalam keluarga Timur tradisional, suamilah yang pegang uang sehingga pastinya dia yang pegang kuasa juga. Inilah gambaran seorang suami, dan ini gambaran yang sangat mengancam.
Kita lebih sering ingin melihat Allah sebagai Bapa, tapi kita lupa bahwa Mesias kita itu dihadirkan sebagai seorang Raja! Dia adalah Tuannya Daud, maka gambarannya adalah seorang suami. Memang benar Dia suami yang baik, sempurna, yang memberikan hidup bagi kita; tapi jangan lupa, Dia punya agenda-Nya sendiri, kehendak-Nya sendiri. Dia punya kuasa yang lebih besar daripada Saudara, maka berarti Saudara yang harus ikut Dia, bukan Dia yang ikut Saudara.
Mungkin Saudara bertanya, tapi bagaimana persisnya hal itu –kita mengikut Dia– dalam hidup kita, misalnya soal mengatur uang? Sederhananya, kalau Saudara kembali ke Alkitab, dalam Amsal 11:24 dikatakan: “Ada yang menyebar harta, tapi bertambah kaya; ada yang menghemat secara luar biasa, namun selalu berkekurangan.” Perkataan Amsal ini keliatannya sama sekali tidak masuk akal. Tapi sebenarnya ini masuk akal, karena di bagian ini, menyebar itu metafor dari pertanian. Kalau Saudara bertani, prinsip yang bekerja adalah semakin banyak Saudara menyebar benih, semakin banyak Saudara akan menerima hasil untuk dimakan; tapi kalau Saudara menahan benih, Saudara justru akan kelaparan. Itu prinsip yang jelas dalam pertanian, lalu penulis Amsal mengatakan bahwa uang juga demikian. Jadi di dalam Alkitab, pengertian uang itu seperti bertani, tapi ini sangat berbeda dengan ilmu finansial dunia yang mengatakan ‘kalau mau dapat lebih banyak uang, berarti harus meng-investasi (menyebar) uang’, karena dalam pertanian, investasi dan return itu bentuknya tidak sama. Dalam pertanian, return kembali dalam bentuk yang lebih baik daripada investasinya, ada perbedaan kualitas –benih bisa saja Saudara makan, misalnya biji semangka/ kuaci, tapi buah jelas lebih enak. Ini berarti dalam Alkitab, fungsi utama dari uang adalah untuk diberikan kepada orang lain, dan bukan untuk Saudara mendapatkan uang lebih banyak. Fungsi utama dari uang/ kekayaan, adalah untuk Saudara memberikan itu keluar, lalu Saudara menerima sesuatu yang bukan uang. Ini cara investasi yang aneh, tapi inilah investasi menurut Alkitab, investasi gaya Kerajaan Allah. Tapi kita justru seringkali tidak mau yang seperti ini. Kita harus mengakui bahwa kita tidak mau karena prinsip yang Alkitab berikan tentang bagaimana kita harus hidup ketika menyadari Dia Raja, sebagai Mesias, itu mengerikan dan sangat mengancam.
Calvin pernah bicara soal memberi amal, membantu orang miskin, dsb.; dia mengatakan bahwa memberi amal itu seperti doa syafaat. Menurut Calvin doa syafaat caranya sangat mudah; mulai dengan melihat dirimu punya kebutuhan apa, dari situ langsung kamu pikirkan orang lain, yang juga menyembah Bapa yang sama, da dia itu punya kebutuhan yang sama juga, lalu kamu doakan kebutuhan orang lain tadi. Itu berarti waktu kita mau berdoa syafaat, lalu kita teringat keluarga kita ada yang sakit atau kurang rohani, dsb., maka kita mendoakan orang lain yang mengalami itu juga. Kalau kita ada kekurangan uang atau kekurangan ini dan itu, langsung berhenti doa buat sendiri dan doakan orang lain yang mengalami hal itu juga. Jadi memberi amal, menurut Calvin, prinsipnya juga seperti ini. Itu berarti, kalau Saudara berpikir ‘saya perlu rumah baru’, tapi orangtua juga perlu rumah baru, Calvin akan langsung mengatakan “belikan rumah buat mereka”; mengerikan sekali. Inilah etika Kerajaan Allah dalam hal uang. Perhatikan perkataan Tuhan Yesus dalam Lukas 12, waktu Tuhan Yesus menceritakan perumpamaan mengenai orang kaya yang kemudian mati sia-sia itu: ‘Sesudah itu aku akan berkata kepada jiwaku: Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah! Tetapi firman Allah kepadanya: Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti? Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah’ (ayat 19-21).
Prinsip di dalam Alkitab jelas sekali, jikalau Saudara menyadari Mesias adalah Allah, bukan tugas-Nya untuk datang menambal bolong-bolong dalam hidupmu, tapi tugasmulah untuk bekerja bagi Dia, menambal bolong-bolong dalam dunia. Ini berarti, kalau Saudara berkehendak memberikan uang Saudara kepada Tuhan, caranya adalah membalik sama sekali cara berpikir Saudara mengenai uang. Uang itu investasi yang biblikal bukan ketika Saudara investasi 100 rupiah dan mendapatkan barang yang sama lagi. Dan investasi yang biblikal bukanlah yang mengenai kebutuhan Saudara, melainkan demi memenuhi kebutuhan orang lain akhirnya kebutuhan Saudara jadi tidak terpenuhi; karena Kristus juga demikian. Kristus, demi memenuhi kebutuhan kita, Dia membuang kebutuhan-Nya sendiri. Itu etika orang Kristen. Inilah artinya kita menyadari seperti yang dikatakan Mazmur 110, bahwa Mesias itu adalah Allah, Mesias itu Tuhannya Daud, bukan cuma Anak Daud. Inilah satu poin yang sangat penting, bahwa Raja ini bukan cuma seorang raja yang manusia, tapi Dia Raja yang Ilahi, dan berarti agenda-Nya juga agenda yang Ilahi, bukan agenda manusia.
YANG KEDUA: Mesias ini adalah Raja yang kuat, namun juga Raja yang lemah. Kita melihatnya dalam ayat 4: TUHAN telah bersumpah, dan Ia tidak akan menyesal: "Engkau adalah imam untuk selama-lamanya menurut Melkisedek.” Intinya adalah, bahwa Mesias yang sama ini, yang kepada-Nya Allah mengatakan “memerintahlah, Aku akan memberikan musuh-musuh-Mu menjadi tumpuan kaki-Mu”, Allah juga mengatakan “Engkau bukan cuma seorang Raja, Engkau juga seorang Imam”. Bagi para pembaca pertama dan orang-orang zaman Tuhan Yesus, ini sangat mengejutkan, karena pada zaman itu seorang raja tidak boleh menjadi imam, dan seorang imam tidak boleh menjadi raja. Ini bukan cuma masalah hukum atau semacam pemisahan kekuasaan, tapi karena jabatan imam dan raja itu memiliki misi yang hampir 180º berbeda, bahkan bertabrakan.
Raja itu gambarannya tentang pemerintahan, kekuasaan, penghakiman [pada zaman itu raja dan hakim tidak berbeda],karena fungsi seorang raja adalah mewakili Allah kepada umat-Nya. Sedangkan fungsi seorang imam adalah mewakili rakyat di hadapan Allah; sehingga gambarannya tentang simpati, pelayanan, mempersembahkan korban mewakili rakyat di hadapan Tuhan (maka kalau korbannya tidak benar, dia sendirilah yang mati). Imam juga melayani orang-orang miskin dan orang-orang sakit. Di Perjanjian Lama, memberikan uang kepada orang miskin itu melalui para imam, karena merekalah yang jadi penyalur kepada orang-orang miskin. Juga waktu Tuhan Yesus beberapa kali menyembuhkan orang kusta, Dia menyuruh mereka lapor kepada imam. Itu bukan karena penyembuhan kusta sebenarnya bicara tentang pentahiran rohani, tapi semata-mata karena memang para imamlah yang menjadi petugas kesehatan, yang akan mengkonfirmasi kesembuhannya secara medis. Raja dan imam ini kalau kita mau cari perbandingannya dalam konteks hari ini, contohnya: polisi dan pekerja sosial. Keduanya bisa bekerja menghadapi kelompok yang sama, tapi kita bisa jamin bahwa sikap mereka bisa sangat berbeda. Kepada penyalah-guna narkoba, seorang polisi akan bicara mengenai pelanggaran, ketidak-taatan, penghakiman; tapi pekerja sosial akan bicara soal kesembuhan, pemulihan, simpati, dsb. Yang satu mewakili sisi raja yang bicara keadilan, hukum; satunya lagi mewakili sisi rakyat.
Raja-raja bicara mengenai kekuatan dan penghakiman; imam bicara mengenai belas kasihan dan pengampunan. Sulit sekali untuk melihat penyatuan dua jabatan ini, karena ketika menjalankan pekerjaan menurut jabatan yang satu secara sempurna, itu serta-merta membuat pekerjaan menurut jabatan lainnya jadi tidak sempurna. Dengan kata lain, kita tidak bisa melihat Mesias seutuhnya jika kita tidak bisa melihat kedua hal tadi secara sama rata dan bersamaan.
Kenyataannya, dalam hidup kita banyak sekali distorsi. Hidup kita bengkok karena kita mengerti Allah secara bengkok, kita melihat salah satu aspek secara lebih besar daripada aspek yang lain. Justru ketika kita melihat adanya penggabungan yang luar biasa inilah yang membuat Mesias begitu indah, karena kombinasi ini tidak bisa kita temukan dalam diri manusia. Jonathan Edwards mengatakan: Yesus Kristus menggabungkan kemuliaan, majesty, glory, di satu sisi, dengan humility, kerendahan hati, kelemah-lembutan di sisi lain. Ada kasih karunia yang tidak berujung, tapi juga ada keadilan yang tanpa kompromi. Ada kekuasaan mutlak atas seluruh alam, tapi ada juga ketaatan kepada Allah Bapa yang mutlak juga. Ada sisi domba, tapi juga ada sisi singa. Ada sisi Imam, ada sisi Raja. Ada sisi Hakim yang menghakimi dan menjatuhkan hukuman, tapi juga yang membawa korban untuk pengampunan, pada saat yang sama.
Saudara, kalau kita tidak melihat dua hal ini bersamaan dalam Alkitab, itu membuat ada banyak distorsi dalam hidup kita. Kalau Saudara masuk ke dalam kitab-kitab Injil, Saudara akan melihat dua hal ini selalu bersamaan. Dalam cerita anak perempuan yang dibangkitkan, Saudara akan menemukan Yesus duduk di sisinya dan dengan lemah lembut mengatakan “talita kum”. Kalimat ini kalau mau kita terjemahkan, itu kira-kira seperti mengatakan: ‘my dear, waktunya untuk bangun’; suatu kelembutan yang luar biasa. Waktu berhadapan dengan orang-orang kusta, Tuhan Yesus bukan cuma melakukan penyembuhan, tapi Dia menyentuh mereka. Itulah yang paling diperlukan orang-orang kusta –ada orang yang menyentuh dirinya. Dalam cerita orang tuli yang disembuhkan, di situ kita melihat simpati yang luar biasa; Tuhan Yesus bicara bahasa isyarat karena orang ini tuli. Juga Tuhan Yesus membawa dia ke tempat sepi karena orang ini seumur hidupnya sudah jadi tontonan dan Tuhan Yesus tidak mau membuat dia jadi tontonan lagi, tidak peduli orang-orang tidak melihat Dia bisa menyembuhkan. Tapi di sisi lain, di hadapan orang-orang yang lain –orang-orang Farisi, ahli Taurat, pemimpin-pemimpin agama, Herodes, Pilatus, atau tokoh-tokoh politik—Dia tidak terintimidasi sama sekali. Orang Farisi itu ibarat seniornya Tuhan Yesus, dan kepada mereka Dia mengatakan “kamu ini kuburan berlabur putih, cuma depanya putih tapi isinya tengkorak semua” [Saudara bisa membayangkan ini seperti: saya, seorang vikaris, yang berkata kepada pendeta]. Dia membersihkan Bait Allah dengan membalik-balikan meja. Itulah Tuhan Yesus. Ada sisi itu bersama-sama dengan sisi lainnya.
Satu contoh yang paling bagus, yaitu ketika Dia masuk Yerusalem mengendarai seekor keledai, bukan seekor kuda, atau singa, atau gajah yang besar, atau apapun. Ini menandakan kerendahan hati yang luar biasa. Ketika Dia datang, memang ada prosesinya, memang orang-orang meneriakkan “Hosana Anak Daud”, memang Dia datang sebagai seorang Raja, tapi Dia datang dalam kerendahan; dan juga pada saat yang sama dicatat bahwa itu keledai yang belum pernah ditunggangi. Kalau Saudara naik keledai yang belum pernah ditunggangi, keledai itu akan melempar Saudara dari punggungnya, tapi Tuhan Yesus menunggangi keledai ini, dan itu menunjukkan kuasa-Nya atas alam. Tuhan Yesus menunjukkan kuasa-Nya, kingship-Nya, dan pada saat yang sama juga kelemah-lembutan dan kerendahan hati. Raja yang kuat, tapi juga Raja yang adalah seorang Imam.
Paling gampang untuk melihat hal dalam Perjanjian Lama, yaitu Keluaran 32-34. Itu kisah ketika Musa sedang stres lalu dia meminta, “Tuhan, tolong nyatakan kemuliaan-Mu”, kemudian Tuhan menjawab, “Tidak bisa, karena itu akan membunuhmu, … yang akan Kulakukan adalah Aku akan melewatkan seluruh kebaikan-Ku di depanmu –I will pass all my goodness before you” (Kel 33: 18-19). Apakah ‘goodness’-nya Tuhan? Yaitu sebagaimana di Keluaran 34: 6-7 dikatakan: Berjalanlah TUHAN lewat dari depannya dan berseru: "TUHAN, TUHAN, Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, …” Kebaikan Tuhan adalah nama-Nya, siapa diri-Nya. Tuhan mendeklarasikan nama-Nya di hadapan Musa, tapi kita seringkali hanya ingat bagian yang pertamanya saja: “TUHAN, TUHAN, Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya, yang meneguhkan kasih setia-Nya kepada beribu-ribu orang, yang mengampuni kesalahan, pelanggaran dan dosa”, dan kita lupa bagian yang langsung mengikutinya: “tetapi tidaklah sekali-kali [tidak pernah/ never] membebaskan orang yang bersalah dari hukuman, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknyadan cucunya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat." Saudara lihat di sini, dua-duanya ada pada saat yang bersamaan, itulah yang Allah namakan sebagai ‘kebaikan-Nya’, dan bukan salah satu. Tidak dikatakan yang satu adalah sisi ketegasan-Nya, lalu yang lain adalah sisi kebaikan-Nya, tapi bahwa ketika dua-duanya disatukan, barulah Allah menamakan itu ‘kebaikan-Nya’.
Apakah kita melihatnya demikian, atau kita melihatnya sebagai kontradiksi? Mungkin kita bertanya, apakah ini berarti Allah sedang mau mengatakan bahwa Dia sangat ingin mengampuni, tapi Dia juga tidak mau mengampuni sampai dosa yang terkecil?? Kalau begini, bukankah dua-duanya ketika disatukan, akhirnya bukan jadi Allah yang baik tapi malah jadi Allah yang skizofrenia?? Allah apaan kalau seperti itu?? Saudara, inilah kotak-kotak kecil kita yang kita mau masukkan Allah ke dalamnya. Buat kita, Allah yang baik adalah Allah yang mengampuni dosa dan tidak pernah menghukum. Tapi itu sama sekali salah.
Kalau Saudara melihat Dia sebagai Raja, sebagai Hakim, maka raja yang baik atau hakim yang baik, itu yang seperti apa? Apakah hakim yang membebaskan orang yang bersalah? Kalau seorang terdakwa sudah menangis, bilang menyesal, kemudiaan hakim melepaskan dia, itu sama sekali bukan hakim yang baik. Hakim yang baik justru adalah hakim yang sekali-kali tidak akan melepaskan orang yang bersalah. Itu sebabnya Allah mengatakan ‘inilah seluruh kebaikan-Ku’. Dan, Allah juga mengatakan ‘Saya pengasih, Saya panjang sabar, berlimpah kasih setia, mengampuni kesalahan, karena Saya memang Allah yang baik juga secara imam’.
Baik secara Raja maupun baik secara Imam ini harus dilihat sebagai satu paket. Pertanyaannya, bagaimana bisa? Di satu sisi benar-benar sempurna sebagai seorang Raja/ Hakim, di sisi yang lain sempurna sebagai seorang Imam, bagaimana caranya? Bukankah kalau mengampuni, berarti tidak sempurna sebagai hakim; kalau menghukum tanpa terkecuali berarti tidak sempurna sebagai imam? Ada caranya, Saudara. John Stott mengatakan bahwa ‘esensi dosa adalah: kita mendudukkan diri kita di kursi yang sepatutnya hanya milik Allah’; maksudnya kita ini mau mengemudikan hidup kita sendiri, kita mau pakai uang kita, pakai waktu kita, mencari kerja, cari pacar, dst., semuanya sesuai yang saya mau kerjakan. Tapi kemudian John Stott melanjutkan, ‘oleh sebab itu, esensi keselamatan adalah: Allah menempatkan diri-Nya di tempat yang sepatutnya hanya milik kita’, yaitu di kursi terdakwa –kursi listrik, di atas kayu salib.
Di atas kayu salib, Saudara melihat aspek kebaikan Allah sebagai seorang Imam –yang penuh belas kasihan dan pengampunan– terpenuhi secara sempurna, karena Dia mengorbankan diri-Nya. Kita sering mengatakan “di atas kayu salib, semua dosaku dihapus”, itu kalimat yang kurang tepat. Dosa kita tdak dihapus. Di atas kayu salib; yang terjadi bukanlah penghapusan dosa, tapi penghukuman dosa, pengganjaran yang setimpal atas dosa. Di atas kayu salib, juga adalah tempat kebaikan Allah sebagai Raja/ Hakim yang tidak akan melepaskan dosa sekecil apapun, dinyatakan secara sempurna. Dua-duanya dinyatakan secara sempurna di atas kayu salib, karena Kristuslah yang menerimanya, ganti kita yang percaya kepada Dia. Inilah yang menggenapi kebaikan Allah sebagai Raja dan sebagai Imam secara sempurna.
Hanya ketika Saudara melihat kedua-duanya terpenuhi, barulah Saudara bisa melihat diri Allah begitu indah secara utuh. Dan itulah yang mengubah diri kita. Hanya ketika Saudara melihat bahwa Allah begitu suci sehingga semua ini memang arus digenapi, tapi Dia juga Allah yang berbelas-kasihan begitu besar sehingga Dia menggenapinya bagi kita; dan Saudara melihat dua-duanya tanpa kontradiksi, di situlah Saudara melihat keindahan diri Allah secara utuh. Kita sebagai orang Kristen seringkali lupa akan hal ini.
Saudara tidak mengenal seorang pribadi justru ketika Saudara menganggap dia itu simpel. Mengenal seorang Pribadi adalah justru ketika Saudara mengenal kompleksitasnya. Saya ada satu contoh sederhana. Seorang rekan mengatakan kepada saya, “Begini caranya kalau mau beli kamera banyak tapi istri tidak komplain: sebelum kita beli kamera buat sendiri, kita belikan dia dulu barang yang harganya kira-kira mirip. Lalu waktu dia senang, baru kita beli kamera buat sendiri. Jadi aman, ‘gak dimarahin istri.” Yang menarik, waktu menceritakan ini, di satu sisi saya melihat rekan saya itu seperti mengomel, tapi di sisi lain ada kebanggaan –‘istri gua itu kayak gini’. Mengapa saya berani berkata mengenal rekan saya tersebut? Karena saya bisa melihat kontradiksi ini dalam hidupnya, saya melihat kompleksitas dalam pribadinya. Bayangkan kalau saya mengatakan mengenal, lalu cuma tahu bahwa dia itu pendek. Itu sama sekali bukan mengenal, tapi cuma tahu prinsip; prinsip itu sesuatu yang simpel, satu arah. Tapi kalau Saudara mengenal seorang pribadi, justru Saudara melihat kompleksitasnya, hal-hal yang seperti bertabrakan tapi dua-duanya eksis secara bersamaan. Dan itulah keindahan seorang pribadi yang tidak bisa digantikan dengan satu prinsip. Hanya ketika Saudara melihat di dalam diri Tuhan/ Mesias ada sifat-sifat yang seperti berlawanan –sempurna sebagai seorang Raja tapi juga sempurna sebagai seorang Imam—barulah Saudara melihat keindahannya secara utuh.
Mengapa hari ini dasar hidup Saudara tidak berubah? Karena selama ini kita mengotak-ngotakkan Allah kita. Misalnya, di antara kita tentu ada orang-orang yang lebih ‘rajani’ dibandingkan ‘imamat’, yang kalau soal kebenaran, keadilan, dsb. fasih sekali, tapi kalau soal mendengarkan orang bicara, mengelus-elus pundak, dsb. kurang mampu. Ada juga orang-orang yang lebih bersifat ‘imamat’ dibandingkan‘rajani’; yang bisa mengerti orang, mendengarkan orang bicara lama-lama, tapi begitu ditanya, tidak tahu mau jawab apa, tidak tahu kebenarannya, dsb. Mengapa Saudara dan saya seperti salah satu dari ini? Kalau kita bikin angket dengan pertanyaan “Allah seperti apa yang ada dalam benak Saudara?” kepada Saudara yang lebih ke ‘raja’ dan Saudara yang lebih ke ‘imam’, maka orang-orang yang lebih ke ‘imam’ dan bukan ‘raja’ mengerti Mesias sebagai figur yang lebih ke arah seorang bapa. Sebaliknya orang-orang yang lebih ‘rajani’ dan kurang ‘imam’ adalah karena mereka melihat Tuhan lebih sebagai seorang Raja, tapi tidak melihat sisi ke-imamannya.Teologi itu sesuatu hal yang sangat praktikal. Mengenal dan melihat Allah yang seperti ini, inilah yang akan mengubah Saudara.
Hal yang terakhir, di ayat 5-7 dikatakan: TUHAN ada di sebelah kananmu; Ia meremukkan raja-raja pada hari murka-Nya, Ia menghukum bangsa-bangsa, sehingga mayat-mayat bergelimpangan; Ia meremukkan orang-orang yang menjadi kepala di negeri luas. Dari sungai di tepi jalan ia minum, oleh sebab itu ia mengangkat kepala. Apa maksudnya di sini? Pada dasarnya Daud sedang mengatakan tentang seorang Raja/ seorang Mesias yang menaklukkan musuh, mungkin dia mengingat kepada penyelamat-penyelamat Israel di masa yang lalu. Dalam bagian ini, Edmund Clowney mengatakan bahwa ini mungkin mengacu kepada Simson, yang dalam satu episode hidupnya menang atas orang Filistin dan dia menumpuk mayat-mayat musuhnya itu, lalu dia kehausan, mendapatkan minum dan segar kembali. Tetapi semua figur penyelamat ini mengacu kepada figur mesianik yang terakhir, yaitu Kristus. Dialah figur Mesias yang paling utama itu.
Dan Paulus, yang melihat Kristus itu, di Efesus 1 mengutip Mazmur 110. Dia mengatakan: karena Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, mendudukkan Dia di sebelah kanan-Nya di sorga, lebih tinggi dari segala pemerintah, kuasa, dan kerajaan, segala sesuatu telah ditaklukkan di bawah kaki-Nya. Dalam Mazmur 110 ada bagian ini –tentang duduk di sebelah kanan Allah, tumpuan kaki, dsb.—dan ada bagian yang berikutnya tadi –tentang mayat-mayat bergelimpangan, dsb. Efesus 1 juga ada bagian yang jelas ini, bahwa Kristuslah yang duduk di sebelah kanan Allah, musuh-musuh di bawah kaki-Nya, dsb., lalu apa yang Paulus tulis di sini mengenai bagian yang ‘mayat-mayat bergelimpangan’ dalam Mazmur 110 tersebut? Yang ditulisnya adalah: ‘Dan segala sesuatu telah diletakkan-Nya di bawah kaki Kristus dan Dia telah diberikan-Nya kepada jemaat sebagai Kepala dari segala yang ada. Jemaat yang adalah tubuh-Nya, yaitu kepenuhan Dia, yang memenuhi semua dan segala sesuatu’ (Ef 1:22).
Di dalam Mazmur 110, cara Daud menang adalah melalui mengisi bumi dengan mayat-mayat yang bergelimpangan –filling the world with dead bodies. Tapi dalam Efesus 1, cara Kristus menang adalah melalui mengisi dunia dengan tubuh-Nya, dengan kepala-Nya yang kena makhota duri, dengan tangan-Nya yang telah dipaku. Dan siapakah tubuh-Nya? Kita. Itu sebabnya kita adalah imamat rajani. Mari kita meminta kepada Tuhan untuk mulai menyadari panggilan kita dalam hidup di atas dunia ini, untuk menjadi Jemaat Tuhan yang sebenarnya.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading