Kita akan membahas dari bagian Firman Tuhan, satu pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab, yaitu “apa sebetulnya center dari pengajaran Yesus di dalam Injil Yohanes; kalau ada hal yang disebut terbesar/terpenting di dalam pengajaran Kristen, itu apa sebetulnya”. Bagaimanapun, di dalam Alkitab Yesus pernah melakukan satu kristalisasi dalam pengajaran-Nya, mengenai apa sebetulnya yang paling inti; bukan dalam satu sikap reduktif atau menggampangkan, melainkan dalam pengertian satu pembicaraan tentang the substance of the substance, sesuatu yang paling paling paling inti, yang kalau bagian tersebut tidak ada maka kita kehilangan seluruh keagamaan kita, lalu cuma jadi keagamaan yang sifatnya eksternal/lahiriah. Inilah bagian yang akan kita renungkan.
Perikop ini diberi judul “Perintah Baru”; ada kata ‘baru’ di sini. Di dalam hal apa ini perintah yang baru? Kalau Saudara baca perintah untuk saling mengasihi, itu sebetulnya bukan sesuatu yang baru seakan-akan pertama kali keluar dari mulut Kristus; kita sudah membaca perintah ini dalam kitab Ulangan. Tetapi, bukan karena di kitab Ulangan sudah ada, maka perintah ini tidak boleh disebut perintah yang baru.
Ada persoalan, kalau kita mengerti istilah “baru” sebagai sesuatu yang harus betul-betul from nothingness, yang tidak pernah boleh ada sebelumnya. Saya kuatir, pencarian kabaruan seperti itu sebetulnya cuma menunjukkan keadaan jiwa kita yang gampang bosan. Anugerah Tuhan itu baru setiap pagi; dikatakan “baru”, bukan berarti kemarin-kemarin tidak pernah ada, melainkan “baru” di dalam pengertian ketika kita mengalaminya, kita bisa menghargainya lagi dan tidak masuk ke dalam pengalaman klise. Misalnya melihat matahari terbit, kita lalu bilang “begini lagi, begini lagi, ganti kek, modelnya jadi segitiga atau trapesium, dari dulu bundar terus, cahayanya juga begini lagi-begini lagi”, ini respons yang tidak wajar, dan Saudara tentunya tidak berespons seperti itu. Di sisi lain, kita juga bisa masuk ke dalam rutinitas yang akhirnya meaningless. Mungkin kita tidak mengatakan kalimat seperti tadi, tapi di dalam hati, “Yah, hidup koq begini lagi-begini lagi, saya musti kerja lagi, saya musti berpisah dengan bantal sekarang”, dst., lalu kita mulai sebal dengan rutinitas. Mengapa? Karena kita kehilangan pengalaman kebaruan itu.
Poin yang saya mau katakan adalah: waktu kita membicarakan yang “baru”, bukan dalam pengertian hal itu dulu sama sekali tidak ada, betul-betul baru, gres, dan tidak pernah ada orang yang membicarakannya. Yesus tidak menggunakan istilah “baru” dalam pengertian seperti itu, melainkan bahwa hal ini bisa tetap menjadi baru dalam arti segar, tidak kehilangan daya tariknya, dan membawa kita kepada pengalaman rohani yang lebih dalam –tetapi, bukan tidak ada tradisi.
Mengapa perintah ini disebut perintah yang baru? Perintah ‘mengasihi’ ini menjadi satu penghayatan yang betul-betul baru, karena di sini Anak Allah, Allah Pribadi Kedua sendiri, betul-betul turun ke dalam dunia, Dia menjadi manusia, Dia menjadi daging, dan Dia mengorbankan diri-Nya. Ini satu perspektif yang betul-betul baru. Ini bukan bicara tentang Keluaran yang lama (Old Exodus), ini bicara tentang Keluaran yang baru (New Exodus). Keluaran yang lama adalah Musa mengeluarkan bangsa Israel dari perbudakan Mesir; Keluaran yang baru adalah Yesus mengeluarkan manusia dari perbudakan dosa –atau lebih tajam dalam konteks ini: perbudakan ketidaksanggupan mengasihi. Manusia itu sebetulnya sedang diperbudak, ketika dia tidak bisa mengasihi Tuhan dengan segenap hatinya, segenap kekuatannya, segenap akal budinya, segenap jiwanya. Manusia merasa dirinya bebas waktu bisa mencintai dirinya sendiri dengan bebas dan sepenuh-penuhnya, padahal itu sebetulnya penjara.
Itu sebabnya ketika kita mau mengerti bagian ini, meski di sini dikatakan “baru”, kita tidak bisa mengertinya tanpa perspektif Perjanjian Lama, khususnya kitab Ulangan. Kita membaca Ulangan 6:4-5, ayat yang terkenal itu, “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” Selanjutnya, ayat 7-9: “Haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu”.
Orang seringkali memenggal bagian ini, lalu yang dianggap harus diajarkan berulang-ulang adalah keesaan Allah –yang memang sangat penting dan merupakan pondasi—bahwa TUHAN itu Allah kita, Yahweh itu Allah kita, TUHAN itu esa (ayat 4). Tapi ayatnya tidak berhenti di situ, ayat tersebut segera dilanjutkan dengan: “Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu” (ayat 5).
Ada kaitan tidak terpisahkan antara keesaan Tuhan –keesaan Allah, Allah yang satu– dengan respons bagaimana manusia harusnya mengasihi Dia dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap kekuatan. Menjelaskan hal ini mungkin sedikit lebih mudah kalau kita memakai “yang bukan itu”; misalnya: seandainya Allah tidak ada, tentu tidak ada poinnya mengasihi sesuatu yang tidak ada, tidak ada poinnya membicarakan kasih. Namun Saudara perhatikan, betapa banyak di dunia ini orang yang mencintai kekosongan (emptiness); kekosongan itu dipeluk habis-habisan, dikasihi dengan segenap hati. Tapi dunia tidak bilang itu kekosongan/nothingness, dunia bukan hanya bilang itu something, tapi bahkan everything. Pada akhirnya, kita cuma menyadari sebagaimana yang ditulis Hans Christian Andersen, “The Emperor's New Clothes”, bahwa Kaisar itu sebetulnya telanjang tapi dia pikir dirinya pakai pakaian paling mahal, dan dia membodohi semua rakyatnya untuk kagum karena memakai pakaian yang paling mahal –padahal dia sedang telanjang. Cerita itu sangat menggambarkan dunia kita, yang mencintai yang kosong, nothing, tidak berarti, sampah, tapi kemudian dicintai habis-habisan –termasuk di dalamnya diri sendiri. Diri sendiri sebenarnya juga nothing kalau kita tidak meletakkannya di dalam perspektif kasih Allah, dan akhirnya kita menghabiskan semua energi dalam kehidupan kita untuk mencintai diri sendiri –padahal sebetulnya kosong.
Waktu di ayat ini dikatakan “TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa, Tuhan itu berada, dan Dia satu”, dalam hal ini kita boleh tambahkan, “maka kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” Maksudnya, karena Tuhan itu cuma satu, maka kita bisa mengasihi Dia dengan segenap, dengan keseluruhan. Ini tidak take it for granted, karena dalam kepercayaan lain dewanya banyak, seperti juga dewanya Mesir luar biasa banyak. Kalau Saudara ingin punya keluarga besar, maka dewanya dewa kesuburan, yang ada kuilnya sendiri. Kalau urusan padi, dewanya lain lagi. Dewa-dewa tersebut bersifat teritorial, jadi jangan dicampur-campur. Misalnya kalau Saudara ingin punya anak, jangan pergi kepada dewa padi; kalau Saudara mulai keluar dari daratan dan masuk ke lautan, dewanya lain lagi karena yang berkuasa di darat tidak in-charge urusan laut, jadi Saudara musti urusan dengan dewa laut. Jadi rumit luar biasa. Di dalam gambaran kepercayaan yang seperti itu –allah yang banyak—tidak mungkin manusia bisa mengasihi dengan segenap hati, sebaliknya hati jadi rumit sekali dan terbagi-bagi.
Mengapa di dalam Kekristenan kita bersikeras pernikahan dengan satu pasangan saja, dan bukan banyak? Karena ada kaitannya dengan hal tadi. Kita yang percaya Allah itu satu, maka kesetiaan Allah kepada umat-Nya dan kesetiaan umat-Nya kepada Allah, dihayati dengan pernikahan yang satu pasangan saja. Kalau kita istrinya banyak, atau suaminya banyak, kita sulit untuk menyatakan kasih yang segenap hati dan segenap jiwa dan segenap kekuatan. Jadi rumit, hati kita jadi terpecah-pecah, terbagi-bagi, banyak cabangnya, dan tidak bisa mengasihi Tuhan dengan tidak terbagi/undivided –hal itu tidak mungkin.
Kasih dan relasi yang benar menuntut adanya simplisitas. Simplisitas ini jangan disalah mengerti jadi over simplicity yang menggampangkan. Simplisitas ini maksudnya dalam pengertian “tidak rumit”. Kekristenan harusnya simpel, meski bukan over simpel. Simpel dalam pengertian apa? Yaitu kalau kita mencintai Tuhan, maka di dalam kehidupan ini sebetulnya ya, cuma itu, sebagaimana Agustinus pernah mengatakan satu kalimat yang sangat powerful: “Love God, and do what you want” –itu saja.
Dalam PA Pemuda ada pembicaraan tentang calling/panggilan, dan bagaimana membedakan dengan ambisi pribadi. Orang sekarang ini bergumul tentang panggilan, tentang pekerjaan, dan sebagainya, sebagai sesuatu yang rumit sekali, amat sangat rumit. Belum lagi ditambah dengan beberapa penulis dalam Kekristenan yang menggambarkan seakan-akan kehidupan ini berada dalam 17 pilihan, lalu hanya ada 1 yang benar, sementara yang 16 itu semuanya salah, sesat, dari setan –gambaran yang menakutkan. Saya lalu memberi ilustrasi tentang anak-anak yang suka main berjalan di lantai hanya boleh di garisnya, atau kalau lantainya hitam putih maka cuma boleh injak tegel yang putih dan tidak boleh kena yang hitam. Itu memang cuma main-main, tapi kalau orang dewasa melakukan permainan seperti itu, dia sakit. Lebih sakit lagi kalau itu ternyata bukan sekedar permainan melainkan filosofi hidupnya; jadi hidup ini berarti musti jalan di tegel yang putih, yang lain semua sesat, seperti magma mendidih yang mengerikan. Betapa stres ikut Tuhan kalau seperti begini. Tapi kita baca dalam Mazmur 23, Daud bilang “Dia membawa aku ke padang berumput hijau, ke air yang tenang”. Dan Saudara tidak membaca Daud tanya Tuhan, “Tuhan, air tenang koordinat yang mana, rumput nomor berapa yang boleh dimakan?” lalu Tuhan jawab “Rumput yang nomor 17353, lalu nomor 273, sedangkan yang lain jangan dimakan karena semuanya beracun”, dsb. Tidak seperti itu. Hanya dikatakan “padang rumput hijau”, jadi jalan saja, nikmati, makan yang mana saja. Hidup ini limpah, bukan jalan di satu jalan “yang benar” saja lalu yang lain semuanya salah. Orang yang cari panggilan secara model seperti ini, jadi seakan-akan dunianya Tuhan sempit sekali, tidak ada anugerah Tuhan yang cukup, seakan-akan semuanya jalan yang sesat dan cuma ada one single correct way, one single correct calling. Demikian juga waktu Saudara bicara tentang menggumulkan pasangan hidup, saya percaya Alkitab itu memberikan sederhana saja, yaitu lawan jenis, seiman, bisa menjadi penolong yang sepadan; dan itu pilihannya luar biasa banyak, semuanya kehendak Tuhan, Saudara bergumul dan diminta untuk bertanggung jawab.
Poin yang ingin saya katakan adalah: Kekristenan itu liberating. Saudara percaya kepada Yesus Kristus, itu sesuatu yang membebaskan, bukan sesuatu yang menyempitkan. Memang di dalam Alkitab ada metafor “pintu yang sempit”, tapi kita tidak sedang bicara yang itu dalam kotbah ini, saya sedang bicara perspektif yang lain; meskipun ada prinsip-prinsip itu, Kekristenan membawa kita kepada kehidupan yang merdeka, bukan kehidupan yang terpenjara. Kalau Saudara menggumulkan kehendak Tuhan, panggilan, dsb., secara lebih mirip orang yang takut salah, yang mengharapkan satu jawaban tunggal dan benar, sepertinya koq, hidup jadi begitu susah, tidak ada keluasan padang rumput, tidak melihat air yang tenang yang bisa menyegarkan kedahagaan kita, lalu yang ada adalah ‘cuma boleh beberapa tetes doang, lalu stop, kalau tidak nanti muntah-muntah’ –jadi banyak sekali aturan. Gambaran agama yang seperti ini, adalah agama yang tidak mengerti cinta kasih Tuhan, dan akhirnya kita sendiri tidak bisa mengasihi Tuhan karena yang ada adalah berurusan dengan peraturan, peraturan, dan peraturan –peraturan yang tidak direspons dengan kasih.
Inilah maksudnya waktu dikatakan “TUHAN itu esa, kasihilah Tuhan Allahmu”, seperti yang Agustinus bilang –tentunya juga terisnpirasi dari ayat Alkitab—“Love you God, do what you want”. Kasihilah Tuhanmu; kalau kita mengasihi Tuhan maka hidup ini luas sekali, setelah itu Saudara bisa bekerja sebagai ini atau itu, menjalankan panggilan ini atau itu, atau juga siapa tahu Tuhan mau Saudara jadi hamba Tuhan –tapi jangan lupa kalimat yang pertama, kasih memungkinkan itu terjadi. Ini bukan urusan larangan, larangan, dan larangan, melainkan di dalam undangan kehidupan yang membebaskan. Sederhananya, dalam konteks ini Agustinus mengatakan, ‘sudah tidak usah terlalu pusing mikirin yang bener yang mana dari 17543 kemungkinan lalu harus pilih satu saja dari segitu banyak kemungkinan –kemungkinan salahnya jadi besar sekali– tapi kasihilah Tuhan’. Ini adalah soal arah hati, kalau kita mengasihi Tuhan, setelah itu semua persoalan selesai.
Banyak persoalan di dalam jemaat ada, karena kita tidak mengasihi Tuhan dengan segenap hati, karena kita terlalu mengasihi perasaan kita sendiri, kita terlalu baper, kita menyembah perasaan sendiri, perasaan dijadikan tuhan, dan kita tidak rela melepaskan berhala ini. Seorang anak kecil memang ada fase seperti ini, dia sangat sensitif kalau tidak dicintai, jadi merasa self-pity, bahkan iri, rasa tidak aman, dsb. Tapi kalau kita dewasa dan masih berpikir seperti ini, itu betul-betul ‘gak lucu. Kita yang dewasa, harusnya sudah selesai dengan urusan perasaan sendiri ini, supaya kita bisa bebas mengasihi Tuhan dan bebas mengasihi sesama. Namun selesainya bukan karena kita menekan, melainkan karena yang mencintai kita adalah Tuhan. Kalau Tuhan sudah mencintai saya, ya, sudah, saya tidak usah memikirkan lagi bagaimana mengasihi diri saya, urusan itu sudah selesai, toh Tuhan itu yang the most powerful, dan Dia mencintai saya, saya tidak perlu tambah apa-apa lagi dalam hal ini, saya tinggal respons saja cinta kasih Tuhan, saya bisa bebas mengasihi Tuhan.
Ada satu penulis, yang entah bagaimana membaca Firman Tuhan-nya, atau memang sengaja salah, menulis satu buku yang isinya demikian: Alkitab mengajarkan “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”, jadi kita tidak bisa mengasihi sesama kalau kita tidak mengasihi diri kita sendiri, maka marilah kita belajar apa artinya mengasihi diri sendiri. Alkitab itu tidak ngajarin bagaimana mengasihi diri sendiri, Alkitab mengasumsikan dan langsung mulai dengan ‘manusia mengasihi dirinya’, itu sebabnya musti belajar mengasihi sesama seperti diri sendiri. Ini sama seperti Alkitab langsung mengasumsikan bahwa Tuhan itu ada; dalam Alkitab tidak ada argumen filosofis, bahwa ‘Tuhan itu ada’ adalah lebih masuk akal daripada ‘Tuhan itu tidak ada’. Kalau Saudara baca kitab Kejadian, diskusi seperti itu tidak ada. Alkitab langsung mengasumsikan bahwa Tuhan itu ada –itu asumsi dasar—dan Tuhan yang ada adalah Tuhan yang menciptakan. Tapi kita lebih suka berdebat soal ini, dan akhirnya setelah menghabiskan bertahun-tahun kesimpulannya: Tuhan itu ada. Betapa buang-buang waktu! Itu adalah sesuatu yang sudah diterima begitu saja, dipercaya melalui iman, dan kemudian kita bisa move on kepada hal-hal yang lain. Demikian juga waktu kita bicara soal kasih kepada diri sendiri, itu sudah terlalu dasar, kita tidak ngomongin itu lagi, semua orang –kecuali dia sakit jiwa—pada dasarnya tahu bahwa dia musti merawat dirinya sendiri, memperhatikan dirinya sendiri. Tidak usah sampai tulis 1 buku khusus tentang bagaimana mengasihi diri sendiri karena tanpa mengasihi diri sendiri tidak bisa mengasihi sesama. Tidak perlu bicara itu. Kita langsung bicara bagaimana mengasihi sesama, karena kita sudah bisa asumsikan apa artinya mengasihi diri sendiri.
Sama juga ketika kita mengatakan kalimat ini, “Tuhan itu esa, kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu”, bahwa karena Tuhan itu satu, bukan banyak, maka kita bisa fokus. Kita bukan berada dalam keadaan panik harus kasihi dewa ini lalu dewa itu, tanggal sekian dewa ini lalu tanggal lain lagi dewa itu, jadi rumit sekali. Atau juga seperti tipe orang Injili yang rumit sekali memikirkan ‘panggilan saya apa, ya, ini atau itu atau apa’, lalu ‘saya musti menikah dengan siapa, ya, yang ini, atau yang itu, atau yang lain lagi’, dsb., seakan-akan ada begitu banyak pilihan yang membingungkan sekali. Kita jadinya hidup sangat complicated, padahal yang penting cuma satu saja. Saudara baca dalam Alkitab kalimat-kalimat prinsip ini, yang sebenarnya seringkali diulang. Kita pernah bahas tentang Maria dan Marta; Yesus bilang, “Marta, Marta, kamu menyusahkan diri dengan buaaanyaakk perkara, tapi hanya satu saja yang perlu” –hanya satu saja yang perlu. Kekristenan itu satu saja. Bukan banyak. Itu sebabnya di sini dibilang “kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, segenap jiwamu, segenap kekuatanmu” karena “Tuhan itu esa”.
“Cintailah Tuhan”; satu ini saja. Mencintai Tuhan, lalu semua urusan sebetulnya bisa selesai. Tapi kalau kita memberhalakan diri, mengasihi Tuhan tapi perasaan saya juga musti dijaga, mengasihi Tuhan tapi muka saya juga penting, mengasihi Tuhan sih mengasihi Tuhan, tapi jadi orang yang makin lama makin kaya juga penting, akhirnya kita banyak campuran, campuran, dan campuran yang bikin kehidupan jadi complicated, kehidupan yang rumit dan tidak bisa diselesaikan karena kita ciptakan sendiri.
Tuhan itu simpel. Kalau kita belajar dalam Doktrin Allah, ada the doctrine of the simplicity of God, Allah itu simpel, Allah itu tidak terbagi (undivided). Betul kita percaya Allah 3 Pribadi, tapi itu bukan 3 pribadi yang kompleks. Maksudnya, satu Substansi tersebut bukan dibagi 3 menjadi masing-masing sepertiga kemahakuasaan –yang seperti ini namanya divided—melainkan simpel, cuma ada satu kemahakuasaan, one mind, one will, one affection. Dan yang satu itu, yang utuh itu, diambil oleh setiap Pribadi. Pribadi Bapa mengambil keseluruhan kemahakuasaan, Pribadi Anak mengambil keseluruhan kemahakuasaan, Pribadi Roh Kudus mengambil keseluruhan kemahakuasaan; dan cuma ada 1 kemahakuasaan, bukan 3 kemahakuasaan. Itu artinya simpel. Lalu kita, manusia ini, banyak, tapi Paulus juga menulis bahwa kita satu Tuhan, satu iman, satu baptisan. Di dalam satu ada keindahan, ada simplisitas yang membawa hidup ini bukan jadi hidup yang rumit melainkan yang menarik untuk dihidupi.
“Tuhan itu esa, kasihilah Tuhan Allahmu”, ini bicara tentang relasi. Karena Tuhan itu esa, satu, maka kita diundang untuk masuk dalam relasi cinta, relasi kasih. Perkataan “kasihilah”, berarti Tuhan kita mengundang kita untuk masuk dalam satu kehidupan yang berelasi dengan dia, bukan tidak ada relasi. Sebetulnya, kalau kehidupan kita berada dalam relasi yang dalam, relasi cinta, relasi kasih dengan Tuhan, maka banyak persoalan dalam kehidupan selesai. Saya bukan bilang hidup jadi tidak ada tantangannya, memang tetap ada tantangannya, ada kesulitan, kita bisa tetap mengalami penderitaan, dsb., tapi itu jauh-jauh lebih ringan; seperti dikatakan Yesus, ayat yang saya ulang-ulang, bahwa beban-Nya ringan, kuk-Nya enak.
Kita merasa beban dalam hidup berat, kuk-Nya tidak enak, itu karena kita tidak mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan segenap jiwa. Lebih celaka lagi kalau kita bilang “mengasihi Tuhan dengan segenap hati itu berat”. Ayat itu dari mana?? Saudara terbalik. Tidak mengasihi Tuhan, itu yang berat –jangan ditukar-tukar. Waktu ditukar-tukar, sepertinya masuk akal; kalau saya bilang, “Saudara, mengasihi Tuhan itu sesuatu yang berat”, Saudara bisa jawab, “Amin”, padahal sama sekali tidak ada dasar Alkitabnya. Yang ada dasar Alkitabnya adalah kehidupan yang mengasihi Tuhan, ini membebaskan kita, sesuatu yang liberating. Cerita orang Israel di Mesir adalah perhambaan/perbudakan; waktu mereka keluar, itulah pembebasan, bebas dari boundage di Mesir itu. Tuhan juga mau membebaskan kita dari boundage dosa, yaitu ketidakmampuan mengasihi Tuhan, ketidakmampuan beribadah. Hidup yang terus berpusat hanya pada diri sendiri, hidup yang terus sensitif/baper akan diri sendiri dan terus-menerus mutar di tempat yang sama, ini sebetulnya penjara. Dan Tuhan mau kita bebas dari penjara itu supaya kita bisa dengan bebas mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama. Sudah tidak usah pikir lagi soal ‘siapa yang mengasihi saya’, ‘siapa yang mencintai saya’; itu sudah selesai karena Tuhan sudah mencintai kita. Kalau kita bisa mengerti kebebasan ini, kita bisa mengerti apa itu Kekristenan.
Kasih, kalau tidak ada, maka keagamaan jadi keagamaan yang sifatnya eksternal/lahiriah. Saudara datang ke gereja, semoga bukan karena Saudara merasa ini sesuatu yang wajib bagi orang Kristen. Kalau Saudara diajak doa dan merasa itu kewajiban orang Kristen, lalu Saudara baca Alkitab merenungkan Firman Tuhan karena itu juga kewajiban agama, mungkin Saudara belum lahir baru, mungkin tidak ada Roh Kudus di dalam dirimu. Saya lebih baik bicara begini, terus terang menyatakan prinsip Alkitab, daripada kayak nabi palsu bilang “O, enggaklah, Saudara ‘kan ke gereja sering sekali, Saudara pasti milik Tuhan”. Itu tidak tentu; dan yang tahu adalah Tuhan dan diri Saudara. Kalau kita, setiap kali beribadah atau setiap kali berdoa tidak ada sukacita, tidak ada kesukaan, tapi yang ada merasa berat, itu sebetulnya menyatakan bahwa kehidupan agama adalah sesuatu yang di luar, dan kita menjalaninya secara lahiriah, bukan dari dalam hati kita. Yang membuat agama bukan lagi lahiriah tapi jadi agama yang batiniah, itu adalah cinta dan kasih. Cinta kasih kepada Tuhan itulah yang sungguh-sungguh membuat agama betul-betul jadi agama yang hidup, bukan agama yang lahiriah.
Kalau kita cuma bicara lahiriah, terus terang hal itu di dalam Kekristenan jauh sekali daripada banyak kepercayaan yang lain. Saya pernah nonton acara TV, orang yang beribadah kepada Tuhan di gunung, dan mereka berjalan dengan lututnya berpuluh-puluh bahkan mungkin ratusan kilometer; setiap jalan dengan lututnya beberapa meter, dia menyembah, lalu bangun lagi, jalan lagi dengan lututnya, dan seterusnya. Saudara tentu belum pernah melakukan spiritual exercise seperti ini. Tapi Kekristenan bagaimana ibadahnya? –tidak dapat kursi sudah merasa kayak cicipan neraka, betul-betul cerewet. Saya bukan memuji kelahiriahan agama; yang mau saya katakan adalah: kalau kita cuma mau bicara keagamaan secara eksternal, maka Kekristenan betul-betul tidak bisa banding, banyak agama lain melampaui dalam hal ini.
Namun, agama Kristen memang penekanannya bukan dalam lahiriah, penekanan kita dalam batin; dan itu cuma bisa mungkin kalau dikuasai oleh cinta kasih Tuhan. Kalau kita tidak memberi diri kita dikuasai oleh cinta kasih Tuhan, kalau kita tidak merespons dengan mencintai Dia kembali –dan bukan dengan separuh-separuh tapi dengan segenap hati—maka tidak ada agama yang hidup. Kekristenan bisa ada secara jumlah, tapi kalau tidak digerakkan oleh cinta kasih, maka jadi agama yang begini terus. Kita juga bisa melakukan pertemuan-pertemuan, yang sebetulnya cuma membuktikan bahwa ada eksistensi Kristen di sini, tapi apa gunanya? Kita tidak membaca di dalam ayat ini Yesus bilang “supaya orang tahu ada eksistensi Kristen”. Yesus bukan bicara eksistensi Kristen, yang dibicarakan Yesus adalah: “Dengan demikian semua orang akan tahu”, tahu apa? Bukan tahu bahwa ada eksistensi orang Kristen, tapi: “bahwa kamu adalah murid-murid-Ku”, yaitu apa? Yaitu ketika kita saling mengasihi.
Saya tidak bisa terlalu menekankan bagian ini; ini sebetulnya bagian yang sangat penting. Kita boleh kotbah tentang kasih ini seumur hidup, dan tetap tepat, karena ini bagian yang kita tidak bisa terlalu menekankan. Kita sangat kekurangan waktu untuk membahas bagian ini. Tapi seringkali bagian ini tidak sering dibahas. Mengapa? Inilah kepintarannya agama, tidak mau membahas yang substance, lalu kompensasi dengan hal yang lain. Yang diminta Tuhan adalah mengasihi Dia dengan segenap hati, tapi kita bilang “sebentar, sebentar, saya susah bagian ini, tapi saya memberi persembahan sajalah ya; kasih segenap hati itu susah, tapi memberi persembahan okelah”, atau Saudara datang ke PA, ikut KKR Regional, dsb. Saya bukan sinis,tapi kegiatan-kegiatan itu, persembahan-persembahan dan sebagainya itu, tidak tentu menunjukkan cinta kasih yang di dalam. Jangan-jangan itu kompensasi. Namun saya percaya, orang yang betul-betul mengasihi Tuhan, dia akan terlibat dalam pekerjaan Tuhan. Jadi, terlibat dalam pekerjaan Tuhan tidak tentu menyatakan ada kasih; sebaliknya, orang yang mengasihi Tuhan, dia terlibat di dalam pekerjaan Tuhan. Tapi kita lebih suka membicarakan ‘terlibat dalam pekerjaan Tuhan’, kita tidak terlalu senang bicara tentang kasih, karena waktu kita bicara tentang kasih, ternyata yang didapati adalah: manusia tidak terlalu mengasihi.
Bagian ini adalah pasal tentang kasih, lalu langsung disambung dengan cerita Yesus memperingatkan Petrus. Ini bagian yang penting sekali. Mengapa? Tadi kita baca di bagian ini “perintah yang baru”, siapa yang memerintahkan? Tuhan. Lalu perintahnya apa? Yaitu supaya kita saling mengasihi. Tetapi hal itu segera disusul dengan cerita –inilah cerita manusia– bahwa manusia tidak bisa mengasihi Tuhan. Dia rasa dirinya bisa mengasihi Tuhan, dia rasa dirinya bisa mencintai Tuhan, dia rasa dirinya akan memberikan nyawanya bagi Tuhan, tapi akhirnya apa? Akhirnya cerita kepercayaan diri dan kesombongan itu harus dinyatakan gagal oleh Tuhan. Inilah yang dimengerti oleh Luther; waktu dia membaca perintah “kasihilah Tuhan dengan segenap hatimu”, dia gemetar, dia tahu kita ini tidak bisa mengasihi Tuhan.
Tapi ceritanya tidak berhenti di bagian ini. Waktu Saudara membaca cerita Yesus memulihkan Petrus (pasal 21), kalimat yang keluar dari Yesus adalah: “Simon, apakah engkau mengasihi Aku?” Saudara perhatikan, yang dipulihkan di sini urusan kasih. Yesus tidak bilang misalnya, “Simon, kamu sadar ‘gak, kamu itu orangnya rasa hebat sekali, tapi sadar ‘gak sekarang? Sekarang rendah hati ‘gak?” Bukan rendah hati tidak penting, bukan kesombongan jadi benar, Petrus memang ada sombongnya. Yesus juga tidak bilang, “Petrus, sekarang bagaimana, bisa ‘gak tidak cerewet lagi, kamu setiap kali terus saja ngomong, setiap kali terus saja komentar, tapi ternyata kamu ‘gak bisa kerja”. Yesus tidak mengatakan itu. Ini urusannya bukan bagaimana menyelesaikan orang yang menjengkelkan yang setiap kali ngomong dan ngomong terus; Yesus tidak menyelesaikan itu. Itu bukan bagian yang paling penting yang musti diselesaikan. Bagian yang musti diselesaikan dalam diri Petrus adalah dibawa kepada relasi kasih, “Simon, apakah engkau mengasihi Aku?”
Dan, Saudara perhatikan jawaban Simon di bagian terakhir; dia tidak bilang, “Ya, Tuhan, ternyata saya tidak bisa mengasihi Engkau”, bukan itu jawabannya. Jawaban Simon adalah: “Tuhan, Engkau tahu, aku mengasihi Engkau” –positif jawabannya. Saya percaya, kalimat yang dikeluarkan Simon itu adalah satu kalimat yang sudah melalui kejatuhan. Waktu Simon ditanya, dia pasti ingat kalimat yang dia pernah katakan, sebagaimana di pasal 13 ini, “Aku akan memberikan nyawaku bagi-Mu!” Dia pasti ingat juga Yesus mengatakan, "Nyawamu akan kauberikan bagi-Ku?” Kalimat itu pasti terngiang-ngiang waktu Yesus tanya “Simon, apakah engkau mengasihi Aku?” Tapi dia tidak jadi discourage lalu bilang, “Ya, Tuhan, saya ini orang yang penuh kebencian, ternyata saya penakut, saya cuma bisa menerima cinta kasih-Mu, ternyata saya tidak mengasihi Engkau” –bukan itu jawabannya. Jawaban Petrus adalah: “Tuhan, Engkau tahu –di dalam pengetahuan-Mu yang merciful, yang penuh cinta kasih—Engkau tahu, aku mengasihi Engkau”.
Kekristenan tidak berhenti hanya pada pemahaman cnta kasih Tuhan, bahwa selalu Tuhan yang ‘bagi kita’, selalu Yesus yang ‘untuk kita’. Sebaliknya, seperti Richard Pratt beberapa tahun lalu mengajar di STT, dia mengatakan tentang “upside down worship”, bahwa kita ini selalu berpikir ‘Tuhan untuk kita’ sedangkan ‘kita untuk Tuhan’ itu kapan?? Tuhan untuk kita, itu sudah; Dia mati di atas kayu salib memberikan diri-Nya untuk kita. Lalu kapan giliran kita yang menyerahkan nyawa untuk Tuhan? Respons ini kapan? Atau kita terus-menerus begini saja, terus-menerus menerima dan menerima, terus-menerus dikasihi tapi tidak pernah ada kesukaan untuk mengasihi??
Tuhan Yesus membebaskan kita dari kehidupan yang berpusat pada diri kita sendiri, supaya kita bisa mengasihi Tuhan. Dan saya percaya, kalau kita mengasihi Tuhan dengan segenap hati, maka kita tahu apa yang kita lakukan karena kita jadi one mind, one heart, one spirit with God Himself. Di dalam pernikahan yang baik, kita langsung tahu dan bacanya langsung peka kalau pasangan kita tidak suka atau tidak senang akan sesuatu hal. Tapi kalau Saudara sudah menikah 25 tahun lalu masih tanya “lu oke ‘gak, makan ikan masakan begini?”, itu pernikahan gagal, pernikahan yang tidak jalan komunikasinya, yang relasinya tidak terbangun dengan baik, banyak hal tidak saling mengerti, dsb., sudah bertahun-tahun menikah masih tanya hal yang sebetulnya tidak perlu tanya lagi.
Sekarang saya terapkan dalam relasi dengan Tuhan; ada orang Kristen kayak begini, masih tanya lagi ‘Tuhan, apa kehendak-Mu? Tuhan, panggilan saya apa? Tuhan saya musti pacaran sama yang mana?’ Apa Tuhan tidak sedih jadinya? Ini bukan one mind, one spirit. Tanya dan tanya terus. Kita, orang Timur, senang kalau ditanya, jangan-jangan kita terapkan ketimuran kita pada Tuhan lalu kita anggap Tuhan senang sekali kalau ditanya terus. Itu tidak ada dasar Alkitabnya. Saya sebagai orangtua, kalau anak saya bertumbuh dewasa, dan dia tanya terus every single thing, saya jadi sebal, karena ini anak tidak bertumbuh. Bukan berarti Tuhan mau melepas kita karena Dia sudah terlalu sibuk memikirkan seluruh dunia, tapi Dia mengharapkan kita bertumbuh dalam cinta kasih. Orang yang mengasihi Tuhan, dia jadi tahu apa kehendak Tuhan. Ini prinsip mengasihi; dari mengasihi, kita jadi tahu apa yang menjadi keinginan Tuhan, sebagaimana juga kita bisa hayati dalam relasi dengan manusia. Kalau Saudara mengasihi seseorang, Saudara tentu juga jadi tahu dia sukanya apa, dia tidak senang apa, dia sensitif kalau soal ini, dia alergi apa, dsb. Jadi, kasih itu –karena hubungan tersebut—membawa kita kepada persekutuan/union with God Himself. Dengan demikian, tidak mungkin kita menghayati agama tanpa kasih. Itu sama sekali tidak mungkin, tidak ada jalan keluarnya. Kalau kita tidak mau menekankan bagian ini, kita bukan kehilangan sesuatu hal, tapi kita kehilangan hal yang paling substansial dalam Kekristenan.
Saya agak sedikit kuatir dengan arah dalam pembicaraan tentang karunia-karunia Roh. Di dalam Surat Korintus, Saudara akan mendapati Paulus tidak terlalu mempersoalkan bahasa lidah ini asli-palsu, palsu-asli –bukan ke sana arahnya. Saya bukan mengatakan bahwa soal bahasa lidah tidak perlu dikoreksi –memang perlu ada koreksi—tapi Saudara baca dalam nada bicara Paulus dari awal sampai akhir, dia sebetulnya tidak mencurigai karunia Roh di Jemaat Korintus itu palsu, center-nya bukan di sana. Tapi yang mau dikatakan Paulus adalah “kamu itu begitu kaya dengan karunia Roh, dari A sampai Z, tapi kamu salah gunakan itu, yaitu dengan cara kamu menggunakan bagi dirimu sendiri, kamu tidak membangun jemaat”. Mengapa tidak membangun jemaat? “Karena kamu lack of love”. Persoalan dalam Jemaat Korintus adalah mereka tidak menggunakan karunia Roh yang mereka terima dari Tuhan karena kasih. Bagian itu yang tidak ada. Itu sebabnya Paulus 1 pasal bicara panjang lebar tentang kasih; pembicaraan karunia Roh pasal 12 dan 14, lalu tengahnya bicara tentang kasih.
Poinnya Paulus adalah: jangan menyalahgunakan karunia Roh dengan tidak ada kasih; tapi kita sekarang bergeser kepada pembicaraan asli-palsu. Memang perlu juga membicarakan asli-palsu, itu ada tempatnya. Tapi Saudara juga tahu, dalam Jemaat Efesus akhirnya kaki dian ditarik; dan itu bukan karena doktrin mereka melenceng. Mereka sangat tepat dalam membedakan asli dan palsu, mereka luar biasa precise menelanjangi “rasul-rasul” yang omong kosong yang bukan mengajarkan Firman Tuhan. Bukan cuma itu, Alkitab mencatat bahwa pekerjaan mereka yang belakangan jauh lebih banyak daripada yang pertama, berarti mereka orang-orang yang setia sehingga terus-menerus dipercayakan, bukan orang-orang malas, mereka orang-orang pekerja keras. Tapi Tuhan tetap tarik kaki dian itu. Mengapa? Karena urusan kasih. Bukan karena urusan doktrin. Saya bukan bilang doktrin tidak penting lagi, tapi kalau kita tidak menekankan kasih, kita kehilangan hal yang paling substansial. Strukturnya masih ada, semuanya seperti masih ada sebagaimana gedungnya masih ada, tapi sudah soul-less, tak berjiwa, benar-benar kayak zombi, karena tidak ada compassion, tidak ada kasih.
Memang kasih bukan cuma urusan perasaan, kasih ada aspek reason, ada aspek rasio; tapi membicarakan kasih tanpa afeksi, itu jelas tidak mungkin. Saudara dan saya ini belum finish; kita sendiri masih di running course, jangan menempatkan diri di posisi ‘orang yang sudah selesai’. Kita belum selesai. Apanya yang belum selesai? Salah satunya ini: urusan kasih-mengasihi. Mungkin kita terlalu percaya diri seperti Petrus, kita rasa sudah mengasihi, tapi ternyata kita belum bisa mengasihi. Kita pikir kita sudah cukup mengasihi, ternyata kita belum sampai kesana. Yesus mengatakan kalimat ayat 35 ini: “Semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, jikalau kamu saling mengasihi”. Kalau bagian ini tidak ada –tidak ada saling mengasihi—Tuhan bisa tarik kaki dian itu. Jemaat Efesus setia doktrinnya, tidak ada penyelewengan, tapi mereka kehilangan cinta kasih mula-mula.
Kita ada kesempatan Perjamuan Kudus; saya harap ini menggerakkan cinta kasih kita kepada Tuhan, waktu kita mengingat Yesus mengasihi kita, orang-orang yang tidak bisa mengasihi Dia. Lalu bukan berhenti pada ‘kita dicintai Tuhan’, Dia mau mengajak kita untuk masuk di dalam cerita cinta-Nya. Sekarang Saudara dan saya dibebaskan dari penjara tidak bisa mengasihi, lalu kita diundang kepada satu kehidupan yang membebaskan, yaitu bisa mengasihi. Kiranya Tuhan menolong kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading