Dalam pasal 9 dibahas tentang bagaimana para murid yang dipersiapkan di dalam cerita pengikutan akan Yesus Kristus, Yesus mengatakan, barangsiapa mau mengikut Aku, dia hendaknya menyangkal diri, memikul salib setiap hari dan mengikut Aku. Dalam pasal 9 kita merlihat bagaimana kegagalan demi kegagalan terjadi dalam kehidupan para murid, sepertinya Lukas tidak bosan-bosannya mencatat cerita ini, tetapi kita bersyukur kepada Tuhan, di dalam cerita-cerita seperti ini kita bisa melihat di dalam cermin kegagalan kita, kekurangan dan kelemahan kita. Kita bersyukur bahwa para murid yang terbaik tidak dicatat tanpa kelemahan, sehingga kita bisa membaca diri saudara dan saya di dalamnya, ada pelajaran yang bisa kita belajar dari padanya, dan kita tidak menjadi discourage atau patah semangat, karena kita melihat toh murid-murid juga meskipun mereka sangat diberkati Tuhan tetap adalah orang berdosa biasa, yang hanya oleh kasih karunia Tuhan mereka boleh dipakai oleh Tuhan.
Dalam pasal 10 ini kita tertarik mengapa Yesus baru mengutus di sini dan bukan sebelumnya? Karena di dalam pasal 9 perlu pemberesan kesultan-kesulitan, kelemahan-kelemahan, keberdosaan, kegagalan yang terjadi pada para murid dan kita melihat kegagalan itu bukan hanya di dalam 1 atau 2 aspek saja, bukan. Yesus ingin mengajarkan struktur yang penting ini, kita dipakai oleh Tuhan, diutus oleh Tuhan, melayani Tuhan, itu satu hal yang baik, tapi bukan tanpa koreksi, bukan tanpa pembentukan karakter kita terlebih dahulu. Kita seringkali ingin tergesa-gesa, mungkin juga di dalam ambisi yang ya… sebagian benar, sebagian tidak benar, sebagian yang benarnya itu karena kita mau melayani Tuhan, tapi sebagian yang tidak benar… ya karena kita mau pakai cara kita sendiri dan tidak menunggu waktu Tuhan.
Kita mengingat peristiwa Musa, bagaimana dia dipersiapkan Tuhan, 40 tahun dibentuk, padahal bangsa Israel sudah dalam kesusahan yang demikian besar, di dalam penjajahan dan perbudakan Mesir. Sepertinya Tuhan mempunyai waktu yang panjang sekali mempersiapkan seorang Musa, yang bagi Tuhan belum selesai pembentukannya, ditunggu sampai 40 tahun, berteriak di dalam kesulitan mereka, Tuhan mendengar, tapi waktu Tuhan 40 tahun. Bagi manusia ini panjang luar biasa, kenapa tidak diutus lebih cepat atau kalau Musa tidak bisa diutus lebih cepat, ya bangkitkan yang lain saja, yang lebih layak, bisa lebih cepat, mungkin 2 minggu langsung datang, karena orang Israel sudah terlalu menderita. Demikian juga dalam kehidupan kita, dalam pergumulan kita sehari-hari, kita juga bisa merasa Tuhan terlau lama bekerja, terlalu lama menurunkan kasih karuniaNya. Tuhan bisa bekerja tanpa manusia, tapi seringkali Tuhan berkenan untuk memakai manusia, bukan tanpa persiapan, bukan tanpa penggodokan karakter dsb. dan karena itu kita membaca dalam pasal 9 berbicara tentang kegagalan demi kegagalan para murid, dan Yesus di situ memberikan pengajaran dan baru masuk dalam pasal 10 tentang pengutusan.
Apa gunanya orang buru-buru diutus, buru-buru dipakai, buru-buru ditahbiskan, buru-buru disuruh pelayanan, dsb., tetapi belum ada kesiapan? Itu bukan akan mempermuliakan Tuhan, tapi akan mempermalukan Tuhan. Kalau kita terlalu cepat, kalau kita mendahului Tuhan, kita tidak akan mempermuliakan Tuhan, tapi mempermalukan Tuhan. Murid-murid tentu saja di dalam pasal 10 tetap masih belum sempurna juga, tapi dalam takaran perjalanan mereka mengikut Yesus, menurut Yesus itu sudah waktu yang cukup mereka boleh diutus. Dalam ayat 1 dikatakan Tuhan menunjuk 70 murid yang lain, sekali lagi seperti ada koreksi untuk para murid, dalam ayat 49-50 bagaimana di situ ada kesempitan hati para murid karena melihat orang lain mengusir setan di dalam nama Yesus, lalu mereka mau mencegah. Karena bukan termasuk di dalam kelompok pengikut kita, ini menarik bukan memakai istilah pengikut Kristus, jadi mereka satu group ini merasa sangat eksklusif, satu kelompok inner circle, tapi di sini kita membaca Yesus menggerakkan 70 murid yang lain. Di dalam bahasa Indonesia dikatakan “yang lain”, berarti bukan yang 12 ini saja. Kalau Tuhan mau memakai orang di luar yang kita anggap inner circle, dianggap orang-orang penting, itu ada di dalam kedaulatan Tuhan, kalau Tuhan mau pakai bahkan gereja lain lebih dari pada gereja kita, itu juga ada di dalam kedaulatan Tuhan.
Salah satu karakter yang harusnya ada di dalam diri orang yang diberkati Tuhan adalah keluasan hati, kesempitan hati itu sangat menggerogoti, kesempitan hati itu berpusat pada diri, karena ketidaksanggupan melihat anugerah Tuhan secara luas, dia cuma bisa melihat anugerah Tuhan hanya berkaitan dengan diri atau keluarganya saja. Tetapi ketika melihat orang lain diberkati, melihat orang lain dipakai, dia mulai menjadi gusar, mulai insecure. Kelemahan seperti itu hadir juga dalam diri para murid, dibentangkan dalam alkitab secara apa adanya, tidak ditutup-tutupi, tetapi sekali lagi, Yesus tidak memakai ke 12 orang ini saja, tetapi secara luas 70 murid.
Ini menarik, 70 murid, tetapi Yesus mengatakan, bagaimanapun pekerja sedikit, tuaian lebih banyak, perkerja terlalu sedikit. Ini poin sederhana, paling tidak ini meniadakan satu komplain orang yang seringkali bilang, saya sebetulnya mau melayani Tuhan, saya ini orang yang cinta Tuhan, tapi tidak ada pelayanan dipercayakan kepada saya, di gereja, saya ini tidak dipercaya, orang tidak memberikan ruang gerak kepada saya, tetapi saya siap melayani Tuhan. Wah.. orang seperti ini sangat meng-echo-kan pertanyaan orang yang datang kepada Yesus, lalu bertanya, siapakah sesamaku? Kan Yesus mengatakan, kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu…, lalu kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Lalu orang ini mau membenarkan diri dengan mengatakan, siapa sesamaku itu? Seolah-olah dia mau mengatakan, saya ini orang yang siap, selalu siap mengasihi sesama, luber cinta kasih, tetapi siapakah gerangan orang yang beruntung itu, yang boleh menjadi sesama sebagai objek yang saya kasihi. Lalu Yesus menjungkirbalikkan struktur pemikiran dalam diri orang itu sampai akhirnya sesama itu adalah mereka yang mengasihi, bukan objek, tetapi sesama yaitu dia yang mengasihi, dia yang menjadi sesama bagi sesama yang lain.
Yesus mengatakan, tuaian banyak tetapi pekerja sedikit, kita mungkin membalikkan dengan mengatakan, pekerja terlalu banyak, ladangnya berebutan dan tidak cukup, lalu orang bersaing satu sama lain rebutan pelayanan, tidak ada kenyataan seperti itu dan tidak ada dukungannya dalam alkitab. Yang ada adalah tuaian terlalu banyak, pekerja sedikit, kita tidak mungkin pernah akan kelebihan pekerja atau pelayan Tuhan, tidak ada, karena Yesus mengatakan, tuaian selalu lebih banyak, dari pada pekerjanya. Kalau seperti ini kenapa harus tunggu-tunggu lagi, karena tuaian sudah terlalu banyak, pekerja sedikit, ya datangkan saja sebanyak mungkin orang supaya tuaian ada yang mengerjakan, tapi itu bukan bijaksana Tuhan. Tuhan selalu punya waktuNya, ada kedaulatanNya, ada pertimbanganNya, tetapi memang betul yang dikatakan, tuaian banyak, pekerja terlalu sedikit, lalu persoalannya dimana? Mengapa seringkali kita merasa tidak diberikan tempat, kita tidak diberikan ruang, kepercayaan dsb., sebetulnya itu semua adalah excuse kalau kita membaca dalam bagian ini. Yang terjadi sebetulnya adalah kita tidak peka dengan kebutuhan sesama kita yang ada di luar, Yesus mengatakan, orang miskin selalu ada padamu, kalau kamu mau menjadi berkat, orang miskin itu ada dimana-mana, itu selalu ada padamu. Tetapi kita merasa, siapakah orang yang bisa saya tolong? Coba lihat ini, saya siap sekali mendukung pekerjaan Tuhan, tapi tidak ada yang dipercayakan kepada saya, begitu kan kalimat kita?
Saya tertarik, waktu kita membaca cerita orang-orang yang ingin menjadi berkat, seperti Martin Luther ketika di ekskomunkasi, dikucilkan oleh gereja, tidak dipercaya, dia tidak merasa self pity, tidak, Martin Luther melihat dunia begitu luas, ladang itu begitu luas, bukan terbatas oleh apa yang disediakan gereja Roma katolik dari Vatikan, tidak. Kalau gereja ini gagal menyediakan ladang-ladang pelayanan, kalau gereja ini gagal untuk melihat kebutuhan yang luas itu, ya pergilah ke luar (ini bukan mengusir), tapi lihatlah di luar sana begitu banyak orang yang bisa dilayani. Tidak ada yang bisa membatasi pekerjaan Tuhan hanya sebatas yang di lihat oleh gereja tertentu saja, tidak ada, tuaian itu terlalu banyak, pekerjanya sedikit. Maka kita berharap kepada Tuhan, supaya Tuhan membangkitkan lebih banyak orang yang menjadi pekerja untuk Kerajaan Allah, waktu kita mengatakan di sini, pekerja untuk Kerajaan Allah, tentu saja bukan dalam pengertian hamba Tuhan full time gerejawi, penginjil, pendeta, tetapi lebih dari pada itu. Para reformator sudah mengajarkan dengan jelas bahwa kita tidak mengenal dualisme seperti itu.
Martin Luther memberikan prinsip ini, kita beribadah kepada Tuhan, mengeskpresikan di dalam berbagai macam bidang. Waktu seorang pendeta berkhotbah, dia mempermuliakan Tuhan, tapi waktu seorang tukang sapu membersihkan kotoran-kotoran itu dengan satu sikap ibadah dihadapan Tuhan, dia juga sedang mempermuliakan Tuhan, sama-sama mempermuliakan Tuhan. Waktu kita membicarakan tentang kerja di dalam pengertian seluruh aspek kehidupan manusia, pekerja, berbagai macam vocation atau calling yang diberikan Tuhan kepada gerejaNya, karena itu kita sebagai gereja harus celebrate keanekaragaman karunia. Saya kuatir, kalau kita hanya menekankan karunia-karunia tertentu saja, meskipun karunia itu sangat penting, karunia apa pun, mungkin salah satunya adalah karunia menginjili, saya membedakan ada dua macam, menginjili adalah tugas seluruh orang percaya, tidak peduli ada karunia atau tidak, dengan ada karunia khusus yang disebut karunia penginjil, itu tidak diberikan kepada semua orang. Tapi ada juga karunia mengajar, menggembalakan, dll., itu karunia khusus diberikan kepada orang tertentu, tidak tentu diberikan kepada semua orang. Nah, kekuatiran saya apa? Kekuatiran saya adalah kalau gereja mementingkan satu atau dua karunia saja, bolak balik itu lagi, itu lagi, seperti mau membawa seluruh jemaat, kalau bisa kejarlah karunia yang satu itu.
Dulu di dalam cerita sejarah gereja, ada gerakan yang disebut dengan holiness movement, mereka sangat mementingkan hidup kudus, satu gerakan yang saya percaya sangat positif meskipun ada ekses-ekses tertentu. Tapi dari holiness movement itu terus berkembang dan dilanjutkan dengan apa yang disebut gerakan pentakosta, gerakan ini juga sangat mementingkan kekudusan hidup, membenci dosa dsb., lalu terus berkembang, berkembang, sampai akhirnya di dalam pergumulan mereka akan kebangunan rohani, lalu mereka di situ seperti mendapat kunjungan dari Tuhan. Lalu mulai berkembang jenis teologi di dalam manifestasi seperti itu, orang berbicara dengan bahasa lidah. Kemudian mulai masuk satu kecenderungan teologi yang baru, di situ mengatakan, orang yang mengalami baptisan Roh Kudus yang kedua, itu orang yang hidup kudus dan sekarang ada lagi tahap berikutnya yang ketiga yaitu bisa berbicara di dalam bahasa roh. Akhirnya gereja ini pelan-pelan sangat menekankan karunia bahasa roh, sampai sekarang masih terjadi.
Tapi apa yang terjadi? Penyempitan kepada satu karunia, seperti seolah-olah itu adalah satu-satunya karunia atau karunia nomor satu yaitu bahasa lidah. Jadi semua orang berlomba-lomba harus menuju ke situ, padahal yang namanya karunia itu tidak diberikan kepada setiap orang secara sama, nah kita menyempitkan pekerjaan Tuhan waktu membawa orang ke dalam satu karunia saja. Memang bisa ada kemiripan, kemiripan apa? Yaitu waktu kita menyempitkan gereja kepada satu, dua karunia saja, misalnya karunia penginjilan, semua disempitkan menuju ke sana, padahal ada karunia yang lain di dalam alkitab, misalnya karunia pengajaran, semua disempitkan ke sana, semua harus punya karunia pengajaran, tapi itu bukan ajaran alkitab. Alkitab mengajarkan keanekaragaman karunia, maka keluasan hati satu gereja, salah satu bisa kita nilai dari bagian ini, keluasan hati sebuah gereja.
Apakah kita bisa mengakomodir lalu melihat waktu kita berbicara tentang pekerja sedikit, kalau kita hanya cari orang yang punya karunia itu saja, ya memang lebih sedikit lagi, tapi waktu kita membaca apa yang menjadi dukacita dan pergumulan Tuhan Yesus, yang juga ingin Dia bagikan kepada kita, supaya kita minta kepada Tuhan, mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu. Ini tahun 2013, sudah bukan zamannya orang bisa melakukan sendirian dari A sampai Z, dunia ini makin lama semakin kompleks, dalam konteks kecil misalnya mengajar anak, dulu saya sebagai orang tua mengajar anak saya sendiri, sekarang tidak bisa lagi, pasti melibatkan orang lain. Waktu kita bekerja di dalam ladang Tuhan tapi tidak ada keluasan hati seperti itu, kita juga tidak minta kepada Tuhan yang mempunyai tuaian supaya Dia mengirimkan pekerja lebih banyak, ada orang yang malahan merasa insecure kalau terlalu banyak orang yang terlibat bekerja, lebih baik semuanya dia kerjakan sendiri atau kelompoknya saja yang sangat eksklusif, 12 murid, atau mungkin hanya 3 seperti murid Yesus di sini dikatakan, mengapa mereka mengusir setan demi namaMu? Para murid gagal, ketika ada orang yang berhasil, mereka gusar, harusnya mereka juga gagal tidak boleh berhasil, bahkan harus lebih gagal lagi, itu baru namanya saya secure.
Kesempitan seperti ini hadir di dalam kehidupan manusia, tapi Tuhan mengatakan, kita ini kurang pekerja, tuaian terlalu banyak, mintalah kepada Allah sendiri yang mempunyai tuaian itu supaya Dia mengirimkan pekerja-pekerja. Kalau bisa lebih banyak lagi, jangan hanya 70 orang, ini pun kurang, karena ladangnya itu begitu luas, yang perlu ditangani itu begitu banyak, tidak mungkin bisa dijangkau oleh 1 atau 2 orang saja, bahkan 70 pun tidak sanggup menjangkau itu. Saya percaya, seseorang yang mempunyai concern yang tulus, sincere tentang pekerjaan Tuhan, tentang Kerajaan Allah, akan mempunyai pergumulan seperti ini. Sebaliknya, orang-orang yang sempit hatinya akan merasa terganggu kalau ada pekerja-pekerja baru masuk, apalagi yang senior terus merasa sangat insecure, eh… kamu orang baru, saya sudah lama bersama dengan Yesus, kamu datang-datang mau ngajarin saya, kamu itu umur berapa, baru mengenal Tuhan sudah sombong seperti ini, nanti dulu, ada gilirannya masing-masing. Kesempitan-kesempitan seperti ini terjadi di dalam gereja Tuhan, terjadi di dalam kekristenan, lalu kita atas nama senioritas, atas nama jenjang dsb., kita menekan orang-orang yang baru, pekerja yang baru masuk. Sementara Tuhan mengajarkan kepada kita untuk berdoa minta kepada Tuhan, kalau boleh pekerja lebih banyak, karena tuaian terlalu banyak untuk dikerjakan sendiri.
Yesus itu Tuhan, tetapi Dia hadir sebagai Manusia di dalam keterbatasanNya itu sebagai manusia, Yesus tidak menggunakan kuasa Ilahi semena-mena, kalau Dia mau kan bisa juga, tetapi Dia menahan diri, menyangkal diri dari pada itu, meskipun sebetulnya Dia bisa. Tetapi Dia tetap mempertahankan diriNya sebagai manusia yang terbatas dan keterbatasanNya sebagai manusia juga meng-encourage murid-murid untuk minta kepada Allah sendiri pekerja-pekerja yang lebih banyak. Kita harusnya lebih senang kalau ada banyak orang yang dibangkitkan Tuhan, ada orang-orang yang dipakai Tuhan, ya mungkin kelihatan baru dsb., tapi akhirnya Tuhan pakai juga kan? Karena kita kewalahan, kita tidak bisa mengerjakan semuanya.
Kemudian Yesus menggambarkan bagaimana pengikutan itu akan terjadi dituliskan dalan ayat 3, “Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala,” satu kalimat yang menggentarkan. Sudah orangnya sedikit, kurang, diutus ke tengah-tengah serigala, bukan cuma satu serigala, ada dua mungkin lebih banyak lagi, domba cuma dua, diutus berdua-dua, satu keadaan yang totally impossible secara manusia. Serigala dibandingkan dengan domba, itu incomparable, tidak bisa dibandingkan sama sekali, tidak ada kemungkinan domba bisa melarikan diri dari serigala. Kadang-kadang serigala bisa gagal, bisa luput waktu mengejar domba, ini mungkin, tetapi domba tidak ada kemungkinan untuk bisa mematahkan kuasa serigala, tidak ada. Domba itu binatang yang terlalu helpless, terlalu tidak berdaya, serigala dengan kegesitannya, cakarnya, juga dengan kelicikan dan kelihaiannya dan domba yang tidak punya cakar, seringkali tersesat, ya domba mau dibandingkan apa dengan serigala? Insting pun sangat lemah, sehingga gembala harus menarik lagi dan lagi, karena domba ini binatang yang mudah tersesat, lalu diutus ke tengah-tengah serigala, apa yang akan terjadi di situ? Ya akan disate rame-rame.
Tapi justru di sini pointnya, Yesus memang mau mengatakan, tidak ada kemungkinan untuk melarikan diri, untuk tidak dianiaya, untuk tidak ditolak, memang itulah keadaan orang kristen, tetapi kita bersyukur, satu-satunya pengharapan kita adalah karena kita memiliki Gembala, Gembala yang menyertai kita, yang hadir di dalam pengutusan tersebut. Kecuali kita bergantung pada Gembala Agung yaitu Yesus Kristus, tidak ada kemungkinan untuk saudara dan saya mengalahkan serigala. Pdt. Stephen Tong pernah mengatakan, kita tidak ada kemungkinan untuk bisa lebih mengungguli trik dan strategi iblis, dia sangat pengalaman, sangat lihai dan kita tidak bisa berperang dengan mereka, kita tidak ada kekuatan, dia jauh lebih lihai. Cuma ada satu-satunya kemungkinan yaitu waktu kita mengikuti dinamika pimpinan Roh Kudus, karena Roh Kudus lebih gesit lagi dari pada iblis dan iblis tidak bisa kejar, kacuali kita bergantung pada Tuhan, pada Roh Kudus.
Tetapi waktu kita membanggakan diri kita sendiri, membanggakan kekuatan kita sendiri, lalu kita berkata, kamu serigala tidak apa-apa, saya memang domba, saya akan membawa aksesori-aksesori tertentu, ada gada dsb., apakah kita pernah melihat domba membawa gada untuk menghantam serigala? Kita konyol sekali memiliki gambaran seperti ini, tapi apa yang terjadi dalam realita kehidupan sehari-hari? Bukankah banyak orang kristen yang juga berusaha bermegah di dalam kemegahan dunia? Sama, itu seperti menjadi berusaha lebih galak dari serigala, padahal dia domba, orang dunia membanggakan kekayaan mereka, lalu kita berkata, kita orang kristen juga harus kaya, supaya jangan dihina oleh dunia, mereka pintar, kita juga harus lebih pintar dari mereka. Ini apa sih, jadi mereka serigala, lalu kita ikut-ikutan memiliki taring yang lebih tajam dari serigala? Kita tidak dipanggil untuk mengungguli kecerdasan dan keperkasaan serigala, lalu kita tidak menerima identitas kita sebagai domba, tidak ada panggilan itu. Kita tetap adalah domba yang begitu mudah dikoyak oleh serigala. Lalu penghiburan kita adalah karena kita boleh bergantung kepada Tuhan yang menyertai, kita tidak perlu malu, ya memang beginilah identitas kita.
Di Jepang sangat sulit memberitakan injil, mengapa? Karena orang Jepang berpikir, kekristenan itu hanya untuk orang-orang yang kalah, kristen itu adalah orang-orang lemah, marginal, karena itulah mengapa mereka datang kepada Yesus, tetapi kita tidak. Lalu kita mungkin sangat tersinggung, lalu dalam hati yang panas berkata, kamu tidak tahu ya, saya ini powerful dan saya ini kristen, saya ini kaya, saya kristen, saya miloner, oh… tidak, bukan jalan seperti itu, karena kita tidak dipanggil untuk melampaui serigala, tidak. Itu kemuliaan yang fana yang tidak ada artinya untuk Kristus, kapan Kristus memakai kalimat-kalimat seperti itu waktu Dia berada dalam dunia? Bukankah yang kita baca justru seringkali Dia menahan akses kepada kekuasaan yang besar itu, seperti ketika para murid meminta api diturunkan dari sorga untuk menghanguskan mereka semua. Jadi tidak ada panggilan untuk melampaui serigala, kalau orang kristen dikatakan sebagai pecundang, ya kita aminkan, memang betul, memang kita loser, tidak bisa menguduskan diri sendiri, tidak bisa keluar dari dosa, kita dikatakan sebagi orang yang tidak terpandang, ya memang, tapi Tuhan mengasihi saya apa adanya dan mati untuk saya. Itu kebahagiaan orang kristen, kewibawaan ada di situ dan bukan dengan berusaha menjadi seperti serigala atau melampaui serigala.
Ayat 4 mengatakan, “jangan membawa pundi-pundi, bekal, kasut, jangan memberi salam kepada siapapun,” ayat ini agak sulit ya, sudah meninggalkan segala sesuatu, menyangkal diri, waktu diutus membawa barang-barang yang wajar pun tidak boleh. Padahal yang disebutkan itu kan bukan yang luxurious sama sekali, ini kan hal yang sederhana, pundi-pundi itu kan wajar dalam berpergian, yang tidak wajar ketika misalnya membawa kulkas, apa salahnya membawa pundi-pundi? Bukankah saya juga harus membawa kasut? Kalau kasutnya rusak bagaimana? Jalan zaman itu kan sangat mudah merusak kasut, jadi membawa cadangan kan tidak ada salahnya? Lalu membawa bekal, itu kan pasti, kalau nanti lapar, kita makan apa? Tetapi Yesus bilang, jangan bawa semua itu. Apa maksudnya? Ini adalah satu pelajaran, supaya para murid, juga saudara dan saya, kita belajar bergantung sepenuhnya kepada Tuhan. Saat-saat tertentu Tuhan memberikan kepada kita satu keadaan yang minim, supaya kita belajar bergantung. Seperti dalam doa Bapa kami, salah satu yang sulit adalah kalimat “berikanlah pada hari ini makanan kami yang secukupnya,” bagaimana mau secukupnya, kulkas saya penuh, untuk 3 bulan juga cukup, ini bukan hanya cukup, tetapi melimpah, lalu saya minta kepada Tuhan, berikanlah pada hari ini makanan kami yang secukupnya, saya munafik kali ya berdoa seperti itu?
Untuk mengatakan doa Bapa kami itu mudah dan menghafalkannya juga mudah, intinya adalah sulit untuk mengucapkan kalimat itu di dalam segala kedalamannya. Karena kita tidak mengerti bergantung di dalam kesederhanaan, tapi pada saat itu ada orang yang mengatakan kalimat ini, memang mereka tidak tahu, makan hari ini apa atau makanan hari ini ada besok tidak tahu mau makan apa dan mereka hidup satu hari demi satu hari. Sampai Yesus mengajarkan, “kesulitan sehari cukuplah untuk sehari”, karena mereka betul hidup sehari demi sehari, lalu waktu mereka berdoa, berikanlah kepada kami hari ini makanan kami yang secukupnya, itu begitu tulus ke luar dari dalam hati. Tetapi saudara dan saya, apakah masih bisa mengucapkan kalimat itu di dalam segala kedalamannya? Memang di dalam kekristenan kita tidak boleh terjebak hanya dalam urusan fenomena, maksudnya, ada orang yang kelihatan miskin, lalu kita pikir, karena dia miskin pasti hidupnya bergantung pada Tuhan, oh… tidak tentu, ada orang yang sudah miskin, tidak bergantung pada Tuhan juga. Ada orang yang miskin, sombong, merasa diri kaya, ada orang miskin, waktu orang lain mengulurkan tangan, dia tersinggung, dia pikir mau menghina, sudah miskin, sombong, itu bentuk kesombongan yang tidak wajar. Kalau orang kaya sombong, orang katakan, ya paling tidak, ada modal untuk sombong, ya kalau orang miskin sombong, modalnya apa?
Orang yang sudah miskin sombong dan tidak mau bergantung kepada Tuhan, kita sulit untuk mengerti, tetapi sebaliknya, ada kemungkinan, ada orang kaya yang tetap bergantung kepada Tuhan, karena itu jangan kita tertipu oleh fenomena. Apakah orang kaya pasti sombong, tidak bergantung pada Tuhan, egois, cinta uang dan orang miskin pasti dekat Tuhan, pasti suci, oh… tidak tentu, itu fenomena. Maka waktu dikatakan kalimat-kalimat seperti ini, tidak membawa pundi, kasut dsb., memang ada saat dimana kita perlu belajar secara literally, harafiah, at least untuk sekian waktu lamanya, belajar untuk menyangkal diri, abstain dari hal-hal tertentu yang bukan kategori luxurious, tapi kategori sederhana. Seperti misalnya puasa terhadap kebutuhan yang primer, saya belajar serahkan, belajar abstain, untuk saya belajar mencukupkan diri di dalam kehadiran Tuhan. Kita bersyukur kalau dalam kehidupan kita Tuhan mengijinkan apa yang cenderung menjadi pilar di dalam kehidupan ini ditarik oleh Tuhan, karena itu tidak seharusnya menjadi pilar, pilar kita satu-satunya adalah Yesus Kristus yang menopang kita. Tetapi di dalam kehidupan itu bisa ada banyak pilar, seperti orang pilarnya adalah financial security, maksudnya keamanan ekonomi, waktu itu gocang, dia ikut goncang karena itu pilar di dalam kehidupannya. Bagi yang lain mungkin pilarnya adalah keadaan kesehatan, maka waktu dia sakit, dia goncang karena kesehatan adalah pilar untuk dia, dsb.
Kita harus hati-hati, segala sesuatu yang bukan Tuhan, itu punya pontensi menjadi berhala, apapun itu. Dan kita harus belajar, bisa tidak saya mencukupkan diri dengan penyertaan dan kehadiran Tuhan saja? Tidak ada kesehatan, ekonomi berantakan, kita masih bisa berdiri tegak karena Tuhan yang menopang saya. Saya percaya tidak semua orang memiliki takaran iman seperti Ayub, ditarik satu per satu oleh Tuhan, seolah-olah tidak ada apapun yang bisa dia pegang, semua pegangan Ayub diambil oleh Tuhan, satu per satu, tidak ada yang bisa dipegang oleh Ayub, kecuali Tuhan yang memegang dia. Pengalaman seperti ini dalam kehidupan kita saya percaya perlu terjadi, waktu murid-murid diutus, tidak boleh membawa pundi-pundi, bekal dan kasut, Tuhan mau mengajarkan, Aku, Tuhan yang akan mencukupkan dan memelihara engkau.
Point yang terakhir adalah jangan memberi salam kepada siapapun selama dalam perjalanan, ini aneh, kok orang kristen tidak boleh memberi salam? Tapi yang dimaksud istilah salam di sini bukan sembarang salam, ini salam Timur Tengah, ada pelukannya, ada saling membalas perkataan dst., kalau salam kita bisa cepat, seperti scanning. Tapi di Timur Tengah salam mereka membutukan waktu begitu lama dan Yesus mengatakan, jangan memberi salam, bagi saya ini point yang sangat dalam. Maksudnya apa? Bahkan kehangatan kedekatan horizontal ada saatnya direlativisasi dan tidak perlu dikerjakan karena ada prioritas yang lebih tinggi (jangan kita abuse kalimat seperi ini – karena kita kurang hangat dengan sesama, kurang mencintai, kita memakai prinsip seperti ini, Tuhan sendiri mengajarkan, yang vertikal lebih penting dari horizontal, saya tidak mengajarkan itu), tapi yang dimaksud adalah ada saat dimana Tuhan lebih mau kita mementingkan relasi vertikal. Di saat seperti itu, kita jadi less, kurang horizontal, termasuk juga di dalam aspek kehangatannya.
Saya angkat satu point sederhana di dalam ibadah, apa bedanya ibadah dengan persekutuan? Ibadah itu terutama perjumpaan kita dengan Tuhan, ini tekanannya vertikal, saya percaya di dalam ibadah pasti ada aspek horizontal, bersekutu dengan saudara seiman yang lain, tapi tetap tekanannya adalah yang vertikal. Maka tidak tepat pemimpin ibadah yang membangun suasana terlalu horizontal, itu tidak mengarahkan orang kepada perjumpaan dengan pribadi Kristus. Coba kita perhatikan, termasuk bahkan para pendeta, hamba Tuhan, ada yang lebih mirip stand up comedian (maaf, kalimat ini keras), memang jemaat tertarik, mereka tidak garing, tapi akhirnya tidak ada satu pun pikirannya yang terarah kepada Tuhan. Bukan berarti tidak suka humor, bukan itu pointnya, tetapi ada proporsinya, ada tempatnya. Kehangatan horizontal ada saatnya harus direlativisasi agar dianggap tidak penting, karena ada urusan yang lebih penting, ibadah yang terjadi melulu horizontal, seperti sangat hangat, sangat dekat sekali, maka tidak ada representasi kemuliaan Tuhan di situ, jadi sama seperti persekutuan. Kalau persekutuan ya memang tekanannya di situ, tapi ibadah adalah bagaimana membawa manusia berjumpa kepada pribadi Tuhan.
Bahkan hal baik memberi salam, kedekatan, kehangatan secara horizontal, harus abstain untuk sementara waktu, karena ada prioritas yang lebih tinggi di sini, pemberitaan Kerajaan Allah, ini waktu yang tidak diberikan selama-lamanya dan selalu ada pada murid-murid, tidak. Tapi dalam saat yang khusus ini, diutus oleh Yesus di dalam waktu yang singkat ini tidak perlu memberi salam kepada siapapun, tapi bukan tidak boleh ada salam sama sekali, ketika mereka masuk dalam satu rumah, mereka mengatakan damai sejahtera, dsb., berarti masih ada salam. Saya tidak tahu apakah saudara punya pengalaman seperti ini, waktu kita serius berhadapan dengan Tuhan, sampai hal-hal horizontal tidak terlalu kita perhatian (saya bicara dalam pengertian positif, bukan yang karikatural). Kalau kita belum punya pengalaman seperi ini, kita harus minta kepada Tuhan, karena pemuridan, pengikutan akan Kristus termasuk bagian ini. Kalau kita tidak mengerti betapa seriusnya hal-hal seperti Kerajaan Allah, pemberitaan firman Tuhan, pemberitaan injil, relasi vertikal dengan Tuhan yang seringkali dalam bagian tertentu harus meralitivisasi hubungan-hubungan horizontal, maka kita belum mengerti apa artinya mengikut Kristus. Amin.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (AS)