Kita semua tidak ada yang suka di-interupsi. Ketika sedang bicara dengan seseorang lalu orang lain datang meng-interupsi, itu tidak enak. Kalau sedang setir mobil, lalu di-interupsi lampu merah, kita tidak suka. Tapi itu realita, dan Tuhan pun seringkali meng-interupsi dalam jalan hidup kita. Ketika Tuhan memimpin Israel dari Mesir dan tiba saatnya masuk ke Tanah Kanaan, berdasarkan perhitungan manusia, harusnya langsung perang mengalahkan Yerikho tapi ternyata Tuhan meng-interupsi dan meminta orang Israel melakukan sesuatu. Ketika kemenangan tinggal satu langkah di depan mata, Tuhan mengatakan “tunggu dulu”. Interupsi Tuhan bukan asal-asalan tapi ada maksud Tuhan. Interupsi ini sebetulnya merupakan satu persiapan rohani untuk mendapatkan kemenangan. Ternyata, untuk menang itu butuh persiapan. Tuhan perlu tahan mereka dan memberikan satu persiapan yang lebih matang supaya saat menang nanti, betul-betul menang, jangan sampai saat menang itu jugalah saatnya kekalahan mereka.
Yosua 5 adalah satu peristiwa interupsi, Tuhan menyuruh orang Israel disunat. Konteks pada saat itu, semua raja orang Amori dan raja orang Kanaan sudah tawar hati mendengar yang Tuhan lakukan bagi orang Israel waktu keluar dari Mesir, menyeberangi Laut Teberau lalu menyeberangi Sungai Yordan. Di pasal 3, orang Israel sudah menyeberang Sungai Yordan, 12 batu peringatan sudah dibawa, pengintai-pengintai sudah pergi ke Yerikho dan sudah mendapat konfirmasi dari Tuhan, dari orang Israel, dari musuh yang ketakutan. Mereka sangat takut; kemungkinan mereka sudah lari masuk ke dalam Tembok Yerikho itu karena ketakutan luar biasa. Mental musuh sudah hancur, dan orang yang sudah kalah mental gampang dikalahkan. Kita berpikir, inilah momen untuk menang. Tapi yang kita pikirkan tidak sama dengan yang ada dalam pikiran Tuhan. Tuhan suruh mereka berhenti. Tuhan melakukan sesuatu yang “aneh” dan menarik kita untuk menyelidiki pelajaran rohani di dalamnya, yaitu menyuruh mereka semua disunat.
Angkatan yang pertama yang sudah disunat, semua sudah mati; orang-orang yang lahir di padang gurun ini memang belum disunat. Ini adalah persiapan dari Tuhan untuk masuk ke dalam kemenangan. Di sini saya membagi ke dalam 3 persiapan dari Tuhan. Pertama, Tuhan menegaskan kembali kovenan-Nya. Kedua, Tuhan menegaskan kembali kebaikan-Nya (ayat 10-12). Terakhir, Tuhan menegaskan kembali kehadiran-Nya (God’s presence). Tiga hal ini menjadi persiapan utama yang penting sekali, mempersiapkan orang Israel untuk masuk Tanah Kanaan.
Di tanah perjanjian mereka harus ingat perjanjian/ kovenan Tuhan dengan Abraham; di Kej 15, Abraham mempersembahkan korban lalu di Kej 17 ada tanda/ sign dari kovenan itu yaitu sunat. Maka ketika Tuhan menyuruh mereka disunat, itu menegaskan kembali perjanjian tersebut. Ini penting. Sebelum masuk Kanaan, mereka harus tahu bahwa ini semua berkaitan dengan janji Tuhan, bukan untuk enak-enak sudah bebas dari Mesir. Apalagi mereka ini generasi kedua, yang biasanya suka melupakan janji Tuhan. Mereka perlu ditegaskan dan diteguhkan kembali melalui sunat. Sunat memberikan tanda secara fisik dalam tubuh kita, bahwa kita milik Tuhan, umat yang dipisahkan dari bangsa yang lain, dikhususkan untuk Tuhan. Sebelum masuk ke tanah perjanjian, orang Israel harus tahu dulu status mereka, hubungan mereka dengan Tuhan, privilege mereka, gaya hidup mereka, yang berbeda dari bangsa-bangsa lain. Kalau tidak diingatkan, berbahaya sekali. Waktu di padang gurun saja, seringkali mereka hidup seperti orang tidak mengenal Tuhan, apalagi kalau sudah masuk ke tanah perjanjian bisa jadi cara hidup orang Kanaan akan sangat mempengaruhi mereka.
Dalam perkembangannya, orang Israel sendiri akhirnya melupakan makna spiritual sunat ini. Mereka lebih menekankan pada sunat secara fisiknya saja. Padahal, sunat yang secara fisik tanpa makna rohani, orang non Yahudi pun juga melakukannya. Dalam hal ini kita juga seringkali sama. Kita melakukan ritual-ritual baptisan , perjamuan kudus, tapi sudah kehilangan maknanya. Maka di kitab Yeremia, Tuhan mengatakan: “Sunatlah hatimu bagi Tuhan” (Yer 4). Orang Israel tubuhnya disunat tapi hatinya tidak. Sunat hati itu lebih penting. Pergeseran makna seringkali terjadi, oleh karena itu Tuhan memberikan sesuatu yang bersifat fisik untuk mengingatkan. Waktu mereka menyeberang Sungai Yordan, Tuhan juga suruh membawa batu dari dasar sungai itu sebagai reminder, karena kita manusia yang mudah lupa. Lupa anugerah Tuhan. Kita perlu diingatkan terus menerus. Memori itu adalah anugerah dari Tuhan kalau kita menggunakannya dengan baik, untuk menjaga kita.
Ayat 8: Setelah seluruh bangsa itu selesai disunat, maka tinggallah mereka di tempatnya masing-masing di perkemahan itu, sampai mereka sembuh. Di sini sunat tujuannya juga untuk menguji iman mereka. Sebagai orang Israel yang sebentar lagi berhadapan dengan musuh yang jaraknya hanya sedikit, lalu disuruh sunat, maka itu seperti awal dari kekalahan, bukan? Orang dalam keadaan lemah, musuh bisa datang dan dengan gampang menghancurkan. Di Kej 34 kita melihat, ketika anak Yakub yang bernama Dina diperkosa, saudara-saudaranya ingin balas dendam, lalu mereka berkata kepada yang memperkosa dan mau menikahi adiknya: “Kamu boleh menikahi adik kami tapi syaratnya semua pendudukmu harus disunat tanpa terkecuali”. Demi cinta mereka mau disunat. Lalu hari ketiga sedang dalam kesakitan, anak-anak Yakub menghabisi mereka semua. Dan dalam Yosua 5 ini, Tuhan melakukan yang sama. Kita mungkin mengatakan, Tuhan ini tidak masuk akal, lho, sebentar lagi ada pertarungan tapi orang Israel disuruh sunat? Maka sunat itu menguji iman mereka.
Pola ini kita lihat di dalam Alkitab. Setelah kemenangan lalu ada ujian, kemenangan lalu ujian, begitu terus sepertinya. Abraham disuruh keluar dari tanah Mesir, dia berani tinggalkan. Dia menang. Tapi sampai di tanah perjanjian, ternyata ada kelaparan. Kemenangan diikuti dengan ujian.Tuhan Yesus setelah dikonfirmasi “inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan” oleh Allah Bapa, Dia dibawa oleh Roh Kudus ke padang gurun. Setelah 40 hari berpuasa, tingkat kemenangan rohani yang luar biasa, justru setan datang untuk mencobai. Elia setelah kemenangannya menghancurkan nabi-nabi Baal, menghadapi ancaman dari Izebel sudah cukup membuat dia ketakutan dan lari. Pola seperti itu juga bisa terjadi di dalam hidup kita. Seringkali setelah kita menang, justru dalam keadaan menang itulah Tuhan mengirimkan ujian untuk menguji kita supaya kita belajar bergantung kepada Dia. Orang Israel yang habis disunat ini pasti berpikir “hanya Tuhan saja” karena mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Selama 2 minggu menunggu luka mereka sembuh, tidak tahu pikiran mereka ke mana, tapi saya yakin mereka betul-betul hanya bersandar kepada Tuhan. Tuhan memang mengatur begitu. Dalam hidup kita, kadang-kadang Tuhan mengirimkan ujian supaya kita belajar bersandar kepada Dia. Belajar mengenal diri, tahu bahwa diri kita lemah dan tanpa Tuhan tidak bisa berbuat apa-apa.
Ayat 9, setelah mereka disunat Tuhan mengatakan: "Hari ini telah Kuhapuskan cela Mesir itu dari padamu." Ada beberapa tafsiran, tapi saya cenderung mengatakan bahwa “cela Mesir” ini merujuk pada 2 peristiwa. Pertama dalam kitab Keluaran waktu orang Israel membuat lembu emas, Tuhan mengatakan, “Saya akan melenyapkan bangsa ini”, dan Musa mengatakan, “Jangan, kalau sampai Engkau melenyapkan mereka, orang Mesir akan mengatakan ‘Tuhan-nya Israel cuma bisa membawa keluar dari Mesir tapi tidak bisa membawa masuk ke Kanaan’ “. Di situ kemuliaan Tuhan dipertaruhkan. Di kitab Bilangan ketika pengintai-pengintai pulang dan Israel lebih mendengarkan yang 10 orang mengatakan “kita tidak bisa menguasai tanah itu” lalu mereka memberontak, maka peristiwa yang sama terjadi, Tuhan mau melenyapkan mereka. Tuhan berkata, “Lebih baik Saya bunuh mereka semua dan sisakan kamu, Musa. Keturunanmu saja yang Saya bangun jadi satu bangsa yang besar”. Itu ujian besar bagi Musa tapi Musa menolak. Yang saya mau katakan adalah dalam peristiwa inilah yang disebut “cela Mesir”, yang menjadi bahan olokan orang Mesir. Maka pada waktu mereka disunat, Tuhan menghapus cela itu, Tuhan memberitahukan bahwa “Saya ini Tuhan, yang mengeluarkan mereka dan membawa mereka masuk ke sini, dan Saya Tuhan yang setia”, dan covenant relationship itu kembali di-konfirmasi, ditegaskan, diperbaharui, di hadapan orang lain. Orang tidak bisa lagi menghina atau menertawakan Tuhan, Allah Israel, karena Tuhan inilah Tuhan yang memimpin mereka sampai di Tanah Kanaan. Tuhan yang memulai, Dia tidak kerja setengah-setengah, tapi Tuhan bekerja sampai tuntas, sampai selesai. Demikian perkataan Tuhan Yesus di atas kayu salib “Tetelestai” –sudah selesai, dibayar lunas, tuntas, di kayu salib.
Kalau dilihat dari konteksnya, sunat itu juga membuat mereka memenuhi syarat untuk masuk perjamuan, karena di bagian selanjutnya dikatakan bahwa mereka merayakan Paskah. Di kitab Keluaran ada persyaratan orang yang bisa mengikuti Perjamuan Paskah yaitu orang yang sudah disunat. Dalam Yosua 5 ini, satu generasi belum pernah disunat, berarti belum pernah ambil bagian dalam Perjamuan Paskah. Setelah disunat, baru mereka boleh mengikuti Perjamuan Paskah. Ada berkat tersendiri bagi orang ikut Perjamuan Paskah.
Dalam Perjanjian Baru ada 2 sakramen yaitu baptisan dan Perjamuan Kudus. Dalam Perjanjian Lama ada sunat dan Perjamuan Paskah. Ini sinkron. Kalau dalam Perjanjian Lama ada darah yang dicurahkan, baik dalam Paskah (darah anak domba) maupun sunat (darah orang yang disunat), dalam Perjanjian Baru tidak pakai darah karena darah Yesus sudah datang. Dulu cuma type, sekarang antitype-nya sudah ada, Kristus sudah datang. Perjamuan Kudus bukan sekedar mengingatkan –bagi orang Israel tentang keluar dari Mesir, dan bagi kita bahwa Tuhan mati di kayu salib menggantikan kita, membawa kita keluar dari perbudakan dosa– tetapi dalam perjamuan itu juga ada persekutuan dengan Tuhan. Ada privilege kehadiran Tuhan secara rohani yang kita boleh rasakan. Maka, Perjamuan Kudus tidak boleh diberikan kepada sembarang orang. Meski sudah dibaptis atau sidi, orang tersebut harus dalam keadaan rohani yang baik, tapi bukan berarti tanpa dosa. Jangan anggap remeh Perjamuan Kudus, atau anggap cuma ingat-ingat Yesus yang mati dan bangkit. Perjamuan Paskah juga bukan cuma ingat-ingat Israel keluar dari Mesir. Bukan sekedar itu. Di dalamnya mengandung makna rohani. Dalam Perjamuan Kudus ada kehadiran Tuhan secara khusus, secara spiritual. Kita mengingat Yesus yang mati bagi kita dan bersekutu dengan Dia. Kemudian kita meng-antisipasi Perjamuan Kawin dengan Anak Domba kelak waktu Yesus datang kedua kali. Sesuatu sarana anugerah yang penting yang Tuhan berikan kepada kita, karenanya harus ada persyaratan tertentu.
Dalam kovenan ini, khususnya tanda sunat, makna rohaninya jelas bahwa di situ ada aspek pencurahan darah, ada unsur cleansing/ pembersihan, pengampunan dosa. Alkitab juga mengatakan “tanpa pencurahan darah, tidak ada pengampunan dosa”; di dalam Perjanjian Lama merupakan gambaran/ type yang merujuk kepada Kristus sendiri. Dan kalau dilihat misalnya dalam kitab Kolose, jelas ada kesinambungan antara sunat dan baptisan. Itu sebabnya orang Reformed menyetujui adanya kelanjutan antara sunat ke baptisan, Paskah ke Perjamuan Kudus.
Jadi yang pertama adalah Tuhan mempersiapkan mereka, mengingatkan mereka bahwa it’s all about covenant, semua ini adalah tentang perjanjian, tentangTuhan, bukan sekedar tentang kamu capek ya, 420 tahun di sana, sekarang Saya kasih istirahat masuk Kanaan. Tapi semuanya tentang Tuhan punya rencana yang besar, Tuhan menggenapkan rencana-Nya, sehingga pada akhirnya kemuliaan diberikan kepada Tuhan bukan kepada Israel. Di dalam kelemahan mereka, Tuhan nyatakan kemuliaan-Nya.
Hal yang kedua, persiapan itu adalah Tuhan mengingatkan kembali tentang kebaikan-Nya (His goodness). Ayat 10-12 kita melihat orang Israel berkemah merayakan Paskah –berarti mengingat yang Tuhan lakukan di masa yang lalu– dan kemudian mereka makan hasil negeri itu yakni roti yang tidak beragi dan bertih gandum pada hari itu juga. Itu berarti bukan hasil yang mereka tanam, mungkin penduduk setempat yang menanam tapi mereka sudah lari ke Yerikho. Lalu orang Israel datang ke situ dan tinggal makan. Kita lihat juga di sini gambaran yang indah tentang hal rohani. Kalau Paskah menggambarkan orang Israel keluar dari Mesir, maka di sini makan benih gandum menolong mengingatkan orang Israel kepada desire mereka akan makanan Mesir pada waktu di padang gurun itu. Waktu itu mereka mengeluh kepada Musa, “lebih baik di Mesir, makan daging, minum anggur, dsb. lebih enak di Tanah Mesir”, dan akhirnya Tuhan kirim manna. Sekarang manna berhenti, Tuhan berikan mereka makan dari tanah itu yang bukan hasil jerih lelah mereka. Ada penafsir memberikan makna rohani pada bagian ini yang merujuk pada kematian dan kebangkitan Tuhan, benih yang jatuh itu masuk ke dalam tanah, mati, setelah itu bangkit –tumbuh– dan menjadi makanan rohani.
Ini juga menjadi pelajaran rohani bagi orang Kristen. Kalau kita sudah menjadi milik Tuhan, kita punya spiritual appetite harusnya berbeda dari orang di luar. Kita tidak lagi mengingat-ingat yang orang dunia cari. Kalau orang dunia mencari kepuasan dalam uang/ materi, seks, kuasa, atau kesenangan yang lain, itu wajar. Tapi kalau kita yang cari demi kepuasan jiwa kita, maka itu tidak wajar karena kita tahu Kristus mengatakan “Akulah Roti Hidup; Akulah Air Hidup, siapa yang datang kepada-Ku, dia tidak akan haus lagi dan tidak akan lapar lagi”. Harusnya itu yang menjadi makanan rohani kita. Demikian juga orang Israel. Waktu kita sudah berada di tanah perjanjian, di dalam anugerah Tuhan, harusnya kita mengingat anugerah Kristus dan makan dari yang sudah Tuhan siapkan, percaya kepada Kristus yang sudah mati dan bangkit, bersekutu dengan Dia, hidup dengan Dia. Kristus di dalam kita, dan kita di dalam Dia. Itu menjadi perubahan yang luar biasa di dalam hati kita. Perubahan hati itu penting. Perubahan tempat tidak terlalu penting. Orang Israel mengalami perubahan tempat, tapi tidak pernah mengalami perubahan hati. Sampai ketika di Tanah Kanaan pun, tegar tengkuknya tetap ada. Ketika Yosua sudah mati, generasi di bawahnya tidak mengindahkan Tuhan. Akhirnya Tuhan bangkitkan hakim-hakim, dan seterusnya.
Berbicara tentang kebaikan Tuhan, ini adalah hal yang penting sekali. Kalau kita mulai lupa atau take it for granted semua anugerah umum maupun anugerah khususTuhan, itu merupakan awal kejatuhan kita. Kalau mulai tidak puas dengan kebaikan Tuhan, tidak bisa melihat kemuliaan Tuhan dan cinta kasih Tuhan yang begitu indah yang menggetarkan hati kita, lalu mulai merasa biasa-biasa saja, itu tandanya kita harus cepat-cepat pergi ke rumah Tuhan, mencari hamba Tuhan, baca Firman Tuhan, minta pengampunan Tuhan. Kita belajar supaya Tuhan mencelikkan mata rohani kita untuk melihat semua kebaikan Tuhan. Salah satu cara yang bisa kita lakukan tentunya adalah count your blessings, menghitung berkat Tuhan yang kita alami setiap hari. Saya berharap kita belajar menghitung juga anugerah umum Tuhan. Kita seringkali tahu anugerah khusus, tapi anugerah umum jarang dibicarakan. Selama kita hidup di Indonesia, kita memiliki religious freedom yang banyak orang take it for granted. Tapi waktu ada demo, baru kita sadar kita butuh anugerah Tuhan. Di saat anugerah itu berlimpah, kurang dihargai. Waktu anugerah itu mau diambil, kita baru rasa bahwa selama ini anugerah Tuhan begitu limpah. Banyak lagi anugerah umum yang lain, Saudara pikirkan sendiri. Apakah itu mendorong, memaksa, menggerakkan kita untuk memuji Tuhan, bersyukur selalu, seperti perintah Tuhan? Itu menjadi perhatian kita. Dan selain itu, tentunya anugerah khusus di dalam Yesus Kristus. Tuhan memberikan berkat kepada kita betul-betul tidak hitung-hitungan sama sekali, suatu pemborosan yang luar biasa, Tuhan memberikan Anak-Nya bagi kita, demi kasih-Nya kepada kita, dan demi kemuliaan-Nya.
Yang ketiga, Tuhan menegaskan kembali His presence (kehadiran Tuhan). Ayat 13-15, ketika Yosua mendekati Yerikho, dia melihat seorang laki-laki berdiri di depannya, memakai pedang. Ini pasti kelihatan betul-betul rupa manusia, tapi kita tahu itu adalah Kristus; Christophany sebelum inkarnasi. Dan karena Yosua tidak bisa membedakan, dia menanyakan, “Kawankah engkau atau lawan?” Dia belum tahu itu Tuhan sendiri. Tapi waktu dijawab, “Akulah Panglima Balatentara Tuhan. Sekarang aku datang”, Yosua sujud menyembah ke tanah.
Kita tahu –rahasia umum– bahwa seorang pemimpin itu paling mengalami kesepian, baik pemimpin gereja, presiden, dsb. Khususnya pada saat mengambil keputusan-keputusan yang krusial, yang beresiko, biasanya mereka merasakan seorang diri. Di saat seperti ini, Tuhan sekali lagi mengerti benar siapa yosua, seorang anak muda yang baru ditahbiskan menjadi hamba penerus hamba-hambanya Tuhan. Musa adalah hamba Tuhan, dan dia sekarang menjadi hambanya Musa, sesuatu yang berat. Oleh karena itu dalam pasal-pasal yang pertama, semuanya berisi konfirmasi dari Tuhan, dari umat Tuhan, dari musuh umat Tuhan. Dan di pasal ini Tuhan sendiri datang menyertai dia. Perlu God’s presence. Kalau Tuhan sampai datang dan menampakkan diri dalam rupa manusia kepada Yosua sebelum peperangan, untuk menegaskan His presence, maka itu sesuatu yang penting. Yang Tuhan lakukan itu penting. Masalah God’s presence itu mutlak kita butuhkan. Yosua pasti ingat tuannya pernah berdoa ketika Tuhan berkata kepada Musa, “Saya tidak bisa pimpin bangsa ini; kalau Saya yang pimpin, habis semua, Saya kirim malaikat saja”. Dan Musa menjawab, “Tidak bisa, kalau Engkau tidak berjalan di depan, saya tidak mau. Kecuali Tuhan sendiri jalan di depan, baru saya mau.” Yosua tahu benar kehadiran Tuhan itu penting sekali. Maka dalam bagian ini, Tuhan sendiri menegaskan penyertaan Tuhan kepada Yosua. Bahkan peristiwanya juga mirip. Ayat 15 "Tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat engkau berdiri itu kudus." Di situ tanah orang kafir, tapi saat itu menjadi kudus waktu ada kehadiran Tuhan.
Di ayat 14 Yosua bertanya, "Apakah yang akan dikatakan tuanku kepada hambanya ini?" dan perintah pertama dari Tuhan: "Tanggalkanlah kasutmu”. Ini penting. Ketika kehadiran Tuhan dinyatakan, reaksi pertama dari Yosua: sujud menyembah. Penyertaan Tuhan begitu real, maka dia menyembah Tuhan saat itu, tanpa tanya-tanya. Dan setelah sujud menyembah dengan kerendah-hatian, barulah keluar kalimat yang kedua, apa yang Tuhan mau saya lakukan. Lalu Tuhan mengatakan "Tanggalkanlah kasutmu”. Ini terjadi sebelum perang. Seorang pemimpin harus tahu diri bahwa dia nothing, tidak ada apa-apanya, dan tidak layak. Biasanya seorang pemimpin besar dengan kesuksesan besar ditentukan dari bagaimana dia sendiri, di kamar, bersama dengan Tuhan.
Orang yang besar, Saudara pikir karena besarnya talenta? Tidak. Tanpa orang itu berlutut di hadapan Tuhan, tanpa air mata yang dicurahkan, tanpa harga dan penderitaan yang ditanggung, dsb. orang itu tidak jadi besar. Tidak pernah ada yang tiba-tiba jadi besar. Kalau tiba-tiba jadi besar, itu pasti dari setan. Orang yang betul dari Tuhan –Saudara bisa cek– semua pasti banyak harga yang dibayar, dan khususnya kehidupan worship/ menyembah Tuhan adalah awalnya. Ada satu perasaan ketidak layakan. Yesaya, nabi sebesar itu pun harus berkata “celakalah aku seorang yang najis bibir, aku hidup di antara bangsa yang najis bibir, aku tidak layak”. Itu adalah awal untuk pelayanan. Begitu Yesaya tahu tidak layak, barulah ada perintah dari Tuhan “siapa yang mau pergi untuk Aku”, dan barulah Yesaya mengatakan, “Ini aku, utuslah aku”. Waktu raja Uzia mati, Alkitab mengatakan: Yesaya melihat TUHAN duduk di atas takhta-Nya. Yang satu turun takhta, yang Satu tetap di atas takhta. Itu juga yang menjadi penghiburan kita. Pergantian kepemimpinan di dunia tidak mempengaruhi kepemimpinan alam semesta. Tuhan tetap duduk di atas takhta-Nya dan jumbai jubah-Nya memenuhi Bait Suci. Yesaya melihat kemuliaan Tuhan dan reaksinya adalah menyembah Tuhan, merasa diri tidak layak.
Tuhan mengingatkan Yosua “tanggalkan kasutmu, kamu tidak layak”. Dan Yosua berbuat demikian. Ceritanya sampai di situ. Lalu pasal 6 diceritakan perang dan Yosua mengalahkan Yerikho. Urutan ini jangan dibalik. Mulai dari suatu hubungan pribadi dengan Tuhan, penyembahan, lalu ketaatan, dan kemudian baru ada spiritual war (peperangan rohani). Kita seringkali tidak mengikuti prosedur dari Tuhan ini sehingga banyak kali kita kalah. Penyertaan Tuhan itu penting. Di dalam penyertaan Tuhan, ada reaksi yang benar dari kita yaitu sujud menyembah Tuhan, sadar ketidak layakan kita, dan baru kita maju di dalam peperangan.
Tiga hal ini menjadi satu interupsi yang menjadi berkat bagi orang Israel, bagi Yosua. Saya tidak tahu tahapan hidup Saudara sekarang di mana? Mungkin Saudara sebentar lagi akan naik ke tingkat lebih tinggi dalam mengikut Tuhan, atau dalam hal apapun, maka ingatlah ini baik-baik sebelum sampai ke tingkat lebih tinggi itu. Supaya jangan kesuksesan itu membawa kepada kesombongan yang akhirnya membawa kepada kejatuhan, lebih baik Saudara ingat baik-baik perjanjian Tuhan. Kovenan itu sesuatu yang indah, yang menjadi inti dari Teologi Reformed. Tuhan yang memulai, Tuhan yang sekarang bekerja menggenapkan janji-Nya. Itu yang menjadi concern kita hari ini. Ketika Saudara bekerja –apapun itu– coba dikaitkan dengan janji Tuhan yang besar itu, dan kita selalu mengingat diri kita.
Paulus waktu menulis surat kepada orang-orang di Filipi mengatakan: “Ingatlah statusmu, hiduplah sebagai warga negara”. Kalimat yang dipakai ini adalah satu kalimat sederhana yang biasa dipakai orang Roma kepada orang Romawi yang tinggal di wilayah luar Roma; selalu dikatakan “hiduplah sebagai warga negara; kamu boleh tinggal di Filipi tapi kamu orang Roma, hidup dengan budaya Roma, cara hidup Roma, dan segala macamnya”. Paulus memakai itu waktu mengatakan “hiduplah sebagai warga negara Kerajaan Allah”. Kita di dunia cuma sementara, mungkin tinggal 10 atau 20 tahun lagi, cobalah isi dengan hal-hal yang berkaitan dengan kovenan Tuhan, bagaimana Kerajaan Allah bisa dinyatakan di sini. Setiap kali kita berdoa Bapa Kami “datanglah Kerajaan-Mu”, kita minta kerajaan Tuhan datang. Apa artinya? Lalu kita mengatakan “di bumi seperti di surga”. Di surga, kehendak Tuhan baik secret will maupun moral will-Nya ditaati secara mutlak. Di dunia tidak. Secret will-Nya memang pasti jalan, itu kedaulatan Tuhan. Tapi moral will-Nya dilanggar oleh manusia, manusia membunuh, mencuri, berzinah, dsb. Maka waktu kita mengatakan “datanglah Kerajaan-Mu Tuhan”, kita rindu yang di surga itu terjadi di dunia, orang taat kepada moral will-Nya, the revealed will-Nya sama seperti the secret will Tuhan.
Kita jangan melupakan kovenan. Kita jangan melupakan jati diri kita, privilege kita, identitas kita, selama ada di dunia ini. Waktu kita lupa, hidup kita berantakan. Tapi waktu kita ingat hal ini, Saudara boleh berhadapan dengan tembok Yerikho, dengan Sungai Yordan, dengan lau Teberau, atau apapun itu, dan Saudara menghadapi itu bersama dengan Tuhan karena kita tahu janji Tuhan. Itu menjadi kekuatan kita. Melalui Alkitab, saya ingin kita sebagai orang Kristen selalu menyadari kewargaan kita di surga, dan keberadaan kita sebagai pilgrim yang mengembara di dunia ini. Betapa sering itu harus selalu diingatkan, setiap Minggu. Karena 6 hari lamanya Saudara bekerja, dicecari dengan semua hal yang ditawarkan dunia untuk memimpikan ‘kerajaan surga’ di dunia ini tanpa Tuhan. Saudara bisa terus mimpi itu, tapi ternyata tidak pernah jadi kenyataan. Kita harus bangun. Kita harus sadar bahwa semua ini sementara. Kita mau sekali lagi Minggu ini di-charge oleh Tuhan untuk berlari lagi dengan lebih cepat. Tanggalkan segala sesuatu yang membebani kita supaya kita bisa lari dengan fokus kepada tujuan akhir hidup kita, panggilan surgawi di dalam Yesus Kristus, Tuhan kita.
Sekali lagi, persiapannya cuma 3 hal ini: God’s covenant, God’s goodness, dan God’s presence.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading