Hari ini menurut Kalender Gereja adalah Minggu ke-3 sebelum memasuki Advent, third last Sunday; dan temanya sebagaimana Saudara dengar dalam Votum hari ini, yaitu tentang damai, “Berbahagialah mereka yang membawa damai, mereka akan disebut anak-anak Allah”. Renungan kita hari ini diambil dari Mikah 4:1-5, yang ada kaitan dengan damai/shalom.
Bagian pasal 4 ini agak mengejutkan karena sebelumnya, pasal 3, berisi tentang nubuatan kejatuhan, tentang corruption yang terjadi di sana sehingga dinubuatkan bahwa Yerusalem (Sion) akan runtuh, sedangkan di pasal 4 tiba-tiba temanya berubah, tiba-tiba dikatakan ‘gunung rumah Tuhan berdiri tegak mengatasi gunung-gunung’ –dan yang disebut ‘gunung rumah Tuhan’ tentu tidak lain tidak bukan adalah Sion. Jadi bagaimana mengertinya? Dalam hal ini orang-orang di dalam historis kritis akan langsung menyoroti, bahwa inilah sebabnya seperti ada dua naskah, ada perkembangan historis, yang satu dari Mikha dan satunya lagi bukan dari Mikha, dsb. Akhirnya jadi rumit sekali; lalu setelah mempelajari teori-teori yang rumit itu, tidak terlalu ada juga yang bisa dikhotbahkan kepada jemaat. Kita percaya, terlepas dari bagian ini zaman yang mana —later dating atau early dating, atau ada perkembangan, dsb.– bahwa kalau pun ada redaktur yang terakhir, itu tetap dipimpin Roh Kudus untuk menghadirkan keseluruhan kitab ini di dalam bentuk kanonisasi yangterakhir, dan bahwa Tuhan menghendaki kita untuk membacanya sedemikian. Dan yang pasti, meskipun ada tension antara pasal 3 dan pasal 4, ada message yang kita bisa terima di bagian ini.
Lalu bagaimana menjelaskan kontradiksi atau tension ini, yang di satu sisi nubuatan tentang kehancuran Sion, sementara di sisi yang lain ada nubuatan tentang Sion yang akan tetap berdiri tegak dan bahkan menjulang mengatasi gunung-gunung yang lain? Saudara, dua-duanya memang benar. Kadang kita melihat sesuatu sebagai kontradiksi, karena sebenarnya dalam hal tersebut kita tidak boleh memahaminya secara serentak. Sesuatu itu bisa benar di zaman tertentu, lalu benar lagi di zaman yang lain, sehingga dalam hal ini dua-duanya benar. Salah satu penyelesaian paradoks adalah dalam hal waktu. Misalnya: tertawa tentu bukan menangis, orang yang tertawa sekaligus menangis tentu saja aneh, tetapi Pengkhotbah menyelesaikan ini dengan sederhana, yaitu: “ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa”. Masing-masing ada waktunya, ada kairosnya. Ada kairos untuk membicarakan Sion dihancurkan, ada waktu –waktu yang lain– Sion tetap tegak. Tidak ada yang kontradiksi di sini. Di dalam kehidupan Saudara pun ada waktu tidur, ada waktu bangun; bangun dan tidur memang kontradiksi, orang tidak bisa sekaligus tidur dan bangun, tapi siapa yang suruh menyelesaikan hal tersebut di dalam waktu yang sama?? Segala sesuatu ada kairosnya; dan berbahagialan Saudara dan saya kalau bisa menghidupi kairos demi kairos yang diberikan Tuhan. Ada waktu Saudara melayani di tempat tertentu, ada waktu Saudara dipanggil Tuhan untuk melayani di tempat yang lain; ada waktu untuk kita berada dalam dunia ini, ada waktu untuk kita kembali kepada Tuhan. Jadi di mana problemnya? Tidak ada problem sebetulnya; inilah kelimpahan hidup. Perjalanan kehidupan manusia memang seharusnya seperti ini, menghayati kairos yang diberikan Tuhan dalam kehidupan kita. Dengan demikian, ketika kita membaca pasal 4 ini –yang tidak ada kontradiksi ini– kita membacanya sebagai nubuatan eskatologis. Hal ini jelas sekali, karena Mikha pun mengatakan, “Akan terjadi pada hari-hari yang terakhir”.
Pertanyaannya, ‘hari-hari terakhir’ itu apa, atau dalam pengertian apa? Dalam bahasa Perjanjian Lama, waktu dikatakan ‘hari-hari terakhir’, seringkali –jika tidak dapat dikatakan selalu–menunjuk kepada zaman Mesias (Messianic age), waktu Mesias yang dinubuatkan dan dinantikan itu hadir di tengah-tengah Israel. Memang sampai sekarang orang Yahudi masih menantikan hal ini, tapi kita orang Kristen percaya Yesus Kristuslah Sang Mesias. Jadi, ‘hari-hari terakhir’ menunjukkan hari-hari ketika Yesus Kristus inkarnasi di bumi ini. Kita tahu setelah inkarnasi di bumi, Dia naik ke surga –meskipun Dia bukan menanggalkan kemanusiaan-Nya tapi membawa serta kemanusian itu selama-lamanya– dan Dia akan datang kembali. Kita sekarang ini berada dalam status ‘zwischen den Zeiten‘ (between the times) –meminjam istilahnya Karl Barth– artinya: waktu di antara Yesus datang pertama kali dan Yesus datang kedua kalinya. Dengan memperhatikan kedatangan Yesus yang pertama, kita bisa mengatakan hari-hari terakhir itu sudah dimulai; dengan memperhatikan kedatangan Yesus kembali, kita bisa mengatakan hari-hari terakhir itu belum. Jadi ini antara ‘belum’dan ‘sudah’. Inilah yang disebut ‘hari-hari terakhir’ (the last days). Ini berarti Saudara dan saya berada pada ‘hari-hari terakhir’, karena hari-hari terakhir tersebut sudah di-inisiasi dengan kedatangan Yesus yang pertama waktu Dia inkarnasi, dan sekarang Dia kembali ke surga, dan Dia akan datang kembali. Itu sebabnya waktu kita menghayati Mikha pasal 4, kita bisa menghayatinya di sini dan sekarang –tentu saja dengan ada aspek ke-‘belum’-an tadi, bahwa kepenuhannya masih nanti. Kita mau merenungkan hal ini dalam kaitan dengan damai.
Berbicara tentang damai, sekarang memang sedang ada perang; kita di Indonesia tidak terlalu merasakannya karena ada jarak geografis, dan juga jarak politis, tapi kalau kita ke Eropa, itu terasa sekali –inflasi, dsb. Di dalam bagian yang kita baca, juga dibicarakan bahwa bangsa-bangsa saling ribut, saling berperang, dst.; lalu waktu kita bicara tentang damai, apa yang bisa kita lakukan? Bagaimana memperoleh damai itu?
Ayat 1, dikatakan ‘gunung rumah Tuhan berdiri tegak mengatasi gunung-gunung dan menjulang tinggi di atas bukit-bukit; bangsa-bangsa berduyun-duyun ke sana’. Saudara perhatikan, di sini ada aspek universal. Waktu gunung rumah Tuhan itu ditinggikan, itu bukan cuma berdiri tegak tapi bahkan mengatasi gunung-gunung yang lain. Ini bukan sekadar urusan topografis. Dalam budaya Timur Dekat Kuno, gunung-gunung adalah lokasi di mana orang menaruh tempat ibadahnya, karena di dalam pemikiran yang sangat sederhana gunung itu tempatnya lebih tinggi, sementara Tuhan ada di langit, sehingga mendirikan tempat ibadah di gunung seakan-akan lebih dekat dengan surga –padahal kita tahu ini sama sekali tidak signifikan. Kita tahu bumi cuma sekecil itu, dan gunung cuma seberapa sih tingginya dibandingkan langit yang kita bahkan tidak tahu batasnya di mana, sehingga tidak signifikan sama sekali naik ke gunung untuk lebih dekat dengan Tuhan. Namun dalam pemahaman kita sebagai manusia yang sederhana, kita pikir gunung itu tinggi sehingga lebih dekat dengan Tuhan, maka orang kemudian mendirikan rumah Tuhan di gunung, termasuk juga penyembahan-penyembahan berhala mendirikan kuilnya di gunung-gunung. Jadi, waktu dikatakan gunung rumah Tuhan bukan hanya berdiri tegak tapi bahkan mengatasi gunung-gunung yang lain, ini bukan sekadar penjelasan topografis, melainkan bahwa rumah Tuhan akan mengatasi gunung-gunung berhala, mengatasi tempat-tempat ibadah di mana orang menyembah allah yang keliru. Gunung rumah Tuhan akan melampaui gunung-gunung berhala yang lain. Ini gambaran yang indah.
Selanjutnya, perhatikan waktu dikatakan ‘bangsa-bangsa akan berduyun-duyun ke sana’, ini persis seperti cerita Abraham. Abraham dipanggil supaya menjadi berkat bagi bangsa-bangsa; bukan untuk menikmati ke-‘terpilih’-annya sendiri, tapi untuk menjadi berkat bagi bangsa-bangsa. Inilah pada dasarnya cerita panggilannya Abraham, bahwa waktu ditinggikan, itu adalah supaya bangsa-bangsa lain yang datang ke gunung-gunung yang salah, sekarang bisa datang ke gunung rumah Tuhan. Kita bisa langsung mengaplikasikan ini dalam kehidupan kita berjemaat; apa artinya kalau Tuhan mempermuliakan atau mengangkat gereja kita? Itu bukan supaya kita jadi ge-er, jadi sombong, jadi merasa unik sendiri –kayaknya itu bukan narasi Alkitab. Narasi Alkitab mengatakan, ditinggikan adalah supaya bangsa-bangsa berduyun-duyun ke sana. Bukan untuk menikmati kebesaran sendiri, apalagi memamerkannya secara narsis, tapi untuk menjadi berkat bagi bangsa-bangsa.
Saudara dan saya hadir di dalam dunia, adalah supaya kita bisa menjadi berkat bagi orang-orang lain –orang-orang suku lain dan bangsa lain, orang-orang yang hobinya lain, kebiasannya lain, latar belakangnya lain, stautus sosialnya lain, tingkat pendidikannya lain, dan semuanya lain. Itulah panggilan Gereja. Gereja yang homogen, itu Gereja yang kurang diberkati Tuhan. Gereja, kalau isinya cuma orang yang kira-kira mirip, sampai-sampai bisa diprofil, itu gereja yang gagal sebetulnya. “O, gereja ini kira-kira tingkat sosialnya antara segini-segini; O, gereja itu gereja yang jemaatnya paling sedikit IQ-nya 120, yang dibawa 120 ‘gak ke gereja itu” –yang seperti itu gereja gagal sebetulnya. Itu bukan gereja yang menjadi berkat bagi bangsa-bangsa. Itu gereja eksklusif namanya; dan istilah ‘gereja eksklusif’ itu oksimoron (kata-kata yang menjadi bagiannya saling bertentangan), karena gereja tidak boleh eksklusif, dan eksklusif bukanlah gereja. Mana ada sih gereja eksklusif, karena kalau eksklusif berarti itu bukan gereja; ‘Gereja’ dan ‘eksklusif’ adalah dua kata yang ‘gak nyambung. Perhatikan visi ini, visi menjadi berkat bagi bangsa-bangsa. Seperti Abraham dipanggil untuk menjadi berkat bagi bangsa-bangsa, di bagian ini dikatakan ‘bangsa-bangsa akan berduyun-duyun ke sana’.
Dalam pelayanan di Eropa, saya mengingatkan kepada jemaat di sana, bahwa kita memang gereja imigran, gereja Indonesia, dan kita nyaman berbicara bahasa Indonesia satu dengan yang lain, tetapi kita sedang ada di tanah asing; dan Alkitab mengatakan, kita musti menjadi berkat bagi bangsa-bangsa. Tapi, mengatakan kalimat seperti ini, bahkan di kalangan hamba Tuhan pun, tidak semua bisa mengerti prinsipnya. Ada yang pikir gereja GRII di luar negeri musti mempertahankan ke-indonesia-an, tapi bagi saya, mempertahankan ke-Indonesia-an itu panggilannya KBRI, panggilannya konsulat, sedangkan panggilannya Gereja adalah memberitakan Injil kepada segala bangsa. Bukan berarti saya tidak ada nasionalisme, tapi kalau Saudara membawa sphere Gereja jadi KBRI, itu bermasalah; seperti juga Saudara menjadikan Gereja kayak pasar, tentu keliru –dan pasar juga bukan gereja, sekolah bukan firma/tempat bisnis, bisnis bukan gereja. Ini semua kalau kacau sphere-nya, ya, jadi kacau. Tapi mungkin orang pikir seperti ini: ‘waktu bangsa Yahudi tinggal di luar negerinya, di mana pun mereka berada, tradisinya dan keyahudiannya tidak pernah pudar karena mereka begitu mencintai akar mereka, jadi bukannya kita orang Indonesia harusnya juga begitu, mencintai akar kita’. Saudara, akar kita sebetulnya apa? Bagaimana Saudara menempatkan identitas Saudara? Saudara lebih melihat keindonesiaan atau kesukuan kita, atau bahwa kita adalah umat pilihan Tuhan yang juga mendapatkan cerita panggilan kita di dalam cerita panggilan Abraham? Abraham sendiri kira-kira melihat dirinya sebagai apa, di dalam catatan Alkitab? Apakah Abraham lebih melihat dirinya sebagai orang Ur –yang adalah akarnya– atau dia melihat identitasnya sebagai orang yang dipilih oleh Allah? Kadang-kadang kita bisa confused waktu bicara identitas; kita mengedepankan sesuatu yang menurut narasi Kerajaan Allah sebetulnya tidak terlalu penting. Bukan berarti kita kehilangan hal tersebut, seperti juga saya sampai sekarang masih bicara dengan logat Jawa Timur yang sepertinya akan terus begitu, tetapi identitas kita terutama bukan itu. Penaruhan identitas kita bukan di situ. Kalau kita salah mengerti identitas, akhirnya kita salah mengerti juga akan panggilan kita, akhirnya kita mengedepankan sesuatu yang tidak perlu, kita menjaga yang tidak harus dijaga. Bangsa Israel pun jatuh dalam hal ini. Waktu mereka rasa mereka adalah bangsa pilihan, mereka menganggap keunikan tersebutlah yang terpenting –apalagi didukung oleh ayat Alkitab yang mengatakan ‘bangsa-bangsa akan berduyun-duyun ke sana’.
Dalam hal progressive revelation memang Perjanjian Lama tidak sejelas Perjanjian Baru; dalam Perjanjian Baru terlihat jelas sekali pergerakannya. Kalau dalam dunia Fisika, ada gerakan sentripetal dan ada sentrifugal; sentripetal yang gerakannya ke dalam, sentrifugal gerakan ke luar. Dalam hal ini, kalau Saudara melihat bahasa Perjanjian Lama, gerakannya seperti sentripetal, ke dalam, ‘bangsa-bangsa akan berduyun-duyun ke Yerusalem’; tapi kalau Saudara melihat Perjanjian Baru, dalam Pentakosta rasul-rasul diutus ke luar, gerakannya sentrifugal, bukan sentripetal –dan ini sangat penting untuk pola Alkitab. Namun orang Yahudi tidak bisa keluar dari pola sentripetal, bahkan sampai sekarang –itu sebabnya ada Zionisme. Itu sebabnya bangsa Yahudi di mana pun mereka berada, mereka mempertahankan keyahudiannya –kecuali Yahudi liberal mungkin– ‘kalau orang mau belajar, ya, lu yang masuk ke sini, silakan belajar ke sini, bukan saya yang menerjemahkan pesannya ke sana, kamu yang masuk ke sini.’ Tetapi Kekristenan mengatakan, Logos itu inkarnasi, dan ini artinya terjadi pengutusan. Allah Tritunggal bukan teriak-teriak dari langit, “Hei, orang berdosa di bawah sana, siapa mau masuk surga lompatlah ke sini, Saya tunggu di sini” –bukan begitu. Tritunggal itu mengutus; mengutus Anak, mengutus Roh Kudus –gerakannya ke luar. Logos itu turun, bukan menanti orang masuk ke sana, bukan bilang, “Barangsiapa mau mengenal Allah Tritunggal, silakan belajar bahasa surga!”. Tidak demikian. Alkitab itu diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa –inilah Kekristenan.
Lalu bagaimana dengan kehadiran kita di tengah-tengah dunia ini? Bagaimana dengan kehadiran Gereja Reformed Injili di manapun, bukan cuma yang di luar negeri tapi juga yang di sini? ‘Kalau mau belajar teologi Reformed datanglah ke dalam, belajarlah dari padaku, karena kita ini agen tunggal … dst., dst.’ —ini tidak cocok dengan teologi Inkarnasi. Sama sekali tidak cocok! Kalau kita mengerti teologi Inkarnasi, kalau kita menghayati dan menghidupi teologi Inkarnasi, gerakannya adalah selalu ke luar. Saudara baca cerita Pentakosta, gerakannya ke luar, bukan cuma diem-dieman di Yerusalem. Memang ada yang tetap tinggal di Yerusalem, tapi sebagian besar diserakkan oleh Tuhan ke luar. Kenapa? Karena untuk mencapai bangsa-bangsa; dan bangsa-bangsa berada di luar sana. Itu sebabnya bisa ada zending. Kalau tidak ada ayat-ayat seperti cerita Pentakosta ini, ya, mungkin tidak ada orang yang mau ke Indonesia 300-400 tahun lalu, karena siapa sih yang mau memberitakan Injil di negara yang ketika itu masih sangat tidak berkembang. Kenapa misonaris-misionaris itu tidak tinggal di tempat mereka saja, yang mereka berkecukupan dalam kehidupan di sana, dan gerejanya pun berkembang? Robert Morrison, kalau saya tidak salah ingat ceritanya,waktu dia mau pergi ke China, dia sudah diberitahu oleh teman-temannya, “Aduh, kenapa kamu tidak melayani di sini sajalah, gereja kita ini maju lho, gereja kita berkembang, kamu bisa melayani banyak orang di sini, untuk apa kamu pergi ke China? Apa kamu pikir, kamu akan mengguncangkan The Great Chinese Empire yang sudah ratusan bahkan ribuan tahun??” Robert Morrison lalu bilang, “O, tidak. Saya tidak berharap saya mengguncangkan Chinese Empire, tapi saya berharap Tuhan akan mengguncangkan mereka”; ini bukan tentang Robert Morrison, bukan tentang misionarisnya, tapi tentang pekerjaan Tuhan sebetulnya. Misionarisnya tidak terlalu penting, bisa siapa saja, kalau bukan Robert Morrison, ya, Hudson Taylor, atau siapa saja. Saudara lihat sejarah Gereja, ada orang-orang yang pergi, ada orang-orang yang diutus, ada orang-orang yang meninggalkan comfort zone mereka.
Salah satu cerita yang saya sangat tergerak, yaitu tentang dua orang pemuda Jerman. Mereka mendengar cerita bahwa ada satu pulau yang di sana ribuan budak-budak dipekerjakan; dan si pemilik pulau itu sesumbar, atau semacam bernazar, mengatakan, “Di pulau ini tidak boleh ada nama Yesus diberitakan”. Mendengar cerita itu, dua pemuda tadi memutuskan untuk bisa masuk ke pulau tersebut memberitakan Injil. Tapi caranya bagaimana, bukankah ini berarti musti menghadapi sang big boss tadi? Jawabannya, tidak ada cara lain kecuali menjadikan diri mereka budak; dengan menjadi budak, dan berada bersama-sama dengan budak-budak itu, baru bisa ada penginjilan –penginjilan sesama budak. Waktu mereka pergi meninggalkan pelabuhan di Hamburg, itu perpisahan yang luar biasa sedihnya, karena tidak jelas sama sekali nasib mereka akan bagaimana. Ini bukan ke luar negeri untuk studi yang akan kemudian balik lagi, ini menjual diri menjadi budak di suatu pulau di luar negeri yang mungkin akan mati sebagai budak juga. Dalam perpisahan yang amat mencekam itu, semua orang menangis, tahu bahwa mungkin tidak akan bertemu lagi dengan dua pemuda ini, dan kapal pun mulai menjauh dari pelabuhan kota Hamburg. Konon lalu terdengar teriakan yang kemudian menjadi slogan orang Moravia, dua pemuda ini mengatakan, “May The Lamb of God that was slain, receive the rewards of His suffering” –biarlah Anak Domba yang disembelih itu, Dia menerima upah dari penderitaan-Nya.
Dia layak menerima upah dari penderitaan-Nya; dan penderitaan/pengorbanan manusia, apa sih bandingannya dengan pengorbanan Kristus?? Tidak terbandingkan sama sekali. Saudara mau berkorban apa yang terlalu besar untuk Tuhan, yang akan melampaui korban Yesus Kristus? Minyak narwastu atau apa? Tidak ada. Inilah orang-orang yang mengerti cinta kasih Tuhan –dan mereka pergi ke bangsa-bangsa. Mereka meninggalkan tempat tinggal mereka yang nyaman itu, Hamburg yang sudah sangat maju waktu itu, lalu pergi ke suatu pulau yang ‘gak jelas, dan jadi budak pula. Ini bukan upgrading of life, ini turun –seperti Kristus yang juga turun. Itulah orang-orang yang mengerti narasi inkarnasi, dan bukan cuma setuju pada Yesus yang berinkarnasi. Setuju itu satu hal; Kekristenan yang tidak berbuah yaitu Kekristenan yang cuma main centang (ü). “Allah Tritunggal: tiga pribadi satu esensi; setuju?” Setuju (ü). “Kristologi: Kristus dua natur, bukan tiga, bukan satu; pribadinya satu, naturnya dua; setuju?” Setuju (ü). Kekristenan centang doang, tapi kemudian apa?? Tidak tertarik dengan narasi-narasi tersebut, kehidupan yang totally disintegrate dengan apa yang dicentang tadi, ‘gak nyambung sama sekali dengan cerita inkarnasi, gak nyambung sama sekali dengan cerita Tritunggal yang mengutus Anak-Nya ke dalam dunia. Semuanya itu tidak ada, yang ada adalah gambaran menanti dan menanti, ‘kalau mau belajar teologi Reformed, ya, datanglah ke sini, kita ini mengajarkan teologi Reformed yang paling ketat’ –tapi kita sendiri tidak pernah keluar, tidak ada gerakan yang ke luar.
Sekali lagi, orang Yahudi bisa salah mengerti waktu membaca bagian ini karena mereka baca ‘bangsa-bangsa berduyun-duyun ke sana’, tapi waktu Saudara baca ayat-ayat berikutnya, sebetulnya sudah ada semacam petunjuk meskipun secara progressive revelation memang belum terlalu jelas. Misalnya di ayat 2, dikatakan: “dari Sion akan keluar pengajaran, dan firman TUHAN dari Yerusalem.” Betul bahwa dari Yerusalem dan dari Sion, tetapi ‘keluar’; dan kita tahu ini digenapi di dalam kehidupan Yesus Kristus, yang kepada-Nya bangsa-bangsa itu datang –tetapi ada yang keluar memberitakan Injil di sana.
Ayat 2 ini ada satu hal yang kita juga bisa soroti; dikatakan, waktu bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa naik ke gunung Tuhan, ke rumah Allah Yakub, mereka akan diajar oleh Tuhan. Diajar apa? Diajar tentang jalan-jalan-Nya, supaya mereka berjalan menempuhnya. Saudara, Kekristenan itu adalah jalan, bukan beautiful idea. Yesus mengatakan, “Akulah jalan”; Yesus bukan bilang, “I am the beautiful idea”. Mana ada ayat bilang, “I’m the beautiful idea, worthy of contemplation”?? Yang ada adalah, “I am the way”; dan ‘the way’ berarti berjalan di dalam Kristus, Kekristenan itu jalan. Saudara baca dalam Kisah Para Rasul, orang-orang yang mengikut Kristus disebut sebagai orang yang berjalan di dalam Jalan Tuhan. Dan di bagian ini bicara tentang jalan, sampai diulang dua kali, “supaya Ia mengajar kita tentang jalan-jalan-Nya dan supaya kita berjalan menempuhnya”. Orang yang tidak berjalan di dalam Kristus, itu bukan pengikut Kristus. Orang yang urusannya cuma ‘Kristologi dua natur (ü), Allah Tritunggal (ü)’ itu apa?? Itu orang-orang yang mungkin akhirnya akan binasa, karena tidak berjalan di dalam Kristus, karena tidak tertarik dengan jalan yang namanya Kristus. Mereka pikir Kekristenan itu murahan.
Saya bukan mengatakan ‘Saudara diselamatkan karena kesempurnaan Saudara berjalan’, bukan itu. Saudara diselamatkan karena korban Kristus. Dan, orang yang diselamatkan oleh korban Kristus yang sempurna itu, dia berjalan di dalam Kristus; yang tidak berjalan di dalam Kristus, dia sebetulnya tidak tahu apa-apa tentang korban Kristus. Mereka cuma ngomong tok. Mereka tidak diubahkan hidupnya. Mereka tidak melihat Kekristenan sebagai way of life; lalu doktrin-doktrin itu semuanya cuma mengawang-awang di atas. Bicara Tritunggal, bicara Kristologi, dsb., cuma untuk debat di medsos, tapi bukan sebagai jalan yang dijalani. ‘Tidak pedulilah mau cerita Yesus seperti apa, pokoknya saya jalan dengan ideologi saya, saya jalan dengan yang saya percaya, mau Kapitalisme-lah, mau Neo-Marxisme-lah, atau apapun, pokoknya saya pilih sendiri, yang penting ‘kan sudah centang tadi; saya sudah subscribe ke Westminster, apa lagi? Heidelberg? O, ya, setuju; apa lagi? Belgic Confession? Oke. Second Helvetic? Setuju. Pengakuan Iman Rasuli? Apa lagi yang itu, saya setiap Minggu ngomong itu’ –kekristenan centang, kekristenan ala subscription. Centang, centang, dan centang, tapi apa artinya??
Sekali lagi, ayat 2 mengatakan, “Mari, kita naik ke gunung TUHAN, ke rumah Allah Yakub, supaya Ia mengajar kita tentang jalan-jalan-Nya dan supaya kita berjalan menempuhnya; sebab dari Sion akan keluar pengajaran, dan firman TUHAN dari Yerusalem.” Menarik bahwa di sini bicara tentang jalan terlebih dulu, baru kemudian bicara pengajaran yang keluar dari Sion. Ini seperti agak kebalik; sebetulnya kayaknya lebih mulus kalau kita bilang, “Dari Sion akan keluar pengajaran dan firman TUHAN dari Yerusalem, maka setelah orang mengerti pengajaran itu, biarlah dia berjalan di jalan … ”. Tapi kenapa di sini membicarakan ‘jalan’ lebih dulu, baru membicarakan ‘keluar pengajaran dan firman Tuhan’? Kenapa seperti agak terbalik? Inilah orang yang memutlakkan pendekatan Kekristenan harus selalu dari ‘knowing’ dulu; bahkan ini model yang seringkali dipakai di dalam Kekristenan –knowing, being, doing— tahu dulu, nanti baru masuk ke dalam hati, baru nanti mengalir dalam perbuatan. Pertanyaannya, kapan mengalirnya?? –maaf agak sinis. Lalu akhirnya, tahu-nya segudang, seperti ensiklopedia, lalu yang jadi being menciut tinggal 40%, dan yang jadi doing sudah tinggal seupil, tidak ada sisanya lagi di dalam doing. Inilah model highly intelectual Christianity, yang selalu mulai dengan knowing. Saya bukan mengatakan knowing tidak ada tempatnya –sejujurnya memang ada tempatnya– tapi kalau Saudara memutlakkan hal ini, Saudara akan masuk ke dalam kecelakaan, dan akhirnya kita belajar, belajar, dan belajar doktrin, belajar PA, belajar teologi yang presisi, dsb., tapi tidak menjalaninya juga –‘O, yang penting knowing dulu ‘kan’. Saudara, Alkitab tidak pakai ‘knowing’ dalam pengertian itu! Saudara tahu istilah ‘knowing’ yang dipakai Alkitab itu apa? Dikatakan, ‘Adam bersetubuh dengan Hawa’ –dan itu yang namanya knowing. Adam mengenal istrinya, itu namanya bersetubuh; keintiman itu namanya knowing. Bukan maksudnya knowing berarti ada nuansa seksual; yang mau ditekankan dalam aspek knowing di dalam Alkitab adalah keintiman ini, very intimate, itu baru disebut knowing. Saudara mengenal Kristus itu seperti apa? Bukan dengan model centang tadi!
Satu contoh aplikasi sederhana saja, yaitu dengan Saudara menjadi pendoa syafaat. Kristus itu pendoa syafaat, maka dengan Saudara dan saya berdoa syafaat, artinya kita mengenal Kristus, seperti Kristus, dipersekutukan dengan Kristus Sang Pendoa Syafaat yang Agung itu. Ini bukan mengenal dengan ‘O, saya tahu Yesus pendoa syafaat, saya tahu ayatnya di Surat Ibrani ‘kan’, lalu Saudara pikir Saudara knowing Christ?? Itu bukan knowing Christ; meminjam istilahnya Packer, itu merely knowing about Christ. You merely may know something about God, tapi bukan knowing God. Karena apa? Karena tidak ada pengalamannya, tidak ada jalannya, tidak ada berjalannya; yang ada cuma teori-teori tentang Kristus, tentang doktrin Allah, tentang Alkitab –teori, teori, teori. Allah itu merciful, maka being merciful seperti Allah, itulah yang namanya knowing God, mengenal Allah. Bukan sekadar tahu, ‘O, ya, saya tahu Allah yang di dalam Alkitab itu merciful’, tapi sendirinya tidak merciful, tidak ada compassion, tidak peduli terhadap orang lain, tidak peduli terhadap penderitaan, tidak ada keluasan hati –dan tetap saja bicara doktrin Allah, “Saudara-saudara, Allah itu salah satu atributnya adalah merciful”. Kekristenan kayak begini, apa sih sebenarnya?? Bicara tentang Tritunggal, salah satu ayatnya adalah Roma 11, “Segala sesuatu dari Dia, oleh Dia, dan kembali kepada Dia”, gerakan Trinitatis, tapi apa betul dalam kehidupan Saudara mengakui segala sesuatu dari Dia? Atau dari tanganmu sendiri? Atau dari usaha kerasmu? Betulkah kita bisa bilang bahwa yang menggerakkan adalah Kristus, oleh Kristus, dan bahwa Roh Kudus memberi segala kemuliaan kembali kepada Bapa? Atau siapa yang dimuliakan di sini sebetulnya?? Jangan bilang doktrin Allah Tritunggal kalau tidak ada gerakan Trinitatis ini; bagi saya, kalau seperti itu, itu teologi badut, teologi yang tidak ada ‘jalan’-nya, teologi yang tidak membawa kepada Kristus, teologi yang cuma teori doang. Saya bukan mengajarkan prefeksionisme; kita ini orang berdosa, kita penuh kelemahan dan kita perlu pengampunan Tuhan –itu betul sekali– tetapi arah ke sananya harus jelas. Saudara dan saya boleh saja tidak sempurna, dan kita memang tidak sempurna, tapi pertobatan menuju arah yang ke sana itu harus nyata; kalau jalannya ke arah lain, itu menuju kebinasaan namanya. Itu orang yang belum pernah mengalami pertobatan, belum –bahkan tidak– mengenal Allah Tritunggal, maka jalannya ke arah yang lain. Kalau Saudara jalan ke arah yang benar, waktu berjalan mungkin Saudara bisa jatuh, lalu perlu pertolongan, perlu pengampunan –tapi jalan ke arah yang benar. Sedangkan waktu berjalan ke arah yang lain, itu sama sekali gerakan yang lain. Itu bukan gerakan Trinitatis, tapi gerakan yang lain.
Sekali lagi, kita berurusan dengan Kitab Suci, yang memberitakan tentang ‘jalan’ –jalan. Kembali ke pertanyaan tadi, kenapa disebutkan tentang ‘jalan’ lebih dulu lalu baru pengajaran? Karena orang yang mau diajar, itu perlu sikap hati untuk mau menjalaninya. Dalam “Question and Answer”, ada orang yang waktu tanya, saya merasa dia tanya bukan untuk mendapatkan jawaban tapi tanya untuk bagaimana caranya dia jadi tidak usah menaati Firman Tuhan. Kacau, orang yang tanya kayak begini; tanya satu kalimat, yang dia tahu bisa dijawab “tidak”, lalu kalau begitu ‘ya, sudah, berarti saya tidak harus’. Kalau tanya kayak begitu, untuk apa tanya?? Cuma sekadar bicara bahwa ‘bagian Firman Tuhan yang ini bukan untuk saya ‘kan ya; ini ‘kan bukan preskriptif ya, ini ‘kan cuma deskriptif, bukan sesuatu yang mutlak untuk semua orang Kristen ‘kan ya, oke kalau begitu, good’. Untuk apa tanya kayak begini, mau ke mana sebetulnya? Dia tanya bukan untuk mau menjalaninya, tapi justru untuk menghindarinya. Alangkah menakutkannya kalau teologi dipakai/dikemas untuk men-justify ketidaktaatan kita, keengganan kita berjalan di dalam jalan Tuhan; kita pakai jargon teologi, dan pada akhirnya kita tidak kelihatan berdosa.
Kekristenan itu bicara tentang jalan. Yesus menyebut diri-Nya “jalan”, Dia adalah jalan; dan, ‘jalan’ berarti seumur hidup. Yesus memang di bagian lain menjelaskan diri-Nya ‘pintu’, tapi Yesus bukan cuma pintu, Dia adalah juga jalan. Saudara bisa membedakan pintu dan jalan? Pintu itu sekali dibuka, masuk, selesai. Berkenaan dengan pembenaran (justification), kita bisa mengatakan Yesus adalah pintu, Saudara terima Dia dan Saudara completely and perfectly justified. Tapi Yesus adalah jalan juga; dan yang namanya jalan, itu bukan cuma 2 cm. Saya pernah pergi ke satu tempat, katanya itu sungai terpendek di seluruh dunia; dan memang benar-benar pendek. Di sebelah sini keluar sumber airnya, lalu beberapa meter kemudian sudah laut; baru keluar mata airnya, lalu sudah laut, benar-benar pendek. Mungkin juga ada jalan terpendek, bahkan saya juga pernah naik eskalator yang pendek sekali, baru naik, sudah sampai. Saudara, yang namanya ‘jalan’ berarti ada proses, bukan sekali melangkah langsung sudah sampai tujuan, karena kalau seperti itu bukan ‘jalan’ gambarannya. Jalan, berarti seumur hidup Saudara dan saya berjalan di dalam Kristus. Kristus adalah Sang Jalan, The Way.
Kembali lagi, dikatakan, ‘supaya Ia mengajar kita tentang jalan-jalan-Nya dan supaya kita berjalan menempuhnya’. Ada tafsiran mengatakan waktu Mikha menulis bagian ini, ada semacam teguran untuk Israel, karena Israel pada saat itu tidak sedang berjalan di dalam jalan Tuhan –‘nanti ya, bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah itu akan datang, mereka akan diajar oleh Tuhan, Allah, kita, dan mereka akan berjalan di dalam jalan yang diajarkan oleh Tuhan’. Israel harusnya malu, bangsa pilihan itu sendiri tidak menjalani jalan Tuhan tapi bangsa-bangsa asing yang tidak mengenal Allah justru akan mengenal Allah dengan menjalani jalan Tuhan. Di sini harusnya rendah hati. Doktrin Pilihan harusnya membuat kita rendah hati, bukan jadi merasa eksklusif-lah, unik-lah, lain daripada yang lain, superior, dsb.; yang seperti itu penghayatan yang luar biasa ngawur terhadap Doktrin Pilihan, lebih mirip teologi narsisisme daripada Doktrin Pilihan. Dan memang Israel pun jatuh ke dalam model narsisisme kayak begitu, merasa yang dipilih-lah, dsb., yang akhirnya jadi dibuang oleh Tuhan, akhirnya Tuhan pergi kep[ada bangsa-bangsa lain. Hati-hati dengan penghayatan teologi yang keliru. Hati-hati dengan perenungan Firman Tuhan yang keliru. Hati-hati dengan ‘tidak menjalani’ apa yang kita percaya. Hati-hati dengan Kekristenan model centang tadi. Hati-hati. Orang bisa pikir dia sudah aman, dia diselamatkan, tapi pada akhirnya binasa. Karena apa? Karena dia tidak pernah tertarik untuk menjalaninya. Buat dia, it’s OK kehidupan yang fully disintegrated, pokoknya saya centang toh, saya subscribe –‘Kekristenan berlangganan’ namanya. Tapi bukan Kekristenan yang berjalan di dalam jalan Tuhan.
Saudara, kita tahu bahwa nubuatan Mikha digenapkan dalam kehidupan Yesus Kristus dan Pentakosta. Tadi kita mengatakan, dalam Perjanjian Baru lebih jelas, gerakannya gerakan ke luar. Dalam Pentakosta, rasul-rasul diutus oleh Tuhan sendiri (‘rasul’ artinya yang diutus), diutus keluar Yerusalem untuk mencapai bangsa-bangsa lain. Bagaimana dengan Saudara dan saya? Baik Saudara pergi ke bangsa lain atau tidak pergi ke bangsa lain, gerakannya tetap sama; gerakannya bukan menanti dengan sombongnya di dalam, ‘marilah datang ke sini kalau mau belajar teologi Reformed, di GRII’ misalnya. Yang seperti itu kayaknya Yahudi, bukan Kristen; yang Kristen itu keluar, seperti rasul-rasul keluar. Saudara juga bisa ke luar koq, dalam kehidupan Saudara. Ada banyak hal yang kita rasa nyaman dalam kehidupan kita, yang kita rasa ‘inilah comfort zone saya; kalau orang mau belajar Kekristenan, kalau orang mau mendengar Injil, silakan datang ke dalam kehidupan saya; saya hospitable lho, saya buka rumah saya’. Memang itu satu hal, dan adalah positif kalau Saudara bisa membuka rumah, tapi Alkitab mengajarkan untuk kita juga mendatangi rumah orang lain. Inilah namanya gerakan yang ke luar, bukan gerakan yang menarik ke dalam, bukan gerakan yang pasif dan tidak dinamis. Lihatlah Pentakosta. Dari sini, barulah kita mengaitkan dengan damai (peace). Ada tafsiran mengatakan: “The effect of this reception of true religion shall be universal peace.”
Saya teringat perkataan Henry Drummond, the final test of true religion, bukanlah religiusitas, bukan keagamaan, bukan ritual-rutual keagamaan; the final test of true religion adalah cinta (love). Indah ya; ketika itu dia sedang membahas 1 Korintus 13. Sekarang saya modifikasi sedikit, the test of true religion adalah damai (peace). Waktu true religion hadir, waktu Injil sejati hadir, karena ini Kerajaan Allah, maka ada shalom yang tersebar. Saudara lihat di dalam komunitas, termasuk komunitas Gereja, kalau yang ada cuma konflik, itu berarti orang tidak mengenal Allah! Itu berarti orang tidak tertarik dengan pengenalan akan Allah, karena pengenalan akan Allah yang sejati, itu membawa damai. Orang waktu berjalan di dalam jalan Tuhan –karena pengenalan akan Allah berarti mengetahui kehendak-Nya dan berjalan di jalan-Nya –maka implikasinya atau efeknya adalah damai.
Tadi saya bilang, menakutkan kalau teologi dipakai untuk menjustifikasi kelemahan manusia; dan lucu sekali sekarang ini Patriarkh Kirill (Russian Orthodox Church) bilang, perang yang terjadi adalah untuk preserving true religion (kalimat saya ini tidak persis sama, tapi intinya sama). True religion di-preserve pakai cara perang?? Mana ada dukungan Alkitabnya. Omong kosong kalimat itu. Ini pemimpin gereja yang tidak berani menegur dosa, yang terlalu dekat dengan political power. Hati-hati. Gereja, kalau sudah mulai kehilangan prophetic ministry, mulai takut pada orang kaya, mulai takut pada pejabat-pejabat, mulai takut pada orang-orang yang dianggap bersumbangsih terhadap gereja, lalu tidak ada lagi kalimat teguran, yang ada kalimat jilat-menjilat, ya sudah, itu gereja sudah boleh tutup. Gereja yang mulai memandang muka, ya sudah, boleh ada boleh tidak ada, sudah tidak ada pengharapannya. Tidak ada persekutuannya lagi dengan Kristus. Sudah selesai.Mengapa? Karena Kristus adalah True Prophet, True King, dan True Priest –threefold office of Christ. Orang yang bersekutu dengan Kristus, dia ada prophetic ministry di dalam kehidupannya –karena dia bersekutu dengan Kristus, The True Prophet. Maksudnya apa? Sederhana saja, berani menegur dosa. Lihatlah nabi-nabi dalam Perjanjian Lama, mereka pekerjaannya apa sih yang terutama? Betul khotbah mereka bisa menguatkan, betul ada saat-saat di mana mereka membalut, tapi karena mereka berurusan dengan orang berdosa dan mereka sendiri adalah orang berdosa, maka yang paling perlu diperdengarkan harusnya adalah teguran akan dosa, memangnya apa lagi?? Kalau teguran akan dosa sudah boleh berhenti, cuma ada 2 kemungkinan: sudah kehilangan prophetic ministry atau semua orang sudah sempurna sementara masih di bumi. Tapi apa masuk akal semua orang sudah sempurna sementara masih di bumi?? Kalau kita masih di bumi, berarti masih perlu bagian ini.
Gereja Orthodox tadi teologinya ortodoks, namanya ‘ortodoks’ seolah-olah yang lain dianggap tidak ortodoks, dsb., tapi di mana Alkitab pernah bilang preserving true religion pakai kekuatan militer?? Yang ada, di dalam Mikha 4, orang yang mengenal Tuhan, yang akan terjadi adalah: mereka yang tadinya konflik, tadinya perang, akan menempa menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak, dan tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas (ayat 3). Saudara lihat perubahannya, dari konflik menjadi damai. Ini bisa terjadi secara makro, dalam arti bangsa-bangsa, bisa terjadi secara mikro, mungkin keluarga, suami-isteri, anak-orangtua, menantu-mertua, dsb. Waktu kehidupan ini dipenuhi konflik, Alkitab bicara sederhana sekali, itu berarti ada penolakan pengenalan akan Allah. Sesederhana itu. Kekristenan itu sederhana, yang rumit adalah hati Saudara dan saya. Alkitab itu simpel, yang rumit adalah kita. Kenapa terjadi konflik, kenapa tidak ada damai, kenapa tidak mau rekonsiliasi? Ya, karena tidak mau mengenal Allah —itu saja; karena teologi ‘centang’ tadi. Ketika saya di Jerman, pernah di gereja ada kelompok orang yang bertikai dan susah mengampuni, tapi waktu hari Minggu ada Perjamuan Kudus, dua-duanya maju. Ini apa, ya? Ya, teologi ‘centang’ itu tadi. Sambil ikut Perjamuan Kudus, sambil mengkhianati cerita Perjamuan Kudus! Bagaimana bisa hidup dalam skizofrenia religius seperti ini??
Saudara perhatikan bagian dalam Mikha ini, orang waktu mengenal Allah, dia akan menghadirkan damai, rekonsiliasi. Di dalam tafsiran ada dikatakan ‘kita tidak lagi tertarik belajar the art of war’. Ada penulis ‘the art of war’; hidup di dalam dunia perlu belajar the art of war, ‘karena sesamaku adalah musuh maka saya musti punya strategi, kalau tidak, saya di-bully, saya tidak mau di-bully; saya musti tahu strategi bagaimana bermainnya, hidup ini adalah main catur’ —melelahkan sekali hidup kayak begini. Mendingan belajar the art of peace, tapi kayaknya ‘gak ada buku ‘the art of peace’, ‘gak laku. The art of peace, seni berdamai, seni rekonsilisi, termasuk rekonsilisi dengan diri sendiri, dengan Tuhan, dengan sesama, dengan ciptaan yang lebih rendah; rekonsiliasi dengan masa lampau, rekonsilisi dengan masa depan, ada pengharapan.
Waktu seseorang menjadikan Kristus Raja di dalam kehidupannya, maka dia akan menghadirkan shalom. Dunia ini tidak akan ada damai yang sejati kecuali Injil terus diberitakan. Bisa saja ada pertemuan G-20, atau G berapapun, silakan saja, tapi sejauh bukan Injil yang mengubah, maka yang ada adalah external peace. External peace juga mungkin ada tempatnya, tapi yang kelihatan seperti berdamai sebenarnya adalah karena belum punya senjata, begitu didrop senjata, langsung ada perang. Dari dulu sudah ada konflik di dalam hati, tinggal tunggu senjata di drop saja; sebelum ada senjata tentu tidak bisa perang, pasti kalah, tapi begitu ada senjata, ‘inilah yang kita mau dari dulu’ Inilah hati manusia. Tidak mungkin ada true peace, kecuali Kristus menguasai. Bahkan dalam kehidupan mikro pun –keluarga, suami-isteri, anak-orangtua, menantu-mertua– tidak mungkin ada true peace kecuali Saudara mengenal Allah yang sejati di dalam Kristus.
Ayat 3 tadi bicara tentang tombak, pedang, yang adalah alat-alat perang, yang diubah menjadi mata bajak, menjadi pisau pemangkas, maka kemudian di ayat 4 disebut tentang pohon anggur, pohon ara. Ini gambaran apa? Gambaran damai; bahwa Kerajaan Allah, waktu hadir akan memberikan efek damai. Ada keamanan yang sejati, ada true prosperity, ada sikap yang bersyukur, merasa puas living in God’s peaceable kingdom –dan bukan di dalam cerita damai secara polotik.
Terakhir, ayat 5: “Biarpun segala bangsa berjalan masing-masing demi nama allahnya, tetapi kita akan berjalan demi nama TUHAN Allah kita untuk selamanya dan seterusnya.”Kalau Saudara perhatikan, ayat 5 ini seperti balik lagi; ayat 1-4 sudah bicara pengharapan yang bagus, pandangan yang menyenangkan, tiba-tiba diakhiri dengan kalimat ayat 5 tadi, seakan-akan koq balik ke situ lagi, padahal tadi katanya bangsa-bangsa berduyun-duyun ke gunung Tuhan, jadi maksudnya bagimana? Jadi seperti kontradiksi lagi di ayat 5? Bukan demikian, Saudara. Ayat 5 ini artinya Mikha kembali ke realitas yang ada saat ini (present reality); dan melihat realitas yang fallen ini penting. Janji Tuhan itu satu hal, janji eskatologis yang akan dihadirkan Tuhan itu pasti akan terjadi, tapi kita melihat realitasnya belum seperti itu; dan ini menyelamatkan kita dari ‘mimpi di siang bolong’. Kekristenan bukanlah utopia mimpi di siang bolong; bukan orang yang mimpi-mimpi Kerajaan Tuhan, dsb., kemudian melarikan diri dari realitas yang berdosa. Mikha tidak begitu. Mikah bisa bicara tentang pengharapan yang tinggi sekali, bahkan nyaris utopia, tapi kemudian dia mengajak kita untuk kembali kepada realitas –yang memang menyakitkan– bahwa segala bangsa masing-masing berjalan demi nama allahnya, belum mengenal Tuhan (ayat 5a). Inilah tantangan bagi Saudara dan saya
Di ayat 5b kemudian dikatakan, “… tetapi kita akan berjalan demi nama TUHAN Allah kita untuk selamanya dan seterusnya.” Bagian terakhir ini, Saudara jangan baca secara salah sebagai religious superiority, kesombongan rohani, self righteous. Bukan itu maksudnya. Ini bukan bermaksud mengatakan, “Semua orang menyembah berhala, tetapi saya tidak, gereja saya tetap setia” –bukan itu maksudnya. Sebagaimana tadi kita bilang, di sini Mikha kembali ke realitas saat ini, bahwa memang kita masih berada di dunia yang jatuh, yang perlu diratapi ini, yang perlu diberitakan Injil, namun penghiburannya adalah bahwa kita akan berjalan demi nama TUHAN Allah kita. Di tengah-tengah dunia yang menyembah berhala, Tuhan menyisakan orang-orang pilihan, jumlahnya tidak banyak, bahkan betul-betul sedikit, tetapi orang-orang ini adalah penghiburan bagi orang-orang yang setia. Jangan terlalu kecil hati waktu Saudara menyaksikan kejatuhan di dalam dunia ini, waktu Saudara menyaksikan koq kayak begini yang namanya gereja, yang hidup di dalamnya Kapitalisme, Neo-Marxisme, ideologi-ideologi dunia —inikah namanya komunitas Kristen?? Jangan terlalu kecil hati, karena Tuhan menyisakan faithful remnant, ada orang-orang yang disisakan oleh Tuhan untuk tetap setia, tetap beribadah kepada Tuhan. Ada; bukan tidak ada. Saudara bukan sendirian. Jangan ge-er seperti Elia, merasa diri satu-satunya yang beribadah kepada Tuhan sedangkan yang lain Kristen ecek-ecek. Jangan demikian. Saudara tidak sendirian, ada koq yang lain. Ada faithful remnant. Ada orang yang mendapat belas kasihan Tuhan untuk tetap beribadah, melayani Tuhan, berjalan di dalam jalan Tuhan dengan setia. Berharap Saudara dan saya adalah termasuk orang-orang yang mendapat belas kasihan Ilahi seperti ini.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading