Kisah Yosua dalam penaklukan Yerikho merupakan kisah yang sangat terkenal, sejak sekolah Minggu hampir tidak ada anak yang tidak mengenal kisah spektakuler ini. namun kisah ini tidak bisa kita lepaskan dari cerita sesudah dan sebelumnya; yaitu penyunatan di Gilgal, hadirnya Panglima balatentara Allah serta kisah sesudahnya, yaitu kegagalan di kota Ai. Kitab Yosua dibuka dengan pembukaan yang sama sekali tidak menyenangkan. Musa mati. Mungkin tidak ada kisah sekolah minggu yang sudi mengangkat cerita ini. Menceritakan Musa tentu kita lebih condong untuk mengisahkan tentang penyelamatan Musa melalui air, panggilannya dalam semak yang menyala di Horeb, ataupun kisah spektakuler dengan 10 tulah, atau bahkan pemberian hukum. Mati, sebuah kata Ibrani yang pertama kali muncul disandingkan dengan pelanggaran, sebuah anti ciptaan.
Yosua tidak menulis misalkan setelah usainya era Musa, namun dituliskan dengan jelas setelah Musa hamba TUHAN itu mati. Ini hal besar, seorang sebesar Musa, sang hamba TUHAN mati. Jelas yang mati disini bukan seorang Lewi biasa, namun dijelaskan disini bahwa dia adalah hamba TUHAN, tentu dia orang yang sangat besar. Ya, memang Musa orang besar, namun musti kita ingat bahwa dia adalah hamba TUHAN, bukan TUHAN itu sendiri. Israel agaknya telah mulai terbiasa, setelah selama 400 tahun hidup bergantung pada para mandor Mesir, kini mereka telah setidaknya selama 2 generasi bergantung pada Musa. Lapar, haus, diserang musuh dsb. mereka mencari Musa. Sekarang mereka perlu belajar, tanpa perlu menipu diri memang Musa adalah orang besar, dia adalah hamba TUHAN, namun disisi yang lain dia adalah hamba, ya seorang hamba, bukan TUHAN itu sendiri. Kebergantungan mereka mestinya ada pada TUHAN sendiri dan bukan pada hamba TUHAN yang besar. Ini adalah sebuah kecendeungan yang sangat alamiah bagi dunia yang bedosa; setelah sekian lama kita terbiasa melihat TUHAN bekerja melalui suatu perantara, apapun itu kita mulai akan terbiasa dengan perantara tersebut. Apapun itu, bisa uang, bisa pekerjaan, bisa suami, orang tua dsb. Sekali lagi tanpa perlu menipu diri, mereka itu semua penting, dan bukan sekedar penting mereka adalah alat TUHAN. Tentu bukan sebuah kesalahan kita menikmati berkat yang asalnya jelas dari Allah sendiri. Namun ketika kita gagal melihat hal-hal tersebut sebagai alat dan mulai mempertuhankan alat tersebut maka kita masuk dalam sebuah kebahayaan.
Ay 1 dan 2 dalam pasa 5 ini tampaknya kurang harmonis dari sisi strategi perang. Ay 1 sudah menunjukkan keuntungan besar; lawan sedang patah semangat. Bertarung hanya bermodalkan semangat tentu bukan sebuah tindakan bijak, namu berperang tanpa semangat juga merupakan sebuah kekonyolan. Demikian menghadapi lawan yang kecut hati tentu merupakan keunggulan yang besar. Ay 1 semestinya diikuti dengan tindakan berkemah disekitar tembok, meniupkan sangkakala perang dan bertempik sorak bersama, hal tersebut selain akan membangkitkan semangat dari para prajurit yang mungkin lelah juga akan semakin menciutkan nyali para lawan. Bayangkan bergidiknya para raja Kanaan mendengarkan pekik sorak mereka yang siap berperang dan menggulung habis mereka dalam waktu dekat. Namun yang terjadi justru sebaliknya TUAHN berfirman, sebuah Firman yang mungkin agak dianggap kurang kontekstual untuk kondisi peperangan, namun itu kontekstual menurut Allah, yaitu membuat pisau bukan untuk senjata namun untuk menyunat mereka secara besar-besaran. Tindakan ini jelas bukan sekedar tidak menguntungkan namun justru merugikan ditinjau dari sisi strategi militer.
Seorang yang disunat tentu memiliki kelemahan fisik tertentu sehingga sangat merugikan dari sisi kemampuan untuk berperang. Hal ini pernah terjadi dalam peristiwa Dina dan Sikhem (Kej 34). Disini kita melihat bahwa Allah memiliki concern yang sangat berbeda, Allah mengenal kebutuhan mereka yang jauh lebih utama, yaitu menegakkan perjanjian mereka dengan Allah. Selama dalam perjalanan di padang gurun, mereka telah melalaikan satu upacara maha penting ini yaitu sunat. Sunat menjadi perlambang bahwa TUHAN adalah Allah mereka dan mereka adalah umat TUHAN. Realita itulah yang mendasari segala keajaiban dan kejadian spektakuler yang mengiringi mereka, yaitu penyertaan Allah mereka. Namun mereka telah melupakan hal itu, dan sekarang mereka disuruh untuk mengingatnya kembali. Momen mengingat yang mungkin kurang tepat dalam pandangan mata kita. "Oke kita bisa mengingat hal itu, namun nanti lah setelah setidaknya Yerikho dirubuhkan donk, jangan diwaktu genting akan perang gini malah ngurusin sunatan masal. Bagaimana kita bisa mengangkat senjata dengan kondisi cedera demikian." Mungkin kita juga sering dihadapkan dengan opsi sedemikian, pertobatan bisa menunggu, Allah bisa menunggu, kekudusan bolehlah pending sejenak ditengah-tengah desakan urgensi situasi. Saya baru menipu, sekarang ketauan, cilaka, udahlah bertobat si iya, tapi nanti, sekarang yang paling penting bagaimana cari dalih dahulu.
Allah punya concern lain, yaitu mengingatkan mereka akan perjanjian dengan Allah. Sekarang adalah waktunya mereka mengingat bahwa mereka adalah milik Allah; keika peperangan besar menghadang, yang paling diperlukan bukanlah ciutnya nyali lawan atau kuatnya kondisi kita, namun fakta bahwa Allah adalah Allah kita. Ini semestinya menjadi penghiburan yang paling jelas dan tidak berpura-pura. Sayangnya penghiburan jenis ini saat ini sudah menjadi semacam kalimat wajib khas Kristen saja yang nyaris tak ada artinya jika tidak ada iringan apa-apa. Ketika seorang kehilangan pekerjaan dan kita bilang, ada Tuhan yang menyertai maka dia akan jawab gua juga tau. Tuhan menyertai kalo bos meninggalkan ya runtuh harapan. Perkataan kita akan mulai dipandang serius jika kita menghibur sembari berkata, ada lowongan pekerjaan disini, dan saya kenal sama pemimpin cabangnya. Sebaliknya jika kita datang dengan tawaran pekerjaan dan tanpa mengingatkan kita akan pemeliharaan Tuhan maka kita tidak akan merasa ada sesuatu yang kurang.
Demikian perlulah kita dibawa pada momen seperti ini, menghadapi kota berkubu dan mereka disuruh untuk bersunat. Sekali lagi dalam menghadapi situasi pelik, inilah hal pertama yang diingatkan Allah untuk dipegang oleh umat Israel, yaitu bahwa TUHAN adalah Allah mereka. Titik; itulah urusan yang paling relevan untuk dilakukan, diingat, dan diperdengarkan oleh mereka. Dan hal tersebut dikerjakan dalam situasi yang cukup ekstrim, dengan rasa sakit yang memerlukan pemulihan selama beberapa hari sehingga mereka akan terus mengingatnya. Kita umat Kristen saat ini juga memiliki tanda sedemikian yaitu baptisan, semestinya kita menganggap hal ini juga sangat serius. Sayangnya dalam gereja masa kini kita cenderung meremehkan urusan sakramen baptis ini; bukan sekedar dari peserta namun juga dari hamba Tuhannya. Hal ini berbeda jauh dengan penyunatan mereka, sunat memberikan suatu tanda permanen dalam diri mereka, dan hal tersebut akan selalu mereka ingat setiap hari.
Hal kedua yang dikerjakan ternyata masih belum urusan strategi perang. Setelah urusan sakramen sunat menyunat, Yosua diperintahkan Allah untuk melakukan perayaan Paskah; mengingat bagaimana Allah membebaskan umat Israel dari perbudakan Mesir. Bagi Allah hal ini adalah hal yang tidak kalah relevannya dengan hal yang pertama. Setelah kita mengingat bahwa TUHANlah Allah kita, kita diundang untuk masuk dalam perjamuan yang mengingatkan kita akan apa yang sudah dibuat Allah kita. Salah satu kelalaian yang sering kali membuat kita jatuh adalah urusan satu ini, yaitu lupa. Sekali lagi hal ini akan mengingatkan mereka bahwa Allahlah yang menggulingkan cela keterbudakan mereka dari Mesir. Penyunatan dan diiringi Paskah menigingatkan mereka bahwa mereka adalah bangsa merdeka, bukan bangsa budak.
Kemenangan atas Mesir dan penaklukan Kanaan mengingatkan mereka akan satu realita penting ini yaitu bahwa mereka adalah bangsa yang merdeka; BUKAN bangsa yang jaya dan kuat. Tanpa kedua sakramen penting tersebut mereka mungkin hanya akan menjadi fotokopi Mesir dan salah satu dari Kerajaan dahsyat yang sudah dan terus silih berganti ada dalam dunia kuno. Israel mungkin hanya akan menambah daftar bangsa-bangsa dalam lingkaran bangsa seperti Mesir, Asyur, Neo Babilon, Yunani, Persia, Yunani, dsb. mereka hanya akan dicatat sebagai bangsa kecil yang karena satu dan lain hal sukses melakukan invasi militer, bahkan mungkin tersukses dalam sejarah militer dunia Timur. Namun bukan itu tujuan Allah menyertai Israel, Israel perlu diajar bahwa mereka adalah bangsa Merdeka, BUKAN bangsa yang kuat. Urusan kekuatan, mereka dipanggil untuk mengingat bahwa TUHAN lah yang mengeluarkan mereka dari Mesir dan kini juga akan memasukkan Mereka kedalam tanah Kanaan.
Hal ini yang kita juga perlu untuk senantiasa ingat. Satu hal penting yang perlu untuk senantiasa kita ingat bahwa kita adalah orang merdeka; kita tidak dipanggil untuk menjadi orang kuat; kemana-mana dikenal sebagai orang kuat, disegani dsb. itu hal yang dikejar oleh orang-orang kuno, dan juga oleh orang masa kini. Kita senang disegani, dianggap sebagai orang kuat, orang yang tidak bisa dianggap remeh oleh orang lain. Namun justru pada saat bersamaan kita justru sedang diperbudak, diperbudak oleh pride kita sendiri dan menyedihkannya justru kita sedang diperbudak oleh penilaian orang lain. Kita merasa sangat terganggu ketika orang lain meremehkan kita dsb. sehingga kita berusaha sedapat mungkin melakukan banyak pembuktian, kita ingin meraih gelar tinggi, ingin meraih kesuksesan dalam bidang ekonomi, ingin mengenal banyak pejabat atau bahkan mengenal banyak preman untuk pada akhirnya membuktikan bahwa kita adalah orang yang hebat, yang tidak boleh diremehkan. Kasihan orang sedemikian, betapa kaya, betapapun banyak backing, sesungguhnya malah sedang diperbudak oleh penilaian orang lain; makin keras kita berusaha untuk membuktikan diri kita, makin kasihan kita, lepas dari sukses atau gagalnya kita.
Paskah mengingatkan kita akan satu hal yang teramat agung, yaitu bahwa kita adalah orang merdeka. Kita tidak dipanggil untuk berjuang keras membuktikan diri kita, namun kita dipanggil untuk berpesta, merayakan realita bahwa kita dimerdekakan bukan oleh kekuatan tangan kita melainkan oleh kekuatan tangan Allah kita. Cela Mesir, cela perbudakan sudah dihapuskan oleh Allah. Bukan dengan penyunatan di GIlgal, namun dengan penumpahan darah di Golgota, keterbudakan kita dari dosa, penolakan, penilaian sementara manusia berdosa telah ditanggalkan Allah. Kelemahan kita, rasa malu, penolakan, dosa, dan bahkan kematian kita telah ditanggungkan oleh Yesus Kristus dalam ketertolakan-Nya oleh Allah Bapa, pemikulan-Nya akan dosa, kesakitan-Nya, rasa malu-Nya, bahkan kematian-Nya. Maka kini sekali lagi mari kita merayakan realita ini, keterbudakan kita telah ditanggalkan, kita dipanggil untuk hidup secara merdeka, bebas untuk mengekspresikan segala kecintaan kita pada Allah.
Peristiwa penting ketiga yang kita catat adalah berhentinya Manna. Ini masalah penting; urusan yang sangat mendasar dalam kehidupan mereka. Selama satu generasi mereka menikmati bahwa TUHAN adalah Allah yang memelihara mereka melalui sebuah peragaan yang sangat jelas, meski mereka pernah bersungut-sungut (karena rasa Manna yang kurang enak) namun hal tersebut jelas. Setiap hari ada "ritual" yang mereka jalankan yaitu memungut dan makan. Selama 40 tahun pungut dan makan makanan yang jatuh dari langit mengingatkan mereka bahwa mereka bukanlah orang yang menanam dan menuai, namun Allahlah yang memberikan kepada mereka makanan mereka. Kini mereka perlu belajar, Allah sedang memimpin mereka memasuki sebuah babak baru dalam hidup mereka; Allah sedang memakai cara yang lain, namun mereka dipanggil untuk tidak menjadi gentar. Ini masalah yang sama sekali tidak sederhana.
Kitab Yosua dibuka dengan matinya Musa, sang hamba TUHAN, dan kini sarana dasar yang dipakai TUHAN untuk memelihara bangsa tersebut selama 40 tahun berhenti. Dua hal yang paling jelas menonjol dalam 40 tahun perjalanan ajaib padang gurun mereka kini sedang lenyap; baik si kakek sakti yang terkadang emosional, yang suatu waktu mukanya bersinar seperti neon, yang bisa keluarkan air dari batu, ataupun benda putih manis yang jatuh dari langit yang selama ini hidup mereka sangat bergantung dari padanya sedang lenyap. Namun Allah telah mengingatkan mereka; ya mereka keluar dari Mesir adalah karena pertama mereka adalah umat Allah, dan kedua Allahlah yang memerdekakan mereka. Bukan kekuatan mereka, bukan keberuntungan, bukan juga bahkan karena kebesaran Musa dan kebaikan alam yang memberikan manna.
Dalam hidup kita salah satu hal yang sangat rumit adalah ketika Allah sedang membuat suatu hal yang baru dalam hidup kita, terutama ketika hal baru tersebut sangat diluar prediksi kita. Banjir selama beberpa hari saja sudah bisa memporak-porandakan kita. Ketika Allah sedang melakukan sebuah perubahan, Dia sedang membawa kita pada sebuah pimpinan yang baru, kita sering kali diperhadapkan dengan tanggalnya sarana-sarana pemeliharaan Allah yang lama, terkadang cukup ekstrim, namun dalam hal seperti ini justru kita diingatkan untuk kita hanya terikat pada Allah yang memelihara kita. Apapun itu; baik orang tua, suami, anak, gereja, pekerjaan, rekening, rekan bisnis dsb. keterikatan kita adalah pada Allah. Ini tidak mudah, jika selama ini kita sukses berbisnis karena satu rekan kerja yang rutin order dalam jumlah besar, dan tiba-tiba rekan kita ini beralih ke kompetitor maka kita seperti merasa kiamat. Kita lupa bahwa selama ini rekan kerja "hanyalah" dia yang dipakai Allah untuk menjalankan aktivitas bisnis kita. Usaha kita jalan bukan karena kehebatan kita atau karena kebaikan dari rekan bisnis kita. Ketika Musa mati, dan ketika manna berhenti dari hidup kita; bagian ini mengajarkan kepada kita mari kita makan hasil dari yang dihasilkan oleh tanah Kanaan (12). Jangan kuatir karena selama ini bukan rekening kita yang menghidupi kita, bukan rekan bisnis, bahkan bukan juga kepandaian kita; namun Allah.
Tindakan yang berbau militer tampaknya baru dimulai pada ay 13 ketika Yosua mengamat-amati kota Yerikho. Dihadapannya muncul seorang dengan pedang terhunus siap berperang. Secara wajar Yosua bertanya apakah kawan atau lawan; namun jawabannya adalah bukan keduanya. Dia adalah pemimpin. Hal ini penting untuk dimiliki oleh Israel, dan Yosua secara personal disini. Bahwa mereka dipimpin oleh Allah. peristiwa yang mengikuti setelahnya tidak kalah penting; Yosua disuruh untuk menanggalkan kasutnya seperti yang dilakukan oleh Musa dahulu. Ketika Musa berada di Horeb Allah menyuruhnya menanggalkan kasut, demikian juga Yosua saat ini. Berbagai peristiwa ajaib yang mendahului bagian awal kitab Yosua didepan bukanlah terutama menyatakan bahwa Allah demikian sakti bisa membuat mujizat besar ini dan itu, namun terutama memberikan pelajaran penting bagi Israel bahwa Allah yang dahulu menyertai Musa juga adalah Allah yang sama yang menyertai Yosua.
Putusnya aliran air sungai Yerikho yang airnya sedang meluap, mengingatkan apa yang Yosua alami ketika mereka keluar dari Mesir. Demikian juga dengan perintah untuk menanggalkan kasut. Memasuki aksi penaklukan ini, Yosua dan seluruh orang Israel perlu sadar bahwa Allahlah sang empunya pertempuran ini. Hal ini sangat perlu kita perhatikan, yang terutama disini bukanlah "kebesaran tindakan Allah", namun keberadaan Diri Allah yang sama. Jika kita menilik "kebesaran tindakan Allah" maka Yosua boleh sedikit minder. Benar pada eranya ada air sungai yang sedang sebak dan terbendung, tanpa kaca dan tanpa batu; tentu ini peristiwa luar biasa, namun pada zaman Musa yang tersibak adalah air laut yang terbelah kanan dan kiri menjadi dinding, sembari mereka mendengarkan suara orang Mesir yang ketakutan. Dibandingkan yang terjadi pada Musa tampaknya apa yang dialami Yosua lebih kecil, namun bukan disana isunya, yang menjadi masalah adalah apakah Allah yang sama yang menyertai Musa masih sama menyertai Yosua. Allah berhak memakai cara-Nya entah itu membelah air laut entah itu menurunkan embun yang cukup sederhana, yang penting adalah Allah memberikan penyertaan. Di rumah, kita tidak perlu risau jika air mandi kita tidak tiba-tiba terbendung, kita tidak perlu galau jika tidak ada peristiwa spektakuler mengiring kita; hal itu bukanlah isu serius bagi kita; yang perlu kita terus sadari dan syukuri adalah bahwa Allah yang sama sedang menyertai kita.
Nanti dalam kisah penaklukan Yerikho kita melihat dengan jelas bahwa invasi militer yang mereka lakukan sama sekali tidak lazim, mereka berjalan mengelilingi tembok dengan diam, tentu saja ini bukan aksi olah raga unutk menguatkan kaki mereka. Ada orang yang berusaha untuk menjelaskan hal ini secara ilmiah, berkenaan dengan gelombang suara dsb. namun justru disini hal yang sangat penting untuk kita lihat adalah ketidak laziman cara perang ini. Mereka akan mengingat bahwa pertempuran ada di tangan Allah, ini yang paling penting. Allah bisa memakai cara yang sangat alamiah, dan Allah terkadang memakai cara yang kurang atau tidak alamiah (hal ini sering kita sebut sebagai mujizat). Namun bukan itu isu utamanya. Yang paling utama adalah, bahwa Allahlah yang empunya pertempuran. Terkadang dalam hidup kita, kita berhadapan dengan masa atau masalah yang sangat kita takuti. Itulah yang tepat saat ini sedang dihadapi Israel. Ketika 12 pengintai mengintai tanah Kanaan; salah satu ketakutan utama mereka adalah karena orang-orang Kanaan memiliki kota berkubu. Karena ketakutan ini menghasilkan ketidakpercayaan, maka seluruh generasi prajurit tersebut kecuali (Yosua dan Kaleb) tidak ada yang diijinkan Allah masuk tanah Kanaan.
Demikian kita melihat ini adalah hal yang sangat besar, mereka ketakutan sekali terhadap kota berkubu; dan salah satu kota berkubu yang sangat kokoh tersebut kini sedang mereka hadapi. Allah tidak menenangkan mereka dengan memperlengkapi mereka dengan meriam superkuat, atau strategi lain yang lebih make sense untuk umat yang menghadapi tantangan serius ini, tentu juga bukan melalui teori fisika super canggih yang akan mencengangkan Einstein tentang gelombang suara yang merobohkan tembok. Alih-alih melakukan itu semua; justru para imam disuruh untuk memimpin upacara baris berbaris yang diiringi dengan peniupan terompet. Sekali lagi mereka belajar, TUHAN sang empunya pertempuran, ketika hal besar, asa sulit, perubahan drastis datang; mari kita mengingat; Allah yang menampakkan diri di Horeb, Allah yang menyertai tentara israel, dan Allah yang memberikan Putera Tunggal-nya tersalib adalah Allah kita saat ini. Apapun cara yang mana kita dipimpin untuk memasukinya, biarlah kita mendapati ketenangan. Musa boleh mati, manna boleh berhenti, mujizat boleh absen, musuh boleh kuat, dan masalah boleh besar, yang penting Allah beserta kita.
Hal terakhir yang kita lihat adalah kegagalan mereka dalam penaklukan di Ai. Lawan kecil, mudah untuk mereka lumat, terkhusus jika Yerikhopun bisa kandas. Ada noda ketidak kudusan diantara mereka; Akhan mencuri barang yang tidak diperbolehkan untuk diambil. Israel lagi-lagi harus belajar, mereka menang bukan karena mereka kuat, bukan juga karena lawan mereka lemah; namun karena Allah beserta mereka. Ketika Allah beserta, satu hal yang terus perlu kita perhatikan adalah bahwa Allah itu kudus. Setiap kita yang hidup dalam syukur akan kehadiran dan penyertaan Allah juga perlu untuk terus bergumul untuk hidup dalam kekudusan.
Dalam hidup ini kita suka atau tidak akan masuk dalam babak-babak baru yang sering kali tidak kita antisipasi. Anak akan menjadi dewasa dan mengemban tanggung jawab, suami akan bertumbuh menjadi ayah, ayah akan menjadi kakek, yang sehat akan sakit, yang bekerja bisa kehilangan atau mendapatkan pekerjaan yang sangat berbeda. Banyak sekali hal yang terjadi demikian cepat tanpa sempat kita antisipasi. Namun satu hal yang senantiasa kita antisipasi, yaitu bahwa Allah beserta kita, dan kiranya hal tersebut senantiasa menentramkan dan menuntut kekudusan dalam hidup kita.
GOD be praised!!!
Ringkasan khotbah ini sudah diperiksa oleh pengkhotbah (EA)
Baca: Yosua 1:1; Yosua 5