Kita sedang dalam seri pembahasan Ordinary Time, tapi bulan lalu saya sempat tiba-tiba ganti haluan membahas kisah Yusuf, karena ketika itu habis seminar dan tidak cukup persiapan. Minggu ini terjadi lagi, karena saya baru pindah rumah –dengan segala kesibukan dan dramanya– berhubung rumah saya mau ditambah kamar untuk anak-anak, jadi minggu ini Saudara mendapatkan makanan lama yang dihangatkan kembali, kita akan membahas lanjutan seri Yusuf dari PA 8 tahun lalu. Namun ini tetap ada hubungannya sedikit dengan tema Ordinary Time; dan sebagaimana kita sudah bahas, makanan-makanan yang dihangatkan kembali seperti ini, tetap firman Tuhan yang sama menghidupkan seperti khotbah-khotbah yang baru.
Khotbah sebelumnya, kita membahas kisah Yusuf dari Kejadian 40-41, masa ketika Yusuf berada di penjara sampai dia menafsirkan mimpi Firaun, dan akhirnya naik menjadi perdana menteri Mesir. Hari ini kita melanjutkan pasal 42-45. Kita akan bagi kisahnya dalam beberapa bagian.
Yakub adalah seorang patriakh Israel, dia punya 12 anak yang nantinya menjadi 12 suku Israel. Dari 12 anak ini, hanya 2 anak yang berasal dari Rahel, istri yang dia sayang, yaitu Yusuf dan Benyamin, sementara anak-anak yang lain adalah anak-anak Lea, istri yang tidak disayang, dan anak-anak gundik-gundiknya. Saudara-saudara Yusuf iri dan benci kepada Yusuf, karena anak ini memang menyebalkan juga, anak manja. Awalnya mereka mau membunuh Yusuf, namun akhirnya mereka menjual dia kepada orang-orang Ismael yang kemudian membawa dia ke Mesir. Di Mesir, Yusuf jatuh bangun –atau lebih tepatnya bangun lalu jatuh– sampai akhirnya dia naik jadi perdana menteri Mesir karena Tuhan membukakan arti mimpi Firaun lewat Yusuf. Akan ada bencana kelaparan di daerah besar tersebut, maka Firaun perlu membereskan urusan pangan dalam tahun-tahun gemuk yang tersisa supaya tahun-tahun yang kurus nanti bisa dilewati. Firaun langsung menunjuk Yusuf jadi administrator urusan pangan ini.
Mesir begitu sukses dalam hal ini, sampai bangsa-bangsa sekitarnya datang ke Mesir untuk membeli pangan. Itu sebabnya Yakub pun menyuruh anak-anaknya pergi ke Mesir untuk membeli gandum. Kenapa Yakub sampai harus mengirim 10 anak, dan tidak cuma satu saja? Karena dengan lebih banyak orang, maka lebih banyak untanya, dan dengan begitu lebih banyak gandum yang bisa dibawa pulang. Namun pada saat yang sama, dari 10 anak yang diutus itu, ada satu anak yang tidak boleh pergi, Benyamin. Yakub pikir Yusuf sudah mati, maka Benyamin ini sisa satu-satunya anak Rahel, dan dia dijaga habis-habisan. Yakub masih tetap tidak sadar dalam masa tuanya, bahwa perlakuan pilih kasih inilah yang bikin keluarganya rusak at the first place.
Sesampainya di Mesir, Yusuf mengenali saudara-saudaranya, dan dia mengendus kesempatan untuk melakukan sesuatu karena ternyata saudara-saudaranya tidak mengenali dia. Apa yang Yusuf lakukan?
Di bagian ini, kita melihat Yusuf mulai menginterogasi mereka. Ayat 7-14 dikatakan Yusuf bicara dengan kasar (dalam bahsa yang lain dikatakan ‘ia membentak mereka’), tidak cuma sekali tapi sampai tiga kali dia menuduh mereka sebagai pengintai; dan setiap kali, untuk menyanggah tuduhan tersebut, makin banyaklah informasi yang keluar dari mulut saudara-saudaranya. Ayat 7 mereka mengatakan: “Kami bukan pengintai; kami cuma datang dari Kanaan untuk beli makanan”; lalu ayat 10: “Kami bukan pengintai, kami ini anak dari satu ayah”; ayat 13: “Kami ini dua belas bersaudara, ada satu yang bungsu yang kami tinggal di Kanaan, dan yang satunya lagi sudah tidak ada.” Saudara lihat, makin lama makin banyak yang terbongkar. Di sini kita menangkap bahwa Yusuf tampaknya tidak sembarangan menginterogasi mereka, paling tidak efeknya adalah membuat saudara-saudaranya jadi ingat dosa masa kecil mereka, dosa yang sudah terkubur lama itu, dosa yang menyebabkan satu saudara mereka hilang, tidak ada.
Ayat 15, atas dasar kecurigaan Yusuf bahwa mereka mata-mata, dia menyuruh memenjarakan mereka semua, dan menyuruh mereka melakukan satu hal: “Buktikan bahwa yang kamu ceritakan itu benar, saudaramu yang bungsu itu suruh datang kemari. Kamu kutahan; satu orang boleh pergi menjemput saudaramu yang bungsu, tapi sisanya kutahan. Jadi either kamu meresikokan nasib saudaramu yang bungsu itu, atau kalian tidak akan keluar dari penjara.” Di sini Saudara semakin menangkap bahwa ini ada maksudnya, karena perhatikan di sini Yusuf mengadu nasib mereka –anak-anak Lea dan para gundik– dengan nasib benyamin, anak Rahel. Ini mirip dengan apa? Mirip dengan skenario yang dulu itu.
Namun selagi mereka terbingung-bingung akan perlakuan Yusuf yang kasar ini, di ayat 18 dikatakan bahwa setelah tiga hari ditahan, mereka dikejutkan oleh dua hal. Ayat 18-20: Pada hari yang ketiga berkatalah Yusuf kepada mereka: “Buatlah begini, maka kamu akan tetap hidup, aku takut akan Allah. Jika kamu orang jujur, biarkanlah dari kamu bersaudara tinggal seorang terkurung dalam rumah tahanan, tetapi pergilah kamu, bawalah gandum untuk meredakan lapar seisi rumahmu. Tetapi saudaramu yang bungsu itu haruslah kamu bawa kepadaku, supaya perkataanmu itu ternyata benar dan kamu jangan mati.” Demikianlah diperbuat mereka. Jadi setelah mereka ditahan 3 hari, tiba-tiba ada sesuatu yang lain di sini. Pertama-tama, Yusuf membongkar bahwa dirinya takut akan Allah, Elohim-nya orang Israel. Ini aneh, koq orang Mesir bisa tahu Elohim-nya orang Israel, bukankah mereka tahunya Ra, Horus, dsb. Yang kedua, ada belas kasihan di sini, mereka disuruh pergi semua dan hanya satu yang ditahan. Tadinya cuma boleh pergi satu orang dan ditahan sembilan, namun setelah tiga hari jadi hanya satu yang ditahan, Simeon, dan yang sembilan boleh pergi menjemput Benyamin. Ini berarti mereka bisa membawa pulang jauh lebih banyak gandum dibandingkan kalau hanya seorang yang pulang.
Saudara lihat, Yusuf ini aneh, perlakuannya panas lalu dingin, dingin lalu panas. Ketus, menuduh yang tidak-tidak, mengancam, bersikap dingin, namun juga di sisi lain ada kehangatan dan belas kasihan. Jadi di bagian ini, kembali ke pertanyaan kita: Yusuf ini mau ngapain sebenarnya?
Derek Kidner, seorang komentator Alkitab, mengatakan: waktu kita melihat tindakan awal Yusuf, kalau melihatnya cuma sekilas, kita mungkin mengira perlakuannya yang kasar itu menandakan Yusuf ingin balas dendam terhadap saudara-saudaranya; namun Saudara hanya perlu membaca lebih lanjut untuk menyadari bahwa sepertinya tidak demikian. Balas dendam adalah mata ganti mata, belum lagi ditambah bunganya yang sudah menimbun bertahun-tahun, sedangkan di sini Yusuf jelas tidak menjual saudara-saudaranya jadi budak. Tapi kalau bukan balas dendam, kenapa harus dipermainkan, kenapa harus dimasukkan penjara, kenapa tidak langsung beritahu bahwa dirinya adalah Yusuf? Lagi pula kita juga mendapat bocoran dari ayat-ayat berikutnya bahwa di balik sikap kasar tersebut tersimpan suatu kasih yang dalam dan meluap-luap, terlihat dari beberapa kali Yusuf harus keluar ruangan untuk menangis, supaya tidak ketahuan. Dan setelah semua episode ini berakhir, nantinya Saudara akan lihat hanya ada kelembutan dan kasih dari sisi Yusuf, tidak pernah lagi muncul sikap ketus tadi setelah semuanya beres. Jadi, apa sebenarnya yang sedang terjadi di sini?? Derek Kidner mengatakan, strategi Yusuf di sini pada dasarnya strategi matahari-salju, panas-dingin, tarik-ulur. Kenapa pakai strategi ini? Saudara pakai strategi seperti ini ketika Saudara mau ngapain?
Kalau Saudara bikin panas bergantian dengan dingin, itulah yang bisa membuat barang-barang pecah. Kidner mengatakan, kemungkinan inilah strategi yang Yusuf pakai –mengganti-ganti panas dan dingin– supaya hati saudara-saudaranya ini, yang sudah begitu keras, bisa pecah dan terbuka kepada Tuhan. Ini satu hal yang masuk akal; kenapa? Karena kalau kita melihat cerita dalam pembahasan sebelumnya, inilah yang Tuhan sendiri telah perlakukan kepada Yusuf, panas lalu dingin, naik lalu turun. Kisah Yusuf berkali-kali adalah seperti itu. Dia naik jadi administrator, lalu dibuang jatuh ke bawah, lalu naik lagi, lalu dibuang lagi jatuh ke bawah, lalu naik lagi, lalu dilupakan, dsb. –dan itulah yang membentuk Yusuf. Dan sekarang Yusuf sepertinya belajar melakukan pola yang sama terhadap saudara-saudaranya, matahari dan salju, tarik dan ulur, kebenaran tapi juga kasih. Kembali ke Yakub, kenapa keluarga Yakub rusak? Karena tidak seimbang antara dua hal ini, panas dan dingin. Kepada Yusuf dan Benyamin, Yakub cuma memberi matahari, sedangkan kepada saudara-saudara yang lain, Yakub hanya memberi salju. Inilah yang merusak suatu keluarga.
Saudara, yang mengubah orang, haruslah dua-duanya; tidak bisa mengubah orang jika Saudara hanya memberikan kasih tanpa kebenaran, dan juga tidak bisa mengubah orang jika Saudara hanya memberikan kebenaran tanpa kasih. Yusuf coba melakukan keduanya, karena Allah telah melakukan keduanya juga terhadap dia. Saudara bayangkan kalau misalnya Yusuf hanya memberitahu kebenaran kepada saudara-saudaranya, “Nah, ini dia… aku ini Yusuf!! Mampus kalian, masuk penjara sana!” Tentu orang tidak bisa berubah kalau diperlakukannya kayak begini. Di sisi lain, kalau cuma kasih, “Aku ini Yusuf, aku mengasihi kalian, aku ingin peluk.. “, dsb., itu tidak bisa mengubah juga. Cuma salah satu, tidak bisa mengubah mereka. Itu sebabnya hanya dengan tarik-ulur, panas-dingin, inilah yang bisa membuat mereka sadar akan dosa mereka, mencicipi sedikit akibat dosa mereka; dan ini bisa ada kemungkinan orang bergerak ke pertobatan. Jadi itulah mungkin motivasi Yusuf sesungguhnya di balik tindakan-tindakannya.
Kita tahu strateginya mulai berhasil karena di ayat 21-22 kita membaca: Mereka berkata seorang kepada yang lain: “Betul-betullah kita menanggung akibat dosa kita terhadap adik kita itu: bukankah kita melihat bagaimana sesak hatinya, ketika ia memohon belas kasihan kepada kita, tetapi kita tidak mendengarkan permohonannya. Itulah sebabnya kesesakan ini menimpa kita.” Lalu Ruben menjawab mereka: “Bukankah dahulu kukatakan kepadamu: Janganlah kamu berbuat dosa terhadap anak itu! Tetapi kamu tidak mendengarkan perkataanku. Sekarang darahnya dituntut dari pada kita.” Di sini mereka masih belum mengenali Yusuf, tapi Saudara melihat bahwa mereka akhirnya ingat semua itu –dari perlakuan panas-dingin tersebut. Mereka bahkan ingat sesuatu yang in particular kita belum tahu sampai di sini, bahwa ketika Yusuf mereka jual, Yusuf itu sampai memohon belas kasihan kepada mereka. Mungkin di antara mereka pun tidak ada yang pernah mebicarakan peristiwa tersebut satu dengan yang lain, meskipun itu sesungguhnya menghantui mereka, namun mereka tekan itu dalam-dalam. Ruben mungkin sudah tunggu berapa tahun untuk mengatakan ini: “I told you so!” tapi tidak pernah bisa. Mereka menekan itu semua, mereka tidak mau mengeluarkan itu. Jadi di sini Saudara lihat strategi yang Yusuf lakukan berhasil, mereka mulai disadarkan, dan meyakini dosa mereka. Ini sebabnya dalam Kekristenan, menyadari dosa, merasa bersalah, mengalami perasaan bersalah, itu anugerah.
Kent Hughes bilang, “Mengalami rasa bersalah, itu anugerah”; kenapa? Karena tanpa rasa bersalah, tidak ada pengampunan, tidak ada pertobatan. Ini sebabnya dalam teologi Reformed kita percaya anugerah Tuhan bukan ada atau baru mulai di pengampunan, anugerah Tuhan sudah mulai jauh sebelum itu. Waktu Saudara menyadari dosamu, itu pun anugerah Tuhan; tanpa itu, Saudara bahkan tidak bisa menyadari dosamu. Tanpa ada pengakuan dosa, tanpa ada rasa bersalah, maka tidak ada pertobatan; dan tidak ada pertobatan maka tidak ada pengampunan. Saudara pasti pernah ada pengalaman dealing dengan orang yang problem utamanya bukan soal dia bersalah, bukan soal dia punya dosa, melainkan bahwa dia itu ngeyel, tidak mau mengaku salah. Saudara juga tahu, yang bikin orang mati itu bukan kecanduan alkohol; yang bikin orang mati adalah keengganan dan ketidaksudian untuk mengakui dirinya kecanduan alkohol. Dan ini berlaku untuk segala macam lainnya, bukan cuma alkohol. Jadi kalau Saudara melihat orang lain seperti itu, Saudara tahu satu hal: kita pun seperti itu juga. Itu sebabnya in some sense berbahagialah mereka yang mengaku salah, karena orang yang tidak mengaku salah, tidak ada pertobatan, dan juga tidak ada pengampunan.
Kita melihat bagian berikutnya juga sangat touching, karena sekali lagi ini mengkonfirmasi apa yang sebenarnya ada di dalam hati Yusuf. Ayat 23-24: Tetapi mereka tidak tahu, bahwa Yusuf mengerti perkataan mereka, sebab mereka memakai seorang juru bahasa. Maka Yusuf mengundurkan diri dari mereka, lalu menangis. Di sini kembali kita menyadari bahwa Yusuf melakuan semua itu bukan untuk balas dendam.
Cerita berikutnya masih panjang, strategi Yusuf tidak berhenti sampai di sini, masih ada liku-liku lain yang kita tidak bisa bahas mendetail karena tidak ada waktu. Namun intinya, Yusuf berulang kali menggunakan cara-cara terselubung ini untuk membuat mereka ingat kembali dosa mereka, dan karena itu masuk ke dalam posisi di mana pertobatan jadi dimungkinkan. Salah satunya cerita di ayat 26-38, bahwa akhirnya hanya satu orang yang ditahan, yaitu Simeon, dan yang 9 orang boleh kembali. Tapi waktu mereka kembali, pundi-pundi uang mereka dikembalikan di kantong-kantong gandum mereka. Mungkin Saudara bingung, kenapa uangnya dikembalikan, apakah karena Yusuf pikir ‘beli barang pada saudara sendiri ya, cincailah, ‘gak usah bayar’. Bukan itu, Saudara. Saudara bayangkan, keadaan mereka waktu itu adalah mereka meninggalkan satu orang saudara di Mesir, dan ganti dari saudara tersebut, mereka semua sekarang memegang pundi-pundi uang di tangan mereka. Ini artinya apa? Sekali lagi, ini adalah bayangan masa lalu mereka itu, yang kembali menghantui mereka; ini adalah hal yang persis mereka lakukan terhadap Yusuf ketika mereka menjual dia ke Mesir –tukar satu orang saudara dengan pundi-pundi uang. Brilian ya, caranya Yusuf! Sebenarnya ini cukup horor sih, dosa masa lalu yang menghantui.
Belum lama ini ‘kan Halloween, dan di sosmed banyak beredar cerita-cerita hantu. Saya dapat satu cerita yang cukup menarik.
Ada seorang wanita umur 20 diajak pergi makan bersama teman-temannya. Lalu dia bilang:
“Kita jangan duduk di sebelah jendela, ya.”
“Kenapa?”
“Saya tidak senang dengan jendela.”
“Kenapa?”
“Saya selalu merasa risih sama jendela, saya agak takut pada jendela. Entah kenapa, saya membayangkan dari balik jendela ada wajah seorang pria yang mengerikan sedang menatap ke dalam.”
“Ah, kamu ge-eran-lah, aneh-aneh saja.”
Namun wanita ini menceritakan hal tersebut bukan cuma kepada teman-temannya tapi juga kepada ibunya. Waktu mamanya mendengar ceritanya, mamanya tidak tertawa; mamanya mengernyitkan dahi, lalu mengatakan: “Tahu tidak, waktu kamu bayi dulu, tempat tidurmu memang kita taruh di sebelah jendel; dan mama dulu suka bingung, karena kamu sering kali melihat ke jendela dengan bergumam-gumam, berbunyi-bunyi, seakan-akan di jendela itu ada seseorang sedang melihat ke dalam. Tapi mama tidak pernah lihat siapapun di situ… “.
Horor, ya. Itulah cerita hantu. Probably, efek yang sama seperti itu sedang dibikin di sini. Yusuf sedang bikin gambaran-gambaran, bayangan-bayangan, yang membuat saudara-saudaranya merasa ‘ini apa, ya?? koq, mirip waktu itu; ada apa di sini??’ Contoh yang lain, misalnya di rumah Saudara lampu pecah, mati. Saudara ganti lampu. Tidak lama kemudian, pecah lagi. Saudara ganti lagi. Tidak lama kemudian pecah lagi. Lalu Saudara ingat, ‘dulu waktu gua kecil, gua sering mecahin lampu tetangga’. Misalnya kayak begitulah contoh konyolnya, Saudara dihantui oleh dosa.
Ini horor, tapi efektif. Efeknya adalah di ayat 28 bahkan saudara-saudaranya sampai melibatkan Tuhan dalam pembicaraan mereka; dikatakan: Katanya kepada saudara-saudaranya: “Uangku dikembalikan; lihat, ada dalam karungku!” Lalu hati mereka menjadi tawar dan mereka berpandang-pandangan dengan gemetar serta berkata: “Apakah juga yang diperbuat Allah terhadap kita!” Saudara-saudara ini sebelumnya tidak pernah menyebut ‘Allah’; Yusuf yang justru menyebut Allah Israel waktu dia mengatakan “Aku takut akan Allah”, sedangkan mereka tidak pernah ngomongin Allah sama sekali. Namun lihat, lewat semua cara-cara yang terselubung dan halus, lewat kontras antara perlakuan kasar dan perlakuan lembut, ini membuat mereka bingung, ‘apa yang terjadi, kenapa bisa kayak begini; dan apa yang Allah mau lewat semua hal ini??’
Mereka pun kembali ke Kanaan dengan penuh tanda tanya, tapi ya sudahlah, mission accomplished, mereka bawa pulang gandum. Sampai di rumah, Yakub tanya, “Di mana Simeon?” Mereka lalu menceritakan apa yang terjadi. Mereka mengatakan bahwa penguasa Mesir itu minta Benyamin dibawa ke sana kalau mau Simeon dilepaskan. Yakub tentunya menolak, “Mana bisa?!” Sekali lagi Saudara lihat, pilih kasihnya Yakub sudah keterlaluan. “Yusuf sudah mati. Simeon ditahan. Dan sekarang kamu mau bawa Benyamin ke mulut singa??”, demikian justification Yakub. Namun bencana kelaparan masih panjang; dan setelah dua tahun, akhirnya gandum mereka habis, mau tidak mau mereka harus kembali ke Mesir untuk beli gandum. Dan, mereka tidak ada harapan untuk bisa beli kalau tidak membawa Benyamin. Akhirnya Yakub mengalah dan membiarkan Benyamin pergi. Sekarang kita masuk ke trip yang kedua.
Dalam trip yang kedua, sekali lagi mereka kaget. Waktu Benyamin sudah dibawa bersama-sama dengan mereka, mereka disambut dengan baik, mereka disuguhi perjamuan makan yang besar, Benyamin sampai diberi makan lima porsi, Simeon juga sudah dikembalikan kepada mereka, kantung karung mereka diisi dengan gandum, dan mereka pulang. Mereka pikir ‘oh, kali ini all is well, oke, tidak ada masalah’. Tapi kembali lagi, panas-dingin, kontras. Waktu mereka pulang, selagi dalam perjalanan, mereka dikejar tentara-tentara Mesir, dituduh mencuri piala Yusuf. Mereka sempat menyangkal, lalu akhirnya balik ke Mesir bersama-sama untuk diperiksa di hadapan Yusuf. Dan ketika karung-karung mereka dibuka, piala itu ditemukan di karungnya Benyamin. Celaka!
Pasal 44 ayat 14-17: Ketika Yehuda dan saudara-saudaranya sampai ke dalam rumah Yusuf, Yusuf masih ada di situ, sujudlah mereka sampai ke tanah di depannya. Berkatalah Yusuf kepada mereka: “Perbuatan apakah yang kamu lakukan ini? Tidakkah kamu tahu, bahwa seorang yang seperti aku ini pasti dapat menelaah?” Sesudah itu berkatalah Yehuda: “Apakah yang akan kami katakan kepada tuanku, apakah yang akan kami jawab, dan dengan apakah kami akan membenarkan diri kami? Allah telah memperlihatkan kesalahan hamba-hambamu ini. Maka kami ini, budak tuankulah kami, baik kami maupun orang pada siapa kedapatan piala itu.” Tetapi jawabnya: “Jauhlah dari padaku untuk berbuat demikian! Pada siapa kedapatan piala itu, dialah yang akan menjadi budakku, tetapi kamu ini, pergilah kembali dengan selamat kepada ayahmu.”
Di hadapan Yusuf akhirnya piala itu ditemukan di karung Benyamin, mereka semua ketakutan, mereka semua bilang, “Kami budakmu”, tapi Yusuf bilang, “Tidak! Mana adil kayak begitu, cukup satu saja, dia yang mencuri, dia yang kedapatan piala itu, dia yang kutahan, yang lainnya boleh pulang.” Saudara lihat, ini klimaks dari strategi Yusuf, karena sekarang dia sedang menempatkan saudara-saudaranya dalam situasi yang benar-benar hampir persis sama dengan situasi yang dulu, yaitu nasib anak Rahel ada di tangan mereka. Apa yang mereka akan lakukan? Dulu mereka mengorbankan anak Rahel, demi kepentingan mereka. Dan Saudara lihat, tujuan re-kreasi skenario-skenario ini semakin jelas; apa yang akan terjadi sekarang? Gagal lagikah seperti dulu, atau ada perubahan?
Dalam keheningan itu, seseorang maju ke depan dan berbicara kepada Yusuf. Ayat 30-34: Maka sekarang, apabila aku datang kepada hambamu, ayahku, dan tidak ada bersama-sama dengan kami anak itu, padahal ayahku tidak dapat hidup tanpa dia, tentulah akan terjadi, apabila dilihatnya anak itu tidak ada, bahwa ia akan mati, dan hamba-hambamu ini akan menyebabkan hambamu, ayah kami yang ubanan itu, turun ke dunia orang mati karena dukacita. Tetapi hambamu ini telah menanggung anak itu terhadap ayahku dengan perkataan: Jika aku tidak membawanya kembali kepada bapa, maka akulah yang berdosa kepada bapa untuk selama-lamanya. Oleh sebab itu, baiklah hambamu ini tinggal menjadi budak tuanku menggantikan anak itu, dan biarlah anak itu pulang bersama-sama dengan saudara-saudaranya. Sebab masakan aku pulang kepada ayahku, apabila anak itu tidak bersama-sama dengan aku? Aku tidak akan sanggup melihat nasib celaka yang akan menimpa ayahku.”
Siapa yang maju mengatakan semua kalimat ini? Yehuda. Yehuda ini dulu gembongnya, yang mengusulkan untuk jual saja Yusuf, bukan karena dia baik melainkan: “Ngapain kita bunuh dia, kita tidak dapat untung; kita jual dia, kita dapat duit!” Itulah Yehuda. Sekarang Yehuda mengatakan, “Tidak. Kalau Benyamin tidak pulang bersama kami, sementara hidup ayah kami sudah terpaut dengan hidup anak ini, maka kalau Benyamin tidak pulang, ayah kamilah yang akan berpulang. Jadi gantilah Benyamin dengan aku. Biarlah aku menempati tempatnya, biarkan dia menempati tempatku. Aku akan menanggung kesalahannya.” Yehuda dulu mengorbankan anak Rahel demi keuntungan dirinya, demi sekantung uang; sekarang, dia berani mengorbankan dirinya demi anak Rahel. Selanjutnya, pasal 45:1-3 : Ketika itu Yusuf tidak dapat menahan hatinya lagi di depan semua orang yang berdiri di dekatnya, lalu berserulah ia: “Suruhlah keluar semua orang dari sini.” Maka tidak ada seorang pun yang tinggal di situ bersama-sama Yusuf, ketika ia memperkenalkan dirinya kepada saudara-saudaranya. Setelah itu menangislah ia keras-keras, sehingga kedengaran kepada orang Mesir dan kepada seisi istana Firaun. Dan Yusuf berkata kepada saudara-saudaranya: “Akulah Yusuf! Masih hidupkah bapa?” Tetapi saudara-saudaranya tidak dapat menjawabnya, sebab mereka takut dan gemetar menghadapi dia.
Saudara lihat, pengakuan/kalimat Yehuda inilah yang membuat Yusuf bisa berhenti dari semua skenarionya. Ini yang membuat dia akhirnya bisa membuka dirinya kepaada semua saudara-saudaranya. Kenapa? Karena panas, dingin, panas, dingin, ini akhirnya berhasil ini membuat hati saudara-saudaranya pecah dan berbalik. Hanya panas, itu cuma bikin orang terbakar. Hanya dingin, itu cuma bikin orang beku. Namun lihat, panas, dingin, panas, dingin, akhirnya menyebabkan hati yang keras pecah, terbuka bagi Tuhan. Jadi kisah ini mengenai apa, ya?
Seperti yang sudah kita bicarakan dalam khotbah tentang Yusuf sebelumnya, setiap kali membaca kisah-kisah Alkitab, kita tidak bisa hanya berhenti di permukaan. Kita tidak bisa hanya terpikat dengan special effects-nya, kita perlu membaca sesuatu yang lebih deep, misalnya pembentukan karakter Yusuf, demikian dalam khotbah yang lalu itu. Tapi ultimately, semua kisah ini tokoh utamanya bukanlah Yusuf, bukan mengenai Yusuf yang karakternya dibentuk itu, melainkan mengenai Allah, Sang Pembentuk Karakter. Itu sebabnya kisah ini bisa relevan bagi kita hari ini, meskipun nama kita bukan Yusuf. Di gereja ini saya kenal dua Yusuf, satu yang istrinya Denna, dan satu lagi papa saya; tapi jelas cerita ini bukan bagi mereka saja ‘kan. Yang kita mau coba lihat adalah apa yang Tuhan lakukan dalam membentuk orang-orang, lewat contoh Yusuf. Tuhan membentuk Yusuf menjadi orang yang besar, dari seorang anak manja yang keterlaluan. Dan sekarang lewat Yusuf, Tuhan membentuk saudara-saudara Yusuf, lewat metode yang sama, lewat panas-dingin, lewat turun-naik, untuk mengubah hati mereka yang keras. Inilah cara Tuhan membentuk kita.
Satu bagian dari Perjanjian Baru mungkin bisa mencerahkan kita akan hal ini. Ibrani 12:5-6, Kamu sudah lupa akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak: ”Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia mencambuk orang yang diakui-Nya sebagai anak.” Dalam hal ini, didikan Tuhan atau paideia (yang jadi asal kata pediatri, pedagogi) dalam kamus Yunani sebenarnya punya arti pendidikan yang lebih holistik, bukan cuma mendidik dalam arti informasi, bukan cuma urusan memberi makan, tapi seluruh urusan membesarkan seorang anak. Jadi ini bukan cuma aspek care (kasih sayang) tapi juga aspek disiplin. Paideia memang ada semacam giginya, ada penekanan pada unsur ketegasan. Tidak heran, didikan Tuhan di bagian ini bahwa Tuhan menghajar, Tuhan mencambuk, orang yang diakuinya sebagai anak. Kita tidak usah heran akan hal ini; hari ini waktu mendidik anak kita, tentu ada aspek seperti ini.
Membesarkan anak, itu ada aspek di mana kita harus memberi dia konsekuensi kalau anak ini melakukan kesalahan; tapi apa konskuensinya, ini hal yang penting. Kalau Saudara melihat konsekuensi dalam konteks paideia/pendidikan, itu tidak pernah mata ganti mata, tidak pernah bersifat retributif. Kalau anak Saudara memecahkan kaca jendela tetangga, Saudara tidak suruh dia bayar semuanya, pasang jendelanya sampai kembali seperti semula. Yang seperti itu namanya retributif; tapi Saudara tidak melakukan seperti itu. Meski demikian, tetap harus ada konsekuensi; dan konsekuensinya, atau disiplin dalam pendidikan, selalu jauh lebih ringan daripada kesalahannya, tidak setimpal. Di sisi lain, ketegasannya harus cukup menyengat supaya dia kapok. Nah, problem orangtua seluruh dunia adalah menentukan di mana titik yang tepat itu, yang bisa menyengat dan bikin kapok, tapi tidak sampai retributif mata ganti mata. Kalau kita sebagai orangtua menghadapi anak yang bandel luar biasa, dan kita juga lagi bete setengah mati, kita bisa sangat tergoda untuk jatuh ke dalam cara retribusi, bukan disiplin; bahkan mungkin lebih dari retributif sehingga anak jadi sakit hati, memendam kebencian. Sebaliknya, kalau kita sebagai orangtua mungkin lagi happy, santai, dan anak kita juga cute banget, kita akhirnya bikin konsekuensi yang tidak cukup menyengat sehingga anaknya tidak kapok. Susah, ya. Ini sebabnya semua orang perlu didikan dari Tuhan, karena didikan dari Tuhan tidak seperti didikan orangtua yang sering kali meleset ke salah satu.
Didikan Tuhan itu sempurna, just enough sengatan, tapi tidak bersifat setimpal, tidak bersifat retributif. Pertanyaannya, pendidikan ini datang dalam bentuk seperti apa? Waktu penulis Surat Ibrani mengatakan ‘jangan anggap enteng didikan Tuhan, janganlah putus asa ketika engkau diperingatkan-Nya, Tuhan menghajar koq orang yang dikasihi-Nya, Tuhan mencambuk orang yang diakui-Nya sebagai anak’, menurut Saudara ini datang dalam bentuk apa? Kalau Saudara ambil satu ayat sebalumnya, Saudara membaca: Dalam pergumulan kamu melawan dosa kamu belum sampai mencucurkan darah; lalu sebelumnya ada juga: menanggung bantahan dari pihak orang-orang berdosa. Kalau Saudara baca keseluruhan dari pasal 10-13, Saudara tahu konteks yang sedang dibicarakan oleh penulis Ibrani adalah bahwa jemaat Ibrani ini dianiaya. Mereka sebagai orang-orang Kristen abad pertama, dianiaya; meski demikian, penganiayaan itu –penulis Ibrani mengatakan– adalah didikan dari Tuhan.
Kita semua punya kerusakan internal yang perlu diberesin. Tapi cara Tuhan melakukannya, adalah melalui mempertemukan kerusakan internal ini, dengan kerusakan eksternal di dunia, dunia yang ada penderitaan, kebohongan, pengkhianatan, bahkan penganiayaan. Mempertemukan kerusakan eksternal di luar dengan kerusakan internal sedemikian tepatnya sehingga menyengat, tanpa membalas setimpal kesalahan kita, itulah pendidikan yang Tuhan berikan. Alkitab jelas mengatakan seperti itu. Penulis Ibrani membaca kerusakan-kerusakan eksternal di dunia yang jelas tidak disebabkan oleh orang-orang Kristen, itulah cara Tuhan mendidik mereka.
Di sini kita mungkin protes, “Saya ‘gak bisa terima Allah kayak begini. Koq, antara hukuman dan kesalahan bisa tidak ada hubungan?? Masakan penganiayaan itu didikan untuk membentuk orang-orang Kristen?? ‘Kan tidak ada hubungannya! Misalnya, kesalahan moral lalu dibalasnya dengan penganiayaan, ‘kan tidak ada hubungannya??” Memang disiplin seperti itu, maka disiplin bukanlah retributif, bukan mata ganti mata. Kembali lagi, anak Saudara memecahkan kaca jendela tetangga, lalu hukumannya Saudara sita gadget dia tiga hari; itu tidak ada hubungannya ‘kan? Memang itulah disiplin, karena memang pada dasarnya disiplin bukan retributif. Jadi kita tidak heran ketika Allah mendidik/menghajar kita dengan hal-hal yang sepertinya bukan dari kita. Memang tidak ada hubungannya –dan karena itulah namanya disiplin.
Saya mengajak kita untuk melihat pendidikan yang Tuhan berikan ini, karena inilah yang bisa kita pakai untuk kembali membaca cerita Yusuf tadi. Kenapa Yusuf melakukan semua itu? Apakah karena ada dua keinginan dalam hatinya yang saling beradu, di satu sisi ingin balas dendam, di sisi lain ingin mengampuni? Tidak; tadi kita sudah melihatnya. Lalu kenapa Yusuf memperdaya saudara-saudaranya? Dia memperdaya mereka, bukan meskipun dia ingin mengampuni; dia memperdaya mereka, justru karena dia telah mengampuni, karena dia mengasihi. Ini satu bagian firman Tuhan yang keras yang kita perlu terima. Kalau kita sungguh-sungguh mengasihi seseorang, Saudara tidak akan pernah puas dengan hanya memberi mereka pengampunan. Kalau Saudara benar-benar mengasihi seseorang, Saudara akan merasa perlu memberi pelajaran, dan pelajaran tersebut Saudara berikan bukan karena Saudara belum mengampuni, tapi justru karena sudah mengampuni. Lebih gampang waktu menghadapi orang yang bersalah, untuk kita simply walk away dan tidak usah berurusan dengan dia lagi, sedangkan mau memberi mereka pendidikan, itu sulit, itu satu harga yang lebih; dan kita mau melakukan itu karena kita sudah mengampuni.
Saudara, kita tahu koq, problem manusia bukan cuma bahwa kita punya dosa, bahwa kita perlu pengampunan –bukan cuma itu– tapi bahwa dosa itu merusak hidup manusia, seperti kanker merusak tubuh manusia. Kalau seseorang kena kanker dan kanker itu memakan tubuhnya habis-habisan, levernya tinggal 20% berfungsi, otaknya sudah kena, tangan-tangannya banyak yang rusak, lalu Saudara mau ngapain? Hilangkan kankernya, that’s it? Tidak ada gunanya ‘kan. Pengampunan tok tidak ada gunanya; perlu pemulihan, restorasi. Itulah yang Allah lakukan dalam hidup kita.
Alasannya Yusuf tidak hanya memberikan pengampunan, adalah justru karena dia sudah mengampuni, karena dia sudah mengasihi saudara-saudaranya. Dia tidak memberikan ganjaran setimpal karena dia sudah mengampuni mereka, tapi dia juga memberikan sedikit cicipan yang minim akan kejahatan mereka sendiri, supaya mereka sadar, supaya mereka berbalik, supaya mereka bertobat. Yusuf memberikan panas dan dingin sampai mereka bisa pecah hatinya dan berbalik arah kepada Tuhan. Demikianlah juga Allah dengan kita.
Satu kesalahpahaman yang banyak terjadi dalam orang Kristen adalah mengatakan: “Orang Kristen enak, pokoknya diampuni, diselamatkan, setelah itu tidak masalah berdosa lagi pun akan terus diampuni”; lalu orang-orang Kristen lain ada yang merespons dengan mengatakan: “Tidak kayak begitu! Orang bisa murtad, bisa kehilangan keselamatan, jadi harus berjuang, harus hidup kudus, harus berusaha! Fokusnya ada pada kamu, pada kehendakmu!” Kita tahu, Alkitab bukan dua-duanya itu, dan Alkitab juga bukan salah satunya. Alkitab mengatakan, benar kamu sudah diampuni, kamu sudah dapat karunia, tapi justru karena Dia sudah mengampunimu habis-habisan, justru karena Dia sudah menerimamu habis-habisan, maka Dia tidak akan membiarkanmu melakukan dosamu lagi, Dia akan mengejarmu, Dia akan mengganjarmu dengan paideia; tapi kenapa Dia melakukan itu, adalah karena Dia sudah mengampunimu. Saudara lihat: fokusnya di Tuhan, bebannya di Tuhan, Tuhanlah yang mengambil tanggung jawab itu.
Tuhan mengambil tanggung jawab bukan cuma dengan manggantikan kita di kayu salib, tapi juga untuk menghentikan dosa kita dan menyembuhkan kita. Itu sebabnya kita diganjar. Itu sebabnya dikatakan Tuhan mencambuk orang-orang yang diakui-Nya sebagai anak.
Sekali lagi, anugerah memang selalu siap untuk menerima kita apa adanya. Tapi jangan pernah berhenti di situ sebagi orang Kristen, karena anugerah juga tidak akan pernah puas membiarkanmu bertahan apa adanya. Justru karena Dia telah menerima kita, maka Dia tidak akan membiarkan kita terus-menerus berada di tempat yang sama. Inilah realitas sebagai orang Kristen, selalu ada dua-duanya. Analogi yang gampang, film tentang cowok dan cewek dikejar monster. Mereka lari bersama-sama, dan monter di belakang mengejar mereka. Lalu si cewek tersandung, jatuh, kakinya patah atau luka atau apalah. Si cowok sadar ceweknya jatuh, dan monster itu sedang mengarah kepada mereka. Dia berada di tengah-tengah antar monster dan ceweknya. Apa yang dia lakukan? Dia tidak mengatakan, “Ayo cepet-cepet… cepetan… lihat tuh monster ada di belakang… saya ‘gak mau ke kamu, nanti saya yang dimakan…”. Tidak seperti itu ‘kan; si cowok langsung lari mendapati si cewek –anugerah– menemui si cewek di tempat di mana dia berada. Dia tidak bilang, “Kalau kamu sembuh, baru aku mau jalan bersama kamu”, melainkan si cowok datang ke cewek itu di tempat dia berada –dia bisa menerima si wanita itu apa adanya. Namun kemudian apa yang terjadi? Dia bukan mengatakan, “Selamatkan dirimu sayangku, sudah tidak ada harapan”, melainkan dia mengangkat wanita itu, dan waktu diangkat mungkin wanita itu kesakitan, tapi si cowok tidak peduli, “Ayo kita jalan!” Itulah anugerah. Anugerah itu lengkap. Anugerah itu tidak cuma menemui kita di tempat kita dan ‘ya sudah, sama-sama kita mati d sini’. Anugerah itu bisa dan sudah menerima kita apa adanya, namun anugerah tidak akan pernah puas meninggalkan kita tetap berada di situ. Anugerah akan pakai segala macam cara untuk menarik kita maju, meskipun kadang-kadang menyakitkan. Itulah yang Tuhan lakukan; dan Tuhan lakukan ini lewat mempertemukan kerusakan internal kita dengan kerusakan dunia yang eksternal, dalam kadar dan porsi yang tepat, pas, untuk membuat kita kapok, tanpa membuat kita dibalaskan setimpal kesalahannya.
Mungkin tambahan bagi kita dalam seri “ordinary time”, adalah untuk menyadari bukan cuma bagaimana Tuhan bekerja membentuk kita tapi juga kapan Dia bekerja seperti ini. Tish Warren mengatakan, yang sering kali bikin kita snap, ngamuk, itu bukan ketika hidup kita ada kerusakan-kerusakan besar. Bahkan ketika kita menderita penderitaan yang tajam, yang besar, somehow sebagai orang Kristen kita secara natural expect dan percaya bahwa Tuhan akan memberikan penghiburan, akan menemui kita. Tapi justru dalam kerusakan-kerusakan kecil sehari-hari yang remeh itulah sering kali saatnya kita bisa snap. Tish sendiri cerita, pernah dalam satu hari yang sama mesin cuci, mesin pengering, kipas plafon rusak pada waktu bersamaan. Dia sebenarnya tidak terlalu sering pakai barang-barang itu, tapi ketika semuanya rusak pada waktu yang bersamaan, ini bikin dia snap, apa sih ini?? gua lagi kena kutuk atau apa??
Saya dalam kepindahan dua hari terakhir ini benar-benar mengalami rumah sewa airnya rusak, pompa air ‘gak beres, dan itu bukan karena saya tidak cek. Saya sudah cek sebelumnya dan curiga pompa airnya bermasalah, tapi si agen menggampangkan, dan akhirnya beneran waktu sudah pindah, airnya habis, ada something wrong dengan pompanya. Sudah begitu, setelah tukang datang dan membetulkan pompanya, sekarang dari tidak bisa nyala malah jadi tidak bisa mati, dari yang tadinya tidak ada air malah sekarang air mengalir deras dan terbuang habis-habisan. Bertubi-tubi. Bukan cuma itu, mesin cuci saya tidak cocok mulutnya dengan keran yang ada, AC ada yang tidak dingin sama sekali, ada AC yang dingin tapi siripnya tidak mau terbuka sehingga harus diganjal gagang sapu. Dan masih banyak lagi. Saudara, yang kayak beginilah yang bikin kita snap, yang bikin kita bisa teriak-teriakin anak-anak dan orang serumah kita. Padahal kalau kita mengalami kedukaan berat, kita tidak sampai bereaksi kayak begitu.
Di satu sisi kita menyadari bahwa penderitaan-penderitaan kecil kayak begitu tidak sebanding dengan penderitaan yang riil yang dunia alami. Kita tidak bisa bandingkan itu dengan apa yang orang alami di Gaza, di Lebanon, di Spanyol, di Amerika tempat terjadi hurricane kemarin. Ada orang-orang yang mengalami kedukaan berat, ada yang mengalami kesakitan berat, ada yang mengalami musim penderitaan yang tidak habis-habisnya, sementara urusan mesin cuci, air, AC tentu tidak masuk kategori-kategori tersebut, ini bukan urusan lembah bayang-bayang maut. Tapi kita sering kali snap dalam momen-momen kerusakan yang ordinary seperti ini. Poinnya apa? Poinnya adalah: mungkin kerusakan-kerusakan ordinary ini, itulah yang lebih membuka kita akan siapa diri kita, dibandingkan kerusakan-kerusakan yang besar tadi.
Saudara, saya selalu pikir kerusakan yang besar atau tekanan yang besarlah yang bisa membuat kita ketahuan aslinya. Misalnya kalau kita sedang kena musibah lalu kita ngamuk-ngamuk, kita lalu mengatakan, “Aku sebenarnya orangnya ‘gak kayak begitu, itu cuma lagi stres saja”; dan saya akan menanggapi, ‘Bohong banget, justru kita waktu kena tekanan yang besar, barulah kita tahu siapa diri kita; diri yang kamu lihat sebagai bukan kamu, itulah dirimu. Selama ini kamu pikir kamu bukan yang seperti itu, adalah karena kamu tidak ada tekanan yang cukup besar untuk mengeluarkan jati dirimu yang sebenarnya. Kita ini orang-orang yang waktu ditekan dengan keras, keluarlah jati diri kita sesungguhnya.’ Saya selama ini selalu berpikir kayak begitu; tapi ternyata bukan cuma pressure besar yang bisa menghasilkan hal seperti itu, ternyata pressure yang ordinary, tekanan kerusakan sehari-hari, yang kecil, itu juga bisa menghasilkan hal seperti ini, bahkan mungkin membukanya dengan lebih jelas. Jadi ini berarti apa? Berarti Tuhan memakai momen-momen kerusakan yang ordinary ini untuk mendidik kita, untuk paedeia kita, untuk membuka siapa diri kita dengan lebih sejati supaya kita lebih mengenal diri kita.
Kenapa Tuhan memakai momen-momen seperti ini? Karena dalam momen seperti inilah kita baru mengenal apa itu Injil. Injil itu panas dan dingin, matahari dan salju. Itu sebabnya jangan jadi orang Kristen yang maunya segala sesuatu simpel; Injil pun tidak pernah simpel. Injil ada dua aspek ini bersamaan. Injil adalah kisah matahari dan salju yang paling ultimat. Jangan pernah mengatakan ‘O, saya tidak kayak begitu, itu cuma kalau saya lagi kena tekanan saja’. Injil mengatakan: kamu hancur lebih parah daripada itu; kamu tidak mengakui itu dirimu tapi itulah dirimu; kamu hancur lebih parah daripada itu karena masih banyak hal yang sampai hari ini kamu masih tidak sadar, buktinya, untuk kamu diselamatkan, Allah harus mati bagimu. Ini ‘kan berita dingin banget, Saudara. Ini seperti mengatakan, ‘gara-gara lu seorang, yang bayar kesalahan jadi satu negara; gara-gara lu seorang, satu orang dari 7 bilyun umat manusia di dunia ini, yang harus bayar seluruh penduduk bumi’. Kalau Saudara multiplikasi lagi, maka jadinya ‘gara-gara kamu seorang, Allah harus mati bagi kamu’. Itu berita yang tidak bisa lebih dingin lagi, tidak ada lagi yang bisa lebih parah daripada itu. Tanpa bagian salju ini, Injil bukan Injil. Injil setengah jadi yang tanpa bagian salju kayak begini tidak akan kuat untuk mengubah hidup kita, karena setelah Saudara mengaku inilah, setelah Saudara diyakinkan akan kesalahanmu inilah, barulah matahari Injil itu bermakna, bahwa Tuhan bukan cuma harus mati bagimu, tapi Tuhan mau mati bagimu.
Saudara, itu sebabnya momen-momen kerusakan ordinary dalam hidup kita, itulah momen-momen yang diangkat oleh Tuhan, momen-momen di mana kita belajar mengenal apa itu Injil karena kita mengenal siapa diri kita sesungguhnya, bahwa saya ini orang yang begitu rentan kontrolnya terhadap kemudi hidup ini. Begitu saya mengalami sedikit saja dalam hidup ini –urusan mesin cuci mati, AC, pompa, dsb. — saya langsung ngamuk-ngamuk, saya langsung rasa insecure, saya langsung tidak ada dasar, saya langsung teriakin orang lain. Itulah saya. Dan, untuk orang-orang seperti itulah Tuhan datang. Tuhan tidak datang bagi orang-orang yang sehat, Tuhan datang sebagai tabib; dan yang membutuhkan tabib adalah orang sakit. Kalau kita jadi orang yang mengatakan, “O, itu bukan saya, saya cuma kayak begitu kalau lagi stres”, maka kita juga tidak akan bisa menerima Kristus, karena Kristus tidak datang bagi orang-orang seperti itu. Kristus datang bagi mereka yang terhilang. Kristus datang bagi mereka yang rusak. Inilah berita Injil, matahari dan salju. Tanpa bagian saljunya, bagian mataharinya tidak bisa mengubah hidupmu.
Apa cerita bagian matahari-nya? Yaitu bahwa ketika kita didisiplin, itu bukan retribusi. Ketika kita memecahkan kaca jendela tetangga, kita dihukum, tapi hanya dihukum tidak boleh main gadget 3 hari, tidak disuruh bayar dan pasang kaca jendela lagi. Koq bisa Tuhan melakukan ini kepada kita? Di mana keadilan Tuhan? Saudara tentu tahu cerita matahari-nya, bahwa Allah bukan menerimamu dan membuang jauh-jauh keadilan, Allah menerimamu karena Dia melempar keadilan itu kepada Anak-Nya yang tunggal.
Saudara lihat dalam kisah Yusuf, kapan Yusuf membuka tabir dirinya kepada saudara-saudaranya? Yusuf ingin disatukan dengan keluarganya, dia tidak tahan menunggu hal itu, dia berkali-kali menangis dan tidak ada mau orang melihatnya, tapi dia terus menahan diri. Sampai kapan? Sampai Yehuda maju dan melakukan sesuatu. Apa yang Yehuda lakukan? Substitusi. Yehuda maju dan mempersembahkan dirinya sebagai korban pengganti, ketika dia mengatakan, “Aku yang akan menanggung, jangan dia; biarkan dia pergi, dan biar aku masuk ke tempatnya.” Ketika dia mengatakannya, itulah poinnya Yusuf bisa membuka tabir dan kembali direkonsiliasi dengan saudara-saudaranya. Sama seperti substitusi Yehuda itu merekonsiliasi antara Yusuf dan saudara-saudaranya, demikianlah substitusi Yesus Kristus membuka tabir pemisah antara Allah dengan manusia. Dan ini bukan kebetulan, karena Yesus itu bukan keturunan Yusuf, bukan keturunan Simeon, bukan keturunan Ruben, Dia keturunan Yehuda. Tentu saja Yehuda tidak sadar akan hal ini waktu itu, tapi Yehuda pada dasarnya sedang menapaki bayang-bayang jalan yang suatu hari akan dijalani dalam segala kepenuhannya oleh Benih yang akan lahir dari keturunannya, karena Yehuda hanya menawarkan nyawanya, tapi Yesus mempersembahkan nyawa-Nya dan kehilangannyawa-Nya; dan Yesus melakukan ini untuk engkau dan saya.
Kalau Saudara menempatkan diri sebagai orang yang baik-baik saja, kalau Saudara menempatkan diri sebagai orang yang ‘ah, aku ‘gak kayak begitu orangnya’, kalau Saudara jadi orang yang tidak mau mengakui kesalahanmu, maka pengorbanan Yesus ya, cuma sebegitu saja, Dia cuma berkorban bagi orang-orang yang cukup baik kayak kamu. Tapi kalau engkau menerima berita Injil yang aspek salju tadi sepenuh hati, bahwa gara-gara kamu Allah harus mati, barulah matahari Injil itu bisa bersinar, dan gabungan dua hal ini yang sanggup memecah hati sekeras batu apapun, bahwa Allah bukan cuma harus mati gara-gara kamu, tapi Allah rela mati demi engkau.
Saudara, ini khotbah lasagna sisa kemarin yang saya tulis delapan tahun lalu; dan rupanya di sini saya mencatat satu ilustrasi dari hal pilkada zaman Ahok. Ada banyak debat di sosmed waktu itu, ada beberapa kalangan muslim yang mengatakan tidak boleh pilih gubernur yang beda agama. Lalu ketika itu saya baca dan saya catat, seorang muslim yang komentar begini: ‘saya muslim dan saya pilih Ahok’, lalu argumennya dia mengatakan, “Para kiai, para mullah, yang melarang saya pilih Ahok, saya mau tanya: kalau saya mati, apa kamu yang tanggung dosa saya? Tidak ‘kan, saya tanggung dosa saya sendiri. Jadi kalau saya tanggung dosa saya sendiri, saya berhak pilih siapapun jadi gubernur, karena kalau pun saya salah, saya yang tanggung dosa saya. Apa hakmu bilang saya tidak boleh pilih A atau pilih B”. Argumennya menarik: saya tanggung dosa saya sendiri, dan karena itu saya berhak menentukan hidupku mau ke mana.Membaca kalimat ini sebagai orang Kristen, Saudara baca apa? Langsung bisa dibalik ‘kan; kita sebagai orang Kristen, kita tidak menanggung dosa kita sendiri, sudah ada yang menanggung dosa kita.Berarti apa? Bagaimana Gereja harus hidup jika yang menanggung dosa Gereja bukanlah Gereja?
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading