Hari Minggu lalu –tepatnya tahun lalu– kita berbicara mengenai Allah yang membingungkan, sekarang di Minggu pertama tahun yang baru kita akan bicara tentang pasal yang membingungkan ini. Apa sebenarnya pesan dari pasal ini, apakah Paulus mengajarkan orang Kristen menjadi semacam relatifis, yang pokoknya menerima saja segala kelemahan orang lain dan semua pendapat yang berbeda-beda? Lalu bagaimana dengan 1 Tes 21, yang di situ Paulus mengatakan supaya kita harus menguji segala sesuatu dan hanya memegang yang baik? Seakan-akan kedua bagian ini bertabrakan. Kita akan mengupasnya sedikit demi sedikit.
Di bagian ini ada semacam perdebatan/perselisihan di Gereja Roma, yaitu mengenai makanan. Roma 14:2 ‘Yang seorang yakin, bahwa ia boleh makan segala jenis makanan, tetapi orang yang lemah imannya hanya makan sayur-sayuran saja’ (ini bukan berarti orang vegetarian itu imannya lemah). Saudara bisa mengerti dua kelompok ini, kalau melihat konteks Perjanjian Lama. Dalam kitab Imamat dan Ulangan ada daftar panjang tentang makanan-makanan yang clean dan unclean. Tujuannya –yang kurang penting– adalah supaya Israel bisa menjaga identitas nasional mereka di tengah-tengah dunia bangsa-bangsa lain, yang mungkin lebih dominan secara kultur, militer, dsb., karena salah satu kebahayaan yang dihadapi adalah mereka menjadi seperti bangsa-bangsa lain. Tapi tujuan yang lebih penting adalah menekankan dan mengajarkan Israel satu konsep, bahwa orang tidak bisa datang kepada Allah Alkitab tanpa ada semacam pembersihan/pengudusan. Dari sini Saudara dapat mengerti alasannya di Perjanjian Baru aturan tentang makanan tersebut seakan-akan dicoret; ada pergeseran luar biasa, baik Tuhan Yesus maupun para murid-Nya mengatakan bahwa tidak ada lagi makanan yang tidak bersih atau najis. Ini bukan karena Perjanjian Lama tidak berlaku lagi atau dicoret, melainkan karena Perjanjian Lama digenapi di dalam Kristus (Tuhan Yesus sendiri mengatakan, tidak satu iota pun yang dihilangkan dari Perjanjian Lama). Gambaran Perjanjian Lama yang mengatakan ‘engkau tidak bisa datang ke hadirat Allah tanpa ada pembersihan/pengudusan’, sudah digenapi secara mutlak dalam diri Kristus, sehingga kita tidak perlu lagi mengikuti hukum tentang makanan itu, bukan karena hukum tersebut sudah tidak berlaku tapi karena hukum itu sudah mencapai tujuan akhirnya. Yang terjadi di jemaat Roma, ada sebagian jemaat yang meskipun percaya Injil –bahwa kita bisa menghadap hadirat Bapa bukan karena kekudusan kita melainkan karena kekudusan Kristus– mereka sulit melepaskan tradisi yang sudah mendarah-daging ratusan tahun ini; bagaimanapun juga mereka tetap merasa tidak boleh dan adalah sesuatu yang salah bagi orang Kristen kalau makan jenis-jenis makanan tertentu.
Mengapa orang-orang ini sampai tidak mau makan daging sama sekali? Ada kemungkinan di beberapa kota kafir waktu itu tidak bisa didapatkan daging yang halal, sehingga solusinya berhenti makan daging sama sekali, cuma makan sayur-sayuran. Dan Paulus melabelkan orang-orang seperti ini sebagai orang-orang yang imannya lemah. Meskipun mereka percaya Injil, tapi mereka belum berhasil mengejawantahkan implikasinya dalam kehidupan mereka. Hasilnya, mereka membuat peraturan-peraturan yang sebenarnya tidak perlu, yang ujungnya untuk membawa kedamaian “palsu” dalam hidup mereka, seakan-akan dengan taat peraturan ini dan itu, berarti rohani saya tidak jelek-jelek amat. Inilah yang Paulus sebut sebagai orang-orang yang lemah imannya, dalam arti tidak mengerti implikasi Injil dalam kehidupan mereka. Dan di seberang mereka ada orang-orang Roma yang Paulus sebut sebagai orang-orang yang kuat, yang mengerti bahwa tidak ada problem sama sekali dengan makanan-makanan tersebut.
Saya rasa kita semua sudah tahu gambarannya seperti ini, bahwa ini perdebatan teologis, perdebatan dalam ranah doktrinal, yang ujung-ujungnya adalah beda konsep. Tapi mungkin ada sesuatu yang lebih dalam daripada sekedar masalahan perbedaan doktrin, dan mungkin hal inilah yang seringkali kita tidak sadar telah sangat mempengaruhi cara kita berteologi. Kita bisa melihatnya lebih jelas kalau kita membandingkan Roma 14-15 ini, dengan bagian yang lain yaitu 1 Kor 8 yang agak mirip.
Dalam 1 Kor 8 Saudara akan menemukan, di jemaat Korintus juga terjadi satu perdebatan/perselisihan, yang juga mengenai makanan, tapi konteksnya sedikit berbeda. Di Korintus mayoritas makanan yang dijual di pasar biasaya pagi-pagi diberkati dulu oleh imam-imam dari berbagai macam kuil atas nama dewa-dewi kafir, lalu orang-orang Kristen di Korintus mengatakan bahwa mereka tidak boleh makan makanan yang sudah dipersembahkan ke dewa-dewi kafir ini (kalau hari ini, ekuivalen-nya mungkin waktu kita bertanya “boleh ‘gak datang ke toko yang di atas pintunya dipasang jimat dari Gunung Kawi”, semacam itu). Orang-orang jemaat Korintus mempermasalahkan hal ini, karena meskipun mereka percaya Injil –bahwa hanya ada satu Allah, bahwa Kristus adalah Raja atas segala sesuatu—mereka sulit melepaskan pengertian yang sudah mendarah-daging bahwa dewa-dewi kafir itu ada pengaruhnya dan jimat-jimat itu bagaimanapun tetap ada efeknya. Oleh sebab itu mereka merasa tidak tenang. Dan di 1 Kor 8 ini, sekali lagi Paulus menyebut mereka “lemah”, karena mereka belum melihat implikasi dari kemenangan Kristus atas segala kuasa. Sementara itu, di seberang mereka juga ada orang-orang yang kuat itu, yang tahu bahwa tidak ada problem sama sekali makan makanan dari pasar Korintus, karena toh dewa-dewi itu semua palsu, tidak ada kuasa sama sekali.
Jadi, kalau Saudara melihat dua kejadian yang mirip tapi berbeda ini –dan bukan cuma melihat salah satunya– apa gambaran yang Saudara dapatkan yang tidak akan dapatkan kalau cuma melihat salah satu saja? Saudara akan melihat bahwa ini sesungguhnya memang bukan problem teologis, yang terjadi bukan perdebatan teologis, paling tidak bukan itu akarnya. Ini adalah perselisihan/perdebatan antara 2 kelompok ras, 2 kelompok budaya yang berbeda. Gereja mula-mula itu secara umum didominasi oleh 2 kelompok besar: kelompok Yahudi (orang-orang Ibrani), dan orang-orang Yunani. Yang satu adalah ras Yahudi dengan tradisi budaya Yudaisme-nya, dan satunya lagi sebenarnya kelompok ras bermacam-macam tapi termasuk orang-orang Yunani/ Romawi yang tradisinya budaya kafir (pagan).
Kira-kira di antara 2 kelompok ini –Yahudi dan Yunani—dalam kasus kota Korintus, yang mana yang lebih mungkin masih terpengaruh dengan soal-soal pemberkatan imam-imam kafir itu? Jawabannya: kelompok orang-orang Yunani, karena itu memang tradisi mereka yang sejak kecil sudah diajarkan tentang dewa-dewi tersebut dan pengaruh kuasanya, dsb. Akibatnya, waktu mereka menjadi Kristen mereka sulit untuk melepaskan hal-hal tersebut; seperti kalau masuk toko yang ada jimat lalu merasa itu ada pengaruhnya, bukan sesuatu yang main-main. Sekarang di kota Roma, kira-kira kelompok ras mana yang dikatakan masih lemah, yang masih terperangkap dalam tradisi aturan-aturan mengenai makanan yang bersih atau najis? Jawabannya: kelompok Yahudi, yang sudah ribuan tahun punya tradisi adanya makanan najis dan tidak najis, dan akhirnya mereka terperangkap dalam hal itu. Dengan demikian, di Roma yang disebut sebagai orang-orang yang kuat oleh Paulus kemungkinan besar adalah orang-orang Yunani, karena mereka tidak terpengaruh hal-hal semacam itu. Sedangkan di Korintus, yang disebut Paulus sebagai orang-orang yang kuat justru kemungkinan besar adalah orang-orang Yahudi. Orang-orang ini pastinya mengatakan: “Tuhan itu cuma satu, Allah cuma satu, dari dulu orang Ibrani juga percaya itu; kita tidak ada masalah dengan dewa-dewi dsb., makan ya makan aja”. Di sini orang-orang Yahudi itu justru yang kuat, sementara di Korintus orang-orang Yunani mengatakan kepada mereka: “Aduh, orang Yahudi ini kolot luar biasa, aturan dari ratusan tahu masih dipakai sampai sekarang; makanan tidak ada yang beda-lah, daging, sayur, dan segala macam itu”.
Ketika kita menaruh 2 kasus ini berdampingan, kita mendapati satu hal yang Alkitab mau kita belajar darinya, yaitu kita harus berani mengakui bahwa perbedaan ras dan budaya itu sangat riil dan mempengaruhi kita semua. Ini sangat mempengaruhi cara kita berpikir, cara kita membaca Alkitab, bahkan itu merupakan satu pengaruh yang sangat kuat yang seringkali berada di bawah posisi teologis kita. Kita harus berani mengakui, bahwa yang kita sebut posisi teologis kita itu, pastinya sangat dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan budaya kita. Ini satu hal yang kita harus berani konfrontasi diri kita sendiri. Kita harus berani mengakui dan menyadari, bahwa seringkali yang kita ingin labelkan sebagai kebenaran atau prinsip Alkitab ketika sedang berbeda pendapat dengan orang lain, sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh budaya kita, kebiasaan-kebiasaan kita, yang biasa kita lakukan. Ini satu hal yang Saudara dan saya sangat tidak sudi mengakuinya. Waktu berdebat dengan orang, kita tidak mau mengatakan “menurut kebiasaan saya, budaya saya, begini begitu”, karena argumennya jadi langsung runtuh; sebaliknya kalau kita mengatakan “ini prinsip Alkitab”, itu baru kuat argumennya. Tapi Saudara tidak bisa kabur dari kenyataan bahwa di dalam Gereja, perbedaan budaya dan ras sangat riil. Waktu membaca hidup ini, dan membaca Alkitab, kita sangat dipengaruhi oleh kacamata budaya kita.
Mungkin Saudara mengatakan “saya mengakui koq hal seperti itu, saya tahu”, tapi masalahnya, kita tidak harus sadar waktu kita melakukan penipuan seperti ini. Contoh sederhana, kita di Indonesia kebanyakan menonton film bahasa Inggris versi Holywood (film Amerika); ini juga sebabnya kebanyakan kita tumbuh mengenal bahasa Inggris dalam aksen Amerika. Oleh sebab itu, tanpa mempertanyakan lagi, kita menganggap bahasa Inggris aksen Amerika inilah yang normal; bicara bahasa Inggris ya artinya dengan aksen Amerika, seperti yang kita lihat di film-film itu. Lalu ketika suatu hari kita melihat orang India bicara bahasa Inggris dengan aksen India, kita anggap itu aneh. Begitu juga waktu kita mendengar orang Chinese bicara bahasa Inggris dengan aksen Chinese-nya. Dan lucunya, waktu kita mendengar orang Inggris sendiri bicara bahasa Inggris dengan aksen Inggris (British), kita juga menganggap itu aneh. Ini satu hal yang bukan cuma mempengaruhi ketika kita mendengar aksen orang lain yang berbeda, tapi mempengaruhi hampir semua hal yang kita lakukan. Ada hal-hal yang kita lakukan dengan cara-cara tertentu dan kita anggap memang seperti itulah caranya, padahal sebenarnya itu hanya satu cara tertentu yang ada di budaya/kebiasaan kita. Tapi kita tidak merasa seperti itu. Kita mengatakan sesuatu, kita melakukan sesuatu, dan kita pikir memang seperti itu normalnya, sementara orang di sebelah kita mungkin cekikikan dalam hati melihatnya. Di Amerika, orang kulit putih seringkali dikritik seperti tulisan seorang African American ini: “You never think your ways as white, you only think of them as right” (kamu itu tidak pernah sadar bahwa cara-caramu itu cara orang kulit putih, kamu hanya pikir bahwa cara-caramu itu cara yang benar –padahal ada banyak cara lain untuk melakukan hal yang sama tapi kamu tidak pernah sadar).
Inilah satu kesimpulan awal ketika kita melihat bagian Alkitab ini. Alkitab sangat peka akan hal ini. Kalau kita ingin kemajuan dalam dialog kemajemukan, maka kita harus melihat pada tuntutan Alkitab untuk berani mengakui bahwa ras dan budaya pribadi sangat mempengaruhi setiap aspek kehidupan kita, termasuk konsep kita, teologi kita. Jika kita tidak memulai dengan menyadari hal ini, tidak akan ada kemajuan sama sekali. Dan ini dari Alkitab, bukan dari textbook pluralisme sekuler.
Berikutnya, kita melihat solusi yang ditawarkan Paulus bagi ketegangan antar budaya dan antar ras ini, khususnya kita perlu melihat perbedaannya dengan solusi yang ditawarkan oleh dunia. Kalau Saudara melihat masalah mengenai ras, budaya, perbedaan agama, suku, dsb. hari ini, yang ditawarkan oleh dunia sebagai jalan keluar adalah Saudara dan saya jadi orang-orang yang toleran, yang luas, tidak sempit. Kalau soal makanan, jangan ‘tidak boleh ini, tidak boleh itu’, tapi seperti orang yang toleran dan luas hati itu, yang mengatakan “sudahlah, makan ini boleh, makan itu boleh, tidak ada masalah”. Dan di sini kita mulai curiga sepertinya Paulus menawarkan solusi yang mirip. Tapi tidak; solusi yang Paulus tawarkan sangat berbeda, bahkan bertabrakan, dengan yang dunia tawarkan.
Saudara perhatikan dalam ayat-ayat tadi, kritikan Paulus datang kepada siapa terutama? (memang dia mengkritik dua-duanya). Apakah kepada mereka yang sempit, atau yang kuat? Justru kepada yang kuat. Dia lebih banyak mengatakan: “Kamu yang kuat, …”. Bahkan di ayat 3, Paulus mengatakan: “Siapa yang makan, janganlah menghina orang yang tidak makan, dan siapa yang tidak makan, janganlah menghakimi orang yang makan,”. Di sini Saudara bisa lihat, bahwa di dalam 2 kubu ini ada satu attitude yang sama; bukan cuma golongan fundamentalis menghakimi orang-orang yang lebih luas hati, tapi juga orang-orang yang luas hati itu menghina kaum fundamentalis. Dua-duanya terjadi; Paulus mengatakan: “yang satu menghakimi, yang satu menghina”. Bukan cuma golongan fundamentalis yang tidak toleran, tapi golongan yang luas hati –yang katanya toleran itu– juga sama; mereka memandang rendah orang-orang yang fundamentalis. Solusi yang dunia tawarkan, yang seringkali dibungkus dalam label ‘keluasan berpikir’, ‘semangat pluralisme’, dsb. itu tidak membantu sama sekali, dan seringkali ujungnya sama saja dengan fundamentalisme. Karena, memang orang-orang fundamentalis menganggap rendah orang-orang pluralis, tapi kaum pluralis pun seringkali memandang rendah kaum fundamentalis. Yang pluralis mengatakan: “Orang-orang fundamentalis itu yang bikin masalah seluruh negara”, sebaliknya yang fundamentalis mengatakan: “Orang-orang pluralis itu yang bikin masalah seluruh negara”. Sama saja. Saudara bisa lihat bahwa posisi yang selama ini disebut “toleran” ternyata tidak toleran; paling tidak, mereka tidak toleran terhadap orang-orang yang mereka anggap intoleran. Dan itu sama saja dengan tidak toleran.
Jawaban dari Alkitab sama sekali bukan posisi seperti ini. Solusi yang ditawarkan Paulus bukan satu solusi duniawi yang dimodifikasi sedikit, melainkan benar-benar kebalikan dari solusi yang ditawarkan dunia. Kita bisa lihat ini di Roma 14:1 Terimalah orang yang lemah imannya tanpa mempercakapkan pendapatnya. Di sini terjemahannya tidak tepat, kata yang dipakai bukan ‘mempercakapkan’ melainkan ‘diakrisis’ artinya to past judgement; jadi maksudnya: terimalah orang yang lemah imannya tanpa menghakimi pendapatnya, tanpa menjadikan dirimu standar dari apa yang dia harus lakukan. Ini sama sekali bukan mengatakan “ya, pokoknya terima saja, tidak usah bicara, tidak usah diskusi, tidak usah ada kontak sama sekali”. Dan juga di Roma 15:1 dikatakan: Kita, yang kuat, wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan kita sendiri. Kita akan fokus di 2 ayat ini.
Ide ‘toleransi’ yang ada di media seringkali maksudnya adalah tidak mempercakapkan perbedaan sama sekali. Posisi dunia adalah ‘ya, kalau orang mau kayak gitu, biar saja; kita jangan kasih evaluasi yang negatif, tidak perlu saling evaluasi, tidak perlu saling menilai’. Sedangkan kata-kata Paulus adalah “terimalah mereka yang lemah”; ‘lemah’ ini suatu penilaian, evaluasi, dan negatif. Yang menarik, kata ‘menerima’ (bahasa Yunaninya: proslambano) bukan berarti menerima dengan menelan bulat-bulat, melainkan menerima dalam arti to welcome, to take alongside. Kata ini beberapa kali dipakai dalam Akitab ketika seseorang mengajak orang yang lain ke sisinya jalan bersama-sama dengan dia, menerima dalam arti mengajak berinteraksi/berdialog. Ini sangat bertabrakan dengan solusi dunia, karena solusi dunia justru tidak usah memberi evaluasi, tidak usah utak-atik hidup orang lain, namun ujungnya jangan sampai orang lain utak-atik hidupmu. Lu tidak perlu berubah buat orang lain, jadi berarti lu juga jangan ubah-ubah hidup gua; gua ‘gak ganggu lu, lu ‘gak ganggu gua. Titik.
Tapi Alkitab tidak seperti itu; Paulus mengatakan bahwa kasih akan memberikan evaluasi, meski itu evaluasi negatif –“kamu yang lemah”—tapi di sisi lain ada penerimaan, dalam arti ada usaha untuk mengubah hidup kita demi menyesuaikan diri dengan dia. Ada usaha berjalan bersama dengan dia.Ada usaha untuk menempatkan diri equal dengan orang ini meskipun kita mengevaluasi dia negatif. Ada kerelaan mengubah diri untuk bisa berinteraksi dengan orang ini, mungkin dalam bahasanya, mungkin dalam hal yang dia mengerti, mungkin dalam caranya melakukan banyak hal.
Lalu di pasal 15 “kita, yang kuat, wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat”, apa maksudnya? Pembacaan budaya Timur –yang dikatakan sebagai prinsip Alkitab—mengatakan ini maksudnya kita jangan offensive, jangan menyakiti perasaan orang lain. Tapi tidak mungkin itu maksud Paulus. Surat ini surat terbuka yang dibacakan di depan jemaat, yang mendengar bukan cuma orang-orang yang kuat tapi juga yang Paulus sebut sebagai orang-orang yang lemah. Jadi Paulus tidak mungkin berpikir kalau menanggung kelemahan orang lain itu artinya tidak boleh offensive dan membuat mereka mungkin kesal, karena tidak mungkin kita memberikan evaluasi negatif kepada orang lain tanpa kemungkinan menyakiti hatinya (kita selalu mengatakan kalau mau kritik orang harus tunggu waktu yang tepat, waktu yang orang itu bisa menerima tanpa sakit hati; dan itu sebabnya kita tidak pernah kritik orang, karena tidak mungkin ada waktu yang seperti itu, dikritik pasti sakit hati). Dalam bahasa Gerika-nya, bagian ini bukan dikatakan ‘menanggung kelemahan’ tapi secara literal adalah ‘menanggung mereka yang lemah’. Maksudnya tentu saja bukan berarti kita gigit bibir kuat-kuat melihat orang lain melakukan kebodohan, melainkan membuka diri kita untuk berani melihat dalam perspektif mereka, untuk berdialog, untuk menaruh diri kita di sisi mereka, untuk mengerti mengapa mereka melakukan yang mereka lakukan, dan mungkin meng-apresiasi yang menjadi kelemahan maupun kekuatan dari posisi mereka. Dan mungkin juga membuka diri untuk disalah-mengerti, dicerca, bahkan disakiti karena mereka pikir kita sedang menyakiti mereka.
Inilah teorinya, dan kita mau pikirkan implikasi dari prinsip ini. Sadarkah Saudara, bahwa kita ini punya kebiasaan yang jelek sekali, yaitu kita ingin sebisa mungkin bareng-bareng bersama orang-orang yang mirip dengan kita, dikelilingi orang-orang yang sama dengan diri kita, dan itu biasanya berarti sama ras, sama budaya, sama latar belakang, sama secara ekonomi, dsb. Mengapa begini? Karena seringkali inilah yang gampang bagi kita. Betapa capeknya kalau harus hidup dikelilingi orang-orang yang lain, mau bicara apapun harus dijelaskan maksudnya bukan begini tapi begitu. Sebaliknya kita juga harus gigit bibir, kalau orang-orang yang lain ini mengatakan kalimat-kalimat yang biasa bagi mereka tapi sangat keterlaluan dalam budaya kita. Ini juga salah satu pola berpikir orang-orang yang memilih untuk berhubungan secara homoseksual. Ada seorang Kristen yang berdialog dengan seorang homoseksual, menanyakan mengapa memilih berhubungan secara homoseksual; lalu orang ini menjawab karena hubungan sesama jenis itu lebih gampang, sedangkan cewek dan cowok itu banyak bedanya –yang cewek ngomong atau bersikap apa, lalu yang cowok mengertinya yang lain, dan ujungnya berantem– tapi kalau sesama jenis itu “kita saling mengerti satu sama lain, kita lebih akrab”. Dalam hal ini, kita tahu evaluasi Kristen yang negatif yaitu bahwa teologi Penciptaan dalam Alkitab sama sekali tidak seperti itu.
Dalam penciptaan, keindahan justru ditemukan ketika ada perbedaan, dan melalui perbedaan. Matahari indah bukan cuma karena dirinya matahari, tapi karena dia bukan bulan, karena dia berbeda dengan bulan, dia memancarkan cahayanya sendiri. Tapi di sisi lain, bulan itu indah karena dirinya bukan matahari; kalau bulan mau jadi sama dengan matahari, kita akan gosong. Yang ada adalah bulan rela untuk hanya memantulkan cahaya matahari, dan itu sebabnya bulan punya keindahan yang utuh dibandingkan dengan seandainya bulan itu sama seperti matahari. Lautan dan daratan juga berbeda. Ketika Saudara habis berenang dan angin menerpa kulit, itu terasa sangat nyaman karena Saudara keluar dari air (laut). Daratan jadi meaningful karena ada lautan, dan sebaliknya lautan jadi meaningful karena ada daratan. Tuhan menciptakan selalu dalam ‘dualitas’ (pluralitas) seperti ini. Begitu juga jiwa dan tubuh; kalau jiwa doang itu setan/hantu, tapi kalau tubuh tanpa jiwa kita tidak katakan itu hidup. Ketika ada perbedaan, dan kesatuan antara yang berbeda ini, barulah di situ kita menemukan keutuhan, keindahan. Demikian juga dalam hal pria dan wanita –crown of creation—karena melalui perbedaan itulah mereka menemukan keutuhan diri mereka masing-masing; sedangkan orang-orang homoseks yang mengatakan seperti tadi, tidak akan mengerti ini.
Itu evaluasi negatifnya; lalu bagaimana proslambano-nya? Yaitu kita menyadari bahwa kita tidak berbeda dengan mereka. Kita juga menghidupi hal yang sama; kita juga mencari kawan-kawan yang sebisa mungkin mirip dengan kita, karena itu lebih gampang. Saya ingin datang ke Gereja yang kalau bisa kebanyakan ras-nya sama dengan saya, Gereja yang bicara “bahasa” yang saya mengerti (bukan dalam arti bahsa Indonesia atau bahasa lain, tapi budaya yang sama) –karena itu lebih nyaman– saya ingin datang ke Gereja yang menyanyikan lagu-lagu yang saya tahu, dst., dst. Itu berarti kita sebenarnya tidak beda dengan orang-orang homoseks tadi, karena akarnya ingin cari gampang. Seandainya Saudara datang kepada orang homoseks dengan menyadari Saudara tidak beda dengan dia, dengan tidak menempatkan diri di atas dia melainkan di sampingnya, dengan ber-proslambano bersama dia, lalu Saudara mengatakan: “Saya punya evaluasi negatif terhadap hidupmu, saya beri tahu ya, begini, begini, begini, …, tapi saya juga tidak beda sebenarnya, jadi maukah kita belajar bersama-sama, maukah kita belajar lebih menemukan keutuhan menjadi manusia bersama-sama, kamu dalam hal yang satu dan saya dalam hal yang lain?” maka barulah di sini ada pengharapan bisa berdialog. Sebaliknya kalau Saudara tidak pernah ber-proslambano seperti ini, hanya terus menyalahkan dan memberi evaluasi negatif, dialog tidak bisa jalan. Itu sebabnya Paulus menyandingkan dua hal ini bersama-sama.
Itu tadi contoh positifnya; sekarang saya akan memberikan contoh yang negatif. Beberapa waktu, lalu sempat viral berita tentang satu toko kue yang secara halus menolak membuatkan dekorasi ucapan selamat atas hari raya tertentu karena tidak sesuai dengan keyakinan imannya. Bagaimana reaksi Saudara akan hal seperti ini? Yang saya lihat di media, kebanyakan orang-orang gusar dan mengatakan ini hal yang tidak benar, radikalisme kebablasan, dsb. Kasus kedua, satu toko kue di Amerika –yang pemiliknya berkeyakinan sama dengan Saudara– menolak membuatkan kue untuk pasangan homoseksual yang mau menikah; kemudian media Amerika gembar-gembor menuduh diskriminasi, fundamentalisme, radikalisme, dsb., persis sama dengan yang terjadi pada toko kue pertama tadi, hanya yang diserang dari sisi kebalikannya yaitu agama Kristen. Sekarang apa respon Saudara? Apakah respon Saudara sama dengan yang tadi, atau beda?
Ironisnya, seringkali kita tidak konsisten. Waktu pluralisme menyerang Kekristenan, kita mengatakan “mampuslah pluralisme”, sebaliknya kalau pluralisme menyerang agama lain, kita katakan “puji Tuhan”. Ini bukan etika Alkitab. Saudara bayangkan dampaknya, seandainya orang-orang Kristen melakukan respon yang berbeda di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Seandainya orang Kristen mengatakan kepada toko kue yang pertama tadi “Di satu sisi saya merasa kamu salah kaprah, karena setiap kali Natal, di gereja justru kotbahnya tentang arti Natal yang sesungguhnya; jadi kalau ada yang tidak boleh mengucapkan ‘selamat Natal’ itu justru membuat kita berpikir kembali arti Natal sesungguhnya. Tetapi, adalah hakmu untuk tidak melakukan bisnis yang menurutmu mengkompromikan imanmu, dan saya sebagai orang Kristen akan memperjuangkan hak itu sampai mati”. Di sini ada evaluasi negatif, tapi juga ada proslambano. Seandainya orang Kristen mengatakan seperti itu, barulah ada pengharapan dialog, dan mungkin itu justru senjata untuk kita melawan radikalisme yang bersifat violence. Tapi kalau sikap kita seperti yang selama ini kita lakukan, terus mem-viral-kan berita-berita seperti itu –yang di balik itu tujuan sebenarnya mengutuk, menghina, memandang rendah– maka apa bedanya? Ujungnya sama saja, setiap orang berjuang bagi dirinya, bagi kelompoknya masing-masing; dan itu bukan panggilan orang Kristen. Ada evaluasi negatif, tapi ada juga proslambano. Dan, selama orang Kristen tidak mengerti dua-duanya ada pada waktu yang bersamaan, berarti dia tidak mengerti etika Kerajaan Allah.
Pertanyaannya, bagaimana kita bisa melakukan hal ini? Apa yang bisa mengubah kita supaya kita beralih dari kerajaan duniawi ini –yang ternyata kita berbeda dari mereka– kepada Kerajaan Tuhan? Jawabannya ada di pasal 15 ini, ayat 4 dikatakan: Sebab segala sesuatu yang ditulis dahulu, telah ditulis untuk menjadi pelajaran bagi kita, supaya kita teguh berpegang pada pengharapan oleh ketekunan dan penghiburan dari Kitab Suci. Apa pengharapannya?
Kita agak sulit mengerti kata ‘pengharapan’, karena hari ini kita pikir yang namanya pengharapan itu yang sering disebut dengan ‘ngarep.com’ (istilah bahasa pergaulan hari ini, yang dipakai kalau kita mengharapkan sesuatu yang kita tahu ’gak bakal kejadian). Contohnya orang yang tidak bisa menyanyi, mengatakan bahwa pengharapan dia di surga nanti cuma satu, yaitu suaranya bagus. Itu yang disebut ngarep.com, bukan pengharapan. Pengharapan adalah sesuatu yang memang akan datang, tapi itu merupakan suatu kenyataan yang Saudara inginkan begitu rupa, sehingga Saudara menuntut diri untuk bertindak sekarang. Kalau Saudara sungguh-sungguh berharap suatu hari di surga sana akan bernyanyi dengan indah, maka Saudara akan mulai les vokal sekarang. Contoh yang lebih sederhana: waktu Saudara datang mendengar kotbah, tentunya Saudara ada pengharapan/ekspektasi tertentu; lalu jika sudah sekian kali Saudara mendengar kotbah dan pengkotbah itu tidak memberikan yang Saudara harapkan, pastinya Saudara bukan sekedar mengatakan “ya, sudahlah, pokoknya nanti di surga sana si pengkotbah itu jago kotbahnya” tapi bertindak, entah itu bicara kepada pengkotbahnya atau mencari gereja lain. Itulah pengharapan. Pengharapan menuntut kita untuk bertindak sekarang, di sini, untuk sesuatu yang akan datang.
Pengharapan apa yang ditawarkan Paulus, yang menjadi solusi ketegangan relasi antar budaya ini? Yaitu di ayat 5: Semoga Allah, yang adalah sumber ketekunan dan penghiburan, mengaruniakan kerukunan kepada kamu, sesuai dengan kehendak Kristus Yesus, sehingga dengan satu hati dan satu suara kamu memuliakan Allah dan Bapa Tuhan kita, Yesus Kristus. Dan di bagian lain doa Tuhan Yesus adalah “Aku berdoa supaya mereka menjadi satu”. Apakah itu pengharapan kita?
Poin pertama pembahasan tadi, adalah bahwa kita harus menyadari Alkitab menuntut kita menghadapi fakta bahwa kita berbeda secara ras, berbeda secara budaya, dan bahwa hal ini sangat mempengaruhi hidup kita. Tapi sangat menarik Alkitab memberikan dua kisah ini –di Roma dan di Korintus– karena kita jadi melihat bahwa latar belakang budaya tertentu di konteks tertentu bisa membuat mereka jadi lebih buta terhadap Injil, sementara di konteks yang lain itu justru membuat mereka melihat lebih jelas keutuhan dan kemuliaan Injil. Orang Yahudi di kota Roma, karena kebiasaan dan tradisi mereka, terkunci dalam aturan-aturan makanan. Tetapi, kebiasaan dan tradisi yang sama, malah membuat mereka di Korintus dengan sangat mudah bisa mengatakan: “Hanya ada satu Allah, tidak ada dewa-dewi yang lain! jadi tidak masalah kalau makanan dipersembahkan kepada berhala dan segala macamnya karena itu semua tidak ada kuasanya; hanya ada satu kuasa Allah”. Demikian juga orang Yunani. Bagi orang Yunani di Korintus, kebiasaan dan tradisi mereka membuat mereka lebih buta terhadap Injil; sedangkan di konteks yang lain –Roma– hal ini membuat mereka justru jadi lebih melek terhadap keutuhan Injil. Oleh sebab itu, kalau Saudara menggabungkan 2 hal ini bersamaan, Saudara mendapatkan bahwa solusi yang Alkitab tawarkan bagi ketegangan antar ras budaya, adalah ras dan budaya yang berbeda. Solusi dari perbedaan ras dan budaya adalah perbedaan ras dan budaya. Itu yang Alkitab tawarkan. Kita perlu semua orang, kita memerlukan satu dengan yang lain. Itulah inti dari 2 kisah ini ketika Saudara menggabungkannya bersamaan.
Kita perlu orang lain, kita perlu perspektif budaya lain. Dan, hanya ketika kita –dari berbagai macam budaya dan latar belakang– bersama-sama membaca Alkitab dan berdialog, barulah kita bisa menemukan lebih utuh apa itu Injil dengan segala keutuhannya, siapa itu Allah dengan segala keutuhannya. Yang mengerikan –sisi gelapnya– dalam satu Gereja, semakin jemaatnya homogen secara ras dan budaya, maka semakin tinggi juga kemungkinan Gereja tersebut memiliki banyak bolong-bolong dalam teologi mereka, dalam konsep mereka, yang mereka tidak bisa tambal, bahkan mungkin mereka juga tidak sadar perlu ditambal.
Saya memakai ilustrasi yang C. S. Lewis berikan sbb. : C. S. Lewis berteman dengan Ronald (J. R. R. Tolkien) dan Charles. Ketika Charles meninggal, C. S. Lewis berpikir tadinya mereka bertiga, sehingga dia harus berbagi Ronald dengan Charles, tapi sekarang setelah Charles tidak ada, dia bisa memiliki Ronald seutuhnya bagi dirinya sendiri. Tapi kemudian C. S. Lewis menemukan tidak demikian jadinya; C. S. Lewis sendirian tidak bisa menarik keluar segala kelimpahan dalam diri Ronald. Katanya: “Saya tidak lagi bisa melihat respon Ronald atas leluconnya Charles, karena responnya itu berbeda dengan kalau dia meresponi leluconnya saya. Saya tidak bisa melihat lagi respon kemarahannya Ronald ketika Charles melakukan kebodohan, karena cara dia marah terhadap Charles berbeda dengan cara dia marah terhadap saya. Ketika Charles meninggal, ada hal-hal dalam diri Ronald yang juga mati bersama-sama dengan Charles.” Maka selanjutnya C. S. Lewis mengatakan: “Untuk mengenal seseorang secara utuh, kita tidak bisa melakukannya sendirian, kita perlu orang lain. Jika untuk mengenal manusia yang terbatas saja seperti itu, apalagi mengenal Allah yang tidak terbatas.“
Inilah pengharapan Alkitab, solusi terhadap problem perbedaan ras dan budaya adalah perbedaan ras dan budaya. Akan sangat menarik ketika Saudara melihat kembali Alkitab dengan perspektif ini. Misalnya amanat agung Tuhan Yesus “Pergilah, jadikanlah segala bangsa murid-Ku”, tadinya kita berpikir ‘kita punya kebenaran, segala bangsa harus ikut kita’, tapi sekarang kita berpikir ulang dengan perspektif ini. Mungkin maksudnya adalah: karena Tuhan Yesus tahu keutuhan berita kebenaran ini baru menjadi lebih utuh dan semakin utuh ketika semakin banyak bangsa yang berbeda yang mendengarnya (sungguh menarik bahwa dalam penginjilan saja secara inheren ada natur dialog, percakapan, timbal-balik). Maka di sini orang Kristen mungkin adalah satu-satunya yang menginjili, yang mengubah orang lain, demi untuk satu hari diubah oleh orang tersebut; yaitu kalau pengertian penginjilan seperti ini: jadikanlah segala bangsa murid-Ku, karena dengan menjadikan segala bangsa murid-Ku, kamu sendiri akan lebih mengerti keutuhan Firman Tuhan, kebenaran yang hari ini kamu bagikan itu. Itulah penginjilan orang Kristen; penginjilan yang meminta orang lain mendengar kita, supaya suatu hari kita boleh mendengar mereka. Tidak ada di tempat lain Saudara bisa temukan yang seperti ini, tapi apakah ini pengharapan kita? Kalau ini pengharapan kita, maka kita akan bertindak hari ini. Kalau ini pengharapan kita, maka Saudara akan menengok ke kiri kanan, depan belakang, dan Saudara akan meratap waktu melihat semua orang itu ‘koq tampangnya mirip-mirip, koq semua warna kulitnya sama, koq semua gajinya kira-kira sama’. Itulah yang akan jadi ratapan Saudara dan Saudara akan bertindak.
Dan yang terakhir, itu semua tidak cukup; Paulus tidak berhenti di situ, bahkan dia tidak memulai di situ. Tadi kita membaca Roma 14 ayat 4 ke bawah, sekarang kita membaca ayat 2 dan 3, yaitu solusi supaya kita bisa menghidupi etika Kerajaan yang baru ini. Paulus mengatakan: Setiap orang di antara kita harus mencari kesenangan sesama kita demi kebaikannya untuk membangunnya. Karena Kristus juga tidak mencari kesenangan-Nya sendiri, tetapi seperti ada tertulis: "Kata-kata cercaan mereka, yang mencerca Engkau, telah mengenai aku." Lihatlah diri Kristus. Apa sebenarnya yang salib mau katakan kepada kita? Bukankah salib pada dasarnya memberikan satu evaluasi yang amat sangat negatif? Bukankah salib pada dasarnya sedang mengatakan: “Kamu –Saudara dan saya—adalah pendosa besar, saking berdosanya kamu tidak sadar dirimu berdosa, tidak sadar seberapa kamu berdosa, dan juga kamu tidak bisa melakukan apa-apa atas dosamu. Itu sebabnya harus ada salib, Anak Allah mati bagimu; itu berarti bukan saja alam semesta harus geser demi kamu, tapi Allah harus geser demi kamu”? Salib adalah evaluasi yang paling ternegatif yang kita terima, tidak bisa lebih parah lagi. Tapi dalam salib, pada saat yang sama terjadi proslambano, Allah menaruh diri-Nya bersama dengan kita, Allah datang menaruh diri-Nya berinteraksi dengan kita. Paulus mengatakan: “Kamu yang kuat, tanggunglah mereka yang lemah”. Allah, di atas kayu salib, sungguh menanggung kita semua. Saudara lihat 2 hal ini?
Kalau Saudara melihat bahwa di satu sisi Allah memberikan evaluasi yang begitu negatif di atas kayu salib tapi juga salib adalah tempat Allah menyediakan ruang dalam hidup-Nya bagi engkau, kalau Saudara melihat Dia melakukan ini bagi engkau dengan pengharapan supaya satu hari Dia boleh bersama-sama dengan engkau, supaya satu hari Saudara boleh disatukan dengan Dia, maka Saudara sekarang bisa menoleh ke kiri kanan, depan belakang, dan mengatakan: “Saya juga bisa melakukannya bagi orang lain, tidak peduli apa ras mereka, apa budaya mereka, apa keyakinan mereka; tidak peduli seberapa berbedanya mereka dengan saya, karena Allah yang jauh lebih berbeda dari saya, telah melakukannya terlebih dahulu”.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading