Hari ini Minggu ke-2 terakhir sebelum memasuki Masa Adven yang adalah akhir dari Kalender Gereja. Tema kita hari ini tentang penghakiman, dari Matius 25:31-46. Ini adalah bagian dari diskursus eskatologis, diskursus ke-5 dalam Injil Matius.
Bagian ini konteksnya adalah teologi Matius, maka waktu membacanya, kita musti siap bahwa ini berbeda dengan profil teologi Paulus, misalnya. Waktu membaca bagian ini, Saudara bisa jadi melihat begini: Jadi sebetulnya orang diselamatkan karena iman atau karena perbuatannya? Orang diselamatkan karena anugerah belas kasihan Tuhan, atau sebetulnya yang menentukan adalah perbuatan baik, seperti dikatakan di sini? Ini tension yang lumayan jelas di sini. Tapi waktu kita mempelajari teologi-teologi Alkitab (Biblical theologies), tension seperti ini sebetulnya memperkaya kehidupan kita. Alkitab bukanlah cuma teologi Paulus; tentu saja teologi Paulus penting sekali, dan di Perjanjian Baru sebagian besar adalah tulisan Paulus, tetapi bukan berarti waktu kita membaca teologi Matius –Matius yang menulis Injil Matius ini– kita lalu membacanya dari terang teologi Paulus. Biarlah tulisan Matius berbicara dari dirinya sendiri. Dalam hal ini, mungkin yang perlu kita koreksi adalah konsep ‘diselamatkan karena iman’ yang karikatural karena kita kurang mengerti Matius; mungkin yang perlu kita koreksi adalah cara kita menempatkan good works di dalam kehidupan kita yang tanpa teologi Matius (khususnya orang-orang Protestan), dan bagaimana menyelaraskannya. Ini satu pertanyaan yang tentu perlu diselesaikan, tapi kita boleh berasumsi bahwa memang tidak ada kontradiksi dalam hal ini. Creative tension memang iya, tapi tidak ada
kontradiksi antara Matius dan Paulus. Secara sederhananya, alasannya kita tahu bahwa Matius tidak bertentangan dengan Paulus, adalah bahwa dalam ‘Khotbah di Bukit’ Injil Matius, itu dimulai dengan, “Berbahagialah orang yang miskin/bangkrut rohani”, sehingga jelas semuanya ini dimulai dengan gambaran kebangkutan rohani. Orang yang bangkrut rohani itu perlu apa? Tentu saja perlu mengakui kebangkrutannya dengan rendah hati, dan memohon belas kasihan Tuhan. Dengan demikian dalam hal ini sama; Matius bukan mengajarkan jalan keselamatan bagi orang-orang yang powerful secara rohani –lagipula itu ‘gak nyambung— Matius juga bukan mengajarkan jalan keselamatan bagi orang-orang yang sempurna dalam melakukan hukum Taurat dan tidak membutuhkan belas kasihan serta anugerah Tuhan, karena jika demikian tentu ‘gak nyambung dengan kalimat “berbahagialah orang yang miskin rohani (miskin di hadapan Allah)”. Jadi, sederhana saja: permulaan dari Khotbah di Bukit sudah jelas sekali menggambarkan teologi Anugerah. Namun ini bukan berarti Matius waktu membicarakan tentang anugerah, dia harus membicarakannya mulai dari pasal 1 sampai pasal 28 –bahkan Paulus pun tidak demikian.
Kita pernah bahas dalam Injil Lukas, di bagian tengah ada 3 perumpamaan yang terkenal, dan yang paling terkenal tentu perumpamaan ‘Anak yang Hilang’, perumpamaan ke-3 dalam bagian tersebut. Perumpamaan pertama dan kedua bicara tentang domba yang hilang dan uang mina/dirham yang hilang. Dalam dua perumpamaan tersebut, orang yang memilikinya yang mencari, sedangkan dalam perumpamaan ‘Anak yang Hilang’ bukan bapanya yang mengejar dan mencari, bapanya “hanya menanti”, lalu anaknya itu yang kembali kepada bapanya. Jadi di sini Saudara melihat juga adanya creative tension, yang bahkan dalam satu injil yang sama, Injil Lukas, dan seharusnya itu tidak mengganggu Saudara –termasuk juga waktu hari ini kita membahas Injil Matius yang seakan-akan tidak cocok dengan Paulus. Sekali lagi, biarlah Matius berbicara dalam keindahan tulisannya sendiri, toh dia juga dipimpin oleh Roh Kudus, dia juga dipenuhi oleh Roh Kudus, ini tulisan yang penulisnya adalah Roh Kudus sendiri melalui Matius. Jadi, biarlah bagian ini berbicara secara unik, tanpa kita harus buru-buru menundukkannya terhadap teologi dari kitab-kitab yang lain.
Dalam bagian ini, saya percaya cukup jelas secara konsep bahwa ini berbicara mengenai eskatologi. “Apabila Anak Manusia datang dalam kemuliaan-Nya dan semua malaikat bersama-sama dengan Dia, maka Ia akan bersemayam di atas takhta kemuliaan-Nya“ , ini visi eskatologis. Kita sudah sering membicarakan bahwa gambaran eskatologis tersebut dicicipi di sini dan sekarang. Banyak orang terlambat karena mereka baru melihat takhta kemuliaan Kristus itu kelak. Dia pikir, selama di dalam dunia ini tidak ada penghakiman Ilahi, lagipula fenomenanya pun seperti mendukung tesis tersebut, ‘saya di dalam kehidupan yang melawan Tuhan kayaknya tidak mengalami apa-apa, ‘gak ada ganjaran apa-apa, hidup oke-oke saja’. Orang kemudian salah berpikir; dia pikir, kesabaran Tuhan adalah semacam lisensi untuk boleh terus berdosa, karena kayaknya tidak ada efek apapun, sepertinya tidak ada penghakiman. Orang-orang seperti ini, di waktu terakhir barulah dia melihat takhta kemuliaan Kristus –dan sudah terlambat. Kalau kita menghayati eskatologi dengan benar –seperti ditekankan dalam ‘eskatologi Reformed’–apa yang kita percaya kelak, eskatologis, itu seharusnya hadir di dalam kehidupan kita di sini dan sekarang. Penghakiman bukanlah cuma urusan terakhir nanti; penghakiman adalah juga urusan sekarang secara cicipan. Bukan total discontinuity, tetapi ada persiapan untuk menuju ke sana.
Di sisi lain, kita juga harus berhati-hati akan spiritualitas yang digerakkan oleh ketakutan. Spiritualitas kita seharusnya spiritualitas yang digerakkan oleh kasih dan belas kasihan Tuhan (driven by love and mercy of God), bukan digerakkan oleh ketakutan driven by fear. Spiritualitas yang driven by fear, itu agama ‘teror’namanya; dan Saudara jangan pikir itu hanya agama lain, karena agama Kristen pun sama sekali tidak kebal terhadap spiritualitas ‘teror’. Spiritualitas ‘teror’, itu menghasilkan ketakutan, menghasilkan rasa bersalah yang tidak ada pengampunannya; dan orang digerakkan melakukan sesuatu karena ketakutan, bukan karena mencintai Tuhan. Dalam hal ini Alkitab membicarakan bahwa inilah mentalitas budak, mentalitas orang yang belum dimerdekakan di dalam Kristus. Saya bisa teruskan persoalan ini sampai panjang sekali; meneror orang, bisa menjadi suatu pembodohan jemaat –dan ini terjadi sepanjang sejarah gereja, bahkan sampai sekarang. Pembodohan jemaat dalam zaman Reformasi, dengan cara orang ditakut-takuti. Kalau Saudara pergi ke Eropa, sampai sekarang masih ada gambaran Last Judgement di portal pintu masuk utama gereja-gereja. Sangat menakutkan. Gambarannya sangat dekat dengan yang di Matius ini –meskipun tidak ada gambar domba dan kambing– penggambaran ‘kanan’ dan ‘kiri’, yang kanan adalah yang diberkati (the blessed), yang kiri adalahyang terkutuk (the cursed). Jelas sekali pemisahannya. Ditambah lagi dengan khotbah-khotbah di mimbar, traktat-traktat, dst., yang akhirnya membuat orang datang ke gereja dengan ketakutan.
Waktu rakyat ketakutan, waktu jemaat ketakutan, kontrol lebih gampang dilakukan. Tapi perhatikan, Allah yang sejati bukan mengontrol manusia dengan cara itu. Dia tentu yang paling berkuasa, Dia yang paling gampang untuk menakut-nakuti, Saudara tidak bisa banding dengan Dia. Memangnya Saudara mau menakuti manusia dengan apa sih?? “Kamu kalau sakit, saya tidak bantu” –Saudara mau menakut-nakuti dengan itu? Lalu memangnya kenapa? Dia bisa dapat bantuan dari tempat lain juga. Saudara mau menakut-nakuti orang dengan apa?? “Kamu ‘gak saya pinjami uang” –tapi dia bisa pinjam di tempat lain, koq, tidak ada masalah. “Saya bakar rumahmu!” –kita tidak berani juga ‘kan. Kalau Tuhan mau menakut-nakuti orang, Dia benar-benar punya resource untuk itu; tapi kenapa ya, Tuhan tidak pernah pakai cara itu untuk menguasai manusia? Tuhan, yang the most powerful, Dia bukan menguasai manusia pakai cara ketakutan, tapi manusia suka sekali menguasai manusia yang lain dengan cara menakut-nakuti. Lihat saja kehidupan para diktator, mereka menakut-nakuti, membodohi rakyat, menakuti rakyat; supaya apa? Supaya gampang dikuasai, gampang dikontrol. Namun lihatlah jalan salib, apa yang dilakukan oleh Kristus untuk memenangkan hati manusia? Dengan mati di atas kayu salib. Dia memenangkan hati jemaat dengan pengorbanan, dan bukan dengan menakut-nakuti. Kalau Saudara tidak mengerti prinsip ini, berarti Saudara tidak mengerti teologi Salib. Jalan yang lebar, jalan yang menuju ke kebinasaan, ya, salah satunya dengan menakut-nakuti. Orang diteror, maka kemudian dengan ketakutan dia memberi persembahan, dengan ketakutan dia melakukan ini, dengan ketakutan dia melakukan itu –semuanya digerakkan oleh ketakutan.
Omong-omong, ini disclaimer, waktu kita membicarakan tentang penghakiman Ilahi, ini jangan dimengerti sebagai spiritualitas teroris, Saudara perlu tetap mengertinya di dalam belas kasihan Tuhan. Memang ada masalah kalau orang setiap kali membaca Firman Tuhan, dia menempatkan dirinya sebagai yang terkutuk (the damned). Saya pernah bertemu orang-orang seperti ini; Saudara dan saya pun bisa seperti ini. Kadang-kadang, waktu baca Firman Tuhan kita bukan menempatkan diri dalam posisi orang yang akhirnya diampuni Tuhan dan diundang bertobat, melainkan dalam posisi yang dihakimi dan akhirnya binasa. Jadi paranoia. Misalnya waktu membaca bagian Injil Matius ini, Saudara lalu, ‘waduh-waduh… saya pasti kelompok yang kambing, saya pasti kambing’. Oke saja kalau awalnya Saudara seperti itu, tapi kemudian Saudara berharap, ‘oleh belas kasihan Tuhan, saya bukan kambing; saya domba’ –ada transformasi. Tetapi ada juga yang tidak terjadi transformasi dalam kehidupannya, terus saja menempatkan dirinya dalam posisi ‘kambing’, padahal yang dibaca ini Injil sebetulnya. Berita penghakiman adalah pemberitaan Injil sebetulnya, karena masih ada ruang untuk berbalik kepada Tuhan. Fakta bahwa kita masih mendengar cerita ini di sini dan sekarang, dan bukan pada hari terakhir, berarti ini juga adalah undangan percaya sebetulnya. Jadi, penting untuk melihat berita-berita penghakiman ini tanpa kehilangan perspektif Injil. Kalau Saudara membaca bagian ini, dan tidak melihat Injil-nya, Saudara tahunya cuma melihat Allah yang marah-marah dsb., itu spiritualitas yang betul-betul berbahaya. Pembacaan seperti itu sangat berbahaya. Seandainya ada hamba Tuhan yang sengaja mengkhotbahkan ke arah sana, itu kebahayaan juga. Di zaman Medieval betul-betul terjadi yang seperti itu. Dalam keadaan seperti itu, memanipulasi jemaat jadi gampang, karena ditebar ketakutan.Saya pikir Saudara cukup jelas mengerti, alasannya ‘ketakutan’ tidak kompatibel dengan ‘kasih’, karena Yohanes sendiri mengatakan di dalam Surat Yohanes, “Di dalam kasih tidak ada ketakutan”. Kalau kita masih ada ketakutan, berarti pemahaman kita tentang kasih belum sempurna, kita tidak betul-betul dibebaskan, tidak bebas dari ketakutan. Kalau seperti itu, berarti narasi Injil tidak betul-betul mengubah kehidupan kita, sehingga kehidupan kita masih percaya dengan campuran-campuran ketakutan apapun, baik ketakutan akan kuasa manusia, atau mungkin takhyul (superstitious), atau kuasa jahat entah apa, atau bahkan kuasanya Tuhan yang dianggap menakutkan. Sekali lagi, penting untuk membaca bagian ini, bahwa Saudara diundang untuk memosisikan diri Saudara ke dalam posisi yang diberkati itu, semata-mata karena belas kasihan dan anugerah Tuhan.
Saya percaya, bagian ini secara detail alurnya sudah cukup jelas, kita tidak perlu bahas ayat per ayat. Intinya, di sini ada panggilan bagi orang-orang percaya, orang-orang yang sungguh diberkati, untuk bertekun melakukan perbuatan baik (good works). Dan, bagi Matius, ini nyambung dengan spiritualitas yang disebut para pakar Perjanjian Baru sebagai ‘better righteousness’, kebenaran yang melampaui kebenaran orang-orang Farisi. Kita sudah pernah mengkhotbahkan hal ini dalam seri Khotbah di Bukit, yang di bagian itu ada 6 contoh, salah satunya yaitu orang yang disuruh jalan 1 mil tapi dia rela jalan 2 mil –inilah yang disebut ‘better righteousness’. Dalam hal good works, ada aspek ‘better righteousness’ juga; dalam pengertian apa? Salah satunya di dalam ketidaksadaran mereka waktu mereka melakukan perbuatan baik. Konsep ini penting; yaitu melakukan perbuatan baik, namun tidak terlalu sadar bahwa dirinya melakukan perbuatan baik. Melakukan diakonia misalnya, tapi entah bagaimana seperti tidak ingat telah melakukan diakonia. Yesus yang hadir di sini Yesus yang incognito, Yesus yang seperti tidak dikenal, yang diwakili oleh representatif-representatif-Nya. Inilah yang seringkali kita tidak bisa menangkapnya; kenapa? Karena kita ini suka memandang muka. Bagian ini termasuk salah satu cerita Alkitab yang akan membebaskan kita dari narasi ‘memandang muka’.
Saudara tentu pernah melihat video klip yang klasik sekali, ada orang yang dihina-hina, dikira orang miskin, lalu di akhir cerita ternyata dia adalah CEO suatu perusahaan –cerita-cerita tipikal semacam itu. Cerita yang kemudian diakhiri dengan happy ending —happy ending-nya orang yang mau sombong itu, yang tadinya dihina lalu sekarang bisa bermegah karena dia sebetulnya adalah orang berkuasa, “somebody”, bukan nobody. Saudara bisa melihat gambaran-gambaran seperti itu di dalam narasi-narasi dunia, tapi di dalam cerita injil Matius ini, orang bukan baik kepada seseorang karena tahu orang tersebut CEO, orang bukan bertobat lalu baik kepada seseorang karena tahu orang itu siapa. Sebetulnya, cerita-cerita video klip tadi tetap saja tidak lepas dari narasi ‘memandang muka’. Dalam ceritanya, kita diajak untuk melihat dari perspektif si orang yang dihina-hina, yang ternyata CEO, pemegang saham terbesar, dsb., dan yang menghina lalu bilang, “Aduh, maaf, maaf, Bos, soalnya kamu pakai pakaian sederhana jadi saya pikir kuli, makanya saya tadi ‘gak tahu, maaf, maaf.” Lalu kita yang menonton, mungkin ikut menempatkan diri di cerita itu sambil ikut bermegah bersama orang yang dihina-hina tadi –karena kita sama-sama ‘sakit’ sih, soalnya. Tapi, pernah tidak Saudara melihat dari perspektif orang yang mengina-hina? Coba Saudara tempatkan diri di situ. Tidak enak menempatkan diri di situ, karena itu memalukan, di akhir cerita justru Saudara yang jadinya dihina-hina, ditendang, dipecat, dsb. Lebih baik menempatkan diri di posisi orang yang dihina-hina dahulu, bermegah-megah kemudian –ini lebih nyaman. Dalam video klip seperti itu, sampai akhir ceritanya pun tidak ada pertobatan di dalam diri orang yang menghina-hina itu; dia menghormati orang yang tadi dia hina, karena tahu ternyata dia itu orang kaya. Ini berarti tidak ada perubahan apapun; di awal memandang muka, berpikir orang yag dia hadapi itu orang miskin, maka dia menghina-hina, lalu di akhir, dia menghormati dan minta maaf, karena apa? Karena tahu ternyata orang tersebut adalah orang kaya. Jadi sama saja, tidak ada perubahan, tetap memandang muka. Itu sebabnya benar-benar menyedihkan kalau Saudara mengidentifikasikan diri di dalam posisi orang yang menghina-hina ini, karena sebetulnya tidak terjadi perubahan apa-apa. Dan, inilah yang terjadi di dalam dunia, yaitu orang memandang muka.
Cerita Injil Matius ini mau membebaskan Saudara dan saya dari ‘memandang muka’, karena Yesus itu hadir secara tidak dikenal (incognito). Bukan cuma untuk menguji; boleh saja Saudara tafsir sebagai menguji, tapi kesulitan tafsiran ini karena lagi-lagi berarti Saudara musti sadar, musti hati-hati lagi, ‘jangan-jangan ini orang pilihan; jangan-jangan ini adalah the little one yang dimaksud Matius, maka saya harus memperlakukan dengan berbeda’, akhirnya jadi kurang natural. Saudara tentu pernah ujian; dan, siapa di antara kita yang waktu ujian sekadar menulis dan menulis, lalu belakangan baru kaget, “Lho, tadi itu ujian?? Saya ‘gak tahu kalau tadi itu ujian, coba kalau saya tahu, saya bakal kerjakan baik-baik!” –ini orang gendeng. Semua orang waktu ujian pasti sadar, kecuali Saudara diajak omong-omong oleh dosen lalu setelah selesai baru dosennya bilang, “Oke, kamu saya beri nilai sekian”, itu baru bisa kaget. Yang saya mau katakan di sini, orang kalau ujian, dia pasti sadar; sedangkan bagian cerita Matius ini bahkan bukan ujian, buktinya orang-orang tersebut tidak sadar. Ayat ini, bukan maksudnya supaya nanti Saudara jadi sadar setiap perjumpaan dengan setiap manusia adalah ujian, karena kalau demikian, jadi tidak mendapatkan message-nya. Seakan-akan message-nya jadi ‘Saudara musti sadar waktu melakukan perbuatan baik’ (be conscious of your good deeds) –dan ini sama sekali bukan message-nya, jadi berbeda 180°, karena justru inilah yang mau dikritik di bagian ini. Saudara, Kekrstenan mungkin bukan tidak melakukan perbuatan baik; pertanyaannya bukan ‘apakah Kekristenan terlibat dalam perbuatan baik atau tidak’, melainkan: apakah waktu Kekristenan/kita/Gereja melakukan perbuatan baik, itu semata tindakan kebaikan yang secara natural terjadi, atau itu sesuatu yang diusahakan, sesuatu yang seperti menempuh ujian supaya dapat nilai tinggi, atau apapun metafornya, seperti spiritualitas ‘supaya dipandang’, spiritualitas ‘supaya diketahui oleh yang lain’?
Di dalam cerita Matius ini, yang indah adalah mereka ini tidak sadar ketika melakukan perbuatan baiknya, namun demikian Yesus hadir di sana. Dan, ini sangat berkaitan dengan motif ‘upah’ (reward) di dalam Injil Matius –yang lagi-lagi mungkin kurang “Paulus”. Di dalam spiritualitas reformator sangat kristis terhadap ide ‘jasa’ (merit); tapi merit bukanlah reward, karena reward adalah upah, sedangkan merit urusannya hitung-hitungan jasa. Merit adalah sesuatu yang Saudara berhak untuk mendapatkannya karena Saudara kerja. Seperti cerita pekerja kebun anggur, orang di situ janjian akan upah satu dinar, lalu kerja, dan di akhir mendapatkan 1 dinar tersebut. Ini bukan cuma reward tapi bisa dibilang merit, karena dia memang bekerja lalu mendapat upahnya, upah karena jasanya, sesuatu yang dia sangat berhak. Sedangkan waktu kita bicara tentang ‘reward’ dalam pengertian Matius, itu tetap tidak boleh dipisahkan dari konsep Anugerah, bahwa orang mendapatkan upah bukan karena Tuhan berkewajiban memberikan, upah itu pun sebetulnya anugerah. Itu sebabnya hati-hati mengerti reward sebagai sesuatu yang bisa hitung-hitungan. Saya waktu kecil bukan dari GRII tapi dari aliran gereja yang lain; dan di gereja kita suka bercanda, kalau ada orang yang kerja berat dan mulai kecapaian, kita bilang, “Tidak apa-apa, upahmu besar di surga”. Memang kalimat ini bisa kita tafsir positif ataupun negatif. Kita bisa tafsir positif, dalam pengertian setidaknya ini upah di surga, bukan mengharapkan upah di sini melainkan di surga nanti –yang kalau ditafsir lebih positif lagi, upah terbesar di surga tidak lain adalah Yesus sendiri. Dalam hal ini tidak ada persoalan kalau mengertinya demikian. Tapi kadang-kadang waktu memikirkan ‘upahmu besar di surga’, bisa jadi terbayang yang lain, bukan yang tadi itu, seperti juga murid-murid membayangkan soal posisi yang satu di sebelah kanan dan yang satunya lagi di sebelah kiri, dsb. –masih mencari reward yang lain. Masih saja tidak bebas dari konsep duniawi, dan akhirnya surga digambarkan sebagai proyeksi keinginan/nafsu akan apa yang ada di dunia.
Kembali ke istilah yang dipakai di sini, reward/upah ini, di dalam etika Matius sangat penting. Dalam hal ini Matius mengafirmasi yang disebut Deuteronomistic Theology (teologi di dalam aliran deuteronomis), yaitu: kalau kamu taat, Tuhan memberkati; kalau kamu tidak taat, bencana akan mengikutimu. Tentu bagian ini bukan dalam kemutlakan yang tidak ada perkecualiannya; kitab-kitab bijaksana banyak sekali polemik akan bagian ini. Namun Matius mengambil bagian ini, bahwa orang yang melakukan perbuatan baik dengan setia akan hidup kekal, sementara mereka yang tidak melakukan perbuatan baik akan berakhir pada kebinasaan. Apakah ini berarti anti-reformatoris? Apakah ini anti terhadap teologi Paulus? Tidak. Lalu bagaimana menyelaraskan hal ini secara Teologi Sistematika? Sederhana saja, yaitu dengan melihat inilah tanda dari orang sungguh-sungguh diselamatkan melalui iman semata, bahwa tanda orang yang sungguh-sungguh mengenal anugerah Tuhan adalah: dia punya karakteristik seperti domba, dan bukan kambing. Ini bukan berarti Saudara dan saya diselamatkan karena punya karakter tersebut –Saudara tetap diselamatkan adalah karena anugerah, karena semata-mata korban Kristus yang sempurna itu– tapi ada tanda orang yang sunguh-sungguh mengerti anugerah Tuhan, ada tanda-tanda orang pilihan. Dan, itulah yang kita baca di bagian ini, orang-orang yang akhirnya menerima upah di dalam kehidupannya karena perbuatan baik mereka. Jadi sekali lagi, jangan bikin karikatur posisi perbuatan baik yang sebetulnya tidak diajarkan Alkitab, jangan Saudara mengenal Alkitab sangat parsial sehingga kehilangan bagian-bagian sebagaimana yang ada di dalam Injil Matius ini.
Saudara membaca bagian ini, di situ ada pemisahan seorang dari seorang sama seperti gembala memisahkan domba dari kambing. Saya sendiri bukan ahli dalam dunia perbinatangan, bukan seorang zoologist, dan membedakan domba dari kambing cukup sulit bagi orang biasa, tidak bisa cuma lihat dari warnanya saja, perlu keahlian khusus, dan yang bisa membedakan adalah seorang gembala. Poin yang mau dikatakan dalam hal ini, bahwa keduanya serupa/mirip (similar). Di dalam Gereja, kita tidak ada panggilan untuk membedakan lalang dan gandum –dan mungkin tidak bisa juga– lebih baik Saudara mengenal diri, apakah diri kita lalang atau gandum. Ini penting. Sedangkan membeda-bedakan ‘yang ini lalang, yang itu gandum; yang ini kayaknya belum lahir baru, yang itu sudah lahir baru’, dsb., memangnya kita ini siapa?? Yang bisa melakukan hal itu adalah Tuhan, biarlah itu dilakukan oleh Tuhan; dan Tuhan melakukannya pada akhirnya (waktu akhir), sebagaimana dikatakan dalam cerita ini. Gandum dan lalang dipisahkan pada akhirnya, bukan dipisahkan terlalu cepat. Namun kita, Saudara dan saya, karena kita suka membangun kehidupan dalam cerita keamanan yang palsu (false security), kita mau ada security –termasuk juga gereja kita– sehingga kita maunya kalau bisa pisahkan lalang dan gandum itu secepat mungkin, ‘karena kalau lalang-lalang persentasenya terlalu tinggi di dalam gereja, itu bikin gereja kurang aman, lebih baik isi gereja semuanya orang-orang lahir baru, orang-orang pilihan, gandum saja’, dst. Tapi Saudara, sedangkan di antara murid-murid Yesus saja ada Yudas, lalu kita mau expect apa di dalam gereja?? Kembali lagi, Saudara dan saya tidak dipanggil, dan tidak mampu juga, untuk melakukan pembedaan ini; hal tersebut perlu keahlian (expertise) dari Sang Gembala, Gembala di atas segala gembala, yaitu Tuhan sendiri, yang akan melakukannya. Lalu Saudara dan saya bagaimana? Ya, sudah, kita introspeksi, apakah dalam kehidupan kita, kita ini lebih mirip kambing atau domba.
Di dalam ayat berikutnya, dikatakan domba di sebelah kanan, kambing di sebelah kiri, lalu Raja itu berkata kepada mereka yang di sebelah kanan, yang diberkati itu: “…hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan …”.Bagian ini, istilah ‘kerajaan’ dalam versi ESV pakai ‘kingdom’ artinya kerajaan, sama seperti dalam bahasa Indonesia. Tapi ada terjemahan lain yang mungkin lebih dekat dengan bahasa aslinya, pakai istilah ‘kingship’. Apa beda kingdom dan kingship? Istilah ‘kingship’ kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi ke-raja-an, sedangkan ‘kingdom’ terjemahannya kerajaan; dalam hal ini bedanya adalah: waktu dikatakan ‘inherit kingship’, artinya Saudara diundang/diajak untuk memerintah bersama dengan Kristus, King of all kings. Inilah yang diwarisi di sini, memerintah bersama dengan Kristus; dan ini berarti domba-domba akan menjadi raja-raja, seperti Kristus yang adalah Raja. Ini menarik, karena dalam gambarannya, Raja yang akan mewarisi ke-raja-an ini persis seperti yang diajarkan Yesus dalam bagian Injil yang lain, yaitu gambaran servant kingship, gambaran kepemerintahan yang melayani, yang mengasihi. Itulah gambaran Raja yang Sejati (True King).
Kita di kebudayaan Timur sering kali kurang mengerti ini dalam hal otoritas/pemerintahan, dsb.; kita mungkin lebih dekat dengan yang dikatakan Yesus ‘memerintah dengan tangan besi’, kita mau dihormati, kita mau dihargai. Namun pertanyaannya, apakah kita mengasihi, mencintai, memeluk, merawat, mencuci kaki, dst.? Ini bagian yang sering kali di-bypass, karena itu bagian-bagian yang dianggap rendah, dianggap pekerjaan para budak, sedangkan raja seharusnya dilayani, dihormati, disegani, dipuji, difoto, didokumentasi, dsb. Ini sebetulnya gambaran Greco-Roman culture, raja di atas dan hamba di bawah; raja adalah yang patut dihormati, sementara budak-budak adalah yang seharusnya melayani. Tetapi di dalam Injil, narasi ini terbalik; siapakah yang akan inherit kingship with Jesus Himself itu, yaitu orang-orang yang melayani seperti Kristus. Mereka adalah raja-raja –dan akan dijadikan raja– karena mereka ini dalam kehidupannya menjalankan peran seperti yang oleh Lukas disebut ‘kawanan kecil’ (little flock), orang-orang insignificant yang melayani orang insignificant yang lain.
Kita kadang-kadang tergoda dengan cerita-cerita tentang orang penting (significant) yang merendahkan diri untuk melayani si orang ‘gak penting (the insignificant); memangnya Saudara yakin Saudara orang yang signifikan?? Yesus sih memang iya, Yesus itu turun dari surga, sedangkan Saudara memangnya turun dari mana?? Saudara merasa diri orang signifikan yang melayani orang-orang yang rendah? Memangnya Saudara orang yang di atas?? Ini problem dalam spiritualitas. Kenapa? Karena kalau kita masih berpikir seperti ini, lagi-lagi artinya kita tidak bisa keluar dari consciousness, kita sangat sadar dan merasa ‘saya orang yang di atas, yang datang ke tempat terpencil ini, yang tidak layak untuk kehadiran saya, tapi saya mengasihi mereka, dan merendahkan diri saya turun ke sana’ –tidak keluar dari consciousness, tetap saja putar-putar di situ. Tapi perhatikan cerita dalam Matius ini, bagian itu tidak ada, sebaliknya mereka terkejut. Baik yang domba maupun yang kambing, dua-duanya terkejut; karena apa? Yang kambing terkejut karena mereka selalu memandang muka, dan ternyata tidak kelihatan mukanya Yesus di situ, karena ini Yesus yang incognito –tapi sebetulnya tidak ada yang mengejutkan di sini karena memang mereka selalu memandang muka. Mungkin mereka akan bilang, “Coba kalau jelas itu betul-betul Engkau, Tuhan; atau jangankan Engkau, kalau Engkau di sebelah orang yang di penjara itu dan bilang ‘ini saudara-Ku’, sudah pasti kita akan melayani mereka semua, Tuhan. Tapi masalahnya, Engkau tidak ada di sana, Engkau tidak ada di sebelah orang itu, maka bagaimana mungkin kita tahu itu adalah orang-orang pilihan, bahwa itu adalah ‘kawanan kecil’ yang Engkau kasihi. Kita ‘kan tidak tahu”. Tentu saja mereka tidak tahu, karena mereka selalu memandang muka, jadi tidak ada yang mengagetkan sebetulnya. Yang tidak kalah menarik, orang-orang yang melayani dalam cerita itu pun kaget. Mereka kaget, bukan cuma karena tidak merasa bahwa yang mereka layani ternyata mewakili Yesus sendiri, tapi juga karena Tuhan mengingat perbuatan baik mereka, yang mereka sendiri tidak bikin catatan akan perbuatan baiknya atau jasanya. Menghidupi kehidupan yang very conscious dalam melakukan perbuatan baik, inilah orang yang waktu memberi, harus selalu ada catatannya; dan yang paling tidak boleh melupakan adalah ‘saya sendiri; orang lain bisa lupa, tapi saya tidak boleh lupa, karena itu adalah yang saya kerjakan, saya harus ingat’. Tapi bukan itu ceritanya di Injil Matius ini. Mereka tidak ingat, mereka tidak sadar, artinya kerohanian mereka mengalir secara natural begitu saja. Bukan karena ditakut-takuti, tapi karena mereka memang mengenal Kristus. Mereka hanya melakukan kebaikan saja, bahkan dengan tidak melihat entah orang yang dilayani itu orang percaya atau bukan orang percaya, dsb., tidak ada hitung-hitungan itu juga. Yang mereka lakukan hanyalah perbuatan belas kasihan, pelayanan kepada siapa saja sesama manusia. Itu saja. Harap kita bertumbuh dalam kerohanian yang seperti ini.
Manusia memang suka kalkulasi; waktu berkorban, kita kalkulasi, ‘setelah melakukan ini, saya dapat apa ya, apakah reputasi saya jadi naik, apakah gereja saya jadi lebih dikenal; lalu timbal baliknya apa’, dst. Kita terbiasa sekali dengan relasi transaksional. Bahkan dengan orang yang lebih rendah, yang kita pikir kita tidak sedang transaksional dengan dia, yang kita tidak mengatakan langsung kepada dia ‘kalau saya beri beras ini kepadamu, apa yang kau beri pada saya’, tetap saja kita hitung-hitungan dengan diri kita sendiri. Memang kita tidak mengajak hitung-hitungan dengan mereka, waktu memberi, memberinya dengan tulus dan tidak mengharap apa-apa, tapi kita bikin hitung-hitungan sendiri ‘yang saya dapatkan setelah pemberian ini, apa?’ Betapa rusak kehidupan manusia seperti ini. Gambaran eskatologi jauh sekali dengan yang terjadi di sini dan sekarang seperti ini, lalu bagaimana kita mempersiapkan diri?? Bukankah sangat memalukan gambaran yang kayak begini waktu Yesus di atas takhta kemuliaan-Nya?? Mari kita mencicipi Yesus dan takhta kemuliaan-Nya itu sekarang, di sini dan sekarang. Jangan tunggu nanti, lalu sekarang kita menghidupi cerita yang sama sekali lain, yang tidak ada hubungannya, tiba-tiba seperti ada kategori ketiga atau entah apa. Dianggap kambing tapi kayaknya tidak sejahat kambing, tapi juga tidak punya karakteristik domba, sementara dalam cerita ini tidak ada kategori ketiga juga, yang ada cuma kambing dan domba.
Kalau Saudara melihat daftar yang dilakukan orang-orang benar yang diberkati Tuhan ini, mereka ini menutupi dalam hal kebutuhan manusia yang paling dasar (most basic human needs). Beberapa hari lalu, dalam Renungan Malam kita merenungkan Yesaya 58 yang terkenal itu; “Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!” Dikatakan di sini tentang roti bagi yang lapar, tentang shelter (tempat berlindung, ‘membawa ke rumah’), tentang pakaian bagi yang kedinginan dan telanjang. Ini basic human needs.Tidak perlu ada hitung-hitungan, tidak perlu tanya dulu, “Agamamu apa?” Tidak usah tanyalah ‘agamamu apa’, ini adalah sesama manusia, begitu saja. Tidak usah tanya ‘agamamu apa, Kristen bukan?’, lalu kalau Kristen, ditanya lagi ‘reformed bukan?’, setelah itu ditambah lagi ‘GRII bukan?’, lebih lagi ‘GRII Kelapa Gading, bukan?’ –rumit sekali. Tentu saja saya bergurau di sini, tapi hal seperti ini, eksklusifitas seperti ini, bukan sesuatu yang pasti tidak ada. Bisa saja kita mengatakan, “Ya, kita ini penuh dengan keterbatasan, jadi kita musti pilih-pilih”, dsb.; tapi yang seperti itu mungkin bukan menggambarkan keterbatasan kita, melainkan mungkin menggambarkan kesempitan hati lebih daripada keterbatasan kita, karena kalau bicara urusan keterbatasan, Tuhan mengerti koq keterbatasan kita. Bahwa resources kita terbatas, itu Tuhan juga tahu; tapi yang sering kali menghalangi kita menjadi berkat dengan melayani orang, bukanlah keterbatasan resources kita melainkan kesempitan hati kita. Persoalannya ada di sana. Bukan kita tidak cukup pakaian untuk menolong orang lain, tapi hati kita yang tidak cukup luas sebetulnya.
Sekali lagi, ini bicara soal kebutuhan manusia yang paling dasar, bukan cuma kebutuhan orang Kristen, apalagi kebutuhan orang-orang pilihan; ini bicara tentang kebutuhan manusia, siapa saja. Tidak perlu ada kalkulasi. Kadang-kadang di kalangan Injili bisa ada kalkulasi yang mungkin bukan tidak terdengar familier, seperti ini: “Kalau saya cuma beri dia pakaian, tapi akhirnya jiwanya binasa, what’s the point?” Coba Saudara pikirkan, di dalam kalimat tersebut, worldview-nya apa sih? Saudara tidak mau investasi rugi dalam kebaikan Saudara, karena memenangkan jiwa orang secara kekal, itu lebih tinggi daripada memberikan roti yang akhirnya jiwanya binasa juga —‘saya rugi, dong, membagikan roti kepada dia, karena ini tidak kekal’. Yang seperti ini, persoalannya ada pada siapa jadinya?? Pada ‘saya’, yang sedang investasi. Persoalannya bukan menolong orang itu; orang itu tidak ada sama sekali dalam pikiran kita, yang ada adalah diri kita sendiri, ‘saya dan roti saya, saya dan uang saya, saya musti investasi di mana secara pelayanan; kalau bisa yang bersifat kekal, kalau tidak kekal jadi saya yang rugi’ –bolak-balik kembali lagi urusan ‘upahku di surga’. Ini lagi, ini lagi; ‘upahnya lain kalau memenangkan jiwa, dibandingkan sekadar menolong orang kedinginan’. Yang kayak begini, kalkulatif bukan sih?? Apakah ini spiritualitas Saudara? Apakah ini spiritualitas Gereja? Kalimatnya sih kalimat teologis, jargon-jargon teologis, dan sepertinya lumayan persuasif, “Mana yang lebih baik, yang bersifat kekal atau tidak kekal?” Tentu saja seluruh dunia setuju yang bertahan sampai pada kekekalan pasti yang lebih prioritas, tapi ternyata ujung-ujungnya adalah tentang ‘saya’! Tentang kita, dan bukan tentang dia. Masih mending kalau Saudara pikir tentang dia, ‘lebih baik dia dapat berkat yang kekal daripada dia dapat berkat yang sementara’, tapi di sini kayaknya bukan soal dia melainkan kita. Ini uang saya! Uang saya mau saya pakai untuk sesuatu yang kekal, supaya upah saya lebih jelas nanti di surga sana –putar-putar dalam cara pikir kalkulatif. Inikah orang yang katanya mengenal Injil?? Apa betul ini orang yang mengenal Injil? Coba baca lagi cerita yang sederhana di Matius pasal 25 ini, koq, tidak ada ya, diceritakan orang-orang tersebut berpikir kayak begitu. Apa mereka ini terlalu naif, terlalu bodoh, atau bagaimana, koq, tidak ada cerita seperti itu di sini. Ada sesuatu yang berbeda dalam narasi eskatologi ini.
Sekali lagi, kedua kelompok ini kaget bahwa mereka sudah melakukan itu dan ternyata orang-orang yang menerima pelayanan tersebut memang murid-murid Kristus, orang-orang pilihan. Tetapi, yang indah dalam cerita ini, orang-orang yang melayani ini, waktu melakukannya tidak sibuk mengecek apakah yang ditolong itu orang pilihan atau bukan, mereka melakukannya kepada semua orang. Yang ada dalam pikiran mereka adalah berbuat baik kepada sesama manusia; dan ternyata, orang-orang yang kepadanya mereka berbuat baik, adalah orang-orang pilihan, orang-orang yang dikasihi oleh Tuhan. Ini mengingatkan kita pada satu ayat yang paling sulit di dalam Alkitab, yang hampir tidak pernah istilah seperti ini muncul, yaitu dalam Amsal 19:17, “Siapa menaruh belas kasihan kepada orang yang lemah, memiutangi TUHAN, yang akan membalas perbuatannya itu.” Ayat ini harus dimengerti secara asimetris. Saudara jangan mengerti ayat ini dengan Saudara lalu merasa melakukan investasi, ‘katanya Alkitab, siapa menaruh belas kasihan kepada orang yang lemah, jadi dia investasi dan nanti Tuhan akan membalas perbuatannya’. Sekali lagi, orang-orang dalam cerita Injil Matius tadi tidak ada yang pikir kayak begini. Ayat dalam Amsal ini adalah janjinya Tuhan, dari sisi Tuhan, bahwa Tuhan seperti dipiutangi dan Tuhan pasti akan membalas perbuatannya; tapi dari sisi Saudara dan saya, kita bukan menghayatinya sebagai ‘saya memiutangi Tuhan’. Itu urusannya Tuhan. Urusannya Saudara dan saya adalah seperti yang kita baca di Matius 25, tidak sadar bahwa sedang memiutangi Tuhan, tidak ingat dengan jasa diri, tidak ingat dengan perbuatan baik diri.
“Kapan ya??” itulah kalimat yang kita baca dalam Matius 25. Mereka terkejut, mereka tanya Tuhan, “Bilamana (kapan) kami melakukan itu semua?” Ini sebenarnya spiritualitas ketersembunyian, yang kita pernah renungkan sama-sama dalam Khotbah di Bukit. Dikatakan, waktu kamu berdoa, berdoalah di ruangan yang terkunci yang hanya dilihat Bapamu yang di surga; waktu kamu berpuasa, berpuasa dalam ketersembunyian; waktu memberi sedekah, kamu juga memberinya dalam ketersembunyian, bahkan tanganmu yang satu jangan melihat apa yang dilakukan tanganmu yang lain, bahkan kita sendiri tidak boleh mengingat-ingat, maksudnya. Bagian yang kita baca hari ini sangat mengafirmasi spiritualitas Khotbah di Bukit itu. Inilah orang yang memberi, yang tangan satunya tidak ingat, maka mereka tanya, “Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar dan kami memberi Engkau makan …?” Mereka tidak ada catatan perbuatan baik dirinya, karena hal tersebut sudah menjadi natur mereka, natur berbelaskasihan, natur melayani, natur menolong orang lain. Tidak ada kesadaran bahwa ‘saya sedang’ atau ‘telah’, atau ‘akan’ menjadi orang yang berbuat bail Itu sudah menjadi natur mereka. itu bukan sesuatu yang luar biasa, bahkan bagi mereka tidak terlalu menarik untuk diceritakan. Ini sama seperti Saudara punya 2 tangan, itu adalah natur Saudara, dan Saudara tentu tidak cerita-cerita, “Eh, tangan saya dua, lho”, sambil sombong. Yang kayak begitu, ‘sakit’ namanya, karena memang punya dua tangan adalah natur kita, sesuatu yang biasa. Orang punya dua tangan, itu biasa; orang pilihan berbuat baik, itu biasa-biasa saja, apanya yang mau diceritakan?? Itu sesuatu yang normal saja, sesuatu yang sehat, lalu kita mau terus cerita ‘saya sehat, saya sehat’?? Memangnya biasanya kamu sakit? Atau orang di sekelilingmu sakit semua, sampai musti sesumbar bahwa kamu sehat?? Itu spiritualitas apa jadinya?? Spiritualitas yang tidak mengerti visi eskatolgis. Di dalam Injil Matius ini, orang-orang tersebut adalah orang yang berbuat baik karena natur mereka memang suka berbuat baik. Berharap kita bertumbuh ke arah sana, seperti Kristus sendiri juga melakukannya bagi Saudara dan saya.
Hal ini sangat nyambung dengan cerita Perjamuan Kudus. Dalam hal apa? Yaitu karena sebelum kita melakukannya kepada orang-orang sederhana, orang-orang kecil, Tuhan sudah melakukannya bagi Saudara dan saya, yang juga adalah orang-orang kecil. Itu sebabnya tadi kita mengatakan, ini adalah perbuatan baik dari orang yang tidak signifikan, kepada orang tidak signifikan yang lain. Tetapi, begitu Saudara merasa diri sebagai orang yang lumayan signifikan, yang berada di atas, yang kemudian berbuat baik kepada orang yang tidak signifikan, maka itu langsung ‘gak nyambung dengan cerita Perjamuan Kudus, karena Perjamuan Kudus berarti Tuhan yang ada di atas mengingat Saudara yang ada di bawah. Tuhan yang ada di atas, turun menjumpai Saudara dan saya yang ada di bawah, itu namanya solidaritas. Saudara bukan dijamu karena Saudara adalah orang surga (heavenly beings), melainkan Tuhan turun menghampiri kita. Kita yang hina ini dihampiri oleh Tuhan. Dan, orang yang hina, yang tahu dirinya orang hina yang dihampiri oleh Tuhan, dia akan menghampiri orang hina yang lain, tanpa merasa dirinya lebih mulia, lebih di atas, dsb.
Kiranya Roh Kudus menolong kita untuk bertumbuh di dalam kerohanian yang sehat seperti ini. Ayat 45-46, ‘Maka Ia akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku. Dan mereka ini akan masuk ke tempat siksaan yang kekal, tetapi orang benar ke dalam hidup yang kekal.’ Ayat 40, ‘Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.’
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading