Hari ini kita akan membahas kitab Ester dalam rangka merenungkan Adven. Mengapa kita membahas bagian ini, dan apa hubungannya dengan masa Adven?
Sedikit banyak dari antara kita, ketika membaca Alkitab mungkin merasa bahwa dunia yang digambarkan Alkitab sangat berbeda dari dunia kita hari ini; kita jadi merasa ada jarak dan kurang nyambung dengan Alkitab. Contohnya, waktu membaca kitab Keluaran, dan di situ orang-orang Israel menyaksikan 10 tulah, laut terbelah, lalu makan manna di padang gurun, mungkin kita berpikir ‘kalau saja saya mengalami semua itu hari ini, saya pasti akan ikut Tuhan’. Coba Saudara bayangkan, kalau bukan cuma sekali-sekali tetapi tiap Minggu waktu Saudara datang ke gereja ada awan hitam persis di atap gedung gereja kita, dengan angin kencang dan kilat menyambar-nyambar, dan Pendeta Billy ada di atap gedung gereja sedang berbicara dengan “awan” tersebut, maka berani jamin tidak bakal ada yang telat datang kebaktian, tidak bakal ada yang main HP di kebaktian atau tidur. Tapi realitanya dunia kita hari ini tidak seperti itu. Dalam dunia kita hari ini, kalau mau makan, kita tidak bisa tunggu manna dari surga; kita harus kerja, dan setelah kerja maka kita perlu pergi ke supermarket beli bahan makanannya, lalu perlu masak dulu untuk jadi makanan –kita tidak mendapatkan manna seperti zaman dulu. Kita juga hari ini jarang sekali melihat mujizat, kita juga tidak pernah dengar suara dari surga atau mendapat penglihatan –dan orang yang suka mengaku-ngaku seperti itu, kita anggap kurang bertanggung jawab terhadap Alkitab, bahkan mungkin kurang waras.
Kita percaya dunia ini ada di dalam tangan Tuhan, tapi sehari-hari kita merasa ‘bos saya lebih memegang kendali atas hidup saya dibanding Tuhan’. Itu sebabnya sebagai orang Kristen, kita merasa kalau Tuhan itu memang riil, mengapa sih Dia tidak lebih memperlihatkan diri-Nya? Tidak perlu terlalu ekstrim, sekedar lebih gampang saja untuk kita bisa melihat Dia bekerja. Kita ingin tahu mengapa Tuhan hari ini tidak kelihatan sepak terjangnya seperti zaman dulu di Alkitab. Saudara-saudara, kalau kita merasa seperti ini, maka “selamat datang di kitab Ester”, karena di kitab ini semua janji Tuhan boleh dibilang mengalami ancaman, umat-Nya mengalami bahaya ditumpas, dan seharusnya inilah waktunya Dia memperlihatkan diri-Nya bekerja dengan nyata, tetapi, dalam kitab ini nama Tuhan –bahkan istilah ‘Tuhan’– tidak pernah muncul sekali pun. Dalam kitab ini kita tidak melihat adanya penglihatan dan semacamnya. Dalam kitab ini kita tidak melihat adanya mujizat atau Tuhan muncul dengan tanda-tanda ajaib-Nya menyelamatkan umat-Nya.
Waktu Saudara membaca kitab ini, Saudara akan menemukan kisah yang sedikit banyak mirip dengan situasi kita hari ini, karena kitab Ester ini menceritakan mengenai orang-orang Yahudi diaspora, yang hidup sebagai orang asing di suatu negara yang tidak percaya kepada Allah yang mereka percaya. Waktu di Israel, seluruh kehidupan di sana, baik pemerintahannya, politiknya, urusan kenegaraannya, pendidikannya, semuanya didasarkan pada worldview yang Alkitabiah, tapi sekarang mereka dipindahkan ke negara lain, mereka tidak lagi mayoritas melainkan minoritas, dan mereka dikepung oleh budaya-politik-masyarakat yang percaya pada allah yang berbeda dari Allah yang mereka percaya. Mereka dikepung oleh budaya masyarakat yang menilai segala sesuatu berdasarkan penampilan, budaya yang menarik mereka untuk mencari kepuasan dalam kenikmatan-kenikmatan duniawi. Bukankan situasi ini kedengarannya familier? Bahkan kalau Saudara lihat perkembangan kisahnya, negara dan budaya masyarakat itu pada akhirnya mengancam keberadaan umat Tuhan. Dan, sementara nasib mereka berada di ujung tanduk, Allah Alkitab –yang katanya berdaulat—tidak kedengaran kabarnya.
Banyak orang membuat paralel antara kitab Daniel dan kitab Ester, karena keduanya bicara mengenai kesetiaan umat Tuhan sampai mati, mengenai situasi hidup umat Tuhan di tengah-tengah budaya kafir/asing. Namun dalam kitab Daniel, Allah muncul secara supernatural dengan segala keajaiban-Nya untuk menyelamatkan umat-Nya –Saudara ingat cerita tentang Sadrakh, Mesakh, dan Abednego—sementara di kitab Ester tidak ada yang seperti itu. Umat Tuhan dalam kitab Ester bisa dibilang tidak punya “wahyu yang baru”; kalau mereka mau tetap setia bertahan dengan Tuhan, maka satu-satunya sumber kekuatan hanyalah catatan sejarah yang sudah lewat, hal-hal yang telah Tuhan kerjakan di masa lampau. Dan, satu-satunya kekuatan mereka adalah beriman bahwa Tuhan pernah melakukan seperti itu, sehingga Dia juga bisa bekerja di masa sekarang, Dia juga sedang bekerja di masa sekarang –tapi kita tidak lihat itu, kita cuma ada rekaman sejarahnya. Bukankah kedengarannya familier? Mereka harus percaya Allah ini riil dan eksis, meski mereka tidak pernah melihat Dia beraksi di dunia. Tambah familier lagi, bukan?
Inilah situasi kita sebagai umat Tuhan hari ini, Tuhan tidak memperlihatkan diri-Nya secara spektakuler. Kalau kita mau melihat Dia, maka panggilannya adalah dengan melihat ke belakang, melihat apa yang Dia telah lakukan –khususnya melalui Anak-Nya—dan berdasarkan itu, kita hari ini mempercayakan diri kepada-Nya. Ini persis dengan umat Tuhan di zaman Ester, yang dipanggil untuk melihat Tuhan yang sedang bekerja meskipun Tuhan tersebut tidak kelihatan. Itu sebabnya kita mau memakai kitab ini untuk merenungkan masa Adven, karena masa Adven bukan cuma untuk merenungkan mengenai Natal saja, tapi juga merenungkan seperti apa sebenarnya kehadiran dan kedatangan Tuhan di tengah-tengah kita, apa ekspektasi kita, dan mungkinkah ekspektasi kita itu tidak sesuai dengan yang Alkitab beritakan.
Kitab Ester dimulai dengan memperkenalkan seorang raja –bukan Ester—yang merajai 127 propinsi, dari India sampai Etiopia. Raja ini, setelah 2 tahun bertakhta, dia mengumpulkan semua pejabat-pejabatnya –militer, bangsawan, politik– lalu membuat pesta besar-besaran; untuk apa? Ayat 4 dikatakan: ‘memamerkan kekayaan kemuliaan kerajaannya dan keindahan kebesarannya yang bersemarak’. Kalimat ini menunjukkan betapa dia seorang raja yang mencapai puncak; semua data tersebut dituliskan untuk membuat kita berdecak kagum. Dikatakan juga dia memakai waktu 180 hari untuk memamerkan semua harta bendanya! Hari ini, Saudara lihat di TV atau Youtube acara selebriti-selebriti yang memperlihatkan rumah mereka; acaranya paling sekitar 1 jam per episode, artinya satu selebriti membutuhkan waktu 1 jam untuk memamerkan rumahnya. Bandingkan dengan Ahasyweros, tidak cukup 1 jam, dia perlu 180 hari! Lagipula yang menontonnya juga sambil dijamu makan. Tidak selesai sampai di sini, di ayat 5 dikatakan bahwa raja melanjutkan pesta 7 hari 7 malam, dan kali ini yang diundang seluruh kota!
Saudara, di bagian ini penulis harus pakai deskripsi demikian detail karena tidak ada satu istilah yang cukup untuk mengungkapkan raja yang seperti apa Ahasyweros ini. Bahkan di ayat 6 dilanjutkan dengan deskripsi mengenai istananya –dengan bahasa Indonesia yang hari ini rasanya tidak terlalu eksis bagi kita—dikatakan: ‘… tirai-mirai dari pada kain lenan, mori halus dan kain ungu tua, yang terikat dengan tali lenan halus dan ungu muda bergantung pada tombol-tombol perak di tiang-tiang marmar putih, sedang katil emas dan perak ditempatkan di atas lantai pualam, marmar putih, gewang dan pelinggam.’ Banyak istilah yang kita mungkin tidak mengerti di sini, seperti ‘gewang’, ‘pelinggam’, dsb., tapi Saudara jangan bingung dengan bahasanya, karena tujuannya memang untuk membuat kita terkagum-kagum. Selebriti-selebriti hari ini ada yang pakaikan anjingnya kalung emas atau berlian, dan itu bikin kita geleng-geleng kepala, tapi di kitab ini, Ahasyweros “berjalan menginjak emas”!
Untuk orang Yahudi, membaca seperti ini terasa lebih nyesek, karena orang Yahudi akan menangkap satu makna yang bagi kita hari ini mungkin tersembunyi; mereka langsung sadar satu hal, di Alkitab hanya ada 2 tempat lain yang dideskripsikan seperti ini, yaitu: Tabernakel dan Bait Suci Yerusalem. Dan, bagi orang Yahudi di zaman Ester, ini lebih-lebih nyesek lagi karena di zaman itu Tabernakel sudah tidak ada, Bait Suci Yerusalem sudah dibakar oleh Nebukadnezar puluhan tahun lampau, dan Allah mereka “menghilang” entah ke mana. Di hati mereka, mungkin mereka masih mau mempertahankan dan percaya bahwa Allah bertakhta di atas dunia ini, tapi di mata mereka hanya ada satu raja yang begitu berkuasa dan mulia di atas dunia ini, dan namanya bukan Yahweh, namanya Ahasyweros!
Raja ini, meskipun royal, dia tidak membiarkan rakyatnya lupa bahwa dialah yang pegang kendali, dialah yang pegang kuasa, buktinya di ayat 8 Saudara bisa membaca bahwa minum pun ada aturannya –ada hukum untuk minum—hanya saja hukumnya mengatakan “terserah mau minum sebanyak apa, tidak dipaksa”. Jadi di sini seakan dikatakan kepada rakyat “kalian berbuatlah sesuka hati, tapi jangan lupa, mengapa kalian berbuat sesuka hati, yaitu karena ini adalah aturan-ku, perintah-ku; kebebasan kalian datang dari-ku, karena-ku, pemberian-ku”.
Inilah dunia yang dijual Ahasyweros di depan rakyatnya. Parade ini diberikan di hadapan rakyatnya supaya hati mereka tertangkap, imajinasi mereka terkunci; supaya mereka mencintai apa yang dia cintai, supaya mereka mengikuti dia sampai mati, mengejar apa yang dia kejar, dengan iming-iming segala kepuasan yang dunia bisa tawarkan. Terdengar familier bukan? Ternyata tidak banyak yang berubah sejak zaman Ester sampai zaman kita hari ini. Dunia kita hari ini juga ingin supaya kita menghabiskan hidup kita dengan berusaha jadi seperti Ahasyweros, mendapatkan harta seperti itu, mendapatkan kuasa seperti dia. Dalam poin inilah kitab Ester mulai menyibak tirai dan memperlihatkan kepada kita realita sesungguhnya di balik raja ini.
Ayat 10-11, dikatakan sang raja bertitah kepada pegawainya untuk menjemput ratunya. Coba di sini Saudara melihat bagian ini di dalam terang dari bagian yang kita baca sebelumnya, bahwa ini adalah hari terakhir pesta 187 hari ketika sang raja telah mememerkan seluruh hartanya; jadi sekarang adalah puncaknya, inilah harta yang terakhir, yang paling berharga buat dia, dan dia ingin pamerkan ke seluruh kota, yaitu ratunya! Namun ayat 12 mengatakan: ‘Tetapi ratu Wasti menolak untuk menghadap menurut titah raja yang disampaikan oleh sida-sida itu’. Kalimat ini membuat kita terhenyak, karena selama 187 hari sang raja telah berusaha menunjukkan hartanya, kuasanya, mulianya, dan itu semua membuat kita gubrak, dan sekarang kita gubrak lebih lagi, karena akhirnya yang semua orang akan ingat dari 187 hari itu hanyalah yang terakhir ini, bahwa istrinya tidak mau menurut pada dia. Bayangkan seperti apa dampaknya! Dalam 1 ayat, semua panggung yang sebelumnya sudah dibangun perlahan-lahan selama 187 hari dengan sangat detail, sekarang runtuh berkeping-keping. Orang yang katanya memerintah 127 propinsi, dari India sampai Etiopia, ternyata tidak bisa mengontrol rumah tangganya sendiri; dikatakan: ‘sangat geramlah raja dan berapi-apilah murkanya’.
Saudara, di sini kita berhenti sebentar dan merenungkan satu hal; orang yang terkaya di dunia, yang punya segala sesuatu, yang memiliki banyak harta lebih daripada yang kita bisa bayangkan, mengakhiri 187 hari pesta dengan perasaan: marah. Tentu ‘gak bisa kayak gini, muka mau taruh di mana?? Maka Ahasyweros mengumpulkan pejabat-pejabatnya, 7 orang pegawai top-nya, untuk memikirkan langkah selanjutnya; dan langkah yang mereka ambil adalah mengubah permasalahan rumah tangga yang sepele jadi urusan keamanan dan ketahanan negara! Di ayat 16-18, Memukan mengatakan: “Wasti, sang ratu, bukan bersalah kepada raja saja, melainkan juga kepada semua pembesar dan segala bangsa yang di dalam segala daerah raja Ahasyweros. Karena kelakuan sang ratu itu akan merata kepada semua perempuan, sehingga mereka tidak menghiraukan suaminya, apabila diceritakan orang: Raja Ahasyweros menitahkan, supaya Wasti, sang ratu, dibawa menghadap kepadanya, tetapi ia tidak mau datang. Pada hari ini juga isteri para pembesar raja di Persia dan Media yang mendengar tentang kelakuan sang ratu akan berbicara tentang hal itu kepada suaminya, sehingga berlarut-larutlah penghinaan dan kegusaran” –maksudnya: ini tidak bisa dibiarkan, ini akan membuat semua istri tidak mau lagi dengar suaminya!Dan solusinya, mereka mau bunuh nyamuk dengan bom atom. Dikatakan ayat 19: “Jikalau baik pada pemandangan raja, hendaklah dikeluarkan suatu titah kerajaan dari hadapan baginda dan dituliskan di dalam undang-undang Persia dan Media, sehingga tidak dapat dicabut kembali, bahwa Wasti dilarang menghadap raja Ahasyweros dan bahwa raja akan mengaruniakan kedudukannya sebagai ratu kepada orang lain yang lebih baik dari padanya. Bila keputusan yang diambil raja kedengaran di seluruh kerajaannya — alangkah besarnya kerajaan itu! —, maka semua perempuan akan memberi hormat kepada suami mereka, dari pada orang besar sampai kepada orang kecil.”
Saudara lihat di sini ada 3 hal yang aneh, bahkan kocak. Yang pertama, inilah pejabat-pejabat negerinya Ahasyweros yang berpikir bahwa hukum bisa mengatur masalah respek, bahwa respek itu entah bagaimana bisa di-undang-undang-kan. Yang kedua, mengenai untuk apa sebenarnya undang-undang ini diusulkan; Memukan mengatakan problemnya adalah ‘kalau dibiarkan, nanti semua orang akan dengar gosipnya, jadi solusinya: kita bikin Keppres, keluarkan undang-undang, supaya semua orang dengar’! Ada yang aneh. Jadi di sini dia mengatakan ‘wajibkan semua orang dengar, dari India sampai Etiopia, biar semua orang tahu bahwa Raja Ahasyweros memerintahkan Ratu Wasti untuk menghadap tapi Wasti menolak –itu solusinya’ [ini kemudian diterjemahkan dalam tiap bahasa di 127 propinsi dari India sampai Etiopia]. Jadi di sini maksudnya supaya semua orang tahu, supaya yang tidak tahu jadi tahu hal yang memalukan itu! Yang ketiga –yang paling bodoh—yaitu tentang hukuman Wasti. Kita tahu, hukumannya adalah dia dicabut dari ke-ratu-annya, tapi perhatikan kalimatnya: ‘Wasti dilarang menghadap raja Ahasyweros’. Saudara bayangkan waktu Wasti mendengar ini, dia akan ngakak, ‘emang itu ‘kan yang gua mau, gua ‘gak mau menghadap elu; emang itu problemnya, jadi sekarang gua dilarang hadap elu, makasih, ya’. Lalu terakhir di ayat 21 dikatakan: ‘Usul itu dipandang baik oleh raja serta para pembesar, jadi bertindaklah raja sesuai dengan usul Memukan itu’.
Itulah ceritanya; apa yang bisa kita pelajari dari cerita ini?
Pertama, kita melihat apa yang kitab Ester lakukan, yaitu membongkar kebodohan di balik hal-hal yang dikejar oleh dunia. Kitab ini menunjukkan secara radikal bahwa segala sesuatu yang dikejar oleh dunia, itu tidak akan pernah cukup untuk memuaskan Saudara dan saya. Kita pikir kita sudah tahu hal ini, tapi penggambaran dalam kisah ini membuat kesadaran ini naik level. Raja ini membuat pesta 187 hari, dan di akhir pesta tersebut, dia happy pun tidak. Jikalau pesta 187 hari yang memamerkan semua harta yang dunia inginkan –bahkan yang dunia tidak kebayang untuk menginginkan—itu semua tidak bisa memuaskan sang raja, maka mengapa kita pikir hal-hal yang hari ini kita kejar bisa memuaskan kita?? Kalau saja aku bisa dapat kerjaan yang lebih baik, pasti …, kalau saja aku dapat dia jadi pacarku, pasti …, kalau saja aku punya rumah, ‘gak tinggal di apartemen kecil ini, pasti …, kalau saja aku bisa punya anak …, kalau saja aku ganteng …, dst., dst. Dan versi yang sedikit lebih “rohani”, kalau saja Gerejaku …, kalau saja pendetaku …, kalau saja jemaatku … . Tapi Saudara, ini semua tidak akan bisa memuaskan kita. Dunia tidak pernah akan sanggup memuaskan kita. Kalau bahkan Ahasyweros saja tidak bisa dicukupi dengan 127 propinsi, dengan pesta 187 hari, maka kita bisa tahu betapa tidak ada satu pun di dunia ini yang cukup besar untuk dapat memuaskan Saudara dan saya.
Yang kedua, kitab ini menunjukkan kepada kita bagaimana cara kerja Tuhan menjaga janji-Nya, meskipun dalam tahap-tahap yang kita tidak bisa lihat. Kalau Saudara mau melihat “Tuhan yang tidak kelihatan”, maka kitab ini punya solusinya, yaitu: WAKTU. Kitab Ester menunjukkan kepada kita, bahwa kita kadang perlu menunggu untuk bisa melihat apa yang Tuhan kerjakan. Dalam kitab Ester tidak ada istilah ‘Tuhan’. Dan pasal 1 ini pun demikian, karena yang diceritakan adalah raja yang pamer harta, yang mabuk, lalu pecat ratu karena ratunya tidak mau muncul, lalu bikin Keppres yang bodoh sekali; di mana Tuhan di situ?? Bayangkan kalau ini terjadi di Indonesia, misalnya Presiden ambil cuti 6 bulan bersama semua pejabat negara dan kabinet, lalu pakai uang negara untuk pesta gila-gilaan, dan di akhir pesta itu Presiden menceraikan Ibu Negara, lalu mengeluarkan Keppres yang mengatakan “istri harus menghormati suami”; seandainya ini terjadi, maka semua media dari Kompas sampai Pos Kota akan freak-out, dan tidak terbayangkan entah apa yang akan dibicarakan di grup-grup WA orang Kristen. Seandainya ini terjadi, siapa yang tidak akan berkata “di mana Tuhan??” Inilah yang terjadi dalam kitab Ester, dan penulisnya tidak freak-out karena dia percaya God is in control, Allah sedang bekerja meskipun kita tidak bisa melihat apa yang dikerjakan-Nya, bahwa apapun yang terjadi Tuhan akan tetap menjaga janji-janji-Nya. Dan memang benar sekali, karena yang terjadi di pasal 1 ini memulai sebuah rantai benang kejadian-kejadian yang berakhir dengan penyelamatan umat Tuhan; Tuhan benar-benar sedang bekerja! Saudara bisa merenungkan ini sejak awal sekali, sejak pasal 1, bahkan sebelum kita membahas pasal-pasal terakhir. Seandainya tidak ada pesta, raja tidak mabuk. Kalau raja tidak mabuk, dia tidak panggil ratu. Ratu tidak dipanggil, ratu tidak menolak. Ratu tidak menolak, maka raja tidak marah. Raja tidak marah, tidak akan keluar Keppres. Tidak keluar Kepppres, berarti ratu tidak dipecat. Ratu tidak dipecat, maka tidak ada Ester. Tidak ada Ester, tidak ada orang Yahudi, karena rencana Haman untuk membunuh orang Yahudi bukan cuma di Susan tapi juga di seluruh 127 propinsi dari India sampai Etiopia –termasuk Palestina. Dan kalau tidak ada orang Yahudi, tidak ada Yesus Kristus. Tidak ada Yesus, tidak ada harapan.
Saudara lihat, Allah bekerja; dan Allah bekerja bahkan dalam situasi seperti itu. Tuhan bekerja sekarang. Dalam segala ketidakstabilan politik, di tengah-tengah pandemi, di tengah-tengah segala macam berita yang kita baca di media, di tengah-tengah segala yang terjadi di dunia hari ini, Saudara tahu apa yang Saudara butuhkan? Saudara bukan butuh baca lebih banyak berita, Saudara bukan butuh baca lebih banyak analisa; satu hal yang Saudara butuhkan adalah diingatkan akan kitab Ester.
Hal yang ketiga, yang paling penting, kitab Ester juga mengingatkan kita satu hal, bahwa di atas semua yang dunia tawarkan, Yesus jauh lebih baik. Coba Saudara pikirkan, pasal 1 ini bicara mengenai seorang raja, yang memanggil pengantinnya untuk datang ke suatu perjamuan. Saudara familier dengan hal ini? Ada cerita yang mirip, yang lebih besar, yang lebih dulu, tapi juga lebih klimatik, lebih belakangan, mengenai Seorang Raja lain yang memanggil pengantinnya ke suatu perjamuan juga. Alkitab memberitahu kita bahwa Yesus-lah Raja itu, Dia Raja segala raja, dan Gereja-Nya adalah pengantin-Nya. Tentu saja kitab Ester bukan bicara nubuatan mesianik, tapi sebagaimana Yesus sendiri katakan, segala sesuatu yang ada dalam Alkitab itu bicara mengenai Dia –dan kita bisa melihat hal tersebut di bagian ini. Kita bisa melihatnya dengan pendekatan antitesis, bahwa yang ada di bagian ini adalah seorang raja yang ceritanya mirip dengan Raja Yesus, tapi juga di sisi lain dia raja yang tidak bisa lebih beda lagi dari Raja Yesus. Raja Ahasyweros menyuruh 7 pegawainya untuk mengambil istrinya supaya dia bisa memamerkan istrinya sebagai semacam objek seks di hadapan segudang laki-laki yang mabuk. Ini raja yang tidak peduli istrinya, raja yang demi harga dirinya rela mengumbar kemaluan istrinya. Dan ketika istrinya secara tepat menolak hal tersebut, raja ini mengusir istrinya selama-lamanya. Bagaimana dengan Raja Yesus?
Ketika Dia memanggil pengantin-Nya, Yohanes mengatakan: “Dia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tapi milik kepunyaan-Nya ini tidak menerima Dia”. Meskipun Dia telah menjadikan mereka, telah memberikan mereka kehidupan, telah memberikan nyawa-Nya bagi mereka, sampai hari ini pengantin-Nya itu senantiasa menolak Dia, mencari hal-hal lain untuk menggantikan tempat-Nya, terpikat dengan gilang-gemilang yang ditawarkan dunia –harta, seks, posisi, kuasa, status, penampilan—meski semua itu tidak akan bisa memuaskannya. Oleh sebab itu, sebagai seorang Raja, apa yang harusnya Yesus lakukan? Seharusnya Yesus membuang kita dari hadapan-Nya. Demikianlah hukumnya –tidak seperti Ahasyweros yang kecolongan, setelah kejadian baru bikin hukum baru. Raja Yesus tidak perlu tulis hukum baru karena hukumnya sudah ada sejak dulu, hukum yang mengatakan dengan jelas “upah dosa ialah maut”, dan siapa pun yang berdosa terhadap Raja ini harusnya binasa di neraka, tidak bisa lagi hidup di hadirat Tuhan. Itulah penghukuman yang kita semua patut menerima –tapi tentu saja bukan itu yang raja Yesus lakukan. Apa yang Dia lakukan? Dia memanggil pengantin-Nya; dan ketika pengantin-Nya menolak untuk datang, Dia sendiri yang datang kepada si pengantin.
Selanjutnya, sementara Ahasyweros menjatuhkan hukuman kepada Wasti dengan diusir dari hadiratnya, maka sebaliknya yang Raja Yesus lakukan adalah Dia mengambil penghukuman dan dosa-dosa kita dengan naik ke atas kayu salib, dan di sana Dia terusir dari hadapan Bapa. Apa tujuannya Dia melakukan semua ini? Yaitu supaya Dia bisa menjamu kita dalam sebuah pesta perjamuan yang belum pernah disaksikan dunia, yang kemegahannya akan membuat kaget bahkan ahasyweros-ahasyweros dunia ini. Yesaya 25:6-8, “TUHAN semesta alam akan menyediakan di gunung Sion ini bagi segala bangsa-bangsa suatu perjamuan dengan masakan yang bergemuk, suatu perjamuan dengan anggur yang tua benar, masakan yang bergemuk dan bersumsum, anggur yang tua yang disaring endapannya. Dan di atas gunung ini TUHAN akan mengoyakkan kain perkabungan yang diselubungkan kepada segala suku bangsa dan tudung yang ditudungkan kepada segala bangsa-bangsa. Ia akan meniadakan maut untuk seterusnya; dan Tuhan ALLAH akan menghapuskan air mata dari pada segala muka; dan aib umat-Nya akan dijauhkan-Nya dari seluruh bumi, sebab TUHAN telah mengatakannya.”
Apa yang paling menyolok dari ayat ini? Yaitu: dunia bisa menawarkan kepada kita semua anggur dan masakan yang melimpah, tetapi Yesaya mengatakan bahwa di atas semua itu ada suatu kain/cadar yang menyelubungi dan membayangi segala suku bangsa. Bayang-bayang yang tidak satu anggur pun bisa membuangnya. Bayang-bayang itu adalah maut. Ini berarti, dalam dunia ini segala kenikmatan, harta, kemuliaan, senantiasa dihantui oleh bayang-bayang kematian. Semua dari kita di sini yang pernah dikagetkan dengan berita bahwa ada teman atau kenalan, atau keluarga, atau bahkan diri Saudara sendiri, yang bersentuhan dengan Covid, Saudara tahu apa artinya yang saya katakan di sini –bayang-bayang yang menutupi segala sesuatu itu. Semua kemuliaan dan kenikmatan dunia, pupus dalam momen itu. Semua panggung yang telah kita bangun sedikit demi sedikit dengan begitu lama dan begitu teliti, runtuh pada momen itu. Itu sebabnya Saudara lihat di ayat 7 dan 8 tadi, janji Tuhan dalam perjamuan ini: Di atas gunung ini TUHAN akan mengoyakkan kain perkabungan itu, Ia akan meniadakan maut untuk seterusnya. Inilah Raja kita, dan inilah perjamuan yang Dia sedang mengundang kita, karena di atas gunung itu Yesus mati mengambil kematian kita; dan Dia menelan kematian itu dengan Dia bangkit –inilah buktinya Dia menelan kematian selama-lamanya. Itu sebabnya Dia bisa mengundang kita ke dalam suatu perjamuan, yang tidak lagi dibayang-bayangi dengan maut.
Hari ini kita menghabiskan hidup untuk apa? Sadar atau tidak sadar, semua dari kita sedang menghabiskan hidup kita untuk mencari suatu perjamuan; dan inilah perjamuan yang Saudara cari-cari. Perjamuan di mana Sang Pengantin Pria membuka cadar pengantin wanitanya dan menyeka segala air mata dari mukanya. Ini satu-satunya pernikahan, yang ketika Saudara memasukinya, Saudara tidak perlu mengatakan “sampai maut memisahkan kita”. Ketika dalam pemberkatan nikah, Saudara mengucapkan “sampai maut memisahkan kita”, di situ Saudara memegang tangan pasangan; bayangkan kita sedang memegang tangan Pengantin Pria itu, dan ketika kita mau mengatakan “sampai maut memisahkan kita”, kita melihat di tangan Sang Pengantin Pria ada bekas paku, maut sudah ditelan oleh Pengantin Pria ini, maka inilah pernikahan yang kita tidak perlu mengatakan “sampai maut memisahkan kita”.
Inilah Raja yang telah datang, dan akan datang lagi segera. Inilah Rajamu dan Rajaku. Dan sementara kita hidup di dunia ini menunggu Dia datang, tinggalkan kursimu di perjamuan-perjamuan dunia, lupakan panggung-panggung dunia yang menarikmu selama ini. Rajamu memanggil engkau kepada perjamuan yang sejati, satu-satunya perjamuan yang akan memuaskanmu.
Kiranya kita diberikan kekuatan untuk menantikan kedatangan Tuhan kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading