Salah satu aspek kemanusiaan yang semakin lama semakin luntur dalam dunia dengan ledakan penduduk yang semakin besar ini adalah urusan personalitas. Terlebih ditengah zaman dengan pengaruh pragmatis yang cukup kuat, manusia sering kali dipandang dari apa yang dapat dihasilkannya. Pragmatisme berusaha memandang segala sesuatu sebagai instrumen untuk tujuan tertentu. Hukum gravitasi, apakah itu benar; hukum gravitasi bukan urusan benar salah, namun masalah berguna atau tidak berguna; coba saja loncat dari lantai 2, kalau patah kaki berarti itu benar, atau lebih tepatnya berguna. Demikian manusia juga dilihat berdasarkan guna/fungsinya. Siapa dia, si pendeta, si manager, atau si tukang onar itu. Yang lebih parah orang saat ini kadang bahkan dikenal sebagai angka; siapa dia, dia adalah SPG no 379 dsb. Manusia memang hadir dalam berbagai macam fungsinya, namun fungsi tidak dapat mewakili kemanusiaan itu sendiri. Surat Paulus dalam bagian ini menyajikan sebuah anjuran terhadap hubungan personal yang sangat menantang, sederhana, dan sekaligus berdampak besar.
Tepat berkebalikan dengan Filemon; dalam praksis gerejawi surat Roma mungkin memiliki reputasi sebagai salah satu surat yang paling banyak diperbincangkan dan dikutip dalam gereja-gereja Tuhan sepanjang masa. Beberapa tokoh sangat besar dalam sejarah gereja bergumul dengan sangat serius dan bahkan mengaku menemukan pengalaman pertobatannya melalui surat ini; kita mengenal kisah ambil dan baca Agustinus yang kemudian bertemu dengan 13:13-14, ataupun pengalaman fenomenal Martin Luther (dengan 1:17). Diluar itu kita dengan cukup mudah menyaksikan bahwa kitab Roma membawa beberapa doktrin terpenting gereja yang diwariskan dalam tradisi ortodoksi hingga saat ini; bahkan pengalaman pribadi dalam pelayanan kitapun mengkonfirmasinya; dengan banyaknya ayat “emas” berserakan dalam buku ini, kita mungkin hafal dan sering memakai cukup banyak ayat-ayat dalam surat ini untuk berbagai tujuan seumpama, Rm 1:16-17, 3:23, 6:23, 8:28, 11:36, 12:1. Dalam surat yang padat akan pokok-pokok dokmatika seperti ini, kita tetap melihat bahwa dalam surat yang sangat doktrinal seperti inipun Paulus tidak kehabisan energi untuk menyentuh dengan sangat mendalam isu-isu praktis. Secara kasar saja, jika kita melihat ada 16 pasal dan Paulus mendedikasikan 5 pasal (12-16) untuk urusan praktis maka kurang lebih sepertiga “surat doktrinal” ini bersifat praktis.
Bagi Paulus Kristen bukan sekedar tentang “set kepercayaan” (sehingga yang dibutuhkan hanyalah berbagai risalah doktrin) atau sebaliknya tentang “sekumpulan kode etis” (sehingga aturan-aturan praktis menjadi penekanan dengan mengorbankan urusan dogmatis). Set kepercayaan yang sangat dalam, pengetahuan yang sangat ketat namun tidak berimplikasi pada kehidupan praktis lebih mirip pengajaran Gnostik, sebuah aliran yang mulai menyusup subur pada abad kedua, sementara sekumpulan kode-kode etis tertentu tidak akan berbeda dengan John Robert Power atau nasihat para motivator masa kini. Kekristenan adalah tentang iman yang mengarah kepada kesetiaan. Dari Faith menuju Faithfulness. Sesuatu yang memang kita percayai, dan pada saat yang sama kita hidupi.
Surat Roma, seperti yang kita lihat, dengan demikian saratnya doktrin yang muncul didalamnya seringkali kurang dilihat keberadaannya sebagai surat; namun sering dipandang sebagai sebuah kesaksian doktrinal, sebuah mahakarya teologi Paulus. Namun surat ini tidak semestinya kita perlakukan demikian; Roma memang mengandung buah pemikiran doktrinal yang sangat cermat namun tetap merupakan sebuah surat; menyinggung masalah spesifik dari sebuah jemaat tertentu. Disini kita melihat bahwa untuk menyinggung urusan praktis, Paulus mendekatinya dengan sangat doktrinal. Biasa kita kurang sabar melihat permasalahan dengan cara demikian; “urusannya adalah saya bertengkar, maka kalau memberikan jawaban berikan jawaban tentang bagaimana kami bisa damai, tidak perlu berkhotbah hingga 11 pasal dahulu” demikian pikir kita ketika masalah perselisihan datang. Namun justru ini yang dilakukan Paulus, dia merasa perlu menelusuri akar permasalahan hingga bagian yang paling dalam, yaitu relasi dengan Allah, urusan dengan dosa dsb., dan ini yang ternyata memang merupakan hal utama.
Selain hidup dalam penderitaan, salah satu permasalahan pelik dalam jemaat Roma adalah hubungan antara orang-orang Yahudi dan non Yahudi dalam jemaat waktu itu. Masalah personal yang terus menjadi masalah pelik karena berbagai latar belakang keberadaan mereka. Orang Yahudi sebagai kelompok yang mewarisi janji Allah, namun telah ratusan tahun ditindas oleh bangsa asing di satu sisi, dan bangsa asing (gentiles) yang merasa bahwa orang-orang Yahudi aneh dengan kepercayaan mereka yang kaku.
Bagian ini diawali dengan pernyataan karena itu. Alasan Paulus untuk mempersembahkan tubuh adalah “itu”. “Itu” disini menjelaskan pernyataan Paulus dalam doktrin keselamatan, yaitu bahwa kesetiaan Allah (iman) memimpin kita pada kepercayaan (iman) dalam Yesus Kristus (1:17). Argumentasi keselamatan disini berjalan dengan sangat rapih; diawali dengan kemuliaan Allah (1:20) yang langsung mengkonfrontasi dosa manusia. Berbicara dosa terlepas dari konteks kebesaran dan kemuliaan Allah sangatlah sulit. Kitab Yesaya terkhusus pasal 1-12 menyatakan adanya dosa-dosa Israel yang akan mendatangkan hukuman Allah; namun ditengah bangsa yang berdosa, kesadaran akan dosa seringkali justru memudar; karena itu dengan sangat dramatis dalam pasal 6 kitab Yesaya dinyatakan tentang kemuliaan Allah yang langsung mengkonfrontasi keberdosaan manusia. Tak terkecuali dengan zaman kita saat ini; dosa, belakangan semakin dianggap biasa. Sebuah contoh saja, dalam dunia medis homoseksual dianggap sebagai suatu penyakit. Orang sakit perlu berobat bukan bertobat. Maka ada berbagai jenis terapi untuk orang homoseks; selanjutnya dalam perkembangan dunia medis yang lebih terkini ternyata homoseks bukan lagi dipandang sebagai penyakit namun hanya sebagai variasi saja; tidak memerlukan pengobatan, terapi, terlebih pertobatan.
Selanjutnya kita melihat bahwa argumen Paulus yang mengurung baik Yahudi maupun non Yahudi dalam kategori yang sama (berdosa) menjadi sangat penting. Dalam jemaat Roma terkhusus ada semacam ketidak satuan dalam jemaat; kalangan Yahudi merasa punya kelebihan karena memiliki tradisi Taurat, non Yahudi merasa lebih kuat, karena mereka lebih bisa lepas dari tradisi Yahudi yang non Kristen. Namun ketika mengkonfrontasi dosa, Paulus menyatakan bahwa baik Yahudi maupun non Yahudi keduanya berdosa. Setelah bicara dosa Paulus memimpin mereka pada doksologi atas keselamatan yang dari Tuhan. Keselamatan yang adalah anugerah, akan berbunyi paling kencang dalam kesadaran akan keberdosaan kita. Mengapa keselamatan sudah nyaris menjadi hal yang sangat biasa bagi kita; salah satunya mungkin adalah kita semakin kehilangan kepiawaian untuk melihat kebangkrutan rohani, keberdosaan kita. Taurat, dan nurani; perwakilan suara Tuhan baik bagi orang Yahudi maupun orang non Yahudi berbicara bahwa mereka adalah orang berdosa. Firman Tuhan digunakan sebagai cermin, bersifat korektif, menyadarkan manusia akan dosa; dalam keadaan demikian manusia paling siap melihat anugerah sebagai anugerah. Sayangnya Firman Tuhan zaman sekarang lebih berfungsi sebagai spion ketimbang cermin, bukan melihat kelemahan diri namun menyorot kelemahan tetangga.
“Itu” yaitu anugerah keselamatan bagi orang berdosa yang tidak layak; menjadikan kita oleh kemurahan Allah untuk mempersembahkan diri kita. Oleh kemurahan Allah adalah tema yang penting; kita sangat mengenal sola gratia dalam keselamatan, namun sola gratia semestinya juga berlaku dalam kehidupan penyucian kita. Keselamatan karena anugerah bukan oleh perbuatan baik; selanjutnya adalah perbuatan baik oleh anugerah juga. Terkadang kita mengamini bahwa hidup keselamatan kita murni karena anugerah, namun perbuatan baik kita adalah milik sendiri diluar anugerah; hal ini sangat tidak sehat bagi kerohanian kita. Disatu sisi kita mungkin exhausted kehabisan energi karena kelelahan dan tidak mampu berbuat baik, disisi yang lain mungkin kita justru menjadi sombong, merasa hebat karena sanggup melakukannya sendiri. Bagi Paulus, anugerah, kemurahan Allah, berlaku baik bagi keselamatan maupun perbuatan baik.
Selanjutnya Paulus menganjurkan untuk kita mempersembahkan tubuh. Paulus tidak menyuruh mereka untuk misalnya mempersembahkan hati mereka. Tentu saja, baik tubuh ataupun hati semuanya menyatakan keseluruhan diri manusia; namun ketika dinyatakan persembahan tubuh maka kita melihat ada satu hal yang sangat ditekankan, yaitu bahwa tubuh adalah hal yang konkrit. Perbuatan baik semestinya dikerjakan secara konkrit. Disini Paulus menekankan tentang kejelasan nasihatnya yaitu agar mereka saling menyadari posisi masing-masing; bahwa mereka adalah satu tubuh yang saling membutuhkan. Ini perintah yang sangat penting bagi mereka; mereka selama ini menganggap bahwa mereka terpisah dalam dua golongan Yahudi dan non Yahudi.
Jemaat Roma pernah mengalami berbagai kejadian yang serius yang saat itu menghasilkan kesulitan-kesulitan tertentu dalam hubungan mereka satu dengan yang lainnya. Orang Yahudi adalah sebuah masyarakat dalam teritori Romawi yang dianggap cukup perlu untuk diperhatikan. Meski jumlah mereka tidak sangat banyak, namun mereka memiliki kebiasaan-kebiasaan yang berlainan dengan bangsa-bangsa lainnya. Dalam religinya mereka menolak untuk memiliki banyak Allah, dan menolak untuk menyembah kaisar. Mereka memiliki rangkaian ibadah yang diwarnai dengan pencurahan darah dan penyalaan kemenyan serta berbagai set ritual rumit lainnya. Menyembah hanya satu Allah dan menolak menyembah kaisar bagi masyarakat waktu itu dipandang berbau makar, tidak loyal terhadap negara dan membahayakan bagi masyarakat. Masyarakat Yahudi telah dijuluki hal-hal yang sangat negatif seperti “orang barbar yang penuh tahyul”.
Dalam masa pemerintahan Klaudius ada keributan diantara mereka tentang “Krestus”, kemungkinan ini merupakan perdebatan tentang identitas Yesus sebagai Kristus; sebagian golongan Yahudi menerima dan sebagian besar yang lain menolak dengan keras. Untuk mengatasi keributan, Klaudius mengusir semua orang Yahudi keluar dari kota Roma (Kis 18:2). Hal ini menyebabkan jemaat Kristen kalau tidak semua, kita bisa katakan hampir semuanya adalah orang non Yahudi. Namun setelah kematian Klaudius maka pengusiran tersebut berakhir; dengan demikian mulailah kelompok Yahudi masuk kembali kedalam kota Roma; hal ini memberikan pengaruh juga terhadap komposisi jemaat Roma pada waktu itu.
Bertambahnya jumlah jemaat secara cukup signifikan dari satu ras yang sama dan ras tersebut punya reputasi cukup buruk menimbulkan masalah tersendiri. Mereka kini hidup bersama sebagai sebuah gereja; Yahudi dengan pride, dan sakit hatinya terhadap bangsa asing; dan non Yahudi dengan kesulitan-kesulitan “kerewelan kerumitan” orang Yahudi. Disini perintah Paulus menjadi sangat jelas; ibadah bukan sekedar ide tentang persatuan, dan kasih; ibadah berarti dalam tubuh konkrit mereka harus menyaksikan bahwa Yahudi dan non Yahudi bukanlah pemisahan. Jika ingin berbicara pemisahan, adanya adalah pemisahan antara mereka yang di dalam Adam dan yang didalam Kristus; bukan dalam Adan dan dalam Abraham (non Yahudi dan Yahudi). Mereka semua adalah gereja; ada dalam Kristus, maka mereka tak terpisahkan, ini anjuran konkrit pertama bagi mereka.
Saling menerima ini dalam surat Roma dikembangkan dengan konsep saling menanggung kelemahan. Mereka dibagi golongan yang kuat dan lemah iman; ada orang yang sangat bermasalah memakan daging, sangat bermasalah dengn berbagai hukum dan tata adatnya; namun ada yang percaya bahwa mereka telah dimerdekakan dalam Kristus. Yang kuat bukannya menghina, atau sekedar menoleransi yang lemah namun dalam bagian ini dikatakan Paulus untuk menanggung. Keberadaan golongan yang lemah, (dalam hal in bukan sekedar lemah, namun aspek lemahnya secara personal bersinggungan dengan berbagai kenyamanan kita) seringkali menjadi hal yang sangat tidak mengenakkan. Kita mungkin bisa bersimpati untuk orang yang lemah ekonomi, orang yang menderita, atau orang yang kurang pandai (berbagai aspek umum tentang kelemahan); kita mungkin juga bisa meski lebih sulit untuk menoleransi orang yang lemah karakter, menjengkelkan dsb. namun hal tersebut akan menjadi berkali lipat kesulitannya jika yang menjengkelkan tersebut adalah menjengkelkan bagi kita.
Jika ada orang yang bercerita kepada kita ”eh si ini kurang ajar, gini dan gitu” kita mungkin senyum dan berujar bijak; “iya saya mengerti, mari kita belajar mengampuni” namun jika giliran kita sendiri yang “terbentur dengan orang tersebut, mungkin kita bisa susah tidur, membayangkan wajahnyapun bisa marah. Bagi jemaat Romawi, inilah arti perintah itu. Dalam tubuh, menyatakan manifestasi kasih dan penerimaan bagi mereka yang sangat mungkin saling berbenturan secara langsung. Dan bukan sekedar mengerti namun bersama memikul kelemahannya; memikul kelemahan berarti merasakan sakit akibat kelemahan tersebut. “Hadoh orang ini bener-bener licik, suka fitnah dsb”. memikul kelemahan berarti orang sedemikian bukan dijauhi, dan bukan sekedar didiamkan, namun didekati. Dalam keadaan demikian kita meresikokan diri untuk difitnah juga, untuk disakiti; namun itu artinya menanggung kelemahan juga. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang kita alami kini, kita cenderung untuk berkumpul dengan orang-orang yang kita sukai, menjauhi atau setidaknya mentoleransi keberadaan orang-orang lemah yang perlu ktia kasihani. Namun persembahan tubuh mengajak kita untuk masuk lebih dalam yaitu menanggung kelemahan orang lain, dan pada saat bersamaan membiarkan kelemahan kita ditanggung orang lain. Ini juga tantangan tersendiri, memberikan diri kita ditanggung dengan resiko ditolak. Namun justru disinilah mekanisme Kristen berjalan dan hal tersebut akan menjadi kesaksian yang sangat besar.
Dunia Romawi adalah dunia yang sangat mengetengahkan kekuatan, keberanian, keperkasaan. Mereka terbiasa untuk dipuaskan dengan suguhan dua gladiator yang bersimbah darah mengalahkan lawannya dan kematian brutal seorang manusia ditangan manusia yang lain. Ditengah dunia sedemikian kita melihat ada sekelompok orang yang dikenal sebagai kelompok pembangkang, kelompok aneh yang mempraktekkan pengampunan. Sekelompok orang yang tidak berpura-pura; duduk dan makan, menyanyikan himne bersama. Ini merupakan gambaran yang tak kalah dramatis ketika kita menyaksikan di Afrika ketika politik Apharteid berjalan kuat-kuatnya lalu kita melihat ada sekelompok orang berkulit hitam dan kulit putih yang duduk makan, bercengkrama bersama. Mereka bukan sekedar sanggup untuk hidup bersama, namun tidak mengeluh untuk memberikan pengorbanan tertentu karena kelemahan rekan seimannya. Keadaan demikian tidak mungkin tidak diperhatikan oleh orang sekitarnya; mereka mungkin mendapatkan simpati, mungkin juga banyak yang antipati, namun tidak mungkin orang tidak melihat apa yang mereka kerjakan. Melihat Yahudi dan non Yahudi dalam satu komunitas saling menanggung kelemahan sungguh sebuah pemandangan yang tidak biasa; hal ini akan menjadi kesaksian yang cukup mencolok dalam dunia waktu itu. Ini mencengangkan, melalui sebuah peristiwa yang sangat sederhana, saling menanggung kelemahan ini mereka bisa menjadi kesaksian yang serius.
Persembahan yang hidup. Paulus menganggap hal ini sebagai bentuk persembahan (sacrifice). Disini Paulus mengusung tema upacara kultik bangsa Yahudi dengan persembahan-persembahannya; namun tidak seperti persembahan binatang yang mati mereka kini mempersembahkan persembahan yang hidup. Persembahan tersebut, kudus, berkenan, dan tak bercacat. Ini merupakan ciri khas upacara kultis Yahudi, identitas yang lekat sekali dengan mereka. Tak terpisahkan, seperti ulos bagi orang Batak atau salib bagi orang Kristen, atau bunda Maria bagi orang Katolik. Persembahan, bagi orang Yahudi bukan sekedar masalah agama, namun ini adalah identitas yang tak terpisahkan dari mereka. Tanah suci, Taurat, Sunat, hukum Sabat, bait suci, serta upacara pengurbanan adalah identitas yang lekat sekali dengan mereka. Tidak menjalankan ibadah dengan kurban bukan sekedar berarti lalai secara agama namun juga penyangkalan identitas kebangsaan; hampir sama dengan menolak hormat terhadap bendera merah putih bagi kita orang Indonesia. Bahasa inilah yang dipakai Paulus ketika menyatakan tentang “persembahan yang hidup”.
Perbuatan baik yang konkrit, dalam hal ini saling menanggung kelemahan sesama merupakan sebuah identitas eksternal Kristen yang menceritakan jatidiri yang tidak kelihatan. Huruf M warna kuning bercerita banyak sekali hal, yaitu menu yang ada dalam restoran Mc. Donald. Lambang itu penting, sekali lagi lambang membuat pembeda dengan yang lain, namun yang terutama adalah lambang tersebut mengisahkan apa yang ada di balik lambang tersebut sendiri yaitu restoran ayam goreng Mc.D. Lambang tersebut tidak membuat ayam menjadi Mc.D, namun mengisahkan tentang Mc.D itu; toko tempe yang memasang lambang tersebut tidak menjadikannya Mc.D. demikianlah persembahan bagi orang Yahudi, dan dalam bahasa yang sama; ini pula yang dinyatakan Paulus dalam suratnya tentang perbuatan baik bagi orang Kristen. Setiap tindakan baik yang kita buat, terkhusus dalam konteks saling memikul kelemahan, adalah sebuah tanda, sebuah merk yang bukan menjadikan namun mengisahkan bahwa kita adalah Kristen. Setiap kali kita memikul kelemahan kita, kita akan mengingat bahwa kitapun telah terlebih dahulu dipikul kelemahannya; bukan melalui upacara penyunatan, atau pemotongan kurban, namun melalui pencurahan darah Putera tunggal Allah.
GOD be praised!!!
Ringkasan khotbah ini sudah diperiksa oleh pengkhotbah (EA)