Bagian ini termasuk dalam diskursus perpisahan (farewell discourse) yang dimulai dari pasal 14, kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Yesus, yang mempersiapkan ketika Yesus akan meninggalkan murid-murid-Nya. Di dalam konteks ini, kita membaca tentang Roh Kudus; ini sangat khas Injil Yohanes, tidak ada dalam Injil yang lain. Injil Lukas juga ada pembicaran tentang Roh Kudus, terutama dikaitkan dengan misi, penginjilan, kesaksian, dsb. –dan tentu saja ini tidak ditolak oleh Yohanes– tapi kalau melihat penempatannya, Yohanes secara khusus menempatkan pembicaraan tentang Roh Kudus di dalam farewell discourse, bahwa ada Penolong yang lain.
Istilah ‘Penolong yang lain’, memang dalam bahasa aslinya (bahasa Yunani) tidak sempat jadi technical term, tidak seperti terjemahan Latinnya. Dalam terjemahan bahasa Latin, istilah ‘advocatus’ (advocate), benar-benar jadi istilah teknis, maksudnya jadi semacam profesi yaitu advokat, sedangkan dalam bahasa Yunani tidak sampai jadi istilah teknis seperti itu. Namun demikian, konsepnya tetap bisa kita mengerti dalam pengertian tersebut, ini berarti istilah ‘Penolong yang lain’ ada dalam kaitan dengan pengadilan; maksudnya, diasumsikan murid-murid Yesus akan diseret untuk dihakimi, maka perlu advocatus/advokat, perlu Penolong yang lain itu.
Dalam istilah yang sederhana, kita bisa mengerti Roh Kudus sebagai Penolong, kalau kita sendiri adalah orang-orang yang perlu ditolong; orang yang tidak perlu ditolong, tidak perlu Penolong. Hanya orang yang helpless, yang perlu ditolong, yang memerlukan Penolong. Ini adalah satu asumsi dalam kehidupan manusia. Di bagian ini kita membaca: “Dunia tidak dapat menerima Dia, sebab dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia” (ayat 17), dan saya percaya salah satu alasan dunia tidak mengenal Dia adalah karena dunia memang tidak merasa dirinya perlu ditolong, sehingga tentu saja tidak relevan bicara tentang Penolong yang lain. Bukan hanya Roh Kudus, istilah ‘yang lain’ di sini menyatakan bahwa Yesus Kristus sendiri juga “Seorang” Penolong, dan Dia juga tidak dibutuhkan oleh dunia. Waktu Yesus menjanjikan Penolong yang lain, Dia sendiri juga adalah Penolong; dan sebelum menolong kita, Dia sendiri diseret masuk ke ruang pengadilan itu. Dia adalah Hakim di atas segala hakim, tapi Dia sendiri dihakimi, dan Dia sanggup menolong orang yang dihakimi karena nama-Nya.
Kita ini sulit memahami titel-titel tertentu, baik tentang Roh Kudus maupun tentang Yesus Kristus, kalau kita tidak berada dalam situasi sebagaimana Gereja mula-mula berada. Tidak usah bicara muluk-muluk tentang penganiayaan, dsb., dalam kehidupan kita pun ada persoalan, pergumulan, penderitaan, dan itulah saat-saat kita bisa menghayati Tuhan sebagai Penolong. Dalam Alkitab banyak teguran untuk orang-orang yang tidak rasa hidupnya membutuhkan pertolongan dari Tuhan, atau yang baru teriak kepada Tuhan kalau sudah super kepepet, misalnya dalam akhir masa hidupnya –kalau Tuhan masih memberi dia kesempatan, kalau Tuhan masih beranugerah, karena Tuhan tidak selalu beranugerah. Ada orang yang sepanjang hidupnya tidak rasa perlu Tuhan sama sekali, Tuhan dianggap sebagai sesuatu yang diciptakan manusia, mereka tidak peduli untuk berelasi dengan Tuhan apalagi mengasihi Tuhan.
Yesus memulai kalimat di ayat 15 dengan: "Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku”; maka kita bisa mengaitkan ini dengan pneumatologi, dengan Penolong itu, dengan konsep penolong tadi. Di sini konteksnya adalah pengadilan, penganiayaan, penderitaan, pergumulan –maka ada Penolong yang lain. Penolong itu akan menolong kita untuk tetap mengasihi Kristus dan menuruti segala perintah-Nya, di dalam konteks penderitaan. Memang orang bisa sulit menaati perintah Tuhan, lupa kepada Tuhan, ketika hidup terlalu lancar; tapi kita tahu, pengalaman penderitaan juga bisa membuat orang goncang, kehilangan cinta kasih, mulai jadi dingin. Ketika dalam hidup kita terlalu banyak pergumulan, perkataan kita bisa jadi kasar, kita bisa jadi orang yang cuek, kita bisa jadi orang yang gampang meledak, dsb. Cinta kasih kita bisa tipis sekali dalam saat-saat seperti itu. Cuma Roh Kudus yang bisa menolong kita untuk tetap bisa mengasihi Kristus. Dan, kasih kepada Kristus tidak bisa dipisahkan dari ketaatan kepada perintah-perintah-Nya.
Dunia sulit mengerti hal ini; biasanya kasih tidak dikaitkan dengan perintah. Perintah biasanya dikaitkan dengan kuasa, juga mungkin dikaitkan dengan kesemena-menaan, legalisme, hidup yang kaku, dsb. Dunia hampir tidak pernah mengaitkannya dengan kasih. Tapi Saudara membaca di bagian ini, untuk membedakan cinta kasih yang diajarkan Alkitab dengan cinta kasih yang sekedar sentimentalisme, salah satunya adalah adanya relasi dengan perintah Tuhan atau tidak. Waktu kita bicara tentang kasih, kita bisa terjebak dalam pembicaraan kasih yang semata-mata sentimental. Bukan berarti sentimental pasti salah, tapi kalau purely sentimental, akhirnya menjadi masalah. Ada orang yang mementingkan perasaan, mementingkan kehangatan; kalimat-kalimat yang memberikan sentimental touch sangat penting untuk dia. Ini tidak sepenuhnya salah. Bukan berarti kita tidak perlu dimensi tersebut sama sekali, tetapi orang yang hanya menantikan hal-hal seperti ini, dia sulit untuk mengenal Tuhan. Orang seperti ini biasanya tidak bisa dikoreksi, tidak bisa ditegur, karena kita harus selalu bicara kepadanya dengan kata-kata sentimental, dsb. Namun di bagian ini Yesus, Tuhan kita, mengaitkan antara kasih dengan ketaatan kepada perintah-Nya. Kalau kita mengasihi Tuhan, kita sungguh-sungguh mau menaati perintah-perintah-Nya, menaati Firman Tuhan; kita jadi orang-orang yang tunduk.
Mencintai berarti tunduk. Kalau kita kaitkan dengan hubungan suami istri, juga tepat, karena pengertian suami istri Kristen dibangun dengan cerita cinta kasih antara Kristus dengan jemaat-Nya. Kita ini jemaat, mempelai perempuan, maka hubungan cinta kasih kita kepada Tuhan adalah submit/tunduk pada perintah-perintah-Nya. Kalau kita sulit tunduk, maka menurut Alkitab kita sulit untuk mengasihi. Bukan berarti ketundukan otomatis jadi kasih. Ketundukan bisa ketundukan yang bodoh, yang dengan tertekan, yang konyol, tapi di sini kita membicarakan ketundukan yang benar. Orang yang mencintai, dia tunduk kepada perintah-perintah tanpa harus jatuh ke dalam legalisme; tepatnya, tidak mungkin jatuh ke dalam legalisme, karena ada kasih. Keduanya saling menutupi satu dengan yang lain.
Kalau kita taat pada perintah-perintah tapi bukan karena kasih, di situ kita masuk ke dalam legalisme, menjadi orang yang kaku luar biasa, tidak fleksibel sama sekali, pokoknya selalu bekerja sesuai dengan peraturan dan menuntut orang lain juga begitu. Kita tidak tertarik dengan model ‘ketaatan pada perintah’ yang seperti ini, karena Tuhan juga tidak memperlakukan kita seperti itu. Tetapi waktu kita mengatakan tentang kasih/cinta, itu bukanlah tanpa peraturan, bukan tanpa ketaatan pada perintah. Dalam hal ini, kita bisa mengaitkan ayat 15 dengan ayat 16, bahwa yang menolong kita untuk bisa memahami bahwa kasih tidak ada benturan dengan menaati perintah, adalah Sang Penolong yang lain itu. Kecuali Roh Kudus menolong kita untuk mengasihi Kristus, kita tidak bisa mengasihi Kristus dengan benar, kita akan mengasihi Kristus menurut cara pikir kita. Bukan cuma itu, kita juga akan –dengan cara dan pikiran kita—mengharapkan Tuhan mencintai saya menurut cara dan pikiran saya sendiri. Roh Kudus, Penolong yang lain itu, akan menolong kita untuk bisa mengasihi Kristus dengan benar; dan waktu kita taat pada perintah-Nya, itu karena kita mengasihi Tuhan. “Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya, yaitu Roh Kebenaran” (ayat 16-17a). Saudara lihat di sini, dimensi-dimensi tersebut saling berhubungan; antara kasih, kebenaran, ketaatan pada perintah, ketundukan, semuanya jadi satu paket yang tidak terpisahkan.
Kemarin di grup hamba Tuhan sempat ada diskusi tentang love dan truth, mencoba untuk mengatakan kaitan antara truth dan love. Ada orang yang mengutip sbb.: “Truth without love is self-righteous; love without truth is overindulgence” (kebenaran tanpa cinta/kasih, membawa kepada perasan benar sendiri; cinta/kasih yang tanpa kebenaran, itu terlalu memanjakan diri). Kemudian ada yang menanggapi: “Love without truth, is not love; truth without love, is not truth. Less, we would confuse sentimentalism or narcissistic emotionalism with love, and cold calculative logic with truth” –bagus juga. Keduanya ini tidak harus berbenturan. Maksudnya, waktu dikatakan dalam kutipan pertama “love without truth”, itu pasti bukan love yang Alkitabiah, love-nya dunia seringkali tanpa kebenaran –jadi love-nya dalam tanda kutip, “love”; dan yang dikatakan dunia tentang truth juga seringkali without love –jadi truth-nya juga dalam tanda kutip, “truth”. Sedangkan love yang sejati, love yang Alkitabiah, tidak mungkin tanpa truth; dan truth juga tidak mungkin tanpa love; namun dua hal ini adalah dua dimensi yang berbeda.
Jonathan Edwards pernah menulis tentang hal ini, dia membahasnya secara Trinitarian –tepatnya secara pneumatologis dan kristologis. Menurut dia, Roh Kudus itu dikaitkan dengan spirit of love, dengan religious affection yang membakar kita, dengan holy affection; sementara Kristus dikaitkan dengan truth/kebenaran, logos, pengenalan, pengertian, mind. Karena kita percaya Tritunggal –Roh Kudus bukan tanpa Kristus, dan Kristus bukan tanpa Roh Kudus—maka secara koheren kita juga bisa mengatakan bahwa kita tidak mungkin punya konsep cinta/kasih sentimental yang emosi melulu tanpa tertarik mempelajari kebenaran; di sisi lain, kita juga tidak tertarik mempelajari kebenaran-kebenaran yang tidak membuat kita lebih mencintai –yang terakhir ini juga penting. Kalau Saudara dan saya belajar teologi, ikut PA, ikut seminar teologi, dsb. tapi itu tidak membawa kita semakin mengasihi, mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama, maka salah satu: teologi tersebut salah, teologi sampah yang tidak perlu dipelajari, atau bukan teologinya yang salah melainkan sikap kita yang salah sehingga akhirnya teologi yang baik itu jadi sesuatu yang membawa kita kepada sikap self-righteous sebagaimana dikatakan kutipan tadi. Kebenaran (truth) yang tanpa cinta/kasih (love), itu akan mengukuhkan kita terus-menerus di dalam sikap self-righteousness, self-justification, di dalam sikap pembelaan diri terus-menerus yang bukan cuma secara individual tapi bisa juga secara komunal, institusional, bahkan secara negara, yang terus mempertahankan dirinya sendiri dalam takaran apapun. Dalam sejarah, kita baca ideologi-ideologi negara seperti Nazisme, atau diktator-diktator yang sekarang masih ada; mereka melakukan pembelaan diri, bicara tentang semacam kebenaran ideologi yang mereka tawarkan, yang mereka percaya dan paksakan kepada orang lain, tapi tidak ada cinta/kasih sama sekali di situ.
Kalau kita mempelajari prinsip ini dari perspektif kristologis dan pneumatologis, maka bukan kebetulan di ayat 17 Yohanes membicarakan tentang Roh Kebenaran. Roh Kebenaran membawa kita kepada kebenaran. Kebenaran adalah Kristus sendiri. Roh itu akan membawa kita untuk mengasihi kebenaran, untuk mengasihi Kristus, sebagai Dirinya kebenaran. Tetapi dunia tidak dapat menerima Dia, karena dunia tidak bisa menerima Kristus dan tidak bisa menerima kebenaran. Dalam bahasa Yohanes, kebenaran kontras dengan dusta; dan dusta dalam pengertian Yohanes sangat eksistensial, yaitu orang atau sekelompok orang yang terus-menerus menolak mengenal diri di bawah terang Firman Tuhan, menolak dibawa kepada pengenalan diri yang benar –bukan soal gosip, hoax, dsb.– dalam hal ini, dunia tidak dapat menerima Roh Kebenaran, karena dunia lebih suka dusta. Dunia juga tidak dapat menerima Kristus, Terang itu, karena dunia lebih suka berada dalam kegelapan. Dunia tidak melihat Dia –tidak melihat karena tidak ada terang– tidak mengenal Dia, tidak mau masuk ke dalam pengenalan akan Allah, karena pengenalan akan Allah akan selalu membawa kepada pengenalan akan diri sendiri. Kita tidak bisa mengenal Allah tanpa ada sikap yang introspektif dan reflektif. Itu tidak mungkin. Kalau kita mempelajari kebenaran, dengan sikap yang introspektif dan reflektif, maka kita mengenal kebenaran, mengenal Tuhan.
Dunia tidak mengenal Tuhan, “Tetapi kamu mengenal Dia, sebab Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu”. Di sini kembali pakai motif ‘diam’ atau ‘tinggal’, motif ‘rumah’; ada motif ‘penyertaan’ dan motif ‘diam’.
Ayat 18: “Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu. Aku datang kembali kepadamu. Tinggal sesaat lagi dan dunia tidak akan melihat Aku lagi, tetapi kamu melihat Aku, sebab Aku hidup dan kamu pun akan hidup. Pada waktu itulah kamu akan tahu, bahwa Aku di dalam Bapa-Ku dan kamu di dalam Aku dan Aku di dalam kamu”. Ini adalah satu bagian yang menunjuk kepada peristiwa kebangkitan Kristus, meskipun istilah ‘akan datang kembali’ juga bisa ditafsir dalam pengertian kedatangan yang kedua. Tapi kalau dilihat dari konteksnya, sebenarnya menunjuk kepada kebangkitan Kristus (Paskah). Mereka akan ditinggalkan, ini bicara tentang kematian Kristus; dan memang betul-betul ditinggalkan sampai-sampai mereka goncang imannya, mereka seperti kehilangan gembala. Tetapi Yesus kemudian mengatakan bahwa Dia akan datang kembali; “Tinggal sesaat lagi dan dunia tidak akan melihat Aku lagi, tetapi kamu melihat Aku, sebab Aku hidup”, Yesus akan bangkit, menjadi yang pertama/sulung dari buah kebangkitan itu, dan akan memberikan kebangkitan kepada mereka yang percaya kepada-Nya; kamu pun akan hidup sebab Yesus hidup.
“Pada waktu itulah kamu akan tahu, bahwa Aku di dalam Bapa-Ku dan kamu di dalam Aku dan Aku di dalam kamu” (ayat 20). Kita tahu, penulisan Injil Yohanes tidak seperti Lukas, yang penulisannya berupa sejarah keselamatan, jelas setelah ini ada itu lalu itu dst., sekuensial. Yohanes bukan saja “tidak punya” catatan Pentakosta yang ekstensif seperti Lukas, tapi juga secara tenses seperti semuanya dijadikan satu. Yohanes sengaja melakukan itu. Kita sudah membahas dalam pembahasan tentang kebangkitan, orang bangkit harusnya pada hari terakhir, tapi Lazarus dibangkitkan pada waktu yang “salah”, karena Yesus mau mendemonstrasikan “I am the resurrection and the life”. Bukan nanti, bukan dulu, bukan cuma sekarang saja sedangkan dulu dan nanti tidak, tapi “I am”, maksudnya semuanya, bahwa Dia bisa menyatakan kuasa kebangkitan di sini dan sekarang juga, yang seharusnya terjadi nanti pada hari terakhir. Konsep ini sangat khas Yohanes; dan dalam konsep inilah kita juga bisa melihat ayat 20, “Pada waktu itulah kamu akan tahu, bahwa Aku di dalam Bapa-Ku dan kamu di dalam Aku dan Aku di dalam kamu”. Istilah yang highly mystical seperti ini lebih gampang dimengerti secara eskatologis, bahwa nanti kelak, waktu kita di dalam surga, kita berada di dalam Dia dan Dia di dalam kita. Tapi yang dimaksud Yohanes, pada peristiwa kebangkitan pun hal itu sudah terjadi; Anak di dalam Bapa, kita di dalam Anak/Kristus, dan Kristus di dalam kita. Kuasa kebangkitan membawa kita masuk ke dalam persekutuan mistis ini, tanpa harus menunggu sampai eschatological point kelak waktu Yesus datang kembali, meski itu juga termasuk. Di dalam pengertian eskatologi yang ‘di sini dan sekarang’, setelah Yesus bangkit, kita sudah bisa tahu bahwa Anak di dalam Bapa, kita di dalam Anak, dan Anak di dalam kita.
Kita sudah sering menghayati ini dalam Perjamuan Kudus, bahwa Kristus di dalam kita, kita di dalam Kristus. Bersamaan dengan itu, kita juga percaya Bapa di dalam Anak, Anak di dalam Bapa, dalam pengertian bahwa yang dilakukan dan dikatakan oleh Kristus adalah perfect representation of the Father, itu adalah wahyu yang lengkap/penuh yang mau dinyatakan Allah Bapa kepada manusia, di dalam Yesus Kritus. Di dalam kaitan ini, kita bisa mengatakan setelah Yesus bangkit, murid-murid tahu bahwa Yesus di dalam Bapa dan Bapa di dalam Anak. Satu contoh sederhana, Yesus pernah mengatakan “I am the resurrection and the life”; memang sudah dinyatakan dalam kebangkitan Lazarus bahwa maut tidak bisa menguasai Yesus yang adalah hidup dan adalah kebangkitan, tapi wahyu yang lengkap/penuh dinyatakannya waktu Yesus bangkit. Yesus tidak berdusta waktu Dia mengatakan “Akulah hidup, Akulah kebangkitan”. Hal itu bukan cuma benar untuk Lazarus lalu ternyata tidak benar untuk diri-Nya sendiri (misalnya Dia sendiri ditelan oleh kematian), melainkan menyatakan Yesus tidak berdusta, Dia betul-betul mengatakan yang Dia terima dari Bapa-Nya, yaitu bahwa di dalam Allah ada hidup dan ada kebangkitan. Dalam hal ini, waktu Yesus bangkit, itu menyatakan bukan hanya kemenangan-Nya tapi juga kebenaran pewahyuan-Nya, bahwa yang dikatakan Yesus benar adanya, dan Dia betul-betul mengatakan yang berasal dari Bapa. Dalam pengertian inilah Yohanes memakai kalimat “Aku di dalam Bapa”.
Anak di dalam Bapa, dan Bapa juga di dalam Anak. Tapi bagian ‘Bapa di dalam Anak’ di bagian ini tidak dibahas; yang dibahas adalah ‘kamu di dalam Aku, dan Aku di dalam kamu’. Maksudnya, sama seperti Bapa di dalam Anak dan Anak di dalam Bapa, Saudara dan saya diundang untuk berada di dalam Kristus. Sebagaimana Kristus adalah representasi Bapa yang sempurna, maka kalau kehidupan kita bertumbuh hari demi hari, kita harusnya menjadi representasi Kristus yang makin lama makin sempurna; waktu dunia melihat orang Kristen, dia bisa melihat ada representasi Kristus di situ.
Ayat 21, “Barangsiapa memegang perintah-Ku dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku.” Kita sudah membahas tadi, bahwa tidak bisa dipisahkan antara mengasihi Tuhan dengan taat pada perintah-Nya. Kalau kita mengasihi Tuhan, kita memegang perintah-Nya, kita melakukan perintah-Nya.
Selanjutnya: “Barangsiapa mengasihi Aku, ia akan dikasihi oleh Bapa-Ku dan Aku pun akan mengasihi dia dan akan menyatakan diri-Ku kepadanya." Saudara jangan bingung dengan kalimat ini, seolah-olah ‘saya musti mengasihi Tuhan dulu, baru kemudian Bapa mengasihi saya dan Kristus mengasihi saya, dan baru Dia akan menyatakan diri-Nya kepada saya’. Dalam Teologi Reformed –dan kita belajar ini dari Alkitab—kita menekankan bahwa Allah yang terlebih dahulu mengasihi kita; lalu mengapa ayat ini mengatakan “barangsiapa mengasihi Aku” –yang berarti manusia/orang percaya mengasihi Tuhan—“ia akan dikasihi oleh Bapa”? Secara logika dan sekuens, kita melihat di ayat ini mengatakan bahwa orang mengasihi Bapa lebih dulu, lalu Bapa mengasihi orang itu; sementara dalam teologi sistematika dikatakan bahwa kita dikasihi lebih dahulu oleh Allah, baru kita bisa mengasihi Dia. Kalau begitu, ayat ini artinya apa?
Kita tidak cukup kalau selalu melihat dalam paradigma ‘sudah atau belum’ secara statis. Hidup ini ada progres, ada pertumbuhannya. Dengan demikian, waktu dikatakan Bapa dan Anak akan mengasihi dia, bukan berarti sebelumnya Bapa dan Anak tidak mengasihi dia atau kurang mengasihi dia. Kita tidak bicara itu. Yang dimaksud adalah memang benar kita sudah dikasihi, tapi pengenalan kita akan cinta kasih Allah itu semakin kita mengerti waktu kita mengasihi Tuhan. Semakin kita mengasihi Tuhan, semakin kita akan merasakan (saya sengaja pakai istilah ‘rasa’) bahwa Tuhan sungguh-sungguh mengasihi kita –ada dimensi subjektif juga di dalamnya. Bukan berarti sebelumnya Dia tidak mengasihi atau tidak terlalu mengasihi kita, tapi kita membuat diri kita sebagai objek kasih Tuhan yang lebih sempurna waktu kita mengasihi Tuhan. Semakin seseorang mengasihi Tuhan, semakin dia mengerti cinta kasih Tuhan. Yohanes, yang menulis bagian ini, sangat mengerti prinsip ini; Yohanes menyebut dirinya ‘murid yang dikasihi Tuhan’. Ini tidak boleh kita mengerti sebagai Yohanes jadinya ge-er?? jadi menurut Yohanes, Petrus tidak dikasihi Tuhan?? jadi Yakobus juga tidak dikasihi, cuma lu tok yang dikasihi?? –salah baca kalau seperti ini. Yohanes punya pemahaman yang sangat personal, sangat subjektif, bahwa dia adalah murid yang sangat dikasihi Tuhan; mengapa? Saya percaya, jawabannya adalah karena dia belajar mengasihi Tuhan. Orang yang belajar mengasihi Tuhan, dia punya keyakinan bahwa dirinya dikasihi oleh Tuhan. Ini sesuatu yang terus bertumbuh dan tidak ada habisnya.
Kita ini berada dalam dunia yang selalu dalam tension untuk dikasihi dunia, untuk diterima oleh dunia. Dalam tension ini, kalau kita tidak punya keyakinan yang kuat bahwa Tuhanlah sebetulnya yang mengasihi kita, dan bukan dunia, kita akan gampang sekali terseret. Dunia, dengan sistem cinta kasihnya, punya peraturan-peraturannya sendiri yang kita harus penuhi, baru setelah itu kita akan dikasihi oleh dunia. Kamu harus terkenal, kamu pengikutnya harus banyak, musti banyak orang yang ‘like’, baru kamu dikasihi oleh dunia. Dunia punya caranya sendiri. Kalau kamu tidak terlalu punya keunikan apa-apa, kalau potensimu biasa-biasa saja, dunia tidak akan mengasihi kamu. Dunia punya sistemnya sendiri, ada dalil-dalilnya sendiri untuk dikasihi oleh dunia. Kalau kita sendiri tidak kuat dalam penghayatan diri yang dikasihi oleh Kristus, dikasihi oleh Bapa, kita akan jadi orang-orang yang sangat lemah, gampang sekali ingin membeli cinta kasih yang dari dunia, akhirnya kita jadi mengasihi dunia. Tapi Yohanes mengatakan, “Barangsiapa mengasihi dunia, kasih akan Allah tidak ada pada orang itu”. Saudara lihat di sini, tetap pakai istilah ‘kasih’; kasih kepada dunia atau kasih kepada Allah, kasih dari dunia atau kasih dari Allah. Pergumulan kita bukan cuma ‘apakah kita lebih mengasihi Allah atau lebih mengasihi dunia’, tapi juga ‘bagaimana kita lebih mantap dalam keyakinan, bahwa yang perlu dalam hidup manusia adalah dikasihi Tuhan, bukan dikasihi dunia’. Namun, dalam pencobaan kita seringkali gagal, waktu kita berusaha membeli perkenanan-nya dunia.
Satu cerita yang luar biasa absurd di Alkitab, yaitu dalam pernikahan Yakub dengan Lea dan Rahel. Yakub mengasihi Rahel karena Rahel lebih ada sinar di wajahnya, sementara Lea kurang menarik. Kemudian ada satu peristiwa, Ruben, anak Lea, pulang membawa buah dudaim (buah dudaim waktu itu dipercaya bisa menyuburkan, orang yang memakannya lebih ada kemungkinan punya anak). Hari itu sebetulnya giliran Rahel tidur dengan Yakub, tapi karena Lea punya buah dudaim, maka hari itu ditukar, Lea yang tidur dengan Yakub sementara Rahel mendapatkan buah dudaimnya. Membaca cerita seperti itu di Alkitab, kita geleng-geleng kepala, betapa orang mau mendapatkan cinta kasih dari suami musti dengan membeli. Inilah gambaran dunia kita. Cerita seperti ini sangat menyedihkan; dan kita mendapati, dunia kita ini dipenuhi dengan cerita-cerita kayak begini. Tetapi, kalau kita memberi diri dikasihi oleh Tuhan, kita akan merdeka. Merdeka dari impian-impian untuk dicintai oleh dunia. Bagaimana hal itu terjadi? Menurut Firman Tuhan, sederhana saja, yaitu dengan kita lebih mengasihi Tuhan. “Barangsiapa mengasihi Aku” –waktu kita lebih mencintai Kristus, lebih mencintai Tuhan—“dia akan dikasihi oleh Bapa-Ku dan Aku pun akan mengasihi dia dan akan menyatakan diri-Ku kepadanya."
Pengenalan kita akan Kristus, tidak mungkin dipisahkan dari pemahaman akan cinta kasih Kristus kepada kita. Semuanya berkaitan. Kita tidak bisa mengenal Kristus tanpa pemahaman cinta kasih-Nya kepada kita; itu tidak mungkin. Ada orang pernah mengatakan, “Kita mengenal Tuhan pun, tidak mungkin melampaui cinta kasih kita kepada Dia”. Seberapa dalam kita mengasihi Tuhan, sejauh itulah juga kita mengenal Dia. Kalau kita merasa bisa mengenal Tuhan lebih luas daripada cinta kasih kita kepada Dia, itu sebetulnya bukan kategori pengenalan, itu cuma pengetahuan kognitif belaka; sedangkan yang betul-betul disebut pengenalan, tidak mungkin bisa dipisahkan dari cinta kasih kita kepada Tuhan. Ini arah dari bawah ke atas. Tapi betul juga waktu kita membicarakan arah yang dari atas ke bawah. Yesus mengaitkan antara pemahaman kasih Bapa dan kasih Anak kepada orang yang mengasihi Tuhan, dengan pemahaman orang tersebut akan Tuhan, bagaimana orang tersebut mengenal Tuhan; di ayat 21 Yesus mengatakan bahwa Tuhan akan menyatakan diri-Nya kepadanya.
Waktu kita mengasihi Tuhan, kita semakin punya keyakinan bahwa kita dikasihi oleh Bapa dan dikasihi oleh Anak. Waktu kita mempunyai keyakinan bahwa kita dikasihi Bapa dan dikasihi Anak, kita bebas dari cinta kasih dunia, kita tidak perlu membeli cerita cinta kasihnya dunia, itu tidak menarik bagi kita. Kita tinggal di dalam kasih Bapa dan kasih Anak kepada kita; dan di dalam pemahaman ini, kita akan semakin mengenal Kristus –Kristus akan menyatakan diri-Nya kepada kita.
Ini bukan dalam pengertian ‘belum’ atau ‘sudah’; kalau kita baca dalam pengertian belum atau sudah, kita jadi bingung lagi dan masuk dalam debat kusir yang tidak selesai-selesai. Jadi saya mengasihi Dia dulu baru Yesus menyatakan diri-Nya kepada saya?? Bagaimana saya bisa mengasihi Dia kalau Dia belum menyatakan diri kepada saya?? Bagaimana saya bisa mengasihi Dia kalau tidak ada revelation dari atas ke bawah?? Tapi hal ini bukan dimengerti secara demikian. Memang Tuhan sudah menyatakan diri-nya kepada kita, Bapa sudah menyatakan diri-Nya kepada kita di dalam Kristus; dan kita sudah ada pengenalan tertentu –yang parsial—akan siapa itu Yesus. Tetapi waktu kita semakin mengasihi Tuhan, kita akan semakin mengenal Tuhan, Tuhan akan semakin menyatakan dirinya kepada kita. Revelation ini belum selesai –memang wahyu dalam Alkitab sudah selesai—revelation yang mau dinyatakan dalam kehidupan kita masih berlanjut. Kita masih belum mengenal Tuhan secara sempurna. Semakin kita mengasihi Tuhan, semakin Tuhan akan menyatakan diri-Nya kepada kita. Inilah kehidupan yang bertumbuh, waktu kita semakin yakin, semakin tidak bisa digoncang oleh daya tarik kasihnya dunia, semakin berakar di dalam cinta kasih Allah, cinta kasih Bapa, cinta kasih Anak; dan kita semakin mengenal Tuhan yang menyatakan diri-Nya kepada kita.
Kiranya Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading