Bagian ini dalam Alkitab LAI pengelompokannya dari ayat 37 sampai dengan 44; sedangkan banyak sekali terjemahan maupun tafsiran, termasuk juga ESV, mulai ayat 40 masuk ke satu perikop baru, dan diberi judul “Division Among the People” (perpecahan/ ketidak-sepakatan di antara orang banyak). Resepsi orang dalam menerima Firman Tuhan, sangat beragam, juga sampai pada hari ini. Firman Tuhan yang diberitakan sama, Yesus yang diberitakan Yesus yang satu, Mesias juga cuma satu; tetapi pikiran orang tentang Mesias, tentang Yesus, pikiran orang tentang Tuhan, tentang Allah, memang bisa sangat beraneka-ragam.
Demikian juga dalam Kekristenan, ketika orang mendengar Firman Tuhan, resepsinya bisa sangat beragam. Dan itu pastinya di luar kontrol Hamba Tuhan yang mengkotbahkan. Kadang-kadang waktu kami selesai berkotbah lalu ada orang yang berdoa menutup, dia mengeluarkan satu kalimat yang membuat kami sebagai pengkotbah tercengang, dalam arti kami tidak membahas ke arah sana sebetulnya tapi dia mengerti dalam pengertian yang seperti itu. Memang itu tidak harus berarti salah, bisa jadi dia menggumulkan kotbah tadi dalam konteks pergumulan pribadi, kemudian dia meresponi secara personal; dan itulah yang dia terima dari Firman Tuhan (memang kadang bisa juga menyimpulkan secara salah). Jadi resepsi setiap orang itu berbeda-beda.
Dalam bagian ini, Saudara mendapati resepsi yang berbeda-beda juga. Di ayat 40 dikatakan bahwa ada orang yang berkata: “Dia ini benar-benar nabi yang akan datang”. Lalu yang lainnya berkata Yesus itu Mesias, yang lainnya lagi berkata bahwa Dia bukan Mesias; ada yang luar biasa salahnya, ada yang benar tapi tidak sungguh-sungguh benar. Mengapa bisa ada pengharapan seperti ini, yang satu mengatakan “nabi”, yang lain mengatakan “Mesias”? Bultmann dalam tafsirannya mengatakan, bahwa dengan adanya tanggapan yang paling sedikit 2, bahkan 3, itu menyatakan adanya ketidak-pastian pengajaran tentang Mesias (doktrin Mesias) pada saat itu; tidak jelas sebetulnya Mesias itu bagaimana. Dalam kalangan para pengajar saja mungkin tidak ada kesepakatan, apalagi di kalangan orang-orang awam.
Gambaran seperti itu, sangat mirip dengan keadaan kita sekarang. Kita bicara tentang Yesus, semua orang bicara tentang Yesus, bahkan Yesus sebagai Juruselamat. Orang meng-aminkan perkataan “Yesus itu Juruselamat”; tapi kalau ditanya “Selamat dari apa?” maka jawabannya bisa sangat berbeda-beda. Ada yang bilang: “diselamatkan dari keadaan loneliness (kesendirian)”, “diselamatkan dari ketidak-pastian hidup”, “diselamatkan dari kekuatiran”, atau “diselamatkan dari kemiskinan”, atau “diselamatkan dari keadaan yang miserable –sakit penyakit, sakit hati”, atau mungkin “diselamatkan dari keadaan kurang mapan”, dsb. Jadi diselamatkan dari apa? Apakah diselamatkan dari dosa?
Seorang pengkotbah kebangunan rohani –kalau tidak salah Leonard Ravenhill—menantang di dalam satu kotbahnya: “Saudara bilang dirimu diselamatkan, tapi Saudara selamat dari apa?” Kalau Saudara jawab ‘diselamatkan dari dosa’, dia kejar lagi: “Dosa apa? Kita semua tahu diri kita berdosa, tapi dosa apa?” Dosa itu sangat umum; kalau Saudara bilang bahwa Saudara diselamatkan dari dosa, pertanyaannya: dosa apa? Ketika ditanya ‘dosa apa’, di sini kita musti melihat kita punya kekurangan. Apakah itu dosa cinta uang? Dosa hawa nafsu (lust)? Dosa keserakahan? Atau dosa kemalasan? Dosa ke-egoisan? Dosa terlalu mementingkan perasaan diri sendiri? Atau dosa apa? Kalau kita tidak bisa menjawab pertanyaan ini, lalu kita mengatakan “Yesus Juruselamat”, itu jadi tanda tanya; bukan tanda tanya untuk Yesus –apakah Dia benar-benar Juruselamat—tapi tanda tanya ‘apakah Yesus itu betul-betul Juruselamat untuk engkau’?
Sama juga dengan keadaan pada bagian yang kita baca ini, waktu mereka bicara tentang ‘Mesias’, pembicaraan itu luar biasa beragam; bisa Mesias secara politik, dan sebagainya –ada kekacauan semacam itu. Tapi Saudara lihat, di sini kalimatnya tidak benar-benar kacau, karena pengharapan Mesias memang dijanjikan dalam Perjanjian Lama; bahkan istilah ‘nabi yang akan datang’, itu juga tidak salah (dalam pembahasan Yohanes 4, percakapan Yesus dengan perempuan Samaria, menunjukkan bahwa orang-orang Samaria yang cuma percaya Pentateukh/ kelima kitab Musa, mempunyai pengharapan akan nabi yang akan datang). Dan di sini bukan cuma ada orang-orang Saduki dan Samaria yang percaya Pentateukh, tapi juga ada orang-orang Farisi yang memiliki kitab nabi-nabi, dsb. yang punya pengharapan Mesias. Jadi ada yang berharap akan ‘nabi yang akan datang’ seperti dijanjikan dalam kitab Musa, dan ada yang mengharapkan ‘Mesias’, tapi kemudian yang lain lagi mengatakan “Mesias tidak datang dari Galilea”.
Mengenai pengharapan ‘nabi yang akan datang’, waktu kita membaca dalam kitab Pentateukh, pengharapan orang-orang Israel –yang seharusnya berkaitan dengan cerita Musa– sebenarnya apa? Musa di dalam Perjanjian Lama, adalah seorang yang memimpin bangsa Israel keluar dari tanah Mesir (exodus), maka dalam pengharapan ‘nabi yang akan datang’, mereka mengharapkan waktu nabi tersebut datang, dia akan membawa kepada peristiwa the new exodus (peristiwa keluaran yang baru) –seperrti juga ada the old creation dan the new creation. Apa yang terjadi dalam kitab Keluaran? Yaitu bahwa Musa dipakai Tuhan untuk memelihara bangsa Israel dengan mendatangkan manna (makanan) dan air, karena di padang gurun perlu makanan dan perlu minuman. Dan Yesus mengatakan, bahwa sebenarnya bukan Musa yang menyediakan melainkan Bapa yang di surga, untuk membangkitkan kepercayaan Israel kembali kepada Tuhan sendiri dan bukan kepada kebesaran Musa. Maka waktu di bagian ini orang-orang mengatakan “nabi yang akan datang” –termasuk di sini “Mesias”— pengharapan itu tidak sepenuhnya salah. Kita orang Injili seringkali memandangnya sangat negatif, seakan mereka ini sangat menyeleweng pengharapannya; padahal kalau kita hidup di zaman itu, tidak tentu punya pengharapan lebih baik daripada mereka.
Kalau Saudara baca dalam cerita Yesus memperkenalkan diri sebagai “Akulah Roti Hidup”, itu berarti tradisi manna. Yesus mengatakan: “Akulah Roti Hidup, nenek moyangmu makan manna di padang gurun”, berarti Yesus memang menghadirkan the new exodus itu. Dan Saudara membaca dalam cerita tersebut, bahwa mereka lalu mengharapkan Yesus jadi raja. Mungkin Saudara berpikir, ‘bagaimana mungkin, bikin roti koq diharapkan jadi raja?? kurang kaya dong, kalau mau raja minyak bukan raja roti’; tapi itu pembacaan yang sangat modern. Mengapa mereka mengharapkan Yesus sebagai raja? Jangan lupa, Yesus memang benar-benar Raja; maka waktu mereka berharap Yesus jadi raja, itu setidaknya secara vocabulary sudah betul meski secara konsep tidak. Memang Yesus adalah Nabi, Imam, dan Raja; dan mereka mengharapkan Yesus jadi raja. Di dalam pengharapan ‘Mesias’, paling sedikit berarti menjalankan peran ‘imam’ dan ‘raja’. Jadi, Priestly and Royal Messiah ada dalam pengharapan Yudaisme pada waktu itu. Dan itu bukan tanpa dasar; dasarnya ada dalam Perjanjian Lama. The Annointed One (Yang Diurapi) itu adalah Raja yang akan memerintah dengan keadilan, dan Dia juga figur yang memiliki fungsi Imam, mewakili Israel di hadapan Allah. Maka ketika Yesus membuat mereka kenyang, mereka seakan melihat bahwa inilah raja itu. Jadi pegharapan ini tidak terlalu salah sebetulnya. Ini seperti juga kalau orang mengatakan “Yesus Juruselamat”, memang kalimat itu sudah betul, tapi soal ‘selamat dari apa’ perlu dibicarakan lagi. Waktu mereka ingin menjadikan Yesus sebagai raja, kalimat itu sudah betul, memang Dia Raja. Betul bahwa Mesias itu punya fungsi raja, Dia adalah Raja yang akan memerintah; tapi konsep mereka tentang memerintah, konsep mereka tentang keadilan kebenaran, semuanya kacau.
Orang-orang Farisi ini bicara banyak tentang kebenaran, tapi yang mereka maksud adalah kebenaran mereka sendiri, dalam arti merasa benar sendiri, tidak pernah bisa dikoreksi, tidak pernah bisa dididik atau diberi tahu, tidak pernah bisa menerima kritik, dsb. Itulah yang mereka mengerti tentang kebenaran keadilan, dan sudah pasti mereka bukan orang-orang yang adil. Orang yang adil adalah orang yang bisa merangkul semua orang; orang yang tidak adil yaitu orang yang cuma bergaul dengan orang-orang tertentu. Itulah pengertian orang yang adil dan tidak adil di dalam Perjanjian Baru. Yesus Kristus hadir di dalam dunia, Dia bergaul dengan semua orang, bukan cuma dengan orang Farisi seperti Nikodemus dan Simon, tapi juga dengan orang-orang sederhana seperti pelacur, pemungut cukai, gembala-gembala, dsb.; orang-orang yang sederhana itu yang semuanya dipeluk di dalam Yesus, waktu kita bicara ‘keadilan’. Tapi mereka tidak punya konsep keadilan seperti ini. Konsep keadilan bagi mereka, kita ini sudah dijajah, musti ada pembalasan, dan musuh-musuh kita harus dihabisi satu per satu seperti kejayaan Kerajaan Daud dulu.
Jadi, resepsi yang beraneka ragam ini –Dia ‘nabi yang akan datang’, Dia ‘Mesias’—ada semacam kebenaran di dalamnya. Di sini ayat 37-39 juga penting, karena Musa di padang gurun menyediakan manna dan juga menyediakan air. Perhatikan bahwa di dalam old exodus (keluaran yang lama) ada roti dan air; air itu disediakan oleh Tuhan melalui batu karang yang memancarkan air, dan orang Israel bisa minum. Lalu Yesus pada hari yang terakhir mengatakan: “Barangsiapa percaya kepada-Ku, seperti yang dikatakan oleh Kitab Suci: Dari dalam hatinya akan mengalir aliran-aliran air hidup”. Yesus inilah yang membawa the new exodus (keluaran yang baru); “Akulah Roti Hidup”, dan Dia membawa aliran-aliran air hidup. Kita bisa melihat hal ini, bukan karena kita lebih hebat daripada mereka, melainkan karena kita diberkati Tuhan, ditolong oleh Roh Kudus. Mereka tidak bisa lihat itu, dan mungkin kalau kita berada pada saat itu di sana, kita juga tidak bisa melihat ini. Padahal begitu jelas, the old exodus: manna dan air; lalu di sini Yesus mengatakan “Akulah Roti Hidup” dan menjanjikan aliran-aliran air hidup, yang berarti Dia mendatangkan the new exodus: inilah Nabi yang akan datang.
Ketika mereka mengatakan hal itu, ada sebagian yang celik, melihat bahwa ini klop dengan yang dinubuatkan dalam kitab-kitab Musa (Pentateukh), inilah Mesias itu. Jadi ada semacam percikan iman yang lahir di situ ketika mereka melihat karya Kristus dan perkataan Kristus. Tapi ada orang-orang yang menolak, seperti biasanya; mereka mengatakan: “Bukan! Mesias tidak datang dari Galilea. Karena Kitab Suci mengatakan, bahwa Mesias berasal dari keturunan Daud dan dari kampung Betlehem, tempat Daud dahulu tinggal." (ayat 41-42).
Selanjutnya, ayat 42 menunjukkan hal yang ironi. Kita tahu Yesus memang berasal dari keturunan Daud, dan dari kampung Betlehem, tempat Daud dulu tinggal; tapi mereka tidak tahu Yesus itu berasal dari sana. Biasanya, waktu kita merenungkan Natal tentang kelahiran Yesus di Betlehem, kita mungkin merasa ini penafsiran yang sangat Kristen, yang orang-orang Yahudi tidak mengerti. Tapi ini bukan cuma tafsiran Kristen; dalam literatur zaman itu, memang ada tafsiran yang mengatakan bahwa Mesias datang dari Betlehem. Jadi dalam kepercayaan Yahudi –yang tanpa Perjanjian Baru—mereka tahu bahwa Mesias itu dari Betlehem. Namun entah bagaimana, hal ini seperti tersembunyi atau tenggelam, sampai akhirnya mereka tidak tahu Yesus berasal dari mana. Ini ironi. Di bagian sebelumnya, ayat 27, mereka berkata: “Kalau Mesias itu datang, orang tidak akan tahu asalnya dari mana [menurut mereka], sedangkan Dia ini kita tahu asalnya dari mana, kita tahu siapa ayahnya, siapa ibunya; jadi Dia ini tidak mungkin Mesias, karena Mesias itu harus tersembunyi asalnya dari mana”. Ini perkataan mereka; dan di sisi lain mereka sendiri tidak tahu bahwa Yesus berasal dari Betlehem.
Jadi ironi pertama, mereka mengatakan “Mesias itu dari Betlehem”, dan Yesus memang dari Betlehem. Mereka tahu kalau Mesias seharusnya berasal dari Betlehem, tapi mereka tidak tahu kalau Yesus ini memang berasal dari Betlehem. Ironi kedua, dengan mengatakan kalimat tadi – “…tetapi bilamana Kristus datang, tidak ada seorangpun yang tahu dari mana asal-Nya"– justru menunjukkan bahwa mereka toh tidak tahu Yesus berasal dari mana, karena mereka begitu yakin Yesus berasal dari Galilea padahal Yesus lahirnya di Betlehem dan mereka tidak tahu. Mereka bilang bahwa kalau Mesias datang, tidak ada seorang pun yang tahu dari mana asalnya, dan memang betul mereka tidak tahu; kalau begitu, memang betul Yesus itu Mesias. Tentu saja bukan berarti semua yang tidak diketahui asalnya, berarti Mesias; yang saya maksud adalah: Yesus memenuhi kualifikasi sebagai Mesias, bahkan dari sudut pandang mereka.
Mereka tidak tahu Yesus asalnya dari mana, mereka hanya sok tahu, dan mereka bikin stempel ‘Yesus ini dari Galilea’. Kalau kita konteksualisasi dalam kehidupan kita, banyak orang tidak bisa mendengar kotbah Firman Tuhan bukan karena Firman Tuhan-nya yang tidak jelas, tapi karena diri mereka sudah punya presuposisi (praanggapan) terlebih dahulu, ada prasangka tertentu/ penghakiman sebelum/ penilaian sebelum. Sebelum Firman Tuhan dikotbahkan, kita sudah punya anggapan orangnya yang berkotbah begini begitu, nanti dia mengatakan begini begitu. Jangankan soal mendengar kotbah, dalam komunikasi sehari-hari pun kita juga bisa seperti ini. Kita sudah bikin profil orangnya begini begitu, lalu ketika dia bicara sesuatu, kita langsung cocok-cocokkan dengan profil yang kita bangun tentang orang itu, maka akhirnya kita salah mengerti. Karena kita sudah punya penghakiman terlebih dahulu, akhirnya kita kurang mengerti yang dimaksud dia sebetulnya apa. Kalau kita sudah punya penilaian terlebih dahulu terhadap orang lain, maka waktu kita dengar satu kalimat, kita bisa salah mengerti. Lalu kita pakai kalimat tersebut untuk membenarkan profil yang sudah kita bangun tentang orang itu; kalau profilnya negatif, maka makin lama makin negatif, apapun yang dia kerjakan.
Tapi prejudice (prasangka) tidak selalu negatif, bisa juga positif; namun tetap saja itu prejudice. Orang yang punya sahabat dekat, prejudice terhadap sahabatnya selalu baik; meski sahabatnya bikin salah apapun, dia tetap mengatakan: “tidak begitulah maksudnya”. Karena hubungan kita baik sekali dengan seseorang, maka kita ada prejudice bahwa orang ini sudah pasti baik, dia tidak ada maksud apa-apa, dan akhirnya kita membenarkan semua yang dilakukannya meski jelas dia — yaitu orang-orang yang kita kasihi tersebut– melakukan yang salah. Ini biasanya dilakukan orangtua terhadap anak-anaknya. Dalam ketegangan antara anak dan menantu, dari perspektif orangtua, yang salah pasti harus mantu karena kita prejudice bahwa anak kita pasti lebih benar karena dididik oleh kita sendiri, dsb.
Kita ini ada prejudice; prejudice yang sangat protektif, prejudice yang sangat obsesif, dst. dst. Keadaan yang prejudice seperti ini, akhirnya bisa membawa kita kepada ketidak-mungkinan berkomunikasi. Kita tidak benar-benar berkomunikasi dengan orang lain, kita tidak benar-benar mengenal orang lain, yang kita kenal adalah bayangan kita sendiri. Waktu kita berbicara dengan orang lain, kita sebenarnya tidak berbicara dengan orang itu tapi berbicara dengan bayangan kita sendiri tentang orang itu; padahal orang itu lain dengan bayangan kita. Alangkah sepinya orang yang seperti ini. Dan yang paling celaka, ketika kita menerapkan ini terhadap Tuhan. Kita jadi tidak betul-betul bicara dengan Tuhan, tapi bicara dengan bayangan kita sendiri tentang Tuhan. Ini orang yang ngomong-ngomong dengan dirinya sendiri. Bukan mempunyai hubungan dengan Yesus, dengan Mesias/ Kristus, tapi dia menciptakan hubungan dengan bayangan dia sendiri tentang Yesus, bayangan dia sendiri tentang Mesias. Inilah seperti orang-orang Farisi yang mengatakan: "Bukan, Mesias tidak datang dari Galilea! Karena Kitab Suci mengatakan, bahwa Mesias berasal dari keturunan Daud dan dari kampung Betlehem, tempat Daud dahulu tinggal”. Padahal Yesus memang dari Betlehem, memang keturunan Daud, tapi mereka di dalam kebutaannya telah prejudice dan sudah tidak bisa melihat bagian ini; dan ini begitu ironis dicatat oleh Yohanes.
Ayat 43-44 Maka timbullah pertentangan di antara orang banyak karena Dia. Beberapa orang di antara mereka mau menangkap Dia, tetapi tidak ada seorangpun yang berani menyentuh-Nya. Selanjutnya ada cerita bahwa polisi-polisi Bait Allah yang dipekerjakan oleh pemimpin-pemimpin agama, imam-imam kepala, dan orang-orang Farisi itu, akhirnya tidak menangkap Yesus. Sampai kemudian imam-imam kepala dan orang-orang Farisi itu menegur mereka: “Mengapa kamu tidak membawa-Nya?” Inilah tipikal para pengecut yang tidak berani menghadapi sendiri, lalu menyuruh anak buah yang menangkap. Saudara jangan bawa model seperti ini di dalam politik Gereja. Kalau Saudara tidak berani hadapi seseorang lalu suruh orang lain menghadapi dia, itu pengecut namanya. Dan itu lebih mirip orang Farisi daripada mirip Yesus. Yesus Kristus tidak begitu; ketika ada domba hilang, Dia mencari dombanya. Bukannya menyuruh orang lain lalu Saudara tetap mempertahankan good face di belakang, padahal di dalamnya Saudara mengatur sesuatu yang menjatuhkan orang lain, dsb. Semoga ini tidak ada di gereja kita. Namun ada orang yang pakai cara-cara seperti ini, bukan cuma di Gereja, tapi di dunia politik di manapun. Saya pernah membaca perkataan yang sangat menyedihkan dari Abraham Kuyper, seorang churchman (gerejawan) dan juga statesman (negarawan), orang yang sangat terlibat dalam Gereja dan juga dalam dunia politik. Dia mengatakan seperti ini: ‘Kalau di dunia politik, kadang-kadang orang pakai politik; kalau di Gereja, orang selalu pakai politik.’ Sedih sekali membaca kalimat itu. Kalimat ini memperingatkan kita supaya jangan bawa model seperti ini ke dalam Gereja. Tapi, membawa model ini ke dalam urusan gereja (sinagoga), ternyata sudah dari dulu. Orang-orang Farisi itu tidak berani menagkap Yesus, tidak berani langsung bersoal-jawab dengan Yesus, lalu suruh orang lain, karena mereka ini pengecut. Dan akhirnya yang terjadi adalah penjaga-penjaga Bait Allah itu melihat otoritas dan dignitas Yesus begitu besar, sampai mereka tidak sanggup membawa Yesus.
Ayat 46 Jawab penjaga-penjaga itu: "Belum pernah seorang manusia berkata seperti orang itu!" –ada dignitas, kuasa, kemuliaan pada Kristus, dan belum saat-Nya. Kita, Gereja, musti percaya kemungkinan dignitas ini ada pada Gereja, kecuali kita seperti orang Farisi yang pengecut. Kalau saatnya belum tiba, Gereja tidak akan dianiaya; mungkin juga kita belum layak juga dianiaya. Tapi kalau saatnya sudah tiba, ya sudah, Tuhan akan dipermuliakan di dalam penderitaan itu. Jadi, jangan takut bersaksi, jangan tidak bersaksi di dalam kehidupan ini. Waktu kita bersaksi, orang akan menyaksikan bijaksana surgawi yang dari Tuhan, bukan bijaksana kita. Hal ini bukan secara eksklusif hanya terjadi dalam kehidupan Yesus saja, melainkan sesuatu yang bisa dibagikan kepada Gereja-Nya, kepada Saudara dan saya.
"Belum pernah seorang manusia berkata seperti orang itu!" –yang lain bukannya tidak berkata-kata, mereka berkata-kata juga. Tapi waktu berkata-kata, kita langsung tahu orang ini cuma berkata-kata, beraninya cuma menegur orang-orang yang sederhana, sedangkan kepada orang-orang yang berduit atau pejabat, mereka takut. Saya pernah mendengar, dalam satu kebaktian duka, ketika pendetanya sedang berkotbah lalu masuk seorang pejabat, pendeta itu langsung menutup kotbahnya. Bisa jadi memang sudah selesai kotbahnya, tapi yang terlihat secara fenomena seperti ada ketakutan waktu pejabat masuk. Yesus tidak pandang bulu. Dia bicara mengatakan kebenaran, baik itu akan menyinggung atau tidak menyinggung, karena itu urusan pendengarnya bukan urusan Yesus; Yesus tidak ada motivasi untuk menyinggung siapapun. Ada kuasa, ada dignitas, di dalam pelayanan orang-orang yang seperti itu.
Sedangkan orang-orang Farisi ini, yang memang sesat, menuduh orang lain yang sesat. Ayat 47 "Adakah kamu juga disesatkan?” Mereka tidak bisa melihat kemuliaan Kristus. Mereka tidak bisa melihat kehadiran Tuhan di sana. Mereka tidak bisa melihat penyertaan Bapa di dalam kehidupan, perkataan, dan karya Yesus. Yang mereka lihat adalah para penjaga juga disesatkan oleh pengajaran “mesias palsu” itu. Dan terakhirnya mereka juga memeriksa, jangan-jangan di antara mereka juga ada yang disesatkan seperti penjaga-penjaga ini.
Ayat 49 orang-orang Farisi ini mengatakan: “Tetapi orang banyak ini yang tidak mengenal hukum Taurat, terkutuklah mereka!" Saudara lihat, pengajar-pengajar ini bukannya introspeksi bahwa mereka sudah gagal mengajarkan Taurat kepada orang-orang yang sederhana, tapi justru mengutuki orang-orang itu. Mereka menikmati keadaan ke-terpelajar-an diri –karena mereka orang-orang yang belajar– lalu waktu tahu ada orang-orang yang tidak belajar seperti dirinya, mereka bukannya gelisah mengapa orang-orang ini belum bisa diajar, tapi malah mengutuki orang-orang itu. Inilah gambaran elitisme yang paling jelas. Orang-orang yang ada di atas, bukannya sedih melihat ada orang yang masih di bawah lalu memikirkan bagaimana caranya menolong orang-orang itu, tapi malah menikmati keadaan mereka yang di atas –“terkutuklah miserable people yang memang ada di bawah sana, terkutuklah mereka yang tidak mengenal Taurat, mereka tidak belajar Taurat seperti kita”. Yesus mencari domba yang hilang, Yesus bukan mengutuki domba yang hilang lalu menikmati domba-domba yang setia kepada Dia.
Kita, orang Timur ini, rentan luar biasa terhadap orang-orang yang setia kepada kita, dan menganggap mereka itulah domba-domba kita yang sesungguhnya. Sebaliknya, orang-orang yang tidak terlalu setia kepada kita, yang selalu banyak kritik, dsb., kita menganggap mereka bukan domba-domba kita. Itu orang Timur; lalu bagaimana dengan gembala Timur?. Pemimpin gereja ala kebudayaan Timur, ya, seperti ini juga; kita hanya senang orang-orang yang cocok dengan kita. Tapi waktu kita membaca Injil, yang seperti ini Injil atau bukan? Kalau kita baca Injil, kehidupan Kristus tidak seperti ini; yang seperti ini adalah orang-orang Farisi. Mereka mengutuki orang-orang yang tidak terpelajar seperti mereka, bukannya gelisah dan bertobat untuk mengajarkan Taurat kepada orang-orang yang tidak mengenal hukum Taurat itu. Mereka memegahkan diri sebagai orang yang mengenal Taurat lalu menyalah-nyalahkan, bahkan mengutuki, orang-orang yang tidak mengenal Taurat; ada gap yang luar biasa besarnya di sini.
Kita berharap di dalam Gerakan Reformed Injili, kita tidak memainkan peran ‘kita reformed, yang lain tidak reformed’, meski bukan mengutuki tapi tetap ada gap ini. Atau satu variasi yang lain, ‘orang-orang yang menginjili, versus orang-orang yang kurang menginjili’. Itu sama seperti orang Farisi tadi. Kita musti berhati-hati supaya di dalam Gerakan Reformed Injili tidak terjadi penghayatan ‘di sini sekelompok orang yang reformed, dan yang lain tidak reformed atau kurang reformed’, atau ‘di sini sekelompok orang-orang yang suka menginjili, versus orang-orang yang kurang menginjili’. Itu sama juga; itulah gambaran orang-orang Farisi, yang mengatakan “terkutuklah mereka orang-orang yang tidak mengenal hukum Taurat” yang tinggal diganti sedikit kontennya menjadi ‘kita reformed, mereka tidak reformed’, ‘kita menginjili, mereka kurang menginjili’, dsb. [sambil memandang rendah].
Waktu kita membaca Injil, posisi kita ada di mana sebetulnya? Kita lebih mirip Yesus, atau lebih mirip orang-orang Farisi ini? Kalau kita masih bisa melihat bahwa ternyata kita lebih mirip orang-orang Farisi, puji Tuhan, berarti Tuhan masih berbelas-kasihan kepada kita. Ada orang yang bahkan tidak melihat kalau dirinya itu lebih di posisi orang Farisi, ada orang yang melihatnya dari perspektif yang lain. Ada orang yang selalu melihatnya: “saya selalu mirip Yesus, Gereja kita selalu menyerupai Yesus”, akhirnya makin bicara kalimat ini, makin mirip orang Farisi. Orang-orang Farisi itu mengatakan: “Terkutuklah mereka…”.
Terakhir, di bagian ini ada Nikodemus. Kalau Saudara membaca pasal 3, cerita tersebut diakhiri dengan pembicaraan Yesus, dan kita tidak tahu apa reaksi Nikodemus setelah itu, apakah dia percaya dan mengerti tentang kelahiran baru yang dijelaskan Yesus, atau tidak. Kita clueless dalam hal ini; Yohanes tidak mencatat bagian itu. Tapi itu bukan berarti tidak ada dampak. Di bagian ini, Nikodemus, yang pernah mengunjungi Kristus di malam hari, mengatakan: "Apakah hukum Taurat kita menghukum seseorang, sebelum ia didengar dan sebelum orang mengetahui apa yang telah dibuat-Nya?" (ayat 51). Nikodemus memberikan argumentasi berdasarkan Taurat, karena dia bersama dengan orang-orang yang menjunjung tinggi Taurat. Saudara perhatikan, argumentasinya memang bukan argumentasi Kristologi; bersama dengan orang-orang yang meninggikan Taurat, dia pakai argumentasi Taurat. Ini orang yang sangat peka. Seandainya dia bilang: “Ya, pasti Yesus Mesias, sudah jelas-jelas Mesias, kalian masih menolak”, ini argumentasi frontal. Tapi Nikodemus ada bijaksana; orang-orang di hadapannya ini orang-orang yang sangat menjunjung tinggi Taurat, tetapi mereka tidak bisa menghargai Kristus, maka Nikodemus memakai Taurat: ‘Taurat kita mengajarkan, bahwa kita harus mendengar terlebih dahulu, kita tidak bisa main prejudice tanpa mendengar pengajaran-Nya apa, dsb.’ Ini sesuai dengan hukum taurat. Tapi orang-orang Farisi yang bebal ini tidak tertarik. Itu menunjukkan bahwa mereka tidak betul-betul tulus waktu mempelajari Taurat.
Mereka seolah-olah mengenal Taurat, tapi mereka tidak mau tahu dengan ajaran Taurat. Maka jawaban mereka adalah untuk melampiaskan kebenciannya kepada Kristus; "Apakah engkau juga orang Galilea? Selidikilah Kitab Suci dan engkau akan tahu bahwa tidak ada nabi yang datang dari Galilea" (ayat 52). Inilah false dogmatism, prejudice, sudah ada stempel. Orang mengatakan, ‘semakin kita beranjak usianya, semakin susah mencabut stempel’ –yaitu stempel terhadap orang lain. Saudara lihat anak kecil, mereka kalau habis berantem, beberapa menit kemudian main bareng lagi sepert tidak ada apa-apa sebelumnya. Tapi mengapa orang dewasa tidak bisa seperti itu? Ada sesuatu yang masih terus di simpan di hati, bahkan mungkin sampai 17 tahun?? Kasihan sekali. Stempel yang dikenakan kepada orang lain itu seperti tidak perlu diperbaharui lagi, seperti berlaku terus-menerus tidak ada kadaluarsanya, padahal orang lain itu sudah berubah; dan kita sendiri juga berubah, harusnya. Kita berubah dan orang lain juga berubah.
Berubah, berubah, dan selalu berubah, tetapi stempel membuat satu keadaan yang statis. Seorang filsuf Yunani beraliran ‘Becoming’, mengatakan: “waktu kita menginjak sungai, tidak pernah menginjak sungai yang sama”. Saudara menginjak sungai, airnya jalan terus; jadi waktu Saudara injak, itu tidak pernah sama karena airnya sudah berganti air yang lain. Itu baru air yang benda mati, apalagi manusia; mana ada manusia yang selalu sama?? Air pun berbeda; setiap hari, setiap jam, setiap detik, air itu mengalir, apalagi manusia yang hidupnya selalu mengalir. Waktu kita berurusan dengan dunia, pasti terjadi pergeseran dalam kehidupan orang. Tapi orang-orang yang suka pakai stempel, inilah gambaran seperti dalam bagian ini, yang mengatakan “Selidikilah Kitab Suci dan engkau akan tahu bahwa tidak ada nabi yang datang dari Galilea" –sudah tidak bisa dikoreksi lagi. Padahal Yesus adalah Mesias, Yesus berasal dari Betlehem, Yesus keturunan Daud, tapi mereka tidak bisa melihat lagi karena mereka sudah ada presuposisi sendiri, asumsi sendiri, yang tidak bisa dikoreksi.
Kekristenan itu apa salah satu dimensinya? Kekristenan yaitu terus-menerus dikoreksi, terus-menerus angkat stempel kita –stempel kita terhadap orang lain, stempel kita terhadap Gereja, bahkan stempel kita terhadap Tuhan. Kita tidak bisa men-stempel begitu, kita tidak bisa bikin profil yang statis akan seseorang lalu menganggapnya tidak bisa berubah lagi pokoknya dia seperti ini. Itu bukan Kristen. Kekristenan itu terus-menerus membuka lembaran baru, dan terus-menerus masuk di dalam surprise –ternyata ada yang kita belum tahu, ternyata ada kebaikan yang Tuhan mau nyatakan yang saya belum pernah tahu. Orang yang begini, hidupnya bahagia. Tapi alangkah kasihannya orang yang sudah ditutup oleh profil yang dia bangun sendiri, stempel yang dia lekatkan ‘sudah pasti begini, saya sudah tahu, tidak akan berubah, begini ya begini’. Orang seperti ini bukan saja dia tidak bisa mengenal sesamanya, tapi akhirnya juga tidak mengenal Tuhan.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading