Satu perikop yang baru, dan seperti bagian yang lalu ini merupakan Johannine special material, tidak ada di perikop manapun selain di Injil Yohanes. Dalam bagian ini kita mendapati satu profil teologi Injil Yohanes yang kita bisa observe sangat jelas. Settingnya sederhana, meski di situ ada klarifikasi tentang hal yang bisa menimbulkan salah mengerti di perikop sebelumnya, yaitu waktu dikatakan “Yesus membaptis” itu bukan berarti Yesus sendiri yang membaptis melainkan murid-murid-Nya (ayat 2). Tapi gambaran yang dikatakan dalam pasal 3 bahwa Yesus membaptis tetap betul, karena pada zaman dahulu kalau murid-murid-Nya membaptis itu berarti juga Yesus yang membaptis sebab mereka itu murid-murid Yesus. Kemudian setelah hal itu selesai dibicarakan dalam perikop ini, diceritakan Yesus sekarang meninggalkan Yudea, kembali lagi ke Galilea dan Dia melintasi daerah Samaria.
Kita tahu adanya ketegangan antara orang Yahudi dan Samaria. Orang Yahudi merasa Samaria itu orang-orang kelas dua, bahkan kelas tiga atau kelas empat, karena mereka menganggap kerajaan utara ini hasil kawin silang dengan bangsa-bangsa asing, tidak murni seperti bangsa Yahudi (kerajaan selatan). Tapi di sisi lain, orang Samaria juga punya kebanggaannya sendiri. Kalau kita belajar eksegese, ada satu naskah yang sangat otoritatif yang disebut Samaritan Pentateuch yang lebih tua dari teks MT, berasal dari Samaria. Maka mereka merasa bahwa mereka punya Firman Tuhan yang lebih asli daripada yang ada di selatan (Yudea), sehingga mereka ada perasaan superior juga. Maka di sini ada kebencian yang merendahkan orang lain, yang bukannya membuat orang jadi rendah hati melainkan ikut mau merendahkan juga, akhirnya tidak pernah berhasil yang semacam itu.
Setelah Yesus melewati daerah Samaria, Dia masuk ke sebuah kota bernama Sikhar, dan di situ diberi keterangan “dekat tanah yang diberikan Yakub dulu kepada anaknya, Yusuf”, maka di situ ada sumur Yakub. Dicatat di sini, Yesus sangat letih dalam perjalanan, karena itu Dia duduk di pinggir sumur (ayat 4-6). Di dalam keletihan-Nya, Dia tetap melayani. Waktu itu dikatakan “kira-kira pukul 12” berarti sangat terik, gambaran keadaan yang kurang bersahabat; dalam gambaran itulah Dia bertemu dengan seorang perempuan Samaria, yang memang seperti biasa mau menimba air. Yang menarik, dari bagian ini kita bisa belajar banyak sekali “metode penginjilan Yesus Kristus”, setidaknya menurut pasal 4 Injil Yohanes.
Ayat 7, Yesus memulai dengan kalimat pembukaan: “Berilah Aku minum”. Kalau kita baca secara sepintas, kita berpikir memang Yesus letih, haus, dan ada sumur, maka otomatis-lah kalau Dia minta minum. Tapi jika dibaca hati-hati, di sini tidak pernah ada cerita Yesus minum. Oleh karena itu kita percaya ini merupakan bagian dari strategi pemberitaan Injil Yesus karena Yesus begitu peka akan adanya barrier antara orang Yahudi dengan orang Samaria, dan bahwa orang Samaria sudah biasa direndahkan oleh orang Yahudi. Tembok ini perlu dihancurkan lebih dulu, seumpama benang yang perlu diurai karena ini bagian yang kusut. Waktu kita memberitakan Injil, share tentang Kristus, ada bagian yang seringkali kita lupa yaitu adanya gap antara kita dengan orang yang kita ajak bicara, sehingga kita terus bicara tentang content-nya. Padahal Yesus tidak langsung bicara content, Dia mengatakan “berilah Aku minum” untuk menyelesaikan sesuatu, membongkar, dan mempersiapkan. Kalau kita menekankan teologi inkarnasi –yang adalah paling center– bukankah Yesus sendiri menyelesaikan gap antara Allah dan manusia sehingga Yesus menjadi daging, Firman menjadi manusia? Persoalan gap itu tidak bisa tidak diselesaikan.
Barrier apa yang Yesus mau selesaikan dengan mengatakan “berilah Aku minum” ? Dari jawaban si perempuan Samaria, kita tahu bahwa memang betul ada barrier. Orang Samaria ini –apalagi dia perempuan– terkejut, koq bisa-bisanya orang Yahudi minta minum kepada orang Samaria, ini tidak biasa. Kalau orang Yahudi buang muka, itu biasa. Kalau orang Yahudi langsung menyingkir, menganggap dia agak kotor, itu biasa. Tapi orang Yahudi ini bukan saja berkata-kata melainkan minta minum. Orang minta minum berarti dia memposisikan diri di bawah, seperti minta tolong. Ada banyak orang memberitakan Injil dengan spirit kolonialisme, spirit sebagai orang yang di atas menolong ke bawah. Kesaksian yang seperti itu tidak pernah convincing. Di sini Yesus menempatkan diri di bawah dan Dia minta minum, sampai perempuan Samaria itu kaget, "Masakan Engkau, seorang Yahudi, minta minum kepadaku, seorang Samaria?" , hal seperti ini tidak biasa maka di situ diberi keterangan redaksional oleh Yohanes ‘Sebab orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria’ (ayat 9). Kemudian setelah pembicaraan itu, kita tahu bahwa barrier ini sudah terbongkar, sekarang mereka berdiri satu level, bahkan mungkin sepertinya perempuan Samaria ini lebih di atas lalu Yesus yang di bawah karena Dia minta minum.
Tapi perhatikan ayat 10: "Jikalau engkau tahu tentang karunia Allah dan siapakah Dia yang berkata kepadamu: Berilah Aku minum! niscaya engkau telah meminta kepada-Nya dan Ia telah memberikan kepadamu air hidup." Saudara mengerti poinnya? Kalau mulanya tadi orang Samaria di bawah dan Yesus di atas, kemudian Yesus mengatakan “berilah Aku minum” seolah Yesus jadi di bawah dan perempuan Samaria ini di atas, tapi ayat 10 ini seperti digeser lagi Yesus di atas dan perempuan Samaria itu di bawah, “kamu yang meminta kepada-Ku bukan Saya yang minta air kepadamu, Saya tidak butuh air dari kamu, kamu yang minta air kepada Saya”. Bukan Yesus yang membutuhkan air dari perempuan Samaria, melainkan perempuan ini yang membutuhkan air hidup dari Allah. Betapa seni yang tinggi dalam penginjilan Yesus ini, ada yang digeser-geser tapi tidak pernah kembali pada yang awal; tetap ada perbedaan setelah digeser lagi. Kita perlu menyelesaikan hal ini dalam penginjilan kita, jika tidak, content itu ditabur dengan agak percuma karena masih ada perbedaan level yang tidak diselesaikan dalam masyarakat kita.
Ada satu artikel menarik tentang the rise of Christianity dalam Gereja mula-mula, yaitu tentang mengapa Kekristenan sangat cepat berkembang di dalam Gereja mula-mula; judulnya “How a Minority Chruch Impacted Wider Society”. Secara hitungan kalkulasi hal ini tidak mungkin, tidak ada modal untuk mempengaruhi, tapi mengapa bisa begitu mempengaruhi dalam abad-abad pertama dan kedua? Salah satunya karena budaya yang menjadi counter culture terhadap kebudayaan saat itu (Roman dan Pagan). Kekristenan punya virtue of hospitality, menolong yang miskin dan yang membutuhkan, tidak membedakan orang merdeka dan budak, tidak ada hirarki dalam masyarakat sebaliknya melihat semuanya dalam satu meja (one table fellowship). Intinya, Kekristenan sangat menarik pada abad pertama karena tidak ada yang seperti itu di dunia. Mereka bukan cuma memberitakan Injil secara verbal saja, tapi mereka secara bersamaan memberitakan dan menghidupi Injil, tidak ada dualisme.Mereka menghidupi Kristus. Termasuk juga dalam cerita kehidupan Krsistus sendiri di bagian ini, kita membaca bahwa Yesus tahu adanya perbedaan antara Yahudi dan Samaria tapi Yesus tidak menghidupinya seperti orang Yahudi yang lain. Contoh sederhana, kalau seorang mengatakan dirinya Kristen tapi masih rasis, itu artinya tidak menghidupi Injil. Waktu kita punya semacam fobia terhadap suku-suku tertentu atau negara-negara tertentu, kita meng-generalisasi atau melakukan stereotyping atas mereka, itu artinya kita berbeda –bahkan sangat berbeda– dengan kehidupan Yesus karena tembok seperti itu dihancurkan oleh Yesus dalam bagian ini.
Setelah Yesus menantang perempuan ini “niscaya kamu yang meminta air”, kita membaca bahwa respon dari si perempuan Samaria tipikal dengan respon Nikodemus di pasal sebelumnya. Perempuan itu mengatakan: "Tuhan, Engkau tidak punya timba dan sumur ini amat dalam; dari manakah Engkau memperoleh air hidup itu?” (ayat 11). Yesus bicara tentang air hidup, dia bicara tentang air secara fisik; ‘gak nyampe, seperti Nikodemus mengatakan ‘bagaimana seorang masuk lagi ke rahim ibunya dan dilahirkan kembali’. Yesus bicara tentang spiritual realm, dia bicara tentang physical realm.
Apa yang menghalangi perempuan ini sehingga ia tidak bisa melihat spiritual realm itu dan tetap di dalam physical realm / dunia yang kelihatan? Yaitu yang kita baca dalam ayat 12, dia mengatakan: “Adakah Engkau lebih besar dari pada bapa kami Yakub, yang memberikan sumur ini kepada kami dan yang telah minum sendiri dari dalamnya, ia serta anak-anaknya dan ternaknya?" Kalau kita menggali bagian ini, bisa kaya sekali. Perempuan ini melihat kebesaran manusia yang namanya Yakub itu, sampai-sampai itu menghalangi kebesaran Kristus yang adalah Allah sendiri. Penginjilan yang gagal yang tidak mungkin diberkati Tuhan yaitu penginjilan yang membesarkan manusia, bukan membesarkan Kristus. Penginjilan yang seperti itu justru akan menghalangi orang untuk datang kepada Kristus / Injil. Yakub yang terlalu besar untuk perempuan Samaria ini, menghalangi dia melihat Kristus. Itu yang pertama. Tapi selain itu, ada semacam kekuatan tradisi atau pengalaman — orang Jawa bilang “sudah kulino”– sehingga bagi perempuan itu seolah ‘kita ini sudah paling tahu, Lu mau cari air di mana lagi, sumur yang paling deras ya, di sini, pengalaman kita ini sudah tinggi sekali’. Waktu kita memberitakan Injil kepada orang lain, kita juga seringkali bertemu orang seperti ini, yang merasa sudah sangat ahli dalam kehidupan, dalam pengalaman, dsb. persis seperti barrier dalam perempuan Samaria ini, bukan hal yang baru sama sekali. Mereka orang-orang yang merasa lebih berpengalaman daripada kita yang lebih muda, dst. dst.
Kemudian Yesus menjawab lagi: "Barangsiapa minum air ini, ia akan haus lagi, tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya” (ayat 13-14). Yesus membicarakan tentang air hidup (living water), bukan physical water. Ini tipikal Johannine. Sama seperti hari ini kita mengadakan Sakramen Perjamuan Kudus, kita partisipasi dalam physical realm –makan roti (physical eating the physical bread) dan minum anggur (physical drinking the physical wine)– tapi sebetulnya Yesus mau membawa kepada spiritual eating dan spiritual drinking, yaitu tubuh yang dipecah-pecahkan dan darah Tuhan kita, Yesus Kristus. Itu namanya iman, karena kita bukan cuma melakukannya secara fisik tapi mempercayai ada spiritual realm yang terjadi.
Di ayat 15, Saudara membaca respon perempuan ini yang masih tidak mengerti juga, tetap tidak mengerti, dia berkata: "Tuhan, berikanlah aku air itu, supaya aku tidak haus dan tidak usah datang lagi ke sini untuk menimba air." Masih bicara tentang air sumur, air yang bersifat fisik itu; betapa bebalnya manusia, termasuk Saudara dan saya, yang tidak bisa mengerti spiritual realm. Kita lebih suka terus bicara tentang dunia yang kelihatan daripada dunia yang tidak kelihatan. Yesus tahu di bagian ini agak buntu, kalau diteruskan hanya putar-putar dan tidak efektif. Di sini saya ingin komentar sedikit tentang metode penginjilan yang justru mengajarkan putar-putar di tempat yang sama; kalau di hantam ke situ maka putar lagi, balik lagi ke situ, dst. Itu sangat sangat tidak Alkitabiah! Saudara baca Alkitab, metode itu tidak Alkitabiah. Kembali ke bagian ini, Yesus setelah tahu pembicaraan tersebut tidak jalan, Dia pakai pendekatan yang lain. Yesus dengan lincah, dengan kepekaan akan konteks dan kepekaan akan pribadi yang di-Injili, Dia menggunakan approach yang lain. Yesus peka, dalam diri perempuan ini ada persoalan, tidak bisa dia diputar lagi tentang physical-spiritual, physical-spiritual, physical-spiritual terus menerus berjam-jam ngomongin ini terus sampai ngerti, sampai orang kapok setelah 3 jam ‘gak ngerti-ngerti, lalu “ya, sudahlah bilang ngerti saja karena capek banget dengerin Orang ini penginjilan ‘gak selesai-selesai”. Yesus bukan seperti itu, dalam pengertian Yesus menggunakan approach yang lain. Dia kemudian bicara tentang masa lampau kehidupan perempuan ini.
Dia berkata: "Pergilah, panggillah suamimu dan datang ke sini" (ayat 16), yang dijawab perempuan itu: "Aku tidak mempunyai suami." Lalu Yesus menjawab lagi: "Tepat katamu, bahwa engkau tidak mempunyai suami, sebab engkau sudah mempunyai lima suami dan yang ada sekarang padamu, bukanlah suamimu. Dalam hal ini engkau berkata benar" (ayat 16-18). Ada tafsiran yang meng-intepretasikan teori bahwa sebetulnya menurut Hukum Musa orang yang menikah 5 kali tidak ada persoalan apalagi kalau suaminya mati. Tapi saya lebih tertarik pada penafsiran atas pembacaan yang lebih sederhana, yaitu bahwa Yesus sebetulnya sedang menyingkapkan adanya dosa dalam diri perempuan ini, paling tidak tentang bagian terakhir yang dikatakan perempuan itu hidup bersama laki-laki yang bukan suaminya. Yesus membicarakan dari approach yang lain, karena memang ada sesuatu yang perempuan ini perlu membereskannya di hadapan Tuhan, yang juga mengganggu dia untuk percaya kepada Yesus, yaitu dosa-dosanya. Saudara perhatikan, ini peneguran dosa, tapi di bagian terakhirnya Yesus memuji “dalam hal ini engkau berkata benar”, betapa seni yang tinggi di bagian ini yang tidak habis-habisnya dapat kita gali. Sebenarnya ini bukan pujian, Yesus menegur dosa dengan begitu halus, bukan secara frontal orang ditelanjangi, dipermalukan sedemikian rupa, dituding dengan kekerasan. Tidak begitu. Yesus mengatakan “engkau berkata benar” –seperti pujian– tapi peneguran dosa ini betul-betul menancap; kalimat ini sangat menusuk. Ini seni peneguran yang tinggi sekali, ini bukan main sindir, ini bicara tentang spirit bukan skill, bicara tentang motivasi, kematangan rohani, dsb. Waktu orang menegur anak, menegur anggota keluarga, termasuk juga menegur sesama jemaat, kita bisa menegur dengan kedagingan, kemarahan, ketidak-sabaran, kesombongan, dst. dst. yang akhirnya bukan mengakibatkan orang bertobat sebaliknya justru makin pahit hati. Yesus sangat efektif, peneguran-Nya di bagian ini betul-betul masuk sangat personal dalam kehidupannya, membongkar habis-habisan, tapi Yesus tidak menelanjangi, Dia katakan “dalam hal ini engkau berkata benar”. Dan Yesus juga tulus waktu mengatakan kalimat ini, bukan sedang menjilat.
Tapi kemudian kita membaca respon perempuan ini yang mengelak pembicaraan tersebut. Yesus sedang membicarakan dia, tapi dia tiba-tiba membicarakan tentang Yesus. Yesus membicarakan tentang ‘persoalan kamu, dosa-dosa kamu’ –pastinya dia kaget– tapi dia kemudian menjawab: "Tuhan, nyata sekarang padaku, bahwa Engkau seorang nabi” (ayat 19). Pembicaraan sekarang jadi berpindah ke Yesus, “Engkau nabi”, perempuan ini tidak tertarik membicarakan dosanya, kelemahannya, dan mungkin merasa ditelanjangi juga, maka dia geser. Rasionalisasi seperti ini memang tipikal; waktu seseorang di-Injili, dia malah bicara tentang kita (yang menginjili), lalu kalau kita ikut-ikutan ge-er membicarakan tentang diri kita karena ‘kapan lagi orang bicara tentang saya’, kita tidak tahu bahwa sebetulnya kita sedang di-distraksi. Saya pernah memberitakan tentang Kristus waktu naik taksi, tapi dia mencoba mengalihkan perhatian, “Bapak dari denominasi apa?” Lalu saya jawab, “Protestan.” Lalu dia katakan, “O, Protestan itu yang suka protes-protes ya, Pak.” Wah, panas juga dengar kalimat itu, saya kepingin jelaskan sejarah Reformasi selama bertahun-tahun dsb. tapi kalau saya menjelaskan hal itu, saya jadi bukan melakukan penginjilan lagi. Distraksi seperti itu kalau kita tidak berhati-hati, kita masuk ke dalamnya, akhirnya putar-putar di dalam agenda yang bukan Tuhan mau. Poinnya adalah kita musti berhati-hati dengan distraksi semacam ini dalam kesaksian kita. Kita harus fokus. Yesus sendiri fokus.
Perempuan ini mengalihkan perhatian dengan “Engkau seorang nabi” lalu masuk ke dalam diskusi teologi, “Nenek moyang kami menyembah di atas gunung ini, tetapi kamu katakan, bahwa Yerusalemlah tempat orang menyembah" (ayat 20). Ini tipikal perdebatan antara Samaria dan Yahudi, yaitu antara Gerizim dan Yerusalem sebagai tempat menyembah. Tapi yang menarik, Yesus di satu sisi menjawab sesuai pertanyaan perempuan ini, dan di sisi lain bersamaan dengan itu Dia mengembalikan ke fokus. Ini seni tinggi sekali. Kita kadang-kadang waktu menjawab pertanyaan jadi distracted, tapi sebaliknya kalau mau tetap fokus, jadi seperti menyiram air dingin atas pertanyaan orang itu. Pernah dalam persiapan guru Sekolah Minggu, seorang guru menyampaikan kadang anak-anak tanya ini itu yang kalau dijawab sebenarnya poin yang sedang dibicarakan bukan hal itu, tapi kalau tidak dijawab nanti anak kecil yang tanya jujur ini kecewa, jadi sulit. Di sini kita bisa belajar dari Yesus, menjawab dan bersamaan dengan itu mengembalikan ke topik yang sedang dibicarakan; ini cara menjawab yang menyelesaikan 2 hal sekaligus, pertanyaan orang itu dan tetap membawa ke fokus. Yesus menjawab: "Percayalah kepada-Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem. … Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran.” (ayat 21-24). Dia menjawab persoalan yang ditanyakan “bukan di gunung ini dan juga bukan di Yerusalem”, dan bersamaan dengan itu Dia membawa kepada diri-Nya karena penggenapan tempat ibadah, yaitu menyembah dalam Roh dan kebenaran, ada di dalam Yesus. Orang Samaria menyembah di Gerizim, tapi tradisi Masoretic Text bergeser, bukan di Gerizim lagi, maka orang Samaria merasa ‘kita yang otentik, Tuhan pertama kali memerintahkan di Gerizim bukan yang seperti anggapan orang-orang selatan sana’. Jadi memang ada theological dispute antara orang Samaria dan Yahudi.
Ayat 22 “Kamu menyembah apa yang tidak kamu kenal, kami menyembah apa yang kami kenal, sebab keselamatan datang dari bangsa Yahudi”. Di bagian ini, kalau tidak hati-hati pembacaannya jadi seperti lho, bukankah tadi gap itu sudah diselesaikan, koq sekarang dibangun lagi? Tapi ini bukan membangun lagi tembok yang tadi sudah dihancurkan. Waktu Yesus mengatakan “keselamatan datang dari bangsa Yahudi”, Dia sebetulnya mau mengatakan bahwa Mesias itu dari bangsa Yahudi. Yesus sedang menunjuk kepada kepentingan Mesias, bukan soal bangsa Yahudi-nya. Mesias memang dinubuatkan datang dari bangsa Yahudi bukan dari kerajaan utara, “keselamatan datang dari bangsa Yahudi”.
Tapi kemudian Yesus menegaskan juga di ayat 23 bahwa orang tidak lagi menyembah dengan tergantung pada tempat-tempat tertentu, melainkan “menyembah Bapa di dalam Roh dan kebenaran, dan Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian”. Menyembah di dalam Roh dan kebenaran maksudnya bukan dibatasi oleh gunung ini atau gunung itu, di dalam hal ini. Beberapa tahun lalu orang berbondong-bondong ke Toronto karena katanya ada semacam special blessing di Toronto; itu artinya mereka kurang mengerti ayat 23 ini. Sebelumnya juga pernah terjadi seperti itu, orang berbondong-bondong ke Korea (Seoul) karena katanya ada berkat khusus di sana. Orang-orang yang lain juga pergi ke Yerusalem untuk alasan semacam itu.
Kembali ke bagian ini, yang diajarkan Yesus adalah menyembah Bapa di dalam Roh dan kebenaran. Tapi ini bukan lalu berarti segala tempat jadi cease lalu tidak ada gantinya. Ini bedanya Christianity dengan Liberal Christianity. Saya baru saja mengajar poin yang sama tentang hari Sabat di STT, bukan karena itu cease lalu tidak ada gantinya melainkan gantinya adalah Kristus. Gantinya Gerizim maupun Yerusalem adalah Kristus. Ada orang yang tidak mau terikat pada tempat tapi tidak mau ada gantinya juga, atau yang menggantikan juga bukan Kristus. Itu liberal. Mereka bukan cuma percaya there is no special presence, neither in Jerusalem nor in Gerizim, nor in Seoul or Toronto tapi mereka juga tidak pernah berada di dalam Jesus special presence. Ini problematis. Seperti juga kalau kita membicarakan tentang hari Sabat, kita tahu dalam Teologi Reformed ada 2 school of thought; sebagian yang pertama observing Sabat dengan ketat, sebagian lainnya tidak demikian sehingga dari perspektif yang pertama dianggap sedikit liberal. Yang mau saya tekankan adalah despite kita tidak mau pakai variasi Westminster tapi pakai variasi Heidelberg, Second Helvetic, Belgic, dsb. jangan lupa “replace by Christ”, bukan replace by nothing, bukan semua hari sama saja, karena itu liberal, tidak ada dukungannya dalam dokumen Reformed apapun. Christ is the ultimate point, Dia yang menggantikan semuanya. Kalau bagian itu tidak ada, jadinya liberal. Demikian juga waktu bicara tentang perpuluhan, poin yang persis sama yaitu harus digantikan dengan Kristus. Bukan o, ternyata ‘gak perlu perpuluhan karena Yesus sudah datang, jadi boleh kasih boleh tidak; itu Liberal observance. Variasi yang seperti itu tidak ada dasarnya dalam Kitab Suci. Saudara tidak harus kasih1/10, kasih ½ juga oke, kasih 1/3 juga oke, tapi kalau Saudara kasih 1/1000 artinya ada problem di sini. Mengenal Kristus lebih dalam lalu membuat Saudara lebih pelit, itu tidak masuk akal. Orang-orang Perjanjian Lama tidak terlalu mengenal Kristus dan mereka memberi sepersepuluh, tapi kita yang katanya mengenal Kristus lalu memberi kurang dari sepersepuluh, apa tidak sungkan dengan orang-orang Perjanjian Lama? Kita bilang kita sudah mengenal Kristus, lalu aturan-aturan ceremonial law itu sudah di-cease karena Yesus datang, jadi saya tidak usah perpuluhan; itu tidak ada logikanya. Itu liberal Christianity, tidak digantikan oleh Kristus melainkan digantikan semau gue, saya yang jadi raja, bukan Yesus yang datang menggantikan tapi saya yang menghapus, karena itu saya yang tentukan mau kasih berapa, itu urusan saya. Itu berarti saya menggantikan hukum itu, bukan Kristus menggantikan hukum itu; begitu sebetulnya jika kita bicarakan bagian ini dengan logika sederhana menurut Alkitab. Baik yang strict observance ala Westminster maupun yang bukan dalam tradisi itu, mereka tetap menekankan bahwa yang menggantikan adalah Kristus, bukan jadi liberal observance. Kembali pada poin ini, hal yang sama waktu dikatakan “menyembah dalam roh dan kebenaran”, penekanannya ada pada Kristus, Sang Mesias.
Perempuan ini waktu mendengar sampai ayat 24, ada certain resonance. Perhatikan, di ayat 25 yang pertama kali bicara tentang Mesias adalah si perempuan. Yesus memang selalu menujuk ke sana, kepada diri-Nya sendiri, tapi Dia tidak pernah mengatakan istilah “Mesias”. Namun karena perempuan ini sudah betul-betul dipersiapkan hatinya, dia sendiri mengatakan: "Aku tahu, bahwa Mesias akan datang” (ayat 25). Yesus tidak pernah mengatakan kalimat itu lebih dulu tapi perempuan ini mengatakannya. Mengapa? Karena ada resonance / getaran dalam jiwanya waktu Yesus memberitakan tentang diri-Nya. Dan ini memang menunjuk kepada Mesias. Ada satu kebahagiaan ketika kita memberitakan Injil dan bisa membawa orang kepada semacam cicipan kebenaran meski belum the fuller knowledge of the truth itu. Seperti di sini, mereka bisa meraba bahwa kita membawa orang kepada kebenaran, maka tinggal satu kalimat lagi, ayat 26 Yesus mengatakan; “Akulah Dia, yang sedang berkata-kata dengan engkau”. Kita tinggal mengatakan “Yesus-lah Dia yang kamu cari sebenarnya”. Di dalam bahasa Yunani kalimat ini sangat dekat sekali dengan bahasa yang dipakai waktu Yahweh memperkenalkan diri-Nya sendiri kepada Musa “Ego eimi” (I am that I am). Perempuan ini orang Samaria, mereka sangat akrab dengan 5 kitab Musa, maka waktu dikatakan “Ego eimi” akan langsung menunjuk kepada tradisi kitab Musa itu (di sini ada keindahan tersendiri yang kita tidak bisa rasakan dalam terjemahan bahasa Indonesia karena terjemahannya “Akulah Dia”). Ada saatnya tiba kita perlu memperkenalkan Yesus dengan jelas; bukan hanya sampai pada the foretaste of truth ketika orang sudah mulai dekat sekali, tapi kita perlu keberanian untuk mengatakan bahwa Yesus-lah Dia.
Kiranya Tuhan memberikan kepada kita pengalaman kesaksian seperti Yesus Kristus dan banyak orang boleh percaya kepada Yesus Kristus oleh pekerjaan yang kita lakukan, karena kita terlibat di dalam Injil seperti Yesus memberitakan diri-Nya sendiri. Tuhan mengundang kita semua masuk dalam cerita ini. Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah(MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading