Kita hari ini masih membicarakan tema seputar Lebaran, yang adalah “pengampunan”. Minggu lalu kita bicara mengenai pengampunan dari sisi kita sebagai orang-orang yang diampuni; hari ini kita bicara tentang panggilan kita sebagai orang-orang yang mengampuni.
Kita akan membahas dari satu bagian yang terkenal, bagian di mana Tuhan Yesus mengajar murid-murid-Nya tentang seperti apa mereka harus mengampuni. Di bagian ini, setelah mendengar standar model pengampunan Tuhan Yesus, para murid-Nya berespons dengan mengatakan, “Tambahkanlah iman kami”; dan banyak penafsir mengatakan ini sebenarnya cara sopan untuk mengatakan: “Ini ‘gak mungkin banget, Tuhan; ini melampaui kemampuan kami”. Kita akan coba lihat seperti apa model hidup mengampuni dari Tuhan Yesus. Dalam hal pengampunan/mengampuni, pertama-tama kita akan bahas alasannya kita perlu membicarakan mengenai pengampunan ini, dan bagaimana kita akan membicarakannya.
Saudara, hal pertama yang perlu kita soroti dari bagian ini adalah hal yang datang sebelum Tuhan Yesus mengatakan mengenai urusan pengampunan, yaitu Dia mengawali semua perintah ini dengan satu seruan peringatan, “Jagalah dirimu!” Ini dua kata pertama yang gampang terlewatkan karena kita ini orang-orang Kristen yang cenderung langsung lompat ke bagian-bagian yang menarik bagi kita, atau yang kontroversial bagi kita. Seruan di awal ini sebenarnya amat sangat penting dan juga unik dalam Kekristenan, karena kalau kita mengingat masa-masa kita disakiti seseorang, biasanya perhatian kita tertuju untuk mengawasi orang yang menyakiti itu. Saudara disakiti seseorang, maka Saudara langsung jaga diri terhadap dia, Saudara mengawasi dia baik-baik, jangan dekat-dekat dia lagi, karena bisa sakit lagi. Namun Tuhan Yesus di sini mengatakan arah yang sebaliknya: “Ketika kamu disakiti, jagalah dirimu”, dalam pengertian ‘awasi dirimu’, watch yourself, bukan jaga diri dalam pengertian bikin benteng). Awasi dirimu, ketika orang menyakiti kamu, memperlakukanmu tidak baik, menolakmu, justru itu adalah momen untuk engkau mengawasi dirimu, mempehatikan bagaimana kamu berespons; yang perlu diawasi adalah kamu, bukan dia. Ini menarik, karena ini berarti bagi Tuhan Yesus dan bagi Alkitab, dalam hal ini problem diri manusia bukan cuma kita tidak mau atau sulit mengampuni, melainkan bahwa kita sering kali tidak sadar seberapa kita adalah orang yang susah mengampuni, bahwa kita tidak peka kalau kita mungkin termasuk orang-orang yang cenderung tidak mau mengampuni. Penyebab Yesus sampai memerintahkan kita untuk mengawasi hati kita dalam hal ini, adalah karena kita pada dasarnya cenderung tidak sudi mengakui seberapa marah kita terhadap orang yang menyakiti kita.
Ibrani 12:15 mengungkapkan hal ini dengan cara sedikti berbeda; dikatakan: “Jagalah (watch, awasi) supaya jangan ada seorang pun menjauhkan diri dari kasih karunia Allah, agar jangan tumbuh akar yang pahit (kepahitan) yang menimbulkan kerusuhan dan yang mencemarkan banyak orang.” Di sini gambarannya berarti bahwa Saudara bisa mengenali ada pohon dendam dalam hatimu, pohon kemarahan dalam hatimu, dan Saudara tidak suka, Saudara tebang pohon itu, bakar batangnya, tapi beberapa waktu kemudian ketika Saudara kembali ke spot yang sama, di situ sudah ada tunas baru yang tumbuh kembali. Kenapa? Karena ada akarnya, yang bertahan di bawah permukaan tanah, tidak kelihatan. Demikianlah Alkitab mengambarkan kepahitan kita ketika kita disakiti orang: kalau pun kita mengakui bahwa kita marah terhadap orang tersebut, sesungguhnya kita cenderung tidak menyadari, atau tidak ingin mengakui, seberapa dalam kemarahan tersebut berakar. Itu sebabnya problem manusia bukan cuma bahwa kita ini berdosa, tapi bahwa kita sangat cenderung menyangkali keberdosaan tersebut –dan itu sebabnya kita dilatih minggu demi minggu mengaku dosa kita, karena ini memang satu hal yang tidak datang secara natural.
Belum lama ini saya membaca satu riset sederhana. Misalnya dalam suatu gathering kantor, waktu mau pesan makanan ditanya mau pilih puding coklat atau salad. Dalam riset tersebut, jumlah yang pilih salad lebih banyak daripada yang pilih puding coklat, tapi pada hari H ketika makanan-makanan sudah datang, yang tersisa di meja pasti lebih banyak salad, sementara yang puding coklat ada yang tidak kebagian. Kenapa bisa ada ketimpangan seperti ini? Karena manusia cenderung ingin melihat dan merasa diri baik. Kita cenderung mengira bahwa kita tahu apa yang sehat dan apa yang tidak sehat, tetapi ketika realitasnya pada akhirnya datang, akhirnya ambil puding coklat juga meskipun tadinya sudah pesan salad. Itulah manusia. Jadi ketika dalam bagian mengenai pengampunan ini Tuhan Yesus mengatakan ‘awasi dirimu’, dan Ibrani mengatakan ‘jaga, jangan sampai ada kepahitan yang berakar’, kita melihat bahwa inilah sebabnya kita perlu belajar mengampuni, karena ternyata kemarahan kita ketika disakiti orang adalah kemarahan yang cenderung menetap di bawah permukaan. Dan, itu berarti kecuali kita belajar –belajar berusaha mengampuni– maka hal tersebut akan mempengaruhi kita secara tesembunyi, mengontrrol kita, atau dalam istilah kitab Ibrani ‘mencemari’ kita, menodai kita.
Saudara, kita tahu koq apa yang sedang dibicarakan Alkitab di bagian ini, yaitu ketika seseorang menyakiti kita, dan kita tidak benar-benar mengampuni dia, maka kepahitannya berlanjut, dimulai dengan satu demam ringan/meriang yang kita sebut self-pity. Self-pity iniberlanjut dengan sikap sinis terhadap orang-orang tertentu, lama-kelamaan berkembang jadi sinis terhadap orang jenis tertentu, lama-kelamaan berkembang jadi terhadap seluruh orang, lama-kelamaan berkembang jadi terhadap seluruh kehidupan, begitu seterusnya dan makin lama makin bertambah parah. Hari ini ada orang-orang yang problem dengan lawan jenis; Saudara tahu kenapa? Hanya karena ada pengalaman tidak bisa mengampuni bekas pacar yang mungkin melukai/menyakiti, dan akhirnya problem dengan semua lawan jenis. Kenapa bisa seperti itu? Karena ini sesuatu yang sering kali kita tidak sadari.
‘Awasi dirimu’. Satu hal yang pertama-tama bisa kita lihat dalam hal ini, adalah mengenai seperti apa urusan pengampunan ini perlu dibicarakan, bagaimana kita datang dan mendekati topik ‘pengampunan’. Saudara tidak bisa sekadar datang mendekati topik ‘pengampunan’ dengan mengatakan, “O, ini tema yang penting, menarik juga, saya boleh coba belajar ini, tapi kayaknya sih ini bukan problem saya saat ini.” Kalau ditanya ‘siapa yang ada problem mengampuni saat ini?’, mungkin sedikit dari Saudara yang akan angkat tangan. “Saya kayaknya ya, pernahlah disakiti orang, tapi itu bukan problem hari ini, itu sudah lewat, saya sudah legowo, no problem; mungkin ini problem bagi orang-orang tertentu yang sumbu pendek, tapi bukan saya.” Tetapi Tuhan Yesus mengatakan, “Tidak; pikir lagi, awasi dirimu.” Pengampunan, itu ternyata bukan cuma urusan mengenai orang lain yang jahat itu. Pengampunan, itu perlu dijalankan karena tanpa pengampunan maka kejahatan yang telah dilakukan pada kita akan berakar, bertumbuh pelan-pelan di bawah permukaan –selama kita tidak belajar untuk mengampuni. Jadi, kenapa semua dari kita tidak bisa mendekati isu pengampunan dengan sebelah mata, dengan semata-mata keingintahuan intelektual tok? Karena semua dari kita hari ini hidup dalam budaya dan dunia yang penuh dengan penolakan, semua dari kita akan –dan sudah–diperlakukan tidak adil. Lalu bagaimana kita menjaga hati kita sehingga hal ini tidak berakar dalam hati dan mencemari kita, memelintir jiwa dan masa depan kita, oleh karena yang terjadi di masa lalu? Jawabannya: Saudara harus belajar mengampuni. Itu sebabnya kita perlu hal ini; dan ini untuk semua dari kita, bukan cuma orang-orang yang Saudara anggap pemarah, bukan cuma orang-orang yang Saudara anggap pendendam, bukan cuma orang-orang yang Saudara anggap sumbu pendek. Itu yang pertama.
Yang kedua, kita masuk ke lanjutan ayat 3 tadi, dan kita mulai belajar mengenai apa itu mengampuni, apa karakternya, apa aspek-aspek di dalamnya. Dalam ayat 3, pertama tadi dikatakan, “Awasi dirimu”, lalu lanjutannya: “Jikalau saudaramu berbuat dosa … “. Kita berhenti sampai di sini dulu; ini bagian yang gampang juga terlewatkan tapi sesungguhnya bagian yang penting, karena ini bagian yang sering kali diperdebatkan para penafsir, yaitu mengenai apa maksudnya Tuhan Yesus mengkualifikasi orang yang berbuat dosa tersebut dengan sebutan ‘saudara’. Apakah maksudnya kita hanya perlu mengampuni orang berdosa kalau mereka adalah saudara kita, dan di luar itu tidak perlu? Jika memang demikian, apakah maksudnya harus saudara kandung? Atau juga saudara tiri? Atau mungkin saudara seiman? Demikian yang dibingungkan orang. Penafsir-penafsir yang bertanggung jawab, saya rasa tidak akan menerima pembacaan yang berusaha menyempitkan seperti itu, bahwa cuma sebagian orang saja –entah itu saudara kandung atau saudara tiri atau saudara seiman, dsb.– karena kalau Saudara membandingkan dengan perkataan Tuhan Yesus di bagian yang lain, kita tahu pengampunan bersifat universal. Misalnya Markus 11:25, Tuhan Yesus mengatakan: “Jika kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah dahulu sekiranya ada barang sesuatu dalam hatimu terhadap seseorang … “. Dikatakan di sini ‘seseorang’, tidak ada kualifikasinya, bukan ‘saudaramu tok’, atau ‘orang seagamamu tok’, atau ‘orang se-rasmu tok’; yang dikatakan di sini adalah semua orang, bahwa kalau kamu berdiri untuk berdoa, ampuni dulu kalau ada sesuatu dalam hatimu terhadap seseorang, siapapun dia, universal.
Bagi Tuhan Yesus, kita harus mengampuni semua orang. Lalu kalau kita kembali ke bagian dalam Lukas tadi, kita bingung, apa sebenarnya pengertian di balik Tuhan Yesus mengatakan dan mengkualifikasi kalimat tersebut dengan istilah ‘jikalau saudaramu berbuat dosa’, apa maksudnya? Saya rasa, penafsiran yang bertanggung jawab adalah bahwa Tuhan Yesus bukan sedang membicarakan pengampunan dari sudut pandang kitab KUHP, bukan sedang membicarakan pengampunan dari sudut pandang apa yang objektif dan apa yang adil/tidak adil, karena kalimat pertamanya adalah ‘awasi hatimu’. Ini membuat kita sadar bahwa Tuhan Yesus di sini sedang melakukan pemuridan (discipleship); dan discipleship itu fokusnya adalah kepada si murid, sikap hatinya si murid, perspektifnya si murid, dsb. Jadi, mari kita membacanya dari kacamata tersebut. Ini bukan membicarakan apa yang adil dan apa yang tidak adil, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh, tapi membicarakan bagaimana seseorang secara subjektif menghadapi suatu kasus di mana orang lain berdosa kepada dia.
Kalau kita membaca bagian ini dari sudut pandang ‘orang yang harus mengampuni’, maka kita bisa melihat kenapa Tuhan Yesus mengkualifikasi kalimat ini dengan istilah ‘saudaramu’. Saudara bisa melihat dengan membandingkannya, seperti ini: Tuhan Yesus mengatakan ‘jika saudaramu berbuat dosa’, dan bukan ‘jika si brengsek itu, yang kebetulan adalah saudaramu, berbuat dosa’. Saudara mengerti maksudnya? Tuhan Yesus tidak mengatakan, “Jika si brengsek itu, yang kebetulan adalah saudaramu, berbuat dosa, kalau dia bertobat maka terimalah dia kembali sebagai saudaramu’; tetapi Tuhan Yesus mengatakan, “Jika saudaramu berbuat dosa”, maksudnya waktu orang itu berbuat dosa, dia itu tetap saudaramu. Kenapa ini satu hal yang penting untuk ditunjukkan? Maksudnya apa? Karena dari perspektif kita sebagai orang yang dijahati, ketika kita dijahati/disakiti, maka salah satu hal yang pertama kali muncul dan membuat kita begitu sulit mengampuni orang tersebut, adalah: begitu kita disakiti, kita fokus pada apa yang membedakan saya dari dia –ini yang biasa kita namakan sebagai karikatur.
Saudara, salah satu yang hilang di zaman kita hari ini karena koran cetak sudah tidak ada, dan koran internet yang berbasis web jarang ada, yaitu karikatur. Di koran zaman dulu, seperti Kompas misalnya, biasanya ada karikatur; dan biasanya yang di-karikatur-kan adalah tokoh-tokoh politik, atau seleb, atau siapalah yang sedang nge-trend. Apa yang mebuat suatu gambar jadi karikatur? Karikatur bukanlah lukisan, karikatur tidak bertujuan membuat penggambaran yang akurat banget. Karikatur, di satu sisi memang harus membuat orang langsung mengenali itu siapa, tapi di sisi lain yang namanya karikatur selalu ada pelintirannya, si kartunis akan memelintir gambarnya. Ada fitur-fitur tertentu dalam diri orang yang digambar, yang akan dibesar-besarkan, biasanya supaya menimbulkan efek humor. Misalnya karikatur Pak Jokowi, waktu saya riset sedikit di internet, para kartunis ternyata membesar-besarkan senyumannya; gambar kepalanya kecil, matanya menyipit, lalu mulutnya lebar dan giginya banyak –tentu saja di sini tetap ada respeknya, karena yang dibesarkan dalam hal ini senyumannya. Saudara, inilah apa yang hati kita lakukan ketika seseorang menyakiti kita, yaitu kita memfokuskan orang ini dalam satu hal yang telah mereka lakukan kepada kita, yang kita tidak suka itu. Dan inilah yang akan terjadi: kalau orang membohongi kita, maka dia jadi ‘si pembohong’; namanya sudah hilang, namanya sekarang si pembohong. Kalau orang tanya, “Lu kenal si Parto?” maka kita jawab, “O iya, gua kenal, si brengsek itu”. Begitulah kita-kira. Sekarang bandingkan dengan kalau Saudara sendiri yang berbohong, maka gambarnya akan lain, bukan gambar karikatur tapi gambar yang multi-dimensi, yang kalau diperhatikan berjam-jam bisa di dapatkan berbagai aspek dan karakter yang luas. Kalau Saudara yang berbohong, Saudara akan mengatakannya begini: “Memang saya ada kelemahan, itu benar, saya bukan tutup-tutupi, tapi juga ada hal yang lain yang baik”, atau: “Memang, waktu itu saya terpleset dalam hal ini, tapi itu adalah karena begini, begini, dan begitu, begitu; kamu harus ngerti” –gambarannnya jadi lain, jadi kompleks. Sedangkan kalau orang lain berbohong kepada kita, langsung segala sesuatu menyempit kepada satu hal tersebut.
Saudara, inilah yang terjadi ketika orang menyakiti kita, yaitu secara otomatis kita fokus kepada apa yang membedakan ‘saya’ dari ‘orang itu’. Jadi, Saudara lihat sekarang kenapa Tuhan Yesus mengawali semua ini dengan mengatakan ‘awasi hatimu, jika saudaramu berbuat dosa …’; sudahkah Saudara mengawasi hatimu? Jadi bagi Yesus, hal pertama yang perlu ada ketika Saudara mau ada harapan untuk mengampuni, mau ada harapan untuk membasmi kemarahan sampai ke akar-akarnya, mau ada harapan untuk dalam hidup ini bisa tidak menjadi orang yang dipelintir oleh masa lalu, maka Saudara harus mulai dengan melihat si pendosa sebagai saudaramu, dalam arti dia sama denganmu, dia sebangsa denganmu, dia setipe/sejenis denganmu, dia saudaramu! Saudara rasa dia bodoh? Kamu juga bodoh. Bisakah Saudara mengatakan itu? “Ini orang-orang bodoh! Saya juga bodoh”. Itulah jalan mulainya pengampunan. “Mereka tidak peduli dengan perasaan saya! Saya juga apa cukup peduli ya, dengan perasaan dia??” Jadi lain ‘kan. “Saya ini campuran antara baik dan buruk; mereka juga, mereka ada sisi baiknya sama seperti saya ada sisi jeleknya”. Inilah jalan masuk pertama dalam pengampunan. Meski demikian, meski secara logis ini memang logis, tapi coba Saudara lakukan ketika istrimu atau suamimu menyakitimu, itu tidak gampang.
Hal kedua yang kita lihat di sini bahkan lebih sulit lagi, yaitu Tuhan Yesus memberitahukan kepada kita apa prinsip pengampunan itu. Prinsip pengampunan, atau mengampuni orang lain, bukanlah mengebaskan tangan atau menyobek surat utang. Yang namanya mengampuni, bagi Tuhan Yesus adalah: membayarkan utang orang lain dari kantong kita sendiri. Itulah pengampunan.
Hari ini di dunia modern dalam hal utang biasanya pakai istilah ‘penghapusan’, bukan ‘pengampunan’. Memang terkadang kita masih bisa baca ‘utang diampuni’, tapi lebih lumrah seperti yang biasa kita lihat ada yang namanya penerbitan ‘surat penghapusan utang’, bukan ‘surat pengampunan utang’. Bahasa Inggis juga sama; istilah yang menyatakan debt forgiven (pengampunan utang) biasanya cuma Saudara temukan di buku teologi, sedangkan dalam penggunaan sehari-hari istilahnya debt eraser (penghapusan utang). Ini menarik, karena dalam bahasa Yunani tidak demikian. Istilah ‘pengampunan’ yang dipakai Tuhan Yesus di bagian ini adalah istilah yang tidak dipisahkan dengan urusan utang di pasar pada waktu itu. Jadi bagi mereka, mengenai utang di pasar pun istilahnya ‘diampuni’, bukan dihapuskan, dan sudah pasti bukan dilupakan. Inilah sebabnya Doa Bapa Kami dalam terjemahan bahasa Inggris bisa banyak versi atau tradisi terjemahan. Misalnya, ada yang mengucapkan “Forgive us our sins as we forgive those who sin against us”, ada yang mengucapkan “Forgive us our trespasses as we forgive those who trespass against us”, atau versi yang juga terkenal “Forgive us our debts as we forgive those who debtors against us”. Ini menarik; bisa ada berbagai terjemahan seperti itu, karena memang klausa bahasa Yunaninya pengampunan adalah istilah yang merupakan satu payung besar yang berlaku bagi pengampunan dosa maupun pengampunan utang komersial di pasar. Inilah sebabnya kita sering kali pikir mengampuni adalah melupakan, forgive and forget. Tetapi, mengampuni ternyata dalam konteks orang Yahudi pada waktu itu –dan tentu saja dalam konteks yang Tuhan Yesus bicarakan–tidak pernah sekadar ‘yah, tidak apa-apalah’. Begitu Saudara memikirkan pengampunan dalam bahasa utang-piutang, maka ada sesuatu yang jadi jelas, bahwa utang tidak pernah bisa dihapuskan, utang tidak pernah bisa dilupakan, utang hanya bisa diampuni. Apa artinya ‘diampuni’ di sini? Kalau Saudara mengampuni utang seseorang, sesungguhnya utang tersebut tidak pernah dilupakan, utang tersebut dibayar, tapi yang bayar adalah Saudara sendiri. Itulah artinya ‘utang diampuni’.
Kalau orang utang 100 juta pada Saudara lalu Saudara mengampuni dia, itu tidak berarti tiba-tiba 100 juta tersebut hilang dari peredaran, tapi 100 juta itu tertambal, tetap ada yang bayar, dan yang bayar diri Saudara. Saudara yang membayarnya, Saudara yang menyerap utang tersebut; dan itu sudah pasti tidak terlupakan, itu sakit rasanya. Ini berarti, bagi Tuhan Yesus mengampuni bukanlah tindakan melepas, mengampuni adalah tindakan aktif. Mengampuni bukanlah sesuatu yang kita lakukan dengan cara cuek, lupakan apa yang terjadi di masa lampau, tapi justru dengan cara kita menghadapinya dan membayarnya. Bagaimana ini terjadi dalam hidup kita? Pada dasarnya kira-kira seperti soal utang tersebut: waktu orang menyakiti kita, yang sesungguhnya kita rasakan adalah bahwa mereka itu berutang sesuatu kepada kita –dan tentunya bisa saja ada sesuatu yang berbentuk riil yang di-utangi, entah itu berupa mobil kita penyok sehingga dia berutang uang bengkel dsb.– yang pasti ada adalah utang yang bersifat internal, kejiwaan, bahkan emosional, dan utang ini mata uangnya adalah ‘rasa sakit’. Orang menyakiti kita, kita mengalami rasa sakit; maka mereka berutang ‘rasa sakit’ itu terhadap kita. Kita merasa mereka berutang semacam penderitaan, karena mereka telah membuat kita menderita. Itu sebabnya kalau kita disakiti orang, kita mengatakan, “Biar tahu rasa!!” Rasa apa? Rasa sakit.
Berikutnya, ada berbagai macam cara untuk mengejar utang ini. Ada cara yang lebih langsung, misalnya kita datangi orangnya dan kita tonjok dia; itu membuat dia merasakan sakit. Atau dengan cara kita main kata-kata; kita meneriaki dia, kita mengucapkan kata-kata yang pedas. Atau bisa juga dengan kita menarik diri –menarik perhatian kita, menarik persahabat kita darinya, meninggalkan mereka sendirian, dst. Intinya, itu semua adalah supaya mereka dikejar utangnya, utang rasa sakit ini. Atau cara yang lebih tidak langsung yaitu dengan main tusuk belakang, menghancurkan nama baik. Kalau Saudara rasa tidak pernah melakukan itu, awasi dirimu, hati-hati, pikir lagi, karena kadang-kadang kita memang tidak melakukannya terang-terangan tapi melakukannya dengan kedok, kita memperingatkan orang lain demi kebaikan orang tersebut mengenai bahayanya berurusan dengan si brengsek. “Kamu kenal si ini ‘gak? Hati-hati ya, saya sih sebenarnya ‘gak mau ngomong ini, saya ‘gak ada apa-apa sama dia lho. Jadi begini ya …”, dst. yang pada dasarnya adalah menusuk orang dari belakang. Cara yang lebih tidak langsung lagi adalah dengan tidak mengatakannya ke orang lain, tidak juga ke orangnya langsung, tapi sekadar waktu kita bertemu dan lihat wajahnya, dalam di dalam hati kita menginginkan semacam penderitaan bagi mereka; kita mengatakan dalam hati, “Suatu hari ya, lu kena batunya!”
Saudara, semua tadi bukan tindakan yang saya rekomendasikan untuk Saudara lakukan –tidak usah di rekomendasikan pun kita juga sudah melakukan itu– tapi intinya saya ingin memperlihatkan bahwa ketika orang menyakiti kita, memang tepat untuk mengungkapkan apa yang terjadi ini dalam bahasa utang-piutang, kita merasakan mereka berutang. Mereka berutang apa yang kita telah terima –rasa sakit, penderitaan–maka kita juga ingin mereka meringis, kita ingin melihat mereka kena batunya, kita ingin melihat mereka tahu rasa! Mari kita jujur, ketika pada akhirnya betul-betul kita lihat mereka menderita –entah karena kita atau karena orang lain, itu tidak terlalu penting– kita merasa lega, ada sesuatu yang terangkat, dan perasaan ter-utang itu mulai terbayarkan sedikit demi sedikit. Di satu sisi kita melihat ini hal yang sepertinya logis, ada utang, utang tersebut harus dibayar, dan yang bayar tentunya yang berutang, maka ketika mereka membayar dengan kesakitan/penderitaan mereka, kita menjadi lega; tapi yang mengerikan dari semua ini adalah bahwa ketika mereka sendiri membayar hal itu, dan kita tidak bisa mengampuni mereka, maka yang terjadi hal ini memelintir jiwa kita, karena orang yang tidak bisa mengampuni akan berakhir dengan makin dikontrol, bukan makin bebas. “Bapak gua selalu suruh gua ke gereja sejak kecil, dan gua ‘gak senang dengan gereja. Sekarang gua punya anak, dan Bapak gua kepingin cucu-cucunya ke gereja tiap hari seperti gua dulu, tapi ini anak gua, gua tidak bakal kasih anak gua ke gereja. Rasain! Sekarang gua bisa balas dendam! Gua menang!” Benarkah ini menang, Saudara? Tidak. Yang terjadi adalah Saudara semakin dihantui, dikendalikan, dikontrol oleh perbuatan orangtuamu yang sejak masa lampau itu.
Saudara, ini berarti bagi Alkitab pengampunan bukanlah sesuatu yang ekstra, yang opsional, yang boleh ada boleh tidak ada, yang kalau ada itu bagus tapi kalau tidak ada ya sudahlah bisa dimengerti. Tidak demikian. Jika seseorang menyakiti Saudara, dan Saudara menolak untuk membayar utang kejiwaan ini baginya, Saudara menuntut dia membayarnya sendiri, maka yang akan terjadi adalah: dia akan memelintir jiwamu. Lucu ya. Bagi logika manusia, harusnya ‘gak kayak gini dong, harusnya yang proper adalah: dia yang salah, ya dia yang bayar. Tapi ternyata alam semesta ciptaan Tuhan tidak bekerja dengan aturan yang logis menurut otak manusia berdosa. Dalam aturan alam semesta ciptaan Tuhan, ketika ada orang yang menyakiti, lalu orang yang disakiti tidak bisa mengampuni, yang terjadi justru orang yang tidak bisa mengampuni ini akan dipelintir jiwanya oleh karena hal tersebut. Jadi bagaimana? Itulah sebabnya kita harus mengampuni, kita harus membayar sendiri utang mereka itu. Tidak adil kelihatannya. Namun, kalau Saudara tetap terus mengatakan ‘tidak adil; tidak mau’, dan tetap suruh dia yang bayar, maka Saudara akan terpelintir oleh hal ini.
Saudara, inilah sebabnya sangat berguna memikirkan utang ini dalam urusan utang pasar. Sekali lagi, utang tidak bisa dilupakan, utang tidak bisa dilewatkan, utang hanya bisa diampuni/diserap; dan Saudara lihat, yang namanya menyerap utang tidak bisa dengan cuek. Menyerap utang bukanlah cuek, bukan dengan menarik diri dan menunggu kemarahan surut, tapi sebuah tindakan aktif. Ini berarti yang kita lakukan adalah benar-benar membayar; waktu kita ingin meneriaki mereka, kita tahan diri, sakit rasanya. Waktu kita ingin tusuk mereka dari belakang mumpung ada kesempatan karena ada orang tanya mengenai dia, kita tahan diri, kita tidak mengatakan bagian yang itu –dan sakit rasanya. Ini sesuatu yang aktif, Saudara sedang membayar utangnya, karena utang tersebut mata uangnya adalah rasa sakit. Saudara lihat muka mereka rasanya ingin muntah, tapi yang Saudara lakukan adalah berdoa untuk dia, “Tuhan tolong supaya orang ini bisa dapat kebaikan dan kasih karunia Tuhan terus-menerus, hidupnya boleh dijaga Tuhan, anak-anaknya boleh dipimpin Tuhan”, dst. Waktu Saudara berdoa seperti itu, sakit rasanya. Kenapa sakit? Karena ini berlawanan dengan yang hati kita inginkan. Namun lihat efeknya: ketika Saudara menyuruh mereka untuk membayar, Saudara terikat; tapi ketika Saudara membayarnya bagi mereka, Saudara bebas, Saudara tidak dipelintir, Saudara tidak dikontrol.
Saudara, ini sebabnya Yesus melanjutkan dengan mengatakan di ayat 4: “Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: Aku menyesal, engkau harus mengampuni dia.” Kita syok dengan perkataan ini, kita pikir ini susah banget; kenapa? Karena bagi kita pengampunan itu pasif, menunggu kemarahan surut, melupakan; lalu kalau 7 kali sehari dia melakukan ini, ya, ‘gak mungkinlah, tiga bulan saja belum tentu surut!! –dan kalau tiga bulan saja tidak surut-surut, sudah pasti jadi keburu mengakar, memelintir, apalagi 7 kali sehari. Tapi kenapa Tuhan mengatakan ini? Karena inilah poinnya, bahwa pengampunan bukanlah menunggu, pengampunan bukan pasif, pengampunan adalah sekarang, saat ini, ambil keputusan untuk menolak menagih utangnya dari mereka, dan membayarnya sendiri. Sakit. Tapi ini membebaskanmu. Jadi, tidak bisa dengan melupakan tapi harus membayar –membayar sendiri– dengan kesakita, dengan cara mengejar apa yang baik bagi mereka.
Omong-omong, perhatikan bahwa mengampuni orang dengan cara seperti ini, bukan berarti keadilan dikesampingkan. Justru pengampunan seperti inilah yang baru benar-benar membebaskan Saudara, dan juga dia, untuk bisa benar-benar mengejar keadilan. Kenapa? Karena Saudara lihat kembali ayat 3, urutannya yang pertama adalah ‘jaga hatimu’, lalu perlakukan dia sebagai saudaramu, dan baru setelah itu muncul ‘jikalau ia berbuat dosa, tegurlah dia, dan jikalau ia menyesal, ampunilah dia’. Misalkan Saudara tidak pakai semua yang di depan tapi langsung lompat ke urusan tegur-menegur, saya berani jamin kecil kemungkinan bisa ada penyesalan dan pengakuan dosa. Kalau orang datang dan langsung mengatakan, “Hai! Kurang ajar lu ya, tahu ‘gak ini mengakibatkan bla, bla, bla, …”, maka good luck, tidak bakal terjadi penyesalan di situ. Tapi ketika Saudara awasi hati, menyerap terlebih dahulu bahwa orang ini saudara setipe dengan kamu, serap terlebih dahulu utangnya, maka baru ada kemungkinan Saudara sungguh-sungguh menegur dia bagi dia, bagi keadilan, dan barulah ada kemungkinan dia bisa ada penyesalan dan pertobatan dalam hatinya.
Contoh yang paling gampang urusan punya anak. Kalau pun Saudara orangtua yang biasa-biasa saja, tanpa Saudara harus berusaha pun, namanya jadi orangtua hidupnya pasti dikorbankan bagi anak, hidup yang tadinya berpusat pada diri kita, sekarang berpusat pada anak. Suatu hari anak-anak itu bertumbuh remaja, dan tidak terhindari Saudara mulai adu tanduk dengan mereka. Dalam masa tersebut, ada momennya Saudara minta si anak remaja untuk tidak melakukan sesuatu yang semua orang waras bisa langsung mengenali hal tersebut sebagai hal yang bodoh dan merugikan si anak sendiri, tapi mendengar itu si anak ngamuk dan mengatakan kalimat-kalimat seperti: papa tidak sayang saya, papa benci sama saya, mama ‘gak senang sama saya, mama kerjanya membatasi saya, mama menghancurkan hidup saya, papa tidak pernah melakukan apa-apa bagiku. Walaupun kita sebagai orangtua tahu diri kita bukan orangtua yang sempurna, kita tentu tahu tuduhan si anak itu tidak fair, karena seorang orangtua sudah tentu akan berkorban bagi anaknya koq. Dan, ketika kita mendengar orang ini, si anak yang baginya kita sudah berkorban begitu banyak, menatap mata kita dan mengatakan kita tidak pernah melakukan apa-apa baginya, perasaan kita bagaimana? Tentu marah. Dan, inilah ujian yang sangat penting bagi orangtua, karena pada poin ini cuma da 3 pilihan. Pilihan pertama, mundur, lukanya terlalu berat; dan yang akan terjadi anak Saudara sudah pasti akan hanyut dalam kebodohannya, Saudara akan kehilangan dia. Pilihan kedua, Saudara maju, menerjang, membalas kemarahan anak tersebut, dan kita mungkin akan menang karena sebagai orang dewasa pengalaman hina-hinaan kita sudah lebih banyak daripada dia; tapi yang terjadi Saudara tetap akan kehilangan anak tersebut. Bedanya: dalam pilihan pertama, anak tersebut jadi bodoh; dalam pilihan kedua, anak dan orangtua sama- sama jadi bodoh. Pilihan ketiga, yang paling sulit dilakukan tapi satu-satunya cara untuk menyelamatkan si anak, adalah dengan mendekat; waktu Saudara mendekat, Saudara harus menyerap kemarahan anak tanpa membalas, Saudara hanya maju memotong sejauh yang dibutuhkan oleh pisau bedah. Orang yang tidak sanggup menyerap kemarahan si anak tanpa membalas, tidak pantas jadi orangtua. Prinsip ini berarti: tanpa pengampunan, tidak bisa ada teguran; dan sudah pasti tidak ada kemungkinan penyesalan yang bisa berujung rekonsiliasi.
Saudara, jangan pernah pikir “saya tidak mau mengampuni dia karena saya mengejar keadilan”. Tanpa pengampunan, Saudara tidak sedang mengejar keadilan. Tanpa pengampunan, Saudara sedang mengejar balas dendam, dan balas dendam tidak pernah adil. Hanya dengan pengampunan, baru bisa ada pengejaran akan apa yang adil. Jadi, ini bukan pengampunan yang tidak ada keadilannya, ini pengampunan yang bisa mendatangkan keadilan, satu-satunya cara yang bisa mengejar keadilan yang sejati dan berujung pada penyesalan, pertobatan, rekonsiliasi.
Pengampunan itu logis. Kita sudah melihat bahwa pengampunan bukanlah sesuatu yang plus, boleh ada boleh tidak ada; pengampunan adalah sesuatu yang dunia sangat butuhkan jika dunia mau jalan tanpa kepahitan dan pemelintiran jiwa. Tapi di sisi lain, tidak heran murid-murid Yesus lalu merespons dengan mengatakan, “Tambahkanlah iman kami!” Para penafsir mengatakan bagian ini berbeda dengan kalimat jujur di bagian lain ketika ada yang mengatakan, “Saya percaya, Tuhan, tolonglah ketidakpercayaanku”; kalimat murid-murid ‘tambahkanlah iman kami’ ini kalimat yang tidak jujur, menurut banyak penafsir. Mereka mengatakan, waktu para murid mengatakan demikian, itu adalah kalimat yang sebenarnya sedang menaruh tanggung jawab kepada Tuhan Yesus; mereka sedang mengatakan, “Gila ini standar! Kalau kami sampai tidak bisa melakukan, ini bukan salah kami, ini terlalu tinggi, jadi tambahkan iman kami, kami butuh lebih banyak iman!” Yesus kemudian pada dasarnya mengatakan, “Tidak, kamu bukan butuh iman yang besar dari Tuhan, kamu perlu beriman kepada Tuhan yang besar. “ Inilah poinnya ayat 6 yang terkenal itu: Jawab Tuhan: “Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu.” Saudara, bagian ini bukan urusan punya iman sebesar apa maka bisa melakukan mujizat sebesar apa, ini bukan rumusan ‘perlu x supaya bisa mencapai y’. Justru lewat kalimat ini Tuhan Yesus sedang membuang buku rumusan keluar; Tuhan Yesus mengatakan ‘ini bukan masalah ukuran; iman hanya perlu sebesar biji sesawi untuk bisa memindahkan pohon ara yang besar itu’. Biji sesawi adalah biji yang paling kecil, yang Saudara tidak bisa ambil satu biji tapi hanya bisa mengambilnya seraup, karena sebegitu kecilnya seperti pasir; pohon ara adalah salah satu pohon paling besar di daerah Palestina yang tingginya bisa mencapai 6 meter. Jadi perkataan ini pada dasarnya gaya bahasa, seperti misalnya Saudara ulang tahun lalu ada hadiah 2 handphone yang persis sama modelnya, sementara Saudara cuma perlu satu, lalu ada teman yang suruh jual kepada dia, dan Saudara bilang, “Ya, sudah, ini gua jual ke lu 1 rupiah”. Di situ Saudara bukan sedang pasang harga, itu justru sedang membuang konsep harga, dengan bahasa harga, maksudnya ‘ini barang, gua kasih ke elu’. Sama seperti itu, waktu Tuhan Yesus memakai contoh biji yang terkecil untuk memindahkan pohon yang terbesar, Dia justru sedang membuang urusan besar-kecil; Dia sedang mengatakan ‘ini bukan urusan iman besar atau iman kecil; iman itu urusannya ada atau tidak ada, bukan besar atau kecil’, karena yang namanya iman itu bukan penting imannya, yang namanya iman itu bukan urusan beriman besar kepada Tuhan, tapi urusan beriman kepada Tuhan yang besar.
Dengan demikian inilah poin dari perumpamaan yang Tuhan Yesus berikan berikutnya, yang tujuannya untuk menyatakan sebenarnya seberapa besar Tuhan mereka itu. Tuhan Yesus lalu menceritakan mengenai pertanian; kalau dibahasakan dengan bahasa yang lain, ini sebuah pertanian atau peternakan, dan tentunya pemilik ladang punya petani-petani dan peternak-peternak, mereka kerja dari pagi sampai malam. Ketika pekerjaan di ladang selesai, Tuhan Yesus mengatakan, “Apakah si pemilik ladang akan mengatakan kepada para pekerjanya, ‘Mau teh manis? Kamu santai saja di situ, aku akan suguhkan teh manis dan pisang goreng’ ? Tentu tidak, bukan? Sang pemilik ladang akan mengatakan, ‘Oke, hari ini pekerjaan di ladang sudah selesai, masih ada pekerjaan di rumah, buatkan makanan untukku’; dan setelah itu, apakah si hamba akan ngarep pujian? Tidak, si hamba hanya akan mengatakan, ‘Ya, memang inilah pekerjaan saya, sudah sepantasnya seperti ini; ini memang tugasku.’”
Mendengar cerita seperti ini, Saudara merasa apa? Saudara merasa ‘gila ya, kejam banget, tidak berperikemanusiaan; maksudnya apa ya?? apa maksudnya Tuhan Yesus mengatakan “kamu beriman kepada Tuhan yang besar; dan kayak beginilah relasimu dengan Tuhan, kamu itu hamba-hamba yang tidak berguna, nurut saja!”’ Apakah itu maksudnya? Tidak. Kalau Saudara berpikir seperti itu, kita perlu bereskan. Kita sering kali membaca istilah ‘budak/hamba’ dalam pengertian modern; dan dalam kacamata hari ini setiap perbudakan/perhambaan adalah sesuatu yang sangat negatif, sangat salah. Tapi itu bukan cara orang zaman dulu mengerti istilah budak/hamba. Problem dalam perbudakan zaman modern adalah bahwa sang majikan dianggap memiliki pribadi si budak, memiliki orangnya; ini model perbudakan yang sangat hancur, karena majikan berkuasa penuh atas budaknya, berhak melakukan apapun atas budak tersebut, karena dia memiliki orangnya. Tapi dalam zaman Perjanjian Baru abad pertama, perbudakan/perhambaan berbeda, seringkali yang dipakai adalah istilah indentured servitude, indentured servanthood. Yang namanya seorang hamba pada waktu itu, biasanya seseorang yang jatuh dalam utang. Pada zaman sekarang, orang kalau jatuh dalam utang, maka dalam sistem ekonomi hari ini sebenarnya dia tinggal menyatakan bangkrut di hadapan pemerintah, lalu pemerintah tentunya akan menyita harta bendanya, tapi setelah itu pemerintah juga akan menghapuskan utangnya, bagian yang tidak bisa dibayar setelah semua hartanya disita biasanya dianggap lunas karena bagaimanapun dia sudah membayar dengan semua harta yang dia miliki. Itulah sistem ‘kebangkrutan’ dalam sistem ekonomi zaman sekarang; dan ini jadi ada semacam “sisi positif”-nya karena di satu sisi memang kita habis hartanya sampai ludes, tapi di sisi lain utang kita juga diludeskan. Pada zaman dulu, kalau Saudara terlilit utang yang Saudara tidak sanggup bayar, maka Saudara akan dimasukkan ke dalam perhambaan kepada sang pemberi pinjaman, disuruh kerja padanya sampai seluruh utang lunas. Itu berarti dalam zaman tersebut yang namanya perhambaan/perbudakan bukanlah ketika sang majikan memiliki hak atas orang (person); ini adalah kepemilikan/hak seseorang atas kerja (labour) dari seseorang. Jadi ini kedengarannya lebih positif dibandingkan perbudakan zaman sekarang; tapi lebih positif lagi ketika kita menyadari bahwa di zaman Perjanjian Baru tersebut si majikan tidak diharuskan melakukan memberi kesempatan kerja bagi si hamba untuk membayar utangnya, dia bisa saja menendang orang yang berutang ini ke penjara, sebagaimana kita baca dalam perumpamaan yang lain di Matius 18. Dengan kata lain, ketika seorang hamba jadi hamba karena tidak bisa melunasi utangnya pada zaman itu, sesungguhnya itu adalah semacam anugerah. Kalau Saudara mengerti seperti inilah hubungan antara seorang majikan dengan hamba pada zaman Perjanjian Baru, Saudara bisa lebih mengerti ceritanya, lebih mengerti kenapa si hamba dikatakan tidak mengharapkan terima kasih, belaian, pujian; si hamba hanya akan mengatakan ‘kami melakukan apa yang harusnya kami lakukan’. Ini karena para hamba pada waktu itu hanyalah orang-orang yang berutang, yang kepada mereka diberikan anugerah. Dan, disini Tuhan Yesus mengatakan, “Kalau kamu problem dengan utang orang lain kepadamu, awasi dirimu, siapa kamu di hadapan Tuhanmu, siapa??”
Banyak dari kita bingung, sebenarnya apa sih yang namanya menjadi orang Kristen, kapan sih seseorang menjadi orang Kristen; dan kita mengatakan, yaitu ketika seseorang menerima Yesus Kristus sebagai Juruselamatnya. Dan, sekarang Saudara tahu arti sesungguhnya di balik kalimat tersebut. Saudara, inilah pada dasarnya yang namanya punya iman kepada Tuhan yang besar; mempunyai Tuhan yang besar, itu bukan cuma bernuansa positif, berbunga-bunga, penghiburan ‘O, Tuhanku besar, jadi Dia berdaulat atas dunia, Dia mengatur everything OK’. Tidak cuma itu, Saudara. Tuhanmu besar, berarti Dia berdaulat juga atas hidupmu. Saudara menjadi orang Kristen, menerima Yesus sebagai Juruselamatmu, itu berarti menerima status dirimu sebagai hamba-hamba-Nya, hamba yang berutang segala sesuatu kepada-Nya. Tidak usah ngomong ‘dosa’, dari awalnya pun kita berutang segala sesuatu eksistensi kita kepada Dia, tanpa Dia kita tidak ada.
Saudara jadi mengerti sekarang kenapa Tuhan Yesus memberi perumpamaan seperti ini, karena jika sekarang Saudara melihatnya demikian, mana bisa ada dasar lagi untuk Saudara menuntut utang kepada sesama hamba yang lain?? Itulah yang Tuhan Yesus tegur dalam perumpamaan yang lain, tentang seorang hamba berutang 10 ribu talenta lalu diampuni tuannya, tapi ketika hamba yang lain berutang 200 dinar kepada hamba tersebut, dia menuntut bayar tanpa ampun. Para murid tadi mengatakan, “Kami tidak sanggup mengampuni orang seperti ini”; Tuhan Yesus mengatakan, “Kamu sanggup! Kamu cuma perlu iman sebesar biji sesawi! Tapi lewat jendela iman yang kecil itu, kamu melihat sebesar apa Tuhanmu, kamu jadi ingat dirimu itu siapa. Kamu akan sanggup kalau kamu menyadari dirimu juga adalah hamba-hamba yang berutang; dan coba pikir apa yang terjadii kalau Tuanmu menuntut utangmu juga. Kalau kamu membenci dan menuntut orang lain membayar utangnya kepadamu, kamu lupa kamu itu siapa; kamu adalah hamba-hamba yang mengira dirimu adalah majikan.” Sederhana ya, penawar racunnya. Namun kita tidak berhenti di sini; jikalau kita adalah hamba-hamba yang mengira diri kita adalah tuan, maka penawar racunnya adalah: melihat Sang Tuan yang telah menjadi hamba. Gambaran iman kepada Allah yang besar, bukanlah cuma sisi yang tadi kita bicarakan, karena ketika kita melongok lewat jendela sebesar biji sesawi itu kepada Tuhan kita yang besar, kita melihat Dia bukan cuma Tuan dan kita yang hamba, tapi kita juga melihat bahwa Raja pemilik kita itu turun ke dunia, kita berutang segala sesuatu kepada-Nya termasuk nyawa dan jiwa kita, tetapi Dia mati di kayu salib. Dan, kata-kata terakhirnya adalah “tetelestai” (“sudah genap”), dengan kata lain “sudah lunas”.
Ada seorang suami yang di masa tuanya istrinya begitu sakit sehingga harus diurus 24 jam. Situasi kelihatannya begitu sulit, maka orang yang datang menghibur sang suami mengatakan, “Ini pasti sulit banget buatmu, harus urus semua ini, tidak bisa kerja lagi, tidak bisa apa-apa lagi, 24 jam sehari urus istri.” Anehnya, sang suami mengatakan, “O, tidak, kamu salah. Memang kalau kamu lihat cuma yang ini, sepertinya sulit sekali, tapi kalau kamu tahu gambaran besarnya, ini gampang, yaitu bahwa seumur hidupku, istriku telah mengurusku, istriku telah berkorban demi aku. Sekarang dia sakit, aku memang sedih, tapi di sisi lain ada semacam sukacita juga, aku sekarang ada kesempatan untuk merawat dia, seperti dia telah merawatku.” Ini gambaran besarnya, perspektif yang lain.
Saudara ada problem mengampuni orang lain? Satu-satunya cara Saudara berhenti menjadi hamba yang bertingkah seperti seorang tuan, adalah dengan melihat Sang Tuan yang telah menjadi hamba.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading