Di dalam Kebaktian ini kita mengambil ayat-ayat sesuai Kalender Gereja, yang diambil dari Losungen, semacam buku kecil yang dipakai di gereja-gereja Jerman. Ayat pada Kalender Gereja hari ini diambil dari Perjanjian Lama, Keluaran 19: 1-6, LAI memberikan judul “TUHAN menampakkan diri di gunung Sinai”. Tema khotbah hari ini adalah ‘Panggilan untuk perjanjian kekudusan’ (A call to covenant holiness), yang saya ambil dari tafsirannya Douglas Stuart.
Di bagian ini kita membaca cerita mengenai orang Israel setelah mereka dipanggil keluar dari tanah Mesir, dan kemudian tiba di padang gurun Sinai pada bulan ketiga. Sinai adalah satu tempat penting dalam Perjanjian Lama, karena di situlah Allah Yahweh mengikat perjanjian dengan umat pilihan-Nya, Israel. Cerita tentang Israel sudah dimulai dari cerita panggilan Abraham dalam kitab Kejadian. Di sini tokoh utamanya adalah Musa, yang me-mediasi antara Yahweh dan Israel; dan selanjutnya kita akan melihat bagaimana Israel juga dipanggil untuk menghidupi narasi mediator tersebut, seperti Kristus.
Judul khotbah kita hari ini “Perjanjian Kekudusan” (Covenant Holiness). Ini dua hal yang tidak bisa dipisahkan, bahwa mengikatkan diri dengan Allah (covenant) pasti di dalamnya melibatkan kekudusan; tidak boleh ada ikatan dengan ilah-ilah bangsa-bangsa lain –ada kekudusan di sini. Kekudusan artinya terutama adalah dipisahkan/dikhususkan –dikuduskan– untuk menjadi satu komunitas yang memiliki satu panggilan khusus, narasi yang khusus, kisah hidup yang khusus, tujuan yang khusus –semuanya khusus dan kudus sebagaimana ditetapkan oleh Allah sendiri.
Bagi manusia modern seperti kita, istilah kovenan (covenant) seperti agak asing, tapi sebetulnya istilah ini bukan istilah orisinal dari Alkitab –sebagaimana banyak istilah lain dalam Kitab Suci. Yang disebut kovenan/perjanjian, sebetulnya adalah ideologi ikatan bangsa dengan bangsa, bangsa yang kecil memberi upeti kepada bangsa yang besar. Dalam hal ini, cerita yang paling dekat adalah hubungan Israel dan Mesir. Israel berada di bawah penguasaannya Mesir, Israel musti tunduk kepada Mesir; relasi ini semacam relasi kovevan, meski tentu saja bukan holy covenant tapi kovenan duniawi. Kalau kita melihat di dalam konsep seperti ini, berarti ketika Tuhan memanggil Israel, Tuhan itu berinisiatif mengikatkan diri-Nya dengan Israel. Ini suatu tindakan bebas dari Allah, suatu tindakan berdaulat, dan terutama juga suatu tindakan yang indah karena Israel tadinya berada di dalam jejaring kovenan-kovenan. Kita di dalam dunia juga ada banyak ikatan dengan pengertian yang keliru, misalnya ikatan dengan yang berkuasa/lebih kuat, yang akhirnya menjajah kita, membuat kita jadi in boundage. Waktu Tuhan masuk di dalam kehidupan Israel, dimulai dengan cerita panggilan Abraham lalu beranak cucu dsb. sampai dengan Yusuf, lalu karena bahaya kelaparan mereka tinggal di Mesir. Tapi sebetulnya tujuan akhirnya bukan di sana, mereka mau dibawa ke tanah perjanjian, namun akhirnya untuk sementara waktu –waktu yang sama sekali tidak singkat–mereka diperbudak di Mesir. Di dalam gambaran seperti ini, Yahweh memanggil Israel keluar dari Mesir, dan mengikatkan diri-Nya dengan Israel. Ini tindakan bebas/berdaulat dari Allah, dan tindakan yang membebaskan. Allah sendiri adalah Allah yang bebas, Allah yang berdaulat, dan Dia membebaskan. Membebaskan Israel dari apa? Dari ikatan-ikatan yang salah.
Di dalam sejarah keselamatan, kalau kita tarik terus maka kisah Israel sampai kepada zamannya hakim-hakim, raja-raja, nabi-nabi, lalu karena ketidaktaatan akhirnya masuk ke pembuangan (exile). Apa yang sebetulnya terjadi dalam cerita exile? Dalam cerita Keluaran (exodus), Yahweh membuka kovenan sehingga Israel tidak perlu tinggal dalam kovenan-kovenan yang palsu dengan “the powerful” yang salah, yang ada di dalam dunia ini, yang sifatnya menjajah, merdeuksi, menyempitkan kehidupan ini, untuk bisa menikmati satu relasi yang indah dengan Allah yang sejati, yang bukan menindas melainkan membebaskan; namun dalam sejarah Israel, yaitu tentang kejatuhan kerajaan Utara, kita membaca bahwa politikus-politikus Israel berpikir keadaan mereka sangat tidak aman, bisa diserang bangsa Asyur, akhirnya mereka berpikir menurut hikmat manusia dan menjalin hubungan dengan Mesir, membuat aliansi dengan “the powerful”, yaitu bangsa Mesir tadi. Ini ironis sekali; sementara di dalam Keluaran, Yahweh membebaskan Israel dari “kovenan” yang keliru dengan Mesir supaya diikatkan perjanjian dengan Yahweh, tapi kemudian menjelang kerajaan Utara itu runtuh (722 BC), Israel malah menjadi tergoda untuk melakukan perzinahan –sebagaimana istilah yang dipakai dalam tulisan para nabi.
Perzinahan adalah tidak mencukupkan diri dengan kovenan yang diinisiasi oleh Yahweh; karena apa? Karena menganggap itu tidak konkret; ‘Yah, Yahweh memang powerful, tapi masalahnya Dia tidak kelihatan, sedangkan bangsa Asyur ini sangat kelihatan, ada di depan mata, dan sewaktu-waktu bisa menyerang kita; jadi kita kayaknya perlu aliansi dengan yang kelihatan, Mesir, yang kita bisa harapkan’. Celakanya, setelah bangsa Israel mengikat kovenan dengan Mesir, itu malah memprovokasi Asyur (Asyria) untuk kemudian melakukan penyerangan terhadap kerajaan Utara, dan akhirnya kerajaan Utara runtuh –justru karena Israel menjalin kovenan dengan Mesir. Dan celakanya, sudah dikatakan dalam kitab Keluaran bahwa Tuhan membebaskan Israel dari ikatan/kovenan yang keliru dengan Mesir lalu Yahweh membuka kovenan dengan Israel –tindakan Yahweh yang sama sekali tidak harus, suatu tindakan anugerah, tindakan belas kasihan, tindakan bebas dari Yahweh untuk membawa Israel kepada-Nya.
Di dalam ayat 4 pembacaan hari ini, kita membaca perkataan “membawa kamu kepada-Ku”; inilah maksudnya, bahwa Yahweh mengikat perjanjian, membuat kovenan dengan Israel. Kita juga membaca di situ, bagaimana Yahweh membebaskan mereka dari Mesir, dikatakan: “bagaimana Aku telah mendukung kamu di atas sayap rajawali”. Yang digambarkan di sini sebetulnya gambaran exodus, bagaimana Yahweh menerbangkan Israel keluar dari ikatan bangsa Mesir yang powerful itu, supaya Israel sekarang bukan terikat pada kuasa-kuasa dunia ini, bukan kepada ideologi-ideologi dunia ini, bukan kepada the powerfuls yang dirayakan di dalam dunia ini, melainkan dengan Allah.
Keterikatan dengan Allah ini harusnya menjadi satu narasi yang membebaskan, karena Allah bukanlah seperti bangsa-bangsa lain, bukan seperti “the powerful” yang ada dalam dunia ini, yang sambil berkuasa sambil menindas, mengeksploitasi, memeras, dst. Allah tidak demikian. Namun herannya, di dunia ini banyak orang lebih memilih untuk percaya pada ideologi-ideologi dunia daripada percaya kepada Tuhan. Mereka lebih memilih mengikatkan diri dengan the worldly powerful, entah itu Mesir atau Asyria, Babilonia, Media Persia, atau apapun; dan di zaman kita sekarang juga ada ideologi-ideologi yang menggantikan ini, yang sifatnya juga memperbudak dan menindas kehidupan manusia.
Yahweh adalah Allah yang membebaskan dan Allah yang memberikan satu kisah hidup yang baru bagi Israel, dengan cerita relasi kovenan (covenantal relationship) ini. Apa sih isinya? Ini sesuatu yang penting sekali, sampai-sampai di ayat 3 secara bahasa Ibrani merupakan sesuatu yang disebut synonymous parallelism, diulang sampai dua kali, misalnya dalam kalimat ‘naiklah Musa menghadap Allah, dan TUHAN berseru dari gunung itu kepadanya’.Dikatakan di sini, Musa naik menghadap Allah, dan Tuhan berseru kepada Musa dari gunung itu; ini struktur kiastik. Dan perhatikan kalimat berikutnya: “Beginilah kaukatakan kepada keturunan Yakub dan kauberitakan kepada orang Israel”; ini synonymous parallelism, “kaukatakan kepada keturunan Yakub” dan “kauberitakan kepada orang Israel”. Istilah ‘kaukatakan’ dan ‘kauberitakan’, adalah sinonim; ‘keturunan Yakub’ dan ‘orang Israel’ juga adalah sinonim. Jadi di sini sampai diulang dua kali. Ini berarti suatu penegasan, isinya penting sekali.
Isinya dimulai dengan apa? Isinya dimulai dengan cerita anugerah pembebasan; ayat 4: “Kamu sendiri telah melihat apa yang Kulakukan kepada orang Mesir, dan bagaimana Aku telah mendukung kamu di atas sayap rajawali dan membawa kamu kepada-Ku.” Yahweh yang berinisiatif, Yahweh yang membebaskan, Yahweh yang menghancurkan Mesir –bukan Israel–yang berperang adalah Yahweh sendiri. Bahkan kalau Saudara membaca sampai kitab Yosua, tetap saja panglima perangnya bukan Yosua melainkan Yahweh, Tuhan sendiri. Yahweh yang berinisiatif, Yahweh yang berdaulat, Yahweh yang memanggil keluar, Yahweh yang bekerja, yang berkarya, yang berperang bagi Israel.
Dimulai dengan cerita anugerah, ikatan anugerah. Ini adalah perjanjian anugerah, tapi bukan berarti tidak ada tanggung jawab di dalamnya; kalau kita membaca di ayat 5, dikatakan: “Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku”. Allah adalah Allah yang berbicara, yang berfirman, maka umat-Nya adalah umat yang mendengar firman. Allah adalah Allah yang berjanji, yang memberi janji, maka Israel –umat pilihan-Nya—adalah umat yang memegang janji Tuhan. Ini dikatakan dalam kalimat kondisional tersebut, “jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi”.
Perhatikan di sini, bagian ini jangan dianggap sepele, bahwa ada penekanan tentang iman monoteisme, yang ditekankan sudah sejak kitab Keluaran ini, yang merupakan pernyataan paling awal dalam Perjanjian Lama, yaitu dalam kalimat “Akulah yang empunya seluruh bumi”. Maksudnya, bahwa kovenan itu tidak bisa ada ikatan dengan ilah-ilah atau ideologi-ideologi yang lain, tidak bisa ada “the powerfuls” yang lain; yang seperti itu bukanlah monoteisme. Berhala-berhala harus disingkirkan, karena berhala-berhala tidak kompatibel –‘gak nyambung-– dengan perjanjian dengan Yahweh. Itu sebabnya kita pakai istilah “covenant holiness”, panggilan perjanjian kekudusan. Kekudusan artinya menyembah hanya Yahweh saja, Tuhan saja, dan tidak yang lain; beribadah kepada Tuhan saja dan mendengarkan Dia saja, bukan allah-allah yang lain. Di dalam dunia ini ada persaingan “firman”, persaingan suara. Mungkin di zaman kita bukan saja persaingan ‘suara’, tapi juga persaingan ‘gambar’; gambar yang mencoba untuk bersuara tanpa ada suara, lalu kita didikte oleh gambar-gambar itu, kata-kata itu, pesan-pesan itu, berita-berita yang ada di dalam dunia ini. Mana yang kita dengarkan?
Salah satu ayat yang terkenal adalah ayat shema itu, “dengarlah hai Israel, TUHAN itu esa”. Ini kalimat yang menunjukkan moniteisme, Tuhan itu esa. Tuhan itu satu. Allah itu esa, satu, tidak ada duanya, tidak boleh ada allah yang lain yang kita ini mendengarkannya. Ini mengingatkan kita kepada Yesus Kristus, Sang Gembala Agung; Yesus mengatakan, “Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku”, sedangkan terhadap gembala-gembala asing mereka tidak mendengarkannya, gembala-gembala itu adalah pencuri, perampok, dsb. Lagi-lagi di sini ada motif ‘kekudusan’ (holiness) meskipun tidak secara eksplisit, ketika dikatakan mereka mendengar Sang Gembala Agung, dan hanya mendengar Dia saja, bukan suara-suara yang lain.
Sekali lagi, di ayat 5 kita membaca kalimat kondisional itu; Yahweh mengatakan: “… jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku”. Orang senang mendengar kalimat ‘menjadi harta kesayangan-Ku’ ini, menjadi harta kesayangan Allah, biji mata Allah. Kita suka menikmati kalimat-kalimat seperti ini, tapi orang seringkali lupa Tuhan menempatkan kita di dalam fungsi mediator, seperti Kristus. Konsep ini jelas sekali, termasuk juga dalam konsep kovenan. Dijadikan harta kesayangan bukanlah untuk dinikmati sendiri secara narsisistik atau eksklusif yang ge-er sendiri, senang sendiri, terharu sendiri, merasa dicintai sendiri; yang seperti ini, model Kekristenan yang tidak bertumbuh. Kalau kita cuma jadi orang Kristen yang terharu, merasa dicintai, diperhatikan, dijadikan harta kesayangan, tapi tidak sadar bahwa kita diberikan fungsi mediasi, cuma tahu menerima, dicintai, dikasihi, dsb., maka berarti kita tidak bertumbuh.
Perhatikan di dalam cerita panggilan Abraham, Kejadian 12 yang terkenal itu, di situ Abraham dipanggil, diberkati, untuk menjadi berkat. Kejadian 12: 2, “Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat.” Tuhan mengatakan akan membuat Abraham menjadi bangsa yang besar, memberkati Abraham, membuat nama Abraham masyhur, lalu kalimat terakhirnya: “dan engkau akan menjadi berkat”. Kenapa diberkati? Kenapa dijadikan bangsa yang besar? Kenapa dibuat namanya masyhur? Yaitu supaya menjadi berkat. Sedikit mengulang pembahasan kitab Ester oleh Pendeta Jethro, dikatakan oleh Mordekhai, “siapa tahu engkau (Ester) itu ditaruh di posisi ratu, untuk saat-saat sulit seperti ini” –bukan untuk menikmati sendiri menjadi ratu, masyhur, dsb. Tuhan memberikan kita berkat, supaya kita bisa menjadi berkat. Tuhan membuat nama kita msyhur, supaya kita bisa lebih menjadi berkat. Lalu ayat 3, “Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat” –semua kaum di bumi akan mendapat berkat; ini adalah cerita panggilan Israel, karena Abraham adalah bapa leluhur Israel. Abraham dipanggil, diberkati, dipilih –dijadikan harta kesayangan, menurut istilah Keluaran 19– untuk menjadi berkat. Jadi fungsinya jelas, bukan cuma penerima tapi juga intermediasi, sama seperti Kristus diurapi bukan demi diri-Nya sendiri melainkan bagi gereja-Nya.
Waktu membahas jabatan rangkap tiga Kristus, khususnya dalam hal jabatan ‘nabi’, Calvin menegaskan bahwa Kristus diurapi sebagai nabi bukan hanya bagi diri-Nya sendiri yang adalah Guru, melainkan pengurapan-Nya sebagai nabi tersebut diaplikasikan atau diteruskan/ditransfer kepada Gereja, tubuh-Nya yang kudus yang sudah ditebus oleh-Nya. Kristus yang adalah Allah sejati dan manusia sejati, pengurapan-Nya bukan bagi diri-Nya sendiri tapi bagi yang lain; dengan demikian, Gereja, seperti Israel dan seperti Kristus, seharusnya juga seperti itu, yaitu kehidupan yang diberkati, diurapi, disertai, dijadikan harta kesayangan, demi yang lain. Ini namanya Church for others, bukan Church for himself atau herself, melainkan for others. Gereja bagi yang lain, Gereja yang adalah hamba bagi yang lain. Kalimat ini di dalam Keluaran 19: 6 jelas sekali: “Kamu akan menjadi bagi-Ku –bagi Yahweh, bukan bagi dirimu sendiri– kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus kaukatakan kepada orang Israel.”
Apa artinya ‘kerajaan imam, bangsa yang kudus’? Dalam istilahnya Petrus dikatakan ‘imamat yang rajani’, ‘imamat’ kata bendanya, ‘rajani’ kata sifatnya; lalu di sini ‘kerajaan imam’, ‘kerajaan’ kata bendanya, ‘imam’ kata sifatnya. Berbicara tentang imam, jelas bicara tentang fungsi mediasi, mediatorship, intermediation; maka ‘kerajaan imam’ artinya kerajaan Allah yang dihadirkan dalam kehidupan umat Israel, supaya umat Israel bisa berfungsi sebagai imam. Memang di Israel sendiri ada imam-imam dan imam besar, tetapi Israel itu sendiri mempunyai fungsi ‘imam’; dan boleh dibilang inilah summary dari kovenan. Jadi, mengapa Yahweh mengikatkan diri-Nya dengan Israel, untuk apa dan ke mana tujuannya, apa isinya, yaitu sebagaimana ayat 6 inilah summary-nya, supaya Israel dijadikan bagi Yahweh, kerajaan imam dan bangsa yang kudus.
Kita mau merenungkan apa artinya ‘kerajaan imam dan bangsa yang kudus’. Douglas Stuart di dalam tafsirannya membicarakan 4 hal di sini; tapi sebelum membahas 4 hal tersebut, kita melihat dulu bagaimana seharusnya Israel merepresentasikan Yahweh, Allah yang kudus itu.
Sebagai umat yang kudus atau bangsa yang kudus yang dipilih oleh Allah sendiri, Israel harusnya berbeda dari bangsa-bangsa yang lain, karena mereka merefleksikan sifat-sifat Allah yang mereka percayai. Ini satu dalil yang tidak bisa kita ubah, bahwa dalam kehidupan kita sebagai manusia, kita selalu merefleksikan apa yang kita percayai. We are what we believe, we always reflect what we believe, entah itu Allah yang sejati atau allah yang palsu. Kepercayaan kita akan mendikte kehidupan kita, menghadirkan suatu narasi yang kemudian kita hidupi, entah kita sadar atau tidak, entah kita bisa mengartikulasikannya dengan baik atau tidak, dan entah-entah yang lain semua; yang pasti, kita pasti merefleksikannya. Allah seperti apa yang kita percaya, kita akan merefleksikannya.
Israel percaya kepada Allah yang benar, the God of truth, maka di dalam kehidupannya Israel musti merefleksikan apa artinya kebenaran, apa artinya mengenal Allah yang benar.
Allah yang dipercayai Israel bukan hanya benar, Dia juga adalah Allah yang adil (righteous). Itu sebabnya di dalam Taurat banyak sekali urusan keadilan –karena Allah yang dipercayai Israel adalah Allah yang adil. Orang yang percaya kepada dewa atau ideologi yang tidak adil, yang memihak kelompok tertentu, maka dia akan menjadi orang yang seperti itu juga, yang berpihak, yang memandang muka manusia dan membeda-bedakan –karena ideologinya juga seperti itu; sama. Tetapi Israel berbeda; Israel percaya kepada Allah yang adil, maka mereka seharusnya juga mencerminkan kehidupan yang adil itu.
Bukan hanya kebenaran dan keadilan, Allah juga adalah Allah yang berbelaskasihan (merciful), Allah yang peduli pada orang-orang lemah dan miskin, maka Israel seharusnya menjadi bangsa yang tahu apa artinya berbelaskasihan. Ini bukan bicara tentang menjadi bangsa yang meritocracy, yang bersaing, yang masing-masing musti menyatakan kebolehannya/potensinya/ pencapaiannya karena ‘kita menyembah dewa meritocracy’. Allah bukan seperti itu, ini adalah Allah yang berbelaskasihan. Ini bukan ideologi meritocracy, ini adalah ideologi belas kasihan, atau lebih tepatnya narasi belas kasihan. Di dalam narasi belas kasihan, sebagaimana yang diterima di dalam Judeo-Christian tradition, ada tempat bagi pelayanan diakonia, ada tempat untuk memperhatikan orang-orang asing, ada tempat untuk memperhatikan orang-orang lemah, sakit, miskin –yang tidak bisa digantikan oleh narasi meritocracy. Narasi meritocracy akan mengatakan ‘kamu miskin, itu salahmu sendiri, kenapa kamu tidak berjuang lebih keras’, ‘kamu miskin, try harder dong, buktinya saya dulu miskin lalu berjuang jadi bisa kaya, kamu juga bisa dong; kalau kamu tidak bisa, berarti persoalannya ada pada kamu’ –tidak ada tempat untuk pelayanan belas kasihan, karena allah yang disembah juga adalah allah yang tidak berbelas kasihan.
Satu komunitas, sebagaimana satu bangsa atau satu kelompok atau satu Gereja, mereka akan merefleksikan seperti apa Allah yang dipercayainya. Itu sebabnya ini adalah panggilan untuk perjanjian yang kudus. Mengapa ini perjanjian yang kudus? Yaitu karena ini perjanjian yang berbeda, bukan seperti perjanjian Mesir-Israel, Babilonia-Isarel, atau Asyur-Israel; ini adalah kovenan antara Yahweh dan Israel, kudus, karena berbeda dari kovenan-kovenan yang lain, berbeda dari relasi-relasi dunia yang lain. Dalam relasi the powerful and the weak, sudah pasti relasinya relasi menindas, ‘mumpung ada kuasa, injak saja yang di bawah; mumpung bisa memeras, peras saja, ‘kan kamu posisi sedang di atas, ‘kan kamu yang the powerful’ –inilah kovenan di dalam dunia; sedangkan Israel mengerti Allah yang merciful. Allah adalah Allah yang paling berkuasa, tapi justru karena Dia berkuasa maka Dia bisa berbelaskasihan; ini adalah kuasa untuk melayani, kuasa untuk melindungi (protect), kuasa untuk menyediakan (provide). Tidak ada narasi seperti ini di dalam dunia. Di dalam dunia, yang ada adalah kuasa untuk menginjak, menindas, memeras; sedangkan di Alkitab, di dalam narasi yang kita terima dalam perjanjian kekudusan, kuasa itu justru adalah kuasa untuk berkorban, untuk mencintai, melindungi mereka yang lemah. Sekali lagi, inilah God’s truth, God’s righteousness, God’s mercy, God’s compassion; inilah yang disebut dengan God’s holiness.
Edwards mengatakan, holiness adalah atribut Allah yang paling penting dari semuanya. Kita bisa tidak setuju, tapi ini ada benarnya, karena baik itu God’s truth, God’s righteousness, God’s mercy, ataupun God’s compassion, semuanya menyatakan ke-berbeda-an Tuhan, bahwa ini adalah Allah yang berbeda dari semua yang lain, dan karena itu Dia ini kudus. Dengan demikian, atribut ‘holiness’ dalam batas tertentu kita bisa katakan mencakup semua atribut yang lain, karena tidak ada yang benar seperti Yahweh, tidak ada yang adil seperti Yahweh, tidak ada yang berbelaskasihan seperti Yahweh, Dia adalah satu-satunya. Dan, Isarel dipanggil menjadi bangsa yang kudus, kerajaan imam, untuk menjadi showcase/display di dalam dunia ini, menjadi model/contoh bahwa inilah komunitas yang berbeda karena mereka mengenal Allah yang berbeda. Kepercayaannya yang berbeda, tindakan-tindakannya yang berbeda, mencerminkan/merefleksikan Allah yang mereka percayai –yang kita percayai.
Sekali lagi, Israel —Gereja— adalah komunitas/ bangsa yang kudus, karena Tuhan mempertaruhkan nama-Nya, kemuliaan-Nya, atribut-Nya kepada Saudara dan saya. Konsep seperti ini membuat kita gentar. Saudara bisa mendapati cerita yang sama di dalam cerita panggilan Abraham; dikatakan ‘barangsiapa mengutuk engkau, akan dikutuk; barangsiapa memberkati engkau, akan diberkati’. Ini bukan untuk dihayati secara narsisitik atau ge-er, melainkan bahwa keberadaannya amat sangat penting, sehingga dunia tergantung dari keberadaan Israel, tergantung dari keberadaan Abraham. Keberadaan Abraham itu memberkati atau mendatangkan kutukan; kalau tidak melepas berkat, dia akan melepas kutuk. Menakutkan. Dan benar saja, tidak lama setelah itu, di Mesir Abraham diberi kesempatan menjadi berkat bagi bangsa lain, tapi Abraham gagal; Abraham bukannya melepas berkat di sana melainkan melepas tulah, karena ketakutannya, karena dia self-centered memikirkan keamanannya sendiri.
Hati-hati, kalau orang Kristen di masa sekarang ini lebih dipenuhi ketakutan daripada menjalankan panggilan untuk menjadi berkat, karena menurut cerita Abraham, ketika Abraham dipenuhi ketakutan, takut dibunuh karena istrinya cantik, dsb., pada saat itu dia gagal melepas berkat. Bukan cuma gagal melepas berkat, Abraham melepas tulah di sana –karena Abraham KETAKUTAN. Mengerikan. Orang seperti Saudara dan saya ini mengerikan, Gereja/orang percaya betul-betul menakutkan, karena kalau gagal melepas berkat, bukan cuma jadi tidak ada berkat, tapi jadi melepas tulah. Pilihannya cuma dua itu, melepas berkat atau melepas kutuk. Tidak ada yang netral, tidak melepas apa-apa; kita tidak membaca cerita seperti itu di dalam Kejadian. Ini bukan untuk Saudara hayati secara ge-er, ‘O, ternyata saya sepenting ini, ya’, tapi justru membuat kita gentar; dan inilah yang dimaksud dengan menjadi harta kesayangan. “Bangsa ini adalah harta kesayangan-Ku”, yang melaluinya Tuhan akan mendatangkan berkat, atau kutukan –kalau kita gagal. Itu sebabnya janganlah kita gagal, karena kalau kita gagal, maka bukan berkat yang dilepas, sebaliknya sesuatu yang lain.
Waktu bangsa Israel –orang-orang percaya– dijadikan model atau teladan melalui kepercayaannya yang kudus, melalui tindakannya yang kudus, maka akhirnya orang mulai melihat, dan ini menjadi suatu kesaksian. Orang jadi ingin tahu, Allah yang dipercaya oleh komunitas/kelompok/Gereja ini koq berbeda dari klub-klub yang ada di dalam dunia ini, berbeda dari komunitas-komunitas duniawi, berbeda dari perkumpulan-perkumpulan dunia, berbeda dari narasi bangsa-bangsa dunia yang tidak mengenal Allah. Israel sangat berbeda. Bagaimana Israel memperlakukan orang asing, sangat berbeda. Di dalam konteks Saudara dan saya, bagaimana kita menghadapi pandemi? Berbeda. Bagaimana kita menghadapi kesepian/kesendirian? Berbeda. Bagaimana kita melihat orang yang sakit? Berbeda. Kalau kita tidak bisa dibedakan, kalau kita sama, sekali lagi bacalah kembali cerita Abraham tadi; Abraham gagal melepas berkat di Mesir, akhirnya apa yang terjadi di sana??
Jangan main-main dengan panggilan yang menakutkan ini; bagaimana pun ini tetap panggilan yang bahagia. Ini bukan panggilan bahagia dalam pengertian seperti kalau kita makan permen atau es krim, ‘inilah pleasure time … perjanjian kekudusan … es krim … es cendol… dsb.’; bukan itu ceritanya. Memang betul happy programme, tapi happy programme yang menggentarkan. Ini sifatnya paradoks. Betul ini joyful covenant, joyful programme, tapi joyful karena ada holiness; dan yang disebut ‘holiness’ selalu menimbulkan kengerian. Inilah yang kita baca di dalam Alkitab. Kalau tidak ada kengerian, itu bukan bicara tentang holiness, tapi cuma bicara mengenai sesuatu yang menyenangkan (pleasant). Tapi di sini gambarannya bukan seperti itu; gambarannya adalah gambaran kekudusan. Istilah yang dipakai Alkitab adalah ‘bangsa yang kudus’, bukan bangsa yang nyaman (comfortable) dan menyenangkan (pleasant) –tapi bangsa yang kudus.
Jadi, yang pertama, Tuhan menjadikan kita showcase/contoh/model supaya kita merefleksikan sifat-sifat Allah yang berbeda dari semua ilah yang lain. Laluorang mulai bertanya “koq beda, ya?”; orang Kristen koq beda, ya, menghadapi pandemi; orang Kristen menghadapi kematian, berbeda; komunitas ini waktu menghadapi ada anggota keluarga yang mati, juga berbeda –semuanya berbeda– dan akhirnya “saya ingin mengenal Allah yang mereka percaya”.
Yang kedua, kita memberitakan Injil, memberitakan Kristus, memberitakan kebenaran Allah. Perhatikan, ini bukanlah tanpa kesaksian sebelumnya. Mengapa banyak penginjilan gagal? Tentu saja kita tahu penginjilan gagal atau berhasil, itu di dalam kedaulatan Allah; tapi yang sering terjadi dalam kehidupan Gereja, penginjilan gagal karena tidak ada kesaksiannya, tidak didahului dengan kesaksian komunitas.
Coba Saudara baca lagi Kisah Para Rasul. Gereja mula-mula di dalam Kisah Para Rasul ini sebetulnya model; dan yang terjadi di sana adalah adanya kesaksian komunitas. Itu sebabnya Tuhan menambahkan jumlah orang yang percaya. Sebetulnya di dalam Kisah Para Rasul tersebut, khotbah yang powerful yang dicatat ya, cuma satu kali waktu Pentakosta itu saja, waktu Petrus berkhotbah, dan setelah itu ada ribuan orang percaya; tapi dalam kisah-kisah berikutnya, Saudara tidak membaca ada KKR-KKR lagi, tidak ada khotbah-khotbah seperti itu lagi –setidaknya tidak dicatat oleh Alkitab. Yang dicatat oleh Alkitab adalah kesaksian komunal.
Kesaksian komunitas orang percaya, inilah yang membuat orang kemudian merasa ‘koq lain, ya; ini komunitas koq berbeda, ya, dengan komunitas-komunitas di dunia; ada yang lain di sini’; dan mereka akhirnya bergabung dan bergabung. Mereka bertanya, “Allah yang kamu percaya itu seperti apa, sih; siapa Dia, beritahukan kepada kami”, dan kemudian orang percaya memberitakan Injil. Tetapi dalam penginjilan modern, kita menasehati orang, kita kasih tahu begini begitu, bahwa Yesus Kristus satu-satunya jalan, dsb., sedangkan kita sendiri tidak tertarik menjalani narasi Injil. Waktu terjadi Covid, kita sama persis dengan orang yang tidak mengenal Allah, kuatirnya sama persis, kalau tidak mau dikatakan lebih kuatir daripada orang yang tidak mengenal Allah; lalu bagaimana bisa menginjili, kalau seperti ini?? Waktu berdukacita, dukacitanya seperti orang yang tidak mengenal Allah, seperti tidak ada penghiburan sama sekali, gelap, tidak ada pengharapan, dsb. Saya bukan mengatakan Saudara tidak boleh menangis –tentu saja lamentasi ada saatnya—tetapi dalam Surat Tesalonika, Paulus mengatakan ada beda berdukacitanya orang yang mengenal Allah dibandingkan dengan yang tidak mengenal Allah. Saudara ada bedanya tidak?
Ada bedanya tidak, waktu Saudara melihat keadaan sulit mendapatkan pekerjaan pada saat seperti ini? Gereja ada bedanya tidak, menghadapi orang-orang yang belum bisa mendapat pekerjaan? Atau, sama seperti komunitas dunia, “Ya, itu urusanmu; ‘kan kita hidup di dalam meritocracy, jadi carilah pekerjaan, terserah bagaimana, kita tidak mau tahulah, ‘kan kamu yang harus berjuang”; begitukah? Tidak ada bedanya. Lalu setelah itu kita masih penginjilan juga?? Tapi tidak ada kesaksian yang berbeda. Ini MASALAH. Betul-betul masalah di dalam Kekristenan yang seperti ini; tidak ada kesaksian komunitas, tidak ada kesaksian Gereja, tapi terus menginjili. Mengatakan seperti ini, saya bisa disalahtafsirkan, seperti memadamkan api penginjilan, tapi bukan itu maksudnya. Bacalah kembali narasi Alkitab.
Bacalah kembali apa yang terjadi di dalam Kisah Para Rasul. Bukannya tidak boleh ada khotbah –tentu saja ada tempatnya– tapi Saudara lihat di sini aspek kesaksian komunitas yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Jemaat mula-mula ini showcase, lalu orang mulai bertanya-tanya, “siapa, ya, Allah yang mereka percaya?” Kenapa mereka lain menghadapi budaknya, padahal budaknya bukan punya kepercayaannya yang sama, namun mereka tetap memperlakukan budaknya berbeda dari kita orang-orang Romawi memperlakukan budak? Orang-orang melihat perbedaan itu. Kenapa mereka bisa satu persekutuan meja dengan budak-budaknya; buat kita, orang-orang Romawi dan Yunani, itu sesuatu yang tidak bisa diterima, tetapi orang-orang Kristen itu bisa one table fellowship antara majikan dan budaknya? Maka hal tersebut menimbulkan pertanyaan, “Ini kepercayaan apa sebetulnya?” –dan kemudian orang Kristen memberitakan Injil.
Yang ketiga, karena Israel adalah kerajaan “imam”, maka ada dua hal: 1) berdoa syafaat; 2) mempersembahkan korban. Inilah jabatan imam (priestly office). Yesus adalah Imam Besar yang agung, Dia mengorbankan diri-Nya sendiri, dan Dia adalah Pendoa Syafaat yang Agung. Itu sebabnya Israel –cerita kehidupan Gereja– dipanggil untuk berdoa syafaat.
Panggilan untuk berdoa syafaat, sangat penting bagi Gereja. Gereja adalah Gereja, yaitu karena Gereja mempunya fungsi imam; dan fungsi imam berarti mendoakan dunia ini. Dunia ini tidak bisa berdoa; bahkan dalam saat yang sulit seperti sekarang, tetap tidak bisa berdoa. Dunia ini adalah dunia yang tidak berdoa. Siapa yang bisa mendoakan dunia yang tidak berdoa ini, kalau bukan Gereja, orang-orang percaya. Kita sendiri sebagai orang percaya, ada saatnya tidak bisa berdoa; adakalanya kita terlalu capek, terlalu kecewa, atau mungkin terlalu sibuk, terlalu apatis untuk berdoa sampai akhirnya menyerah dan tidak berdoa lagi, lalu di dalam saat seperti ini, kalau tidak ada pendoa syafaat, siapa yang akan mendoakan kita? Dan dunia ini sudah dipenuhi dengan orang-orang yang tidak bisa berdoa bagi diri mereka sendiri, lalu siapa yang mendoakan mereka, kalau bukan Gereja, kalau bukan Israel?
Komunitas ini namanya kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Mengapa kudus? Karena berbeda. Bedanya apa? Komunitas ini mendoakan yang lain. Bukan mendoakan kepentingannya sendiri, bukan mendoakan kepentingan keluarganya sendiri; memang ini satu hal, dan bukannya tidak boleh, tapi kalau kita cuma berdoa untuk kepentingan sendiri, jadi tidak ada bedanya lagi. Di dunia ini semua orang datang ke tempat ibadahnya masing-masing, ke kuil, atau gunung-gunung, yang dianggap bisa memberikan pelepasan, dsb., ya, untuk berdoa bagi diri mereka dan keluarganya, bagi diri mereka dan pekerjaannya, bagi diri mereka dan kesehatannya –kalau bukan itu, untuk apa lagi? Lalu kalau orang Kristen juga cuma sampai di sini juga doanya, ya, itu bukan bangsa yang kudus tapi bangsa yang sama saja dengan bangsa-bangsa lain. Bangsa yang kudus adalah bangsa yang berbeda; bedanya apa? Bedanya: berdoa bagi yang lain.
Berdoa adalah –meminjam istilahnya Douglas Stuart–“offering acceptable offerings to God, offering acceptable sacrifices to God”. Ini poin yang menarik kalau kita boleh kembangkan. Israel adalah kerajaan imam, bangsa yang kudus, yang berbeda, karena mereka itu mempersembahkan diri mereka, apa yang ada pada mereka, bagi Tuhan. Dunia kita bukanlah dunia yang mempersembahkan; dunia ini adalah dunia yang mengeruk bagi dirinya sendiri, mengumpulkan bagi dirinya sendiri. Dunia yang menkonsumsi, bukan memberi. Dunia ini tidak mengerti apa artinya pengorbanan (sacrifice); kalau pun sacrifice, itu kembali lagi supaya dirinya sendiri mendapatkan keuntungan dari sacrifice tersebut, semacam tindakan meritorious supaya jasanya balik lagi kepada dirinya, tidak ada true sacrifice. Dunia ini tidak ada ucapan syukur (gratitude), dunia ini bukan dunia yang mempersembahkan korban bagi Allah. Itu sebabnya Israel berbeda; Israel hadir memberikan ke-berbeda-an, karena mereka mempersembahkan korban bagi Yahweh.
Saya teringat cerita Abraham yang tawar-menawar dengan Tuhan waktu Sodom dan Gomora mau dijatuhi api belerang. Tawar-menawar itu kriterianya apa, ini menarik. Kalau ada sekian orang yang beribadah kepada Tuhan, yang mengorbankan dirinya bagi Tuhan, maka hal itu akan menahan murka Tuhan atas kota tersebut. Tapi di dalam cerita Abraham itu –yang tawar-menawar mulai dari 50, lalu 40, dan seterusnya sampai akhirnya 10 pun tidak ada, sehingga murka Tuhan tidak bisa ditahan lagi– di situ Tuhan pun tetap menyelamatkan keluarga Lot. Apa poin dari hal ini? Bahwa kehadiran sekelompok orang, yang beribadah kepada Tuhan, yang hidupnya berkorban, yang offering acceptable sacrifices to God, itu betul-betul membuat perbedaan di dalam dunia ini, itu menahan murka Allah. Kalau tidak ada orang-orang seperti ini, waktu Tuhan melihat dari surga ke bumi, semuanya gelap, tidak ada orang yang bersyukur tapi adanya semua menggerutu, bersungut-sungut, lalu bagaimana mau menahan murka Tuhan dalam keadaan seperti itu?
Saudara mungkin jarang mendengar pembahasan seperti ini; dan ini tidak berbenturan dengan teologi anugerah. Ini sebetulnya narasinya Israel. Tentu ini sangat rentan dihayati secara narsisistik, ge-er, “O, ternyata kita seperti itu, we are the chosen nation, we are chosen” –jadi salah mengerti– tapi perhatikan, narasi ‘kekudusan’ itu termasuk di dalamnya aspek ‘kengerian’ ini. Alangkah ngerinya kalau kelompok yang Tuhan mempertaruhkan diri-Nya di sana, ternyata gagal bersyukur, gagal mempersambahkan diri, ternyata hidupnya juga konsumeris, ternyata hidupnya juga mengeruk bagi dirinya sendiri, dst., dan akhirnya dunia ini gelap. Lalu kalau sudah gelap, tinggal tunggu murka Tuhan saja turun, karena terlalu sedikit orang yang berkorban, terlalu sedikit orang yang offering acceptable sacrifices to God seperti Sodom dan Gomora, bahkan hampir tidak ada. Itu sebabnya Abraham pun terdiam pada saat itu, sampai kemudian memberanikan diri berkata, “Tuhan, kalau 10 saja, bagaimana?” Dan tetap tidak ada. Lalu bagaimana? Ya, sudah, berarti murka Tuhan sangat layak dilepas di sana. Betapa menakutkan narasi seperti ini; dan narasi ini dipertaruhkan di mana? Di dalam kehidupan Gereja, di dalam kehidupan Saudara dan saya. Kita ini bercahaya atau tidak sebetulnya di dalam kehidupan kita? Kita ini merefleksikan Tuhan atau tidak? Kita ini berdoa syafaat atau tidak bagi yang lain? Kita ini offering acceptable sacrifices to God, atau orang-orang egois yang sibuk memperhatikan perasaan kita sendiri, muka kita sendiri, harta kita sendiri, keluarga kita sendiri, dsb. seperti orang-orang yang tidak mengenal Tuhan?
Terakhir, yang keempat, Israel adalah kerajaan imam dan bangsa yang kudus karena mereka memiliki Taurat, Kitab Suci. Di dalam Kitab Suci ada apa? Di dalam Kitab Suci ada janji-janji Allah dan perintah-perintah Allah. Ada janji yang kita musti pegang, percaya; ada perintah yang kita musti taati. Janji bukanlah tanpa perintah; perintah bukanlah tanpa janji. Kalau perintah saja tanpa ada janji, itu bukan agama anugerah. Kalau cuma ada janji tanpa ada perintah, itu anugerah murahan; dan bukan Kekristenan juga. Jadi ada perintah dan ada janji.Apa kepentingan dari janji? Yaitu bahwa hidup ini dibangun berdasarkan undangan Tuhan, anugerah Tuhan, inisiasi Tuhan; Tuhan yang berjanji, lalu kita percaya janji-Nya.
Keselamatan adalah janji Tuhan, bukan hasil usaha kita. Keselamatan bukanlah hasil kerja keras kita, bukan pencapaian kita, bukan sesuatu yang kita pantas. Keselamatan adalah janji; ini adalah pemberian Allah. Janji, sangat dekat dengan hidup yang dihidupi berdasarkan anugerah, bukan berdasarkan usaha dari bawah –yang seperti ini, cerita Menara Babel. Saudara baca kembali cerita panggilan Abraham; Abraham itu namanya dibesarkan, “engkau akan menjadi bangsa yang besar”, berarti Allah yang membesarkan. Bandingkan dengan cerita Menara Babel, mereka mencari nama, mereka membesarkan diri mereka sendiri dari bawah dengan kekuatan mereka sendiri; ini bukan janji, sedangkan Abraham menerima janji. Janji berarti sesuatu yang tidak mungkin bisa timbul dari dirinya sendiri jika Allah tidak mengaruniakan. Dan bukan kebetulan, dalam hal ini keturunan diberikan kepada Abraham yang istrinya mandul. Mandul berarti tidak bisa punya anak. Tuhan justru berjanji di tengah keluarga yang seperti ini, untuk menyatakan supaya waktu ada keturunan, jangan lupa, ini bukan karena kamu fruitful, subur, tapi karena anugerah Tuhan. Tuhan yang membesarkan Abraham; bukan karena potensinya Abraham, bukan karena talentanya –misalnya talenta punya anak–melainkan janji Tuhan.
Kita ini komunitas yang berbeda karena dibangun berdasarkan janji Tuhan; bukan berdasarkan kekuatan kita sendiri, melainkan berdasarkan anugerah. Apakah ini tercermin di dalam kehidupan kita, pelayanan kita, pemberitaan kita? Juga di dalam semua yang kita kerjakan –studi, kehidupan keluarga, pekerjaan– tercerminkah hidup oleh anugerah, hidup oleh kasih karunia ini? Orang, kalau mengerti kasih karunia, kalau mengerti anugerah, maka –kembali ke ayat yang dikatakan hari ini– dia akan mendengarkan dan melakukan firman Tuhan. Dia akan taat kepada perintah-perintah Tuhan. Israel adalah bangsa yang kudus, bangsa yang berbeda, karena ini adalah bangsa yang seharusnya taat kepada perintah-perintah Allah.
Kiranya Tuhan menolong kita untuk mengerti apa artinya dipanggil menjadi kerajaan imam dan bangsa yang kudus, seperti cerita kehidupan Israel, seperti cerita kehidupan Abraham; seperti kehidupan Kristus, demikian juga kehidupan Gereja, kehidupan Saudara dan saya.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah(MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading