Kita melanjutkan pembahasan kisah Perjalanan ke Emaus, di mana Yesus yang telah bangkit itu menyatakan diri kepada dua orang murid-Nya, Kleopas dan yang satunya lagi kemungkinan besar adalah Maria, istrinya. Ini mungkin salah satu kisah yang paling keren dalam Injil Lukas, hanya saja kita tidak sadar, kita lebih ingat highlight dalam Injil Lukas itu mungkin kisah Anak yang Hilang, dsb.
Kisah Perjalanan ke Emaus ini sesungguhnya pantas untuk dibahas beberapa kali, Saudara bisa melihat struktur penulisannya tidak sembarangan, elemen-elemen dalam kisah ini ada paralelnya. Misalnya, kisah Emaus ini bicara mengenai sepasang suami istri –kalau memang demikian– dan suami istri ini sedang berjalan keluar Yerusalem pulang ke kampungnya, mereka berjalan dengan galau karena kehilangan sesuatu yang tadinya mereka miliki, yaitu Yesus Kristus. Dikatakan juga sudah tiga hari sejak mereka kehilangan Yesus karena Yesus sudah tersalib di Yerusalem. Kisah apa yang mirip dengan ini? Sementara kisah ini berada di bagian akhir Injil Lukas, Saudara tahu bahwa di bagian awal Injil Lukas ini juga ada kisah sepasang suami istri yang lain, yaitu Yusuf dan Maria, berjalan keluar dari Yerusalem menuju kampung mereka, dan baru sehari mereka berjalan, mereka pun sadar bahwa mereka kehilangan sesuatu yang tadinya mereka miliki, yaitu Yesus, anak mereka yang berumur 12 tahun, lalu mereka kembali ke Yerusalem menghabiskan waktu tiga hari mencari Dia, dan akhirnya menemukan Dia di Bait Allah bersama-sama para ahli Taurat. Paralelnya tidak berhenti sampai di situ, karena dalam cerita ini, Yesus kemudian mengeluarkan kalimat: “Tidak tahukah kamu bahwa Aku harus berada dalam Rumah Bapa-Ku”; sementara dalam kisah Perjalanan ke Emaus, Yesus mengatakan kalimat yang pada dasarnya mirip: “Tidak tahukah kamu bahwa Mesias harus menderita semua itu dan masuk ke dalam kemuliaan-Nya?” –dengan kata lain: ‘tidak tahukah kamu bahwa Mesias harus melakukan pekerjaan Bapa-Nya’.
Lukas tentu tidak sembarangan membuat paralel-paralel seperti ini, ada sesuatu yang jadi concern utama Lukas, yang seperti mau mengatakan kepada kita bahwa ketika kita mencari Yesus, kita sering kali mencarinya secara salah kaprah, kita mencari-Nya dan ingin melihat Dia dengan mata manusia kita, padahal yang harusnya terjadi adalah: Dia yang membentuk kita sesuai dengan apa yang Dia lihat, yang Dia pandang. Minggu lalu kita sudah mengupas kisah ini dengan arah demikian, bahwa ketegangan kisah ini adalah mengenai kenapa Kleopas dan Maria gagal mengenali Yesus, apa yang menghalangi mata mereka sehingga pada awalnya mereka tidak bisa mengenali Dia, lalu apa yang menyebabkan mereka belakangan bisa mengenali Dia. Ada tiga poin dalam hal ini yang kita sudah bahas: pertama, karena mereka melihat kehidupan tanpa kebangkitan; kedua, kerohanian mereka –dan juga kerohanian kita– seringkali tidak mengizinkan ada ruang bagi surprise dan misteri; ketiga, karena Yesus terlalu ordinary, terlalu biasa, sementara kerohanian kita sering kali tidak mencari hal ini sebagai tempat Tuhan menampakkan diri-Nya kepada kita.
Kita melanjutkan pembahasan cerita ini dan coba melihat alasan yang keempat, mengenai kenapa mereka gagal mengenali Yesus, dan apakah kita jangan-jangan juga melakukan kesalahan yang sama. Keseluruhan khotbah ini hanya akan fokus pada satu poin, bahwa alasannya mereka gagal mengenali Yesus dan buta secara rohani, bukanlah cuma karena mereka gagal menyadari misteri, suspense, ataupun bahwa Yesus begitu ordinary, melainkan inilah problemnya: mereka tidak menyadari seberapa dalam mereka butuh untuk ditebus, mereka tidak realize bahwa mereka membutuhkan deep redemption.
Kita bisa melihat hal ini misalnya di ayat 20-21, kalimat Kleopas yang bikin kita gemes karena dia mengatakan: “Yesus telah diserahkan untuk dihukum mati, kami sedih karena ini, kami pikir Dia nabi, kami pikir Dia lebih dari seorang nabi, tapi Dia diserahkan oleh para pemimpin kami, Dia disalibkan padahal kami dulu mengharapkan Dialah yang datang untuk membebaskan bangsa Israel”. Melihat kalimatnya ini, ‘Dia disalibkan padahal kami dulu mengharapkan Dialah yang datang untuk membebaskan bangsa Israel’, kita sebagai orang Kristen zaman ini pasti ketawa, kita merasa ‘aduuuhh.., itu justru jawabannya, penyaliban itu bukan padahal, penyaliban memang adalah caranya Dia membebaskan bangsa Israel; koq kamu bisa tidak lihat sih??’, bahwa penyaliban bukan berlawanan dengan pembebasan, tapi justru Yesus membebaskan Israel, membebaskan kita, dengan cara Dia disalib! Ini ibarat kita nonton film detektif komedi, yang kita sudah diberitahu siapa penjahatnya dari awal, dan kita nontonin detektif-detektif yang kelihatan sedikit bego-bego itu beberapa kali berpapasan dengan penjahatnya tapi mereka tidak tahu itu pelakunya, dan kita sebagai penonton jadi gemes, kita mengatakan, “Aduuuhh.., itu dia penjahatnya, kenapa dibiarin lewat lagi dan lewat lagi?!” Lalu kenapa bisa demikian, Saudara?
Terjemahan LAI di sini sangat baik, “kami dulu mengharapkan Dia datang untuk membebaskan”. Di sini kalau kita tahu kata aslinya, yaitu redeem, kita tidak akan terjemahkan sebagai ‘membebaskan’, kita akan menerjemahkannya sebagai ‘menebus’, tapi justru LAI dengan tepat sekali menerjemahkan sebagai ‘membebaskan’, karena memang demikianlah cara Kleopas dan Maria membaca istilah tersebut. Sebagai orang-orang Yahudi abad pertama, waktu mereka membaca istilah ‘menebus’, mereka tidak berpikir hal yang sama dengan yang Saudara dan saya pikirkan. Istilah ‘ditebus’, bagi kita adalah diselamatkan secara spiritual, tapi orang-orang Yahudi abad pertama membaca istilah ‘penebusan’ dengan pengertian yang lebih kuno, lebih awal –dan sesungguhnya lebih orisinal– yaitu sebagaimana Allah dulu menebus bangsa Israel dari perbudakan di Mesir. Dengan demikian yang mereka pikir sebagai ‘penebusan’ adalah pembebasan suatu bangsa dari penindasan bangsa yang lain, membebaskan umat Allah dari bawah kuasa bangsa kafir. Jadi, waktu Kleopas dan Maria mengatakan “kami berharap Dia yang akan membebaskan kami”, ini membuat kita melongok ke jendela konsep pikir Kleopas dan Maria. Mereka mengira, problem yang mereka memerlukan Mesias untuk menyelesaikannya, hanyalah problem penindasan politik. Mereka berharap Yesus bertindak sebagaimana Daud bertindak –karena Dia Anak Daud– yaitu membebaskan Israel dari serangan-serangan dan kuasa-kuasa bangsa kafir, baik itu Mesir, lalu Kanaan, lalu Filistin, dan sekarang Romawi.
Dengan kata lain, kalimat Kleopas dan Maria tadi membongkar kepada kita, bahwa mereka menyangka problem hidup mereka pada waktu itu yang sampai membutuhkan Mesias, hanyalah urusan situasi kondisi tok, urusan circumstances. Mereka seakan mengatakan, kalau saja kami bisa mendapatkan kebebasan politik, kebebasan ber-ekonomi, kebebasan beribadah, maka segala sesuatu akan beres, segala sesuatu akan improved. Saudara tahu, apa problemnya dialam hal ini? Problemnya, bahwa Yesus tidak datang hanya untuk itu. Kesalahan Kleopas dan Maria yang menyebabkan kekecewaan mereka, bukanlah karena mereka taruh Yesus terlalu tinggi dan Yesus tidak sanggup mencapai standar mereka, seperti kita kecewa dengan pasangan kita karena kita taruh mereka ketinggian sementara mereka manusia terbatas yang tidak sanggup mencapai itu; bukan itu problemnya. Problemnya bukan mereka menaruh Yesus ketinggian; mereka menjadi kecewa justru karena harapan mereka akan Yesus terlalu kecil, terlalu dangkal! Mereka sadar bahwa Yesus datang untuk melepaskan mereka dari perbudakan, tapi mereka tidak sadar bahwa Yesus datang untuk melepaskan mereka dari perbudakan yang jauh lebih dalam daripada sekadar penindasan politik, lebih spiritual, sebagaimana Alkitab memberitahukan kita bahwa kita semua adalah budak-budak spiritual. Kita ini budak-budak tidak cuma karena kaki dan tangan kita dibelenggu, tapi karena hati kita terbelenggu.
Disclaimer sedikit, jangan pikir yang namanya belenggu hati atau belenggu spiritual/rohani hanyalah urusan rohani tok, karena justru belenggu hati itulah yang menentukan belenggu-belenggu yang di luar. Saudara mungkin pernah dengar kalimat seperti ini: “Adalah gampang menendang botol bir dari kehidupan seorang alkoholik, tapi sulit untuk mengeluarkan seorang alkoholik dari botol bir”. Saudara tentu mengerti maksudnya. Mengeluarkan bangsa Israel dari Mesir, kita tahu itu sudah cukup sulit, tapi yang kita lihat dalam kisah selanjutnya, ternyata lebih sulit mengeluarkan Mesir dari hati bangsa Israel; itu sebabnya waktu bangsa Israel menemukan sedikit kesulitan di padang gurun, mereka kepingin kembali ke Mesir. Saudara lihat, ini belenggu di mana? Belenggu di tangan dan kaki sudah tidak ada, tapi ada belenggu di hati. Jadi yang mau dinyatakan dalam kalimat tadi, bahwa perbudakan yang riil, yang maters, bukanlah urusan tangan dan kaki melainkan hati; karena kalau hatimu terbelenggu, maka meski tangan dan kakimu tidak terbelenggu pun, engkau akan berjalan balik masuk ke belenggu itu.
Kleopas tidak menyadari hal ini, maka dia gagal mengenali Yesus, berhubung dia tidak mengharapkan pembebasan apapun dari Yesus selain pembebasan yang bisa dibawa seorang jendral perang –atau sebuah gergaji. Pertanyaannya: bagaimana dengan Saudara dan saya? Sekali lagi, kita mudah menertawakan Kleopas dan Maria sebagaimana kita menertawakan detektif-detektif di film komedi tadi, karena kita merasa sudah tahu jawabannya; “Haiyaaa.. ini lagi, ini lagi, kami sudah tahu koq, Pak Jethro. Kami sudah dengar berkali-kali bahwa murid-murid Yesus memang kesalahannya itu, mereka cuma mengharapkan kebebasan dari Romawi tok, tapi kita ‘kan sudah tidak kayak begitu lagi. Waktu kita hari ini membaca istilah redemption (penebusan), kita tahu itu sesuatu yang bersifat spiritual, sesuatu yang dalam, something deep, pembebasan dari belenggu-belenggu jiwa kami. Kami sudah tahu!” Pertanyaannya, apakah benar demikian? Saudara yakin bahwa Saudara sudah sebegitu sadarnya akan makna sesungguhnya istilah ‘penebusan di dalam Yesus Kristus’? Apakah Saudara datang kepada Yesus dengan menyadari seberapa dalam dirimu diperbudak? Apakah engkau sungguh melihat seberapa dalam engkau butuh pembebasan oleh Yesus? Atau, sama seperti Kleopas dan Maria, kita juga sering kali hanya datang kepada Yesus demi hal-hal yang ecek-ecek; dan mungkin itu sebabnya kita lalu juga pergi dari Yesus dengan hati yang kecewa.
Saudara kita ini mudah menangkap problem orang lain. Ambil contoh tentang orang kecanduan, kita gampang mengenalinya, bahwa orang kecanduan sesuatu bukan karena barang candunya tok tapi karena ada kekosongan dalam hidup mereka yang mereka tidak sanggup tambal –maka mereka cari candu. Waktu saya membahas tentang games dalam seminar di SKC, Pendeta Heru sempat mengirim satu hasil riset mengenai ‘karena apa orang kecanduan’. Yang menarik, dalam riset tersebut Saudara menemukan bahwa tidak pernah orang kecanduan game karena game-nya menarik; orang kecanduan game, adalah misalnya karena mereka menemukan dalam game apa yang mereka tidak dapatkan di rumah. Mereka tidak dapat sense of meaning di rumah, mereka tidak dapat sense of belonging di rumah, maka mereka mencarinya di game. Urusan kecanduan game, banyak orangtua menyetan-setankan game-nya, padahal sering kali hal itu terjadi karena rumah mereka gagal menyediakan sense of meaning, sense of direction, bagi anak-anak mereka. Intinya, orang kecanduan adalah karena ada kekosongan dalam hidup mereka, dan mereka butuh diangkat dari kekosongan tersebut, mereka butuh get high, lalu mereka ambil sesuatu drug. Ini menolong pada awalnya, namun kita tahu ada yang namanya efek toleransi, yang membuat jumlah sekian tidak bisa lagi menghasilkan high yang sama, sehingga ini membuat dosis yang dibutuhkan makin lama makin naik –nonton game-nya makin lama makin lama, pornografinya makin lama makin mengerikan. Selanjutnya, yang terjadi adalah candu yang awalnya dipakai untuk menghilangkan stres, mulai menimbulkan stres; candu yang awalnya dipakai untuk menambal kekosongan, malah menciptakan kekosongan yang lebih parah. Inilah perangkat dari candu, dan kita semua tahu. Mendengar ini, kita lalu mengatakan, “Wah, parah ya, candu”; namun di sinilah kita bisa bertanya, sadarkah kita akan apa itu penebusan?
Jika semua dosa adalah terutama perbudakan, maka semua dosa adalah candu. Jika Yesus Kristus bukan Tuan atas hidup kita, maka dengan apa kita menambal kekosongan hidup ini, dengan apa kita menambal stres dalam hidup ini?? Kita akan menambalnya dengan sesuatu yang lain, bisa dengan hobi kita, bisa dengan anak-anak kita, bisa dengan karier kita, atau relasi dengan seseorang yang lain, atau urusan kemulusan kulit, atau apapun. Pada awalnya kita memakai hal-hal ini, hal-hal tersebut menghasilkan rasa damai. Inilah cara kita menangani kekosongan hidup, cara kita menangani stres. Namun, cepat atau lambat ada efek toleransinya, kita menemukan bahwa apa yang kita punya hari ini, itu tidak lagi cukup, maka kita butuh lagi, dan lagi, dan lagi dan lagi, lalu cepat atau lambat kita menemukan diri kita harus mendapatkan hal-hal tersebut; dan kalau kita tidak mendapatkan hal-hal itu, maka … ! Saudara lihat apa yang terjadi di sini? Inilah belenggu. Kita diperbudak. Saudara sadar atau tidak hal ini? Benarkah kita sadar sepenuhnya, seberapa kita butuh deep redemption Tuhan?
Dalam kisah ini, Kleopas mengatakan beberapa perempuan dari kalangan mereka menemukan malaikat-malaikat yang mengabarkan Yesus hidup. Saudara tahu, salah satu dari perempuan-perempuan itu adalah Maria Magdala; ini orang yang sama dengan yang di bagian lain disebut Maria Magdalena, seorang bekas pelacur. Apa respons Maria Magdalena ketika mendengar kabar dari mulut malaikat bahwa Yesus bangkit? Dia bersukacita. Hati dia seperti bensin bertemu api, dia langsung menjadi orang yang terutus keluar, dia langsung lari menemui murid-murid yang lain untuk mengabarkan Injil –kabar baik. Orang-orang seperti ini, secara historis kita tahu mereka somehow jauh lebih berespons ketika mereka bertemu dengan Yesus; karena apa? Karena memang memang pecandu. Mereka kecanduan seks, mereka kecanduan uang, dsb., mereka tahu mereka budak, maka mereka berespons terhadap Yesus seperti demikian. Jadi Saudara lihat, problemnya adalah bahwa kita-kita ini bukan Maria Magdalena, kita ini para kleopas-kleopas, kita ini orang baik-baik, kita ini ‘gak tahu bahwa kita juga SAMA diperbudaknya, maka waktu kita bertemu dengan Yesus, yang kita inginkan dari Yesus hanyalah apa yang banyak orang cari ketika mereka ke Gramedia dan browsing buku-buku rohani! Apa yang kita cari dari Yesus? Kita mencari hal yang ecek-ecek, yah.. rasa damai, yah.. penghiburan, yah.. perasaan spiritual-spiritual sedikit, yang sakral-sakral begitulah, yah.. chicken soup for the soul begitu lho. Dan tahukah Saudara, ketika Saudara datang demi hal-hal tersebut tok kepada Yesus, maka Saudara hanya akan mendapatkan hal-hal itu tok. Saudara tidak mendapatkan passion, drive, sukacita besar yang mendorongmu keluar seperti sukacita yang mendorong maria-maria magdalena dalam hidup ini. Kita ini para kleopas-kleopas yang tidak memiliki hati yang berkobar-kobar, sampai kita melihat bahwa kita butuh penebusan, yang jauh lebih dalam dari yang kita kira, dan sering kali lebih dalam dari yang kita minta.
Banyak dari antara kita datang kepada Yesus seperti ini. Kita mulai dengan seperti Kleopas, kita pikir kita butuh situasi kita diubah tok, maka waktu kita belajar untuk berdoa atau mulai serius datang ke gereja, pertama-tama adalah karena kita takut tidak naik kelas, takut gagal masuk universitas, takut tidak dapat pekerjaan ataupun kehilangan pekerjaan yang kita sudah dapat, kita takut tidak dapat pasangan, atau karena kita kena suatu penyakit, atau karena kita mengalami gempa bumi sehingga ketakutan –hal-hal seperti itu. Kita mengatakan, “O, Yesus, tolong aku; aku butuh semacam pertolongan rohani supaya aku bisa melewati semua ini. Tolonglah aku, Tuhan, supaya aku bisa mendapatkan karier yang baik, pasangan yang baik”; dan tidak pernah terpikirkan dalam benak kita, bahwa mungkin yang sedang membelenggu hatimu dan hatiku adalah justru karier itu, justru pasangan itu –setidaknya tidak terpikirkan pada awalnya. Kita datang sebagai orang-orang yang tertindas, menderita, butuh pertolongan, tapi kita tidak datang sebagai pendosa-pendosa yang butuh keselamatan. Kita di awal-awal datang dengan mengatakan ‘kalau saja situasi hidupku berubah, maka saya akan terbebaskan dari perbudakan ini!’ Tapi problemnya, kita bukan butuh situasi yang baru, kita butuh hati yang baru. Perbudakan kita adalah jauh di dalam; belenggu kita adalah di hati. Silakan masing-masing Saudara introspeksi diri, apakah ini mewakili dirimu atau tidak. Selama ini, Saudara datang kepada Tuhan dengan mengatakan apa? Benarkah Saudara datang dengan mengatakan “Tuhan, saya ini pendosa, dan saya ini butuh keselamatan yang sangat dalam”? Atau kita selama ini datang kepada Tuhan dengan hanya mengatakan “saya menderita, saya penuh problem dalam hidup ini, saya butuh pertolongan-Mu”? Sekali lagi, kalau Saudara berpikir demikian, maka tidak heran ketika Saudara bersama-sama Kleopas memandang kepada Yesus –dan Yesus teronggok lemah di atas kayu salib, disalibkan, mati– kita jadi bingung, lalu seperti Kleopas kita mengatakan, “Enggak mudeng aku, apa yang terjadi ini??”
Pastinya tidak berhenti di situ, karena penyaliban dan kematian Yesus bukanlah sesuatu yang sekadar untuk kita lihat tok, Paulus mengatakan kita harus disatukan dalam kematian-Nya, manusia lama kita itu harus disalibkan bersama-sama dengan Kristus, dikuburkan bersama-sama dengan Kristus, baru setelah itu kita bisa dibangkitkan bersama-sama dengan Kristus. Kita lalu makin bingung, maksudnya apa?? Saya datang kepada Yesus, saya butuh pertolongan, saya ditindas pihak sana! Lalu suara dari seberang sana malah mengatakan saya yang harus bertobat, saya yang harus menyerahkan hidup saya, melepaskan kendali akan hidup saya kepada Tuhan. Bagaimana sih?? Apa urusannya kelemahan dan kematian ini bisa membantu hidupku; bagaimana bisa?? Aku butuh kekuatan! Aku butuh kuasa! Yesus, kenapa Engkau malah mati?! Kenapa Engkau malah pergi dari hidupku, kenapa Engkau malah meninggalkanku, kenapa Engkau tidak bisa langsung berikan kepadaku kiat-kiat, rumusan-rumusan, formula hidup baik-baik?? Maka tidak heran kita kemudian mengatakan sebagaimana Kleopas katakan: “Dia disalibkan, padahal kami berharap Dia akan membebaskan kami…”. Saudara melihatkah hal ini sekarang? Kita sering kali gagal mengenali Yesus dalam hidup kita, karena berpikir kita cuma butuh jendral, kita cuma butuh penolong, kita tidak butuh penebus dan juruselamat. Mereka –Kleopas dan Maria—dan kita, tidak menangkap kenapa Yesus harus mati, itu karena kita tidak menangkap magnitudo, seberapa besar skala sesungguhnya pelanggaran dan perbudakan dalam hati kita. Kalau itulah problemnya, lalu apa solusinya?
Saudara, menarik bahwa solusinya ini akan membuat kita menyadari problem yang lain. Kita melihat di sini, ketika pada akhirnya Kleopas dan Maria sadar dan hati mereka terbakar –seperti Maria Magdalena– pertanya-annya adalah apa yang menyebabkan hati mereka terbakar, apa kuncinya? Jawabannya ada di Alkitab. Ayat 32: kata mereka seorang kepada yang lain, “Bukankah hati kita berkobar-kobar ketika Ia berbicara dengan kita di tengah jalan, dan ketika Ia menerangkan Kitab Sucikepada kita?” Saudara mau tahu apa solusinya, Saudara mau tahu apa kuncinya hidup yang bisa terubahkan dan terkobar-kobar seperti Maria Magdalena? Kuncinya adalah belajar Alkitab (Bible study). Hmmm.., terdengar terlalu biasa barangkali?
Saudara, ada sesuatu yang menarik dalam bagian ini yang mudah untuk tidak kita sadari dan lewatkan, yaitu bahwa dalam menghadapi kebutaan rohani ini, Yesus bukan sekadar berfirman kepada mereka, melainkan Dia mengajar mereka dari Kitab Suci. Yesus tidak dikatakan membuat firman baru kepada mereka, seperti misalnya: “Dengarkan, sesungguhnya Aku mengatakan kepadamu bahwa begini begini begini; ini tidak pernah kamu temukan dalam Alkitab sebelumnya, orisinal tidak ada di buku manapun” –yang kelihatan keren ‘kan— tapi Yesus mengajak mereka untuk melihat kembali ke dalam Alkitab, Dia bilang, “Bukankah di dalam Alkitab sudah dikatakan …”. Coba Saudara pikirkan ini baik-baik, siapa yang paling berhak untuk mengajar sesuatu yangbaru dari dirinya sendiri? Tentunya Yesus, Anak Allah, Dia adalah Firman Allah itu sendiri koq. Namun Saudara melihat di sini, Dia sendiri tidak melakukan itu, Dia mengajar dengan cara kembali ke Alkitab. Ini harusnya membuat kita bagaimana? Ini harusnya membuat kita bukan cuma urusan jadi punya kecurigaan yang sehat terhadap pemimpin-pemimpin Kristen yang tidak kembali ke Alkitab tapi malah sembarangan mengeluarkan pemikiran sendiri lalu suruh orang menurut perkataannya tersebut –bukan cuma itu, Saudara tidak perlu diajarkan lagi untuk hal itu– yang perlu ditekankan disini adalah: Tuhan kita sendiri, Tuhan Yesus, Firman Allah, yang paling berhak untuk melakukan itu, Dia malah kembali ke Alkitab!
Saudara, kenapa hal ini penting? Hal ini penting dalam beberapa level, tapi yang pasti pertama-tama karena kita mungkin sering kali berpikir bahwa saksi-saksi mata langsung akan kebangkitan Yesus itu “lebih sesuatu” dibandingkan Saudara dan saya, karena kita tidak melihat langsung, kita cuma punya Alkitab. Kita mengatakan, mereka melihat langsung, itu sebabnya mereka hidupnya berubah, itu sebabnya mereka begitu semangat mengabarkan Injil, sedangkan kita hari ini ‘kan tidak melihat dan menyentuh langsung, jadi maklum dong Pak, kalau kita tidak sesemangat mereka dalam PI, kita ‘kan cuma baca apa yang Alkitab tulis! Tapi Saudara, kenapa Lukas menuliskan bagian ini? Karena ternyata yang membuat mereka percaya, itu bukanlah karena mereka menyentuh dan melihat langsung –bahkan sesungguhnya menyentuh dan melihat langsung sering kali malah membuat mereka ragu, dan bingung, dan kaget, dan takut– yang membuat mereka akhirnya percaya, yang membuat mata mereka terbuka, yang membuat mereka akhirnya bisa hidupnya berubah dan berkobar-kobar mengabarkan Injil, adalah justru karena Yesus mengajak mereka untuk kembali ke Alkitab.
Ini membuat kita sadar bahwa yang membuat kita bisa beriman akan kebangkitan Kristus, itu bukanlah kalau kita bisa mellihat dan menyentuh sendiri, kalau ada kubur kosong ditemukan dan dipastikan secara otentik itu kubur Yesus –bukan karena itu–buktinya murid-murid yang langsung melihat hal itu pun tidak otomatis membuat mereka percaya; yang membuat mereka percaya adalah Firman Tuhan, Alkitab –Alkitab yang sama yang Saudara dan saya hari ini pegang di tangan kita. Saudara lihatkah bobot pentingnya Alkitab dalam hidup kita? Saudara, ini sebabnya tadi saya mengatakan solusi ini adalah solusi yang membukakan problem yang lain. Coba kita refleksi sedikit, apakah ada kesalahan kita dalam hal ini.
Saudara, saya harap saya tidak ge-eran mengatakan, bahwa banyak dari saudara yang berkata kepada saya, salah satu keunikan atau berkat Tuhan paling besar dalam Gereja GRII Kelapa Gading adalah pengajar-pengajar Firman Tuhan di sini baik, bertanggung jawab; saya harap saya tidak ge-eran dalam hal ini, karena ini perkataan Saudara, bukan saya. Saya cukup sering mendengar orang bersyukur akan kehadiran Gereja ini karena pengajarannya (kayaknya saya tidak pernah dengar orang bersyukur akan kehadiran Gereja ini karena ada penggembalaan yang kuat, ha.. ha.., itu tidak mungkin rasanya). Saudara perlu merenungkan ini di hadapan Tuhan, karena saya tidak sepenuhnya yakin bahwa pengajaran yang baik di tempat ini benar-benar murni positif. Jelas positif, jika Saudara memang menggunakannya, dan belajar darinya, benefit dalam hal tersebut; tapi kalau dalam sebuah Gereja, jemaatnya tidak menempatkan Firman Tuhan sebagai hal yang tertinggi, yang kunci, tidak ada kehausan dan rasa lapar akan Firman Tuhan, sementara dalam Gereja tersebut ada banyak pengajar yang baik, maka ini bukan menjadi berkat, ini akan justru jadi kutuk bagi Gereja tersebut. Ini akan jadi batu kilangan bagi leher mereka, karena mereka tidak bisa pakai alasan ‘O, saya tidak tertarik sama Firman Tuhan karena pengajar-pengajarnya ‘gak beres, karena pengajar-pengajarnya ‘gak belajar baik-baik, karena pengajar-pengajarnya ‘gak bertanggung jawab, karena mereka tidak komunikatif’, dst. Saudara tidak bisa pakai alasan itu di gereja ini, apalagi kalau Saudara sudah membandingkan dengan cara berkelana ke gereja-gereja lain. Saya tidak bilang di sini perfect, tapi Saudara bisa nilai sendiri –dan sekali lagi, saya harap saya tidak ge-eran. Tetapi, dalam gereja yang seperti ini yang setiap Kebaktian Minggu bisa 400-500 orang, berapa banyak orang yang rutin ikut Pemahaman Alkitab (PA)? Tiga puluh paling banyak, tidak sampai 10%! Ini satu hal yang saya ingin tegur sudah sejak lama, tapi saya tidak mau sembarangan mengeluarkan kalimat. Yang paling celaka, bukan cuma saya bertanya berapa jemaat yang datang PA, tapi juga berapa banyak pengurus, penatua, diaken yang datang PA, berapa banyak guru sekolah Minggu yang datang PA?!
Sampai di sini, kita lalu merasa ‘wah celaka, memang tidak boleh nih puji-puji orang, bahaya, bisa jadi backfire seperti ini’. Lalu kita mulai mengatakan berbagai macam alasan, self-defense, “Saya bukan tidak cinta Firman Tuhan, Pak, tapi masalahnya saya tidak sempat datang PA karena Rabu malam itu macet”, dsb. Saudara, di satu sisi, kita bukan tidak ada pengertian sama sekali, kita tahu realitasnya memang demikian di Jakarta, tapi saya mau tanya, dari 500 orang lalu 30 yang datang, apa Saudara mau bilang 470 jemaat yang lain di gereja ini tidak hadir di PA Rabu malam karena tidak bisa?? Sekali lagi, saya cuma pakai contoh PA untuk mengungkap satu hal yang lebih dalam, bukan urusan datang atau tidak datang tok, itu urusan lain; saya mau mengungkap bahwa dalam Gereja ini, kita sering kali tidak mau mengakui seberapa dalam kita butuh ditebus!
Omong-omong, kalau Saudara adalah salah satu dari 30 orang yang rutin ikut PA itu, jangan coba-coba merasa dirimu lebih tinggi daripada 470 orang yang lain itu, karena problemnya lebih dalam daripada itu. Satu contoh, saya sering kali menghadapi situasi ada orang-orang datang kepada saya selesai Kebaktian dan minta sesuatu; apa yang paling sering diminta? Rekaman khotbah. Hal ini sering terjadi, bukan cuma satu orang, tapi macam-macam orang yang minta seperti ini, jadi kalau Saudara adalah salah satunya, jangan merasa ditusuk secara personal, karena saya tidak pakai mimbar untuk menegur orang satu per satu, buang-buang waktu. Saya pakai mimbar untuk menegur jemaat secara komunal; dan kalau Saudara tidak ingin ditegur di Gereja, maka saya bingung Saudara mau ngapain kemari. Kembali ke urusan minta rekaman khotbah; mereka bilang, “Kenapa di GRII Kelapa Gading ini ‘gak ada rekaman khotbah?”, saya jawab, “Ada koq, rekaman kita”, dan saya tunjuk ringkot [ringkasan khotbah]. Tapi begitu saya mengatakan ringkot itulah rekaman khotbah, muka orang yang minta langsung berubah, seperti tidak terlalu minat lagi. Kenapa demikian? Karena ini: karena ternyata Saudara bukan mau Firman Tuhan, Saudara mau sesuatu yang lain, Saudara mau Firman Tuhan tapi … “; Saudara mau Firman Tuhan yang diberikan dalam format tertentu, yang Saudara rasa lebih accessible, format video misalnya.
Ini problem yang sama ketika banyak dari antara Saudara yang mengatakan, “Kenapa GRII Kelapa Gading tidak upload video-video khotbah?” Kita sudah berkali-kali menjelaskan tapi tetap saja Saudar tidak mau melihat poin ini. Sekali lagi saya katakan, mendengarkan khotbah, belajar Firman Tuhan, itu tidak bisa dengan Saudara mengasumsikan posturmu netral; tidak ada ke-netralitas-an di hadapan Firman Tuhan. Kita ini manusia yang lemah, kita butuh suatu disiplin badani bahkan sebelum datang kepada Firman Tuhan. Kita perlu diajak untuk mengaku dosa kita di hadapan Tuhan sebelum kita mendengar Firman Tuhan, sehingga dengan demikian kita bukan hadir sebagai hakim atas Firman Tuhan tapi sebagai penerima anugerah. Kita perlu dibiasakan memuji Tuhan sebelum kita mendengar Firman Tuhan, dan dengan demikian kita dibiasakan bukan cuma jadi consumer tapi juga membawakan kata-kata Firman Tuhan kembali kepada-Nya lewat nyanyian pujian, musik, doa-doa. Kita perlu diajak berdoa syafaat sebelum kita mendengar Firman Tuhan, dan dengan demikian dibiasakan untuk bukan cuma jadi orang-orang yang datang demi diri sendiri, tapi juga untuk memikirkan orang lain dan mendoakan kebutuhan orang lain. Kita perlu disiplin badani merespons Firman Tuhan, sehingga setelah mendengar Firman Tuhan maka kita membawa dengan tangan dan kaki kita, harta kita di hadapan Tuhan, karena di mana hartamu berada di situ hatimu berada. Kita perlu disiplin badani untuk tidak hanya datang waktu khotbah mulai lalu bisa seenaknya pulang ketika khotbah selesai. Kita perlu disiplin badani untuk menunggu kalimat berkat Tuhan, baru boleh pulang, sebagaimana Yakub memegangi tubuh Orang Tak Dikenal di Pniel itu, menolak melepaskan-Nya meski pahanya sudah terpelecok, meski matahari sebentar lagi akan terbit dan dia bakal mati jika melihat muka Orang tersebut; Yakub tidak mau melepaskan sampai Orang itu memberikan kalimat berkat. Kita perlu disiplin datang tidak sendirian ke hadapan Tuhan, melainkan bersama-sama dengan orang lain, yang kita mungkin tidak suka, yang tidak setara strata masyarakatnya dengan kita entah itu lebih rendah ataupun lebih tinggi, orang-orang yang tidak sesuai dengan like atau dislike kita. Kita perlu disiplin badani duduk bersama-sama dengan mereka di hadapan Firman Tuhan, diperlakukan dengan sama di hadapan Firman Tuhan. Dan, saya mau tanya, Saudara sadar tidak bahwa Saudara butuh semua itu? Atau, Saudara mengira Saudara hanya butuh pengetahuan rasional tok dari Firman Tuhan.
Saya bingung, orang sering menuduh pengkhotbah Reformed terlalu rasional; tapi siapa yang terlalu rasional di sini? Siapa yang kebablasan rasional sehingga berpikir waktu mendengar Firman Tuhan itu cuma butuh data rasionalnya tok, tidak butuh disiplin badaninya? Siapa?? Ketika Saudara mendapatkan Firman Tuhan di video, saya mau tanya, apa bisa Saudara mendapatkan semua disiplin badani tersebut, dapat dari mana?? Ya, Saudara memang dapat disiplin badani; disiplin badanimu adalah: buka khotbah Firman Tuhan kapan engkau bisa, kapan engkau mau, sesuai attention-mu, bisa dihentikan sewaktu-waktu kalau Saudara sudah malas mendengarkannya dsb. Itulah disiplin badanimu, dan jangan pikir itu tidak mempengaruhimu. Jadi waktu Saudara minta rekaman video, komplain-komplain kenapa kita tidak upload khotbah dalam bentuk video, Saudara sesungguhnya sedang mengatakan, “Pak, saya tidak butuh semua disiplin rohani tadi; saya cuma butuh informasi data mengenai Firman Tuhan, tapi saya tidak butuh datang kepada Firman Tuhan dengan postur tertentu, dengan orang-orang tertentu, dalam waktu tertentu.”
Kembali ke ringkot; Saudara lalu bilang, “Nah, kalau ringkot berarti Bapak tetap memberikan rekaman ‘kan, karena orang baca ringkot juga terserah mereka mau kapan saja.” Tidak tentu, Saudara. Alasannya kita memberikan dalam bentuk ringkot, karena Saudara harus membaca. Sekarang saya mau tanya, di Indonesia ini orang lebih butuh tambah banyak baca buku, atau lebih banyak buka video? Ayo, jawab dengan jujur. Anak-anakmu lebih butuh tambah banyak buka video, atau baca buku? Silakan Saudara jawab! Yang begini, Saudara tahu jawabannya; untuk orang lain, Saudara tahu jawabannya, tapi untuk dirimu sendiri Saudara tidak sadar seberapa engkau juga berada dalam perbudakan yang sama. Inilah problem kita! Kenapa Kleopas dan Maria tidak menyadari Yesus harus mati? Karena mereka tidak menangkap seberapa dalam penebusan yang mereka butuhkan di hadapan Tuhan; dan itulah sering kali problem Saudara dan saya! Kita pikir ‘saya cuma butuh segini, Tuhan; saya memang butuh Engkau, tapi masuk jangan terlalu dalam, masuklah sedikit saja, di permukaan saja; bagian yang ini saya butuh, tapi sisanya yang lain, verboden, Tuhan, itu tidak boleh dimasuki’.
Saudara, kalau Yesus harus mati, itu berarti tidak ada jalan lain, kita terlalu hancur; kita terlalu rusak, sehingga Yesus harus mati bagi kita. Ini sebabnya ada beda antara menerima ‘Yesus mati bagi kita’, dan menerima bahwa Yesus HARUS mati bagi kita. Tidak terlalu sulit untuk menerima Yesus mati bagi kita; yang sulit adalah menerima bahwa Yesus harus mati bagi kita, karena itu berarti kita bukan cuma menerima Yesus-nya tok, tapi menerima fakta bahwa diri kita ada noda yang lebih parah daripada sekadar bau mulut, menerima fakta bahwa kita sehancur itu sehingga untuk kita bisa selamat maka nyawa dari Makhluk yang paling agung, paling suci, paling indah, paling sempurna di seluruh alam semesta, harus dikurbankan bagimu.
Saudara, ini sebabnya Berita Injil bukan berita yang gampang diterima. Tapi itu baru implikasi pertama yang membuat kita problem dalam menerimanya; ada implikasi yang kedua yang akan membuat Berita Injil lebih sulit lagi diterima, yaitu kalau kita sampai menerima bahwa Yesus harus mati bagi kita, berarti kita harus melepaskan kemudi hidup kita. Itulah yang paling sulit! Kembali ke analogi yang sering saya pakai, misalkan Saudara kejar-kejar orang, mau bunuh dia, lalu Saudara terpleset jatuh dan tinggal berpegangan pada bibir tebing. Orang tersebut menyadari Saudara tidak lagi mengejar dia, maka dia datang kepada Saudara, berdiri di atas tebing. Saat itu empat jari Saudara yang berpegangan erat pada tebing, perlahan-lahan tinggal tiga, dua, satu, dan sebentar lagi Saudara jatuh. Di sini Saudara tahu, Saudara tidak ada hak minta tolong, wong Saudara mau bunuh dia koq; sementara dia di atas sedang bingung, apakah mau menolong atau tidak, karena siapa bisa jamin kalau sudah ditolong lalu dirinya tidak jadi dibunuh. Namun akhirnya Dia mengulurkan tangan-Nya kepada kita dan menarik kita ke atas. Sekarang saya mau tanya, setelah itu apa yang terjadi, apakah Saudara bisa sekadar mengatakan, “Wah, thank you banget ya, gua ‘gak jadi mati nih. See you, good bye, saya kembali ke hidup saya sendiri”; tidak bisa ‘kan; sebaliknya yang terjadi adalah: Saudara harus membaktikan sepenuh sisa hidupmu kepada Dia. Itu sebabnya dalam situasi tadi, ada banyak orang yang ketika Dia ulurkan tangan-Nya, tidak akan mau menerima, ‘saya lebih lebih pilih melepaskan sekalian dan mati di bawah, daripada saya harus memberikan seluruh hidupku bagi Engkau’ –karena memang itulah harganya.
Saudara mengerti sekarang, apa sebabnya kita bukan cuma tidak mengerti kenapa Yesus harus mati, tapi juga tidak rela mengerti bahwa Yesus harus mati. Bahkan murid-murid-Nya pun yang sudah tahunan mengikut Yesus, terus-menerus tidak mengerti ini, karena kalau Yesus harus mati bagi kita, maka berarti hidupmu bukan hidupmu lagi; kalau Yesus harus mati bagi kita, berarti kita harus hidup bagi-Nya. Ini bukan cuma soal bayar perpuluhan –meski itu juga termasuk. Ini bukan cuma soal memberi waktu kita kepada Tuhan –walaupun itu termasuk. Ini termasuk menyerahkan selera kita ke hadapan Tuhan. Ini termasuk menyerahkan ekspektasi kita kepada Tuhan. Ini termasuk menundukkan perasaan like/dislike kita kepada Tuhan —khotbah koq kayak gini, Gereja koq kayak gini, hamba Tuhan koq kayak gini, diaken koq kayak gini, pelayanan koq kayak gini, jemaat koq kayak gini– dalam hal ini bukan cuma Saudara, saya pun bisa komplain. Tetapi ketika kita di hadapan Tuhan menyadari seberapa kita hancur, kita tidak mungkin lagi bisa ngomong seperti itu. Saudara terima atau tidak, bahwa menjadi pengikut Kristus berarti kehilangan hak untuk bicara semua itu, termasuk kehilangan hak menentukan format yang dipakai Gereja untuk merekam khotbah-khotbahnya, termasuk kehilangan hak menentukan waktu yang Gereja pilih untuk mengadakan Pendalaman Alkitab; dan sesungguhnya mungkin Saudara yang butuh itu, sebab dengan demikian Saudara belajar untuk bukan mencocokkan jadwal Firman Tuhan dengan agendamu, melainkan mencocokkan agendamu dengan jadwal dan kalender umat Tuhan, Tubuh Kristus.
Sadarkah Saudara, kalau Saudara memang perlu penebusan yang sebegitu dalamnya, itu berarti hidup kita kehilangan hak untuk menuntut; kita hanya punya sisa satu hak yaitu hak untuk setia melayani, berdiam diri di hadapan Tuhan. Bagaimana mungkin mau melakukan hal ini? Bagaimana bisa melihat Yesus yang seperti ini lalu pergi dengan sukacita seperti Maria Magdalena?? Bapak tadi bilang kuncinya adalah kembali ke Alkitab lalu hati berkobar-kobar; berkobar-kobar dari mana?? Yang ada juga hati padam, Pak! Saudara, yang Yesus lakukan di bagian ini bukan cuma menerangkan Kitab Suci tapi menerangkan bagaimana Kitab Suci ternyata bicara mengenai Dia; itulah yang Yesus lakukan. Membuat engkau dan saya bisa berkobar-kobar hatinya, itu bukan sekadar dengan membaca Alkitab, tapi memakai Alkitab menjadi lensa untuk melihat Yesus Kristus. Bahwa Yesus harus mati, tadi kita pakai hal ini untuk melihat diri kita, yaitu Yesus harus mati itu berarti kita terlalu hancur; dan sekarang pakailah itu juga untuk melihat diri Yesus.
Saudara, kita tahu Kekristenan banyak bicara tentang kasih, tapi juga tentang penghakiman, dosa, dan neraka. Kenapa demikian? Karena bahkan Kristus, Orang yang paling penuh kasih sayang sepanjang sejarah, adalah juga sumber utama di Alkitab yang membuat kita menemukan mengenai neraka; doktrin theologi Gereja mengenai neraka, mayoritas diambil dari perkataan Yesus. Yesus bicara mengenai neraka jauh lebih banyak dibandingkan kalau semua penulis Alkitab yang lain bicara mengenai neraka itu digabung. Kenapa? Karena di atas kayu salib Dia mengalami neraka. Di atas kayu salib, Dia diceraikan relasi-Nya dengan Allah Bapa, Dia mengatakan, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Itu sebabnya Pengakuan Iman Rasuli mengatakan “Ia turun ke dalam kerajaan maut”, yang dalam bahasa Inggrisnya “He descended into hell”. Kenapa? Sekali lagi, karena Saudara dan saya begitu rusak, begitu hancur, maka tidak ada jalan lain, Ia harus mati; pakailah lensa ini untuk melihat diri Yesus, sehingga Saudara bukan cuma sadar betapa kita begitu rusak, begitu hancur, tapi juga betapa Dia mengasihi kita karena Allah mati bagi kita, meski Allah tidak wajib mati bagi kita.
Kita tahu kita hancur, karena Allah harus mati bagi kita; tapi pada saat yang sama kita jadi tahu betapa Dia begitu mengasihi kita, berhubung Allah tidak wajib mati bagi kita namun Dia rela mati bagi kita. Keduanya ini harus dipegang, tidak cuma salah satu. Dan ketika Saudara menangkap lensa ini untuk melihat diri Yesus, ketika Maria dan Kleopas menyadari bahwa Yesus harus mati –dan itu bukan cuma berarti betapa mereka hancur tapi juga betapa Yesus mengasihi mereka– maka hidup mereka berubah, hati mereka dikobar-kobarkan. Mereka yang tadinya sudah siap istirahat malam pulang ke kampungnya lagipula matahari sudah terbenam, hati mereka berkobar-kobar dan langsung mereka berangkat pergi lagi meskipun besar bahaya dirampok malam-malam. Kenapa? Karena mereka perlu mengabarkan Injil. Kita mengatakan kita ini percaya Dia bangkit dari kematian, kita mengatakan kita ini umat yang kembali ke Alkitab, kita mengatakan Yesus bukan cuma bangkit bagi kita tapi Dia harus mati bagi kita, dia tidak wajib mati bagi kita namun Dia rela mati bagi kita; pertanyaannya: apakah kita akan berespons dengan melakukan tindakan yang selanjutnya, menjadi Gereja yang mengabarkan Injil Tuhan yang telah mati dan bangkit?
Terakhir, tadi kita melihat Lukas dengan sangat apik menuliskan kisah ini, yaitu ada paralel bagian belakang Injil Lukas ini dengan bagian yang di depan. Namun bukan cuma itu paralelnya, Lukas membuat satu lagi paralel dalam kisah ini, bukan dengan bagian tulisannya sendiri melainkan dengan kisah di halaman-halaman pertama Alkitab. Perjalanan ke Emaus tersebut berakhir dengan sebuah perjamuan (meal), jadi Saudara bisa ingat di bagian mana dalam halaman-halaman pertama Alkitab ada sebuah perjamuan (meal)? Itu adalah perjamuan yang pertama di dalam Alkitab, hanya saja kita tidak pakai istilah ‘perjamuan’, yaitu ketika si perempuan mengambil buah itu, memakannya, memberikan kepada suaminya, sang suami pun memakannya, dan mata mereka terbuka lalu mereka sadar mereka telanjang. Inilah kisah yang diceritakan lagi dan lagi sebagai permulaan segala sesuatu yang rusak dalam hidup manusia dan alam ciptaan, inilah asal muasal maut. Inilah momennya ketika alam ciptaan jatuh di dalam kuasa penderitaan, kuasa kesia-siaan, kuasa kehancuran. Jadi, dengan Lukas menuliskan kisah tadi berakhir dengan perjamuan, maka sama seperti yang tadi itu perjamuan pertama dalam ciptaan yang lama, demikianlah yang ini adalah perjamuan pertama dalam ciptaan yang baru, yaitu ketika Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya, dan memberikannya kepada mereka, Kleopas dan Maria, suami dan istri. Lalu ayat 31 dikatakan: ‘mata mereka terbuka, mereka mengenali Dia’. Inilah momennya kutukan pertama itu akhirnya telah dipatahkan, maut dikalahkan. Inilah momennya hidup yang baru dari ciptaan yang baru telah menembus masuk ke dunia yang tadinya dikekang oleh maut dan penderitaan. Namun hidup yang seperti ini hanya datang melalui Firman Tuhan, dan melalui roti yang dipecah-pecahkan dalam Persekutuan; apakah Firman Tuhan dan Persekutuan ini? Gereja. Di sinilah Saudara menemukan ciptaan baru. Bisakah Saudara melihat hal ini? Bisakah Saudara mengenalinya?
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading