Bagian ini diberi judul oleh LAI “Kesaksian Yesus tentang diri-Nya”, terjemahan ESV memberi judul “Authority of Jesus”. Memang Yesus sedang berkata-kata tentang diri-Nya, tapi sedikit agak mengganggu kalau dipakai istilah “kesaksian”, karena dalam Perjanjian Lama kesaksian tentang diri sendiri itu tidak sah. Lagipula dalam Tritunggal, Roh Kudus bersaksi tentang Kristus, Kristus bersaksi tentang Bapa, dan Bapa sendiri bersaksi tentang Kristus. Kalau kita memikirkan dari perspektif bahwa Yesus adalah Tuhan, Dia mempermuliakan diri-Nya sendiri tentu karena memang Dia Tuhan. Tapi itu pun tidak Dia lakukan, Dia mempermuliakan Bapa. Dia Tuhan, tapi tidak bersaksi tentang diri-Nya sendiri; murid-murid-Nya yang bersaksi tentang Dia, Roh Kudus bersaksi tentang Dia, Yesus sendiri bersaksi tentang Bapa. Barangsiapa mengenal Yesus, ia dibawa kepada pribadi yang lain sebagaimana barangsiapa mengenal Roh Kudus juga dibawa kepada pribadi yang lain yaitu pribadi Kristus. Jadi, bagian ini boleh kita tafsir seperti judul yang diberikan ESV, yaitu otoritas Yesus. Yesus berbicara tentang diri-Nya sendiri tapi bukan dalam tujuan bersaksi tentang diri sendiri, melainkan tentang Bapa-Nya. Dan di dalam kesaksian Yesus tentang Bapa-Nya inilah otoritas Kristus didasarkan.
Otoritas merupakan tema besar dalam zaman kita. Orang banyak menyoroti perubahan/pergeseran pengertian otoritas, misalnya mulai zaman Medieval (Pre-modern), Modern, dan sekarang Postmodern. Istilah ‘otoritas’ dalam Bahasa Yunani ‘exousía’, yang bisa diterjemahkan sebagai otoritas atau juga kuasa/power. Otoritas memang sangat berkaitan dengan kuasa. Isu ‘kuasa/power’ sangat sensitif untuk orang-orang Postmodern, karena mereka selalu berpikir bahwa power seringkali disalahgunakan, dipakai untuk menipu orang, menjajah, kolonialisme, dsb. Kalau kita bandingkan dalam pergerakan zaman, Pre-modern tidak ada persoalan dengan otoritas, kita tahu otoritas dimiliki olah kaum yang berwenang, misalnya Gereja (Medieval) yang punya otoritas mengajar dan menafsir Firman Tuhan bahkan untuk melakukan penghukuman; dan juga negara. Di situ otoritas diletakkan dalam badan/institusi tertentu bahkan pribadi-pribadi tertentu (misalnya Paus memiliki otoritas). Orang zaman Medieval hidup dalam gambaran seperti ini. Selanjutnya kita melihat ada pergeseran; dalam zaman Reformasi salah satu yang dikerjakan Luther adalah melakukan kritisi akan persoalan otoritas, terutama waktu otoritas itu diterapkan dalam diri manusia –Gereja termasuk manusia, bukan Tuhan– yang confused posisinya, menyamakan dirinya dengan Tuhan; otoritas Gereja oke, tapi bukan di atas otoritas Alkitab, otoritas Alkitab yang di atas otoritas Gereja. Kemudian bergeser lagi sampai zaman Enlightenment, Immanuel Kant, dsb., otoritas bukan lagi pada Firman tapi pada human reason. Kant mengatakan: ‘kita sekarang sudah dewasa, jadi kalau Gereja mengatakan sesuatu kita harus pikir dulu pakai otak, pakai reason, reasonable atau tidak’. Di sini yang jadi otoritas adalah the self /diri sendiri (human autonomy), yang di zaman sekarang orang menyebut dirinya free thinker (bebas berpikir), menurut reason-nya sendiri dia bisa memilah-milah.
Jadi bicara soal otoritas dalam zaman modern lebih sulit karena setiap orang punya otonomi sendiri, punya cara berpikir sendiri. Tidak mudah melayani orang di zaman modern apalagi kalau pakai cara-cara premodern. Di Indonesia, orang bilang semuanya ada; ada orang yang masih sangat suka nonton film horor (orang-orang Pre-modern), ada yang sangat naturalis, ada yang sangat percaya pada kesempurnaan logika manusia (orang-orang Modern), ada yang sudah masuk di dalam yang disebut Postmodern (dan ini dibagi lagi, yang memang belajar filsafat Postmodern dan yang cuma pluralisme gado-gado tidak jelas apa pemikirannya). Kita berhadapan dengan orang-orang yang kompleks, maka poinnya adalah kita tidak bisa one-sided di dalam pelayanan. Kita tidak bisa berat sebelah, melayani orang dengan cara premodern saja seolah masih hidup di zaman abad Pertengahan waktu bicara soal otoritas, power, dsb., tapi termasuk juga juga tidak bisa melayani hanya dengan pendekatan postmodern saja karena ada orang-orang modern dan premodern. Kita juga tidak usah membandingkan mana yang lebih menang, yang lebih mutakhir , karena to be biblical bukanlah to be updated.
Ayat-ayat yang kita baca tadi berurusan dengan soal otoritas, tapi bukan otoritas seperti yang dibicarakan dalam Premodern, Modern, ataupun Postmodern. Yesus bersatu dengan Bapa-Nya dalam kesatuan yang sempurna, Matius mengatakan “Dia mengajar dengan kuasa, tidak seperti pengajar-pengajar Israel yang lain”. Anak itu berkuasa, memiliki otoritas, tapi di ayat 19 secara paradoks mengatakan: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya Anak tidak dapat mengerjakan sesuatu dari diri-Nya sendiri, jikalau tidak Ia melihat Bapa mengerjakannya”. Yesus sempurna di dalam kuasa, sempurna di dalam otoritas, karena Dia tidak mengerjakan sesuatu dari diri-Nya sendiri. Dunia berlomba-lomba untuk jadi ‘entrepreneur’, jangan jadi pegawai, kalau bisa kita punya banyak pegawai, supaya saya boleh mengerjakan sesuatu dari diri saya sendiri, supaya saya tidak harus ikut agendanya orang lain, supaya tidak didikte oleh keinginan-keinginan orang lain, supaya sebagai entrepreneur saya bisa mengerjakan yang saya mau. Kita hidup di zaman seperti ini, satu zaman yang menyuburkan/mengkondisikan keadaan ‘tidak bisa diatur’, dan ini terbawa-bawa dalam kehidupan Kristen juga. Dalam gambaran seperti ini, alangkah sulitnya mengikuti virtue yang ada pada Kristus, yang justru melalui itu terletak pondasi otoritas yang ada pada diri Yesus.
Yesus melihat Bapa –melihat berarti visi– visi yang dikerjakan oleh Bapa, dilihat oleh Anak. Setelah itu, Yesus tidak mengerjakan sesuatu dari diri-Nya sendiri tapi mengerjakan yang dilihat-Nya dari Bapa, yang Bapa mau kerjakan dalam diri-Nya itulah yang dikerjakan Anak. Dalam pengertian inilah otoritas Yesus didasarkan. Ini ‘gak nyambung dengan gambaran dunia. Kalau gambaran dunia, orang yang punya kuasa –punya otoritas– yaitu dia yang bisa memerintah, dia yang berkata lalu orang lain menaati. Tapi otoritas Yesus bukan itu. Otoritas Yesus adalah justru karena Dia taat kepada Bapa-Nya. “Sumber” otoritas Yesus, pondasinya adalah ketaatan-Nya kepada Bapa. Oleh karena itu bagian awal dari perikop yang kita baca ini lebih tepat kalau kita baca dari perspektif kemanusiaan Kristus daripada keilahian-Nya. Yesus sepenuhnya ilahi dan sepenuhnya manusia, tapi waktu Dia mengatakan bagian ini, Dia ingin share inter-Trinitarian life, dan itu dinyatakan juga di dalam dunia waktu Dia inkarnasi.
Otoritas Anak sempurna seperti otoritas Bapa, tapi dengan cara submission yaitu dengan tidak mengerjakan sesuatu dari diri-Nya sendiri, dengan tidak bersaksi tentang diri-Nya sendiri, tapi bersaksi tentang Bapa sama seperti Roh Kudus bersaksi tentang Kristus. Dunia ini ingin cepat-cepat menduduki posisi Bapa –posisi Allah– tapi tidak melalui Kristus. Alkitab mengatakan “Yesus itu satu-satunya jalan menuju kepada Bapa, tidak ada orang mengenal Bapa kecuali melalui Kristus”. Saudara tentu sering mendengar kalimat ini dalam pengertian soteriologis/keselamatan, tapi saya masukkan ayat ini juga dalam pengertian doktrin Allah, bahwa tidak ada orang mengenal Bapa jika tidak melalui Kristus; orang yang mau menduduki posisi Allah –mengerti otoritas Bapa– tanpa melalui Kristus, itu gang buntu. Pengenalan akan Yesus yang submit kepada Bapa, tidak mengerjakan sesuatu dari diri-Nya sendiri tapi mengerjakan yang dilihat-Nya dari Bapa, menjadi gambaran otoritas yang ada pada Kristus. Kuasa/ power bagi Yesus bukanlah sesuatu yang tabu sebagaimana gambaran orang Postmodern, karena Yesus memiliki power bukan dengan cara seperti yang dimengerti oleh dunia melainkan by way of submission.
Kita hidup di satu zaman yang seperti dikondusikan seolah ‘semua orang hidup punya ceritanya masing-masing’ (dan celakanya pakai teologi reformatoris pula ‘semua orang punya individual calling’), akhirnya orang sulit untuk jadi bawahan, sulit kerja di company, semua ingin jadi entrepreneur. Bagi saya, entrepreneur itu harusnya supaya Saudara lebih bebas jadi budaknya Tuhan, supaya bisa menghayati perbudakan lebih baik lagi, bukan supaya masuk kepada self-autonomy, karena itu ceritanya Immanuel Kant bukan Alkitab. Tapi banyak orang tidak bisa submit waktu kerja lalu pakai alasan personal calling/ individual calling, tidak cocok visinya, perusahaan tidak sesuai dengan panggilan pribadi, dsb. Di sini kalau saya boleh sedikit mendekonstruksi, tekanannya pada ‘calling’-nya yang given by God atau ‘individual’-nya?? Intinya “ini ‘gak cocok dengan SAYA”; entah pakai istilah calling atau beban atau apapun tapi yang tidak bisa diganti adalah ‘individual’-nya. Kalau begini, artinya kita tidak cocok dengan inter-Trinitarian life, tidak cocok dengan kisah kehidupan Kristus, karena kisah kehidupan Kristus bukan itu. Yesus mendasarkan otoritas-Nya bukan karena Dia berhasil jadi entrepreneur, melainkan karena Dia submit kepada Bapa, mengerjakan apa yang Bapa mau kerjakan di dalam diri-Nya; that is the true authority menurut Yesus, dan hal ini di-share kepada Gereja.
Paulus mengatakan kalimat paradoks yang dipopulerkan oleh Luther: “Kita ini tuan bukan, budak siapa pun; tapi kita ini juga adalah budak, budaknya semua orang.” Kalau saya terjemahkan dalam bahasa kontemporer: “Kita ini entrepreneur semuanya, kita tidak kerja di bawah siapa pun, kita cuma budaknya Tuhan, di sisi yang lain kita ini budaknya semua manusia, pelayan semua manusia.” Bagaimana mengerti kalimat paradoks ini? Sayangnya sekarang orang menghapus bagian kalimat yang terakhir, kalau bisa tekankan bagian yang awal saja. Seorang pernah sharing bahwa sekarang ini anak muda suka pakai kalimat Alkitab ‘lebih baik menyenangkan Tuhan daripada menyenangkan manusia’ supaya mereka tidak perlu taat; betapa celaka! Spirit entrepreneurship yang kita salah mengerti akan langsung geser kepada cerita hidup yang lain. Saudara boleh jadi entrepreneur karena Saudara punya tanggung jawab yang lebih di situ, bisa menaati Tuhan dengan lebih bebas, bisa menjadi budaknya Tuhan tanpa terganggu –kecuali Saudara terganggu oleh dirimu sendiri, musuh yang paling besar itu. Tapi kalau entrepreneurship dimengerti dalam pengertian budaya Timur ‘lebih baik jadi bos daripada jadi pegawai’, maka Saudara tidak akan ke mana-mana, ini bukan kekristenan, ini cerita yang tidak ada gunanya malah justru memelihara self-autonomy dan menjauhkan diri dari Injil, akhirnya tidak menghidupi cerita Injil. Otoritas Yesus ada pada diri-Nya justru dengan Dia merendahkan diri, submit kepada Bapa. Orang-orang dalam Alkitab seperti Daud, menjadi true great leader karena dia bisa submit, termasuk juga kepada pemimpin yang tidak sempurna seperti Saul.
Ayat 19: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya Anak tidak dapat mengerjakan sesuatu dari diri-Nya sendiri, jikalau tidak Ia melihat Bapa mengerjakannya; sebab apa yang dikerjakan Bapa, itu juga yang dikerjakan Anak.” Ada visi yang Yesus terima, Yesus melihat Bapa mengerjakannya, visi yang di-sharing oleh Bapa, kemudian Yesus mengerjakan sesuai dengan visi yang Dia terima dari Bapa. Itu sama seperti orang berkata-kata hal-hal yang meaningful karena dia mendengar hal-hal yang meaningful; yang masuk meaningful maka dia bisa mengeluarkan yang meaningful juga. Pekerjaan bukanlah soal berapa sibuknya Saudara, berapa aktif atau berapa cepat Saudara mengerjakan, tapi pekerjaan terutama adalah apakah kita terlebih dulu melihat apa yang Bapa nyatakan dalam kehidupan kita, seperti Yesus juga melihat. Ketika kita melihat yang Bapa nyatakan dalam kehidupan kita lalu kita mengerjakan yang Bapa mau kerjakan melalui kita, itulah pekerjaan Tuhan, pekerjaan Bapa. Yesus mempunyai kuasa karena Dia tidak mengerjakan pekerjaan-Nya sendiri, sama seperti Dia bukan berkata-kata dari diri-Nya sendiri melainkan perkataan Bapa yang diberikan kepada-Nya, yang Bapa mau Dia sampaikan kepada dunia ini. Yesus selalu mengatakan perkataan Bapa-Nya, Yesus selalu mengerjakan pekerjaan Bapa-Nya. Dan di dalam hal inilah otoritas-Nya confirmed, kuasa Yesus ada di sana dengan Dia bukan mengerjakan sesuatu dari diri-Nya sendiri melainkan yang Bapa mau kerjakan melalui diri-Nya.
Ayat 20: “Bapa mengasihi Anak dan Ia menunjukkan kepada-Nya segala sesuatu yang dikerjakan-Nya sendiri, bahkan Ia akan menunjukkan kepada-Nya pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar lagi dari pada pekerjaan-pekerjaan itu”. Dari sisi Bapa, ordo yang di bawah submit kepada ordo yang di atas. Berhubung kita ini orang Timur, kita boleh benturin Alkitab dengan kebudayaan Timur; kita musti kritis karena sama seperti kebudayaan Barat, kebudayaan Timur pun sangat banyak dikotori oleh dosa, sangat berbeda dengan inter-Trinitarian life. Dan Tuhan menebus kita dari kultur budaya Timur, dan kultur budaya Barat, dan kultur budaya apapun. Dikatakan dalam bagian ini ‘Bapa mengasihi Anak’, ordo yang di atas dipanggil untuk mengasihi. Kalau kita berada di atas, kita dipanggil untuk mengasihi yang di bawah. Itulah the true authority of The Father; mengasihi karena Dia di atas secara ordo. Kalau kita sebagai orang tua, kita dipanggil untuk mengasihi yang di bawah (anak). Kalau kita sebagai guru, kita dipanggil untuk mengasihi murid, dst. Dari atas ke bawah ordonya adalah kasih. Dari bawah ke atas ordonya adalah taat/ submit. Poin yang persis sama dalam Efesus : ‘Hai suami, kasihilah isterimu’, ‘Hai istri, tunduklah (submit) kepada suamimu’. Ini inter-Trinitarian life; dari atas mengasihi yang di bawah, bukan abusing power (Bapa tidak pernah abusing power kepada Anak), lalu dari ordo yang di bawah, Anak taat (pasti juga mengasihi), mengerjakan sesuatu yang bukan dari diri-Nya sendiri.
Pertanyaan klasik: ”bagaimana kalau ordo yang di atas saya tidak mengasihi, apakah saya masih harus submit?”, (termasuk juga kalau diterapkan dalam kehidupan keluarga kalau orangtua kurang bertanggungjawab apakah anak tetap respek, suami yang kurang bertanggungjawab apakah istri bisa submit kepadanya, dst. ). Kita bisa melihat kepada kehidupan Daud: Daud taat kepada Saul, Saul tidak mengasihi Daud sebagai penerusnya malah iri hati mau membunuhnya, tapi Daud tetap belajar menghargai ordo yang ditetapkan Tuhan. Ordo itu sesuatu yang structural, apapun kontennya. Ada orang-orang yang di dalam struktural sudah ditetapkan Tuhan. Orangtua kita bagaimanapun tetap orangtua secara struktural, meskipun dia tidak mengasihi kita dia tetap orangtua kita; waktu kita bertambah tua, dia pun bertambah tua, dia tidak mungkin pernah jadi anak kita atau jadi setara/seumur. Ini struktur yang kita tidak bisa ubah; bagian dari order of creation. Dan kita dipanggil untuk menghidupi struktur yang ditetapkan Tuhan, termasuk ketika kontennya salah, termasuk ketika direksinya salah. Kita tidak bisa keluar dari struktur itu; kalau keluar dari struktur, ini sama dengan merusak tatanan ciptaan yang ditetapkan Tuhan. Itu hal yang pertama.
Yang kedua, sebagaimana prinsip yang seringkali kita katakan, kekristenan itu lincah; kalau ordo di atas kita tidak mengasihi kita, pasti ada ordo yang lain yang di atas kita yang mengasihi kita, yang jelas Tuhan selalu mengasihi kita dan Dia selalu di atas kita. Itu alasan yang cukup untuk kita bisa submit kepada semua ordo yang di atas kita, karena saya mengalami saluran cinta kasih tidak harus dari yang di atas saya, bisa dari tempat yang lain. Kalau ‘saya cuma bisa taat karena ordo yang di atas saya mengasihi saya’, itu seperti ping-pong –saya kasih kamu kamu kasih saya, saya kasih kamu lagi, kamu kasih saya lagi, dst.– budaya take and give seperti ini bukan Kekristenan yang ada di Alkitab. Kekristenan di Alkitab adalah ‘saya boleh menerima dari orang lain, dan tidak harus kembali kepada dia, saya salurkan kepada orang lain lagi’, mengalir, bukan main ping-pong. Kalau kita cuma bisa submit kepada yang mengasihi kita, Yesus mengatakan “gentiles pun begitu; kamu cuma senyum kepada orang yang senyum, kamu cuma memberi kepada orang yang memberi, itu gentiles, tidak usah Kristen”. Tapi kalau kita ini Kristen, kita harusnya tidak begitu. Kalau cuma bisa submit kepada orang yang mengasihi kamu, lalu merasa kamu mengenal Yesus, itu sebetulnya tidak mengenal Yesus karena Yesus tidak seperti itu. Itu bukan cerita inter-Trinitarian life, bukan cerita Alkitab. Itu cerita dunia, cerita yang dihidupi oleh gentiles.
Dari ordo yang di atas mengasihi seperti Bapa mengasihi, maka kalau dalam hidup kita ada ordo yang di bawah, jangan lupa panggilan itu: mengasihi. Mengasihi juga termasuk sharing visi, seperti Bapa memperlihatkan pekerjaan-Nya kepada Sang Anak lalu Sang Anak melihat visi yang di-sharing oleh Bapa. Generation gap itu problem, orang seringkali mengeluh begitu. Faktanya dari dulu juga ada generation gap, mana ada orang punya anak umur 2 tahun dan tidak ada generation gap?? Persoalannya bukan generation gap, tapi kegagalan sharing visi atau kegagalan menangkap visi. Kita jangan terlalu cepat menyalahkan orang-orang yang di bawah seolah kurang bisa ada submission, karena jangan-jangan kita juga tidak ada sharing visi seperti Bapa, lalu apa yang mau dilihat oleh mereka?? Sebetulnya tidak mungkin orang tidak memperlihatkan apa-apa, tapi mungkin yang kita perlihatkan dalam kehidupan kita itu sampah, maka yang dilihat oleh mereka yang di bawah kita adalah sampah, dan mereka hidup seperti sampah. Kalau kita sharing sesuatu yang benar, tentu mereka akan lihat yang benar karena orang itu melihat/menyaksikan. Paulus mengatakan: “kamu itu surat-surat Kristus”; benarkah kita surat Kristus, atau surat yang lain?? Kita tidak bisa tidak jadi surat. Kehidupan kita selalu adalah surat, hanya saja apa tulisan di dalamnya, Kristus atau bukan?
“Bapa mengasihi Anak dan Ia menunjukkan kepada-Nya segala sesuatu yang dikerjakan-Nya sendiri”, ini sharing visi. Lalu Anak menangkap visi itu, visi kehidupan, visi pekerjaan. Dan “bahkan Ia akan menunjukkan kepada-Nya pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar lagi dari pada pekerjaan-pekerjaan itu”. Kembali lagi ini berlawanan dengan kultur Timur yang sangat sulit untuk percaya kepada ordo yang di bawah. Bapa menunjukkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar lagi, lebih besar lagi, lebih besar lagi; laluYesus pernah mengatakan kepada murid-murid-Nya “kamu akan melakukan bahkan yang lebih besar daripada-Ku”. Ini tidak mungkin sama sekali dalam kultur Timur karena ‘kalau saya bisa 74 jurus, paling mentok murid saya 73 jurus, 1 jurus saya simpan sendiri, siapa tahu dia kurang ajar suatu waktu, masih bisa saya tempeleng pakai jurus yang ke-74, makanya seumur hidup lu harus submit kepada gua, gua bagaimana pun lebih powerful daripada elu’. Atau dalam konteks warisan, ‘warisan jangan cepat-cepat dikasih ke anak, nanti dia kurang ajar; kalau elu lebih miskin daripada anak itu bahaya’. Jadi warisan ditahan terus supaya yang di bawah tetap menghormati, karena bagaimana pun uang papa masih lebih banyak daripada kamu, jadi masih ada alasan untuk submit. Inilah kultur Timur. Tapi waktu kita baca Alkitab, tidak begitu ceritanya; Yesus bilang ‘kamu akan mengerjakan lebih besar dari pada-Ku’.
Tentu saja kita tahu tidak mungkin ada orang yang bisa melampaui Kristus di dalam menebus dosa, di dalam kemuliaan-Nya menyatakan Injil; tapi ayat ini bicara tentang “lebih besar”. Secara sederhana Alkitab mengatakan bahwa ada yang lebih besar, apa yang dimaksud di sini? Bahwa orang juga punya sifat keilahian yang bahkan lebih besar daripada Kristus? Pasti bukan itu. Kalau begitu, mengapa Yesus pakai istilah ‘lebih besar’? Maksudnya: ada trust –yang tidak ada di dalam kultur Timur– bahwa kalau orang yang di bawah saya lebih besar daripada saya, itu sesuatu yang bahagia karena berarti sharing visinya berhasil. Sedangkan dalam kultur Timur kalau bisa tidak ada yang lebih besar. Kalau pakai gambaran orang yang punya 74 jurus tadi, muridnya cuma bisa punya 73 jurus, lalu muridnya lagi 72 jurus, dst. sehingga dalam 72 tahun tinggal 1 jurus. Semua seperti ini gambarannya, maka tidak heran tambah lama orang tambah goblok dalam kultur Timur, karena ketakutan kalau ordo yang di bawah lebih maju daripada dirinya. Ini kerusakan di dalam kultur Timur, sistem yang menjurus kepada declined, tidak bisa lebih maju karena orang yang di bawah harus lebih goblok daripada saya. Tidak ada harapan jadinya bagi dunia, makin lama dihuni orang-orang yang makin goblok, dan makin goblok, dan makin goblok, karena yang di atas pelit untuk sharing, tidak ada kepercayaan. Tapi di dalam Kekristenan kita membaca “bahkan Ia akan menunjukkan kepada-Nya pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar lagi dari pada pekerjaan-pekerjaan itu”, intinya ada trust kepada yang di bawah, ada kepercayaan untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar.
Ayat 21-22: “Sebab sama seperti Bapa membangkitkan orang-orang mati dan menghidupkannya, demikian juga Anak menghidupkan barangsiapa yang dikehendaki-Nya. Bapa tidak menghakimi siapapun, melainkan telah menyerahkan penghakiman itu seluruhnya kepada Anak” Perhatikan di sini, ada increase dalam hal Bapa mempercayakan kepada Anak. Pertamanya: ‘sama seperti Bapa membangkitkan orang-orang mati’ –ini pekerjaan Bapa– ‘demikian juga Anak menghidupkan barangsiapa yang dikehendaki-Nya’; ada kesetaraan di sini; lalu selanjutnya: ‘Bapa tidak menghakimi siapa pun, melainkan telah menyerahkan penghakiman itu seluruhnya kepada Anak’. Pertama Bapa membangkitkan, lalu dipercayakan kepada Anak –Anak juga membangkitkan, memberikan hidup kepada barangsiapa yang dikehendaki– dan sekarang Bapa yang seharusnya menghakimi tapi diserahkan kepada Anak, Anak yang menghakimi. Ini kepercayaan. Kalau dibenturkan dengan kultur Timur, ‘lu maju ‘gak apa, tapi paling mentok lu seimbang dengan saya, jangan di atas saya’, sedangkan dalam inter-Trinitarian life Bapa tidak menghakimi siapapun, diserahkan kepada Anak, Anak yang menghakimi. Ada yang Bapa tidak kerjakan, diserahkan kepada Anak, inilah Trinitarian trust, bukan trust yang conditional seperti seringkali dibicarakan dalam masyarakat kultur Timur.
Ada trust dari Bapa yang menyerahkan penghakiman kepada Anak tanpa ada kekuatiran ‘nanti kalau Anak menghakiminya salah, bagaimana; jangan-jangan setelah Saya menyerahkan penghakiman kepada Dia, nanti Saya sendiri yang dihakimi, bagaimana’. Tentu saja tidak ada kekuatiran itu, ini Tuhan, Allah, Ilahi, mana mungkin terjadi kekacauan seperti itu; tapi kalau kita hanya bicara begitu, jadi tidak ada yang bisa kita pelajari. Inter-Trinitarian life itu di-sharing oleh Bapa melalui Anak, oleh Roh Kudus, supaya kita bisa menghidupi, supaya Saudara dan saya memperoleh hidup yang kekal. Apa itu hidup yang kekal? Kehidupan yang kekal adalah kita mengerti inter-Trinitarian life, mengenal yang diutus oleh Bapa yaitu Anak, dan mengenal yang mengutus yaitu Bapa, dan ini semua karena Roh Kudus; pengertian Tritunggal. Ini menurut Injil Yohanes. Dan maksudnya bukan cuma sekedar tahu Bapa mengutus Anak, Anak diutus Bapa, lalu hidup kekal; itu bukan Injil. Injil bukan masalah formula-formula 1,2,3, seperti ini yang pokoknya harus tahu, jangan sampai keliru. Itu bukan Kekristenan. Waktu dikatakan dalam istilah ‘mengenal Bapa yang mengutus Anak, Anak diutus Bapa’, itu termasuk semua yang kita pelajari hari ini karena semuanya tidak bisa dipisahkan dan sangat related dengan konsep tersebut, tentang bagaimana kita menghidupi ordo di dalam dunia seperti ordo yang ada di dalam Tritunggal. Bukan asal lulus mengatakan kalimat-kalimat credo, tapi berpartisipasi/berbagian di dalam natur Ilahi, sebagaimana kata Petrus hidup seperti Tuhan. Bahkan Plato pernah mengatakan “hidup yang paling tinggi adalah hidup seperti Allah”, sayangnya dia tidak menjelaskan apa artinya hidup seperti Allah, dan dia punya idenya sendiri bukan wahyu. Kita ini memiliki wahyu, ini melampaui Plato bukan karena kita lebih hebat daripada Plato tapi karena kita punya Alkitab. Alkitab mengatakan apa itu artinya hidup seperti Allah.
Ayat 22 mengatakan “Bapa tidak menghakimi siapapun, melainkan telah menyerahkan penghakiman itu seluruhnya kepada Anak” ; ada kepercayaan menyerahkan kepada Anak. Dan di ayat 23 jelas, yaitu “supaya semua orang menghormati Anak sama seperti mereka menghormati Bapa ;di dalam kepercayaan ini ada penghormatan yang equal. Dalam Konsili Ekumenikal dikatakan bahwa Anak dan Bapa itu consubstantial, sederajat, equal, Anak tidak lebih rendah dari Bapa. Mereka yang mengajarkan bahwa Anak lebih rendah dari Bapa, itu mangajarkan ajaran sesat. Paradoxically speaking, Anak submit kepada Bapa. Yesus sendiri pernah mengatakan “Bapa lebih besar daripada Anak” dalam konteks Dia inkarnasi. Waktu Yesus berinkarnasi, Dia menjadi sama seperti kita, Dia submit kepada Bapa, supaya kita bisa mempelajari apa itu hubungan Anak dan Bapa. Ini demi kita, Saudara dan saya.
Saya ingin meng-explore bagian ini tentang ‘menghormati Anak sama seperti menghormati Bapa’, di dalam prisnsip dunia ini sulit diterima. Kita tidak mungkin menghormati majikan sama seperti menghormati pegawainya. Misalnya waktu kita belanja lalu ada suatu kesulitan dan sulit kita berdebat dengan pelayan di situ, kita mengatakan pada dia, “Panggil manajermu, saya mau bicara sama manajermu”, maksudnya ‘gak level ngomong sama orang kayak gini, kita mau yang setingkat, jendral bicara dengan jendral, kolonel bicara dengan kolonel bukan dengan kopral. Kalau pakai metafor hamba dan tuan, Anak itu hamba, yang taat kepada tuannya, yaitu Bapa. Kalau ‘saya menghormati Bapa’, itu oke; tapi mengapa harus ‘menghormati Anak yang submit kepada Bapa’, bukankah ini level kopral?? Itu tidak masuk di dalam gambaran dunia, maka waktu kita bicara mengenai otoritas, kuasa, dsb., semuanya juga tidak masuk di dalam pembicaraan dunia, karena Alkitab memang mengajarkan yang berbeda dari yang diajarkan dunia, bagian ini mengatakan ‘supaya orang menghormati Anak sama seperti menghormati Bapa’.
Yesus layak mendapatkan hormat yang sama seperti Bapa, justru karena Dia submit kepada Bapa. Kita, orang Timur, hidup di dalam honour and shame culture. Itu tidak harus salah, bukannya honour and shame culture lebih rendah daripada guilt culture, tapi persoalannya kehormatan siapa yang kita kejar? Tuhan atau saya sendiri? Kalau urusannya muka saya, itu namanya narsis; kalau mukanya Tuhan itu hal yang positif. Tapi katakanlah kita mengejar honour-nya kita sendiri, pertanyaannya: dengan cara bagaimana kita mau mendapatkan hormat/respek itu? Kalau mengikuti Trinitarian life, Sang Anak itu mendapatkan hormat dengan cara submission. Seperti ‘gak nyambung, orang taat koq dihormati; yang kita tahu kalau orang taat dan taat, dia itu bukan bosnya. Tapi kalau menurut firman Tuhan, yang melayani itu yang dihormati, bahkan Yesus pernah mengatakan: “Barangsiapa melayani Aku, dia dihormati oleh Bapa”. Bapa hormat kepada yang melayani Anak, konsep ini sama sekali tidak bisa diterima. Yang kita bisa terima adalah bahwa kita musti menghormati Bapa, Bapa itu paling tinggi, Anak saja submit kepada Dia apalagi murid-murid yang lebih rendah lagi. Tapi Alkitab mengatakan, tidak ada jalan kepada Bapa kalau tidak melalui Anak; Anak adalah satu-satunya jalan menuju kepada Bapa, kita tidak bisa kenal Bapa tanpa Anak. Tidak bisa mengenal Bapa tanpa pengertian Trinitarian ini, menurut Yohanes itu tidak mungkin sama sekali.
Mengenal Bapa yaitu melalui mengenal Sang Anak, lalu Sang Anak mendapatkan hormat melalui Dia submit kepada Bapa. Penghormatan itu diterima secara pasif waktu seseorang submit kepada ordo yang lebih tinggi, itulah orang yang truly honourable, itu menurut konsep Alkitab. Tapi dunia kita tidak setuju. Dunia mengatakan itu mentalitas pegawai, dan the truly honourable menurut dunia adalah orang-orang yang bisa jadi entrepreneur. Oleh sebab itu makin lama makin tidak kondusif untuk melakukan kehendak Tuhan, makin lama makin asing bahwa submission itu suatu virtue. Submission menurut dunia bukan virtue, itu kekalahan, itu orang-orang pecundang, orang-orang yang pasti tidak punya cukup uang, pasti tidak punya cukup talenta, pasti tidak punya cukup kenalan, makanya dia begitu begitu saja, dan itu tidak honourable. Konsep Alkitab mengatakan yang sebaliknya, Anak dihormati sama seperti Bapa dihormati, Anak submit kepada Bapa, barangsiapa tidak menghormati Anak berarti dia juga tidak menghormati Bapa yang mengutus Anak. Bapa insist bahwa musti menghormati Anak, baru orang itu menghormati Bapa. Orang yang tidak bisa menghormati yang di bawah, dia tidak bisa menghormati yang di atas. Orang yang cuma bisa bicara sama manajer, sebenarnya dia tidak menghormati si manajer. Ini kritik bagi kita sendiri, kita semua hidup dalam kultur seperti itu. Kalau kita cuma mau bicara dengan yang selevel, tidak mau bicara dengan yang di bawah, maka tidak mungkin kita menghormati orang yang selevel itu; demikian menurut konsep ini karena Bapa mengatakan yang tidak menghormati Anak –yang submit kepada Bapa– dia juga tidak menghormati Bapa. Lalu Yesus mengatakan “barangsiapa melayani Aku, ia dihormati Bapa”. Bapa menghormati bukan saja Anak, tapi juga menghormati yang melayani Anak. Ini konsep kekristenan, honourable by way of submission. Waktu seseorang taat, waktu dia bukan menjalankan agendanya sendiri tapi menjalankan agenda ordo yang di atasnya, kita mendapati bahwa itulah orang-orang yang diberkati Tuhan.
Saya menutup dengan cerita tentang George Müller, seorang pahlawan iman. Waktu muda, dia mimpi untuk bisa jadi misionaris yang keliling negara-negara, menyampaikan Injil. Tapi berlawanan dengan keinginannya, Tuhan mempercayakan kepada dia anak-anak yatim piatu. Ini bukan agendanya George Müller; dia tidak punya mimpi itu, itu bukan yang dia mau sebetulnya. Namun dia belajar taat, dan kita tahu bahwa cerita-cerita kesaksian iman George Müller amat sangat berhubungan dengan bagaimana dia melayani anak-anak yatim piatu itu. Dia terus setia mengerjakan itu, sampai suatu hari di umur 82 tahun Tuhan mengatakan ‘sekarang waktunya kamu keliling negara-negara’. Tuhan seperti guyonan, orang umur 82 tahun sudah tidak ingin jalan-jalan, sudah tua, sudah tidak kuat, dan pada waktu itu juga belum ada pesawat sehingga harus pakai alat transportasi yang lain. Lagi-lagi itu bukan agendanya George Müller, impian itu sudah lewat dan sudah dikubur. Ini sama seperti waktu Abraham dan Sara sudah tua baru dikasih anak, mungkin mereka juga mengatakan “sudahlah tidak usah, sudah telat, percuma” sampai Sara tertawa. Intinya adalah seringkali yang Tuhan kehendaki bukanlah yang kita kehendaki, untuk menguji apakah kita benar-benar submit atau tidak.
Pelayanan yang kita kerjakan mungkin bukan yang kita senang; yang kita senang mungkin bukan yang Tuhan mau. Dan untuk menguji tidak ada bias interes atau bias ambisi, seringkali Tuhan mendidik kita melakukan sesuatu yang memang bukan kita kehendaki, yang tidak cocok dengan agenda saya, tidak cocok dengan keinginan saya. Tapi di situ paling tidak waktu kita taat, kita taat dengan tulus. Pak Tong pernah ditanya waktu selesai sekolah Teologi dan melayani di Surabaya: “Kamu melayani di Surabaya apakah yakin betul-betul kehendak Tuhan?” Pak Tong jawab: “Sebetulnya saya tidak bisa mengatakan yakin 100% kehendak Tuhan, tapi saya yakin satu hal, itu pasti bukan kehendak saya”, jadi maksudnya mungkin itu kehendak Tuhan karena itu bukan yang saya mau. Memang kalau kita terus menerus bertumbuh harusnya kita makin lama makin sinkron dengan kehendak Tuhan, tapi kita juga harus aware bahwa our sinful nature terus menerus harus disalibkan bersama dengan Kristus, kita tidak boleh mendengar teriakan kesakitannya. Kita musti ingat bahwa kita ini tidak gampang submit; waktu kita submit, seringkali karena ada agenda kita sendiri. Tapi kalau kita belajar dari Sang Anak kebesaran-Nya, kemuliaan-Nya, kesetaraan-Nya dengan Bapa, adalah by way of submission. Memang dalam tradisi Reformed kita tidak mengatakan ‘kita akhirnya setara dengan Bapa’, itu sesat, tapi Petrus berani mengatakan bahwa kita ini berbagian dalam kodrat Ilahi. Bapa-bapa Gereja Eastern Orthodox mengatakan: “Allah menjadi manusia, supaya manusia bisa menjadi allah” yang mungkin bukan vocabulary kita, tapi intinya adalah ini sesuatu yang di-share kepada kita, kita bisa mengalami, by way of submission, submission kepada ordo yang di atas kita. Di situ kita mendemonstrasikan apa artinya true honourable life, hidup dengan penuh kehormatan seperti kehormatan yang ada pada Anak, yang ada pada Bapa.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading