Ini adalah klimaks dari seri perikop-perikop sebelumnya, Yesus yang mendemonstrasikan kuasa pelayanan dan boleh dikatakan audience yang paling penting di situ adalah kedua belas murid. Tapi mereka belum disebut rasul, baru di bagian ini disebut “rasul” yaitu orang yang diutus, oleh Yesus sendiri.
Ayat 1, Maka Yesus memanggil kedua belas murid-Nya, lalu memberikan tenaga dan kuasa kepada mereka untuk menguasai setan-setan dan untuk menyembuhkan penyakit-penyakit. Yesus memberikan “tenaga dan kuasa”, terjemahan LAI, saya pikir terjemahan ini sudah boleh dikoreksi karena kata “tenaga” bisa menimbulkan salah pengertian; dalam zaman New Age ada banyak pembicaraan mengenai “tenaga” seperti transfer tenaga, dsb. Tapi terjemahan bahasa Inggrisnya dikatakan: And He called the twelve together, and gave them power and authority over all demons, and to cure diseases. Yesus memberikan kuasa/ kekuatan dan otoritas, maksudnya kuasa pelayanan dan juga otoritas dari kuasa yang diberikan oleh Yesus Kristus. Alkitab menyatakan prinsip yang penting, yaitu sebelum Yesus mengutus murid-murid-Nya, mereka masuk ke fase observasi lebih dahulu. Observasi lalu setelah itu masuk ke dalam pengutusan.
Kita tidak boleh mengerti gambaran ini dalam pengertian sekuensial: observasi-selesai-pengutusan, lalu tidak mau observasi lagi. Kita sudah membahas prinsip ini dalam pembicaraan tentang orang kaya; kita tidak percaya teori “lokalisasi waktu” dalam pengertian orang susah terus baru setelah itu senang terus, karena kenyataannya ritme kehidupan senang-susah-senang-susah dst. lebih realistik dan lebih biblikal seperti dikatakan dalam Pengkotbah pasal 3. Sama dengan itu, bagian ini secara pattern tidak bisa dimengerti sebagai “ada masa observasi, setelah itu lulus, selesai, lalu masuk masa pelayanan dan tidak perlu lagi observasi sudah tahu semua karena kan sudah mengalami lihat beberapa mujizat Yesus, jadi tidak perlu lagi; saya sudah dewasa, sudah melayani, tidak perlu belajar lagi, sibuk pelayanan saja karena kan sudah naik kelas, yang masih belajar itu yang masih TK”. Tidak begitu. Yesus sendiri bukan berdoa dan puasa 40 hari lalu setelah itu pelayanan dan tidak pernah berdoa lagi. Tidak ada cerita seperti itu; itu bukan Alkitab, bukan Injil. Yang ada, Yesus setiap hari bergaul akrab dengan Bapa-nya, berdoa, menenangkan diri, mendapatkan kuasa dan urapan yang baru; setiap hari bukan di-lokalisasi dalam 40 hari. Pattern ini juga yang seharusnya terjadi dalam kehidupan kita seperti kita makan lalu bisa lapar lagi, Tuhan tidak memberi kita kemungkinan makan untuk 3 tahun lalu tidak usah makan lagi.
Setelah memberi kesempatan murid-murid untuk observasi, belajar, mengalami langsung kuasa-Nya, kemudian Yesus memberikan kuasa dan otoritas-Nya kepada mereka untuk menguasai setan-setan, menyembuhkan penyakit-penyakit. Ini gambaran datangnya Kerajaan Allah. Kita membahas sedikit bagian ini, yaitu theology of healing dilihat dari perspektif Teologi Reformed. Ada 2 kecenderungan yang salah, yang ekstrim:
Kecenderungan ekstrim yang pertama menyatakan bahwa mujizat sudah tidak ada lagi / sudah ceased, hanya terjadi pada zaman Yesus dan rasul-rasul, sebelum Injil ditulis, sebelum kanonisasi Alkitab selesai. Ada teolog Reformed tertentu yang berpendapat seperti ini, tapi saya tidak pernah convinced dengan pendapat ini karena argumentasinya rumit sekali, tidak convincing dan dalam banyak hal merupakan argumentasi yang dipaksakan supaya ujungnya menuju ke situ. Bagi saya itu academic insincerity. Kita bukan membangun teori berdasarkan apa yang mau kita tuju, lalu mengumpulkan semua evidence untuk menuju ke kalimat konklusi yang mau kita katakan. Itu bukan riset. Riset yang sincere waktu menggali sesuatu kita membuat hipotesa, lalu di tengah-tengah penggalian bisa saja hipotesa keliru, dan nanti tesisnya bisa berubah. Kecenderungan ekstrim ini mungkin disebabkan pergumulan mereka melihat mujizat-mujizat palsu yang tidak karuan sehingga lebih baik stop saja. Tapi ini seperti anak kecil sedangkan kita mengajarkan spiritual discernment, orang dewasa harusnya bisa discern. Kepada anak kecil kita mengatakan, “Pokoknya jangan menyeberang jalan sendirian, kamu pasti mati”, padahal kita tahu tidak tentu juga mati, tapi somehow kalimat itu “aman”. Memang menyatakan mujizat-mujizat sudah berhenti/ cease, itu aman, tidak perlu lagi berurusan dengan mujizat-mujizat yang palsu, tapi ini teologi untuk anak-anak, sedangkan orang dewasa perlu bisa membedakan mana yang asli mana yang palsu.
Ekstrim yang kedua gambaran yang sangat menekankan Injil harus disertai dengan kesembuhan, kalau tidak ada bagian itu dianggap tidak full Injilnya, Injil yang kurang penuh; Injil yang asli harus ada kesembuhan.
Ini persoalan, karena kita tahu memang Yesus banyak sekali menyembuhkan dan juga beberapa kali membangkitkan orang mati, tapi ada saat-saat Yesus tidak menyembuhkan dan juga tidak membangkitkan, dan juga tidak membuat mujizat. Dalam Injil Yohanes kita membaca adanya relativisasi mujizat, demikian juga Markus. Bagi Markus, pengenalan akan Kristus yang dibangun sekedar melalui mujizat akan men-distorsi “Who Jesus is”, sehingga itu di-pending terus sampai pada peristiwa salib, baru dari sana orang bisa mengerti mengapa terjadi mujizat. Bagi kita hari ini, kita bersyukur karena kita sudah mengerti perspektif salib baru melihat mujizat, maka itu aman. Tapi orang yang terus melihat mujizat dan belum ada berita salib yang jelas dalam kehidupannya, menurut Markus itu men-distorsi pengenalan akan Yesus. Maka setiap kali dikatakan bahwa Yesus melarang menceritakan kepada orang lain, menghardik setan, dan melarang murid-murid mengumumkan, karena kaitan antara Yesus dan mujizat itu berbahaya, menurut Injil Markus.
Yohanes merelativisasi dengan mengatakan bahwa “tanda” itu boleh ada boleh tidak ada. Mujizat itu tanda / semeia / sign dipakai untuk menunjuk, dan boleh ada boleh tidak ada. Waktu Yesus mengatakan “kalau tidak ada tanda kamu tidak percaya”, berarti Dia sedang me-relativisasi tanda. Tanda tidak mutlak, tapi tidak juga mutlak tidak boleh ada — karena kalau tidak boleh ada tentu tidak ada catatan mujizat di Injil Yohanes — tapi boleh ada boleh tidak ada. Tomas dalam Injil Yohanes, dalam permainan kata yang sama mengatakan, “Kecuali aku melihat lubang paku pada tangan-Nya dan mencucukkan jariku pada lambung-Nya yang tertikam, sekali-kali aku tidak percaya”. Ini dalam spektrum yang sama, tentang “tanda” meski bukan mujizat. Istilah sign sebenarnya lebih luas daripada sekedar mujizat. Dan Yesus mengatakan pada Tomas, “Karena kamu melihat tanda kamu percaya, berbahagia mereka yang tidak melihat (tidak ada kata tanda di sini) tapi percaya”. Itu berarti relativisasi tanda. Yohanes sangat balance waktu membahas ini.Kita mengikuti Alkitab saja daripada mengikuti dua tradisi teologi yang tidak terlalu convincing di bagian ini.
Yesus menyembuhkan penyakit memang betul, tapi adakah kemungkinan karunia seperti ini masih ada? Saya pribadi percaya masih ada. Adakah yang palsu? Ada juga pasti. Mujizat-mujizat bisa palsu juga. Lalu bagaimana? Yesus mengajarkan kepada kita supaya kita bisa membedakan. Membedakan adalah bagian dari kedewasaan. Teologi yang mengatakan harus ada kesembuhan, tidaklah berdasar, tidak didukung Markus, Yohanes, tidak didukung Alkitab; tapi kita juga tidak mengatakan “sama sekali tidak ada kesembuhan, tidak ada mujizat, sudah ceased”. Kita tidak menutup kemungkinan itu karena Tuhan berdaulat. Kalau Tuhan mau bekerja seperti itu, Dia tetap berdaulat melakukannya. Kalau Dia tidak mau melakukan pun, Dia tetap Tuhan yang berdaulat.
Mengapa menyembuhkan penyakit? Meminjam kalimat Agustinus yang sangat enlightening “yang mana goal, yang mana means”. Kita jangan terbalik yang sarana jadi goal, tanda adalah sarana supaya orang bisa melihat yang dituju oleh tanda. Kalau ini confused, bisa jadi kacau. Menyembuhkan penyakit itu sarana, yang mau dituju adalah pemulihan relasi. Orang yang dalam sakit penyakit, relasinya tidak bisa penuh, terbatas. Penyakit membawa kepada kematian. Apa itu kematian? yaitu tidak adanya relasi sama sekali. Penyakit mendekatkan pada keadaan tidak ada relasi sama sekali, kita susah sekali berkomunikasi dengan orang yang sakit, dan sebaliknya. Komunikasi, relasi, is not without bodily presence. Relasi dalam pengertian Alkitab luas sekali, relasi yang ada bodily experience, ada face to face, touching, bodily contact, dst., ada aspek fisikal.
Menyembuhkan penyakit menandakan datangnya Kerajaan Allah. Fellowship, communion, itu dirusak oleh penyakit dan dirusak oleh setan. Setan menguasai seseorang, membuat seseorang tidak bisa berbicara; waktu setan diusir kemudian Roh Kudus hadir di sana, orang itu lalu bisa berkata-kata. Roh Kudus dan kata-kata, Roh Kudus dan firman, itu penting sekali di dalam Lukas; dengan berkata-kata orang berkomunikasi satu dengan yang lain. Menyembuhkan penyakit itu memulihkan relasi. Kalau kita menjadikan kesembuhan sebagai goal, kita bisa missed the real goal yaitu pemulihan relasi. Ada orang yang sehat tapi tetap tidak bisa menikmati relasi, ada orang yang sakit tapi dalam sakit penyakitnya ia tidak berhenti berelasi. Meski dalam keterbatasan itu, ia bisa go beyond, transcend, dari penyakitnya, bisa tetap berelasi, mengasihi. Ini adalah puzzle yang lain yang dihadirkan oleh Tuhan, it’s beautiful, suatu kesaksian yang menarik. Tapi yang paling tidak beautiful adalah sudah sembuh, bebas, tidak sakit, tapi tetap tidak mau berelasi, tidak ada relasi dalam kehidupannya, cuma senang, “saya sudah sembuh dari penyakit!”. Ini berarti goal-nya tidak tercapai.
Di dalam Alkitab, konsep freedom bukan cuma “freedom from” tapi “freedom for”. Jadi dari belakang kita dilepaskan tapi kita dibawa ke depan. Untuk apa? Orang Israel waktu dibebaskan dari Mesir adalah untuk beribadah di Sinai. Jelas, freedom for true worship, worshipping God; jadi bukan cuma freedom from. Ada orang yang sakit lalu setelah sembuh, “Puji Tuhan saya sekarang sembuh!” memang bagus, tapi itu baru di dalam “freedom from”, lalu setelah itu untuk apa? Itu penting sekali. Karena konsep freedom — pembebasan — tidak pernah tidak ada tujuannya di dalam Alkitab, kebebasan selalu ada tujuannya. Contoh, yang mungkin sekarang sudah agak outdated, di Timur Tengah banyak diktator yang digulingkan, artinya mereka “freedom from”, tapi setelah itu lalu apa? Kacau, di kemudian hari ISIS muncul karena tidak ada lagi yang memimpin. Memang mereka dibebaskan dari diktator, tapi setelah itu chaotic karena tidak ada konsep “freedom for”-nya, cuma ada “freedom from”. Sama seperti itu, orang disembuhkan dari sakit penyakit, kita bersyukur Tuhan menyembuhkan, freedom from sakit penyakit. Tapi “freedom for”-nya ke mana, itu tidak bisa tidak ada. Banyak orang yang membicarakan theology of healing seperti ini yang penekanannya berhenti pada “freedom from” tanpa disertai dengan “freedom for”. Kita tidak perlu sinis atau sarkastik dengan adanya mujizat, kesembuhan, dsb. karena saya, personally, tidak convinced dengan pandangan Sesasionis yang mengatakan itu tidak ada lagi. Tapi kalau kita percaya itu ada, lalu apa? Salah satu yang sangat penting adalah “freedom for” tadi; setelah sembuh saya mau apa? Saya menggunakan kesembuhan ini untuk apa? Kesehatan saya ini ke mana? Bukan cuma sekedar tadinya sakit dan sakit itu “sakit lho, tau gak sih?”, sekarang sudah sembuh tidak sakit lagi. Itu very low view tentang kesehatan, jauh sekali dari Alkitab.
Ayat 2, Dan Ia mengutus mereka untuk memberitakan kerajaan Allah dan menyembuhkan penyakit-penyakit. Menyembuhkan penyakit itu hadirnya Kerajaan Allah, supaya orang bisa menjadi hamba yang melayani Tuhan. “Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu”, artinya Dia Raja, saya hamba, saya taat kepada kehendak-Nya. Penyakit seringkali membatasi orang melayani Tuhan, membatasi orang untuk menjadi hamba, menghalangi orang untuk taat kehendak Tuhan, untuk melayani orang lain, dst. Maka menyembuhkan penyakit adalah untuk betul-betul bisa mencicipi dengan lebih penuh Kerajaan Allah itu, yang sudah hadir di bumi ini. Yesus mengutus mereka untuk memberitakan Kerajaan Allah, ini intinya, goal-nya; lalu disertai dengan mengusir setan dan menyembuhkan sakit penyakit, meminjam kategori Agustinus, ini sarana/ means-nya.
Selanjutnya bagian yang menarik, ayat 3, Yesus mengatakan: "Jangan membawa apa-apa dalam perjalanan, jangan membawa tongkat atau bekal, roti atau uang, atau dua helai baju.” Saya percaya ayat-ayat seperti inilah yang mendasari kehidupan para misionari yang sangat diberkati Tuhan. Kebergantungan kepada Tuhan waktu kita melayani. Kita ini manusia yang banyak kalkulasi. Bukan berarti kita tidak boleh persiapan, tapi iman bisa dihalangi dengan sekuritas yang dibangun terlalu banyak. Yesus mau membawa mereka kepada arti bergantung kepada Tuhan, dan bergantung pada manusia. Bukan cuma kepada Tuhan karena bergantung kepada Tuhan tapi tidak mau bergantung pada manusia, itu namanya gengsi. Siapa yang tidak bisa bergantung pada Tuhan? Semua bisa. Tapi bergantung pada Tuhan melalui belas kasihan orang lain? Nanti dulu, kita mau belas kasihan Tuhan saja jangan belas kasihan orang lain. Maka sekarang ini ada “pendeta pengusaha”, maksudnya: “saya tidak perlu belas kasihan elu semua karena saya sendiri juga bekerja, saya punya banyak properti. Lu enggak kasih persembahan, gua tetap hidup, saya tidak bergantung satu sen pun dari elu semua. Dan saya terus melayani Tuhan. Keren kan? Tapi itu jauh sekali dengan ayat tadi. Murid-murid bisa saja tanya, “Lalu nanti ada manna datang?” tapi lanjutannya: “enggak, lu ketok pintu”. Lho, celaka. Ketuk pintu rumah orang? Mendingan gua bawa sendiri. Susah kayak begini, gua dihina dong. Susah lho minta-minta belas kasihan orang lain, saya minta belas kasihan Engkau saja Tuhan, karena memang Engkau Tuhan. Tapi kepada mereka? Saya musti merendahkan diri kayak begitu? Campur aduk pergumulannya. Memang sulit melayani Tuhan dengan mendapat belas kasihan orang lain, lebih mudah berbelas-kasihan daripada menerima belas kasihan.
Orang berbelas-kasihan memang ada pergumulannya tersendiri, apalagi kalau terlalu dingin, tidak bisa compassionate. Tapi mungkin yang tidak kalah sulit adalah menerima belas kasihan. Orang tertentu sulit sekali menerima belas kasihan karena rasa gengsi. Kalau memberi, saya kan agak di atas, tapi kalau menerima, pengemis itu kan duduk di bawah. Tidak ada picture yang sebaliknya, yang memberi di bawah dan yang menerima di atas. Dan ini bukan sekedar masalah bodily gesture, tapi ini body and soul, di dalamnya juga begitu; orang memberi, kecenderungannya dari atas, dan yang menerima, kecenderungannya dari bawah. Tapi di sini rasul yang diutus Tuhan, yang musti menerima pertolongan dari bawah. Ini konsep hospitality yang sangat menarik karena hospitality itu 2 arah. Being hospitable adalah salah satu Christian virtue yang paling penting dalam konteks penganiayaan dan sampai sekarang juga masih relevan. Dan mungkin lebih “mudah” saya buka rumah untuk orang lain masuk karena bagaimanapun saya dalam posisi yang memberi — itu saja juga agak sulit — tapi tidak lebih sulit daripada saya yang ketuk pintu supaya orang buka rumah untuk saya, kalau saya diusir bagaimana? Sulit. Rasul-rasul ini bukan hanya dididik being hospitable — mereka yang buka rumah — tapi juga untuk belajar menerima hospitality orang lain yang mereka layani, dan mereka musti membacanya sebagai “Tuhan yang hospitable kepada mereka”. Ini realita Kerajaan Allah; Tuhan menyisakan adanya orang-orang yang hospitable untuk para pelayan Kerajaan Allah. Satu pendidikan yang unik, kita diajar bukan hanya untuk memberi tapi juga untuk menerima. Memang pasti memberi karena mereka memberitakan Kerajaan Allah, tapi juga untuk menerima pelayanan dari orang yang diberitakan, dan juga ada resiko ditolak pastinya. Ini sudah diantisipasi dengan Yesus mengatakan, “Dan kalau ada orang yang tidak mau menerima kamu, keluarlah dari kota mereka dan kebaskanlah debunya dari kakimu sebagai peringatan terhadap mereka" (ayat 5). Apa maksudnya “kebaskan debu”? Ini semacam ritual tapi artinya adalah Yesus yang menjaga dignitas mereka. Waktu mereka ketuk pintu lalu ditolak, apakah mereka ini pengemis? Bukan. Itu kehilangan ada pada pihakmu yang menolak, at your lost, bukan pada saya. Karena kalau kamu tidak menjamu, Tuhan akan menjamu melalui orang lain; kalau kamu tidak hospitable, orang lain akan hospitable, ini The Kingdom of God yang tidak tergantung pada kamu, akan ada orang-orang lain. Ini prinsip yang indah, Yesus memelihara dignitas rasul-rasul, tapi dignitas bukan tanpa pelatihan kerendahan hati.
Hospitable ada kaitannya dengan “menyediakan tempat”. Waktu Yesus datang, Dia sendiri tidak ada tempat, tidak ada yang hospitable, tidak ada yang mau terima, sampai Dia harus di kandang binatang. Tidak ada tempat buat Yesus, tidak ada. Tapi waktu Yesus naik ke sorga, “Aku menyediakan tempat bagimu”. Dia, yang tidak ada tempat, menyediakan tempat. Inilah kekristenan. Dua ayat itu kalau di-juxtapose begitu indah. Yesus datang tidak ada tempat, tapi Yesus sendiri menyediakan tempat untuk orang yang tidak menyediakan tempat bagi-Nya. Tidak bisa lebih kontras lagi.
Ada orang yang memberi tempat, dan ada orang yang tidak memberi tempat. Tuhan sendiri adalah our dwelling place.Tuhan Allah adalah tempat perteduhan saya. Tapi Tuhan juga adalah tempat perteduhan kita melalui orang lain yang memberi perteduhan kepada kita, mediated. Waktu diterima orang lain, yang menerima sebanarnya adalah Tuhan. Waktu mereka menolak, mereka sebenarnya bukan menolak saya tapi menolak Tuhan. Tapi Tuhan bukan tanpa manusia. Kita sering bahas prinsip yang sama betulnya yaitu statement “Tuhan tidak perlu manusia”, itu betul, Tuhan akan jalan dengan keturunan Abraham ataupun kalau tidak, dengan batu-batu juga bisa. Memang Tuhan tidak harus pakai manusia, Tuhan tidak perlu pakai manusia, tapi statement lain yang paradoxical, “Tuhan bukan tanpa manusia”. Suatu ilustrasi sederhana, sebuah anekdot, tentang orang yang kebanjiran. Banjir itu makin naik makin naik dan makin tinggi, lalu dia berdoa pada Tuhan, “Tuhan tolong saya, saya hampir tenggelam, tolong saya”. Lalu ada perahu lewat, “Ayo, naik ke sini!”. Tapi ia jawab, “Tidak, saya menanti pertolongan Tuhan”. Sampai 3 kali, akhirnya dia betul-betul tenggelam dan mati, untungnya masuk sorga. Setelah di sorga, dia tanya pada Tuhan, “Tuhan, saya sudah berdoa minta pertolongan, koq Engkau tidak tolong?” Tuhan jawab, “Tiga perahu yang lewat itu apa? Tiga kapal itu pertolongan dari Saya”. Anekdot sederhana ini mau mengajarkan Tuhan menolong, yang menolong memang Tuhan, Tuhan menolong melalui orang lain. God is my dwelling place, melalui orang lain. Tapi kita maunya: “God is my dwelling place, Tuhan yang menjamu saya saja, orang lain tidak usah hospitable kepada saya, gengsi, tau gak?” Itu kekristenan yang abstrak, yang tidak ada dukungannya dalam gambaran ini.
Orang yang melayani dengan kebergantungan kepada Tuhan, ada bedanya dengan orang yang melayani tapi ya, sebenarnya saya tidak terlalu lah, siapa sih yang tidak bergantung pada Tuhan, kita tahu lah semua musti bergantung, tapi persediaan ini banyak banget; akhirnya lack of faith, lack of kebergantungan, total dependence kepada Tuhan, dan itu menghalangi, memperkecil, atau intinya tidak maksimal dalam pelayanan karena tidak ada pengalaman ini. Kita tidak bisa berkata, “Beginilah Tuhan, untuk urusan persediaan biar saya sediakan semua komplit, Tuhan tidak usah urusin lagi dan saya juga tidak membebani siapa pun, tapi saya tetap akan melayani Engkau”. Paket seperti ini tidak ada. Yang ada adalah "Jangan membawa apa-apa dalam perjalanan, jangan membawa tongkat atau bekal, roti atau uang, atau dua helai baju, … lalu kamu beritakan berita Kerajaan Allah”. Berita yang seperti itu powerful, karena tidak omong doang “musti bergantung pada Tuhan” padahal di belakangnya persediaan banyak, nanti jadi kemunafikan dalam berita kita.
Ayat 4, Dan apabila kamu sudah diterima dalam suatu rumah, tinggallah di situ sampai kamu berangkat dari situ. Satu sisi, kerendahan hati dari para rasul yang musti dengan humbly membiarkan diri diterima di situ, tapi juga kerendahan hati dalam pengertian rela tinggal di rumah yang mau menampung itu, yang tidak tentu mewah, bisa saja sederhana. Satu kalimat menarik yang mengomentari ayat 4 dari sebuah commentary: “In other words, do not insult your host by shopping around for the best available accomodations”. Saya ada satu pengalaman pernah mengundang orang makan, makanannya di situ enak tapi tempatnya sederhana. Lalu orang ini sampai di situ mengatakan, “Kita makan di tempat lain saja, bagaimana?” Inti message-nya adalah: “ini tempat terlalu jelek, saya tidak pantas diundang ke tempat seperti itu”. Mirip seperti itu, dan prinsip tadi berkata, “Tinggalah di situ sesederhana apa pun tempat itu, tapi mungkin juga tempatnya mewah.” Paulus mengatakan, “Entah itu kelimpahan ataupun kekurangan, tidak ada yang rahasia bagiku”. Itu kalimat besar, melampaui yang pernah dikatakan dalam Perjanjian Lama, “Tuhan, jangan beri aku kemiskinan supaya waktu aku miskin aku tidak mencuri akhirnya menistakan nama-Mu. Tapi juga jangan beri aku kelimpahan supaya jangan waktu aku kaya, aku jadi lupa Engkau”. Jadi bagaimana, moderate saja? Paulus imannya melampaui itu, “Segala perkara dapat kutanggung dalam Yesus Kristus yang memberi kekuatan kepadaku, untuk menanggung segala sesuatu, baik kekurangan maupun juga kekayaan”. Kristus menanggung waktu kita kaya, dan Kristus menanggung waktu kita miskin. Waktu miskin, kita diberikan kekuatan untuk bisa menanggung keadaan seperti itu. Waktu kaya, Kristus juga perlu menanggung karena orang tidak tentu bisa dealing with richness. Mungkin saja para rasul diterima dalam rumah yang sederhana, tapi mungkin juga diterima dalam rumah yang mewah. Lalu bagaimana? Ya, terima saja sebagai berkat Tuhan, karena ini masuk kategori “doesn’t matter”; yang lebih penting adalah belajar untuk menghayati “God is my dwelling place”, hospitality Tuhan melalui hospitality sesama. Dan kalau tidak diterima, Tuhan menjaga dignitasnya, “karena kamu bukan pengemis, kamu adalah rasul, mereka yang perlu berita Kerajaan Allah, maka kebaskan debu” (ayat 5).
Perikop ini diakhiri dengan: Lalu pergilah mereka dan mereka mengelilingi segala desa sambil memberitakan Injil dan menyembuhkan orang sakit di segala tempat (ayat 6). Kemudian masuk ke perikop yang singkat tentang Herodes. Pembagian ini mulai masuk ke tema yang sangat penting yaitu persiapan penderitaan Kristus. Ayat 9 di bagian terakhir semacam antisipasi, waktu dikatakan: “Lalu ia berusaha supaya dapat bertemu dengan Yesus”, karena setelah itu Herodes akan mengejar Yesus, bersekongkol dengan Pilatus untuk membunuh Yesus.
Ayat 7, Herodes, raja wilayah, mendengar segala yang terjadi itu dan iapun merasa cemas, karena beritanya simpang siur, “ada orang yang mengatakan, bahwa Yohanes telah bangkit dari antara orang mati. Ada lagi yang mengatakan, bahwa Elia telah muncul kembali, dan ada pula yang mengatakan, bahwa seorang dari nabi-nabi dahulu telah bangkit.” Herodes cemas, siapa sebenarnya orang ini? Waktu Yesus meneduhkan badai, murid-murid juga bertanya, “Siapa orang ini?” Dua-duanya tanya “siapa”. Pertanyaan ini — objectively, regardless siapa yang tanya — adalah one of the most important question if not the most important, “Siapa sebenarnya Yesus itu?” Sudah sejak berita kelahiran Yesus, Herodes mau cari tahu identitas Yesus tapi bukan mau menyembah, ia cuma cemas, insecure, lalu mau bunuh. Gambaran ini terulang lagi dalam perikop ini. Mengenal Yesus itu siapa, bukan cuma soal mengenal tapi bagaimana sikap kita dengan pengenalan itu?
Di tengah-tengah kesimpang-siuran tentang siapa Yesus, dalam perikop sebelumnya kita baca Yesus memberikan murid-murid-Nya untuk menjawab, tapi dalam perikop ini kita melihat gambaran tentang orang banyak yang simpang siur mengatakan, “Elia”, “Yohanes”, atau “mungkin salah satu nabi”. Dalam jawaban-jawaban itu ada kemiripan, semuanya menyatakan kontinuitas Perjanjian Lama yang adalah tipikal profil teologi Lukas. Meski mereka tidak mengenal dengan jelas “Who Jesus is”, meski jawaban mereka bisa salah, tapi tidak ada satu pun jawaban pun yang luput memperhatikan kontinuitas antara Yesus dan Perjanjian Lama.
Kemudian Herodes mengatakan, "Yohanes telah kupenggal kepalanya” (ayat 9). Bagi saya ini kalimat menarik, artinya menurut Herodes “no continuity”, tidak ada lagi, sudah cease; tapi The Kingdom of God menyatakan “continuity”, Yohanes, Elia, dsb. lalu Yesus melanjutkan. Herodes tidak mau terima adanya kontinuitas pekerjaan Tuhan. Dengan memenggal kepala Yohanes, ia mau mengatakan “semua tradisi nabi-nabi itu sudah tidak ada lagi”. Ia menolak realita pekerjaan Tuhan, Kerajaan Allah. Tapi bukan kontinuitas kejahatan Herodes yang menang, melainkan kontinuitas pekerjaan Tuhan. Tapi sekali lagi pertanyaannya, siapa Yesus itu kalau demikian? Bagaimana sikap orang yang menanyakan? Karena cuma mengetahui identitas-Nya tidak tentu dalam sikap mau percaya, tidak tentu dalam sikap mau menyembah, tidak tentu dalam sikap mau melayani. Tapi bisa dalam sikap yang lain, seperti Herodes.
Kiranya Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS).