Bagian ini secara cerita sangat simpel, dan judul yang diberikan LAI sangat tepat, “Ketidaktaatan Saul waktu orang Filistin datang menyerang”. Kita melihat di sini orang Filistin berkumpul mau menyerang Israel, orang Israel mulai kabur, sampai pada akhirnya Saul sendiri harus menunggu Samuel; dan ketika dia melihat Samuel seolah-olah tidak hadir, atau mungkin telat, dia sendirilah yang memberikan persembahan kepada Tuhan. Dalam hal ini Alkitab mencatat bahwa tindakan itu dianggap sebagai ketidaktaatan Saul kepada perintah Tuhan.
Pasal 13 ini sebetulnya merupakan bagian dari cerita yang lebih panjang, yaitu pasal 13-15. Mulai dari pasal 13, lalu 14, lalu 15, di setiap pasal Alkitab menunjukkan ketidaktaatan Saul. Di pasal 13 ini dia tidak taat, di pasal 14 juga tidak taat, di pasal 15 pun dia tidak taat dan akhirnya dia dibuang, ditolak sebagai raja Israel. Jadi temanya sama. Tapi yang menakutkan, dan juga ironis, walaupun di setiap pasal tersebut kita melihat Saul ditolak oleh Tuhan karena dia menyangkali perintah Tuhan, namun dia selalu menang di dalam peperangannya. Dari sini kita harusnya langsung bisa melihat dengan jelas bahwa kesuksesan eksternal, pertumbuhan eksternal, itu tidak mutlak menunjukkan bahwa yang kita lakukan, atau pun diri kita, diperkenan oleh Tuhan. Saul sendiri di setiap pasal menang, di pasal 13 juga menang, tapi justru di sini dikatakan dia menolak Tuhan. Jadi, kita tidak bisa mengatakan kalau kita mendapat kesuksesan eksternal –bahkan termasuk kesuksesan/pertumbuhan di dalam Gereja (spiritual success) misalnya gereja bertumbuh, seminar yang diadakan gereja sukses dihadiri banyak orang– itu tidak bisa kita katakan mutlak artinya apa yang kita lakukan ataupun diri kita pasti diperkenan oleh Tuhan, karena memang Alkitab tidak mengatakan demikian. Kita bisa mengatakan “Tuhan berkenan ketika umat-Nya taat, dan melalui ketaatan umat-Nya Tuhan memberkati”, tapi kita tidak bisa mengatakan sebaliknya, kita tidak bisa memutlakkan bahwa pertumbuhan di luar ataupun di dalam Gereja menunjukkan Tuhan berkenan kepada kita.
Bahayanya, ketidaktaatan Saul ini bukan satu hal yang dianggap jahat oleh mata dunia. Kalau kita seorang sejarawan, melihat Saul menang atas Filistin, kita pasti acungkan jempol. Di mata dunia, Saul tidak ada salahnya, Saul harus dan patut dipuji, karena dengan pasukan begitu sedikit toh akhirnya dia bisa menang. Tapi sesungguhnya dia justru ditolak. Yang dilihat manusia, dan yang dilihat Tuhan, itu benar-benar berbeda. Sekali lagi, keselamatan hanya di dalam Kristus itu mutlak, Tritunggal itu mutlak, tapi kita tidak bisa memutlakkan bahwa pertumbuhan yang kita alami, kesuksesan yang kita terima di dalam Gereja, itu menunjukkan Tuhan berkenan kepada kita. Itu cara dunia, tapi bukan cara Tuhan. Coba saja kita lihat dalam Pribadi Yesus; dari kacamata dunia, di dalam periode itu secara manusia Yesus adalah orang yang paling gagal. Dia siang malam melayani orang tanpa kenal lelah, keliling ke mana-mana selama 3 ½ tahun, lalu pada akhirnya apa yang Dia peroleh? Yang Dia peroleh adalah salib! Buat apa?? Awalnya ribuan orang mengikuti Dia, lalu merosot jadi beberapa ratus, lalu jadi 12 orang, dan dari 12 orang itu ada 1 yang mengkhianati Dia, bahkan di atas kayu salib hampir semuanya kabur. Dia tidak ada achievement apa-apa. Nothing. Zero. Dia dikutuk. Bagi dunia, ketika mereka melihat Yesus di atas kayu salib, Yesus dianggap orang yang gagal, looser; tapi dalam kacamata Allah Bapa, pekerjaan Dia sempurna. Dalam hal ini, saya percaya bahwa seorang pemimpin rohani –pengkhotbah, penatua, diaken, dsb.– harusnya yang paling bisa menyadari hal ini, karena dalam doa kita sering kali kita mengatakan, “Tuhan, saya terbatas, saya hina, saya tidak layak”, dst., dengan kata lain kalau sungguh-sungguh berdasarkan diri kita sendiri, harusnya tidak ada pertumbuhan, tidak ada kesuksesan, adanya kegagalan demi kegagalan —karena kita sendiri mengaku kita tidak layak, kita hina, kita terbatas, kita tidak mampu, dst., dst. Sebaliknya, kalau kita melihat sungguh-sungguh ada berkat, ada pertumbuhan, harusnya kita langsung mengerti bahwa ini sungguh-sungguh gara-gara sola gratia, karena anugerah saja. Demikian tema yang sangat penting dari pasal 13-15; dan sekarang kita akan masuk ke detail ceritanya.
Ayat 1, ‘Saul berumur sekian tahun ketika ia menjadi raja; dua tahun ia memerintah atas Israel’; kalimatnya simpel, tapi ini ayat yang paling sering diperdebatkan dalam pasal 13. Ada 2 bagian di ayat ini yang banyak diiperdebatkan para komentator. Pertama, mengenai di sini tidak ditulis Saul umur berapa waktu menjadi raja; itu sebabnya LAI menulis ‘Saul berumur sekian tahun …”, tidak ada angkanya; yang kedua, mengenai dituliskan di sini bahwa dua tahun ia memerintah atas Israel, sementara dalam Kisah Para Rasul dikatakan Saul memerintah sebagai raja selama 40 tahun, jadi kenapa di sini cuma ditulis 2 tahun? Dalam hal yang pertama, jawabannya karena dalam manuskrip tertua yang kita miliki hari ini, bagian angkanya hilang; dengan demikian masalah umur berapa Saul jadi raja tidak terlalu penting. Yang lebih menarik mengenai dituliskannya dua tahun Saul menjadi raja, sementara kita tahu bukan cuma dua tahun, apakah ini hanya karena yang menyalin bagian ini sedang mengantuk, kurang teliti, dsb., atau apa (maka ada terjemahan yang langsung menambahkan angka di depannya, jadi 42 tahun).
Dalam hal ini, saya meminjam pemikirannya David Tsumura, orang Jepang, komentator dalam seri New International Commentary of Old Testament (NICOT). Dia mengatakan demikian: “Two years can be considered an ironic expression, because in Hebrew, they don’t normally write the number one; two is usually the lowest cardinal number that’s being written down”. Bagi orang Yahudi, mereka tidak menulis angka 1; angka terendah yang mereka tulis adalah 2. Jadi menurut tafsiran David Tsumura, ketika Alkitab mencatat Saul memimpin selama 2 tahun, itu bisa jadi disengaja; penulis Alkitab memang sengaja menulis Saul hanya memerintah selama dua tahun meski secara realitas 40 tahun. Dengan kata lain, manusia melihat Saul menjadi raja selama 40 tahun, tapi bagi Tuhan, itu hanyalah the lowest number. Saya lumayan yakin dengan tafsiran ini karena sesuai dengan tema teks yang kita baca; manusia melihat Saul luar biasa, menjadi raja 40 tahun, jempol, hebat, tapi bagi Tuhan itu nothing, tidak diperhitungkan sama sekali.
Kalau kita menerima tafsiran ini, di saat yang sama ini satu peringatan bagi kita tapi juga satu penghiburan. Ini peringatan bagi kita, karena kita bisa langsung melihat bahwa tanpa kesetiaan yang sejati, kita bisa anggap diri sudah melakukan banyak, sudah melayani banyak, tapi mungkin di mata Tuhan kita tidak melayani apapun. Dalam perumpamaan talenta, hamba yang jahat yang menerima satu talenta itu, menurut kacamatanya sendiri dia sudah melakukan cukup. Dia bukan mengambil uang tersebut untuk difoya-foyakan, pergi judi, cari pelacur, dsb.; dia ambil uang satu talenta itu dengan jujur, lalu dia cari tempat yang aman, dia gali lubang, dia taruh, dia tutup lagi, dan dia memastikan tempat itu tidak bakal didatangi orang dan dicuri uangnya, lalu nanti ketika si tuan kembali maka dia akan gali lagi, keluarkan uang itu dan kembalikan ke tuannya. Dari perspektif dia, dia anggap sudah melakukan cukup banyak, tapi di mata Yesus, bukan saja dia tidak melakukan apapun, dia adalah hamba yang jahat. Prinsip ini, dalam derajat tertentu juga mirip dengan cerita Marta dan Maria. Marta sibuk melayani, sibuk masak, sementara Maria cuma duduk mendengar. Marta lalu komplain kepada Yesus, “Kenapa saya begitu sibuk, melakukan begitu banyak, tapi Kamu membiarkan Maria duduk saja di sana??” Yesus mengatakan, “Maria sudah memilih porsi yang tepat –kamu kelihatan sibuk, banyak yang dikerjakan, tapi tidak tepat”. Saul menjadi raja 40 tahun, tapi dalam tafsiran David Tsumura, itu hanya nothing, hanya 2 tahun di mata Tuhan. Jadi, ini suatu peringatan bagi kita. Namun di saat yang sama, ini juga satu penghiburan. Dengan prinsip yang sama, kita bisa mengatakan kalau kita sungguh-sungguh mau setia, melakukan apa yang Tuhan mau kita lakukan, maka seberapa pun kecilnya pelayanan tersebut, itu berharga, itu something. Orang yang mengerjakan 5 talenta dan yang mengerjakan2 talenta, mereka sama, dikatakan, “Kamu hamba yang baik, hamba yang setia”. Sekali lagi, kalau menurut kacamata dunia, yang melakukan 10 talenta pasti lebih banyak, yang 5 talenta lebih sedikit, tapi di mata Tuhan sama. Bagi Yesus, perempuan tua yang memberikan dua keping koin, dia memberikan jauh lebih banyak daripada mereka yang memberikan sisa-sisa dari harta mereka, memberikan upil bagi Tuhan. Di mata dunia, kelihatannya, ‘O, ini orang kaya yang memberikan banyak; sedangkan kamu cuma memberi 2 keping koin, apa-apaan, tidak membantu sama sekali!’, tapi bagi Tuhan itu berharga.
Ayat 2, dikatakan bahwa Saul ada 3000 prajurit; 2000 bersama-sama dengan dia, dan 1000 bersama-sama dengan Yonatan. Ini mungkin satu petunjuk (hint), yang Alkitab ingin kita sebagai pembaca melihat bahwa pribadi Saul tidak sepositif yang kita baca sebelumnya. Sejak pertama kali Saul diperkenalkan dalam Alkitab sampai pasal 12 akhir, Saul “tanpa cacat”, dia baik, bukan orang munafik, jujur, rendah hati –sangat positif. Itu juga sebabnya Alkitab mengatakan Tuhan memilih Saul, bukan cuma rakyat yang memilih Saul. Tapi mulai di bagian ini Alkitab seperti memberi indikasi Saul tidak sepositif itu; dari 3000 prajurit, yang 2000 untuk dirinya sendiri, sedangkan yang pergi menyerang adalah Yonatan, anaknya sendiri, yang harusnya dapat lebih banyak prajurit.
Ceritanya berlanjut dengan ayat 3-4. Bagian ini agak rumit, khususnya kalau kita membaca bahasa aslinya, karena dalam grammar bahasa asli urutan kejadian bisa ditafsir dengan berbagai sudut pandang. Kalau di dalam terjemahan LAI, NIV, dan juga terjemahan Mandarin, urutan kejadiannya: Yonatan pergi menyerang, lalu orang Filistin mendengar serangan Yonatan, lalu Saul meniup sangkakala supaya semua orang Israel tahu apa yang dia sudah lakukan. Jadi di sini seolah-olah Saul mau curi jasa; walaupun Yonatan yang pergi menyerang, tapi dia meng-klaim apa yang dia sudah lakukan dengan meniup sangkakala. Tapi ada tafsiran lain berdasarkan grammar bahasa aslinya –dalam hal ini sekali lagi saya mengambil dari David Tsumura– urutan kejadiannya berbeda, yaitu: Yonatan pergi menyerang Filistin, lalu Saul meniup sangkakala, baru setelah itu orang Filistin mendengar kabar tersebut. Jadi yang didengar orang Filistin bukan serangan Yonatan tapi tiupan sangkakala yang adalah panggilan dari Saul kepada orang-orang Israel. Dengan demikian tujuan Saul meniup sangkakala adalah supaya dia bisa mengumpulkan semua orang Israel untuk menyerang Filistin. Saul mau menangkap momentum tersebut, karena yang Yonatan lakukan sebelumnya hanyalah satu hal yang amat sangat kecil; yang Yonatan serang hanyalah semacam satu posko, satu bagian kecil, tidak ada apa-apanya, yang tidak seharusnya membuat orang Filistin menggerakkan seluruh prajuritnya yang seperti pasir banyaknya, untuk merespons serangan tersebut. Misalnya kalau hari ini di ujung Papua ada satu posko tentara diserang panah lalu kita kirim semua tank-tank, bom nuklir, dsb., itu ‘kan konyol, buat apa?? Dan semacam itulah yang diserang Yonatan, hanya satu posko kecil; dan Saul lalu meniup sangkakala untuk menggerakkan seluruh Israel. Inilah yang didengar oleh orang-orang Filistin, bahwa Israel mau revolusi, menyerang mereka. Itulah alasannya orang Filistin sekarang juga menggerakkan seluruh pasukan mereka untuk pergi melawan.
Di ayat 5-7, ketika orang-orang Filistin datang, apa respons orang Israel? Orang Israel langsung ketakutan dan lari. Ada yang lari ke gua, bahkan ada yang lari meninggalkan tanah perjanjian ke seberang sungai Yordan. Begitu takut. Israel terdesak, kepepet, desperate. Apa yang Alkitab mau gambarkan di sini? Alkitab di bagian ini mau menggambarkan bahwa Israel bisa berada dalam situasi kondisi yang begitu terdesak, kepepet, di ujung tombak, itu semua gara-gara Saul. Bukan gara-gara Yonatan, tapi gara-gara Saul yang sok pintar. Gara-gara Saul yang menganggap ini waktunya untuk pergi menyerang, gara-gara Saul yang mau menjadi pahlawan. Dia mau jadi pahlawan; tapi akhirnya mereka sekarang dikepung, kabur, desperate. Dia mau jadi pahlawan yang dipuji dan ditinggikan, tapi pada akhirnya itu kebodohan. Gara-gara kebodohan Saul sendiri, gara-gara Saul kepingin jadi pahlawan, sekarang orang Israel menghadapi ancaman begitu besar. Di sini shift-nya sekarang jelas; Saul sebelumnya baik, taat, jujur, mendengarkan Samuel, tidak buka-buka kartu bahwa dia sudah diurapi, duduk bersama-sama para prajurit (rendah hati), sekarang di pasal 13, Saul yang sama tiba-tiba menjadi Saul yang mau jadi pahlawan, menjadi Saul yang mengambil keputusan sangat bodoh. Apa perubahan Saul dari pasal 12 ke pasal 13? Kenapa bisa begitu berbeda, sebelumnya begitu positif lalu tiba-tiba jadi negatif? Di mana perbedaannya? Perbedaannya sebetulnya cuma satu: dulu dia bukan raja, sekarang dia raja; perbedaannya cuma dalam hal kuasa. Dulu dia tidak ada kuasa, hanya salah seorang dari suku Benyamin yang terkecil, tapi sekarang dia adalah raja, orang yang paling tinggi di Israel.
Bapak/Ibu, Saudara sekalian, sebetulnya kuasa pada dirinya netral, tidak jahat. Kita tidak seperti orang-orang postmo radikal yang mencurigai segala sesuatu, bahwa yang namanya berkuasa pasti jahat, pasti korup, pasti tidak beres, bahwa kuasa dalam dirinya sendiri (ontologically) jahat. Kita tidak seperti itu. Kuasa adalah netral. Tapi di dalam pembacaan kita hari ini, kuasa bisa sangat berbahaya, karena ketika kita di dalam posisi yang memiliki kuasa, kita ada suatu tekanan/dorongan untuk harus menjadi ‘yang tidak bersalah’. Ketika kita rendah, tidak ada kuasa, lalu orang kritik kita begini begitu, kita terima saja, ‘ya, saya memang terbatas, saya awam, saya manusia biasa, saya bisa melakukan kejahatan’; tapi ketika kita dalam posisi di atas, kita akan ada suatu kecenderungan berjuang supaya kita menjadi suara yang tidak bersalah (the inerrant voice) —sama seperti Alkitab inerrant. Dan, untuk kita bisa menjadi the inerrant voice, kita butuh kesuksesan. Kita butuh keberhasilan untuk mem-backing kita; kalau tidak ada kesuksesan/ keberhasilan, kita tidak mungkin berada dapat posisi berkuasa tersebut. Dan, karena kita mengejar kesuksesan untuk mendukung posisi kita, power kita, itulah yang menyebabkan dalam posisi berkuasa sering kali kita suka menjadi pahlawan. Kita berjuang untuk mejadi pahlwan. Ketika kita berjuang untuk menjadi pahlawan, kita sukses, barulah kita sebagai pemimpin, sebagai orang yang berkuasa, bisa menyatakan suara yang tidak bersalah itu, the inerrant voice itu.
Bapak/Ibu dan Saudara sekalian, messiah complex, hero complex, saviour syndrome, masalah terbesarnya adalah: kita menganggap diri kita harus menjadi juruselamat. Kita menganggap diri kita adalah solusi, kita menganggap diri kita harus menjadi mesias bagi orang-orang lain, kitalah yang harus menolong, kitalah yang harus berprestasi, kitalah yang harus nanti ditaati. Ketika dalam posisi ada kuasa, kita selalu menganggap diri kita adalah solusi. Tapi tunggu dulu, coba kita kembali kepada Alkitab; Alkitab mengatakan kita bukan solusi, kita ini problem. Kamu dan saya, kita semua, adalah masalah. Kita cuma ada satu solusi, cuma ada satu Mesias, cuma ada satu Juruselamat, yaitu Yesus Kristus. Cuma Dia yang adalah solusi kita. Cuma Dia yang adalah pahlawan kita. Kita semua tidak bisa –tetapi kita terus saja mau menjadi pahlawan itu, penolong itu.
Penolong kita cuma satu, Yesus Kristus. Ini artinya, kalau kita sunggu-sungguh mau menjadi berkat dan pertolongan bagi sesama, bagi orang lain, kita harus mati. We need to die. Kita harus mati, kita harus dipakukan di atas kayu salib karena kita tidak mampu, dan di dalam hidup kita Kristus yang harus hidup. Kalau Kristus yang hidup, maka kita sungguh-sungguh menjadi berkat, kita sungguh-sungguh menjadi pertolongan. Tetapi kalau kita yang hidup, kita yang memberikan pertolongan, kita yang menjadi solusi, maka tidak ada solusi, adanya lebih kacau lagi seperti Saul membuat lebih kacau lagi. Saul bilang, “I am the solution” , tapi malah orang Israel sekarang ada ancaman yang begitu besar. Bapak/Ibu, Saudara sekalian, kita harus belajar untuk bisa lemah; Paulus mengatakan bahwa ketika kita lemah, kita kuat. Orang yang lemah adalah orang yang bisa bersandar kepada Tuhan, dan membiarkan Tuhan yang hidup, membiarkan Kristus yang dinyatakan, membiarkan Firman yang dikabarkan. Opini kita tidak penting, Firman yang sangat penting. Apa yang saya anggap benar, itu urusan kedua, tapi Kristus yang harus hidup.
Sekali lagi, di sini kita harus sangat hati-hati, kalau kita anggap diri kita adalah solusi, hampir pasti kita adalah masalah terbesar di dalam situasi tersebut. Kita sebagai individu maupun sebagai komunal, harus hati-hati dalam hal ini. Sebagai individu orang Kristen, ketika kita memberikan nasehat atau konseling, kalau orang yang kita nasehati, terus-menerus dalam setiap masalah kembali kepada kita dan kembali kepada kita, itu artinya kita gagal dalam mengkonseling dia, karena kita menjadi mesiasnya dia, jadi pertolongannya dia, apapun masalah dia maka dia datang kepada kita. Itu konseling yang gagal. Konseling yang sesuai, adalah membimbing orang itu supaya dia bisa belajar untuk bersandar kepada Kristus. Kalau kita mengkonseling, dan semua orang terus kembali kepada kita, mungkin kita memang mau jadi mesias/juruselamat. Dalam hal orangtua kepada anak-anaknya pun sama; kita, orangtua, bukanlah juruselamat anak-anak kita, hanya Yesus Juruselamat kita semua.
Kita sebagai komunal, juga harus hati-hati, jangan anggap Gereja kita adalah juruselamat dunia ini. Jangan pernah pikir kita ini sebegitu signifikannya, sebegitu pentingnya, kalau tidak ada Gereja kita maka masyarakat akan hancur, Indonesia akan dibuang Tuhan, dsb.; itu bukan yang terpenting. Yang terpenting bukan kita hadir, tapi Tuhan hadir. Tuhan hadir, itu satu hal yang amat sangat krusial. Tuhan yang bekerja, itu amat sangat krusial. Kalau kita dibuang, dan itu membuat Kristus lebih dipermuliakan di dalam bangsa ini, harusnya kita berdoa, “Ya, Tuhan, let us be gone, let me be gone, tidak apa-apa, yang penting Kristus”. Jadi, kita sebagai Gereja jangan ada messiah complex, saviour syndrome –seperti Saul di bagian ini.
Di ayat 8, ketika semua orang Israel kabur, Saul tetap menunggu 7 hari lamanya. Kemungkinan besar ketika dia meniup sangkajkala, siap perang, ada orang yang mengabarkan ke Samuel bahwa orang Israel sudah siap pergi berperang; dan sama seperti perang-perang lain dalam dunia kuno, perang akan dimulai dengan liturgi/ibadah, sehingga kemungkinan besar Samuel diundang untuk mempimpin ibadah lalu Saumel menyuruh tunggu dia 7 hari. Tetapi di ayat ini, setelah Saul menunggu 7 hari, Samuel tidak datang. Dan, itu membuat lebih banyak lagi orang Israel kabur. Keadaan sudah benar-benar desperate, terdesak sekali, tidak ada pertolongan, hopeless. Saya percaya, apa yang dialami Saul di bagian ini juga pasti pernah kita alami dalam hidup kita, yaitu titik-titik di mana kita menganggap sudah hopeless, tidak ada pertolongan sama sekali. Siapa yang bisa tolong?? Samuel tidak ada, musuh menghadang di depan, bahkan sekarang para prajurit lebih banyak lagi yang kabur. Dan, ketika dalam kehidupan kita seolah-olah tidak ada pertolongan sama sekali, apa yang kita pilih untuk lakukan? Bagi Saul, gampang; ketika tidak ada lagi pertolongan apapun, terdesak, desperate, dia memilih untuk tidak taat. Di ayat 9, Saul berkata: “Bawalah kepadaku korban bakaran dan korban keselamatan itu –saya akan mempersembahkan korban”.
Banyak orang mempersalahkan Saul di ayat 9 ini, bahwa Saul melanggar perintah Tuhan, adalah karena dia melampaui statusnya; “dia ‘kan raja, dia bukan imam, raja bukan imam, imam bukan raja, jadi karena dia raja, harusnya dia tidak boleh mempersembahkan korban, jadi dalam hal ini dia berdosa.” Tapi saya tidak setuju, karena di pasal 14 Saul juga mendirikan mebah, meberikan persembahan, dan tidak pernah dikritik oleh Alkitab. Jadi, masalah sebetulnya bukan bahwa Saul melampaui statusnya sebagai raja dan mempersembahkan korban seperti imam; masalahnya adalah: ketika Saul mempersembahkan korban, itu bukan untuk meninggikan Tuhan, tapi cuma gara-gara dia sudah desperate, terdesak, kehilangan dukungan prajurit-prajuritnya, maka di saat seperti ini dia mempersembahkan korban supaya dia bisa memanipulasi Tuhan. Supaya Tuhan berkati, supaya para prajuritnya kembali, bukan mau menganggungkan Tuhan. Dia mau berdoa memperalat Tuhan, “Tuhan berkati, Tuhan hadirlah, supaya saya bisa didukung lagi, supaya saya jangan mati”. Ini persis dengan yang orang Israel lakukan sebelumnya soal tabut Allah, ‘kita pergi perang, kita kalah, jadi solusinya manipulasi Tuhan, bawa tabut Allah ke tengah-tengah peperangan maka Tuhan akan hadir di tengah-tengah kita dan memberikan kita kemenangan’. Itu memanipulasi Tuhan. Memperalat Tuhan, bukan mengagungkan Tuhan. Menganggap Tuhan sekadar benda, slave. Di dalam bagian ini, Saul sudah tahu sejarahnya tapi dia tetap melakukan hal yang sama.
Bapak/Ibu, Saudara sekalian, yang mau ditekankan dalam cerita ini, di dalam saat-saat kepepet, desperate, kalau kita tidak memilih ketaatan, sebaliknya hanya mau Tuhan menolong kita, itu artinya memanipulasi Tuhan, meremehkan Tuhan. Pada saat kita berada di ujung tombak, kita perlu berdoa, kita perlu beriman, kita perlu bersandar, tapi jangan lupa menjalankan ketaatan kita. Pada masa-masa sukses ataupun masa-masa suram, masa-masa lancar ataupun masa sulit, ketaatan tidak bisa dikompromi, ketaatan harus tetap berjalan. Kita tidak bisa mengatakan, “Aduh, saya lagi stres, saya lagi pusing, tidak ada pertolongan, jadi saya tidak mau ibadah, tidak mau jalankan ini dan itu, saya berdoa saja; perintah/kehendak Tuhan semua abaikan dulu, tidak perlu, yang penting doa” –ini memanipulasi Tuhan, bukan bersandar pada Tuhan. Saul sendiri memilih untuk memanipulasi Tuhan. Sekali lagi, ketika kita dalam situasi seperti itu, kita perlu berdoa, tapi ketaatan kita kepada Tuhan tetap harus kita jalankan, tidak bisa kita abaikan.
Di dalam hal ini, mari kita belajar dari Pribadi Yesus Kristus, karena kita melihat dalam kehidupan-Nya, Yesus juga pernah berada dalam situasi yang sama. Di Taman Getsemani, Dia tidak ada lagi pertolongan, Dia harus menghadapi murka Allah Bapa. Dia harus meminum cawan murka Bapa, tidak ada lagi yang bisa tolong Dia, bahkan Dia akan ditolak semua pihak, murid-murid-Nya, dunia, ciptaan-Nya, politik, agama. Di saat desperate seperti ini Yesus juga bisa gemetar, tetapi pada akhirnya Dia mengatakan, “Kehendak-Mulah yang jadi, bukan kehendak-Ku”. Yang menguatkan Yesus untuk masuk ke jalan Golgota adalah: kasih yang mendorong Dia untuk taat. Ketika Yesus memikul salib, Dia bukan memikulnya dengan hati, ‘I am the saviour of the world! Saya adalah Juruselamat! Tanpa SAYA, semua orang akan binasa! Dunia ini akan dibuang!’ Bahwa yesus Juruselamat, itu fakta; tanpa penebusan Yesus, kita semua binasa; tapi Yesus tidak pernah pikul salib dengan hati demikian, ‘Look at Me, SAYA adalah pahlawan dunia ini!’ Tidak ada yang seperti itu. Ketika Yesus memikul salib, cuma ada satu hal: Thy will be done, Thy will be done, Thy will be done, kehendak-Mu, kehendak-Mu, kehendak-Mu.
Yesus menjalani jalan Golgota dengan ketaatan. Kalau kita sungguh-sungguh mengenal kasih Tuhan dan mengasihi Tuhan, ini harusnya juga menjadi respons kita; di dalam situasi-situasi terdesak, kita tidak membiarkan kekhawatiran menelan kita, kita tidak menyimpang ke hal-hal yang fana dan sia-saia, tapi kita akan terus memilih untuk taat kepada Tuhan, supaya kehendak Tuhan saja yang dinyatakan. Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading