Hari ini kita bersama-sama mengingat dan merayakan Pentakosta; dan pastinya dalam tradisi Reformed kita bukan merayakan dengan mengejar-ngejar pengulangan peristiwa yang terjadi pada hari tersebut 2000 tahun yang lalu, tapi kita mau merenungkan apa yang dinyatakan melalui kejadian Pentakosta. Dari cerita Pentakosta, kita akan merenungkan beberapa poin.
YANG PERTAMA, turunnya atau datangnya Roh Kudus menunjukkan bahwa Yesus adalah Mesias. Ini poin klasik dari tradisi Injili dan juga Reformed, Pneumatologi (doktrin Roh Kudus) tidak bisa dilepaskan dari Kristologi dan Soteriologi, Pneumatologi harus ada kaitannya dengan Kristus dan keselamatan. Jadi ketika kita membahas tentang Pentakosta, hal pertama yang harus kita tekankan sebelum kita masuk ke mujizat fenomena bahasa roh, adalah bahwa turunnya Roh Kudus menunjukkan Yesus sungguh-sungguh adalah Christos, Mesias. Fakta bahwa Roh Kudus turun, pertama-tama menunjukkan Yesus sudah naik; kalau Yesus tidak naik, kalau Yesus tidak diterima Allah Bapa dan duduk di sebelah kanan Allah Bapa, Roh Kudus tidak turun. Fakta bahwa Roh Kudus turun, berarti Allah Bapa, Tuhan sudah mengkonfirmasi segala sesuatu yang telah Yesus lakukan melalui kematian dan kebangkitan-Nya. Pasal 2:33, “Yesus inilah… Dan sesudah Ia ditinggikan oleh tangan kanan Allah dan menerima Roh Kudus yang dijanjikan itu, maka dicurahkan-Nya apa yang kamu lihat dan dengar di sini.”
Sekali lagi, turunnya Roh Kudus adalah bukti bahwa apa yang Yesus lakukan di dalam kematian dan kebangkitan-Nya, sungguh-sungguh diterima, dikonfirmasi oleh Allah Bapa. Ini artinya bahasa roh (bahasa lidah) yang terjadi di hari Pentakosta, adalah menunjukkan kehadiran/turunnya Roh Kudus; dan ini penting karena ini sungguh-sungguh menunjuk kepada Yesus yang sudah mati, bangkit, dan naik ke surga. Hal ini berarti fenomena bahasa roh bukanlah suatu tanda bahwa kita sudah percaya, sudah lahir baru –jangan dibalik-balik, itu bukan tandanya– fenomena bahasa roh menunjukkan bahwa Yesus adalah Mesias, dan bahwa keselamatan hanya ada di dalam Yesus. Kita tidak bisa memutarbalikkan signifikansi dari apa yang ditunjukkan Pentakosta. Pentakosta bukanlah tentang saya, ekspresi saya, iman saya; turunnya Roh Kudus adalah tentang Kristus, menunjukkan apa yang Yesus sudah lakukan, menunjukkan identitas Yesus Kristus. Itu sebabnya waktu kita bertemu orang-orang yang mementingkan bahasa lidah (bahasa roh), kita tidak perlu mencurigai pengalaman mereka, kita tidak perlu sejak kalimat perrtama langsung mendiskon pengalaman mereka, “O, kamu bahasa roh?? Enggaklah… itu cuma psikis, kamu ditipu, kamu dibawa emosi, kamu bodoh”, dst. Kita tidak perlu merendahkan karakter mereka, kita bahkan bisa menerima bahwa pengalaman mereka itu benar-benar tulus. Tapi, kita tetap harus bertanya kepada mereka, apakah pengalaman Roh Kudus turun di atas kamu ketika kamu berbahasa roh itu sungguh-sungguh membuat kamu lebih jelas lagi melihat siapakah Yesus, apakah itu sungguh-sungguh memberi kamu iman dan kekuatan untuk meninggalkan semua ilah-ilah palsu, dan sungguh-sungguh mengakui bahwa Yesus adalah satu-satunya Tuhan dan Juruselamat –karena inilah yang dinyatakan dalam Pentakosta. Kalau ada orang yang ada pengalaman supernatural, berbahasa lidah, tapi tidak bisa lebih melihat dan bersandar kepada Yesus yang adalah Mesias, sangat sulit untuk dikatakan itu adalah Roh Kudus, karena berbeda dengan apa yang dicatat Alkitab.
Demikian tadi mengenai orang yang mementingkan bahasa lidah; lalu bagaimana dengan kita? Bagaimana dengan tradisi Gereja kita, tradisi Injili, tradisi Reformed? Bagaimana kita tahu Roh Kudus turun atas kita, berada di tengah-tengah kita? Kalau mengikuti prinsip Pentakosta yang terjadi dalam Pentakosta, jawabannya gampang: kalau dalam Gereja ini Yesus Kistus sungguh-sungguh dipandang, dikenal, di-recognize sebagai satu-satunya Mesias, Tuhan dan Juruselamat, itu menunjukkan bahwa Roh Kudus ada di tengah-tengah kita. Tetapi, kalau dalam Gereja kita atau Gereja manapun Yesus bukan lagi Mesias, sebaliknya uang yang jadi mesias, kesuksesan yang jadi mesias, intelek yang jadi mesias, tradisi yang jadi mesias, pemimpin berkharisma yang jadi mesias, kalau ada hal-hal di luar Kristus yang jadi mesias, kalau Yesus tidak ditinggikan sebagai satu-satunya Tuhan dan Juruselamat, maka tidak peduli seberapa besar Gereja tersebut, seberapapun berpengaruhnya, seberapapun suksesnya, seberapapun dikenal dan diakuinya, tidak ada Roh Kudus di sana. Dan disinilah kebahayaannya, karena kita tahu Gereja tidak asing dengan hal-hal tersebut, Gereja tidak asing dengan meninggikan hal-hal di luar Kristus menjadi mesias. Dalam sejarah, Gereja sudah berulang-ulang kali jatuh dalam hal ini, jatuh dalam penyembahan ilah-ilah palsu yang kita anggap sebagai mesias. Hati-hati. Kita bisa mengkritik, “O, kamu konsep Roh Kudus-nya salah, konsep Pentakosta-nya salah”, dan kita bisa menunjukkan di mana salahnya, tapi hati-hati, jangan kita mengkritik orang lain namun kita sendiri tidak meninggikan Yesus Kristus sebagai The One and Only Messiah. Kita kritik-kritik orang salah, tapi kita sendiri juga salah. Buat apa?? Ini melawan prinsip Pentakosta, karena Pentakosta, turunnya Roh Kudus, pertama-tama menunjukkan bahwa Yesus adalah Mesias, Juruselamat.
YANG KEDUA, bagian yang penting dan signifikan dalam peristiwa Pentakosta adalah bahwa Pentakosta menunjukkan kesatuan dalam Tubuh Kristus. Dalam cerita peristiwa Pentakosta, kita seringkali heran akan fenomena bahasa roh, dan hal itu jadi fokus kita; tetapi kalau kembali ke Alkitab, sebetulnya hal tersebut bukan yang mengherankan orang-orang pada saat itu. Kis. 2:7-8, dikatakan mereka semua tercengang-cengang, heran, dan mereka berkata, “Bagaimana mungkin kita masing-masing mendengar mereka berkata-kata dalam bahasa kita sendiri, yaitu bahasa yang kita pakai di negeri asal kita”, lalu di ayat 11, apa yang mereka dengar? Mereka mendengar rasul-rasul berkata-kata dalam bahasa mereka tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah. Jadi sebetulnya yang mengherankan mereka bukanlah bahwa rasul-rasul berbahasa roh; yang mengherankan mereka adalah bahwa mereka yang berasal dari bahasa yang berbeda-beda, konteks yang berbeda-beda, lokasi yang berbeda-beda, sekarang bisa mengalami satu hal yang sama. Tiba-tiba ada sudden unity, satu kesatuan yang terjadi –padahal mereka berbeda-beda. Saya mengutip Michael Welker, dia mengatakan, “What frightens and confuses them, what amazes them, is the unbelievable comprehensibility that they all experience”; apa yang membuat mereka heran, tercengang-cengang, takjub, adalah satu kesatuan yang mereka di saat itu bisa alami besama-sama, walaupun mereka berbeda-beda. Jadi, mujizat dalam Pentakosta bukan semata-mata fenomena bahasa roh-nya; mujizat dalam Pentakosta adalah: orang yang berbeda-beda, sekarang ada satu pengalaman yang sama, tentang pekerjaan Allah yang besar.Itu sungguh-sungguh mujizat, sungguh-sungguh mengherankan.
Dari sini kita bisa melihat bahwa yang penting di dalam turunnya Roh Kudus, Pentakosta, adalah bahwa Roh Kudus melahirkan satu kesatuan bagi orang-orang yang sebelumnya terpecah, putus, jauh, tidak bisa berelasi (disconnected), dan mereka semua sekarang dipersatukan. Ada kesatuan yang dilakukan oleh Roh Kudus. Kalau kita membaca cerita Pentakosta dan kita tidak bisa melihat kesatuan yang dilahirkan oleh Roh Kudus, kita kehilangan makna Pentakosta yang amat sangat pondasional. Ini hal yang fundamental. Kalau kita tidak bisa melihat ini, kita tidak begitu mengerti apa itu Pentakosta, apa itu pekerjaan Roh Kudus yang dilakukan di hari Pentakosta. Terkait dengan kesatuan ini, ada beberapa hal yang kita bisa sama-sama renungkan.
Pertama, kesatuan yang dilahirkan Roh Kudus menunjukkan bahwa keselamatan dalam Kristus sungguh-sungguh diberikan kepada semua tanpa diskriminasi. Pasal 2:10-11, orang-orang dari Partia, Media, Elam, penduduk Mesopotamia, Yudea dan Kapadokia, Pontus dan Asia, Frigia dan Pamfilia, Mesir dan daerah-daerah Libia yang berdekatan dengan Kirene, pendatang-pendatang dari Roma, baik orang Yahudi maupun penganut agama Yahudi, orang Kreta dan orang Arab, mereka semua mendengar pekerjaan Allah yang besar. Dan inilah yang pada dasarnya dikonfirmasi oleh Paulus, bahwa tuan dan hamba, laki-laki dan perempuan, Yahudi dan non-Yahudi, sekarang dipersatukan di dalam Tubuh Kristus. Apa implikasinya? Impilikasinya adalah: kalau Gereja melakukan diskriminasi terhadap kelompok oang apapun, sangat sulit untuk kita katakan gereja tersebut dipenuhi oleh Roh kudus. Kalau Gereja menjadi Gereja yang membuka pintu bagi yang kaya dan menutup pintu bagi yang miskin, susah untuk kita katakan Gereja itu ada Roh Kudus. Kalau Gereja menjadi Gereja intelektual, buka pintu bagi mereka yang ada pendidikan dan mendiskriminasi mereka yang tidak ada pendidikan, susah untuk kita katakan bahwa Roh Kudus hadir. Kalau Gereja hanya ada tempat bagi yang tua tapi tidak ada tempat bagi yang muda, susah untuk kita katakan ada Roh Kudus; dan sebaliknya pun sama, kalau Gereja hanya ada tempat bagi yang muda dan tidak ada tempat buat yang tua. Kalau Gereja hanya tempat bagi orang-orang yang secara budaya normal dan bisa diterima, tapi tidak ada tempat bagi mereka yang budayanya tidak normal, susah untuk kita katakan bahwa Roh Kudus hadir. Itu semua bukanlah yang Roh Kudus lakukan di hari Pentakosta. Roh Kudus itu turun, dan keselamatan dalam Kristus dibawakan kepada semua, semua yang berbeda-beda disatukan.
Yang kedua, kesatuan yang dilahirkan oleh Roh Kudus membawa satu kesamaan, tapi di saat yang sama mempertahankan perbedaan. Ini yang sering kali kita sebut unity in diversity. Turunnya Roh Kudus, membawa orang jadi satu, tapi mempertahankan perbedaan. Perhatikan apa yang terjadi dalam Pentakosta, mereka semua dengar pekerjaan Allah yang besar, tapi mereka mendengarnya dengan bahasa mereka masing-masing. Mereka bukan mendengarnya dalam satu bahasa, mereka mendengarnya dalam banyak bahasa. Konteks budaya bahasa mereka tetap dipertahankan, tidak dihapus. Namun di dalam perbedaan tersebut mereka tetap bisa bersatu. Di dalam Gereja, kesatuan Roh Kudus yang terjadi haruslah kesatuan yang sungguh-sungguh bisa tetap mempertahankan perrbedaan, unity in diversity in the true sense, bukan dangkal, bukan menghapuskan perbedaan. Komunitas gereja harus menjadi komunitas yang tetap mempertahankan perbedaan, tetapi ada pengalaman di dalam Kristus yang mengikat kita semua; dengan kata lain, komunitas Gereja pasti tidak mungkin homogen –karena komunitas Pentakosta, Gereja-mula-mula, tidaklah homogen, turunnya Roh Kudus tetap mempertahankan budaya dan bahasa-bahasa mereka.
Hal ini secara internal di dalam Gereja berarti kita tidak bisa menuntut atau berharap semua orang pasti pemikirannya sama, karena itu bukan yang kita cari, itu bukan pekerjaan Roh Kudus. Kita tidak bisa menuntut semua orang satu arah yang betul-betul sama, karena yang seperti itu Gereja atau pabrik?? Itu bikin robot AI yang semuanya diprogram dengan sama, atau perkumpulan manusia?? Kalau itu perkumpulan manusia, apalagi ditambah dengan apa yang kita lihat dilakukan Roh Kudus untuk menyatukan orang-orang, maka perbedaan pasti tetap ada. Sebaliknya, Gereja di masa semua jemaatnya terlalu sama, terlalu agreeable, terlalu semua selalu setuju dari atas sampai bawah, ini jadinya Korea Utara atau gereja?? Yang seperti itu kayaknya bukan komunitas yang dilahirkan oleh Roh Kudus.
Secara eksternal ke luar pun sama. Kalau kita sungguh-sungguh mengerti pekerjaan Roh Kudus, kesatuan yang dilahirkan Roh Kudus, maka ketika kita ke luar, kita juga tidak bisa langsung mengatakan Gereja yang berbeda dari kita pasti salah. Ini melawan prinsip Alkitab. Kita tidak bisa bilang terhadap Gereja yang berbeda secara liturgi atau hal-hal lain, bahwa Gereja tersebut ngawur. Berbeda adalah berbeda; berbeda dan salah, itu ada bedanya. Berbeda dengan kita, bukan berarti mereka pasti salah. Perbedaan bisa muncul karena banyak hal. Perbedaan bisa muncul dari budaya, penekanan, visi dan misi. Misalnya, kita tidak bisa bilang ke LAI, “O, kamu kurang penginjilan, tahunya cuma menerjemahkan dan mencetak Alkitab saja, tidak ada ini, tidak ada itu; ikutlah kami kayak begini!” –jadi pusing. Berbeda itu pasti. Ada Gereja yang mungkin lebih menekankan hal ini atau hal itu, yang berbeda dari apa yang kita tekankan, dan kita tidak bisa bilang pasti mereka salah; itu hanya bebeda. Dan sekali lagi, walaupun ada perbedaan, Roh Kudus adalah menyatukan. Ada satu pengalaman di dalam Kristus yang menyatukan kita semua. Kalau kita mau semua Gereja seluruh dunia jadi replikanya GRII Kelapa Gading misalnya, itu sudah pasti something wrong. Kalau kita anggap kita ini model yang paling baik dan semua Gereja harus jadi seperti GRII Kelapa Gading, itu berarti kita tidak mengerti makna Pentakosta, kita tidak mengerti apa maksudnya Roh Kudus turun.
Secara individu juga sama; kalau kita bilang, “Cara hidup saya mengikut Kristus adalah cara yang terbaik, my way of Christian journey is the best example; semua orang harus ikut cara ini, apa yang saya lakukan kamu harus lakukan!” –homogen– maka menurut prinsip turunnya Roh Kudus yang seperti itu kayaknya tidak ada, tidak ditemukan. Kita melihat pribadi Paulus pun tidak demikian. Paulus itu selibat, ketika membahas pernikahan dia bilang, “Saya rindu semua orang juga bisa selibat, fokus untuk melayani Tuhan”, tapi Paulus sungguh-sungguh sadar bahwa semua orang berbeda-beda, bahwa dalam satu tubuh ada banyak anggota, dan setiap anggota berbeda-beda. Tubuh Kristus dan anggotanya ini bukan cuma diterapkan di dalam internal Gereja; tubuh Kristus dan anggotanya ini juga harus diterapkan secara universal, secara am. Kita, secara seluruh Gerakan, juga hanya salah satu anggota tubuh Kristus yang kudus dan am; bahkan bukan cuma dalam generasi ini tapi sepanjang generasi sepanjang sejarah.
Yang ketiga, ketika Roh Kudus menyatukan orang percaya, yang akhirnya sungguh-sungguh bisa menyatukan kita adalah kesadaran kita terhadap anugerah Kristus. Kasih Kristus itulah yang ujung-ujungnya bisa menyatukan kita. Pasal2:37, Ketika mereka mendengar hal itu hati mereka sangat terharu, lalu mereka bertanya kepada Petrus dan rasul-rasul yang lain: “Apakah yang harus kami perbuat, saudara-saudara?” Jawab Petrus kepada mereka: “Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus”. Apa artinya? Artinya, ketika Roh Kudus turun, yang sungguh-sungguh menyatukan semua orang yang berbeda adalah mereka ini sungguh-sungguh sadar akan anugerah, cinta kasih, yang mereka terima di dalam Yesus Kristus.
Gereja yang dipenuhi oleh Roh Kudus adalah Gereja yang sungguh-sungguh mengerti bahwa yang menyatukan kita semua adalah cinta kasih serta anugerah Yesus Kristus. Ini berati ketika kita berbagian dalam komunitas Gereja, itu bukanlah gara-gara apa yang kita bisa lakukan bagi Gereja, bukan apa yang kita bisa berikan kepada Gereja yang jadi syarat kita berbagian dalam Gereja, melainkan kita diterima di dalam Gereja adalah karena apa yang Yesus Kristus sudah lakukan bagi kita. It’s not what we offer, tapi karena Kristus sudah lebih dulu menerima kita, menyucikan kita, membawa kita masuk ke dalam Gereja –kita sudah diterima– dan itulah sebabnya kita sekarang adalah bagian dari Gereja. Ini sangat bertolak belakang dengan komunitas dunia atau komunitas apapun yang dibentuk oleh manusia, yang relasinya selalu give and take, bargaining, ‘kalau kamu bisa memberi kamu bisa diterima, tapi pada saat kamu tidak bisa memberi, kamu hanya jadi beban, ya sudah, bagian kamu, keanggotaanmu, sekarang stop; kalau kamu bisa memberi uang, atau koneksi, humor, tenaga, waktu –selama kamu bisa memberi–you are the one of us, tapi pada titik di mana kamu stop memberi, you are not the one of us’. Yang seperti itu, komunitas yang tidak ada Roh Kudus.
Komunitas yang ada Roh Kudus, komunitas yang dipenuhi Roh Kudus, berarti kita diterima bukan karena apa yang kita bisa beri, melainkan karena kita sudah diterima di dalam Kristus. Dengan kata lain, kalau Gereja hanya membuka pintu bagi mereka yang kuat, yang bisa memberi terus-menerus, yang bisa melayani, tapi tidak ada tempat bagi mereka yang lemah, yang tidak bisa melayani, yang tidak ada kontribusi, sulit dikatakan bahwa itu Gereja dipenuhi Roh Kudus. Kalau Gereja hanya membuka pintu bagi mereka yang memberi sumbangan tapi tidak membuka pintu bagi mereka yang harus ditolong, itu mirip dengan Bait Allah di zaman Yesus. Bait Allah di zaman Yesus membuka pintu sangat lebar bagi mereka yang bisa memberi, yang bisa persembahan banyak; sementara bagi janda miskin yang hanya punya 2 koin yang tidak ada nilainya, Bait Allah tutup pintu, tidak ada tempat bagi dia, dia itu beban. Kalau kita mengerti prinsip ini, kita harus sangat hati-hati; kalau kita lihat di dalam suatu Gereja semuanya adalah orang yang produktif, semua jemaatnya adalah jemaat yang kuat, yang bisa memberi, yang bisa melayani, itu bukanlah satu hal yang kita harus celebrate, justru mungkin itu satu tanda bahwa Gereja tersebut tidak membuka diri bagi orang yang lemah, orang lemah tidak merasa ada tempatnya di dalam gereja tersebut dan mereka keluar. Gereja yang demikian, susah untuk dikatakan dipenuhi Roh Kudus.
Hati-hati juga yang kita sering dengar dengan yang disebut filtering out; Pak Tong sering bicara mengenai filtering, bahwa Tuhan memfilter jemaat-jemaat, yang menolak, dsb. Hal itu tentu kita setuju, bahwa di dalam anugerah Tuhan bisa ada saatnya Tuhan bekerja memfilter lalang, karena sebagaimana kita tahu, di dalam anugerah Tuhan gandum dan lalang tumbuh bersama-sama di Gereja. Paul Washer juga setuju akan hal ini, bahkan bagi dia kehadiran gereja kharismatik radikal merupakan filter. Kita setuju bahwa Tuhan pasti bisa memfilter lalang di dalam anugerah-Nya, tetapi Tuhan tidak pernah memfilter mereka yang lemah. Kita harus hati-hati dalam hal ini, yang difilter adalah lalang, bukan mereka yang lemah. Kalau kita memfilter orang yang lemah, mempertahankan orang yang kuat yang bisa memberi/melayani, lalu kita bilang kita dipenuhi Roh Kudus?? Mana ada cerita seperti itu dalam Pentakosta?? Di dalam Pentakosta, mereka yang lemah juga di-include di dalam komunitas; perempuan-perempuan, yang pada waktu itu marjinal tidak ada nilainya, juga ada di sana –dan mereka bukan orang yang bisa ke mana-mana berkhotbah, melayani, berkontribusi banyak, karena yang melayani seperti itu adalah laki-laki, seperti Petrus, Paulus, dst.
Jadi, kalau kita diberi banyak, kalau kita kuat, kalau kita bisa melayani, kalau kita diberkati, kita harus tetap mengerti bahwa yang menyatukan kita di dalam Gereja bukanlah gara-gara apa yang ada pada diri kita melainkan apa yang Kristus lakukan. Artinya apa? Artinya kita harus lebih rendah hati lagi. Kita harus memberi lebih banyak karena kita sudah menerima banyak; Yesus bilang, “Yang diberi banyak, dituntut banyak”. Prinsip yang sederhana. Orang yang diberi banyak, yang bisa melayani, harus lebih rendah hati lagi di dalam Gereja. Jemaat-jemaat yang lemah, yang kurang bisa memberi, seperti para orang tua yang karena usianya sulit untuk bisa kontribusi dan hanya bisa menerima, apakah kemudian harus dikikis dari Gereja? Pasti tidak. Ketika kita lemah, dan kita sungguh-sungguh mengerti artinya anugerah yang kita terima dari Krristus melalui pekerjaan Roh Kudus, ini artinya apa? Artinya tidak ada tempat bagi kita untuk self-victim merasa diri korban, tidak ada tempat bagi kita untuk minder tidak bisa ini tidak bisa itu, karena kamu diterima bukan gara-gara kamu korban atau kamu kurang, dsb., kamu diterima semata-mata karena anugerah Tuhan. Tetap sama. Bagi mereka yang kuat, itu adalah anugerah; bagi mereka yang lemah, juga adalah anugerah. Dengan demikian, walaupun kita lemah, kita tetap bagian dari Tubuh Kristus, kita ada porsi yang tetap Tuhan berikan kepada kita yang kita bisa penuhi sebagai anggota tubuh Kristus. Inilah kesatuan di dalam Kristus. Demikianlah tentang kesatuan di dalam Kristus, kesatuan yang dilahirkan oleh Roh Kudus.
YANG KETIGA, Pentakosta berarti kita sekarang diperlengkapi, kita diberikan kuasa untuk melakukan misi Tuhan. Di dalam kitab Kisah Para Rasul, sangat jelas bahwa datangnya Roh Kudus dan misi, itu satu paket, tidak bisa dilepaskan. Orang yang menerima Roh Kudus, dia akan terjun dan dikuatkan untuk melakukan misi. Saya mengutip seorang teolog bernama Udo Schnelle, dia mengatakan: “Especially in Acts, the word of the Spirit is the motor that thrive the history of salvation forward”; khususnya dalam Kisah Para Rasul, pekerjaan Roh Kudus adalah motor/mesin yang mendorong maju sejarah keselamatan (misi). Maksudnya, ketika Roh Kudus turun, itu sungguh-sungguh menggenapkan apa yang Yesus katakan sebelumnya (Kis. 1:8), “Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi” –misi. Bukan cuma misi internal, bukan cuma tetangga, tapi misi global, misi ujung bumi. Dengan kata lain, Gereja yang dipenuhi Roh Kudus adalah Gereja yang bermisi –sederhana saja dan sangat straight forward.
Gereja yang dipenuhi Roh Kudus adalah Gereja yang bermisi. Tidak cukup kita saling mengasihi, kita memperhatikan sesama –itu semua penting, itu perintah, itu natur kita– namun kalau kita mengerti yang dicatat Alkitab tentang turunnya Roh Kudus, kita akan mengerti bahwa Gereja yang dipenuhi Roh Kudus pasti melakukan misi, terjun berbagian di dalam misi Tuhan sampai ujung bumi. Di dalam hari Pentakosta, kita diingatkan kembali bahwa kita adalah produk/hasil dari misi, kita adalah hasil dari turunnya Roh Kudus, karena jika tidak, apa sih kaitannya orang Indonesia dengan orang Yahudi, dengan orang Galilea?? Tidak ada. Tetapi sekarang kita diipersatukan oleh pekerjaan Roh Kudus, oleh misi, dan kita adalah hasil dari misi tersebut. Dan pada saat yang sama, kita bisa mengingatkan diri kita bahwa inilah makna dari turunnya Roh Kudus: kalau kita sudah menerima turunnya Roh Kudus, kita juga dipanggil dan dikuatkan untuk melakukan hal yang sama, melanjutkan misi.
Dalam hal ini, seberapapun banyaknya kita mengkritik Gerakan Pentakosta, satu hal yang kita tidak bisa kritisi mereka bahwa Gerakan Pentakosta adalah gerakan yang didorong oleh misi. Gerakan Pentakosta gelombang satu, dua, dan tiga, kalau kita gabungkan adalah gerakan yang pertumbuhannya tercepat, jumlah orangnya terbanyak sejak Adam sampai sekarang –khususnya tentang Kekristenan. Kita bisa kritik mereka itu menawarkan Injil yang gampangan, mereka menawarkan teologi kemakmuran, mereka mendiskon Injil, mereka mereduksi Kristus –kita bisa kitik mereka sangat banyak hal (with good conscious)– tapi satu hal, kita tidak bisa kritik mereka tidak bermisi. Mereka bermisi. Alasannya mereka bisa berkembang begitu cepat dan begitu besar, karena mereka bermisi sejak awal mulanya, mereka sungguh-sungguh mengerti turunnya Roh Kudus ada kaitannya dengan misi. Banyak hal mengenai Pentakosta yang mereka salah, tapi dalam hal bermisi, pasti mereka betul. Mengapa mereka bisa betul membacanya? Karena ini yang paling simpel, ini informasi yang kita baca yang paling dasar. Kita dalam Reforrmed sangat bangga bahwa kita bisa teliti dan bisa mendalami begitu dalam, semua kita cari maknanya apa, tapi bisa tidak kita melihat turunnya Roh Kudus ada kaitannya dengan misi? Ini sangat di depan mata, kita tidak perlu belajar teologi sampai S3 untuk membacanya, kita tidak perlu sampai jadi profesor teologi untuk melihat turunnya Roh Kudus ada kaitannya dengan misi, anak Sekolah Minggu pun bisa lihat. Dan kalau kita sudah lihat, apa respons kita?
Apa respons kita terhadap pangajaran yang paling dasar ini? Sangat oke, kalau kita katakan bahwa kita memiliki Roh Kudus dan kita tidak berbahasa roh; sangat oke, kalau kita katakan bahwa kita memiliki Roh Kudus namun kita tidak melakukan mujizat. Itu semua sangat oke, tidak masalah; tapi kalau kita bilang kita ada Roh Kudus namun kita tidak bermisi, it’s not fine! Itu tidak bisa diterima. Roh Kudus turun, memperlengkapi, memberikan kuasa, supaya mereka yang menerimanya, pergi, menjadi saksi Yesus, ke Yerusalem, Yudea, Samaria, sampai ke ujung bumi. Kiranya Roh Kristus sungguh-sungguh bisa turun kepada kita semua, memenuhi kita, mempersatukan kita di dalam Tubuh Kristus, dan memberikan kuasa untuk mengabarkan Injil, berbagian dalam misi Kristus. Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading