Kita ingin membicarakan mengenai hidup sebagai ciptaan baru. Tadi kita sudah membaca apa makna dari kebangkitan Kristus, karya Kristus, bagi Paulus. Ini sesuatu yang kita sudah berulang kali bicarakan, bahwa matinya Kristus bagi Paulus menandakan berlalunya ciptaan lama, bangkitnya Kristus menandakan bermulanya ciptaan baru. Jika manusia lama telah kita salibkan bersama dengan Kristus di atas kayu salib dalam kematian-Nya, maka kebangkitan-Nya adalah memulai era baru, di mana kita menghidupi kemanusiaan yang baru. Kebangkitan Yesus memperlihatkan bahwa setelah kematian, setelah manusia lama ini berlalu, maka fase selanjutnya bukanlah sesuatu yang berkurang materinya —less solid, less real, lebih melayang-layang, lebih hampa– tapi sebaliknya malah lewat kebangkitan Yesus ini, apa yang ada sekarang, akan diambil dan diubah menjadi sesuatu yang tidak dapat binasa, itulah kehidupan yang baru. Demikian yang kita lihat dalam diri Yesus Kristus. Namun pertanyaan sentralnya adalah: seperti apa sih kelihatannya kehidupan yang baru itu, kehidupan yang lebih riil itu, kehidupan yang tidak kalah solid itu?
Saudara, mungkin jawaban yang kita pikirkan dalam benak kita seperti ini: kalau kebangkitan Yesus adalah sesuatu yang luar biasa, maka respons saya terhadap hal itu adalah melakukan hal-hal yang luar biasa bagi Dia. Namun anehnya Paulus tidak berpikir seperti itu. Paulus justru mengatakan, kebangkitan yang luar biasa itu sudah terjadi, sudah mengubah dan melancarkan suatu era yang baru, maka kamu tidak lagi perlu melakukan hal-hal yang luar biasa –karena itu sudah terjadi koq— sekarang panggilanmu sesungguhnya adalah menghidupi hidupmu yang biasa, yang ordinary, tapi sekarang di dalam Kristus. Itu sebabnya Saudara melihat dalam berbagai surat Paulus, misalnya dalam 2 Tes.3, dia mengatakan: “Bekerjalah dengan tanganmu sendiri”. Itu perintah yang biasa sekali ‘kan. Dia tidak bilang: “Kerjalah dengan 4 tangan yang baru keluar dari punggungmu”, melainkan, “Bekerjalah dengan tanganmu sendiri, yang tidak kerja, jangan makan”; dan itu ‘kan perintah yang sangat logis, apa yang aneh dalam hal ini?? Lalu Paulus melanjutkan, “Kami mengatakan ini karena di antara kamu ada yang ‘gak kerja, dan malah akhirnya jadi tukang kepo, ngurusin kerjaan orang lain.” Ini perintah yang amat sangat normal. Menjadi orang Kristen setelah Kristus bangkit, apa yang Saudara lakukan? Yaitu kerja, hidup dengan kudus, hidup dengan damai, jangan bikin anak-anakmu stres –demikian kata Paulus di bagian lain– jangan ngegosip, bersukacitalah. Itulah yang Paulus katakan kepada kita.
Kembali kepada seorang theolog yang sempat kita refer dalam khotbah yang lalu, yaitu Julie Canlis, seorang Amerika, yang bersama suaminya melayani di Skotlandia 14 tahun, melahirkan dan membesarkan anak-anaknya di sana, dan suatu hari mereka pulang ke Amerika. Waktu mereka sudah di Amerika, suatu hari ketika anak-anak di mobil bersama dengan mereka, anak-anak ini bertanya: “Mama, kenapa semua iklan di Amerika ngomongnya ‘ini yang terbesar, ini yang terbaik’, dsb.?” Mendengar ini, Julie tertawa, karena di Skotlandia memang tidak seperti itu ikaln-iklannya. Di Skotlandia, kalau orang mau jual barang lalu mengatakan, “Ini laptop yang ter-baik, ini mal yang ter-besar”, maka orang-orang akan tertawa lalu bergerak pergi, karena di Skotlandia somehow promosi diri itu melanggar norma masyarakat. Mengaku-aku seperti tadi, di Skotlandia akan ditertawakan, sedangkan di Amerika lain; di Amerika semua orang mengatakan “ini yang the best, ini yang the biggest”. Namun demikian, hal tersebut membuat Julie mulai notice, bahwa kalimat-kalimat seperti itu bukan sesuatu yang cuma muncul di reklame-reklame, tapi juga muncul di judul-judul buku, dan khususnya juga di judul-judul buku Kristen. Di Amerika, Saudara akan menemukan judul-judul buku Kristen yang mengatakan seperti ini: “Bagaimana Menjadi Orang Kristen yang Radikal”, “Reformed and Restless”, “The Crazy Love of God”, dst. Julie mengatakan, ada sesuatu dari budaya Amerika yang mulai menginfeksi Gereja, sesuatu yang bukan lagi sekadar hasrat tapi obsesi; obsesi bagi Kekristenan yang berdampak, yang mengubah dunia, yang berapi-api dan meluap-luap dengan kesuksesan yang bisa diukur secara nyata lewat jumlah, dsb.
Dalam hal ini, kalau Saudara merasa karena kita di Indonesia maka kita tidak terpengaruh, coba pikir lagi, bukankah kita hari ini juga merasakan gejala-gejala yang sama? Salah satunya adalah: kita tidak puas dengan hidup sehari-hari yang biasa-biasa; kita merasa jika kita benar-benar serius bagi Tuhan, maka harusnya hidup kita ada tanda-tanda yang jelas, yang lebih besar, yang lebih baik, ada angka yang lebih tinggi, ada sesuatu yang lebih dramatis! Kita merasa, gereja yang diberkati Tuhan itu deretan parkir mobilnya makin lama harus makin menganggu tetangganya! Dan dalam hal kerohanian, ketika kita dalam momen sedang susah, bergumul, maka jalan keluarnya adalah dengan kita lebih serius lagi, kita lebih devoted lagi kepada Tuhan! Saudara, devotion memang bukan sesuatu yang perlu dikurangi –jangan salah tangkap saya– itu sesuatu yang harus dikejar, tapi yang dimaksud di sini adalah bahwa kita sering kali mengejar devotion dalam bentuk dan cara menurut format tertentu, yang kalau kelihatannya tidak kayak begitu, maka kita mulai berlanjut dengan keraguan, kita mulai mempertanyakan diri ‘kenapa saya seperti ini hidupnya’, lalu berlanjut dengan mulai depresi, kita mulai menjadi orang yang tawar hati, lalu kita merasa ditinggalkan oleh Tuhan. Ini bukan iman yang orisinal dari Alkitab, ini cuma mengimpor Amerika ke dalam iman kita, karena Kristus mati bukan demi memberikan kita iman yang seperti itu –iman yang membelenggu– Ia justru menjanjikan iman yang memerdekakan.
Dalam Roma 12:1, waktu Paulus mengatakan “persembahkanlah tubuhmu sekarang” –sekarang sebagai orang-orang yang hidup dalam era yang baru ini– apa yang sebenarnya Paulus maksudkan dengan ‘tubuhmu’? Ada satu terjemahan bahasa Inggris yang lain, yang menerjemahkan kalimat tersebut kira-kira seperti ini: “Ambillah hidupmu yang sehari-hari itu, hidup yang biasa-biasa itu, yang ordinary itu –tidurmu, bangunmu, makanmu, commuting-mu ke kantormu, kerjamu– dan taruhlah semua itu di hadapan Allahmu, sebagai persembahanmu yang hidup.” Kita jarang membaca Alkitab dengan mata seperti ini. Kekristenan kita sering kali adalah suatu Kekristenan di mana pemuridannya hanya terjadi di event-event besar! Tetapi kita timpang dalam membicarakan bagaimana pemuridan bisa terjadi dalam kehidupan sehar-hari yang biasa, kehidupan yang energinya terbatas, kehidupan yang waktunya terbatas; pemuridan dalam ordinary life, kita jarang sekali membicarakannya.
Sebelum kita lanjut, disclaimer sedikit. Ada aksi maka ada reaksi, yang mungkin seperti capek dengan budaya Kekristenan yang burn out, tapi mungkin saja tidak tentu lebih baik reaksinya karena waktu kita beralih dari satu ekstrim, kita bisa masuk ke ekstrim yang lain lagi. Ketika kita menolak budaya Kristen yang burn out, kita bisa jadi menghasilkan budaya Kristen yang status quo, di mana kita bersikap ‘ya sudah, status quo saja, ‘gak ada yang perlu dikejar, ‘gak ada pergumulan’, dan dalam kerohanian seperti ini maka tidak ada pengharapan juga, kita just stay as you are. Bukan ini yang sedang mau dikhotbahkan tentunya, karena kerohanian seperti itu adalah sekadar kerohanian reaktif, yang cuma reaksi tok terhadap satu ekstrim dan masuk ke ekstrim yang lain lagi karena kapok mengalami burn out berkali-kali. Pada akhirnya kerohanian seperti itu tidak akan menjadi berkat, dibandingkan kerohanian super hero ala Amerika tadi.
Kita perlu kembali ke Alkitab; apa yang ada di dalam Alkitab, yang bisa menjadi dasar bagi bentuk kerohanian yang ordinary? Tadi kita mengatakan, bahwa kerohanian yang tipe super, kerohanian yang merasa extra ordinary, pada akhirnya membutakan kita terhadap bagaimana Tuhan memuridkan kita dalam kehidupan yang biasa-biasa (ordinary).Orang seperti ini akan sangat sulit bertumbuh, karena secara proporsi saja kita tahu hidup kita yang biasa-biasa itu mencakup sebagian besar (mayoritas) dari hidup kita, dan dengan demikian kalau kita tidak bisa dimuridkan lewat periode yang biasa-biasa ini, kita bertumbuhnya akan sangat kerdil, kita akan mengalami stunting secara rohani. Itu salah satu kecelakaannya; namun sesungguhnya celaka yang terbesar dari kerohanian extra ordinary tadi adalah: ini membutakan kita terhadap bagian hidup Kristus yang juga ordinary. Kita jadinya sering kali merasa bahwa yang penting dalam hidup Yesus hanyalah tiga tahun terakhir hidup-Nya, atau bahkan seminggu terakhirnya tok, sementara tiga puluh tahun pertama dalam hidup Yesus kita pinggirkan atau kita sekunder-kan –dan mungkin kita juga mengatakan para penginjil setuju dengan kita, buktinya mereka juga tidak mencatat bagian-bagian itu. Ini karena kita melihat hidup kita juga seperti itu, bahwa hidup kita baru bermakna rohaniah ketika kita bisa ambil bagian dalam pekerjaan menyelamatkan orang lain, atau ketika hidup kita berada dalam sebuah momen yang penuh momentum, momen yang exciting, yang dramatis, yang dipenuhi perasaan-perasaan yang meluap bagi Tuhan –itu baru rohaniah. Saudara Kekristenan seperti ini, akhirnya menghabiskan banyak waktu untuk kabur dari kemanusiaan kita. Kekristenan seperti ini, berusaha untuk lari dari segala jenis keterbatasan manusia, lari dari segala jenis kerusakan manusia, bahkan juga sering kali lari dari kebutuhan manusia untuk tidur. Salah satu hal yang Saudara akan sering dengar dari orang-orang Kristen dengan kerohanian super, adalah betapa mereka frustrasi dengan keterbatasan manusia seperti kebutuhan untuk tidur; atau, fenomena lainnya, yaitu betapa mereka bangga ketika mereka bisa tidur kurang dari orang lain. Tapi masalahnya, ini bukan pembacaan yang tepat jika kita kembali ke Alkitab.
Saudara lihat, kemanusiaan Yesus bukanlah sesuatu yang Yesus kenakan dengan perasaan tidak sabar dan mengatakan, “Aduuh… kalau bisa cepat-cepat deh, jangan lama-lama deh Saya mengenakan kemanusiaan dan keterbatasan ini’, lalu begitu Dia kelar menjalankan semua ini, Dia lalu mengatakan, “Hore! Bisa lepas!”, dsb. Tidak demikian. Saudara sesungguhnya membaca di Alkitab, bukan saja Dia lahir menjadi bayi –Dia tidak skip dan fast forward langsung menjadi dewasa– tapi bahkan setelah Dia mati pun, Dia bangkit dalam tubuh. Memang benar itu tubuh kemuliaan, tapi tetap saja tubuh, yang bahkan diperlihatkan masih perlu makan. Ada seorang theolog yang setengah bercanda –atau mungkin juga tidak bercanda–mengatakan, ketika Yesus menampakkan diri kepada murid-murid-Nya setelah Dia bangkit, salah satu yang Yesus katakan adalah minta makanan; lalu theolog ini melanjutkan –dengan setengah bercanda mungkin, dan setengah serius juga– ini mungkin karena tubuh-Nya kelaparan setelah tiga hari tidak makan apa-apa d dalam kubur, maka Dia minta seperti itu. Kalau pembacaan seperti itu terlalu aneh buatmu, silakan Saudara tidak usah terima, tapi ingat bahwa tubuh kemuliaan Yesus itu tidak menghapus begitu saja luka-luka di tangan dan lambung Yesus. Jadi, jika Yesus sendiri tidak skip kemanusiaan ini dalam inkarnasi-Nya dan juga dalam kebangkitan-Nya, maka ini berarti Yesus juga memperlihatkan kepada kita bahwa jalan kepada transformasi Kristiani bukanlah dengan melepaskan diri dari batasan manusiawi. Sebaliknya, Yesus menunjukkan bahwa transformasi/perubahan hidup Kristiani datang di dalam dan melalui keterbatasan manusia, melalui kemanusiaan kita, yang berarti termasuk di dalamnya kerapuhan kita, tubuh kita ini dengan segala keterbatasannya dan dengan segala ritmenya –karena di situlah koq, kita menemukan Yesus.
Saudara, justru dalam hal-hal itulah Yesus paling banyak kesamaan dengan kita. Kita sering kali membayangkan Yesus sebagai figur yang pokoknya selalu putih bersih tanpa cacat cela; dan tentu saja ini ada benarnya karena Dia tanpa dosa, namun ini tidak berarti Dia terlepas dari segala keterbatasan manusiawi ‘kan. Dan ironisnya, semakin kita mebayangkan Dia itu putih bersih jauh daripada kita, semakin kita merasa Dia tidak bisa diteladani, karena hampir tidak ada mirip-miripnya dengan kita. Gambaran Alkitab sangat lain; Saudara lihat, dalam hidup Yesus Kristus ada porsi yang sangat besar dari hidupnya –yaitu 30 tahun, yang adalah 90% dari hidup-Nya di dunia ini– yang tersembunyi, hidden. Gambaran Yesus yang Alkitabiah ternyata lain, gambarannya justru memperlihatkan kepada kita bahwa kalau Saudara dan saya adalah manusia, maka sesungguhnya Saudara dan saya sudah memilki segala sesuatu yang kita butuhkan untuk bisa meneladani Dia, karena Yesus menghidupi hidup-Nya bukan dengan keluar dari pembatasan manusiawi, Dia menguduskan kita justru melalui kemanusiaan-Nya itu. Dia tidak kabur dari semua itu. Yesus memberikan kepada kita jalan pemuridan yang datang bukan dengan cara kabur dari kemanusiaan, melainkan dengan menjadi manusia berikut segala keterbatasannya.
Sampai di sini, kalau Saudara merasa ‘ini theologi kelas tinggi, saya susah mengerti’, sesungguhnya tidaklah demikian. Ini sesungguhnya theologi yang sangat praktis dan berdampak bagi kehidupanmu, bahkan bagi kehidupan seorang ibu rumah tangga dengan 4 anak, misalnya. Karena apa? Karena jika hidupmu itu banyak sekali porsi yang dihabiskan untuk menyetir mobil ke mana-mana antar anak ke sekolah, jemput dari sekolah, lalu antar latihan renang, lalu masak buat mereka, lalu bersih-bersih, dst., maka Saudara harus menyadari bahwa dalam gambaran kehidupan Yesus Kristus, 90% isinya juga kayak begini. Dengan demikian, di sinilah tempat untuk Saudara juga ditransformasi dalam Kristus. Dalam hidup yang biasa-biasa ini, Saudara bisa yakin, bahwa ketika Saudara mengantar mereka pergi sekolah, pulang, pergi les, dsb., Saudara berada di tempat yang tepat. Tetapi kita tidak berpikir seperti ini, kita berpikir seakan-akan harus jadi full timer di gereja untuk bisa mendapatkan transformasi yang benar-benar luar biasa itu. Jadi adalah penting untuk mengingat bahwa porsi besar dari kehidupan Yesus itu tersembunyi, tidak spektakuler, Ia menghabiskan –Saudara lihat kosa kata kita, ‘menghabiskan’ –sebagian besar hidup-Nya dengan melakukan apa yang engkau dan saya lakukan, melakukan hal-hal yang tersembunyi, yang seperti tidak worth it untuk dicatat, yang terjadi sehari-hari, baik itu sukacita-sukacita yang kecil maupun juga kebosanan-kebosanannya. Sembilan puluh persen karya yang Yesus lakukan bagi kita, itu digenapi dengan cara Dia simply hidup tersembunyi di kota kecil pinggiran, jauh dari para penguasa besar dan kota-kota besar dan event-event besar! Tapi Saudara lihat, justru dalam tahun-tahun tersembunyi inilah satu bagian yang amat sangat penting dalam keselamatan kita, bahkan satu bagian mayoritasnya, sedang digodok dan dikerjakan. Apakah itu?
Apa signifikansinya 30 tahun pertama hidup Yesus itu? Tidak ada yang pernah menulis tentang hal itu ‘kan. Lalu kenapa Dia tidak datang saja sebagai orang umur 30 tahun? Yang menarik juga, kenapa Yesus tidak mati sebagai bayi saja, lalu urusan selesai?? Bahkan Saudara tahu, ada ceritanya bahwa waktu Dia lahir, Dia mau dibunuh oleh Herodes; ini terdengar sangat mirip dengan bagaimana akhirnya toh Yesus mati, dengan ditangkap dan dibunuh oleh para pembesar-pembesar. Jadi kenapa tidak sekalian saja pakai opportunity tersebut, baru lahir langsung saja dibunuh oleh Herodes, karena Dia bisa ‘kan mati menanggung dosa manusia sebagai bayi, dan urusan selesai! Tapi tidak seperti itu kisahnya. Kisah Yesus tidak berhenti di situ. Ini membocorkan kepada kita, bahwa berarti ada sesuatu yang penting dalam 30 tahun selanjutnya, bahwa somehow proyek keselamatan kita memang adalah bagian yang krusial di dalamnya, bahwa itu membutuhkan waktu untuk Yesus bertumbuh, untuk berubah. Bukan berubah secara esensi, tentu saja, melainkan menghidupi perubahan-perubahan manusiawi, seperti misalnya Dia bertumbuh dalam pengetahuan –sebagaimana Alkitab beritahu kita– untuk Dia berubah sebagaimana perubahan anak-anak yang mengalami puber. Atau Saudara pikir Yesus tidak mengalami puber? Tidak ‘kan. Yesus berubah dari anak kecil yang tidak tahu bagaimana mengolah kayu menjadi tahu karena Dia tukang kayu, Dia belajar untuk jadi tukang kayu.
Ada sesuatu yang penting d sini, yang kita belum pernah gali banyak dalam theologi kita; dan sesungguhnya Calvin sendiri sempat mengubah pikirannya dalam hal ini. Waktu Calvin masih lebih muda dan dia membuat katekismus untuk anak-anak, di situ ada pertanyaan “Kenapa Injil tidak mencatat banyak peristiwa dalam masa 30 tahun pertama kehidupan Yesus?”, “Kenapa dalam pengakuan iman kita (Pengakuan Iman Rasuli), lompat dari kelahiran lalu langsung ke penderitaan dan kematian-Nya?” Lalu Calvin memberikan jawabannya dalam katekismus tersebut, sbb.: “Karena memang tidak ada peristiwa yang relevan bagi keselamatan manusia dalam tahun-tahun tersebut”. Sayangnya, kalimat ini lalu kita ambil sebagai Gereja Protestan, dan kita tidak pernah berkembang dari ini, padahal Calvin sebenarnya mengubah pikirannya. Tiga puluh tahun kemudian dalam buku Institutio edisi finalnya, Calvin mengubah pendapatnya akan hal ini, sekarang dia bilang hal ini penting, bahwa Yesus meraih keselamatan bagi kita, melalui seluruh kehidupan-Nya (the whole course of His obedience), dari sejak lahir sampai mati, bangkit, dsb.; ketaatan Yesus itu bukan sesuatu yang baru terjadi di atas kayu salib, ketaatan-Nya memenuhi sepanjang hidup-Nya dari A sampai Z, dari kecil – remaja – pemuda – sampai kepada salib. Apa yang membuat Calvin berubah total seperti ini? Kemungkinan besar karena Calvin mempelajari tulisan para Bapa Gereja. Para Bapa Gereja ternyata sangat setuju satu dengan yang lain dalam hal ini, bahwa karya Kristus yang menyelamatkan kita, yang menciptakan kita sebagai ciptaan baru, itu dilakukan-Nya melalui kehadiran-Nya yang biasa itu (His ordinary existence), melalui hidup sehari-hari-Nya.
Saudara coba pikirkan hal ini, kita jarang terhenyak menyadari seberapa rumahan (domestik) inkarnasi Yesus; bahwa waktu Yesus turun ke dunia, Allah menempatkan-Nya bukan di istana melainkan di palungan –kita semua tahu itu– tapi Allah juga menempatkan-Nya dalam sebuah keluarga. Sadarkah Saudara seberapa rumahannya hal itu? Saudara mungkin nonton film-film mengenai bagaimana bumi terancam meteor besar, lalu apa yang terjadi adalah sesuatu yang extra ordinary, para bangsa-bangsa berkumpul, mereka mengesampingkan perbedaan mereka, mereka bikin roket yang paling besar, dengan senjata nuklir terbesar, dengan hulu ledak yang paling besar,mereka menurunkan astronot-atronot yang terhebat dan tercanggih –dan karena ini film, astronotnya juga yang paling cantik dan paling ganteng– untuk menyelamatkan dunia. Di dalam Alkitab, Saudara melihat dunia tidak sekadar terancam meteor, dunia sedang menuju ke neraka! Dan, kemudian misi penyelamatan Tuhan adalah: Dia terlahir di dunia, di dalam sebuah keluarga yang kecil, tersembunyi dari mata dunia. Tetapi, dalam pojokan sejarah inilah, tidak kurang dari ciptaan baru itu dilancarkan.
Saudara, ironisnya sering kali kita tidak menyadari ini, karena kita punya kacamata yang terlalu sempit mengenai misi Yesus. Kalau kita ditanya “apa misi Yesus?” kita mungkin mengatakan: “Misi Yesus adalah menyelamatkan kita dari dosa dan maut” –yang tentu saja tidak salah. Tapi para Bapa Gereja dalam Gereja-mula-mula –yang jauh lebih dekat dengan peristiwa kehidupan dan kematian Yesus dibandingkan kita– akan mengatakan sesuatu yang lebih holistik, lebih menyeluruh; mereka akan mengatakan bahwa misi Yesus yaitu mengembalikan kemanusiaan kepada Bapa dalam segala aspeknya. Itulah misi Yesus. Misi Yesus dalam Gereja-mula-mula bukanlah sekadar mengubah pendapat Tuhan mengenai kita, dari jelek menjadi baik, dari bajingan-bajingan menjadi anak-anak, dsb. Bukan cuma itu. Misi Yesus bukan cuma melakukan suatu deal transaksi di atas kayu salib, memberikan diri-Nya ganti dosa-dosa kita. Bukan cuma itu. Bagi Gereja-mula-mula, misi Yesus tidak kurang dari melancarkan ciptaan baru! Itulah yang mereka baca dalam surat Paulus. Dan, yang namanya ciptaan baru berarti tidak cuma sebagian; ciptaan baru berarti Saudara direnggut dari dalam, Saudara dipulihkan keseluruhannya, Saudara dipalingkan arahnya kembali kepada Bapa.
Yesus tidak cuma menyelamatkan kita dari dosa, Dia menyelamatkan kita dengan cara membuat kita jadi ciptaan baru, dan caranya adalah dengan Dia sendiri menjalankan seluruh aspek kehidupan manusia itu. Itulah yang menjadi misi Sang Anak. Dia menanggung bukan cuma dosa kita di atas kayu salib, tapi menanggung seluruh kehidupan kita, mengambil alih, meng-klaim kembali seluruh aspek hidup manusia dan mengembalikannya kepda Bapa dalam relasi yang benar, termasuk porsi besar keberadaan kita yang bersifat biasa-biasa itu, yang 90%-nya itu. Itu sebabnya isi hidup kita 90%-nya adalah juga 90% isi dari hidup Yesus. Itu sebabnya Yesus harus datang sebagai bayi lalu menghidupi hidup yang normal, sehingga dengan demikian tidak ada satu pun momen dalam kehidupan Yesus yang terbuang sia-sia, termasuk masa remaja-Nya. Masa remaja Saudara dan saya mungkin adalah tahun-tahun yang kita paling ingin cepat-cepat sudahi, karena isinya penuh dengan segala kecemasannya, dengan segala ketidakpastiannya, dengan segala perasaan-parasaan baru yang campur aduk dan kalang kabut. Anak-anak remaja itu paling ingin cepat gede; dan kita bisa simpati dengan ini, karena kita tidak tahan jadi anak remaja dengan segala uncertainty-nya. Tetapi Saudara lihat, Yesus tidak pernah pencet ‘fast forward’, Dia malah menghidupi semua tahun-tahun itu sepenuhnya. Kenapa? Karena lewat itu Dia bisa mengenal kita sedalam-dalamnya, dan dengan demikian pembaruan yang Dia lakukan juga mengklaim keseluruhan dari hidup kita. Dalam hal ini para Bapa Gereja memakai istilah ‘rekapitulasi’; bahwa Yesus harus menjalani ulang –merekapitulasi– semua langkah-langkah yang kita jalani dalam pemberontakan kita kepada Bapa. Semua langkah-langkah kita, berarti dari sejak kelahiran, masa kecil, masa remaja, masa pemuda, masa kerja, dan seterusnya. Dia menjalani ulang semua itu, Dia menunjukkan dalam momen-momen itu bagaimana hidup dalam relasi yang beres dengan Bapa, dan dengan demikian itulah yang diperbarui, supaya kita bisa menjalani hidup yang diperbarui juga.
Kalau Saudara tidak mengerti semua kalimat yang saya baru katakan, tidak masalah, ambil intinya/pokoknya, yaitu: kita sering kali pikir bahwa Yesus perlu daging/tubuh hanya supaya Dia bisa mati terbunuh, karena di situlah pekerjaan keselamatan bagi kita, tetapi tidak demikian Saudara. Para Bapa Gereja, para raksasa iman itu, yang jauh lebih mengerti Alkitab dibandingkan kita, mengatakan tidak demikian; Yesus mengambil daging, sesungguhnya karena ada sesuatu yang perlu terjadi pada daging-Nya/tubuh-Nya; daging-Nya bukanlah cuma tiket menuju ke salib. Ini mengubah kita dalam melihat pemuridan, bahwa menjadi murid Yesus berarti bukan cuma urusan ‘apa yang saya harus lakukan, urusan centang (ü) boks’; menjadi murid Yesus adalah belajar untuk tinggal di dalam Yesus, berdiam di dalam Yesus.
Satu aspek dari hal ini sudah kita bicarakan panjang lebar dalam khotbah terakhir, bagaimana hidup kita disembunyikan di dalam Yesus, bahwa identitas kita itu kita dapatkan dari Dia, bukan dari kekayaan atau dari kecantikan atau dari kemampuan kita. Inilah yang namanya pemuridan. Pengejaran kita bukanlah urusan kita setiap pagi bangun lalu bertanya ‘Tuhan, apa yang saya bisa lakukan bagi Engkau hari ini?’ melainkan sebaliknya, yaitu ‘Tuhan tolong bagaimana aku hari ini bisa belajar berdiam di dalam-Mu, belajar tinggal di dalam-Mu’. Dan saudara lihat, betapa kita tidak punya kerohanian macam begini; yang kita ingin lakukan adalah bangun pagi lalu kita tanya, “Oke, Tuhan, apa perintah-Mu bagiku hari ini? Apa yang harus ku-lakukan?” Kita menginginkan dapat instruksi seperti dalam upacara, ‘balik kanan, hadap kiri’, dst. Dan ketika kita mendengar kabar mengenai Yesus yang menyelamatkan kita bukan cuma di atas kayu salib tapi juga seluruh hidup kita, termasuk seluruh 90% porsi hidup kita yang biasa-biasa, lalu apa yang akan kita katakan? Kita mengatakan: “Jadi sekarang apa yang harus saya lakukan untuk somehow mengaktifkan berita itu dalam hidup saya? Oke semua itu karena anugerah, saya tahu itu, saya tidak bisa mengaktifkan semua itu dengan doa-doa atau perbuatan, tapi ada ‘kan sesuatu yang harus menjadi bagian saya, respons saya yang pantas itu apa, saya harus ambil kereta yang mana, saya harus mendoakan doa yang mana, tindakan apa yang harusnya keluar dari dalam diriku”, dst. Saudara perhatikan, semua yang kita katakan ini somehow bentuknya adalah sesuatu yang luar biasa (extra ordinary), sesuatu yang di luar ritme hidup sehari-hari. Saudara, ini justru kerohanian yang amat sangat membuat capek.
Saudara bayangkan kalau anakmu seperti itu, penuh dengan kecemasan, bertanya-tanya setiap hari, “Apakah hari ini saya sudah menyenangkan orangtuaku?? Apakah yang saya lakukan sudah benar?? Apakah tindakanku sudah proper di mata mereka?? Oh, please, please, semoga hari ini aku melakukan sesuatu yang good bagi mereka… “ Kalau Saudara punya anak seperti itu, Saudara akan mengatakan apa kepada dia? Saudara akan mengatakan, “Chill out! Tenang sedikitlah, saya ini mengasihi kamu; tentu saja ada perintah, tentu saja ada kewajiban, tentu saja ada tanggung jawab sebagai anak, tapi bukan hal-hal itu yang menyebabkan saya sayang kepadamu”. Bahkan pengalaman menjadi orangtua, apalagi yang anaknya masih kecil, Saudara pasti sadar banget akan hal ini, bahwa yang membuatmu tertawa melihat anakmu, yang membuat hatimu bersukacita melihat anakmu, itu bukan cuma momen-momen ketika mereka melakukan hal-hal yang extra ordinary, bukan cuma ketika mereka memulai melangkah pertama kali, atau melompat pertama kali, atau bernyanyi pertama kali. Tentu saja itu membuat kita bersukacita, tapi tidak cuma itu ‘kan. Momen-momen yang membuat hati seorang orangtua bersukacita, kadangkala adalah sekadar melihat anak mereka tertidur, momen yang sangat ordinary. Dan Saudara bayangkan, betapa kita sering kali tidak melihat bahwa seperti inilah gambarannya dalam hubungan kita dengan Tuhan. Kita merasa ‘kalau saya mau menyenangkan hati Tuhan, saya harus melakukan sesuatu yang lebih daripada biasanya, saya harus melakukan sesuatu yang luar biasa’; dan pada akhirnya kita cuma bisa menyenangkan Tuhan lewat 10%, 5%, 2%, 1% dari hidup kita, itu tok, lalu sisanya kita akan selalu terus dirundung perasaan guilty, perasaan kurang, perasaan tidak cukup, dsb.
Saudara, itu sebabnya kita perlu belajar kembali mengenai Kalender Gereja –menyambung sedikit dengan tema kita tahun ini. Saudara lihat contohnya Gereja-mula-mula. Mereka bukan lalu menjadi orang-orang yang pasif, menjadi orang yang diam-diam saja dan ‘pokoknya Tuhan senang pada aku ‘kan; aku tidur pun Dia senang’ –tidak demikian– mereka melakukan sesuatu. Tapi bedanya mereka dengan kita adalah: mereka tahu dan melihat bahwa apa yang menyenangkan Tuhan itu bisa terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang biasa –maka mereka memakai Kalender Gereja. Mereka menstrukturkan hidup mereka setahun penuh, mereka menjalani kisah Kristus lagi dan lagi dan lagi, berulang kali secara rutin. Misalnya dalam Masa Lent, mereka diajak untuk mengingat seberapa mereka sering masuk ke dalam pencobaan, mereka diajak untuk berpuasa, bukan untuk mendapat ketahanan diri melainkan untuk mengenali dosa-dosa yang terselubung. Ini sesuatu yang biasa, sesuatu yang dilakukan setiap tahun. Lagipula, tidak ada hadiah bagi mereka yang berpuasa lebih panjang, karena semua periode Kalender Gereja ini ada waktunya, begitu kelar Masa Lent pada Hari Paskah, ya sudah, berhenti puasa, dan kita beralih mengingat Kebangkitan, kita merenungkan dan merayakan bahwa kita sudah diselamatkan dari dosa-dosa yang membelenggu kita melalui kebangkitan Yesus. Tidak ada hadiah untuk mereka yang bisa memperpanjang puasanya misalnya satu minggu lagi, dua minggu lagi, dsb. Dan kenapa mereka melihatnya seperti ini? Karena mereka tidak melihat pengalaman rohani sebagai sesuatu yang datang sekali-sekali secara luar biasa. Mereka tahu, ini sesuatu yang terjadi dengan bisa dibilang diprogram, sepanjang tahun, bertahun-tahun, dan bukan tergantung kepada mereka, mereka sering kali hanya dibawa dan disapu masuk ke dalam liturgi. Ini adalah karena mereka tahu juga bahwa kehidupan Kristen yang sejati justru ditemukan dalam bergereja.
Satu contoh lagi misalnya, bukan cuma Kalender Gereja tapi juga dalam kehidupan doa mereka. Kalau Saudara melihat liturgi/habit doa orang-orang Ortodoks Timur, mereka ini bangun pagi lalu mengucapkan kalimat doa yang sederhana sekali: “Tuhan Yesus Kristus, berbelas kasihanlah kepadaku, seorang pendosa”; dan mereka mengulang kalimat itu 1000 kali dalam satu hari. Di sini kita sebagai orang “Reformed”, melihat kebiasaan seperti ini akan mengatakan, “Haiyaaa… useless banget sih, ngapain coba ulang-ulang kayak begitu, itu ‘kan cuma hafalan tok!” Tentu saja bisa ada ekses seperti itu, kalimat itu akhirnya jadi jurus atau mantra, tetapi apakah kita yang tidak melakukan itu lalu somehow jadi orang-orang yang lebih baik?? Waktu kita mengatakan, “Itu cuma hafalan tok!” berarti menurut kita doa itu harus spontan, harus keluar dari sesuatu perasaan yang seperti meluap-luap dari diri; dan dengan demikian kita setiap hari dirundung kecemasan urusan bagaimana kita bisa melakukan sesuatu dengan proper, dengan benar, lalu kita sangat berhati-hati melakukannya (berdoanya), apakah ada perasaan yang sejati atau tidak yang mau keluar, kalau tidak maka jangan dikeluarkan, dst. Akhirnya kita tidak bisa berserah. Kita tidak ada kemampuan untuk meng-amin-kan bahwa semua yang harus dilakukan, sudah dilakukan oleh Yesus, sudah disediakan untukku dalam Dia. Kita selalu merasa ada sesuatu yang critical yang harus ku-lakukan. Orang Ortodoks Timur tidak seperti itu –setidaknya mereka yang benar-benar menjalankan tradisi itu dengan sejati– justru lewat ritual yang rutin itu mereka dibangunkan ke dalam realitas, bahwa mereka bukanlah penentunya, mereka bukan super hero-nya, dan dengan demikian mereka bisa mengatakan, “Tuhan Yesus Kristus, have mercy on me, a sinner.” Mereka ulang-ulang itru terus. Kenapa mereka ulang-ulang itu terus? Karena mereka tahu bahwa hal-hal yang sederhana seperti ini, hal-hal yang ordinary seperti ini, bisa dipakai oleh Tuhan untuk memuridkan mereka.
Saudara, kita sering kali menjadi orang-orang Reformed yang terlalu sombong, terlalu snobbish; kita membuang dan meminggirkan apa yang kita pikir terlalu sederhana. Sekarang kita baru sadar, ada sesuatu yang jenius justru di balik hal-hal yang biasa-biasa itu. Semua hal-hal itu adalah warisan Gereja berabad-abad, tetapi kita, dalam kecemasan kita, meminggirkan semua itu karena kita ketakutan hal-hal tersebut bisa disalahgunakan, bisa diberhalakan, bisa di-abuse! Kita takut kalau orang mengulang-ulang doa, karena itu bisa di-abuse, bisa jadi mantra, dan itu tidak boleh, maka kita menolak dan membuang dan meminggirkannya sama sekali. Saudara, apa sih yang tidak bisa diberhalakan?? Uang juga bisa jadi berhala, namun tidak menghentikan kita untuk menggunakannya, tidak menghentikan kita dari mencarinya, bukan? Kita membuang Kalender Gereja, kita meminimalkan Liturgi dan ritual-ritual Gereja, kita tidak lagi pakai abu pada Rabu Abu, kita tidak ada lagi ritual saling mencuci kaki pada Kamis Kudus, kita tidak lagi berdoa dengan mengulang-ulang Mazmur dan membacakan Mazmur; tapi lalu apa yang tersisa?? Yang tersisa adalah hanya diri kita sendiri tok, sehingga sekarang kita harus mengandalkan diri kita sendiri tok, mengandalkan kehendak diri kita sendiri. Dan Saudara sudah tahu ‘kan waktu Saudara membuat resolusi Tahun Baru, kehendak dirimu itu seberapa reliable-nya.
Contoh yang lain lagi, misalnya dalam realitas sebagai orangtua dengan dua anak, tiga anak, empat anak, yang masih kecil-kecil. Dalam kehidupan seperti itu, apa yang mau kita lakukan sebagai bagian porsi kerohanian kita? Dalam momen-momen seperti itu, kita cuma bisa ngomong “somebody, help me”, bukan? Kita cuma bisa memohon, “tolong, ada ‘gak yang bisa memberikan sesuatu untuk saya jalankan secara rutin”, itu saja. Saudara, cara menjadi orang-orang yang dimuridkan dalam momen-momen seperti itu apakah dengan harus belajar theologi dan doktrin 4 jam sehari? Ya, tidak mungkinlah. Tentu bisa saja, tapi poinnya di sini bahwa caranya tidak cuma itu; salah satu caranya adalah dengan Saudara bangun pagi, Saudara lihat empat anakmu bergelimpangan di tempat tidur, belum ada sarapan, maka Saudara bangun dan membuat sarapan karena Saudara sayang anak-anakmu –dan itu hidup yang ordinary, itu adalah bagian dari mengasihi Kristus, itu adalah bagian dari hidup yang Yesus telah klaim kembali di dalamnya.
Kita sering kali pikir kalau kita cuma sedang menggendong anak, kita tidak sedang memuliakan Tuhan; dan untuk memuliakan Tuhan maka kita perlu menggendong anak sambil berdoa syafaat bagi anak-anak kelaparan di Gaza, dsb. Saudara, betapa kita ini orang-orang yang sangat dualistik, kita merasa tindakan-tindakan yang memuliakan Tuhan hanyalah ketika kita membaca Alkitab atau ketika kita mendoakan orang lain, dan semua hal-hal yang lain yang kurang seksi, seperti urusan gendong anak, itu cuma buang-buang waktu secara rohani. Namun Saudara lihat, kabar baiknya dalam kehidupan Yesus adalah bahwa itu palsu, itu bohong, karena Saudara melihat bagaimana kehidupan Yesus –seluruh kehidupan Yesus dan tidak cuma di atas kayu salib–benar-benar adalah bagian dari proyek keselamatan-Nya, karena lewat kehidupan normal-Nya, Yesus sedang memperlihatkan “kayak begini lho kelihatannya seseorang yang hidup dalam relasi yang beres dengan Allah Bapa di surga”. Seperti apa kelihatannya? Kelihatannya adalah dengan belajar jalan –karena Yesus perlu belajar jalan. Kelihatannya adalah dengan belajar baca –karena Yesus perlu belajar baca– dengan proses mulai mengeluarkan kata-kata yang ‘gak jelas. Anak saya, salah satu kata pertama yang dia ucapkan adalah “daging”, bikin saya bingung, koq bisa bilang ‘daging’; lalu saya tanya, “Kamu mau makan daging atau jagung?” lalu dia ngomong, “Daging”. Jadi dia benar-benar pilih daging? Sudah pasti tidak, dia tidak tahu apa yang dia katakan. Saudara, itulah yang basically terjadi pada Tuhan kita; dan dalam momen-momen seperti ini, itulah kehidupan di mana Yesus sedang punya relasi yang sempurna dengan Bapa-Nya. Atau Saudara pikir Dia baru somehow dirasuki Roh Kudus semenit sebelum Dia menyerahkan diri-Nya di atas kayu salib?? Tentu tidak ‘kan, tapi dari sejak kelahiran-Nya, Dia dikandung oleh Roh Kudus dalam kelahiran-Nya. Jadi dengan cara apa? Dengan cara mungkin Yesus mengajari saudara-saudara-Nya karena Ia anak paling tua, mengajari naik balance bike atau otoped model Palestina zaman dulu atau apalah yang ada pada zaman itu. Intinya: melalui segala keterlibatan-Nya dalam kehidupan keluarga sehari-hari. Itu semua tidak buang-buang waktu. Itu semua bukan sekadar Yesus sedang menunggu waktu yang tepat; tidak pernah ada kalimat seperti itu pada Yesus di dalam Alkitab. Kalimat ‘menunggu waktu yang tepat’ itu di-atributkan kepada Iblis; Iblislah yang menunggu waktu yang tepat, bagi Iblis ini waktu sia-sia, tidak bisa dipakai, saya musti tunggu waktu yang tepat untuk memakai ini baru bisa –itulah Iblis. Yesus tidak seperti itu. Yesus dalam hidup-Nya, seluruh hidup-Nya, semua momen hidup-Nya, adalah Orang yang berelasi dengan proper, dengan tepat, dengan taat penuh kepada Bapa-Nya, tidak cuma di atas kayu salib, tidak cuma ketika Dia melakukan mukjizat-mukjizat, tidak cuma ketika Dia berdoa pagi-pagi berjam-jam sampai dicari-cari orang.
Saudara pergi ke gereja; dan pergi ke gereja tidak selalu exciting ‘kan. Saudara mungkin datang ke gereja dengan excited mau mendengarkan khotbah, OK, fine, tapi bagaimana dengan istri si pengkhotbah yang lihat dia setiap hari? Tidak ‘kan. Bagaimana dengan si pengkhotbah sendiri? Tidak ‘kan. Tapi Kristus mengatakan, di gereja yang biasa-biasa inilah Aku menjanjikan kehadiran-Ku; lihat roti dan anggur yang biasa-biasa itu, di situlah Aku berjanji menyertaimu; lihat orang-orang di kursi-kursi jemaat itu, yang mungkin kamu rasa terlalu tua atau terlalu muda atau terlalu jauh dari hidupmu, dan Aku ada di setiap mereka! Saudara lihat, Yesus justru adalah Satu Figur dengan message yang begitu radikal dan sangat segar, exactly karena Dia tidak pernah memilih hal-hal yang seksi untuk jadi tempat kediaman-Nya. Kita kepinginnya begitu, tapi Dia tidak.
Poin yang terakhir, Saudara bahkan tidak harus sampai ke melihat Yesus untuk menyadari hal ini, karena ini sudah ada sejak awal mula ciptaan. Ketika Allah mencipta dunia ini, apakah Dia mengatakan, “Hmmm, oke, semua sudah beres, sekarang semoga manusia-manusia ini cepat dewasa deh, cepat ngerti, cepat matang, supaya mereka bisa berguna buat-Ku”? Tidak ‘kan. Tuhan, ketika mencipta dunia dan manusia, Dia mengatakan, “Ini baik, ini baik adanya, ini indah, ini pleasing di mata-Ku, ini membawa delight bagi-Ku”, sebelum mereka berespons, sebelum manusia mengatakan apa-apa. Sebelum manusia mengerjakan taman, sebelum Adam menamai binatang-binatang, Allah sudah mengatakan kalimat itu, “semua ini baik adanya”. Tahukah Saudara, ini berarti Allah pada saat penciptaan mengatajan, “Inilah ciptaan-Ku yang Kukasihi, kepadanyalah Aku berkenan, sebelum mereka mengatakan apa-apa dan melakukan apa-apa.” Kesukaan Allah dalam ciptaan-Nya adalah seperti itu, bukan ketika ciptaan-Nya itu naik level, bukan ketika ciptaan-Nya itu naik pangkat. Dan Saudara lihat, justru inilah pencobaannya, yaitu untuk jadi tidak puas dengan status yang diberikan, tidak puas sebagai ciptaan Tuhan, ingin melampaui semuanya –itulah pencobaannya.
Menjadi kesukaan Allah dalam ciptaan-Nya adalah justru ketika ciptaan-Nya itu tetap menjadi ciptaan, tetap bertahan dalam sebuah relasi dengan-Nya. Saudara, mungkin kita ini, manusia berdosa ini, adalah satu-satunya makhluk dalam ciptaan yang somehow sangat bergumul dengan status kita sebagai ciptaan. Kita satu-satunya makhluk yang senantiasa bertanya ‘saya ini siapa sih’. Kita satu-satunya makhluk yang tidak bisa dan tidak rela untuk simply mengucap syukur kepada Tuhan, “Thank you, Lord, bahwa saya adalah ciptaan”, itu saja; Tuhan terima kasih saya ini manusia. Wow! Tuhan, adalah kehendak-Mu untuk saya ini punya badan, adalah kehendak-Mu untuk saya ini bisa tetap menjadi makhluk di hadapan-Mu. Wow! Tuhan, Engkau bukan cuma menciptakan dan itu suatu kuasa yang Engkau tahan bagi diri-Mu, tapi juga dalam Engkau menciptakan manusia-manusia lain, Engkau melibatkan kami, Engkau mengundang kami, Engkau memakai kami, badan kami, tubuh kami, keseharian kami, proses cairan-cairan tubuh kami, untuk melahirkan manusia-manusia yang baru; keterbatasan-keterbatasan kami untuk membesarkan dan mendidik mereka. Wow! Thank you, Tuhan, saya bisa punya kesempatan seperti ini. Kita tidak berpikiran seperti ini, bukan?! Kita pikir, kalau cuma mengurus anak, ya, semua orang juga bisa, itu di bawah rata-rata, itu medioker, itu tidak memuliakan Tuhan. Saudara, pemikiran seperti ini adalah hal yang menghancurkan hati Tuhan.
Menjadi makhluk ciptaan, berarti menerima dengan sukacita bahwa kita memang diciptakan bukan untuk melampaui batasan-batasan kita, wong batasan itu adalah pemberian koq dari Sang Pencipta. Menjadi makhluk ciptaan, sesungguhnya adalah menerima segala pembatasan dari Tuhan dengan tangan yang terbuka, dengan penuh sukacita, dan dengan ucapan syukur. Dan, itulah yang Yesus sesungguhnya lakukan dan berikan kepada kita; Dia, yang adalah Pencipta, hidup sebagai ciptaan. Dia bukan cuma hidup sebagai ciptaan yang extra ordinary, Dia hidup sebagai ciptaan yang biasa, yang ordinary, yang tersembunyi, tiga puluh tahun. Saudara sekarang bisa menyadari kenapa para penulis Injil tidak meng-highlight periode ini, bukan karena mereka menganggapnya tidak penting. Mereka sengaja menyembunyikannya supaya kita sadar, bahwa kehidupan Yesus yang membawa kita kepada Bapa, itu bukan cuma datang dari apa yang kelihatan dalam tiga tahun terakhir, tapi juga dari apa yang tidak kelihatan, yang tidak tercatat, yang tersembunyi. Oleh karena itu dalam hidupmu dan hidupku, jikalau engkau dan saya hidup dalam Kristus, maka juga demikian. Ada waktunya untuk hal-hal yang luar biasa, ada waktunya untuk momen-momen besar dalam hidup kita, tapi kabar baiknya adalah: ketika perasan itu mulai mengering, ketika kita pulang KKR, ketika kita kembali ke buku pelajaran kita, ketika kita kembali ke kantor kita, ketika kita kembali ke popok, Bapamu di surga tetap memandangmu dengan delight.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading