Pentakosta adalah peringatan yang setiap tahun kita renungkan, seperti juga Jumat Agung, Paskah, Natal; bahkan pasal 2 ini sudah amat sangat sering dibahas. Kita musti mempelajari lagi dan lagi berita Pentakosta ini, dan harap tidak menjadi satu berita yang klise, yang seperti anak Sekolah Minggu, lalu kita mengatakan, ya, saya sudah tahulah, itu, ulang-ulang lagi, “gentle reminder”. Saya percaya di dalam Kekristenan sudah pasti ada tempat untuk gentle reminder, tapi kalau semuanya gentle reminder tentu kurang.
Waktu kita membaca bagian ini, ada beberapa bagian yang menarik. Misalnya tentang gambaran Roh Kudus, di sini dikatakan seperti tiupan angin keras yang memenuhi seluruh rumah. Kita tahu di Perjanjian Lama istilah ruah dalam bahasa Ibrani diterjemahkan roh atau nafas, atau bisa juga angin; dan ambiguitas ini sepertinya sesuatu yang dipertahankan karena memang ada kaitan satu dengan yang lain. Jadi, waktu di bagian ini bicara tentang Roh Kudus dan digambarkan seperti tiupan angin keras, ini satu gambaran yang mengkonfirmasikan ambiguitas tersebut, meski bagian ini ditulis dalam bahasa Yunani tentunya, dengan istilah pneuma. Tiupan angin keras ini, kalau kita membandingkan dengan teologi Perjanjian Lama, ada satu ayat yang agak jarang dikaitkan dengan bagian ini tapi secara istilah pakai istilah yang sama, yaitu dari Amsal 1:23. Kita coba membaca bagian Amsal ini untuk menerangi berita Pentakosta yang kita baca hari ini; dikatakan: “Berpalinglah kamu kepada teguranku! Sesungguhnya, aku hendak mencurahkan isi hatiku kepadamu dan memberitahukan perkataanku kepadamu.” Apa yang bisa kita pelajari dari bagian ini, dikaitkan dengan berita Pentakosta? Yaitu bahwa pencurahan, atau tiupan angin (noise) ini, adalah pemberitahuan isi hati Tuhan kepada umat-Nya, pemberitahuan perkataan Tuhan kepada umat-Nya. Di dalam Amsal 1 ini Saudara membaca ada nuansa pikiran Tuhan, isi hati Tuhan, pengajaran yang dari Tuhan. Dengan kata lain, waktu kita memahami Pentakosta di dalam terang Amsal 1:23, ketika Roh Kudus bekerja, itu adalah menyatakan isi hati Tuhan, pikiran Tuhan, pengajaran Tuhan, kepada umat-Nya; dan umat-Nya ini bukan hanya kedua belas murid atau mereka pernah yang pernah mengikut Yesus dalam kehidupan Kristus, tapi jauh melampaui itu.
Ada commentary membahas bagian ini, waktu disebutkan di ayat 9-10 berbagai macam kelompok –Partia, Media, Elam, penduduk Mesopotamia, Yudea dan Kapadokia, Pontus dan Asia, Frigia dan Pamfilia, dst.– commentary tersebut mengatakan bahwa bentangannya adalah melampaui kalau dibandingkan dengan Kerajaan Romawi. Saya mengutip satu bagian dari commentary, Tertullian dalam buku “Against Jews” berpendapat bahwa “Christ overshadows Roman rule by the extents of nations responding” (Kristus melampaui penguasaan Romawi dalam jangkauan bangsa-bangsa yang berepons). Universalitas berita Pentakosta jauh lebih menarik daripada narasi yang dibangun oleh Kekaisaran Roma. Saudara, waktu Roh Kudus bekerja, kita mendapati bahwa narasi-narasi penguasaan yang dibangun di dalam dunia ini jadi tidak menarik, itu lagi, itu lagi, membosankan. Waktu Roh Kudus bekerja, dia akan mengundang banyak orang, kelompok, bangsa, suku, bahasa, untuk mengerti apa artinya Tuhan yang adalah Raja, Tuhan yang berkuasa, Tuhan yang memimpin umat-Nya.
Di sini kita membaca ada istilah “lidah-lidah seperti nyala api”. Kenapa pakai gambaran lidah? Lidah, ini ada urusannya dengan berbicara, perkataan, pengajaran; bahwa isi hati Tuhan dinyatakan di dalam perkataan, yang kemudian bisa dimengerti oleh banyak orang. Kita biasa menekankan gambaran ini dengan empowerment orang-orang yang berbicara memberitakan Injil; itu tentu tidak salah, karena memang Pneumatologi (doktrin Roh Kudus) dalam Injil Lukas banyak dikaitkan dengan empowerment for mission (diperlengkapi untuk misi) –sedikit berbeda dengan profil Pneumatologi Yohanes yang lebih menekankan pekerjaan Roh Kudus sebagai parakletos (penghibur), dsb. Jadi, tentu ada tempatnya mengatakan bahwa di bagian ini, mereka yang berbicara itu diurapi sehingga berbicara dengan keberanian; tapi mungkin yang tidak kalah penting adalah bahwa orang yang mendengar bisa mengerti, bahwa orang yang mendengarnya itu bisa mengerti di dalam bahasa mereka. Ini tantangan untuk kami para hamba Tuhan –dan juga Saudara sekalian dalam kesaksian di tengah-tengah masyarakat– bagaimana bahasa pemberitaan kita, termasuk bahkan bahasa tubuh kita, dimengerti oleh masyarakat. Kemarin ada pengukuhan guru besar Profesor Benyamin Intan; lalu saya sharing sedikit di situ mengenai temptation dalam dunia akademik, yaitu kita bisa asyik sendiri bicara hal-hal yang kita mau selidiki, tapi pertanyaannya apakah ini bisa dimengerti oleh orang lain. Ini problem komunikasi sejak dulu, dan mungkin sampai Yesus datang tidak akan selesai, waktu Yesus kembali baru akan selesai.
Di awal tadi kita membaca Perjanjian Lama, tentang Menara Babel. Ini kaitan klasik, Pentakosta dan Menara Babel yang dikontraskan. Di Menara Babel orang sulit berkomunikasi, jadi tidak saling mengerti. Ini komunitas yang sering salah mengerti, gosip, yang mungkin tidak harus lahir dari hati yang jahat –meski ada juga yang lahir dari hati yang jahat– tapi dari tafsiran yang salah, salah mendengar, salah mengerti, salah memahami, karena kecurigaan, dst., dst. Rumit sekali. Akhirnya urusan gampang, urusan sederhana, jadi luar biasa rumit. Lalu pengharapannya di mana? Pengharapannya ada pada Pentakosta, pengharapannya ada pada Roh Kudus. Sampai kepada hal-hal yang kelihatan sepele, kita tidak akan bisa berkomunikasi dengan baik, kita akan terus salah mengerti, salah tafsir, salah memahami, dan salah dimengerti juga, dst., dst., kalau tidak ada pekerjaan Roh Kudus. Tentu pekerjaan Roh Kudus bukan hanya memperbaiki komunikasi dalam hal-hal sepele, misalnya bilang ayam lalu dimengerti ayan, tapi dalam pengertian isi hati Tuhan. Hanya saja, kalau dalam hal-hal sederhana yang sehari-hari saja kita banyak salah mengerti, lalu dalam mengerti pekerjaan Tuhan yang besar kita tidak salah mengerti, bukankah ini agak aneh?? Kalau dalam hal-hal sepele kehidupan sehari-hari kita sering salah mengerti, kita tidak tahu bagaimana berkomunikasi, kita juga bahkan mungkin tidak peduli apakah orang lain itu mengerti yang kita katakan atau tidak, atau mungkin kita tidak sabar mendengar, dst., dst., lalu pengharapannya apa bahwa kita bisa mengerti isi hati Tuhan dengan tidak salah?? Kalau urusan sederhana saja kita salah, kita tidak bisa mendengar, lebih mirip narasi Menara Babel yang setiap orang bicara sendiri-sendiri, silakan tafsir sendiri-sendiri pokoknya saya sudah ngomong dan kamu sudah dengar, dst., dst., lalu pengharapannya apa bahwa kita bisa mengerti isi hati Tuhan dan pekerjaan Tuhan dengan benar?? Tetapi sering kali kita berpikir, ‘ya, tidak apa-apalah kita salah mengerti urusan sehari-hari, tapi kalau urusan pengajaran doktrin Kristen, kita mengertinya semua benar, koq’; yakin Saudara?? Jangan-jangan resepsinya juga keliru, jangan-jangan salah menafsir, jangan-jangan tidak betul-betul memahami isi hati Tuhan. Sekali lagi, berita Pentakosta di sini adalah bahwa evangelistic empowerment itu disertai dengan bagaimana kemudian orang-orang ini bisa mendengar tentang pekerjaan Tuhan, karya Tuhan, isi hati Tuhan, pengajaran Tuhan, di dalam bahasa mereka.
Kita sudah membahas di mimbar ini, ada perbedaan antara Yudaisme dengan Kekristenan. Yudaisme menarik orang ke dalam, kalau orang mau jadi umat Allah, mereka musti ke Yerusalem, musti belajar bahasanya orang Israel –menarik ke dalam; sedangkan Kekristenan gerakannya lain, ke luar. Saya bukan mau menyamakan dengan Yudaisme, tapi kalau Saudara baca cerita Menara Babel, gerakannya juga ke dalam. Orang ditarik ke dalam, mereka mau menjadi satu dengan mendirikan satu menara, supaya orang-orang berkumpul di situ, itulah narasi Menara Babel. Tetapi narasi Kristen adalah orang-orang percaya diserakkan ke seluruh dunia; narasi Kristen adalah Yesus mengatakan “Kamu di utus ke tengah-tengah serigala”. Itulah narasi Kristen. Narasi Kristen itu babak-belur; narasi Babel itu getto, menarik ke dalam, bikin comfort zone sendiri, tapi akhirnya dibubarkan juga oleh Tuhan. Karena apa? Karena itu bukan pekerjaan Tuhan. Itu namanya memaksa orang lain untuk mengerti bahasa kita sendiri, bukan bagaimana kita belajar memahami cara pikir orang lain, mempelajari bahsa mereka.
Perhatikan Kitab Suci yang ada pada kita, ini adalah kitab yang diterjemahkan. Kita bukan agama yang melakukan sakralisasi bahasa asli. Bukan kita tidak menghargai bahasa asli, kita mempelajari bahasa asli, tapi kita tidak mensakralkan bahasa asli, maka kitab suci kita diterjemahkan lagi dan lagi dan lagi. Kenapa? Karena Pentakosta. Tetapi harap ini bukan cuma jadi cerita penerjemahan Alkitab yang Saudara keluar uang untuk mendukung; itu terlalu kurang. Menerjemahkan keluar ini adalah way of life; kalau pun kita tidak punya talenta menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa lain, tidak apa-apa juga, tetapi sebagai way of life menerjemahkan pekerjaan Tuhan ke dalam bahasa lain, tetap Saudara tidak bisa melarikan diri dari tanggung jawab ini. Meski Saudara tidak terlibat dalam penerjemahan Alkitab, Saudara dipanggil untuk menerjemahkan berita Injil, perbuatan-perbuatan Allah di dalam bahasanya orang lain, dan bukan di dalam bahasa sendiri. Gereja, kehadirannya juga seharusnya seperti itu, barulah itu artinya kita mengerti Pentakosta.
Pencobaannya, lagi-lagi narasi Menara Babel itu; kita berkumpul menjadi satu, kita kuat, kita kompak, kita ada persekutuan –tapi akhirnya dibubarkan oleh Tuhan karena itu bukan cara Tuhan bekerja. Menikmati sendiri di dalam, selalu ada pencobaan seperti itu di dalam Kekristenan. Sedikit sharing pergumulan doa di Eropa; karena kita di Eropa ini sebagai diaspora Indonesia, maka secara natural kita bisa lebih dekat satu dengan yang lain, kita banyak persekutuan, dsb., tapi kelemahannya kita masih kurang menjangkau keluar. Persekutuan di dalam itu indah, kita menikmati, tapi kita bisa tenggelam bersama-sama dalam keadaan yang ya sudah, memang begini. Bukan berarti itu sesuatu yang sepenuhnya jelek, tapi gerakan ke luar memang kadang-kadang musti mengorbankan persekutuan, karena waktu Saudara diutus ke tengah-tengah serigala, maka ketemunya serigala. Kalau tidak mau ketemu serigala, ya sudah, bersama-sama domba terus, tidak pernah ada pergumulan, tidak ada bahaya, dan sudah pasti tidak ada penganiayaan dan penderitaan. Karena apa? Karena kita menciptakan getto sendiri, getto orang-orang yang saling mengasihi, saling rendah hati, dst. dst. Tetapi sekali lagi, berita Pentakosta mengajarkan kepada kita untuk memberitahukan isi hati Tuhan di dalam bahasanya orang lain –sebagaimana dicatat di sini, Partia, Media, Elam, penduduk Mesopotamia, Yudea dan Kapadokia, dst., dst. Dan di sinilah supernatural work of God.
Kenapa supernatural? Kalau boleh saya tafsir sedikit bagian ini, yaitu karena secara natural, secara natur keberdosaan kita, dari sisi kita, kita maunya berbicara dengan bahasa kita sendiri saja; kalau orang lain mau mengerti, ya, silakan belajar bahasa saya dong, supaya bahasa saya yang dimengerti. Saya tidak usah belajar bahsa orang lain, kebudayaan orang lain, biar mereka saja yang belajar kebudayaan kita kalau mereka mau mengenal kita. Sekali lagi, Saudara, inilah temptation dari kehidupan Kristen yang anti Pentakosta. Kelihatan sangat alamiah, biasa, tapi mungkin kita akhirnya jadi komunitas yang narsisitis, yang tidak peduli dengan orang lain. Orang lain harus selalu mengerti kita tapi kita tidak pernah bisa mengerti orang lain. Kiranya Tuhan menolong kita, kiranya Roh Kudus empowers kita dalam perenungan-perenungan seperti ini.
Ada banyak hal yang berbeda kalau Saudara lihat dalam Injil Lukas secara profil teologinya. Saya bukan mau mengoreksi teologi Reformed, tapi seperti Saudara tahu, biasanya waktu kita bicara tentang orang beragama dalam kehidupan keagamaan mereka, kita mengatakan, “Ya, perbuatan-perbuatan baik itu ‘kan tidak menyelamatkan, tidak sempurna, seperti kain kotor sebagaimana ada ayatnya di Perjanjian Lama” –standar Injili. Itu memang betul, memang tidak menyelamatkan, tapi profil teologi Lukas agak sedikit berbeda. Di sini Saudara melihat gambaran orang-orang yang saleh; dikatakan dalam Kis. 2:5, ‘Waktu itu di Yerusalem diam orang-orang Yahudi yang saleh dari segala bangsa di bawah kolong langit” –ada perkataan ‘saleh’ (pious) di sini. Sepertinya orang-orang ini memang belum diselamatkan; dan ini bukan catatan satu-satunya, sebagaimana Saudara baca dalam Injil Lukas –penulis yang sama dengan kitab Kisah Para Rasul– ada membicarakan tentang perwira yang saleh, yang takut akan Tuhan. Dalam tulisan Lukas, dibicarakan dengan certain degree of respect terhadap orang-orang yang ada ketertarikan tertentu dalam hal keagamaan, bukan dibicarakan melulu secara negatif, bukan dibicarakan melulu secara ‘Ah, ini tidak menyelamatkan, masih di luar Kristus, fondasi roboh’, dst., melainkan dibicarakan bahkan sebagai pekerjaan Roh Kudus yang nantinya akan membawa merreka ke kehidupan yang betul-betul berbagian dalam cerita Injil. Sekali lagi, gambarannya tidak selalu dikontraskan antara orang yang punya kehidupan beribadah meskipun belum diselamatkan, dengan yang sungguh-sungguh mengenal Yesus Kristus, sebagaimana standar pola pikir Injili. Di dalam profil Lukas, mereka itu digambarkan dengan certain degree of respect. Kita ingat perwira yang punya bawahan dalam cerita Injil Lukas, dikatakan di situ pemuka Yahudi mengatakan kepada Yesus, “Dia ini orang baik, dia ini memberikan persembahan untuk bait Allah”. Lalu di situ Yesus menjawab apa? Yesus ‘kan tidak menjawab, “Ah, itu sih tidak menyelamatkan! Itu pasti munafik memberinya! Jangan-jangan ada sombongnya”. Tidak ada cerita seperti itu; Saudara tidak baca respons itu di dalam Yesus Kristus –mungkin responsnya orang Injili yang kayak begitu, mungkin Saudara dan saya. Alkitab kita lebih kaya dalam hal ini, pendekatannya lebih kaya. Saya tidak mengatakan poin tadi selalu salah, tentu ada tempatnya orang ditegur, memang bisa saja ada orang yang mendukung pekerjaan Tuhan karena sombong, tetapi Lukas, agaknya profil teologinya memberikan tempat kepada orang-orang yang suka beribadah tapi mereka belum sungguh-sungguh diselamatkan, belum sungguh-sungguh mengenal Allah yang sejati, namun ada semacam rasa takut akan Tuhan (fear of God), ketertarikan dalam agama (interest in religion). Ini kelompok yang disebut sebomenoi, orang-orang yang takut akan Allah (ini istilah yang sering dipakai). Jadi ada gambaran semacam jembatan; dan ini pun pekerjaan Roh Kudus. Pekerjaan Roh Kudus yang menanamkan pada orang sehingga orang tersebut bisa mempunyai suatu kehidupan keagamaan, takut akan Allah, dsb. Ada gambaran universalitas di sini, tanpa menjadi kacau dengan mengatakan bahwa orang itu diselamatkan karena kesalehannya; yang seperti itu tidak ada dalam tulisan Lukas, diselamatkan tetap bukan karena kesalehan. Namun dalam hal ini mau menyatakan bahwa mereka bisa saleh pun, itu satu pendahuluan yang dikerjakan oleh Roh Kudus. Jadi, kita bisa merayakan pekerjaan Roh Kudus dalam derajat yang lebih luas sebetulnya, termasuk di dalam pendahuluan-pendahuluan yang Tuhan kerjakan dalam diri orang-orang yang beragama, yang tidak harus selalu dipandang negatif dan over critical —mungkin inilah sumbangsih dari Lukas.
Kita membaca di ayat 5: ‘Waktu itu di Yerusalem diam orang-orang Yahudi yang saleh dari segala bangsa di bawah kolong langit’. Dikatakan di sini ‘orang-orang Yahudi yang saleh dari segala bangsa’, bukan cuma dari bangsa Israel, tapi dari segala bangsa di bawah kolong langit. Ini adalah orang-orang yang dipersiapkan Tuhan, orang-orang yang akhirnya akan dibawa masuk ke dalam cerita Pentakosta. Sekali lagi, bedanya dengan Yudaisme, mereka bukan tidak ada pengharapan universal –teologi Sion dalam Perjanjian Lama menunjukkan Yudaisme mengembangkan cerita bahwa pada akhirnya seluruh bangsa akan datang ke Yerusalem, akan belajar tauratnya Israel, akan diajar di sana, akan belajar di gunung Tuhan, dan akan menyembah Allah Israel– tapi Saudara perhatikan, selain gerakan menarik ke dalam tadi, di dalam resepsi yang keliru akhirnya penekanannya bukan kepada ALLAH Israel (Yahweh) tapi pada Allah ISRAEL. Kita juga bisa jadi berpikir seperti ini tentang Gereja kita, tentang pekerjaan Tuhan di dalam kehidupan kita, penekanannya bukan pada TUHAN-nya tapi pada KITA-nya, yang dibicarakan adalah tentang kita-nya. Jadi very misleading. Mereka jadi bangsa yang bangga punya Taurat, bukannya Taurat-nya itulah yang membuat mereka jadi mengenal diri; mereka menempatkan diri sebagai bangsa yang memiliki Taurat, poinnya bukan pada Taurat tapi pada mereka-nya. Ini kacau. Saudara dan saya tidak kebal dengan spirit seperti ini; bukan tentang Firman Tuhan-nya, bukan tentang doktrin dari Firman Tuhan-nya, tapi tentang kita-nya yang bisa mengerti, kita-nya yang bisa menguasai. Ulang-ulang dan ulang-ulang terus, setiap zaman ada pengulangan seperti ini, kayak tidak belajar-belajar dari Firman Tuhan. Orang Yahudi bangga sekali bahwa mereka punya Taurat, mereka punya Allah, dan Allahnya adalah Allah yang sejati, bukan Allah teritorial tapi Allah universal, itu sebabnya semua orang musti datang ke sini –jadi agen tunggal kebenaran; lalu pengharapannya apa? Pengharapannya bahwa pada akhirnya akan ada satu bahasa, bahasanya Israel, karena orang ‘kan mau belajar Taurat-nya Israel, Allah-Nya Israel, jadi bahasanya pun bahasa-nya Israel dong. Sekali lagi, ini lebih mirip narasi Menara Babel daripada Pentakosta. Pekerjaan Tuhan jadi luar biasa kabur di sini, yang ada adalah kebesaran Israel.
Mungkin juga bukan kebetulan kita membaca di ayat 3, ‘dan tampaklah kepada mereka lidah-lidah seperti nyala api yang bertebaran dan hinggap pada mereka masing-masing’; dalam bahasa Inggris lebih jelas, dikatakan: ‘And divided tongues as of fire appeared to them and rested on each one of them’. Dalam bahasa Inggris dikatakan ‘divided tongues’, sementara dalam bahasa Indonesia ‘lidah-lidah’, agak kehilangan nuansa terbagi-baginya. Ada satu teolog –yang mungkin bisa dianggap kurang ortodoks, tapi kita tangkap positifnya saja dalam hal ini– dia mengatakan istilah yang tidak biasa, yaitu ‘kenosis of the Holy Spirit’ (kenosis biasanya istilah yang dipakai untuk Pribadi Kedua, Kristus yang mengosongkan diri-Nya, mengambil rupa seorang hamba –Filipi 2), maksudnya Roh Kudus juga “mengosongkan diri” di dalam pengertian divided tongues; sama seperti Roti yang dipecah-pecah, tubuh Yesus Kristus yang dipecah-pecah, ini Roh Kudus tampak dalam divided tongues. Kenapa tidak satu nyala api besar saja? Tentu boleh juga, Dia Allah, sangat layak tampak dalam satu nyala api besar lalu semuanya ditarik kepada yang satu itu. Tapi sekali lagi, itu bukan narasi Pentakosta, itu narasi Menara Babel tadi –satu, lalu semua orang ditarik ke sana– yang akhirnya terpecah-pecah tidak keruan, akhirnya terserak ke seluruh dunia. Pada akhirnya terserak juga, tapi terserak bukan karena diutus Tuhan; bagaimanapun juga akan terpecah-pecah, tapi bukan di dalam kehendak Tuhan, melainkan sebagai hukuman. Kalau begini, lebih baik kita “scattered” di dalam pengutusan Tuhan, yang akhirnya toh musti scattered juga.
Saudara tidak bisa menghindari dipecah-pecahkan, tapi masalahnya, Saudara dipecah-pecahkan karena tertumbuk/terhancurkan oleh penghakiman Tuhan, yang karena itu jadi terpecah-pecah, atau dipecah-pecahkan di dalam kehendak Tuhan yang indah seperti kita baca di sini. Rasul-rasul juga akhirnya dipecah-pecahkan, bukan semuanya berada di Yerusalem, ada yang ke tempat ini dan yang ke tempat itu, dst. Kita membaca cerita Gereja pun seperti itu. KTB (OSG) Saudara dipecah-pecahkan atau tidak? Ada OSG yang tidak mau dipecah, anti Pentakosta somehow. Ada komunitas yang tidak mau pecah, terus saja jadi satu; ini penghayatan Pentakostanya di mana? ‘O, saya percaya Roh Kudus; setiap Minggu saya reciting Pengakuan Iman Rasuli, “aku percaya pada Roh Kudus”’; apa Saudara pikir Kekristenan cuma reciting seperti itu tapi kemudian tidak ada juntrungannya, tidak ada aplikasinya, tidak ada hubungannya dengan kehidupan sehari-hari? Totally menjalani narasi yang sama sekali berbeda dengan narasi Alkitab, dan tidak sadar-sadar kalau itu bukan narasi Alkitab. Heran, ya.
Itu sebabnya kecuali Roh Kudus yang bekerja, kita tidak mengerti isi hati Tuhan, kita akan terus salah mengerti, kita salah tafsir, akhirnya kita pakai Firman Tuhan untuk mengonfirmasikan apa yang memang sudah kita cintai secara alamiah; dari dulunya begini, jadi kita akan teruskan begini –dan ada justifikasi teologis yang kita pakai untuk itu! Inilah persoalan di dalam Kekristenan. Bukan tidak ada Firman Tuhannya, tapi tidak membiarkan Tuhan betul-betul berbicara dan ”mengobrak-abrik” kerapian yang sebetulnya kita susun sendiri dengan strategi manusia. Tuhan pastinya datang bukan untuk mengobrak-abrik, Tuhan datang merapikan, tapi dari perspektif Saudara dan saya yang berdosa dan rusak, pekerjaan Tuhan yang merapikan itu seperti mengobrak-abrik, padahal kitalah yang sebetulnya kacau balau. Sekali lagi, lihatlah kembali cerita Menara Babel, pekerjaan mereka diobrak-abrik ‘kan?? Mereka dipencarkan ke seluruh dunia, itu diobrak-abrik namanya; bukankah lebih baik kompak jadi satu, koq Tuhan bikin kocar-kacir? Ya memang, karena itu bukan kesatuan yang dari Tuhan, itu kesatuan yang dibangun dari bawah; dan betul-betul tidak ada artinya. Tuhan tidak tertarik kesatuan yang dibangun manusia seperti itu, itu bukan pekerjaan Roh Kudus. Pekerjaan Roh Kudus berarti Saudara ke luar, di tengah-tengah serigala, lalu di situ mengalami penderitaan, bergumul, dan ada persekutuan orang-orang yang menderita karena Kristus. Kita tidak akan khotbah bagian ini, tapi Saudara bisa baca di dalam kitab Wahyu misalnya. Ini persekutuan orang-orang yang menderita, bukan berkumpul di tempat yang sama, sama sekali bukan itu tapi karena sama-sama menderita bagi Kristus, meskipun satunya di India, satunya di Korintus, satunya di Gerika, dsn seterusnya, di mana pun, termasuk juga di Yerusalem.
Sekali lagi, Roh Kudus hadir bukan di dalam satu nyala api yang besar tapi in divided tongues. Ini divided tongues yang kemudian ketika bahasa tersebut diperkatakan, itu juga divided ke dalam bahasa yang beraneka ragam. Dari satu, divided ke dalam bahasa yang beraneka ragam. Ini pekerjaan yang memang resek; yang paling gampang adalah saya tidak usah mengerti Saudara, tidak usah mengerti siapapun, kamu semua yang belajar mengerti saya, selesai. Tapi sekali lagi, itu berarti bukan Pentakosta; kalau Pentakosta, berarti saya mendengarkan satu persatu, ini orang apa, budayanya apa, kebiasaannya apa, saya musti bicara apa waktu ketemu orang yang ini; lalu waktu ketemu orang yang umurnya lain, gender-nya lain, pergumulannya lain, latar belakang budayanya lain, keluarganya lain, saya musti bicara lain lagi dan tidak bisa sama dengan yang tadi, dst. Inilah namanya divided tongues, inilah baru artinya bicara Pentakosta. Dan ini penyangkalan diri, karena pada dasarnya secara alamiah Saudara dan saya tidak suka pecah, kita maunya utuh dan tetap melayani Tuhan dan tetap memberkati orang lain. Gereja yang mau tetap utuh, tidak mau pecah, dan mau menjadi berkat, itu mimpi, itu tidak ada hubungannya dengan Pentakosta –dan yang mengkuatirkan, itu mungkin lebih dekat dengan cerita Menara Babel.
Bukan cuma pembangunan menaranya, ada banyak prinsip yang bisa kita pelajari dari cerita Menara Babel, keengganan untuk dipecah-pecahkan, keengganan untuk diserakkan oleh Tuhan lalu membangun satu getto sendiri. Kita ini garam dan terang ‘kan; Yesus mengatakan kita ini garam dan terang. Lalu bagaimana mungkin garam bisa mengasinkan kalau tidak hancur?? Bahkan terang pun artinya ada minyak yang terbakar. Di dalam lilin, lilinnya pun hancur. Itulah yang namanya terang. Terang bukanlah sesuatu untuk dipandang keren-kerenan, terang itu sebetulnya penghancuran diri. Yesus sendiri di atas kayu salib mati dipecah-pecahkan, itu namanya terang, itu namanya garam. Yesus mati di atas kayu salib bukan untuk pemandangan keren-kerenan lalu orang bilang, “Wah, bagus ya”. Tidak ada yang bagus di sana; itu bukan sesuatu yang bagus, enak dipandang. Itu bukan sesuatu yang kemudian orang kagum; yang orang bisa kagum mungkin prosesinya kaisar Romawi, “Wiih! keren ya kereta kudanya; Waah! banyak ya prajuritnya, ada berlaksa-laksa, lalu pakaiannya … “ dsb. Yesus mengatakan, “Kamu mau cari pakaian-pakaian yang indah, itu tempatnya di istana” –waktu dia bicara tentang Yohanes Pembaptis. Kita mengerti tidak, Kekristenan itu apa sebetulnya? Apa sih Kekristenan? Apa itu Pentakosta, siapa Yesus Kristus itu, Roh Kudus itu seperti apa/siapa, dan bagaimana Allah kita bekerja? –pertanyaan-pertanyaan yang dasar ini.
Berita Injil itu kemudian seolah-olah dibawa ke rumah mereka masing-masing, orang-orang Partia, Media, Elam, penduduk Mesopotamia, Yudea dan Kapadokia, dst. Bukan mereka disuruh keluar rumah, lalu disuruh datang ke Yerusalem. Memang betul mereka berada di Yerusalem, in a way ‘mereka datang’, tapi penekanannya adalah Tuhan membawa berita itu kepada bahasa/pemahaman mereka masing-masing –inkarnasi. Pentakosta ini spiritnya sama dengan inkarnasi. Saya tidak bilang Roh Kudus inkarnasi, Roh Kudus memang bukan menjadi daging, tapi ini spirit yang sama, konsisten, hanya bentuknya saja yang lain. Bebarapa hari lalu kita turut berdukacita atas kematian seorang yang sangat diberkati Tuhan, Tim Keller. Ada banyak hal yang kita bisa bicara tentang kehidupannya, tapi salah satunya adalah: dia mengerti spirit inkarnasi ini, dia membawa the good news, Injil, kabar baik itu, di dalam konteks kehidupan orang-orang yang skeptis, sekuler, sebagaimana di kota New York, masuk ke dalam ideologi kota New York. Kita bisa atau tidak bicara Injil, yang masuk kepada orang-orang di Kelapa Gading? Kalau saya tanya, orang Kelapa Gading itu bagaimana sih karakternya, jangan-jangan Saudara juga tidak tahu.
Sekali lagi, Tuhan itu membawa gospel message di dalam bahasa mereka masing-masing. Ini pekerjaan yang lama, karena Saudara perlu mendengarkan sebelum berbicara, karena Saudara perlu mengenal, tidak boleh buru-buru judgement, buru-buru framing, buru-buru labeling. Buru-buru seperti itu gampang, tinggal langsung beri label; bahkan mengerti pun belum, baca pun belum, mendengar pun belum, langsung judgement dulu. Itu paling gampang, karena tidak perlu inkarnasi, just give the label lalu selesai; kalau tidak cocok, ya sudah, toh saya sudah sample anyway. Sulit ya, kalau Kekristenan seperti ini, bahkan suram. Karena apa? Karena jauh dari narasi Pentakosta! Ini bukan narasi Pentakosta; yang dipakai adalah narasi yang lain, narasi prosesi roman emperor tadi mungkin dengan segala kemegahan dan kemewahannya, narasi Menara Babel, narasi ideologi ini dan ideologi itu, tapi bukan Injil sebetulnya.
Di dalam Pentakosta ini, ada nuansa Exodus. Dari mana kita tahu? Karena di sini ada istilah yang sangat khas dipakai, misalnya dalam kitab Ulangan 11:2. Di situ pakai istilah ‘the mighty deeds of God’, dan ini ada di ayat 11 waktu dikatakan: “… kita mendengar mereka berkata-kata dalam bahasa kita sendiri tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah“. Perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah (the mighty deeds of God), di dalam Pentateukh merupakan istilah khusus yang menunjuk kepada exodus event ketika mereka dikeluarkan dari Mesir. Pekerjaan Allah yang besar itu apa? Yaitu: keluar. Keluar dari apa? Saya menerjemahkan dalam konteks kita, ini berarti keluar dari narasi Menara Babel, keluar dari narasi Roman Emperor, keluar dari narasi kapitalisme, neo-marxisme, pragmatisme, keluar dari semua ideologi yang lain, itulah Exodus, itulah bicara tentang Injil yang sejati, yaitu ketika ada exodus dari ideologi-ideologi yang mungkin selama ini kita tidak sadari.
Kita mungkin cenderung hidup di dalam getto, maka kita musti keluar dari sana, keluar dari narasi itu, karena itu bukan cerita Pentakosta. Cuma Tuhan yang bisa mengeluarkan; seperti dalam cerita Exodus, Tuhan yang mengeluarkan, orang Israel tidak bisa membebaskan diri mereka sendiri. Kalau Saudara dan saya musti keluar sendiri dari cerita Menara Babel, Saudara dan saya tidak ada kekuatan, karena kita nyaman koq, di sana sebetulnya. Kita nyaman menjadi utuh dan tidak usah pecah, dan lagi, kita somehow membayangkan diri kita menjadi berkat. Kita nyaman dengan itu, luar biasa nyaman. Tidak usah pecah, tidak usah ada luka, tidak usah ada ketersinggungan, dan lagi ‘saya menjadi berkat!’, bukankah itu indah? Saudara, kalau yang seperti ini mungkin, maka Yesus “bodoh sekali” mati di atas kayu salib. Saudara dan saya yang bodoh, atau Yesus yang bodoh?? Apa kita musti mengajari Yesus, “Yesus, Yesus, kenapa sampai musti hancur kayak begitu? Saya ajari ya, cara melayani yang tidak usah pakai hancur-hancuran, kayaknya Yesus tidak mengerti, kayaknya Yesus salah ya, ada caranya melayani tanpa harus larut dan hancur; ada caranya koq, untuk memberkati orang lain, dengan menarik orang lain terus ke dalam, dan kita tidak usah keluar”. Akhirnya jadi salah semua, Roh Kudus salah, Yesus Kristus salah. Atau, Saudara dan saya yang salah, kitalah yang salah, bukan Yesus yang salah. Bukan Yesus yang salah dengan mati di salib, jangan-jangan kitalah yang tidak mengikut Yesus, mungkin kita mengikut allah yang lain, yang tidak membawa kita kepada ‘divided’ tadi, kita maunya kompak, di dalam, satu, seperti Menara Babel.
Terakhir, meskipun ini pekerjaan Tuhan yang besar, tetap ada ketidakmengertian. Ketidakmengertian bisa dua macam, ada ketidakmengertian orang yang rendah hati lalu tetap mau belajar, atau ketidakmengertian yang setelah itu menghakimi, nyinyir. Sekali lagi, sangat berlawanan dengan Pentakosta, inilah orang-orang yang belum mendengar penjelasan tapi sudah framing lebih dulu. Saya lompat ke bagian akhir, orang-orang ini mengatakan, “Mereka sedang mabuk oleh anggur manis.” Tahu apa sih orang-orang Ini? Mereka mendengar juga belum, Petrus belum khotbah, tapi mereka sudah kasih judgment terlebih dulu. Saudara jangan selalu menempatkan diri waktu membaca cerita Alkitab, di dalam kelompok orang-orang yang positif, jangan-jangan kita kadang-kadang juga seperti orang-orang yang tidak sabar mendengar, orang-orang yang pokoknya ngomong dulu, judgement keluar dulu, penilaian keluar dulu, koreksi belakangan, bahkan kayaknya juga tidak perlu koreksi, kalau salah, ya sudah, orang musti maklum. “Mereka sedang mabuk oleh anggur manis”, ini dikatakan orang-orang yang tidak mengerti, dan sudah tidak mengerti pun mereka tidak rendah hati untuk belajar tapi memberikan kalimat-kalimat penilaian/penghakiman, yang mereka sebenarnya tidak qualified sama sekali untuk melakukan itu. Waktu kita memberitakan Injil, kita juga bisa seperti itu, tidak qualified sebetulnya untuk kita memberikan penilaian tapi kita gampang sekali bicara dengan kalimat-kalimat penilaian. Lalu kita merasa, ‘tapi ‘kan saya tidak menyindir pekerjaan Tuhan, saya ‘kan menyindir dunia yang berdosa’ –kembali lagi theological justification lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi, akhirnya tidak ada pertumbuhan.
Sekali lagi, ada ketidakmengertian, tidak bisa discern, tapi dalam hal ini ada dua macam orang. Ada macam orang yang langsung menyindir, nyinyir, sebagaimana kita katakan tadi. Ada juga orang yang tidak mengerti tapi kemudian mereka menanti penjelasannya. Ini setting mempersiapkan Petrus yang belakangan akan khotbah; mereka ini orang-orang yang dikatakan di ayat 12: ‘Mereka semuanya tercengang-cengang dan sangat termangu-mangu sambil berkata seorang kepada yang lain: “Apakah artinya ini?”’ Ada semacam ketidakmengertian, tapi juga ada semacam rasa takjub (amaze), bingung (perplex), keheran-heranan (astonish). Jadi bisa positif juga, mereka kagum, heran, tapi tidak mengerti, namun mereka membuka hati untuk mengerti, mereka mau dididik, mereka tidak langusng keluar kalimat judgement, “Ah, ini sih … ”. Dunia ini dipenuhi dengan orang-orang yang tidak mengerti dan tidak mau mengerti, seperti cerita Menara Babel itu. Waktu orang bicara, langsung bilang, “Saya ‘gak ngerti apa yang kamu omong, sudahlah, saya ‘gak tahu” –langsung cancel culture, selesai. Namun Pentakosta membawa kita kepada kerendahan hati, bukan langsung ke pengertian, tapi di dalam kekaguman meskipun belum sepenuhnya mengerti, kerena nanti Tuhan akan menjelaskan. Tetapi jangan tidak percaya dulu, jangan curiga dulu, jangan sombong dulu, jangan menghina dulu; kalau sudah menghina dulu, ya sudah, berarti sudah menutup diri, mau ada pemberitaan apapun tidak bisa didengar lagi karena sudah kadung menyindir, sudah kadung nyinyir.
Lompat sedikit ke bagian berikutnya, Petrus menjelaskan di ayat 15, “Orang-orang ini tidak mabuk seperti yang kamu sangka, karena hari baru pukul sembilan … “; di bagian ini Alkitab memang tidak mencatat –dan kita tidak boleh spekulasi terlalu jauh– tapi mungkin saja setelah kalimat tersebut ada yang tetap ngeyel, karena sudah kadung terjebak dengan pernyataan nyinyirnya. Orang nyinyir kadang-kadang tergoda untuk tetap konsisten di dalam kenyinyirannya, sudah tidak bisa dikoreksi, karena perlu kerendahan hati untuk meninggalkan judgment yang salah. Sekali lagi, dari natur kita, kita maunya kalau bisa tidak usah koreksi, sudah kadung ngomong salah, ya sudah, kita tetap konsisten di dalam narasi salah, akhirnya benar-benar tidak ada pertobatan. Saya tidak boleh over tafsir, tapi orang yang suka nyinyir biasanya konsisten, kalau sudah benci sama siapa maka harus tetap dipertahankan bencinya, karena kalau hari ini benci lalu besok kagum lalu benci lagi itu nanti orang bilang ‘lu schizofrenia atau apa sih, ‘gak jelas lu berdiri di mana’. Akhirnya ‘oke, oke, saya musti jelas’ lalu jadinya sekali tidak senang musti tidak senang terus, padahal tidak senangnya keliru –tapi sudah tidak bisa dikoreksi. Mengapa? Karena di dalam kenyinyiran pun somehow seperti perlu ada kesetiaan. Kasihan orang-orang seperti ini sebetulnya, orang-orang yang tidak bisa berbagian dalam narasi Exodus. Tidak ada exodus, orang-orang seperti ini; mereka tetap tertinggal di dalam perbudakan Mesir itu, di dalam perbudakan judgmentalism-nya, terus di situ, tidak bisa keluar; Pentakosta sepertinya bukan untuk mereka. Tetapi Saudara dan saya bukan dipanggil ke sana, kita dipanggil untuk keluar dari narasi-narasi yang salah.
Mari mewarnai seluruh kehidupan kita dengan narasi Pentakosta ini.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading