Kalau kita bandingkan dengan bagian terdahulu, secara tepat ayat 27 ini memulai suatu bagian yang baru. Di ayat 26 selesailah pembicaraan antara Yesus dan perempuan Samaria, kemudian ayat 27 murid-murid-Nya datang. Sebelumnya telah dikatakan bahwa murid-murid itu pergi membeli makanan, dan dalam ketidak-hadiran mereka itulah Yesus bercakap-cakap dengan perempuan Samaria.
Ayat 27 Pada waktu itu datanglah murid-murid-Nya dan mereka heran, bahwa Ia sedang bercakap-cakap dengan seorang perempuan. Murid-murid heran karena Yesus bercakap-cakap dengan seorang perempuan, bukan karena Yesus berbicara dengan perempuan ini, dan juga bukan karena secara partikular Yesus berbicara dengan perempuan Samaria. Di zaman itu ada tradisi bahwa laki-laki tidak berbicara dengan perempuan, bahkan meski diceritakan Yesus berjumpa dengan perempuan ini di siang hari, itu tidak juga banyak menolong. Itu sesuatu yang melanggar tradisi –ini sudah pasti bukan ajaran Firman Tuhan– yang sudah dihidupi sedemikian rupa. Ada kutipan dari salah satu tulisan rabi-rabi Yahudi: “One should not talk with a woman on the street, not even with his own wife, and certainly not with somebody else’s wife, because of the gossip of man”, dan dalam literatur yang lain: “It is forbidden to give a woman any greeting”. Tradisi seperti ini sudah mapan, dan ini adalah another barrier yang dibangun manusia, yang Yesus mendobraknya. Yesus tidak ada motivasi sengaja bikin provokasi untuk melanggar adat istiadat yang ada, tapi ada kepentingan yang lebih tinggi dari sekedar menjaga tradisi semacam itu, bahwa dalam kesaksian kita tidak perlu dibatasi barrier-barrier seperti ini. Lagipula gambaran seperti ini lebih banyak diwarnai dengan ketakutan –takut di-gosipin orang– tidak dengan hati nurani yang tulus, tidak ada kebebasan Kristen. Barangsiapa percaya kepada Allah, dia menyembah Allah itu dalam Roh dan kebenaran, termasuk di dalamnya ada the idea of freedom / kebebasan. Kebudayaan Timur takut sekali diomongin orang lain, seolah ada kontrol waktu mengerjakan segala sesuatu, sangat terjajah oleh perkataan orang lain. Sebaliknya, kebudayaan Barat sama sekali tidak peduli omongan orang lain, itu urusan lu bukan urusan saya, highly individualistic. Dua-duanya bukan ajaran Alkitab. Yesus tidak diikat ketakutan-ketakutan seperti ini. Waktu kita melayani dan diomongin orang, itu wajar; tapi yang lebih penting adalah bagaimana kita mempertanggung-jawabkan sikap kita di hadapan Tuhan, apakah Tuhan berkenan atau tidak dalam hidup kita; bukan berpusat pada judgement perkataan manusia. Tentu saja poinnya bukan kita harus melawan semua norma masyarakat, Kekristenan tidak mengajarkan anarkhis.
Yang menarik, dalam bagian ini murid-murid heran tapi Alkitab mencatat di ayat 27: Tetapi tidak seorangpun yang berkata: "Apa yang Engkau kehendaki? Atau: Apa yang Engkau percakapkan dengan dia?" Murid-murid tahu bahwa Yesus somehow melanggar adat istiadat, tapi mereka ada semacam kepercayaan kepada Yesus sehingga mereka tidak mendebat, mempertanyakan, kritik, dan semacam itu. Mereka ada certain trust kepada Yesus. Ada sesuatu yang baru yang mereka tidak mengerti tapi mereka diam, mereka mau belajar. Kita rindu dalam gereja ada kepemimpinan yang memiliki trust dan bukannya kecurigaan, seperti Yesus. Waktu kecurigaan berkembang dalam kehidupan kita, itu akhirnya sangat menguras energi. Bukan berarti kita mau mengukuhkan kebudayaan Timur yang seringkali dituduh Barat, bahwa orang Timur itu kalau sudah mengikut, dia mengikut secara buta tidak lagi memilah-milah yang benar dan salah. Murid-murid ini tahu ada yang salah dalam pikiran mereka tapi mereka ada kepercayaan kepada Yesus, bahwa ‘Yesus pasti tahu yang dilakukan-Nya karena Dia itu Guru kita’. Memang kita bukan Yesus, dan tidak ada yang boleh menempatkan diri sebagai Yesus sehingga tidak bisa dikritik sama sekali. Tapi poin yang mau ditekankan adalah waktu kita di rumah dididik oleh orang tua, waktu kita di sekolah diajar guru, waktu kita di gereja ada pimpinan-pimpinan gereja, diaken, dsb., lalu kita bisa mengembangkan prinsip “kepercayaan” daripada “kecurigaan”, maka banyak masalah sebetulnya tidak perlu ada, seperti murid-murid di sini tidak ada perdebatan dengan Yesus. Mereka belum mengerti, dan mereka akan mencari tahu tentang ketidak-mengertiannya, mereka akan belajar dari Yesus Kristus, seperti kita juga terus akan belajar dari Yesus Kristus. Dalam bagian ini sampai akhir pun kita tidak membaca adanya penjelasan secara eksplisit alasan Yesus bergaul dengan perempuan atau orang Samaria, bahkan mungkin very late mereka baru mengerti. Petrus juga mengerti hal ini sangat belakangan waktu dia harus melayani Kornelius dan mendapat penglihatan binatang-binatang haram lalu Tuhan suruh makan. Tuhan punya waktu-Nya sendiri untuk menjelaskan. Bagian ini mungkin bukan yang paling penting dari perikop ini, tapi tetap bisa kita gali. Murid-murid ada suatu kepercayaan di dalam ketidak-mengertiannya –yang kita percaya mereka akhirnya mengerti– dan mereka diam dulu. Mereka menghargai Yesus.
Ayat 28: Maka perempuan itu meninggalkan tempayannya di situ lalu pergi ke kota … . Kalau kita baca secara wajar, waktu murid-murid datang, mungkin mereka kaget, dan ekpresi kekagetan ini mungkin tidak bisa ditutupi juga. Mungkin perempuan ini lalu ikut kaget, dan dia tahu diri bahwa kehadirannya di situ tidak mengenakkan bagi murid-murid Yesus, maka dia pergi. Kita tidak perlu terlalu tekankan bagian yang agak spekulatif ini, tapi yang Alkitab catat adalah bahwa perempuan itu meninggalkan tempayannya di situ lalu pergi ke kota dan berkata kepada orang-orang yang di situ: "Mari, lihat!… “ Dia pergi bukan karena sakit hati tapi karena dia mau bersaksi. Ini poin penting. Berbicara tentang pertumbuhan gereja di Indonesia, seringkali yang terjadi adalah karena satu orang kecewa pada gerejanya lalu pergi ke gereja lain, sehingga gereja lain tsb. “bertumbuh”, menerima orang yang kecewa dari gereja sebelah; kita jarang sekali memenangkan orang yang tidak percaya lalu jadi percaya. Ini tantangan penginjilan. Perempuan dalam perikop ini pergi bukan karena sakit hati tapi dia mau jadi saksi, jadi berkat. Saudara boleh pindah gereja kalau jelas bahwa di gereja itu ‘saya akan jadi saksi yang jauh lebih efektif dipakai oleh Tuhan’.
Perempuan ini pergi untuk memberitakan Injil kepada orang-orang di sekitarnya: "Mari, lihat!… “ (ayat 29). Sekali lagi, bahasa Yohanes “seeing is believing”; bukan cuma melihat dengan mata fisik tapi melihat dengan mata hati. Lihat siapa? Lihat Kristus, “Di sana ada seorang yang mengatakan kepadaku segala sesuatu yang telah kuperbuat. Mungkinkah Dia Kristus itu?" Bagian ini padat sekali. Di situ ada suatu keragu-raguan “mungkinkah Dia Kristus itu?” Terjemahan bahasa Inggrisnya ada nuansa keragu-raguan yang lebih jelas: “Come and see a man who told me everything I have ever done. He cannot be The Messiah, can’t He?” Di sini kecenderungannya keraguan lebih banyak daripada percaya-nya, “Dia ini bukan Mesias, betul kan?” Yang menghibur kita, seluruh cerita ini berakhir dengan happy ending,; perempuan ini percaya, dan bukan cuma percaya melainkan jadi saksi yang sangat powerful dipakai Tuhan. Poin yang saya mau katakan adalah “bukan tanpa keragu-raguan”, dan keragu-raguan itu bukan sedikit, tapi sambil ragu-ragu sambil mau percaya. Yang lebih penting di sini adalah arahnya, bukan berapa persen kandungan keragu-raguannya. Contoh sederhana: orang ragu-ragu 50 % percaya 50 % tapi arahnya mau percaya, mau belajar rendah hati; yang seperti ini lebih ada harapan daripada orang yang percayanya 80 % keragu-raguan cuma 20 %, tapi arahnya menuju kepada ketidak-percayaan. Kita manusia banyak ragu-ragu, dan Tuhan itu sabar sekali meng-akomodasi keragu-raguan kita. Iman yang sejati itu dalam proses bukan tanpa keragu-raguan; kalimat tadi tidak bisa lebih jelas lagi, He cannot be The Messiah, can’t He? ; kalau diterjemahkan bahasa Indonesia “apa ya mungkin Dia ini Mesias?” , tapi terjemahan LAI lunak sekali “mungkinkah Dia Kristus itu?” Mungkin karena menurut kita di dalam iman tidak boleh ada keragu-raguan sama sekali. Sebagian gereja mengajarkan bahwa iman itu tidak boleh ada keragu-raguan sama sekali. Secara sepintas seperti benar, memang iman itu berlawanan dengan keragu-raguan, tapi waktu kita baca Alkitab banyak orang yang percaya itu dipenuhi keragu-raguan. Bagi saya cerita ini lebih indah, bukan membenarkan keragu-raguan tapi yang penting kita bergerak ke arah mana. Perempuan ini ada keragu-raguan di dalam dirinya, tapi di dalam keraguannya itu dia tetap memberitakan kepada orang lain. Lagi-lagi ini tidak cocok dengan filsafat penginjilan yang sering kita dengar yang mengatakan “kalau lu sendiri ‘gak pasti, jangan mengajar orang lain” Kita secara tidak sadar memiliki banyak paham perfeksionisme terselubung; kalau hidupmu sendiri belum bener, lu jangan melayani Tuhan. Pertanyaannya, kapan kita bisa benar 100 %?
Perempuan ini diteguhkan di dalam pelayanannya karena sudah ada bibit kepercayaan. Ini yang lebih penting, bukan mengukur kesempurnaan seseorang atau level seseorang. Ini adalah gerakan seorang yang mau percaya, yang belum sempurna kepercayaannya, dan dia tetap mengajak orang untuk melihat kepada Kristus. Dia membawa orang kepada Kristus, bukan kepada keragu-raguannya. Ini bukan orang yang sambil menginjili sambil terus menceritakan “saya ini orang yang lemah, yang kurang, yang tidak mampu”, dst. sehingga akhirnya pembicaraan jadi self-centered, bukan membawa orang kepada Kristus tapi kepada kelemahannya sendiri. Ini bukan penginjilan. Saudara pikir sedang memuliakan Tuhan waktu bicara kelemahan diri, tapi itu bukan memuliakan Tuhan. Kita tidak dipanggil untuk pameran diri, entah itu pameran kehebatan kita maupun pameran kebobrokan kita; dua-duanya bukan Kristus. Kristus itu bukan kehebatan kita, Kristus juga bukan kebobrokan kita.
Apa yang membuat perempuan ini percaya? Dalam ayat 29 tadi, sangat menarik, Saudara membaca: “Di sana ada seorang yang mengatakan kepadaku segala sesuatu yang telah kuperbuat “. Dia percaya karena dirinya ter-ekspos di bawah terang Firman Tuhan. Yesus sebelumnya mengatakan, “Betul, kamu sudah punya 5 suami, dan yang sekarang ada padamu itu bukan suamimu”. Perempuan ini percaya karena perkataan Yesus ini, karena dirinya ditelanjangi di bawah terang Firman Tuhan. Inilah orang yang betul-betul diberkati. Respon seperti ini tidak otomatis. Ada orang yang dirinya ter-ekspos di bawah terang Firman Tuhan lalu tersinggung, marah. Di Alkitab pun juga ada orang-orang seperti ini, yaitu kelompok orang-orang Farisi –the self rigteouss itu. Mereka diterangi juga karena Firman Tuhan tidak pandang bulu datang sebagai terang yang menelanjangi semua kegelapan, baik itu perempuan Samaria, ataupun penguasa-penguasa di Bait Allah dan pemimpin-pemimpin agama tanpa terkecuali. Tapi ada 2 macam respon di sini. Yang satu percaya dan malah bersyukur, bukan marah tapi malah datang kepada Tuhan, mau percaya, karena dia dibawa kepada pengenalan akan dirinya sendiri. Sementara orang-orang Farisi terus mengeraskan hati setelah Yesus juga bicara kepada mereka tentang yang telah mereka perbuat, “kamu kasih persembahan memenuhi kewajiban-kewajiban Bait Allah, tapi kamu sendiri menelantarkan keluargamu”; tidak ada lagi waktu untuk keluarga karena saya sibuk dalam pekerjaan Tuhan, sudah berdosa, rasionalisasi pula. Yesus di situ juga membawa mereka kepada pengenalan diri, tapi mereka bukan saja tidak bertobat, mereka dipenuhi dengan kebencian dan sakit hati yang lebih dalam lagi sampai akhirnya membawa kepada persengkongkolan mau membunuh Kristus. Apa “salahnya” Kristus? Membawa mereka kepada pengenalan diri sendiri itu. Tapi perempuan ini mengatakan, “Di sana ada seorang yang mengatakan kepadaku segala sesuatu yang telah kuperbuat “, ada pengharapan yang memperjumpakan perempuan ini dengan dirinya sendiri dan dengan Kristus itu; meski masih ada ragu-ragu di sini.
Selanjutnya, mulai ayat 31kamera dialihkan kepada murid-murid-Nya. Murid-murid mengajak Yesus makan, "Rabi, makanlah." Tapi kemudian Yesus menjawab: "Pada-Ku ada makanan yang tidak kamu kenal" (ayat 32). Ini sangat Johannine; Yesus menunjuk kepada spiritual realm, Yesus mau mengajar mereka tentang dunia yang tidak kelihatan, bukan yang kelihatan. Tapi murid-murid pun tidak mengerti, "Adakah orang yang telah membawa sesuatu kepada-Nya untuk dimakan?" (ayat 33). Tidak jauh beda dengan perempuan Samaria maupun Nikodemus, murid-murid Yesus sendiri juga tidak mengerti perkara rohani, yang dilihat cuma hal yang kelihatan. Yesus bicara tentang makanan rohani, murid-murid pikir soal makanan jasmani. Sampai Yesus harus mengatakan lagi, "Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” (ayat 34), yaitu makanan rohani.
Ada tafsiran yang mengatakan bahwa perikop yang kita bahas minggu lalu dengan perikop ini saling melengkapi. Perikop yang lalu bicara tentang “minum air hidup” –minuman– dan perikop ini bicara tentang makanan; saling melengkapi. Tapi juga saling melengkapi dalam pengertian waktu bicara tentang air hidup, Yesus dalam posisi yang memberikan kebutuhan rohani-nya perempuan Samaria ini; sedangkan waktu bicara makanan, bukan makanan yang akan diberikan Yesus kepada murid-murid-Nya melainkan makanan yang olehnya Yesus sendiri hidup, yaitu melakukan kehendak Allah. Memang betul makanan ini juga nantinya diberikan kepada murid-murid-Nya supaya mereka juga belajar melakukan kehendak Bapa, tapi sebelum Yesus memberikan, Yesus sendiri sudah makan makanan itu. Apa yang kita bisa belajar dari sini? Kita tidak bisa jadi saksi Tuhan, meyakinkan orang tentang kebutuhan rohani mereka, sementara kita sendiri tidak punya selera akan kebutuhan spiritual. Kalau yang ada dalam pikiran kita cuma kekayaan, daya tarik kemegahan dan kemuliaan dunia, pujian, dsb. maka bagaimana kita bisa menjadi saksi?? Ini poin penting. Yesus itu Tuhan, tapi Dia juga Manusia; Ilahi sepenuhnya, Manusia sepenuhnya, dan kita lihat Yesus mengatakan, ‘ini lho, Saya juga punya makanan, makanan yang tidak kamu kenal’. Yesus sendiri perlu makan, bukan makan secara fisik tapi makan secara rohani –spiritual eating– ada selera rohani di dalam diri Yesus maka kesaksian-Nya sangat berkuasa. Saudara jangan langsung bilang “Dia kan Tuhan”, lalu maksudnya karena Dia itu Tuhan sedangkan kita orang berdosa, jadi kita tidak usah belajar? Kalimat penolakan demi penolakan seperti ini akhirnya ‘kalau begitu kita tidak usah ikut Yesus, Dia Tuhan soalnya’, bukankah jadi begitu? Ini sangat menyesatkan. Justru yang dicatat di dalam Injil adalah Yesus itu inkarnasi karena Dia Tuhan, Dia menjadi daging supaya kita bisa belajar, supaya kita bisa ikut Dia, supaya kita tidak ada alasan dengan mengatakan “Dia Tuhan soalnya”. Justru karena Dia menjadi daging sama seperti kita, maka it’s possible untuk orang yang hidup di dalam tubuh seperti kita mengalami hal ini.
Injil –cerita dalam kehidupan Yesus– sebetulnya mengantisipasi atau merupakan model/ teladan/ prototipe bahwa nanti akan terjadi dalam kehidupan jemaat mula-mula. Misi ke Samaria kita tahu dalam Kisah Para Rasul, tapi sebelumnya Yesus telah pergi ke sana terlebih dahulu, yaitu daerah orang-orang yang dianggap second class yang seharusnya tidak bergaul dengan mereka. Untuk konteks kita sekarang, kita juga punya semacam “orang-orang Samaria” kita, orang-orang yang kita merasa tidak nyaman bergaul dengan mereka, orang-orang yang kita merasa tidak kelasnya untuk berbicara dengan dia, orang-orang yang ‘bukan selevel dengan saya’. Tapi dalam penginjilan, kita diberkati Tuhan ketika kita bisa mendobrak barrier-barrier itu, baik itu barrier Yahudi – Samaria, laki-laki – perempuan, atau mungkin usia, tingkat pendidikan, status sosial, keadaan finansial, dst. Semua barrier itu diselesaikan oleh Yesus Kristus. Dan Yesus mengajak murid-murid-Nya untuk menyadari kepentingan ini, supaya sebelum melayani, kita sendiri dikuasai oleh spiritual appetite. "Pada-Ku ada makanan yang tidak kamu kenal" (ayat 32), ini bicara makanan rohani, "Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” (ayat 34).
Lalu Yesus bergerak ke pembicaraan tentang metafor tuaian / menuai. Lagi-lagi di sini Dia bicara tentang spiritual realm waktu mengatakan: “Lihatlah sekelilingmu dan pandanglah ladang-ladang yang sudah menguning dan matang untuk dituai” (ayat 35). Terjemahan bahasa Indonesia ini ada perbedaan, bahasa Inggris-nya juga tidak terlalu jelas, tapi dalam bahasa aslinya istilah yang dipakai “putih”. Lalu ada commentary yang memberi tafsiran menarik, dipakai istilah putih karena memang bicara tentang ladang yang putih oleh bunga putih; dan orang-orang Samaria juga suka pakai baju putih, jadi ini seperti menuai orang-orang Samaria yang berdatangan itu. Tapi ini juga bisa menimbulkan ketakutan dan syak wasangka. Ini another barrier dan kita belajar dari Yesus Kristus, Dia menyelesaikan barrier itu.
Yang tidak kalah menarik adalah prinsip tentang menabur dan menuai. Di sini dikatakan “penabur dan penuai sama-sama bersukacita” (ayat 36), tidak penting siapa yang lebih dulu, siapa yang mengakhiri. Kalau kita terlalu peka dengan persoalan ‘saya yang mulai, dia langsung selesaikan seperti mau mengambil jasa saya padahal saya yang mulai’ atau sebaliknya ‘dia cuma bisa mulai doang, ada kepala ‘gak ada buntutnya, selalu lagi-lagi saya yang menyelesaikan, selalu saya giliran cuci piring kotor’ –tidak rela jadi buntut, maunya jadi kepala– ini bukan gambaran visi Kerajaan Allah melainkan orang yang dipenuhi sensitivitas ego pribadi. Paulus pernah mengatakan di Korinstus ketika terjadi suatu konflik –ada grouping yang cukup parah di jemaat tersebut– dia dengan rileksnya mengatakan, “Saya yang menanam, Apolos yang menyiram, tetapi yang memberikan pertumbuhan yaitu Tuhah, Allah”. Paulus bukan mengingatkan mereka, lu jangan lupa ya, gua yang menanam, Apolos itu cuma menyiram. Tidak ada kalimat seperti itu. Paulus merelativisasi dirinya sendiri, dan juga merelativisasi Apolos; yang menanam ataupun menyiram itu tidak terlalu penting, yang penting itu Tuhan yang memberikan pertumbuhan.
Kita jangan gusar waktu ada orang lain menabur duluan di tempat kita menuai. Juga jangan gusar kalau kita menabur ternyata orang lain yang menuai. Kalau menurut Yesus Kristus, baik yang menabur maupun menuai seharusnya sama-sama bersukacita karena view-nya adalah pekerjaan Tuhan, bukan kepentingan siapa yang menabur, siapa yang memulai / initiate, siapa yang completing, dsb. Itu semua harusnya no issue sama sekali, yang penting adalah siapa yang berkarya, yaitu Allah sendiri. Yohanes Pembaptis sendiri, sampai batas tertentu, boleh dibilang dia yang menabur dan Yesus yang menuai, tapi apakah dia mulai jadi insecure atau marah-marah? Tidak. Yang ada dia bersukacita mendengar pekik kemenangan mempelai laki-laki. Yesus, sampai batas tertentu, boleh dibilang Dia menuai yang ditabur oleh Yohanes Pembaptis; tapi Yesus ada juga dalam posisi menabur, Dia yang menabur dan murid-murid-Nya yang menuai. Yesus bukan cuma di posisi menuai, Dia juga mengerti apa artinya jadi penabur lalu orang lain yang menuai. Inilah salah satu kelimpahan –mengerti kehidupan Kristus secara limpah– waktu kita kadang-kadang ditaruh Tuhan dalam posisi penabur, kadang-kadang dalam posisi penuai, bahkan kadang-kadang cuma di rantai tengah yang tidak diingat orang. Pendeta Yadi pernah bicara tentang tembok Cina, kalau kita search siapa yang membangun, akan muncul namanya Kaisar X, padahal kaisar itu menaruh satu batu pun tidak, yang membangun tukang-tukang. Siapa nama tukang-tukang itu? Tidak ada yang tahu; mereka orang-orang yang namanya tenggelam. Yang seperti ini di dalam pekerjaan Tuhan itu biasa, tidak ada yang luar biasa. Yang membuat jadi tidak biasa, karena kita diracuni oleh spirit dunia yang mementingkan pem-posisi-an seperti ini, yang di dalam Kerajaan Allah semuanya relatif, baik yang menuai maupun menabur.
Ayat 37 Sebab dalam hal ini benarlah peribahasa: Yang seorang menabur dan yang lain menuai. Yang menarik, dalam bagian ini kalau kita membaca kritik History of Religion, peribahasa ini arti aslinya sangat negatif. Arti aslinya adalah gambaran sebagaimana satu surat yang dikirim oleh King Iturlim kepada King of Ugarit. King Iturlim keberatan atas orang-orang dari Kerajaan Ugarit yang melintasi perbatasan, masuk ke daerahnya, dan mulai menabur di teritorinya. Surat itu bunyinya: “Kalau seandainya saya dan orang-orang saya masuk ke daerahmu lalu menabur di sana –padahal itu bukan daerah kita– maka kamu silakan menuai, jadi saya yang menabur kamu yang menuai; tapi, karena sekarang orang-orangmu yang menabur di daerah saya –yang bukan daerahmu– maka kita yang menuai”. Jadi maksudnya kamu yang menabur, kita yang menuai, salah sendiri lu menanam di tempat yang bukan daerah lu, kita pasti yang akan menuai, akan jadi milik kita, tidak peduli lu yang menabur. Pengertiannya negatif, gambaran tension kerajaan melawan kerajaan. Itulah gambaran dunia; yang menabur musti yang menuai, kalau saya yang memulai maka semua kredit dari awal sampai akhir harus ada pada saya. Gereja Reformed tidak bicara jasanya manusia tapi kemuliaan Tuhan; kita tidak ada filosofi pelayanan yang memberi ruang manusia dijunjung tinggi, tidak ada tempat untuk itu karena kita mengikuti Yesus yang mengajarkan demikian. Oleh Yesus peribahasa ini justru sengaja dibalik. Sebetulnya peribahasa ini mau mengatakan “siapa yang menabur, dia yang berhak menuai”, tapi Yesus di sini mengatakan “siapa yang menabur, yang lain menuai, tidak ada persoalan”. Ini Kerajaan Allah, bukan kerajaan manusia yang semua ingat jasa masing-masing. Ini Kerajaan Allah, jadi jangan taruh jasa manusia di dalamnya, tidak ada tempatnya di situ. Barangsiapa menabur, yang lain mungkin menuai; kita juga bisa menuai yang ditabur orang lain. Itulah orang yang hatinya luas.
Gereja yang hatinya luas, diberkati Tuhan karena bisa men-distribusi-kan anugerah Tuhan; yang hatinya sempit, pasti tidak diberkati Tuhan karena salurannya juga sempit. Tapi ini jangan jadi motivasi; kita bukan mau jadi berkat supaya makin diberkati Tuhan melainkan dengan tulus. Kalau orang tidak mau menjadi berkat untuk orang lain tapi mau Tuhan terus memberkati dia, dia diberkati untuk apa? Jadi makin mengkristal seperti Laut Mati karena tidak ada saluran keluar? Orang kalau tidak bisa jadi berkat, lalu Tuhan terus memberkati, itu artinya Tuhan sedang mengutuk dia. Gambaran yang menakutkan. Tapi lagi-lagi kita bukannya menyalurkan berkat supaya tidak dikutuk, melainkan karena kita ini memang cuma saluran. Saluran itu tidak penting, yang penting adalah airnya yang membersihkan.
Ayat 37 “Aku mengutus kamu untuk menuai apa yang tidak kamu usahakan; orang-orang lain berusaha dan kamu datang memetik hasil usaha mereka." Ini prophetic view dari Yesus bahwa murid-murid-Nya nanti akan bergerak ke Samaria (di bagian ini belum), bahkan sampai ke ujung bumi. Yesus sudah menabur lebih dulu dan mereka nanti akan menuai, menuai yang tidak kamu usahakan; Sola Gratia. Ada yang memulai, ada yang mengakhiri. Semua kemuliaan kembali kepada Tuhan.
Di bagian terakhir (ayat 39-42) orang-orang Samaria menjadi percaya kepada Yesus karena perkataan perempuan itu. Perempuan yang masih ada keraguan itu, bisa membuat orang percaya. Mengapa? Karena dia membawa orang kepada Kristus bukan kepada keragu-raguannya. Dia bukan membawa orang kepada skeptisismenya tapi kepada Kristus, sembari dia sendiri belajar untuk diyakinkan dalam kesaksiannya. Saya pernah mendengar kesaksian seorang jemaat, yang menarik. Dia mengatakan, “Saya menginjili, semakin saya menginjili, saya semakin yakin Yesus itu betul-betul Tuhan dan Juruselamat”. Mungkin Saudara berpikir, wah bahaya ini orang, berarti dia sendiri masih ragu-ragu, koq berani-beraninya menginjili orang; harusnya 100 % atau kalau perlu 200 % yakin baru bisa menginjili. Tapi kalau kita baca Alkitab, tidak se-perfect itu. Perempuan ini seperti belum completed, imannya masih terbatas, tapi di dalam ketulusannya, di dalam kerinduannya untuk memperkenalkan orang kepada Kristus, di dalam kekagumannya yang polos itu, dia dipakai dan diberkati Tuhan untuk membawa orang kepada Kristus. Banyak orang percaya karena perkataan perempuan ini, “Ia mengatakan kepadaku segala sesuatu yang telah kuperbuat" (ayat 39). Dia tidak malu bahwa ‘ini ada Orang yang bisa tahu dosa-dosa saya, ada Orang yang bisa tahu kelemahan saya, datanglah kepada Dia’, seolah mau mengatakan ‘Dia juga akan membawa engkau untuk mengenal dirimu sendiri dan mengenal Kristus itu, mengenal Tuhan, Juruselamat’.
Lalu waktu orang-orang Samaria itu sampai kepada Yesus, mereka minta kepadanya supaya Ia tinggal (ayat 40). “Tinggal” ini kata kunci dalam Yohanes, seperti tiang awan dan tiang api itu tinggal / berkemah di antara mereka. Yesus bukan cuma Imanuel bagi orang Yahudi, tapi Yesus juga Imanuel untuk orang-orang berbaju putih tadi, orang Samaria. Bukan cuma untuk orang Yahudi, Yesus juga Allah yang beserta orang-orang Samaria. Yesus tinggal pada mereka. Ini tabernakel, Imanuel, Allah yang berinkarnasi.
Ayat 41 Dan lebih banyak lagi orang yang menjadi percaya karena perkataan-Nya. Lalu kalimat terakhir di ayat 42: "Kami percaya, tetapi bukan lagi karena apa yang kaukatakan, sebab kami sendiri telah mendengar Dia dan kami tahu, bahwa Dialah benar-benar Juruselamat dunia." Dua poin yang kita pelajari. Yang pertama, tadinya mereka percaya karena kesaksian orang lain, seperti kita juga mengenal Yesus Kristus melalui pengajaran orang lain. Hal yang wajar. Alkitab juga mengatakan supaya kita jangan lupa akan orang-orang yang pernah mendidik kita, membawa kita mengenal Tuhan. Tapi kemudian ada penekanan bahwa akhirnya mereka mengenal Yesus juga dari first hand experience. Yang tadi second source dan tidak ada yang salah dengan second source bahkan juga third source, kutipan-kutipan, kata orang, dsb. Tapi seperti Ayub mengatakan, “Bukan dari kata orang, saya melihat Engkau dengan mataku sendiri”, ada first hand experience di sini. Ini pertumbuhan iman. Kalau terus menerus dari kata orang lalu suatu saat orang itu berubah, kita kecewa. Tapi kalau kita memiliki first hand experience dengan Tuhan sendiri, kita tidak gampang kecewa pada manusia. Orang tidak seharusnya kecewa kepada Tuhan, tapi orang yang kecewa kepada manusia itu banyak. Maka kita yang seringkali kecewa kepada manusia, mari kita belajar bertumbuh, bertumbuh minta kepada Tuhan first hand experience, “bukan dari perkataanmu lagi, tapi kami sendiri telah mendengar Dia dan kami tahu, bahwa Dialah benar-benar Juruselamat dunia.”
Kita orang Injili akrab dengan titel “Yesus Juruselamat” ini. Hal ini ternyata bukan keluar dari mulutnya Petrus, Yohanes, Yohanes Pembaptis, ataupun Paulus, melainkan dari mulut orang-orang Samaria yang tidak jelas dan sama sekali tidak penting ini. Istilah Juruselamat (Soter) pada saat itu highly polemic karena dalam konteks Gereja mula-mula, Kaisar memperkenalkan dirinya sebagai soter, “saya juruselamat”; lalu orang Kristen bilang, “bukan, Yesus lah Juruselamat,” sehingga banyak yang menderita aniaya, dipenggal, mati martir. Ucapan “Yesus Juruselamat” itu melanggar Caesar cult, sama seperti waktu Yesus disebut sebagai Kurios / Kyrios (Tuhan) karena Kaisar mengumumkan bahwa dirinya itu kurios dan semua orang menyembahnya, tapi orang Kristen bilang “bukan, Yesus itulah Tuhan”. Sekarang dalam penginjilan kita tidak mengalami penganiayaan, mengapa? Bukan berarti kita mau mengejar penganiayaan, tapi poinnya adalah kita tidak dapat istilah yang berpolemik, sehingga penginjilan kita tidak menggigit. Contoh waktu kita memperkenalkan Yesus Juruselamat, sekarang ini tidak ada orang yang mengaku dirinya juruselamat, jadi kita tidak ada benturan dengan siapapun. Ini jauh berbeda dengan penginjilan di dalam Alkitab. Penginjilan di Alkitab taruhannya kepala. Mereka pakai istilah yang pada saat itu begitu establish lalu memberi kesaksian “bukan itu, itu palsu, aslinya Yesus”, bagaimana tidak dibunuh? Sekarang ini kita pakai istilah yang luar biasa di awang-awang, yang orang tidak mengerti. Teologi justru tugasnya adalah menerjemahkan vocabulary di Alkitab ke dalam konteks kita. Kalau kita tidak mau terjemahkan Alkitab ke dalam konteks sehari-hari, ya, artinya tidak usah ada teologi, cuma Alkitab saja. Prinsip sola scriptura yang kita belajar dari para reformator bukan begitu; sola scriptura berpusat kepada prinsip Firman Tuhan tapi bukan berarti tidak perlu ada penterjemahan. Ini kepercayaan kita, salah satu kepercayaan yang paling banyak menerjemahkan Kitab Suci, karena kita percaya itu harus diterjemahkan ke dalam konteks.
Istilah “Juruselamat” itu istilah Alkitab, tidak mungkin salah. Tapi coba perhatikan, istilah “juru” saja sudah kedengaran usang (outdated) bagi kuping kita, orang tahun 2017. Apa kita tidak perlu teologi untuk menterjemahkan apa maksudnya “juruselamat”? Yesus terus menerjemahkan di dalam konteks, Yohanes pun menerjemahkan di dalam konteks mereka juga. Ada commentary menulis, bahwa istilah ‘juruselamat’ sebetulnya bukan vocabulary-nya orang Samaria tapi ada kemungkinan Yohanes penulis Injil menerjemahkan konteks (bukan memalsukan istilah) yang keluar dari mulut orang Samaria menjadi “juruselamat” karena hal ini sangat efektif untuk penginjilan Gereja mula-mula, ada kesaksian melawan penyembahan kaisar, dan bukan tanpa taruhan kepala tadi. Di Samaria, istilah “juruselamat’ mungkin tidak terlalu populer, seperti juga istilah “Mesias” yang dalam tradisi mereka pakai istilah Taheb (penerusnya Musa, dalam kitab Ulangan). Bagaimana penginjilan kita? Kita bisa pakai istilah yang tinggi-tinggi, istilah-istilah vocabulary teologi kita –yang tidak jelas dan tidak sesuai dengan konteks kita– lalu orang tidak mengerti, dan tentu pasti tidak tersinggung. Beda dengan Yesus, Dia penginjilan lalu Dia dibunuh karena ada orang yang tersinggung, marah.
Saudara jangan menuduh kontekstualisasi ini sebagai liberalisme, karena kalau kita baca Alkitab semuanya dipenuhi dengan kontekstualisasi. Salah satu contoh terkenal, Yohanes pakai istilah “Logos”, itu kontekstualisasi. Istilah itu sudah eksisting, sudah dibicarakan dalam filsafat Yunani, tapi kemudian Yohanes mengatakan “pada mulanya adalah Logos”. Dia pakai istilah itu, dan ada koreksi ada modifikasi, ada redemption (penebusan), ada polemik, dsb. Semua tercakup dalam istilah “logos” itu. Dia tidak pakai istilah yang semua orang tidak mengerti dan juga tidak ada jembatan-nya sama sekali. Dia pakai istilah yang dimengerti di dalam konteks, bukan karena sengaja mau polemik, tapi bahwa dalam pemberitaan Injil yang sejati seringkali polemik termasuk di dalamnya, tidak bisa dipisahkan. Kalau kita memberitakan Injil dan orang tidak benci kita, ada sesuatu yang salah. Mungkin Tuhan kasihan pada kita sehingga selalu bertemu dengan orang-orang yang reseptif, ditantang langsung percaya. Tapi kita tahu di dunia tidak semua orang begitu, ada yang mengeraskan hati. Orang ke gereja dengar Firman Tuhan tidak semua reseptif, ada yang mengeraskan hati, benci, tambah jengkel. Contoh di Alkitab adalah Herodes. Dia antara jengkel dan cinta, dia senang dengar kotbah Yohanes Pembaptis tapi jengkel dengan teguran-tegurannya, tapi masih memanggil dia lagi, ditegur lagi, tidak mau bertobat lagi, sampai akhirnya kesabaran Tuhan habis dan lewat Salome, Yohanes Pembaptis betul-betul dipenggal.
Di dalam dunia, waktu kita memberitakan Injil –memperkenalkan Kristus– kita berjumpa dengan berbagai macam orang. Ada yang reseptif, ada yang rendah hati, ada yang tanahnya sudah sangat gembur begitu ditantang langsung percaya. Tapi ada juga orang-orang yang munafik, setelah kita memberitakan kebenaran, dia bukan bersyukur malah jadi benci, mengeraskan hati dan hidup kita jadi ada dalam bahaya. Kita dipanggil untuk masuk ke dalam cerita hidup ini, seperti Yesus, Juruselamat kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading