Kalau kita bicara tentang “Panggilan”, konotasinya selalu tentang orang yang dipanggil untuk jadi Hamba Tuhan, padahal kalau kita melihat Alkitab, bukan sekedar itu saja. Hidup ini adalah panggilan.
Dalam perikop panggilan Tuhan Yesus kepada Yakobus, Yohanes, Andreas, dan Simon ini, Markus sengaja mengulang-ulang satu kata, yaitu ‘jala’. Ini bukan sekedar mengingatkan bahwa mereka adalah nelayan, tapi bahwa dengan jala itu mereka bisa mendapatkan ikan. Jala merupakan alat, dan melalui alat ini mereka dapat menangkap ikan sebagai sumber penghasilan; bahkan jika mereka kerja sungguh-sungguh, dengan jala ini mereka bisa menjadi kaya, hidup yang diberkati.
Dalam keseluruhan ceritanya, ada beberapa hal yang ditampilkan; ada TuhanYesus, ada murid yang dipanggil, Danau Galilea, jala, ayah, orang upahan, perahu, dan banyak orang-orang di sekitar tempat itu. Saya berbicara secara alegoris, bahwa setiap manusia memiliki keadaan yang sama juga di tempat kita berada; ada sekolah, fasilitas-fasilitas, tempat bekerja, kantor, masyarakat, bahkan orang-orang upahan (pembantu-pembantu). Waktu semua itu dirangkai menjadi satu, akan nampak jelas perbedaan antara orang Kristen/ orang-orang percaya dengan orang-orang tidak percaya; dan yang membedakan cuma satu, bukan situasinya, melainkan panggilan.
Panggilan itulah yang membedakan kita. Tuhan Yesus mengatakan: “Marilah ikut Aku, kamu akan Kujadikan penjala manusia.” Dari penjala ikan menjadi penjala manusia; dalam bahasa Inggrisnya: dari fisherman menjadi fishers of men. Ini satu kata yang dekat, hampir mirip, tapi sebenarnya merupakan terobosan, satu perubahan yang dahsyat, satu transformasi melalui panggilan itu, karena jikalau tidak mau mendengar maka mereka akan kehilangan arah hidup sehingga apapun yang dilakukan semuanya sia-sia. Fisherman itu suatu pekerjaan di dalam dunia kesementaraan, lalu dipanggil menjadi penjala manusia, ditransformasi menjadi sesuatu yang bernilai kekekalan. Inilah Kekristenan.
Kita selalu mengatakan kepada anak kita: “Kamu jadi anak yang pintar, sekolah yang baik, supaya nanti tidak jadi yang di bawah tidak dipermalukan, tidak dihina.” Kata-kata ini tidak salah. Tapi kalau Saudara hanya berpikir akan hal-hal itu, lalu menjadikan itu fokus hidup, celakalah Saudara. Saya baru-baru ini pergi ke Perth, dan saya bertemu orang-orang yang menyekolahkan anaknya di situ supaya jadi orang. Mereka mati-matian bekerja untuk itu, dan itu menjadi fokus hidupnya. Saudaraku, apapun keberadaan Saudara, bukan itu fokusnya, tetapi fokusnya adalah panggilan. Panggilan menjadi kata kunci untuk Saudara bisa berbuah.
Danau Galilea sangat relevan dengan kehidupan saat ini; satu tempat yang sibuk, hiruk-pikuk, pusat industri nelayan pada zaman itu. Galilea merupakan lumbung ikan; dan penghasilan mereka digali dari danau dan jala itu. Tapi satu ciri yang unik dari danau Galilea adalah danau itu sangat teduh dan tenang, dan secara geografis air yang teduh itu bisa tiba-tiba menjadi badai ketika ada angin topan yang menakutkan. Waktu Yesus mengajar murid-murid-Nya, pertama kali mereka diajar praktek dengan menyeberangi Danau Galilea. Ketika itu terjadi angin topan yang menakutkan; dan di situ mereka baru sadar bahwa ternyata apa yang mereka mengerti, tidak bisa diterapkan dalam keadaan tersebut. Ada semacam gap. Saudaraku, kadang-kadang di tengah hiruk-pikuk keramaian, keadaan tertawa, perdagangan, kesibukan, dan segala macam lainnya, tanpa sadar bisa terjadi teriakan kesedihan dan ketakutan. Mengapa? Karena danau sedang bergejolak. Hidup ini bergejolak karena angin topan yang tiba-tiba datang dan tiba-tiba pergi, sehingga seringkali kita dibingungkan. Nelayan-nelayan sulit menduga datangnya badai karena terjadi begitu tiba-tiba, mendatangkan musibah, kecelakaan, kesedihan, bahkan bisa jadi ada keluarganya yang meninggal dalam situasi itu. Bukankah itu sama dengan hidup kita sekarang? Di tengah-tengah hiruk-pikuk kota Jakarta yang begitu padat, sesak, macet, supaya berhasil maka Saudara harus bersaing satu dengan yang lain. Kita bersaing supaya survive. Semua orang ingin survive. Kita terus fokus memikirkan bagaimana caranya mengembangkan diri, kita sibuk dengan segala keperluan hidup, lalu tiba-tiba terjadilah badai yang menakutkan itu, peristiwa yang kita tidak sangka-sangka itu, menjadi kesedihan yang menakutkan.
Hidup ini misteri. Dari kenyamanan jadi kegelisahan dan teriakan yang menakutkan, lalu tiba-tiba tenang kembali. Mengapa semua ini terjadi? Justru Yesus datang mau menyelesaikan masalah ini. Waktu Dia datang ke sana, Dia datang dan mengatakan: “Mari ikut Aku”. Apa hubungannya? Yesus mengatakan: “Aku akan menjadikan engkau penjala manusia.” Satu terobosan hidup. Berapa banyak orang yang bekerja dalam dunia usaha demi sesuap nasi?? Mereka terus fokus kepada keberhasilan hidup, dan secara tidak langsung mereka diikat, diborgol, sehingga yang ada cuma kerja, kerja, kerja; dan bahkan justru keberhasilan itu sendiri yang memborgol mereka. Maka panggilan Yesus kepada mereka sebenarnya adalah kalimat pembebasan, sekaligus belas kasihan yang diberikan-Nya supaya hidup mereka tidak terus diikat di situ. Saudaraku, ingatlah bahwa engkau dipanggil. Sesukses apapun pekerjaan Saudara, kalau belum menerima panggilan itu, atau kalau Saudara toh sudah dipanggil tapi merasa ‘itu bukan saya’, berarti Saudara belum sungguh-sungguh dibebaskan. Masih ada ikatan yang membelenggu sehingga Saudara sulit melayani Tuhan.
Dalam percakapan, seringkali orang-orang yang kurang melayani menjadi sinis dan mengatakan: “Lihat orang itu selalu melayani, selalu datang, karena dia ‘gak ada kerjaan, nganggur sebenarnya, sedangkan aku ini repot, ‘gak mungkin melayani.” Ini defense mechanism orang-orang yang kurang melayani itu karena merasa disudutkan. Tuhan tidak pernah panggil orang yang nganggur, Tuhan tidak pernah panggil orang yang malas, Tuhan selalu panggil orang yang bekerja. Camkan itu, Saudaraku.
Ada juga orang yang berkata: “Yah, dia itu orang biasa, mungkin dia melayani untuk cari muka”, dsb., semua kalimat-kalimat yang tidak enak di telinga. Kita seringkali mengatakan bahwa nelayan itu orang yang buta huruf, tidak mengerti apa-apa, sehingga pantas saja mereka mau meninggalkan semuanya. Tapi saya kasih tahu satu hal: penjala/ nelayan adalah orang yang penting di dalam industri pada waktu itu. Mereka adalah orang yang punya jabatan sangat terhormat, bukan seperti nelayan di zaman kita sekarang yang kita anggap tidak berguna, tinggalnya di gubuk-gubuk, kelompok marjinal yang tidak diperhatikan lalu cuma minta belas kasihan dan ditopang. Mereka bukan seperti itu. Simon dan Andreas, Yakobus dan Yohanes, bukanlah orang-orang upahan yang sederhana, apalagi buta huruf. Banyak penafsir yang mengatakan, bahwa karena mereka tinggal di tengah-tengah pusat industri, di lumbung ikan Galilea, maka kemungkinan besar mereka bukan orang-orang biasa, bisa jadi mereka salah satu pemilik industri perikanan pada saat itu. Saudara lihat di bagian ini, mereka punya orang-orang upahan, yang berarti mereka seorang pemilik/ bos. Saya harap mind set ini Saudara ubah; waktu Saudara yang tidak melayani berpikir ‘inilah orang-orang goblok yang dipakai Tuhan Yesus’, itu salah sama sekali.
Ketika Yesus memanggil Petrus, Petrus langsung meninggalkan jalanya dan mengikut Dia. Apakah Saudara pikir ini gampang? Kehidupan sudah survive, mapan, lalu Yesus mengatakan “Ikut Aku”. Kita seringkali berpikir, merasionalisasi, dalam pelayanan pun demikian –gua sibuk, kalau berdoa nanti waktu gua habis. Itu artinya Saudara pakai matematika dunia bahwa waktu, yang dikurangi berdoa, maka waktu bekerja jadi berkurang. Ada orang yang gajinya pas-pasan mengatakan: “Pak, gaji saya ini pas, gaji saya 3 juta tapi pengeluaran 5 juta, lalu apa saya harus memberi perpuluhan?” Saya tidak menjawab soal beri atau tidak beri, tapi saya katakan kepada dia: “Saudara sudah diberkati atau belum?” Dia jawab: “Sudah.” Saya tanya: “Berapa?” Dia jawab: “Tiga juta.” Dan saya cuma mengatakan: “Alkitab bilang, berikan perpuluhanmu, bergumullah untuk memilih.” Hitung-hitungannya, kalau 3 juta lalu beri perpuluhan 300 ribu maka sisa 2,7 juta, jadinya lebih tidak cukup. Bukankah itu selalu perhitungan kita? Kita melayani ego kita sebetulnya, sangat self centered, bukan melayani Tuhan.
Petrus ini, dikatakan bahwa dia langsung ikut, meninggalkan semuanya. Itu tidak gampang. Saudaraku, saya ingatkan satu hal yang bisa menjadi perenungan, kalau seandainya saat itu Petrus menolak, maka kita tidak pernah tahu kisah tentang Petrus, tentang bagaimana pergumulan Petrus. Kalau dia menolak, dia raib ditelan oleh kesementaraan, ‘siapa itu Petrus’ jadi tidak penting. Dan saat itu Petrus sedang menebarkan jalanya, dia sibuk; dia menebarkan jalanya karena dia tahu saat itu musim tangkap ikan. Panggilan selalu merupakan satu ujian yang berat. Mana yang lebih mudah, menerima pelayanan saat usaha Saudara sedang sepi, tidak ada pekerjaan, atau saat usaha sedang sukses, booming, ramai, dan Saudara pasti sibuk? Yang terakhir inilah yang akan menggeser pelayanan Saudara, kita seringkali berkata, “Tapi ‘kan tidak salah?? Aku ‘kan cari duit bukan karena aku tamak tapi karena ini penting”. Tetapi, kalau lagi sepi lalu berkata: “Yah, bolehlah pelayanan, lagi sepi soalnya”.
Saudaraku, Tuhan Yesus seringkali mengambil orang-orang yang sedang dalam keberhasilan, untuk menguji mereka, apakah mereka bisa melepaskannya atau tidak. Ujian itu bisa datang, dan datangnya sewaktu-waktu. Seperti juga panggilan kepada Abraham, yang sudah mapan di situ, sudah punya banyak relasi, lalu tiba-tiba Tuhan berkata: “Tinggalkan tempat ini.” Saya membayangkan, kalau saya jadi Abraham, jujur saja saya tidak berani jawab. Tapi ada juga orang yang sok mengatakan ‘gua juga akan pergi’ padahal hatinya sulit untuk pergi. Saudara-saudara, kita musti peka terhadap panggilan. Jangan kita diperangkap oleh dunia ini, jangan kita diperangkap dalam kesementaraan ini. Saudara dipilih, diselamatkan, untuk bertumbuh dan berbuah, bukan stagnan, bukan statis.
Selanjutnya dikatakan: Lalu mereka segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia (Mrk 1:18). Kata ‘segera’ muncul di sini. Dalam Injil Markus, kata ‘segera’ ini seringkali muncul. Saya kadang memikirkan hal ini, mengapa kata ‘segera’ itu muncul. Markus pernah menerima satu masalah, dia meninggalkan pelayanan karena ogah-ogahan. Di situ Paulus marah sekali. Dalam perjalanan kedua, Paulus berkata kepada Barnabas bahwa orang ini tidak bisa diajak ikut, dia tidak bertanggung jawab. Salahkah Paulus? Tidak. Saudara tentu mengerti, Paulus itu orang yang tegas, dia orang yang hebat, dia tidak main-main; dia akhirnya membawa Silas yang bisa berkotbah. Jadi Paulus bukan orang yang sembarangan, dia sudah memperhitungkan bahwa orang seperti Markus memang tidak bisa diajak. Tapi tarikan yang lain, Barnabas yang penuh dengan belas kasihan, mengatakan: “Sudahlah, kasih kesempatan lagi”.
Tentu saja semua punya kekurangan dan punya kelebihan, semua pasti ada side effect-nya. Saudara dibentuk dari imanensi dan transendensi, dari kasih dan keadilan; dan itu tidaklah gampang. Di tengah-tengah keadaan ditarik dari satu sisi dan ditarik dari sisi yang lain, itu tidak gampang. Pada waktu itu, Markus akhirnya ikut karena Barnabas. Tapi bukan berarti Markus mengabaikan kata-kata Paulus, Markus tahu Paulus itu hamba Tuhan yang benar, lalu dia mulai bergumul dan bergumul. Justru karena tarikan inilah Markus bertobat. Dia menjadi salah seorang penulis Injil. Dan yang lebih indah, Paulus mengerti bahwa rupanya yang dia katakan terlalu keras, sehingga di kemudian hari dia mengatakan: “Panggillah Markus, dia penting untuk saya.” Ini tentunya ini bukan karena situasi atau dinamika yang like-dislike, bahwa yang ini tidak cocok dengan saya, dsb. karena Kekristenan bukan seperti itu.
Markus ketika dalam satu keadaan kairos, dia tangkap itu, dan dia berhasil. Karena itulah di dalam tulisannya dia selalu mengatakan “segera”, tidak tunggu-tunggu lagi tapi langsung dan langsung. Tetapi kita tidak begitu; waktu diajak pelayanan, kita mengatakan: “Ya, ya, sebentar, iya, sekarang, sekarang.” Saudara tahu, hidup ini dibatasi waktu dan ditelan waktu; ketika Saudara mengatakan “sekarang”, waktu ‘sekarang’ itu sudah jalan dan sudah di sana, jauh di depan Saudara; apalagi kalau Saudara tunda, waktu jadi tinggal lebih sedikit lagi. Paulus, yang dulu dia sudah salah, mengerti hal ini; dia mengatakan: “Tebuslah waktumu!”
Perkataan ‘segera’ ini penting sekali; dikatakan bahwa segera, langsung, mereka meninggalkan jalanya dan mengikut Dia. Mereka meninggalkan ayahnya, meninggalkan perahunya, meninggalkan orang-orang upahannya. Dan itu berarti mereka juga meninggalkan kekayaannya, karena kalau mereka nelayan yang miskin, tidak mungkin memakai orang upahan. Kita sebagai orang yang bekerja, waktu mau pergi seringkali bingung bagaimana nanti orang-orang yang ditinggalkan, maka dalam hal ini yang dilakukan Petrus, Andreas, Yakobus, Yohanes bukan sesuatu yang main-main. Ini sulit sekali. Tapi mereka lakukan karena tahu hidup mereka bukan fokus pada kekayaan dan keberhasilannya. Hidup mereka berfokus pada apa yang Tuhan mau. Jadi bukan kekayaan melainkan panggilan. Dan panggilan ini sebenarnya adalah kalimat pembebasan dari ikatan pekerjaan itu yang mengikat, membelenggu, memborgol Saudara. Barangsiapa yang belum mau terjun di dalam pelayanan, orang ini sebenarnya belum dibebaskan, masih ada ikatan yang membelenggu sehingga sulit untuk melayani Tuhan. Selalu mikir, selalu hitung-hitugan, karena di balik jala itu ada profesi, ada kenikmatan, yang seringkali justru menghalangi pelayanan. Tapi saat Yesus memanggil mereka untuk meninggalkan profesi yang begitu menggiurkan, pelayanan itu adalah anugerah Tuhan yang begitu besar, maka seharusnya kita segera menerimanya. Saudara mungkin berpikir saya bicara gampang, tapi sebenarnya pergumulan saya juga seperti itu. Melayani tidaklah semudah itu. Waktu kepada Yesaya dikatakan ‘kamu mengabarkan Injil, nanti orang tidak akan menerima kamu’, mungkin Saudara pikir ‘ini ngomong apaan, emangnya ‘gak ada kerjaan??’ Tapi Yesaya taat karena ini Tuhan yang suruh, ini adalah panggilan Tuhan yang tidak pernah salah.
Jadi mereka menangkap panggilan sebagai kairos; dan kata ‘segera’ muncul. Orang yang dipanggil untuk melayani Tuhan, itu bukan karena dia hebat punya banyak talenta, melainkan karena Tuhan berbelas-kasihan mau melepaskan dia dari ikatan pekerjaan itu. Kita selalu diikat di dalam kesementaraan, terpatri di situ, berfokus pada apa yang Saudara dapatkan, yang sebenarnya –kalau mau jujur– tidak akan bisa membuat Saudara puas, selalu kurang, kurang, dan kurang, karena hati manusia ada satu kekurangan yang tidak bisa dipenuhi oleh apapun kecuali Tuhan sendiri. Kita betul-betul tidak sadar, kita terus terperangkap dan terfokus di situ. Kita perlu satu transformasi.
Apa gunanya Saudara melakukan segala sesuatu tapi tidak bernilai kekekalan? Tidak ada gunanya. Atau mungkin, okelah, ada sesuatu yang bernilai, tapi Tuhan katakan: “Itu jerami, jerami, jerami, bakar semua!” dan emasnya mungkin cuma 1 gram, lalu kita bingung, ‘koq bisa ya? dulu saya aktif lho’. Itu karena pelayanan Saudara bentuknya ritual, mungkin cuma karena takut dianggap malas. Ada satu keluarga yang cukup berhasil, katakanlah anaknya 3 orang. Papanya setiap kali pulang malam, sehingga mau bertemu anak pun susah. Lalu dia bilang ke anak-anaknya: “Papa pulang malam, setiap kali papa pulang kamu sudah tidur, tapi papa janji kamu tulis saja secarik kertas di situ, apa keperluanmu.” Lalu anaknya menulis semua, dan semua dipenuhi. Apakah Saudara rasa itu yang namanya memberi kecukupan pada anak? Malang sekali kalau Saudara mendidik anak hanya supaya dia cukup, dsb., tapi tidak mendidik dia, tidak memberi teladan, tidak menjadi contoh yang baik.
Saya kadang-kadang, jujur saja, malu waktu orang-orang bertanya: “Pak Rudy bagaimana sih mendidik anaknya?” seakan-akan saya ini orang besar, yang hebat, dsb. Saya malu, karena saya dulu juga pernah terikat di sini; saya kerja, jadi anak-anak dengan pembantu/ baby sitter. Sekarang saya baru menyesal mengapa tidak dari dulu mendidik anak-anak untuk baca Firman Tuhan, untuk ini, dan itu. Terlambat. Tapi anugerah Tuhan terlalu besar, saya bilang kepada mereka: “Kalau saya seperti itu, ini cuma karena anugerah Tuhan”, dengan itu saya mengaku bahwa saya bukan bapak yang baik sebenarnya jika ditinjau dari kriteria.
Lalu anak tadi, setelah semua dipenuhi, apa Saudara pikir dia jadi senang dan menganggap papanya itu bapak yang baik? Kadang-kadang anak ada rasa kesepian. Satu kali kalau didapati anak itu narkoba, bagaimana? Saudara akan terkejut sekali, badai itu muncul tiba-tiba. Karena itu Yesus memberi peringatan terhadap sikap yang terlalu asyik dengan harta duniawi. Di dalam perumpamaan tentang orang kaya di Lukas 12: 15, Yesus berkata: “Waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidak tergantung dari kekayaannya itu.” Kita hanya mengejar sesuatu yang bernilai sementara, dan kita tidak pernah dipuaskan untuk itu.
Pelayanan, apapun yang Saudara hasilkan, Tuhan ingin semuanya itu punya nilai kekekalan. Tidak salah orang diberkati; Yesus pernah mengatakan bahwa Dia memberi hidup dalam kelimpahan. Kapan? Sekarang. Bisa berupa kelimpahan uang? Bisa. Tuhan bisa memberi berkat kepada siapa saja, tapi waktu diberi berkat, orang ini sadar ‘mengapa Tuhan memberikan aku seperti ini, apa yang harus aku lakukan’. Yohanes 10 mengatakan tentang hidup yang melimpah, yang luber, bisa share kepada orang yang di luar. Dan menarik sekali dalam Doa Bapa Kami di Injil Lukas, perkataan komunal muncul justru dalam hal makanan, yang seharusnya diperjuangkan setiap orang. Memuji Tuhan itu bisa sama-sama, tapi kalau soal cari duit ‘ya sudahlah, jangan komunal-lah, satu-satu’, begitu menurut kita.
Kembali ke Lukas 9, ada beberapa orang yang dalam mengikut Tuhan ada persoalan. Ayat 57, orang pertama mengatakan "Aku akan mengikut Engkau, ke mana saja Engkau pergi." Kalau Saudara baca dalam Matius 8: 19-22, di situ ada kesamaan; orang ini sebenarnya seorang ahli Taurat, dan dia mengatakan, “Tuhan, ke mana saja Engkau pergi, aku ikut”. Ini positif, hebat, karena ke mana pun Yesus pergi, dia ikut. Namun Yesus menjawab dengan perkataan yang aneh: “Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya." Mengapa Yesus menjawab seperti itu? Karena motivasinya salah. Tidak selalu yang diucapkan baik berasal dari motivasi yang benar. Sekarang banyak orang munafik. Yesus saat itu sedang menuju Yerusalem, perjalanan untuk disalibkan; tapi ahli Taurat itu berpikir bahwa Yesus ke Yerusalem untuk jadi Raja, sehingga dia mau daftar dulu. Mengapa? Supaya dapat fasilitas. Ini bahaya sekali, kalau Saudara pakai Kekristenan dan Yesus Kristus jadi sarana. Seharusnya segala sesuatu yang terjadi adalah sarana untuk memuliakan Tuhan, tapi kalau Saudara pakai Yesus Kristus sebagai sarana, Agustinus mengatakan “ini jahat!” namun Saudara tidak sadar. Dan model seperti ini yang selalu dipakai orang Kristen, yaitu Yesus sebagai sarana. Apa Saudara tidak sedih? Sedih harusnya, sedih sekali. Orang itu mau ikut karena kepentingan; dan Yesus mengoreksi motivasi orang itu.
Orang kedua berkata: "Izinkanlah aku pergi dahulu menguburkan bapaku." Dalam hal ini, ada yang menafsirkan bahwa ayah orang tersebut baru saja mati. Tapi rasanya tidak mungkin kalau ayahnya itu betul-betul baru mati, lalu Yesus melarang dia menguburkan ayahnya. Penafsir lain mengatakan bahwa dalam tradisi saat itu, seorang anak, apalagi anak sulung, harus bertanggung jawab untuk menguburkan ayahnya sehingga biasanya anak tersebut tidak mau pergi jauh sebelum ayahnya mati; setelah ayahnya dikuburkan, baru dia mau. Jadi yang diminta orang kedua ini adalah penundaan, ‘jangan sekarang, Tuhan, nanti sajalah’. Model seperti ini banyak. Waktu kita meginjili, ada yang bilang “nanti kalau sudah tua”, nanti, nanti. Saudara bilang “nanti”, lalu kalau Saudara tiba-tiba mati, maka ketinggalan. Orang kedua ini mau menunda sampai ayahnya mati; yang dilakukannya ini sesuatu yang baik, tapi masalahnya dia lebih mengutamakan hal tersebut daripada mengikut Yesus. Kadang-kadang waktu di-injili, orang mengatakan: “Boleh ‘gak menghormati orangtua pakai sembahyangan? Bukankah itu baik, artinya memperhatikan?” tapi dia lupa bahwa memperhatikan harusnya waktu orangtuanya hidup, jangan sesudah mati. Hal-hal seperti itu kadang menghalangi seseorang untuk ikut Yesus Kristus, karena dia dianggap tidak hormat kepada orangtuanya. Inilah pergumulan.
Yesus berkata: "Biarlah orang mati menguburkan orang mati; tetapi engkau, pergilah dan beritakanlah Kerajaan Allah di mana-mana." Artinya, ‘orang yang mati rohani itu bisa menguburkan ayahmu, tapi kamu ikut Aku, beritakan Injil’. Jadi berarti orang ini orang Kristen, karena untuk memberitakan Injil tidak bisa diberikan kepada orang yang bukan Kristen. Tugas memberitakan Injil adalah tugas prioritas yang hanya bisa dikerjakan oleh orang Kristen yang sungguh-sungguh. Orang Kristen pun masih punya banyak alasan ketika dipanggil Tuhan, yang kalau ditarik-tarik ke belakang, sebenarnya maksudnya dia tidak mau melayani.
Orang yang ketiga juga menawarkan diri, tapi Yesus berkata: “Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah." Yesus tidak anti keluarga. Yesus juga peduli terhadap mertuanya Petrus yang sakit, karena Dia peduli kehidupan keluarga. Yesus juga bukan melarang orang ini berpamitan kepada keluarganya, tetapi Dia mengarahkan pandangan ke depan, sebagaimana bagi setiap orang Kristen hidup adalah peperangan rohani, yang mungkin tidak disadari oleh banyak orang. Jadi setiap alasan harus dibuang. Dan konteks pada saat itu, mata bajak itu mahal sekali, sehingga waktu membajak, kita harus hati-hati jangan sampai mata bajaknya kena batu lalu patah. Orang yang membajak harus selalu fokus melihat ke depan. Dan kalau orang membajak saja tidak boleh menoleh ke belakang, apalagi mengikut Tuhan??
Kembali lagi, yang pertama tadi terlalu siap tapi motivasinya salah. Yang kedua terlalu tidak siap. Yang ketiga menoleh ke belakang, menolak. Dan yang terakhir ingin saya bicarakan di sini adalah panggilan terhadap Lewi, seorang pemungut cukai, pekerjaan Lewi menjadi gunjingan banyak orang.
Di dalam percakapan orang-orang, ada pertanyaan-pertanyaan yang muncul soal apakah yang membuat seseorang menjadi najis lalu tidak suci di hadapan Tuhan, apakah yang membuat seseorang tidak lagi jadi manusia seutuhnya sesuai dengan kehendak Tuhan? Dan kalau Saudara tanya hal ini kepada orang-orang Farisi dan ahli Taurat, mereka bisa menunjukkan dengan tepat, bahwa yang pertama jikalau orang terkena penyakit kusta maka seluruh hidupnya menjadi najis, tidak tahir, sehingga harus dipisahkan dari masyarakat, dari hadapan Tuhan, dan tidak boleh menghadap Tuhan di Bait Allah. Jadi jikalau seseorang terkena kusta, dalam waktu seketika definisi hidupnya berubah total, dia seolah-olah di-persona non grata-kan. Yang kedua, jikalau seorang menderita sakit lumpuh. Orang yang sudah tidak mampu berjalan, tidak berdaya apa-apa, maka seluruh fungsi hidupnya berkurang. Memang tidak segawat orang yang berpenyakit kusta, tapi dia tidak punya kekuatan untuk hidup sebagaimana patutnya seorang manusia yang sehat yang bisa bekerja.
Kedua hal ini di dalam Markus 1: 40-45 dan Markus 2: 1,2 sudah dibereskan oleh Tuhan Yesus. Dan panggilan Lewi terjadi setelah ayat berikutnya, yaitu Markus 2:13 dan seterusnya; ini belum dibereskan oleh Yesus Kristus. Jadi yang ketiga adalah jikalau seorang itu pemungut cukai. Pemungut cukai adalah orang yang najis dan tidak suci, dan ini celaka. Mengapa celaka? Pemungut cukai itu celaka bukan karena keberadaannya, tapi berhubungan dengan pekerjaannya. Mungkin Saudara pikir, lho, pekerjaan koq bisa diikut-ikutkan? Bukankah hidup manusia itu tidak bisa dilepaskan dari pekerjaan? Jikalau –sekali lagi, jikalau– pekerjaan tidak bisa dipisahkan dari hidup kita, betapa riskannya hidup ini, karena pekerjaan bisa menjadikan hidup kita najis dan tidak berkenan di hadapan Tuhan.
Kusta dan lumpuh mungkin bukan pengalaman kita, tapi tentang pekerjaan, siapa di antara kita yang tidak bekerja?? Semua orang bekerja. Dalam keadaan seperti ini, kita melihat panggilan Lewi oleh Tuhan sebenarnya merupakan panggilan yang sangat penting karena pekerjaannya itu sebenarnya sudah mendefinisikan kehidupan Lewi; ‘pemungut cukai’ itu dilabelkan pada Lewi. Pada saat manusia terkena kusta, saat itulah seluruh definisi hidupnya berubah, tapi itu disebabkan oleh keberadaannya; demikian juga orang yang lumpuh. Sedangkan atribut yang dikaitkan dengan panggilan Lewi ini adalah ‘pekerjaan’ bukan ‘keberadaan’. Mengapa pemungut cukai dibenci oleh orang Farisi dan dianggap najis? Saudara, persoalannya bukan pekerjaannya suci atau tidak bagi orang Farisi, tapi semua pekerjaan bisa menajiskan kalau berhubungan langsung dengan orang-orang Roma pada waktu itu. Karena itu, waktu Lewi dipanggil, orang-orang Farisi langsung men-judge dia.
Waktu Tuhan memanggil Lewi, ini sebenarnya memperlemah gerakan-Nya. Seandainya Tuhan ingin membuat gerakan jadi besar, harusnya jangan panggil Lewi, jangan membuat sesuatu yang kontroversial. Saya kaget waktu membaca dalam Kitab Samuel tentang triwira Daud, lalu di situ ada beberapa puluh orang yang ternyata orang-orang buangan, yaitu orang yang berutang, orang yang sakit hati, dan semua orang yang bermasalah. Tapi ada pekerjaan Tuhan atas orang-orang seperti itu, mereka di-transformasi sehingga mereka menjadi pahlawan-pahlawan yang luar biasa. Bagi saya, itu luar biasa. Jadi panggilan Yesus kepada Lewi sebenarnya sangat memperlemah gerakan. Kita berpikir, kalau Tuhan ingin gerakan yang besar, jangan panggil dia dong, nanti dia jadi batu sandungan, jadi sesuatu yang kontroversial. Mengapa Dia memanggil Lewi yang dianggap sudah berdosa, tercemar karena menjadi pengikut sistem Roma, jadi antek Romawi? Dan Yesus Kristus bukan hanya memanggil, tapi Dia memanggil Lewi menjadi murid-Nya, menjadi Rasul, satu jabatan yang sangat tinggi. Mengapa Yesus berani melakukan itu? Kalau Yesus tidak mengerjakan ini, maka seluruh hidup manusia tidak pernah ada harapan karena tidak ada panggilan itu, manusia terikat terus, berinteraksi terus dengan dunia ini.
Siapa yang bisa melepaskan diri kita dari dunia ini? Dari pengaruh pekerjaan hidupnya? Tidak ada. Jikalau tidak ada panggilan Tuhan, maka tidak ada harapan bagi kita untuk hidup di kota besar dan bisa tetap setia mengikut Tuhan. Panggilan merupakan sesuatu yang sangat penting. Panggilan itu harus Saudara resapi dengan sungguh-sungguh, bukan sekedar hari Minggu musti begini begitu.
Calvin mempelajari lebih jauh mengenai apa itu pekerjaan, mengenai bagaimana Tuhan memberikan mandat kepada Adam dan Hawa “kelolalah bumi, usahakanlah bumi” (Kej 1:28), untuk memimpin orang-orang yang bekerja. Setelah pengertian ‘bekerja’ dikembangkan, pengertian ‘pekerjaan’ dipelajari. Dua hal ini digabungkan oleh Calvin menjadi 1 pengertian yang sama sekali berbeda, yaitu bahwa bekerja sebenarnya juga merupakan panggilan Tuhan. Kalau Saudara baca Surat Petrus, dikatakan: “engkau adalah imamat yang rajani”. Saudara boleh berprofesi apapun, tapi itu adalah profesi yang kedua. Profesi Saudara yang pertama adalah melayani Tuhan. Saudara adalah imam, kerajaan imam.
Bagi orang Farisi, panggilan imam adalah pekerjaan rohani; sedangkan pekerjaan di luar itu, tidak bisa tidak, hanya menajiskan manusia, apalagi di tengah-tengah kehidupan yang bersaing menggunakan segala cara. Bagi orang Farisi, panggilan berarti harus meninggalkan pekerjaan, karena pekerjaan bisa membuat hidup ini najis. Itu karena mereka memisahkan panggilan dan pekerjaan. Waktu Yesus Kristus bertemu dengan Zakheus, yang juga pemungut cukai, Yesus tidak menuruh dia meninggalkan pekerjaannya setelah ikut Tuhan. Zakheus tetap menjadi seorang pemungut cukai, tapi seorang pemungut cukai yang berbeda dari pemungut cukai sebelum menerima panggilan itu. Zakheus ditransformasi oleh Tuhan. Dia menjadi pemungut cukai yang baik. Yohanes Pembaptis tidak menyuruh para pemungut cukai meninggalkan pekerjaannya dalam Lukas 3:12-13; dia mengatakan “tetaplah di dalam pekerjaanmu”. Karena apa? Karena sebenarnya kalau kita mau jadi orang Kristen yang benar, yang tahu panggilannya, maka pekerjaan tidak selalu mendefinisikan Saudara. Saudaralah yang harus mendefinisikan pekerjaan, ‘saya bekerja ini untuk apa?’ Yaitu untuk hormat dan kemuliaan Tuhan.
Bagi orang Farisi, Lewi sudah tidak punya pengharapan sama sekali untuk diampuni, apalagi jadi orang yang lebih baik bahkan jadi orang besar. Tuhan tidak pernah membereskan soal pekerjaan Lewi, yang Tuhan mau bereskan adalah dengan panggil dia, “Ikut Aku”. Itu yang membuat satu terobosan. Panggilan tidak identik dengan apa yang kita kerjakan. Tetapi panggilan dan pekerjaan tidak boleh dipisahkan. Kalau panggilan kita pisahkan dari pekerjaan, dan yang kita kerjakan kita pisahkan dari panggilan Tuhan, maka secara tidak langsung pekerjaan akan mendefinisikan hidup Saudara. Dan akhirnya kita tidak bisa berdaya untuk hidup memperkenankan hati Tuhan. Tapi jikalau Saudara betul-betul memahami panggilan lalu sama sekali tidak perlu bekerja lagi, maka itu juga memberikan arti yang kosong atas panggilan untuk menyatakan kemuliaan Tuhan dalam dunia ini. Saudara diselamatkan bukan berarti boleh santai-santai tidak bekerja, Paulus mengatakan “kerjakan keselamatan itu!”
Yesus rela datang ke dalam dunia, dan kegelapan mencoba menenggelamkan Dia. Orang-orang menolak Dia, ada ketakutan, ada paranoia dari Herodes yang lalu membunuh bayi-bayi, tapi dikatakan “terang itu tetap bercahaya”, terus bercahaya di dalam dunia yang gelap ini. Dan ada satu orang yang diberi gelar ini, yaitu Yohanes Pembaptis; dia adalah pelita yang bersinar dan terus bercahaya. Itulah hidup orang Kristen. Jadi bagi orang Kristen tidak ada pilihan lain kecuali siap, aktif masuk ke dalam dunia, tidak boleh menjadi pasif. Dalam hal ini, Yesus Kristus mengatakan bahwa tidak masalah kita berada di dalam dunia, dan Dia mengatakan: “Aku sudah mengalahkan dunia ini”. Itu menjadi acuan kita. Itu yang membuat kita berharap jadi satu kesaksian yang hidup yang memuliakan Tuhan, dan menikmati Tuhan selama-lamanya. Itulah panggilan kita. Berapa banyak air mata kita curahkan karena salah melangkah?
Waktu orang Farisi menghakimi Lewi, mereka terperangkap di dalam satu pikiran yang sempit, maka yang muncul selalu kemarahan dan kebencian, like-dislike. Bukankah ini –‘saya tidak suka sama orang itu’– juga seringkali muncul di dalam Gereja? Panggilan kepada Lewi ini terjadi di Kapernaum, tempat Lewi tinggal; dan Yesus pernah mengatakan “Kapernaum, kapernaum”, Dia selalu memperingatkan tempat itu. Apakah gunanya kita terus terhisap dalam keadaan penuh prasangka? Bukankah di dalam Gereja kita juga penuh prasangka, me-label seseorang? Saya cuma mau mengatakan, dengarlah panggilan Tuhan. Panggilan Tuhan bukan hanya bagi seseorang yang melayani Tuhan meninggalkan pekerjaannya menjadi Hamba Tuhan, tapi panggilan “ikutlah Aku” adalah panggilan di tempat sekarang ini Saudara berada, siapapun Saudara, apapun pekerjaan Saudara, sama seperti Lewi yang selalu diumpat karena orang menghakimi dia berdasarkan pekerjaannya. Seluruh tenaga sudah habis, pulang ke rumah sudah capek, tidak ada kekuatan lagi, dianggap najis dan berdosa; mungkin seumur hidupnya itulah yang menghantui Lewi, sampai panggilan tiba kepadanya, “ikut Aku”, dan mind set-nya langsung berubah.
Pertanyaannya: Sungguhkah kita mendengar panggilan itu? Sungguhkah kita membawa kembali pekerjaan kita, dan seluruh rangkaian hidup kita kembali kepada panggilan Tuhan? Ada 2 kata yang dicatat oleh Markus yang menyatakan respons dari orang-orang yang mau mengikut Yesus Kristus: meninggalkan, dan mengikuti Dia.
Menarik bahwa waktu Bartimeus melalui perjalanan yang cukup panjang, dan juga cukup militan, berseru-seru “Yesus, Anak Daud, kasihanilah Aku!’, lalu ketika dia dibawa sampai ke hadapan Yesus, Tuhan tidak langsung menyembuhkan dia. Yesus menanyakan satu perkara: “Apa yang engkau kehendaki supaya Aku perbuat bagimu?” Mungkin Saudara akan berpikir, ‘ya, aku butalah, masa Kamu ‘gak tahu kebutuhanku??’ Pertanyaan Yesus ini sebetulnya menstimulasi kebutuhan Bartimeus, ‘setelah Aku menyembuhkan matamu, apakah kamu mau tetap jadi pengemis?’ Jawaban seharusnya: tidak. Itulah sebabnya dengan mantap dan tidak ragu, Bartimeus berkata, “Tuhan, aku mau melihat”. Bartimeus bukan aji mumpung, mumpung Orang yang menawarkan ini punya semuanya lalu dia mau ini dan itu dan ini dan itu. Setelah Tuhan mencelikkan matanya, Markus mencatat: ‘dia meninggalkan dan mengikut Yesus Kristus’.
Apa yang patut kita tinggalkan? Semua atribut yang sudah kita tempatkan dalam hidup kita, yang sudah melekat bahkan mengikat, yang sudah mendefinisikan hidup kita, yang mengatakan ‘kamu harus begini begitu’. Lalu apakah berarti setelah kita menerima panggilan Tuhan itu, kita menarik diri, mengundurkan diri dari dunia ini? Tidak, sama sekali tidak. Karena Tuhan ingin menjadikan Suadara penjala manusia, dari fisherman harus dipisahkan menjadi fisher of men –satu lompatan/ terobosan. Tuhan yang memanggil mereka dari Danau Galilea, apakah memerintahkan mereka sekarang untuk pergi meninggalkan Danau Galilea selama-lamanya? Tidak. Setelah Yesus bangkit, Dia menyuruh mereka untuk pergi lagi ke Galilea, katanya: “Aku akan bertemu engkau di sana”. Lalu Yesus memberikan satu amanat, “Sekarang engkau pergi, jadikan seluruh bangsa itu murid-Ku; Yerusalem, Yudea, Samaria, sampai ke ujung bumi”. Itulah panggilan kita. Mengapa kita menginjili, mengadakan KKR? Karena itu juga panggilan kita. Bukan sekedar panggilan yang melayani ego kita, tapi panggilan yang mau kita persembahkan kepada Tuhan.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading