Menyambung dari pembicaraan minggu lalu yaitu pengejaran tentang signifikansi diri, di satu sisi kita katakan memang wajar, termasuk dari salah satu basic human need bahwa manusia itu harus ada kehidupan yang significant atau meaningful, pengejaran hidup yang meaningful. Sesuatu yang wajar, yang memang seharusnya seperti itu, tetapi seringkali yang menjadi persoalan bukan karena manusia menjadi salah waktu dia mengejar signifikansi diri, tidak, tetapi manusia mengejar di dalam caranya sendiri, di dalam cara yang salah, bukan seperti yang Tuhan tetapkan dan yang Tuhan kehendaki (bagian ini sudah kita bahas minggu lalu).
Salah satu pergumulan di dalam pengikutan kita mengikut Tuhan di dalam dunia ini, tarik menariknya adalah dalam bagian kita mencoba membangun signifikansi diri kita berdasarkan jalan dunia atau kita membiarkan Tuhan yang mewarnai kehidupan kita, memberikan kepada kita meaning dan apa artinya signifikan menurut yang Tuhan kehendaki dan bukan menurut dunia. Kita tidak kebal dengan tarikan dunia ini, terjadi tarik menarik seperti itu, kadang-kadang kita gagal lagi, berusaha untuk menjadi signifikan menurut cara dunia.
Waktu kita membaca di dalam alkitab, kita bersyukur karena alkitab ini bukan kitab yang ditulis oleh orang-orang kudus (hagiograf) yang tidak ada cacat celanya sama sekali, kita melihat alkitab ini satu catatan yang manusiawi dalam arti realistis yaitu pergumulan manusia, kesulitanya, termasuk juga kegagalan dan ketidaktaatannya. Sehingga ini memberikan kepada kita certain encouragement waktu kita membaca, encouragement bukan di dalam arti bahwa encouragement saya boleh gagal seperti Petrus, bukan, tetapi di dalam pengertian bahwa orang-orang yang dipakai Tuhan di sini adalah betul-betul orang biasa yang kelemahannya juga tidak lebih kecil dari pada saudara dan saya. Mereka betul orang-orang biasa yang mendapatkan belas kasihan anugerah dan kasih karunia Tuhan sehingga boleh dipakai seperti ini, ada pengharapan bagi saudara dan saya bisa dipakai juga seperti Petrus.
Sekali lagi, kita bersyukur alkitab mencatat bagian-bagian seperti ini, saya sudah mengatakan minggu lalu, Simon Petrus menjadi satu model dari pada kejatuhan kita tetapi juga kegagalan murid-murid yang lain, saya pikir kita tidak usah mengambil satu kesimpulan bahwa di sini Petrus itu seperti dosanya sudah dekat sekali dengan Yudas. Saya percaya di sini contoh hanya perlu satu saja, tidak perlu diceritakan bahwa kesebelasnya juga menyangkal satu per satu seperti Petrus, karena kita tahu, meskipun mereka tidak menyangkal se-dramatis Petrus, tetapi mereka juga meninggalkan Yesus, tidak ada yang betul-betul mengikut Yesus sampai ke atas kayu salib, tidak ada keberanian seperti itu, tidak ada. Even Yohanes pun yang dicatat, dia mengamati dari jauh dan bukan dengan keberanian seperti yang seringkali dibayangkan sebelumnya.
Di situ Yudas gagal, dia menjual Yesus, tetapi bukan berarti murid-murid yang lain menjadi lebih baik dari pada Yudas, satu-satunya beda antara Yudas dan Petrus, bukan karena yang satunya menyangkal saja dan yang satunya menjual, jadi lebih dalam lagi dari menyangkal, bukan, itu beda tidak signifikan sama sekali. Perbedaannya adalah Yudas tidak diberikan kesempatan untuk bertobat, tidak ada lagi anugerah Tuhan di dalam kehidupannya, tetapi Petrus masih diberikan kesempatan, ada anugerah pengampunan dari Yesus. Bukan perbedaan bahwa Petrus lebih baik dari pada Yudas dan Yudas lebih jahat, pointnya bukan itu, tapi di sini kita melihat dalam kedaulatan Tuhan, bagaimana kita bisa melihat seorang yang jatuh seperti Petrus masih mendapatkan kesempatan untuk di restorasi oleh Yesus sendiri.
Kembali kepada signifikansi diri dan di sini kita bisa melihat bagaimana Petrus sangat konkrit memperjuangkan signifikansi diri, kemuliaan diri dalam pengertian yang salah. Dalam perspektif Lukas pembahasannya cukup concise dibandingkan dengan versi Matius, dalam versi Matius Yesus telah memperingatkan, apakah engkau akan memberikan nyawamu bagiKu, lalu sesungguhnya engkau akan menyangkal Aku, tetapi setelah itu dijawab sekali lagi oleh Petrus, kita tidak mendapat jawaban seperti itu di dalam Lukas, gambarannya begitu concise, begitu brief. Tapi masing-masing mempunyai profile theologinya, saya kagum waktu melihat di dalam observasi mikro ini, sangat konsisten dengan profile theologi masing-masing. Kita sudah pernah bicara profile theologi Lukas itu sangat menekankan tentang gambaran penyajian sejarah keselamatan Allah, salvation atau redemptive history, itu sangat dominating di dalam Lukas. Lukas bukan hanya menulis injil Lukas, tetapi juga Kisah Para Rasul yang melanjutkan pekerjaan Kristus di dalam dunia ini, salvation history, satu gambaran sejarah yang bergerak. Maka waktu kita membaca di dalam inji Lukas, didahuli dengan cerita Yohanes pembaptis sebelum Yesus, ada pekerjaan Yohanes pembaptis yang mewakili nabi-nabi Perjanjian Lama. Itu salvation history sudah direncanakan dari dulu, lalu kemudian disambung oleh pelayanan Yesus Kristus, itu jelas sekali di dalam perspektif Lukas.
Waktu kita membaca bahkan cerita tentang kejatuhan Simon Petrus, inipun tidak lepas dari pada cerita gambaran redemptive history ini, saya tertarik sekali dalam bagian ini waktu dikatakan dalam ayat 33, Jawab Petrus: “Tuhan aku bersedia masuk penjara dan mati bersama-sama dengan Engkau”. Wah ini kalimat yang luar biasa berani, kalimat yang bisa membuat orang bangga, tetapi Yesus tidak jatuh ke dalam kebanggaan yang konyol itu, karena Dia betul-betul mengerti Petrus sesungguhnya. Sekali lagi, kalau kita melihat dari perspektif redemptive history, sebetulnya kalimat ini tidak salah, kalimat ini betul, “Tuhan aku bersedia masuk penjara dan mati bersama-sama dengan Engkau”, menurut catatan injil, Petrus betul-betul masuk penjara, ini bukan kalimat omong kosong, jadi ini bukan kalimat yang ngawur. Akhirnya dia memang masuk penjara dan bukan hanya itu, dia juga mati karena Kristus, saya percaya lebih dari pada sekedar tradisi, yang tradisi itu adalah kita tidak terlalu jelas, tidak bisa memberikan kemutlakan 100% bahwa dia betul-betul mati di salib terbalik. Ada certain tafsirannya, ada interpretasi yang masuk, tetapi setidaknya secara tradisi dipercaya seperti itu, kalaupun ini tidak terjadi seperti itu, yang pasti Petrus memang betul-betul mati martir untuk Kristus, itu dicatat di dalam injil Yohanes, memang ada kemungkinan dia mati disalib secara terbalik.
Sekali lagi, Petrus betul-betul masuk penjara dan betul-betul mati, mati bersama dengan Kristus, dia mati martir untuk Kristus, lalu kalau begitu apa yang salah? Yang salah di sini adalah timing-nya, dia pikir dia sudah siap, dia pikir dia sudah matang, dia pikir dia sudah mature, dia pikir dia sudah arrive, sampai kepada level atau kedalaman seperti itu, ternyata kenyataannya belum. Nah kita bisa belajar dari pada gambaran kejatuhan, sekali lagi ini menjadi model, yang kita sendiri juga bisa belajar di dalam kehidupan spiritualitas kita. Seperti yang dicatat di sini, kita bisa melihat beberapa hal yaitu di dalam gambaran Petrus, ini masih menjadi satu gambaran sampai bahkan di dalam dunia kita, zaman kontemporer, somehow ada satu dorongan, semacam pressure, tekanan untuk orang itu berusaha tampil macho, berusaha tampil kuat. Menarik kalau kita bayangkan dalam bagian ini, ternyata ini bukan hanya di dalam kaum laki-laki, tetapi juga bisa di dalam kaum perempuan, tentu saja mereka akan mengerti di dalam pengertian yang lain.
Intinya sederhana, manusia itu merasa malu kalau dia tampil kelihatan lemah, fragile dsb., somehow harus menunjukkan semacam gambaran sesuatu yang macho, misalnya seorang laki-laki kalau dia tidak bisa berharap secara fisik, mungkin dia akan berharap di dalam kepandaiannya, semacam macho secara intelektual. Kalau seorang perempuan mungkin coba untuk menghias diri, meskipun dia tetap akan feminim, tetapi mengharapkan semacan gambaran gilang-gemilang seperti itu juga, semacam macho, intinya apa? Somehow kita manusia merasa agak malu atau malu kalau dinyatakan sebagai pengecut, tidak pemberani dsb., menarik waktu kita mempelajari sejak dari Yunani kuno, mereka punya pembicaraan tentang empat kebajikan, salah satunya adalah courage, keberanian, wah itu penting sekali untuk orang-orang zaman dulu. Alkitab juga ada berbicara tentang courage, tetapi di dalam pengertian yang sama sekali berbeda kalau kita menyelidiki, courage yang dibicarakan oleh ancient greek itu sangat berkaitan dengan kolerisitas, kalau kita tidak hati-hati, konsep biblical courage bisa tertukar dengan yang sederhana menjadi seorang kolerik begitu. Apa yang dibicarakan di dalam ancient greek waktu mereka berbicara tentang keberanian? Terutama adalah manusia yang pemberani di dalam arti lawan kata dari penakut yaitu orang yang terutama dia berani untuk maju ke medan perang, lalu berperang di sana, mengalahkan musuh dsb.,. akhirnya kalau bisa pulang dengan menang, kalau tidak menang pun tidak apa-apa, yang penting mati terhormat di dalam keberanian. Nah ini sangat kental mewarnai di dalam ide virtue yang disebut courage ini di dalam ancient greek, Roman philosophy, courage, seseorang yang berani maju ke medan perang, berani bertempur.
Waktu kita membaca di dalam alkitab, gambaran courage bukan seperti ini, di dalam kitab Wahyu ada dituliskan satu gambaran lawan katanya virtue, daftar dari kelaliman lawan kata dari kebajikan, disebut di dalam Wahyu 21 orang-orang yang tidak akan masuk di dalam Allah yaitu orang-orang penakut, mereka akan masuk ke neraka. Penakut ini dalam gambaran apa? Yaitu orang yang takut-takut di dalam arti mereka tidak berani mengambil keputusan untuk percaya kepada Yesus Kristus, gambaran seperti ini sangat tepat, karena kitab Wahyu kan memang membicarakan tentang gambaran orang yang percaya kepada Yesus Kristus akan menderita aniaya, jadi banyak orang yang takut dianiaya waktu mau percaya kepada Yesus. Penakut, tidak berani mengambil resiko, tidak berani bayar harga waktu ikut Tuhan, jadi penakut di dalam pengertian ini.
Di sini kita melihat gambaran tentang penakut yang dibicarakan alkitab hampir tidak ada hubungannya dengan gambaran ancient greek yang berani maju perang tadi, karena orang yang berani maju perang, saudara hanya perlu jadi orang kolerik saja untuk bisa seperti itu dan yang gagal tentu saja adalah orang-orang melankolik, orang-orang plegmatik yang selalu tidur terus tidak ikut perang dan orang sanguin yang bilang hari ini perang tiga menit lagi tidak jadi deh, saya lebih baik pergi ke taman, akhirnya yang maju hanya orang kolerik. Kita tidak membangun spiritualitas kristen berdasarkan salah satu temperamen, temperamen apapun, baik melankolik, sanguin, kolerik ataupun plegmatik, karena kita tidak tertarik untuk membangun spiritualitas menurut ciri khas temperamen seperti ini. Meskipun tentu saja, kadang-kadang waktu kita membaca firman Tuhan bisa ada bias seperti itu, misalnya kalau saya orang melankolik, saya membaca firman Tuhan berdasarkan perspektif orang melankolik itu ada wajarnya juga, tetapi kita tidak boleh keterlaluan biasnya.
Kembali lagi pada pembicaraan hari ini waktu dikatakan courageous, nah inilah gambaran Petrus, cukup courageous kan ya? Gambaran seorang yang berani, dia bilang, saya akan dipenjara bersama dengan Engkau, mati bersama dengan Engkau gambaran courageous, tapi bukan courageous seperti yang dimengerti oleh alkitab, mengapa? Karena ini courageous yang dibangun berdasarkan self confidence, bukan berdasarkan kebergantungan kepada Tuhan. Kita selalu berpikir bahwa kita kuat, kita selalu berpikir bahwa kita sudah cukup, kita selalu berpikir bahwa kita sudah mampu, ini bagian dari proses kejatuhan Petrus, kegagalan mengenal diri dengan tepat. Kita selalu berpikir bahwa keluarga kita ok, keluarga orang yang lain yang tidak ok, kita selalu berpikir bahwa anak kita yang baik, anak orang lain yang kurang baik, dst., hal seperti ini wajar sekali, wajar bukan berarti betul, semua orang di dunia hampir sebagian besar berpikir seperti ini. Sangat sulit menjumpai misalnya mertua yang bisa membela menantunya, kalau anaknya sedang konflik dengan menantunya, wah susah sekali, pasti dewasa sekali mertua seperti itu, kebanyakan akan membela anaknya sendiri, bias. Kita selalu berpikir, ya kita, keluarga kita, kebolehan kita, bakat kita dst., selalu ok, tapi kalau orang lain tidak ok.
Meskipun Lukas tidak tertarik mencatat bagian ini, komparatif, tetapi saudara membaca dalam catatan injil yang lain, yang kita percaya tentu saja itu juga historis, sekali lagi perspektif Lukas adalah redemptive history, belum saatnya Petrus sampai ke situ. Tetapi di dalam penulisan dari injil yang lain dicatat bagaimana dia melakukan komparasi dengan murid-murid yang lain, injil Yohanes misalnya kuat sekali membahas bagian itu. Waktu Yesus merestorasi, Dia menanyakan kalimat komparatif lagi, Petrus, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini? Memakai pertanyaan komparatif, maksudnya mau menguji hati Petrus, Petrus masih kompetitif atau tidak, tetapi Petrus menjawab bukan seperti dulu kan? Tetapi sebelumnya kita membaca, Petrus menjawab, meskipun mereka semua meninggalkan Engkau, aku tetap akan mengikut Engkau, bahkan sampai mati tidak akan meninggalkan Engkau, komparatif. Waktu kita komparasi, komparasi akhirnya kita cenderung melihat pemenangnya adalah kita, ada orang yang selalu mengkritik pekerjaan orang lain, sepertinya kalau bukan dia yang mengerjakan, semuanya salah, ini adalah sebetulnya ekspresi dari hati yang luar biasa sempit, kesempitan hati seperti ini bagian dari spirit komparasi.
Lukas memang tidak mencatat bagian ini, tetapi saya pikir kita juga boleh sampaikan sebagai message big picture-nya, Lukas lebih tertarik untuk mencatat satu gambaran bahwa Petrus yang belum tahu posisi dia secara tepat, kematangan kerohaniannya, dia belum tahu, dia pikir, dia sudah sampai, dia pikir, dia sudah siap untuk masuk penjara dan mati bersama dengan Kristus, tetapi sebetulnya belum. Dan memang suatu saat nanti dia akan masuk penjara dan mati juga untuk Kristus, kita membaca di dalam Kisah Para Rasul yang juga ditulis oleh Lukas, tetapi bukan di dalam bagian ini, rajutan Tuhan belum selesai, salvation history masih bergerak, belum waktunya. Kalau kita membaca di dalam Matius, gambarannya lain lagi, termasuk di dalam Yohanes pun kita membaca ada profile theologi Yohanes tentang Yesus yang bukan dari sini, tapi datang dari sana dan akan kembali ke sana, lalu Petrus ingin mengikuti Yesus kembali ke sana, Yesus bilang, kamu belum bisa untuk mengikut kembali ke sana, itu pembicaraan dari atas dan dari bawah, dalam bagian ini tidak muncul sama sekali ayat seperti itu di dalam Lukas. Di dalam Matius kita akan membaca bagaimana kejadian ini adalah kejadian yang sudah dinubuatkan di dalam Perjanjaian Lama, sehingga ada struktur nubuatan, Lukas juga ada menyinggung bagian penggenapan, tapi itu bukan titik beratnya, titik beratnya adalah kalaupun memakai kutipan-kutipan alkitab, itu di dalam pengertian mau menggambarkan salvation history.
Petrus akan berbagian di dalam rencana keselamatan itu, Petrus akan dipakai Tuhan, tetapi timing-nya bukan di dalam gambaran timing yang belum tepat seperti ini, di sini dia harus dengan rendah hati belajar bahwa dia masih perlu dibentuk. Alkitab mengatakan, selama kita masih berada di dalam dunia selalu ada gesekan-gesekan, karena kita masih orang berdosa, nah hidup kita saling membentuk. Kita menikah dengan pasangan kita, saling membentuk juga kan ya? Istri membentuk suami, suami membentuk istri, dst., tidak ada orang yang tidak perlu lagi dibentuk, tidak ada orang yang tidak perlu lagi belajar. Di sini Petrus berada di dalam masa pembelajaran yang belum selesai, tetapi Petrus merasa seperti dia sudah siap. Sekali lagi, waktu kita melayani Tuhan dengan gambaran seperti ini, melayani Tuhan dan belajar, tetapi kita merasa sudah pengalaman, kita merasa sudah bertahun-tahun, kita sudah mulai cenderung menilai diri kita lumayan expert, lalu masuk ke dalam semacam profesionalisme yang keliru, likely kita akan gagal.
Di dalam proses kejatuhan Petrus ada certain terselubung spirit heroic, nah sekali lagi ini berbenturan dengan konsep dunia, kalau kita baca, kadang-kadang di dalam plang iklan the hero within you, dekat sekali dengan new age, menggali, menggali, menggali, potensi ilahi di dalam dirimu, the hero within you. Kita bersyukur bahwa kita tidak membaca alkitab secara super hero, tetapi kita membaca cerita gambaran orang-orang yang juga punya kelemahan, di dalam pengertian mereka bukan super hero, tetapi mereka adalah orang-orang berdosa biasa seperti saudara dan saya, tapi mereka dipakai oleh Tuhan dengan luar biasa. Spirit heroic yang salah seperti ini bisa menghancurkan kehidupan kita sampai level yang mungkin paling ekstrim, semacam penyakit jiwa, orang bicara istilah savior syndrome, orang yang merasa over responsible, dia harus menyelamatkan seluruh dunia, ada orang yang terserang penyakit jiwa seperti ini, dia membagi-bagi uangnya secara tidak realistis, kelihatan seperti sangat dermawan, lalu pakaiannya dilepas, berikan kepada orang miskin, dsb. Kita tidak sampai penyakit jiwa seperti ini, bukan berarti kita kebal dengan savior syndrome ini kalau kita tidak hati-hati.
Kita membicarakan apa sih? Orang yang significant, orang significant peka terhadap porsi yang Tuhan percayakan dan ini against heroic dan savior syndrome. Orang yang savior syndrome itu melampaui porsi yang diberikan Tuhan, akhirnya dia masuk menjadi over responsible kepada bagian yang bukan bagiannya dia. Kita tidak usah berpikir terlalu jauh sampai harus menolong orang di Kelapa Gading yang terlantar, yang sederhana saja dalam kehidupan rumah tangga, kadang-kadang kita juga bisa merasa over responsible terhadap anak-anak kita, padahal sebetulnya itu sudah bukan bagian kita, bagian kita hanya sampai sini, tetapi kita mau kontrol lebih lagi. Itu semacam savior syndrome, ketidakpekaan terhadap God given portion di dalam kehidupan kita, sebetulnya porsinya sampai mana? Di dalam kehidupan apapun, mungkin di dalam kehidupan pekerjaan, bagaimana kita dealing with others dsb., Petrus belum saatnya, dia belum mampu untuk menerima penderitaan seperti yang dialami oleh Yesus Kristus ini. Karena itu bagian ini menjelaskan dan Yesus sangat pengertian, waktu kita baca dalam ayat 35 dst., ini tanpa pendasaran dari pada penggambaran kalimat yang terakhir dari Yesus, sulit untuk mengerti ayat-ayat ini yaitu Yesus yang meng-encourage mereka untuk membawa pundi-pundi, bekal, kasut bahkan untuk menjual jubah dan membeli pedang.
Apa maksudnya? Belum moment-nya mereka disesah seperti Yesus, Yesus tahu ini belum waktunya, mereka suatu saat nanti akan disesah seperti Yesus tetapi bukan sekarang. Sekarang belum sampai waktu itu, biasa Yesus mengutus mereka pergi tidak membawa bekal, tidak membawa pundi-pundi dan kita melihat bagaimana God providence, begitu kan ya? Tuhan memelihara mereka, dijalan ada yang memberikan mereka tumpangan, hospitality, makanan dsb., mereka disambut dan juga ditolak, belum sampai dianiaya, tetapi di sini Yesus mengatakan, sekarang tiba saatnya, ini sekarang kairosnya, maka kamu harus membawa perbekalan untuk dirimu sendiri karena kamu belum siap untuk mengalami itu dan pada saat seperti ini tidak ada orang yang mempedulikan kamu, mereka juga akan menganiaya kamu. Diberikan gambaran seperti ini seolah-olah God providence itu absen, sangat kontras dengan gambaran waktu mereka diutus berdua-dua, jangan membawa pundi-pundi dsb., tetapi di sini Yesus seperti memberikan satu gambaran kontradiktif, tidak.
Yesus bukan kontradiktif, karena di sini Yesus adalah sangat konteks sensible, kita keliru kalau mengharapkan seseorang itu konsisten dengan tidak boleh mengganti sama sekali dengan apa yang dia katakan, itu justru orang yang tidak konteks sensible. Maksudnya seperti ini, dulu bilang tidak boleh bawa pundi-pundi, tapi sekarang disuruh bawa pundi-pundi, bukan hanya itu malah kita disuruh membeli pedang, apa-apan seperti ini, totally inconsistent, kita salah mengerti, ini bukan inkonsisten, ini adalah pembacaan konteks yang tepat, saat seperti apa, respon seperti apa. Sama sekali tidak kontradiktif, malahan Yesus menjadi tidak bijaksana kalau di dalam gambaran ini Dia tetap mengatakan, kamu tetap tidak usah membawa pundi-pundi dsb., mereka akan mati semua dan tidak ada perlawanan dsb.
Meskipun kita baca dalam cerita berikutnya agaknya Petrus salah menggunakan pedang itu, di sini pembicaraan tentang pedang jadi sangat sensitif bagi scholar modern. Saya tertarik dengan tafsiran-tafsiarn yang menurut saya menggelikan dan yang menafsir seperti itu bukan scholar kecil, karena seperti kita tahu untuk taste orang-orang kontemporer, post modern dsb., yang cenderung sangat anti violent, mungkin kalau bisa tidak setuju dengan perang adil, mereka lebih suka jalan seperti Gandhi yang semuanya peaceful dsb. Ini pembicaraan tentang pedang, apa-apaan ini, lalu ada penafsiran seperti ini waktu Yesus mengatakan, sudah cukup, karena dikatakan, Tuhan ini ada dua pedang, lalu Yesus bilang, sudah cukup, bagian ini ada yang tafsir, cukup ya cukup, kita tidak bicara itu lagi, jadi maksudnya kamu jangan pernah lagi bicara tentang pedang, sudah cukup, kita bicara tentang yang lain, sudah kita tidak bicara ini lagi, kamu jangan pakai pedang, tafsiran seperti ini tidak bisa diterima.
Ini enough harus kita baca enough ya betul-betul enough, ya 2 pedang itu enough, bukan dalam pengertian enough, enough sudah tidak usah bicara tentang pedang lagi, bukan seperti itu. Karena kalau ditafsir seperti itu, Yesus sendiri katakan dalam kalimat selanjutnya, siapa yang tidak mempunyai hendaklah ia menjual jubahnya dan membeli pedang, Yesus yang bicara, lalu bagaimana kita mengerti kalimat ini? Saya lebih percaya waktu dikatakan di sini termasuk persiapan pedang dsb., ya untuk membela diri sendiri, mereka belum saatnya mati, belum kairosnya Tuhan, belum dan mereka juga belum cukup untuk memuliakan Tuhan melalui jalan penderitaan itu. Sekali lagi, ini belum moment-nya untuk mereka boleh mempermuliakan Tuhan disaat penderitaan, kerendahan hati seperti ini penting, kadang-kadang kita sok, naif, takabur dan sombong sekali, seolah-olah kalau penderitaan mau menimpa kita, kita juga akan kuat dan terutama kita juga akan tetap bisa memuliakan Tuhan melalui penderitaan ini, tidak tentu. Oleh karena itu jangan kita menantang penderitaan, alkitab sendiri mengajarkan supaya kita jangan dibawa ke dalam pencobaan, kita tidak menantang penderitaan, kita tidak menantang kesulitan.
Tetapi kalau kita membandingkan dengan konsep ancient Rome and Greek courage, mereka akan menantang, ayo perang semua datang, banjir, badai silahkan semuanya datang menimpa saya, hati-hati. Kita tidak terlalu kenal diri kita, mungkin nanti waktu datang kita tidak kuat dan kita baru betul-betul tahu kesengsaraannya. Yesus memakai metafora seperti ditampi, kalau di kota, kita kurang sering melihat gambaran seperti ini, menyaring gandum, diangkat-angkat, supaya yang ringan-ringan keluar, yang berat jatuh lagi, itu namya ditampi, iblis sedang melakukan itu kepada Petrus, kita baru tahu dalam keadaan seperti itu betapa lemahnya kita. Jadi agak berbeda antara pengertian courageous yang dibicarakan di dalam alkitab, courageous di dalam pengertian alkitab adalah orang yang berani, rela, bersedia menderita bagi Kristus, bukan dengan spirit self confidence, savior syndrome, bukan, ini bukan true courage, ini false courage.
Yesus sendiri memberikan kepada mereka satu persiapan, karena Yesus tahu Dia sendiri akan ditangkap, diadili, nanti akhirnya mati disalibkan, lalu bagaimana murid-murid di dalam keadaan seperti ini? Mereka harus mempertahankan diri mereka sendiri, mereka berada di dalam verdict dan accusation yang sama karena mereka mengikut Yesus, tetapi Yesus memelihara mereka, bukan tidak memelihara mereka. Ini juga bagian dari God providence, waktu Tuhan mengatakan, kamu harus bawa pundi-pundi, membawa bekal untuk kamu sendiri dan bahkan membawa pedang. Karena apa? Karena mereka akan dihitung bersama seperti pemberontak-pemberontak, seperti kriminal, belum saatnya mereka menderita.
Point terakhir kalau kita merenungkan, apa yang bisa kita pelajari dari kejatuhan Petrus ini? Kita memakai istilah hati-hati, kenapa ada saat-saat dalam kehidupan kita yang Tuhan mengizinkan kita gagal, kita jatuh, at least ada beberapa poin yang bisa kita belajar:
Pertama, dengan kegagalan kita, kita menjadi orang yang lebih rendah hati karena kita pernah gagal. Orang yang kehidupannya sukses terus, sulit untuk rendah hati, betul-betul sulit, memang bukan tidak mungkin dia bisa setiap kali memberikan kemuliaan untuk Tuhan, memang ada kemungkinan itu, tetapi hampir tidak ada orang yang bisa melakukan ini. Maka kegagalan mewarnai kehidupan kita itu ada baiknya, meskipun kegagalan itu sendiri tidak baik, pasti. Kegagalan terjadi dalam kehidupan kita, setidaknya itu menghalangi kita untuk sombong, waktu mau sombong mikir lagi, tidak terlalu punya modal, karena pernah ada kegagalan di dalam kehidupan saya. Demikian juga Petrus, kalau kita melihat Tuhan memakai bukan tanpa kerendahan hati, salah satu hal positif yang terjadi dalam kejatuhan ini yaitu kerendahan hati Petrus yang berbeda waktu dia sebelum dan sesudah jatuh.
Kedua, waktu seseorang punya pengalaman jatuh seperti ini dan dia tahu dia fragile, dia rapuh, dia akan lebih bergantung kepada Tuhan, ini against self confidence tadi. Dia tahu bahwa dia punya kelemahan, dia akan lebih hati-hati, dia akan bergantung kepada Tuhan, dia tidak akan menilai dirinya terlalu tinggi, sanggup, mampu dsb., tetapi dia akan meminta belas kasihan dan pertolongan Tuhan. Ini persis yang dikatakan oleh Petrus tetapi bukan di dalam injil Lukas, tapi di dalam injil Yohenas waktu Yesus merestorasi Petrus, waktu ditanya, Petrus apakah engkau mengasihi Aku, Petrus even tidak berani bilang, tidak courageous enough untuk bilang, ya Tuhan aku mengasihi Engkau lebih dari pada mereka semua yangn lain, tidak ada kalimat seperti itu lagi, yang kita baca adalah Tuhan, Engkau tahu aku mengasihi Engkau. Dia menyerahkan penilaiannya kepada Tuhan, dia bukan mau menilai dirinya sendiri, saya ini mencintai Tuhan atau tidak, yang menilai siapa? Ya saya sendiri kok, tapi dia menyerahkan penilaian kepada Tuhan, Engkau tahu aku mencintai Engkau, membiarkan Tuhan memberikan penilaian, bukan Petrus yang self confidence yang menilai diri sendiri.
Ketiga, pengalaman kegagalan seperti ini menolong kita untuk lebih compassionate terhadap orang lain, karena dia orang yang gagal di dalam kehidupannya. Yang tidak punya kegagalan, dia akan sulit untuk mengerti kegagalan orang lain, cenderung jadi judgemental, cenderung selalu kalau melihat orang gagal dia greget, kenapa gagal? Pasti karena kamu kurang berjuang, kenapa jatuh di dalam dosa? Pasti karena kurang ngotot hidup di dalam kekudusan (ya memang ada benarnya juga), tetapi tidak ada compassionate, tidak ada pengertian dsb. Waktu Petrus sebelum jatuh, Yesus sudah tahu bahwa Petrus akan jatuh dan Yesus sudah memperingatkan, salah satu kalimat yang paling indah di sini dikatakan, “Iblis itu menampi kamu seperti gandum, tetapi Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur”. Di sini Yesus ada compassion, Yesus tidak pernah gagal, tapi Dia ada compassion, kita manusia tidak ada gagal, akan susah compassionate, mungkin hanya Yesus yang bisa. Tapi kalaupun harus terjadi pembentukan seperti itu dan kita belajar compassionate karena kita gagal, itu lebih baik, dari pada kita tidak pernah gagal dan sebetulnya tidak pernah gagal juga tidak mungkin, yang ada itu adalah bahwa dia pernah gagal tetapi tidak mau menyadari bahwa dia gagal.
Petrus dipercayakan Tuhan untuk menguatkan saudara-saudaranya, kan Yesus katakan seperti itu, jika engkau sudah insyaf, kuatkan saudara-saudaramu. Bagaimana Petrus dibentuk Tuhan untuk menguatkan saudara-saudaranya? Petrus dibuat jatuh terlebih dahulu, setelah itu Yesus angkat, setelah itu baru dia bisa menguatkan saudara-saudaranya. Saya tidak mau mengatkan bahwa gambaran ini adalah gambaran yang mutlak necessary, jalannya harus seperti ini, tidak, tapi saya mau baca dalam perspektif Tuhan bisa memakai kejatuhan di dalam rajutan yang indah seperti ini. Petrus yang akan menguatkan saudara-saudaranya karena dia sendiri pernah dikuatkan, dikuatkan dari apa? Dikuatkan dari keadaan yang lemah, tahu apa artinya menjadi lemah, jatuh, setelah itu direstorasi, dikuatkan oleh Tuhan, orang seperti ini akan dipakai oleh Tuhan untuk menguatkan saudara-saudaranya.
Seorang pemimpin, seorang diaken dituntut menjadi seorang diaken bukan karena saudara perfect, tidak pernah jatuh, tidak pernah gagal, itu unlikely, tidak satu orang pun yang seperti itu, tetapi bagaimana seperti Petrus memahami pengalaman seperti ini, pernah gagal, pernah jatuh dan pernah dikuatkan oleh Tuhan. Orang seperti itu yang akan punya compassion, punya hati juga untuk menguatkan saudara-saudaranya yang lain. Kiranya Tuhan memberkati kita. Amin.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (AS)