Hari ini kita akan membahas pengkhianatan Yudas, khususnya dari Injil Markus pasal 14:10-11; tapi kita membaca juga perikop sebelumnya, ayat 3-9, karena perikop ini menjadi satu konteks yang penting. Kita melihat ayat 10-11 ini melanjutkan cerita tentang Yesus diurapi; dan Markus sengaja menaruh dua cerita ini berdampingan karena dia mau kita memperbanding-kannya, yaitu antara perempuan yang menghormati Yesus dan mengurapi Yesus, dengan Yudas yang mengkhianati Yesus. Ini kaitan yang sangat penting untuk kita bisa lebih mengerti pengkhianatan Yudas.
Di ayat 10 dikatakan: ‘pergilah Yudas Iskariot, salah seorang dari kedua belas murid itu’. Bagian ini dalam terjemahan bahasa Indonesia, bahkan juga dalam bahasa Inggris, kita tidak melihat terlalu jelas adanya suatu penekanan, namun dalam bahasa Yunani terlihat penekanan pada bagian ‘salah salah seorang dari kedua belas murid itu’. Inilah yang mau ditekankan oleh Markus, bahwa Yudas inilah –Yudas yang adalah salah satu dari dua belas murid, Yudas yang adalah rasul– seolah-olah Markus mau mengatakan kepada kita, ‘kalian tahu Yudas ‘kan, Yudas yang mengikut Yesus, Yudas yang mengusir roh jahat, Yudas yang dipilih dari ratusan orang, Yudas yang merupakan salah satu dari 12 murid, Yudas yang itu —that Judas— yang saya bicarakan.’
Kita tahu, pengkhianatan Yudas terhadap Yesus sebetulnya satu hal yang sangat memalukan. Hari ini mungkin masih ada yang kritik orang Kristen dengan berkata, “Kamu menyembah Yesus?? Tahu ‘gak, Yesus itu terhadap 12 orang saja Dia tidak bisa kontrol. Itu bukan organisasi besar, bukan perusahaan dengan 12.000 orang, cuma 12 orang murid saja, dan di antara 12 orang yang paling dekat dengan Dia, yang satu mengkhianati Dia!” Bayangkan misalnya saya hari ini jadi gembala dan jemaatnya cuma 12 orang, lalu salah satunya mengkhianati dan meninggalkan gereja, bukankah itu memalukan? Gembala macam apa yang jemaatnya cuma 12 orang, lalu salah satunya pergi?? Kita pun hari ini mungkin menerima kritik seperti itu, “Kamu menyembah Yesus, tapi Yesus dikhianati, no control, no power!” Bayangkan kalau kita berada dalam konteks ‘gereja mula-mula’, kelompoknya kecil, miskin, tidak ada apa-apanya, dan mereka berkumpul menyembah Yesus, lalu orang-orang Yahudi –orang-orang sekuler, non Kristen– bilang, “Kamu menyembah Yesus?? Apa kamu tidak tahu, Guru kamu itu dikhianati oleh muridnya sendiri, bahkan bukan murid second circle tapi the first circle! Ngapain kamu menyembah Dia??”
Saudara-saudara, kita sadar, ini sebetulnya bukan satu hal yang bisa dibanggakan, bahkan ternyata amat memalukan. Apa respon kita ketika kita menghadapi hal-hal yang memalukan? Seharusnya, hal-hal yang memalukan itu kita tutupi, tidak akan kita bongkar, tidak akan kita banggakan. Misalnya, andaikata hari ini ada pendeta senior yang adalah asistennya Pdt. Dr. Stephen Tong, yang sudah jadi asistennya selama 20 tahun, di mana Pak Tong berada di situ dia berada, dia mengikuti teologinya, dia sangat dekat dengan Pak Tong, lalu tiba-tiba dia mengkhianati dan pergi meninggalkan gereja begitu saja (ini sekedar suatu skenario bohongan, imajinasi); bagaimana respon kita? Sebagai jemaat, kita pasti mencoba menutupinya. Kalau ada orang tanya, “Kenapa pendeta ini pergi? Bukankah dia asistennya Pak Tong? Sudah 20 tahun bersama-sama Pak Tong dan dia begitu setia, koq bisa pergi, sih?” Ditanya seperti itu, kita biasanya jawab, “Oh, enggaklah, dia sejak 6 bulan lalu memang sudah tidak ikut rapat, dia sudah terputus, sejak satu tahun lalu juga dia sudah tidak ikut Pak Tong, jadi sudah tidak dekat; bahkan dari 2 tahun lalu dia kayaknya kelihatan menjauhkan diri, dari 5 tahun lalu … “, dan seterusnya. Saudara menangkap poinnya? Poinnya adalah: kalau ada kejadian yang sangat memalukan seperti ini, kita akan menutupinya erat-erat, jangan perlihatkan bahwa relasi mereka bagus, tapi sebaliknya bahwa mereka tidak sedekat yang orang bayangkan; “Kamu orang luar tidak mengerti; saya orang dalam, saya tahu apa yang terjadi, relasi mereka memang sudah mulai longgar koq, iman dia juga sudah tidak kuat, dari dulu saya lihat kelakuannya sudah tidak beres, jadi memang sudah ada bibitnya”, itulah yang akan jadi respon kita. Tetapi Markus dalam bagian ini justru berbeda. Memang ini hal yang memalukan –Yesus dikhianati– tapi Markus justru men-highlight hal ini, bahwa Yudas ini salah satu dari 12 rasul! Mengapa bagian ini ditinggikan? Mengapa tidak seperti Yohanes yang dalam tulisannya ada disclaimer bahwa Yudas sejak awal adalah pencuri? Yohanes mau down tune bahwa Yudas dari awal memang ada niat jahat; tapi dalam Injil Markus, yang seperti itu tidak ada sama sekali. Markus sengaja menekankan bahwa Yudas ini rasul, orang yang dekat, dan orang ini yang mengkhianati Gurunya.
Ada 2 poin besar alasannya Markus menekankan tentang Yudas di bagian ini. Pertama, Markus mau menyatakan bahwa walaupun Yesus dikhianati, Yesus tetap in control of everything. Kalau kita perhatikan Injil Markus, kita akan melihat bahwa Yesus ditulis sebagai Pribadi yang bisa prediksi semua hal, Dia bisa mengatur semua hal, Dia kontrol segala sesuatu. Sejak awal Dia sudah mengatakan bahwa Dia akan ditolak dan dibunuh. Ketika Dia mau masuk Yerusalem, murid-murid-Nya tidak tahu caranya mereka bisa menyambut Mesias ini, tidak ada persiapan sama sekali, dan di situ Yesus sendirilah yang mempersiapkan keledainya. Yesus yang mengatur dari sebelumnya, “Kamu pergi ke sana, lalu nanti ketemu orang ini, dan kamu bilang begini-begini, dan dia akan berikan keledainya”. Yesus sudah mengatur semuanya. Di dalam Injil Markus, Yesus jelas sekali kelihatan sebagai Seorang yang sungguh-sungguh berdaulat, Dia in control atas semua situasi. Jadi, dalam kontras ini apa yang Markus mau nyatakan? Kamu anggap Yesus itu gagal, kamu anggap Yesus tidak bisa kontrol murid-murid-Nya, tapi bukan demikian, ini beda; walaupun murid-Nya sendiri, rasul sendiri, mengkhianati Dia, ini pun ada di bawah kontrol Dia –inilah yang mau Markus nyatakan.
Kita terbiasa dengan konsep atau pemikiran bahwa kalau Tuhan in control, kalau Tuhan berdaulat, maka segala hal akan berjalan lancar. Orang-orang ateis dan orang-orang yang tidak percaya mengatakan, “Kalau Tuhan in control, tidak akan ada kesengsaraan, tidak akan ada kesulitan, tidak akan ada peperangan ‘kan; tapi lihat fakta dunia ini, ada perang, ada pandemi, in chaos. Mana Tuhan yang in control? Mana Tuhan yang berdaulat? Tidak ada ‘kan??” Begitulah menurut orang ateis. Tapi, kita yang di gereja juga mirip-mirip; ketika semua rencana gereja berjalan lancar, ketika semua rencana yang dibikin awal tahun bisa direalisasikan sampai akhir tahun, dan gereja bertumbuh, kita akan bilang, “Ya, betul, Tuhan in control atas gereja ini.” Sebaliknya kalau ada kekacauan seperti keadaan hari ini, kita juga mungkin imannya mulai tergoncang, mulai tanya-tanya, ‘mengapa demikian, apa yang terjadi??’
Kembali ke cerita dalam Injil Markus, jangan lupa, walaupun yang terjadi pada Yesus sendiri seakan-akan murid-Nya tidak bisa dikontrol, tapi Dia tetap berdaulat, kekacauan ini pun tetap di bawah kontrol-Nya. dan yang lebih penting lagi, khususnya dalam konteks cerita ini, adalah bahwa Yesus begitu berdaulat, Yesus begitu mengontrol semua situasi, bahkan Dia bisa memakai kejadian yang sepertinya memalukan ini untuk menggenapi rencana-Nya. Di mata dunia, Yesus gagal, Yesus tidak bisa kontrol bahkan atas 12 orang saja. Tapi justru melalui pengkhianatannya Yudas –dalam arti in spite of, bukan necessarily— melalui hal yang memalukan ini, Yesus menggenapi rencana-Nya yang kekal.
Dalam sejarah perkembangan Gereja, kita melihat ada hal-hal yang mirip seperti ini, bahwa Tuhan tidak secara mutlak harus memakai kelancaran untuk menggenapi rencana-Nya, untuk menyatakan kemuliaan-Nya; Tuhan juga bisa memakai hal-hal yang seperti memalukan, untuk menggenapi rencana-Nya. Satu contoh, dalam sejarah gereja, pada abad 11 gereja yang satu, pecah jadi gereja Timur dan gereja Barat. Setelah itu pada abad 16 gereja Barat pecah lagi jadi gereja Roma Katolik dan gereja Reformasi. Dan kita melihat hari ini, di dalam Protestan bahkan bukan pecah dua atau tiga tapi sampai ratusan; denominasi Protestan ada ratusan, bahkan mungkin ribuan. Alkitab bilang “saling mengasihi”, tapi yang terjadi adalah: Gereja pecah, pecah, pecah, dan pecah lagi. Bisa dibayangkan bagaimana orang dunia melihat hal ini; ‘kamu orang Kristen?? Tuhanmu bilang saling mengasihi, tapi lihat diri kamu sendiri, pecah terus’. Bukankah ini memalukan? Tapi kalau kita mau melihat dari kedaulatan Tuhan, kalau kita mau redeem bagaimana Tuhan memimpin, hari ini kita bisa melihat bahwa hal itu memang memalukan, tapi melalui gereja yang “pecah”, kita baru sungguh-sungguh bisa belajar apa artinya saling mengasihi, sedangkan kalau cuma satu dan satu terus, bagaimana mungkin? Sebaliknya, kalau memang ada beda pendapat, kalau ada beda prioritas, dan kita sungguh-sungguh bisa menanggapinya secara sehat, maka kita akan sadar bahwa kita semua memang beda anggota tapi satu tubuh. Sekali lagi, Tuhan begitu berdaulat, Dia bisa melalui (in spite of) perpecahan ini, menyadarkan kita bahwa kita beda anggota tapi satu tubuh, dan membuat kita sungguh-sungguh belajar apa artinya saling mengasihi. Itulah kedaulatan Yesus, kedaulatan yang dimiliki Tuhan kita. Ini poin yang pertama.
Yang kedua, alasannya Markus men-highlight bahwa Yudas adalah salah satu dari rasul-rasul, yaitu agar kita bisa introspeksi. Ini adalah peringatan bagi kita semua yang membaca Alkitab.
Kita tahu dalam sejarah gereja, Yudas digambarkan sebagai setan, satu figur yang absolute evil; misalnya kita bisa lihat bagaimana figur Yudas digambarkan dalam lukisan “Last Supper”. Lukisan “Last Supper” ini tahun demi tahun harus direstorasi karena mungkin ada bagian cat yang rontok dsb.; dan perhatikan, dalam lukisan “Last Supper” hari ini, hidung Yudas begitu lancip dan kecil, sebagaimana biasanya hidung orang-orang jahat digambarkan. Mengapa jadi seperti itu? Karena setiap kali direstorasi, hidungnya dibikin makin lama makin lancip, makin lama makin kelihatan jahat; poinnya adalah: bahwa dalam tradisi gereja, Yudas dianggap sebagai orang jahat, absolute evil, setan.
Menariknya, dalam Injil Markus, tidak seperti injil-injil lainnya Markus tidak menggambarkan Yudas sebagai orang yang amat sangat jahat. Bukan berarti Yudas tidak mengkhianati Yesus –Yudas tetap mengkhianati Yesus, dan pengkhianatan itu tetap satu hal yang keji—tapi dibanding injil-injil yang lain, Yudas dalam Injil Markus lebih netral, tidak sejahat penggambaran dalam injil lainnya. Misalnya, seperti saya katakan tadi, Yohanes langsung bilang bahwa Yudas sejak awal adalah pencuri –sementara hal ini tidak pernah dicatat oleh Markus. Di dalam Injil Lukas dicatat bahwa setan merasuki Yudas, masuk ke dalam hatinya, menunjukkan bahwa dia benar-benar dipakai oleh setan –sementara di dalam Injil Markus bagian ini juga tidak ada. Di dalam Injil Matius, dikatakan bahwa Yudaslah yang secara inisiatif mendatangi petinggi-petinggi agama dan bertanya, “wani piro?” –‘berapa kamu berikan saya uang, untuk saya mengkhianati Yesus bagi kamu’– dia yang inisiatif tanya soal uang, sedangkan dalam Injil Markus, ini tidak ada. Dalam Injil Markus, bukan Yudas yang inisiatif minta uang, tapi dikatakan: ‘mereka sangat gembira waktu mendengarnya dan mereka berjanji akan memberikan uang kepadanya’.Bukan Yudas yang inisiatif tapi petinggi-petinggi agama itulah yang berinisiatif, merekalah yang memberinya uang, bukan dia yang minta. Jadi, dalam Injil Markus, setidaknya Yudas bukan mengkhianati Yesus gara-gara uang, dia sama sekali tidak minta uang tapi petingg-petinggi agama yang mau memberinya uang. Markus 14:18 dikatakan: Ketika mereka duduk di situ dan sedang makan, Yesus berkata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya seorang di antara kamu akan menyerahkan Aku (tidak ada dikatakan ‘untuk uang’) yaitu dia yang makan dengan Aku.” Perhatikan, tidak ada Yesus mengatakan ‘seorang akan menyerahkan Aku untuk uang’, yang dikatakan adalah ‘‘seorang akan menyerahkan Aku’. Injil Markus tidak bicara tentang uang, tidak ada perkataan ‘kamu jahat karena tamak uang’.
Sekarang pertanyaannya: kenapa Yudas dalam Injil Markus mengkhianati Yesus? Untuk apa? Jawabannya sederhana tapi sedikit mengganggu –termasuk juga mengganggu saya ketika saya merenungkan bagian ini– yaitu: Yudas mengkhianati Yesus, karena dia percaya. Judas betrayed Jesus because he believed. Yudas percaya! Itulah alasannya dia mengkhianati Yesus.
Penjelasan akan hal ini sedikit panjang, tapi coba kita review pelayanan Yesus dari awal lagi. Banyak orang mengatakan Yudas mengkhianati Yesus karena uang, tapi coba pikir lagi, Yesus di awal pelayanan-Nya, mana ada uang? Dia anak tukang kayu, ‘gak ada modal, uang dari mana?? Bahkan di awal pelayanan Yesus, kita tahu secara finansial pelayanan-Nya didukung oleh perempuan-perempuan yang ada uang. Yesus tidak ada uang, jadi Yudas pasti ikut Yesus bukan gara-gara uang. Yudas sebetulnya sama seperti semua orang Yahudi lainnya, mengharapkan Mesias. Semua orang Yahudi mengharapkan kedatangan Kerajaan Surga, mereka semua punya the same hope, dan mereka melihat harapan itu pada Yesus, maka mereka mau percaya. Setelah mereka melihat apa yang Yesus ajarkan, apa yang dilakukan-Nya, mereka mau sungguh-sungguh percaya bahwa Yesus adalah Mesias itu. Inilah sebabnya semua orang mau mengikut Yesus –termasuk Yudas. Sejak awal Yudas mengikut Yesus bukan karena mau mencari uang, tapi karena dia percaya juga bahwa Yesus adalah Mesias. Inilah sebabnya Yudas mau percaya, Yudas mau taat, Yudas mau mengikut Yesus. Yudas begitu dekat dengan Yesus; di antara ratusan orang yang terus mengikut Yesus, termasuk yang second circle, third circle, dsb., Yudas bahkan dipilih menjadi rasul, dua belas orang yang khusus itu dan diberikan kuasa untuk mengusir roh jahat.
Waktu murid-murid itu kembali dari mengusir roh-roh jahat, mereka begitu senang dan melaporkan kepada Yesus apa yang mereka sudah lakukan, mereka sungguh-sungguh yakin Kerajaan Surga sekarang akan datang, Yesus adalah Mesias. Dia bisa menghardik angin, Dia bisa mengusir roh jahat, Dia adalah pengharapan mereka. Semua murid-murid-Nya itu mau sungguh-sungguh percaya dan taat. Tapi apa yang terjadi setelah itu? Yesus mulai mengeluarkan prediksi –atau kalau pakai istilah teologis/gerejawi, ‘nubuat’–bahwa Dia akan ditolak, Dia akan dibenci, Dia akan ditangkap, Dia akan mati. Tapi semua murid-murid-Nya tidak ada yang mengerti, ‘Ngomong apa sih ini, mati, ditolak, dibunuh?? Itu ‘gak ada kaitannyalah dengan Mesias; Mesias ‘gak ada kaitannya dengan mati dan dikubur, dsb.’ Mereka anggap Yesus ini sebagai semacam orang agung dari gunung manalah, mereka anggap Yesus unik, seperti juga nabi-nabi, maka Dia mengeluarkan kalimat-kalimat yang sangat dalam dan ada lapisan arti-arti yang ketiga, keempat, kelima, dsb., yang memang mereka tidak bisa tangkap, bahkan mungkin 50 tahun kemudian baru bisa mengerti, dst. Tidak ada satu orang pun dari mereka yang ngeh, yang sungguh-sungguh mengerti apa yang Yesus katakan.
Setelah Yesus memberitahukan kepada mereka bahwa Anak Manusia akan ditangkap dan dibunuh, Yesus masuk ke Yerusalem. Dan di situ, pada dasarnya Yesus sikat habis semua pihak; para petinggi agama, orang Romawi, imam-imam, ahli Taurat, orang Farisi, Saduki, semua disikat habis. Kalau Yesus sikat petinggi-petinggi agama di luar Yerusalem, itu masih oke, mereka masih bisa toleransi, tapi sekarang Yesus masuk ke tempat mereka, sementara mereka ini ‘preman’-nya Yerusalem! ‘Kamu masuk ke tempat preman, dan Kamu sikat habis preman-preman itu sendiri??’ Semua Yesus sikat habis, baik petinggi agama maupun politik. Dan di situ murid-murid oke-oke saja; mengapa? Karena mereka anggap diri mereka akan menggantikan petinggi-petinggi agama tersebut. Mereka anggap ketika Kerajaan Surga turun melalui Yesus, maka mereka juga akan bertakhta dan memimpin, jadi kalau petinggi-petinggi agama –imam besar, ahli Taurat, Farisi, Saduki– disikat, ya sudah, sikat saja. Mereka setuju saja, karena ‘toh nanti saya akan menggantikan mereka, saya akan bertakhta bersama dengan Yesus, jadi ‘gak apa-apa; kalau mereka jadi musuh, it’s OK juga; apalagi Romawi, mereka menekan kita jadi kita harus menghancurkan mereka, ‘gak apa-apa make everyone our enemy, kita percaya Yesus akan menang, saya akan ikut bertakhta dengan Dia’.
Namun setelah itu, apa yang terjadi? Pasal 14, seorang perempuan masuk ke rumah Simon si kusta, dia memecahkan buli-buli minyak narwastu dan mengurapi Yesus. Semua murid-murid-Nya marah –di bagian ini tidak ditulis bahwa cuma Yudas yang marah– mereka bilang, “Minyak ini bisa dijual dan uangnya untuk membantu orang miskin”. Mereka bukan baik hati dan mau membantu orang miskin; mereka mau uang itu supaya mereka bisa mendapatkan massa –mereka mau pakai uang itu untuk bagi-bagi nasi kotak, istilahnya. Mereka perlu memenangkan grass root karena mereka mau melawan Romawi. Mereka perlu orang. “Uang sekian banyak itu bisa dipakai untuk mendatangkan massa, ngapain cuma pakai mengurapi rambutnya Yesus?? Kamu tidak ngerti apa-apa, kamu tidak mengerti kondisi kita!” –semua murid memarahi perempuan ini. Lalu bagaimana Yesus menjawab?
Ayat 6, Yesus menjawab, “Biarkanlah dia. Mengapa kamu menyusahkan dia? Ia telah melakukan suatu perbuatan yang baik pada-Ku”; dan perhatikan ayat 8, ini penting: “Ia telah melakukan apa yang dapat dilakukannya… “. Perempuan ini percaya Yesus dan dia mau meninggikan Yesus setinggi-tingginya semampu dia, ‘bagaimanapun caranya saya bisa meninggikan Dia dengan harga yang paling tinggi, saya akan lakukan’, dan dia memecahkan barang paling berharga yang dia miliki, buli-buli minyak narwastu itu, untuk mengurapi rambut Yesus. Perempuan ini sendiri tidak sadar, bahwa yang dilakukannya adalah seolah pengurapan Mesias; dia hanya datang dengan hati yang tulus, mau meninggikan Tuhan. Yesus kemudian berkata, “Ia telah melakukan apa yang dapat dilakukannya.” Setelah itu Yesus melanjutkan, “Tubuh-Ku telah diminyakinya sebagai persiapan untuk penguburan-Ku.”
Ketika Yesus bilang ‘Aku akan mati, Aku akan ditolak, Aku akan disalibkan’, tidak ada orang yang percaya. Ketika Yesus di perikop ini mengatakan, “Tubuh-Ku telah diminyakinya sebagai persiapan untuk penguburan-Ku”, tidak ada yang percaya, kecuali satu. Siapa yang percaya? Ketika Yesus bilang ‘ini adalah persiapan untuk penguburan-Ku’, hanya Yudas Iskariot yang percaya, only Judas believed. Ketika Yudas mendengar Yesus akan dikuburkan, dia saat itu juga sungguh-sungguh percaya! Dan dia langsung pikir, ‘Kalau Yesus benar-benar akan mati, kalau ini adalah persiapan penguburan-Nya, ngapain saya sekarang ikut Dia?? Kita sekarang jadi musuh semua pihak, musuhnya Romawi, musuhnya Yahudi, musuhnya semua orang! Kalau kita menang, masih ‘gak apa-apa, masih oke, tapi sekarang Yesus akan mati, jadi what is the point?! Ini kapal yang sudah mau pecah, it’s a sinking ship, tidak ada masa depannya, Yesus sendiri berkata bahwa Dia akan dikuburkan, bahwa prediksi Dia akan kematian-Nya itu benar!’
Jadi kenapa Yudas mengkhianati Yesus? Itu bukan karena uang; uang itu sekunder, ada uang atau tidak ada uang, tidak terlalu penting. Yang penting apa? Self interest! Yudas melihat sudah tidak ada poinnya mengikut Yesus, tidak akan dapat apa-apa; ‘daripada mati bareng Dia, dan dimusuhi kalau Dia sudah mati, lalu kita sendiri yang masih hidup ini jadi yang sengsara, jadi musuh semua pihak, bagaimana mungkin kita bisa hidup seperti itu’ –itulah alasannya Yudas mengkhianati Yesus. Dengan kata lain, Yudas percaya. Yudas percaya, Yudas melihat harganya (the cost to believe), dia melihat harga untuk mengikut Yesus —dan dia tidak mau bayar.
Dia tidak mau bayar! Saudara mengerti sekarang betapa bagian ini jadi introspeksi bagi kita. Kalau kita bilang, “Oh, saya percaya Tuhan, saya percaya Yesus, saya percaya Juruselamat kita”, itu baik; tapi bukan cuma percaya, sekarang lihatlah harga yang harus kamu bayar. Ini cocok sekali dengan Pembacaan Alkitab kita hari ini dari Markus 8, ‘menyangkal diri dan memikul salib’, karena memang itulah harganya mengikut Yesus; Bonhoeffer mengatakan “the cost of discipleship”. Menjadi murid Yesus bukan berarti cuma baca-baca buku teologi, ‘Oh, ya, teologinya bagus, ya, keren’, lalu selesai, tapi benar-benar ada harganya. Kalau kita bilang ‘saya percaya, saya percaya’, tapi kita tidak mau membayar harganya, kita pada dasarnya adalah Yudas.
Sekali lagi, kalau kita bilang, ‘saya percaya, saya percaya Allah Tritunggal, saya percaya Juruselamat, saya percaya kedaulatan Tuhan, saya percaya semua, saya percaya Yesus’, tapi kita tidak mau membayar harga untuk mengikut Kristus, artinya kita ini Yudas. Kita tidak perlu menjual Yesus untuk uang, baru kita jadi Yudas; kita tidak perlu mengkhianati Yesus dengan melakukan hal yang keji, baru jadi Yudas; kalau kita sadar Siapa yang kita percayai, kita tahu itu dan sungguh-sungguh percaya, tapi kita tidak mau membayar harga untuk mengikut Dia –sekali lagi– we are Judas!Tidak ada bedanya. Yudas bukan mengkhianati Yesus demi uang, Yudas mengkhianati Yesus gara-gara dia tidak mau membayar harga! Tidak mau membayar harga, maunya cuma enak-enak saja.
Bapak/Ibu dan Saudara sekalian, harga yang harus kita bayar itu bermacam-macam –harga fisik, harga muka, harga waktu, harga kesenangan, harga filsafat, harga teologis, harga profit, harga pengakuan, harga keterpandangan kita di dalam dunia, dst., dst. Itu semua ada harganya. Dan, kalau kita tidak mau membayar harga, kita bilang ‘saya tidak mau bayar harga tapi saya mau ikut Tuhan’, itu bohong, bahkan lebih buruk daripada Yudas. Yudas setidaknya jujur; dia tidak mau bayar harga, dan dia sungguh-sungguh meninggalkan. Tapi dalam Kekristenan kita sering kali melihat orang tidak mau bayar harga, dan juga tidak mau pergi; ubah ini, ubah itu, teologi dikompromikan, tetap tidak mau pergi dan tetap bilang ‘saya ikut Kristus’! Kalau kita bandingkan dengan Yudas, mana yang lebih parah? Orang yang tidak mau pergi, yang masih pura-pura jadi orang Kristen mengikut Tuhan, atau seperti Yudas? Memang sama buruknya, tapi kalau mau kita bandingkan, yang tidak mau pergi itu mungkin lebih jahat, sedangkan Yudas setidaknya jujur, dia tidak mau bayar maka selesai sampai di sini saja, Yesus dijual, beres.
Kalau kita tahu apa yang Yesus sudah lakukan, kalau kita sungguh-sungguh sadar harga yang dibayar Yesus bagi kita, lalu kita tidak mau membayar harga, itu keterlaluan. Kalau kita hanya mau menikmati harga yang Dia sudah bayar, tapi kita sendiri tidak mau membayar harga, itu murid macam apa?? Saya tidak tahu. Tapi kalau kita sungguh-sungguh percaya, kalau kita sungguh-sungguh mengenal, Yesus bilang, ‘orang yang mau membangun rumah, hitung dulu semuanya’. Jangan cuma ikut-ikut, tapi hitunglah baik-baik, setelah itu, ambil keputusan: mau ikut –bayar, tidak mau ikut–pergi. Simpel, tidak usah rumit, tidak usah ribet. Dalam Alkitab harga yang dicatat jelas, jadi hitunglah.
Kiranya kita sungguh-sungguh mengenal, sungguh-sungguh percaya; dan diberkatilah barangsiapa yang mau sungguh-sungguh membayar harga mengikut Kristus, memperoleh Kristus.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading