Kita melanjutkan seri pembahasan mengenai ordinary time. Sekali lagi, ordinary time merupakan suatu porsi yang sangat besar dalam Kalender Gereja. Sementara setengah tahun dari Adven sampai Pentakosta, Gereja merayakan berbagai hari khusus, maka sebaliknya dari Pentakosta sampai ke Adven, Gereja justru dipanggil untuk merayakan juga namun ini merayakan hari-hari yang biasa, yang ordinary.
Kenapa yang ordinary ini penting, kenapa para Bapa Gereja meluangkan waktu yang sebanyak itu untuk merayakan ordinariness, kita sudah melihat berbagai alasannya, yaitu karena Gereja memang isinya orang-orang yang ordinary, dan karena ibadahnya dan bahkan sakramen-sakramennya menggunakan bahan-bahan yang ordinary, air biasa, roti biasa, anggur biasa. Pertemuan-pertemuannya pun memang dilakukan dalam waktu-waktu yang rutin, bukan gonta-ganti waktu setiap minggunya. Tangan-tangan yang melayaninya juga tangan-tangan yang biasa, yang jarinya lima, bukan tujuh atau delapan. Liturginya juga mengulang-ulang yang itu-itu lagi. Dan, kenapa kayak begini, adalah karena realitas hidup kita memang lebih banyak momen-momen yang ordinary. Namun, dimasukkannya hal-hal yang biasa ini dalam Kalender Gereja, itu membuat kita menyadari bahwa apa yang ordinary ini, bagi Gereja penting, bahwa apa yang ordinary ini justru punya peran yang tidak bisa digantikan oleh momen-momen yang extra ordinary. Indeed kita sudah melihat bahwa apa yang dibentuk dan terpahat pelan-pelan lewat masa-masa ordinary, itulah yang dampak dan pengaruhnya sangat besar dalam hidup kita –tepat sekali karena kita ‘gak nyadar dampak dan pengaruhnya. Jadi, basically pelajarannya bisa diungkapkan dengan satu kalimat berikut: ini adalah masa/waktu di mana kita diingatkan kembali bahwa Tuhan memakai apa yang ordinary untuk membentuk Gereja-Nya. Tuhan kita bukanlah Tuhan yang jijik terhadap apa yang biasa. Tuhan kita bukanlah Tuhan yang baru menyambut kita ketika kita membawa sesuatu yang extra ordinary dulu. Kita tidak usah heran akan hal ini, karena kita tahu Tuhan sendiri pun pernah menjalani hidup yang ordinary. Kisah hidup Yesus bukanlah cuma 3 tahun pelayanan-Nya yang penuh tanda-tanda ajaib, yang dicatat dan diceritakan, tapi juga 30 tahun kehidupan sunyi yang tidak dicatat, tidak diceritakan, tanpa followers, tanpa subscribers, dan tanpa likes. Itu sebabnya kita perlu Ordinary Time ini, untuk merenungkan karya Tuhan dalam masa-masa yang ordinary.
Hari ini kita melanjutkan pembahasan kita, dan kita mau menekankan aspek bahwa pekerjaan Tuhan melalui apa yang ordinary sangat erat hubungannya dengan apa yang jasmani. Kalau kita sudah melihat pekerjaan Tuhan melalui apa yang ordinary sebagai satu hal yang penting, itu harusnya membawa kita menyadari bahwa apa yang jasmani dalam hidup kita, juga penting dan baik di mata Tuhan. Kita akan membaca dari beberapa ayat:
- Matius 4:2, Setelah berpuasa empat puluh hari dan empat puluh malam, akhirnya laparlah Yesus.
- Yohanes 4:6, Di situ terdapat sumur Yakub. Yesus sangat letih karena perjalanan, sebab itu Ia duduk di pinggir sumur itu. Hari kira-kira pukul dua belas.
- Yohanes 19:28, Sesudah itu, karena Yesus tahu, bahwa segala sesuatu telah selesai, berkatalah Ia — supaya digenapi yang tertulis dalam Kitab Suci –: ”Aku haus!”
Mempunyai tubuh, berarti tidak bisa menghindari merasakan lapar, letih, haus, dsb.; mempunyai tubuh, berarti ada porsi yang sangat besar yang kita pakai untuk mengerjakan maintenance tubuh tersebut. Karena tubuh bisa lapar, letih, dan haus, kotor dan rusak, maka kita senantiasa pakai waktu untuk membersihkan tubuh tersebut, memberi makan tubuh tersebut, tubuh itu harus diajak olahraga, harus dibawa ke WC, harus diistirahatkan lagi dan lagi. Setiap hari entah berapa jam yang kita habiskan untuk hal tersebut. Ini berbeda dari merias tubuh; pilih-pilih baju, pakai make up, pakai hair gel, dsb., itu bukan kategori maintenance. Maintenance berarti mempertahankan apa yang sudah ada, bukan menambah sesuatu yang tadinya tidak ada. Dan yang menarik, meski Saudara sudah melakukan maintenance, tubuh sudah dijaga sedemikian rupa pun, ujungnya tubuh tetap akan rusak dan sakit; dan dalam masa-masa seperti itu, pekerjaan maintenance-nya tambah banyak. Seperti misalnya saya yang sedang flu ini akan mengeluarkan ingus beberapa kali; ini pekerjaan maintenance.
Yang menarik, salah satu hal yang kita paling cepat belajar sejak usia yang sangat muda adalah: bahwa pekerjaan-pekerjaan maintenance ini menyebalkan. Kalau Saudara punya anak kecil, Saudara akan menunggu-nunggu kapan mereka mulai bisa merangkai kalimat dengan tiga kata, empat kata, lima kata. Dan, satu hal yang anak saya paling cepat belajar untuk memberontak (rebel) adalah rebel dari urusan maintenance tubuh; dibilang, “Ayo sikat gigi!”, mereka bisa keluar kalimat empat kata yang pertama itu: “’Gak mau sikat gigi”.
Jadi mungkin salah satu hal yang kita belajar sejak usia sangat dini, bahkan sebelum kita bisa mengingat, sebelum kita lancar berbahasa, adalah bahwa waktu yang banyak sekali yang kita pakai untuk menjaga tubuh kita, itu merupakan waktu yang rasanya terbuang sia-sia, waktu-waktu di mana kita mau tidak mau melakukannya, tapi alasannya karena ini satu-satunya jalan supaya tubuh kita bisa dipakai untuk melakukan hal-hal yang lain, yang lebih penting. Ini satu posisi yang terbalik dengan Kekristenan, karena dalam Alkitab seharusnya bukan hal-hal yang lain itu yang penting, tubuh kita itulah sesungguhnya yang sangat penting itu. Di sini saya katakan ‘seharusnya’, karena kita memang lebih familier dengan versi-versi Kekristenan yang menghina tubuh manusia, baik dengan cara kebablasan mementingkan apa yang spiritual sampai-sampai kita cuek terhadap segala sesuatu yang jasmani, ataupun dengan cara kita kebablasan terfokus pada larangan-larangan atas segala sesuatu yang bersifat jasmani. Karena kita terfokus pada tubuh itu ‘gak boleh begini, tubuh ‘gak boleh begitu, ujungnya kita melihat tubuh sebagai hal yang kotor, sebagai sumber dosa, sebagai kedagingan.
Kalau kita kembali ke Alkitab, kita menemukan bahwa Alkitab sangat mementingkan, dan bahkan meninggikan, tubuh manusia. Jangan lupa, iman kita adalah iman yang sangat-sangat jasmaniah. Apa yang kita imani dalam statement iman kita? Statement iman Kristen tidak mungkin cuma mengatakan bahwa kami percaya Allah yang adalah roh; statement iman Kristen pasti ada klausa di mana kita mengatakan mengimani bahwa Anak Allah yang adalah roh itu, berinkarnasi ke dalam dunia ini, masuk ke dalam tubuh –daging dan darah. Dalam tiga ayat tadi, kita melihat betapa ini bukan inkarnasi yang setengah-setengah. Yesus itu letih, lapar, haus. Yesus perlu tidur. Yesus perlu makan. Kaki Yesus bisa kotor, maka perlu dicuci. Dan waktu Yesus makan, kayaknya Dia bukan makan dengan cara seperti biksu, misalnya makan nasi cuma tiga butir; mungkin Yesus makannya lebih mirip dengan orang-orang Kelapa Gading dalam urusan kuliner, karena kita tahu Dia pernah dituduh musuh-musuhnya, “Lihat tuh, si pelahap dan si peminum”.
Saudara, ini sebabnya beberapa ajaran sesat yang paling awal, yang muncul pada awal mula Kekristenan, yang ditentang mati-matian oleh para rasul dan para Bapa Gereja, adalah ajaran-ajaran yang mengingkari ke-tubuh-an Yesus yang seperti itu, misalnya Gnosticism, atau variannya yaitu Docetism. Docetism mengajarkan bahwa Yesus memang punya tubuh, tapi Anak Allah hanya masuk ke dalam tubuh Yesus pada saat baptisan-Nya tok, lalu tiga tahun bekerja melalui tubuh Yesus tersebut, lalu setelah itu keluar pada waktu Yesus disalibkan; jadi Yesus punya tubuh, ya, tapi tidak sepenuhnya seperti itulah. Ini menjadi dasar bagi Gnosticism untukmengajarkan bahwa itu sebabnya kehidupan jasmaniah tidaklah penting, yang penting adalah mengejar realitas rohaniah saja, yang selevel di atas yang jasmaniah. Hari ini kita bisa sensitif dengan ajaran sesat seperti misalnya ajaran saksi Yehova, Injil Kemakmuran; dan bahwa kita harus menolak itu. Namun kita sering kali tidak sadar bahwa ajaran sesat dari abad pertama tadi itulah yang mungkin lebih berbahaya, yang mungkin lebih merasuki kita tanpa kita sadari. Tidak heran bahwa Alkitab menempatkan tubuh bukan sebagai hal yang sampingan dalam iman Kristen, tapi justru hal yang sentral. Itu sebabnya ibadah Kristiani dari zaman ke zaman dilakukan secara fisik –dengan berlutut, berdiri, mengangkat tangan, dengan nyanyian-nyanyian.
Sedikit melanjutkan apa yang kita bicarakan dalam retret yang lalu, yaitu mengenai doa syafaat dan kecenderungan kita waktu berdoa syafaat inginnya doa dalam hati saja. Kenapa kita merasa lebih ideal doa dalam hati? Apakah jangan-jangan karena imanmu adalah iman yang sebisa mungkin meminimalkan apa yang jasmani/fisik; bahwa mungkin bagi kita yang namanya ‘khusyuk’ adalah ketika tubuh kita sebisa mungkin didiamkan, dicuekin, dienyahkan? Ketika yang tersisa hanyalah pikiran saya dengan Tuhan, itulah yang namanya khusyuk? Dengan demikian yang namanya doa syafaat ya ‘gak usah ngomonglah, dalam hati saja?? Itu bukan Kekristenan, Saudara. Sekalian saja Saudara menyanyi dalam hati, main piano dalam hati, dan ujungnya jangan-jangan bagi kita pergi ke gereja yang ideal juga dalam hati saja –dan ini sebabnya kebaktian online menarik bagi banyak orang, tidak merepotkan, tidak jasmaniah.
Tetapi Alkitab tidak seperti itu; Alkitab mengatakan, kita diciptakan di dalam tubuh. Kita diciptakan untuk mengalami dan menjalani kehidupan ini serta menikmati segala keindahannya, dalam jasmani kita, termasuk juga dalam keterbatasan-keterbatasannya. Bukan cuma ketika kita diciptakan, waktu kita diselamatkan pun, keselamatan itu tidak cuma datang kepada jiwa kita tok, tapi juga kepada seluruh kehidupan kita, karena ujungnya tubuh kita bukan akan dibuang melainkan diperbarui dalam kebangkitan tubuh. Yesus sendiri bangkit dalam tubuh; dan yang lebih mencengangkan, ketika Ia naik ke surga, Saudara tidak membaca ceritanya tubuh Yesus itu tiba-tiba “bless…” kayak baju yang terlepas lalu jatuh ke bawah seperti waktu Obi-Wan Kenobi mati dibunuh oleh Darth Vader. Tidak demikian; tubuh kebangkitan Yesus –tubuh kemuliaan-Nya– dibawa ke surga lalu duduk di sebelah kanan Allah Bapa. Ini tubuh kebangkitan yang bisa makan ikan itu, yang Saudara bisa mencucukkan jarimu ke bekas-bekas luka-Nya itu.
Kalau Saudara mempelajari lebih dalam segala larangan-larangan jasmaniah yang ada dalam Kekristenan, dan tidak cuma fokus akan larangan-larangan tersebut secara permukaan, Saudara akan menemukan apa tujuan sebenarnya di balik larangan-larangan tersebut. Misalnya, panggilan untuk kita kudus dalam hal seksualitas, itu bukan karena seks dianggap jahat dan kotor, sebaliknya justru untuk melindungi keindahan seks itu sendiri. Tubuh dilindungi bukan karena tubuh itu pinggiran dalam Alkitab, tapi justru karena tubuh itu sentral. Allah Alkitab memanggil umat Allah untuk hidup suci secara jasmani, bukan karena tubuh dianggap sekunder, tapi justru karena Alkitab percaya bahwa apa yang terjadi melalui tubuh, itu tidak bisa terlepas dari jiwa kita. Seandainya tubuh cuma sekunder, tidak masalah dong Saudara mau apakan saja tubuh itu ‘kan. Sama seperti kalau Saudara tidak peduli berdoa syafaat mau buka suara atau tidak, terserah masing-masing orang, itu simply karena menurutmu tubuh tidaklah penting. Saudara menganggap tubuhmu, bunyi suaramu, lehermu, getaran suara yang diproduksi oleh tenggorokanmu, itu bukanlah faktor dalam ibadahmu. Tapi Alkitab tidak seperti itu! Dalam Kristus, gosok gigi, gunting kuku, dan mandi, itu bukanlah tindakan-tindakan yang somehow menghalangi kita hidup secara rohani. Dalam Kristus, semua itu adalah respons terhadap kebaikan Tuhan. Ketika kita mandi, kita sedang memandikan tubuh yang Allah Pencipta buat dan berikan kepada kita dengan segala kasih-Nya! Ketika kita gunting kuku atau sikat gigi, kita sedang merespons Allah yang tidak pernah menolak tubuh manusia, Allah yang mendeklarasikannya sebagai amat sangat baik; kita sedang merespons Allah, yang lalu sendirinya mengambil daging dan darah untuk menebus kita. Pada dasarnya inilah kecelakaan yang hari ini kita lihat, yaitu kita meminggirkan tubuh ini.
Saudara, tubuh bukan sekunder dalam Kekristenan. Ini akan lebih jelas lagi ketika kita menyadari bahwa pengajaran Kristen tidak datang hanya melalui otak, pengajaran Kristen juga datang melalui tubuh. Hari ini kita tidak melihat Kekristenan seperti itu. Sadar atau tidak sadar, hari ini kita melihat Kekristenan sebagai urusan memasukkan kebenaran ke otak, kebenaran dalam bentuk ide; khususnya kita yang dalam tradisi GRII, bagi kita Kekristenan sedikit banyak cuma butuh otak. Mungkin saja kita mengatakan kita tidak seperti itu. Tapi coba Saudara tes dirimu sendiri, kalau Saudara melihat seorang anak yang cacat mental, tidak bisa bicara dan tidak bisa berpikir lurus, lalu Saudara ditantang dengan pertanyaan “bisakah anak ini menjadi Kristen?”, bukankah kita akan merasa sangat sulit menjawab pertanyaan seperti itu?? Ini karena sedikit banyak Kekristenan bagi kita komponen terutamanya otak, urusannya soal isi data otak, mempelajarinya melalui otak. Itu sebabnya bagi kita, orang difabel seperti itu wah bagaimana, ya, kurang ada harapan kayaknya.
Ironisnya, konsep Kristen yang otak-centered itu, Saudara tidak mempelajarinya lewat otakmu. Ini hal yang menarik, dan sesungguhnya ironis. Kalau Saudara tanya teologi Kristen, maka teologi Kristen jelas sangat menekankan secara positif ketubuhan dan kejasmanian kita atas dasar inkarnasi Kristus. Kapan sih Saudara mendengar orang khotbah dari mimbar ini, yang mengatakan Tuhan menciptakan tubuhmu itu jelek, kotor, dan hancur? Tidak pernah ‘kan. Ini berarti Saudara tidak mendapatkan ajaran “sesat” itu dari otak. Yang membuat kita berpikir bahwa tubuh itu somehow sekunder dalam Kekristenan, itu kita terima, kita menyerapnya, dari mana? Bukan dari otak ternyata. Ini satu hal yang kita sudah berkali-kali bicarakan, dan juga kita menekankannya dalam retret yang lalu, bahwa Saudara mempelajari pengajaran-pengajaran Krsitiani bukan cuma lewat otak, tapi lewat tubuh kita juga, melalui liturgi, yaitu apa yang tubuhmu lakukan lagi dan lagi, bersama tubuh-tubuh orang-orang lain, minggu demi minggu.
Apakah yang kita lakukan dalam liturgi kita, yang membuat kita menganggap tubuh adalah sekunder? Ya ini: minggu demi minggu kita duduk di gereja dan kita disuruh cuekin tubuh kita. Kita dibiarkan, kalau mau doa syafaat buka suara silakan, kalau mau diam-diam saja juga oke. Kita disuruh menyanyi, tapi keluar suara atau tidak keluar suara, atau suara macam apa yang keluar, itu juga tidak terlalu penting. Kita datang terlambat, tidak diusir, tidak dikunciin di luar. Kalau urusan seminar dan pengetahuan, kita di GRII merasa harus mengeluarkan segala macam jurus untuk menarik orang, mulai dari jurus subsidi sampai jurus mengeluarkan kalimat-kalimat yang bikin orang guilty feeling kalau tidak beli tiket; tapi, untuk berlutut dan berdoa di hari Sabtu pagi, itu sih sesuai kerelaan masing-masinglah. Saudara lihat, ini liturgi. Ini kita terima bukan dari otak secara terutama, tapi melalui tubuh kita minggu demi minggu, demi minggu, demi minggu. Lama-kelamaan ini membuat kita percaya satu hal: bahwa tubuh saya tidak penting, yang penting otak dan pikiran saya di hadapan Tuhan; ironisnya, Saudara dan saya percaya hal ini justru melalui tubuh, karena tubuh kita menjalani liturgi yang kurang mementingkan tubuh.
Saudara, di sini mungkin kita baru bisa lebih apresiatif terhadap tradisi-tradisi Kristen lainnya yang sangat mementingkan tubuh dan materi. Sebenarnya liturgi kita sudah ada hal itu, ada banyak pergerakan tubuh dalam ibadah kita. Kita ada berdiri, duduk, berlutut, bergerak, makan, minum, membaca dengan bersuara, berdoa, bernyanyi, menengadahkan kepala, menundukkan kepala, dsb., namun ini tidak sebanding dengan yang kita temukan dalam tradisi lain. Kalau Saudara masuk STT, belajar sejarah Kristen secara umum, Saudara akan bertemu dengan yang namanya tradisi Kristen Ortodoks Timur (Easthern Ortodox). Tradisi Ortodoks Timur biasanya identik dengan ikon (icon). Tentu tradisi Ortodoks Timur ini punya keunikan teologis, tapi mereka lebih terkenal keunikan liturgical-nya, yaitu mereka menggunakan ikon-ikon dalam ibadahnya. Mereka menggunakan dupa, mereka menggunakan gestur badani yang sangat spesifik, mereka menggunakan seni, lukisan, lilin, abu, roti, anggur, minyak, dsb. dalam ibadah mereka. Ini karena bagi orang Kristen Ortodoks Timur, inkarnasi Yesus yang utuh dan penuh, maknanya tidak kurang dari deklarasi kebaikan dunia materi secara permanen, untuk selama-lamanya. Waktu kita melihat ibadah seperti mereka, kita cenderung mengatakan, “Kalian ini menyembah apa sih, menyembah ikon-ikon itu? Menyembah barang buatan manusia?” John of Damascus pernah mengatakan seperti ini: “Saya tidak menyembah materi. Saya menyembah Allah dari segala materi, yang telah menjelma menjadi materi bagi diriku, dan berdiam dalam materi, dan mengerjakan keselamatan bagiku melalui materi; maka saya tidak akan henti-hentinya menghargai materi yang Ia pakai untuk menggenapkan keselamatan-Nya bagiku”. Orang Kristen Ortodoks Timur menjadi yakin, bahwa inkarnasi Kristus itu berarti tidak ada satu hal apapun dalam dunia ciptaan Allah yang tidak bisa menarik kita kepada Kristus. Itu sebabnya istilahnya ikon, karena bukan ikonnya yang penting; ikon penting, karena ikon menarik kita kepada sesuatu yang lain. Mereka percaya bahwa tidak ada satu hal apapun dalam alam ciptaan Allah yang tidak bisa menjadi ikon –tidak bisa menjadi sarana– dari doa kita, dari ibadah kita. Jika inkarnasi Kristus itu telah menguduskan segala sesuatu yang ordinary –ordinary matters, ordinary bodies— maka berarti semua hal yang ordinary itu bisa, dan harus, dibawa ke dalam ibadah.
Tradisi Ortodoks Timur seperti ini pernah mengalami semacam worship wars karena urusan tersebut. Pada abad ke-8 mereka clash, tapi clash-nya bukan urusan drum versus piano, atau lagu hymn versus lagu kontemporer. Ketika itu sampai ada yang mati martir, karena ada beberapa dari mereka yang bersikeras mengenyahkan semua ikon-ikon tersebut atas dasar perintah dalam Sepuluh Hukum Allah, yaitu hukum kedua. Melawan hal tersebut, teolog-teolog Ortodoks Timur menggunakan dasar inkarnasi Kristus. Mereka mengatakan: jika Allah sendiri telah mengambil tubuh dan materi, maka ini mengubah segalanya; relasi kita terhadap tubuh dan alam materi ini telah ditebus dan sedang diperbarui, maka Allah Anak yang memiliki tubuh materi itu bisa dimuliakan oleh alam ciptaan yang material ini. Mereka berani berjuang untuk hal ini, mereka berani mati untuk hal ini.
Mungkin konyol ya, menurut kita, mati martir demi mempertahankan penggunaan dupa dan icon di ibadah?? Tapi sebenarnya mereka bukan mati demi dupa dan ikon; mereka mati untuk mempertahankan keyakinan mereka, bahwa mengikut Kristus itu ada ruang bagi kejasmanian kita. Mereka percaya bahwa kita tidak bisa mengikut Kristus dengan cara membuang kejasmanian kita, kita tidak bisa mengikut Kristus dengan cara membuang apa yang ordinary dalam hidup kita —ordinary matters, ordinary bodies. Bagi mereka, kedekatan dengan Kristus, itu ditemukan justru dalam keberadaan yang ordinary tadi, lewat tubuh yang fisik, bukan dengan meninggalkan tubuh dan masuk ke dalam state extraordinary. Mereka mempertahankan penggunaan ikon bukan karena mereka menganggap kalau di rumahmu ada ikon-ikon seperti itu maka somehow Saudara lebih suci; bukan itu poinnya. Poinnya adalah: keberadaan ikon-ikon itu adalah untuk melambangkan (sekali lagi, maka pakai istilah ikon); keyakinan mereka sedang dinyatakan di sini, bahwa Allah bisa dikenal melalui barang-barang yang biasa, melalui materi yang biasa, karena Allah lewat inkarnasi Kristus telah masuk ke dalam segala hal yang biasa, tubuh yang biasa, keberadaan yang biasa, materi yang biasa.
Kalau Saudara mengikuti ibadah orang Ortodoks Timur, Saudara akan ngeh apa maksudnya liturgi yang percaya tubuh sebagai pemberian Allah yang baik. Masuk ke dalam ibadah mereka, Saudara akan langsung mencium bau dupa, Saudara akan merasakan suatu atmosfir tertentu, Saudara akan melihat ini dan itu, Saudara akan bisa dibilang sensory overload. Dan lewat itu, kita mungkin baru menyadari seberapa kebaktian-kebaktian kita adalah kebaktian-kebaktian yang sebisa mungkin disterilkan dari semua itu. Bayangkan kalau Saudara masuk kebaktian Hari Minggu dan tiba-tiba mencium bau dupa, Saudara pasti merasa ada yang aneh, Saudara pasti tidak tahan. Jangankan bau dupa, dengar suara orang lain berdoa buka suara saja, Saudara jadi terganggu ‘gak bisa konsen. Ampun deh!
Dulu sekali, saya pernah sedang jalan-jalan sekeluarga, pergi ke daerah yang cukup jauh, yang kami belum pernah ke situ sebelumnya, lalu malam-malam ban mobilnya kempes, entah kami sedang di mana, gelap banget. Tidak ada pompa ban, tidak ada bengkel. Mau ganti ban susah juga. Lalu tiba-tiba ada dua orang yang entah dari mana munculnya, dan entah bagaimana mereka ternyata bawa pompa. Mereka pun beresin ban-nya sampai mobil kami bisa jalan lagi. Dua orang ini lalu pergi begitu saja. Itu salah satu earliest memory saya. Dan waktu itu saking bingungnya, ketika mobil sudah berjalan, kami berempat sampai berteori bahwa dua orang tadi mungkin bukan manusia melainkan malaikat dari Tuhan. Pendeta Eko dulu sekali pernah berkhotbah, mengatakan bahwa manusia itu ‘kan gambar dan rupa Allah, maka harusnya kehadiran mereka kita rasakan seperti ketemu malaikat, ‘Wow, ada ya, orang yang bisa membantu saya, mengeluarkan saya dari kesulitan seperti ini!’ Tapi hari ini kita tidak seperti itu; kalau kita malam-malam ketemu orang, kita takut. Menyedihkan, namun itu realitas. Menyedihkan, bahwa sekarang mendengar orang buka suara pun kita anggap itu gangguan, dan kita maunya masing-masing berdoa syafaat diam-diam sajalah supaya tidak saling mengganggu. Sekali lagi, apa yang mendasari ini? Mungkin karena di balik ini kita menganggap ketubuhan ini jelek, kita menganggap suara manusia satu dengan yang lain itu mengganggu, lebih baik tidak usah ada, lebih baik suasananya khusyuk, hanya saya dan jiwa saya di hadapan Tuhan. Lihatkah Saudara liturgi kita ini??
Sekarang inilah mungkin kita bisa lebih menghargai tradisi-tradisi Kristen lain yang sangat mementingkan tubuh, karena mereka percaya tubuh ini bukan sekadar tempat Roh Allah diam dan tinggal tok, tubuh ini adalah sarana Roh Allah bekerja dan membentuk kita. Sekali lagi, karena memang pengajaran datang bukan cuma lewat otak; lewat tubuhlah, seorang manusia belajar apa yang baik, apa yang benar, apa yang indah. Tidak cuma lewat otak. Saya pernah memberi contoh dari Jordan Peterson, seorang psikolog. Dia mengatakan: coba kamu tuliskan konsep rasional sifat keibuan (motherhood). Kita tentu bisa memformulasikan secara rasional hal seperti ini, misalnya: 1) ibu itu apa; 2) ibu itu kayak bagaimana; 3) seorang mama harusnya begini dan bukan begitu. Setelah kita menuliskannya, Peterson tanya: kamu dapat itu dari mana? Kita sering kali pikir teori dulu, baru praktek; kita tertipu dengan ini: rasional dulu, baru kehidupan, tindakan badan, dsb. Namun di sini Peterson memperlihatkan kepada kita bahwa yang seperti itu sebenarnya psikologi modern yang sekarang sudah ditinggalkan; psikologi postmodern sekarang tahu bahwa realitasnya tidak seperti itu, karena dari mana Saudara tahu mengenai apa itu seorang ibu? Apa karena Saudara pernah baca buku mengenai keibuan? Apa karena Saudara pernah diberitahu di sekolah SD atau TK bahwa ibu adalah kayak begini dan begini? Tidak ‘kan. Itu bukan sesuatu yang datang dari otak. Jadi dari mana Saudara mendapatkannya? Saudara pertama-tama mendapatkannya dari tubuh ibumu, yang menyentuh tubuhmu. Saudara mendapatkannya dari tubuh! Ini adalah apa yang terjadi berulang kali –Saudara disusui, disayang, dibelai, digendong, diceboki, dsb. Tidak hanya sampai di situ, setelah menerima tindakan ibu seperti ini, maka –demikian kata Peterson– yang terjadi adalah si anak mulai berusaha mengulang tindakan keibuan tersebut, entah itu kepada bonekanya atau saudaranya atau binatang peliharaannya, menimang-nimangnya seperti ibunya menimang dia dulu.
Bukan cuma kita menerima perlakuan orang, tapi kita ini juga belajar sesuatu dengan cara kita mengulanginya, melakukan tindakan yang sama. Stanley Hauerwas mengatakan,kalau kita mau belajar mengenai suatu kisah, kita tidak bisa belajar cuma dengan cara mendengarkannya, Saudara juga harus melakukan kisahnya. Inilah cara manusia belajar. Anak-anak melakukan hal ini, jauh sebelum otak mereka mampu memproses semua itu secara rasional. Jadi, apa benar teori dulu, kepada praktek? Tentu ada benarnya, tapi teori ini sendiri datang dari mana? Peterson mengatakan, yaitu lewat Saudara diperlakukan demikian, lewat Saudara memperlakukan demikian, lalu lama-lama ini diulang terus-menerus dan terus-menerus, lalu inilah yang membentuk dalam otak anak tersebut mengenai apakah seorang ibu itu, apakah konsep motherhood itu. Teori yang ini, malah datang dari praktika. Tubuhlah yang membawa kita untuk belajar hal itu.
Kekristenan peka akan hal ini. Kekristenan memakai tubuh untuk menyembah Tuhan kita, Kekristenan melihat tubuh sebagai sarana Roh Kudus untuk membentuk hidup kita, karena Kekristenan tahu ada tempat-tempat dalam hidup kita, dalam hati kita, yang tidak tersentuh oleh otak kita. Apa itu artinya ‘percaya Injil Kristus bukan cuma di otak, tapi sampai mendarah daging’? Ketika Saudara menemukan hal ini, barulah Saudara tahu ada pengharapan bahkan bagi mereka yang difabel dan cacat mental, karena mereka tidak di luar jangkaun tangan Allah.
Namun inilah sisi gelapnya: jika pengajaran Kristiani tidak hanya datang melalui otak tapi juga melalui tubuh, maka ajaran-ajaran yang sesat juga tidak hanya datang melalui otak tapi juga melalui tubuh. Jika Gereja tidak mengajarkan kepada kita untuk apa tubuh kita ini sesungguhnya, maka dunia dan budaya dunia akan segera mengisi kekosongan tersebut. Kita percaya ini. Tapi lewat cara apa hal tersebut datang? Bukan cuma lewat otak. Setiap hari, sadar atau tidak sadar, dalam momen-momen ordinary kita, kita sedang diarahkan/ditargetkan kepada satu tujuan tertentu. Saudara bisa mengecek ajaran siapa yang Saudara pegang, tujuan apa yang arah tubuhmu tuju, lewat caramu menggunakan tubuhmu itu. Budaya kita penuh dengan pengajaran seperti ini, pornografi misalnya. Tapi sebenarnya tidak harus sampai pornografi, iklan-iklan yang kita lihat di mana-mana juga sama, iklan-iklan yang bukan cuma mengajarkan, tapi juga melatih dan membentuk kita, untuk melihat tubuh-tubuh –tubuh kita atau tubuh orang lain– hanya sebagai alat untuk mengejar kenikmatan, cuma sebagai objek untuk kita pakai, atau mungkin sebagai sesuatu untuk kita sembah.
Saudara lihat, jika kita tidak belajar untuk hidup Kristen secara jasmaniah, kita tidak belajar untuk menyembah Tuhan dengan jasmani kita, maka kita akan cepat atau lambat belajar suatu injil palsu mengenai tubuh, bahwa tubuh kita bukan lagi bait Roh Kudus, melainkan alat untuk kita mencapai nafsu-nafsu kita. Atau versi lainnya, kita belajar bahwa tubuh kita harusnya tidak bercacat cela, maka kita menghabiskan entah berapa banyak uang dan juga waktu, untuk beli krim, lotion, bedah plastik, dan segala macam lainnya, supaya kita bisa menolak realitas tubuh kita yang rentan, yang akan menua. Atau juga versi lainnya lagi, kita simply cuek dengan segala hal yang bersifat tubuh, maka kita makan sekadar makan saja apapun itu, minum apapun, cuek saja dengan obes, sakit jantung, siapa peduli?? Kita tidak melihat tubuh ini sebagai pemberian yang harus dijaga dan dipertanggungjawabkan. Jadi Saudara lihat, liturgi Gereja yang sejati harusnya mengisi dalam hal ini, mengajarkan kita tujuan sejati dari kejasmanian kita, bahwa tubuh-tubuh ini adalah instrumen bagi penyembahan kita kepada Tuhan. Namun Saudara lihat, ini datangnya dari mana? Ini bukan cuma datang lewat pengajaran dalam level otak, ini harus datang lewat liturgi, lewat tubuh itu sendiri.
Skandal dosa seksual bagi umat Tuhan, itu bukan urusan kenikmatan-kenikmatan terlarang yang Tuhan tidak mau kita alami –kadang-kadang orang Kristen masih mengatakan kayak begini. Saya jadi ingat pernah mendengar satu cerita di salah satu rapat dosen, yang membicarakan mahasiswa yang jatuh dalam dosa seks. Setelah pedebatan panjang lebar, apakah si mahasiswa harus dikeluarkan atau dipertahankan, dsb., seorang dosen mengatakan, “Tidak bisa! Dia harus dikeluarkan, karena dia itu menikmati seks, dia itu suka seks!” Lalu ada dosen lain mengatakan, “Saya juga menikmati seks, Pak; Bapak tidak, ya?” Saudara, kadang-kadang dalam Keksristenan bisa ada yang kayak begini; kita pikir dosa seksual adalah adanya kenikmatan-kenikmatan terlarang yang Tuhan tidak mau kita dapatkan. Bukan itu, Saudara. Skandal dosa seksual adalah: bahwa tubuh kita yang adalah benda-benda sakral yang harusnya untuk kemuliaan Tuhan, itu bisa jadi tempat penyembahan berhala. Namun ketika benda-benda sakral yang harusnya untuk kemuliaan Tuhan itu dipakai untuk menyembah berhala, ini bukan berarti benda-benda tersebut jadi mendapatkan sesuatu yang lebih, yang terlarang, yang asik sebenarnya –bukan itu–melainkan mereka itu justru berkurang keindahannya, berkurang kenikmatannya, tidak optimal, karena mereka tidak sesuai desain awalnya.
Di dalam kitab Amsal ada satu bagian yang sangat menarik (Amsal 30:18-20), mengatakan seperti ini: “Ada tiga hal yang menakjubkan bagiku, bahkan ada empat hal yang tidak kumengerti …”. Pola tiga-empat dalam kitab Amsal ini maksudnya suatu gaya bahasa puisi untuk menyatakan kekaguman; apakah tiga-empat hal tersebut? Tiga hal: “jalan rajawali di udara, jalan ular di atas cadas, jalan kapal di tengah-tengah laut”, lalu yang ke-4: “jalan seorang laki-laki dengan seorang gadis.” Menarik, ya. Ini adalah bagaimana Alkitab melihat seks. Kalau Saudara melihat rajawali di udara, ular di atas cadas, kapal di tengah laut, apa kesamaan dari tiga hal ini? Mereka semua membuat kita merasakan ‘koq, bisa sih?? ajaib!’ Mereka semua merupakan suatu benda yang masuk ke tempat yang asing, tapi koq, malah nyambung. Rajawali di udara, terbang, koq keren banget, bisa meliuk-liuk sana-sini kayak fighter jet –sebetulnya fighter jet yang mirip rajawali– koq bisa masuk dan menembus di udara; bahkan kalau Saudara menonton film dokumenter mengenai elang, kita melihat betapa elang itu bisa melayang statis di atas updraft udara. Amazing! Yang kedua, ular, badannya lunak, tapi bisa jalan dan kadang bahkan melompat-lompat di atas batu karang yang tajam-tajam –sekali lagi, ini benda yang masuk ke suatu tempat yang harusnya asing, tapi koq bisa nyambung. Kapal, koq bisa di tengah laut tidak tenggelam, dst. Tiga hal ini mengundang kekaguman, karena mereka adalah benda A, yang entah bagaimana bisa masuk menembus benda B, yang berbeda dari mereka, namun ujungnya nyambung. Lalu apa yang keempat? Seks –jalan seorang laki-laki dengan seorang gadis.
Saudara lihat bagaimana Alkitab membicarakan seks; namun hari ini kecenderungan kita, orang beragama, adalah tidak membicarakan seks, karena tidak nyaman, menganggap itu sesuatu yang memalukan, kotor. Tapi Alkitab tidak seperti itu. Alkitab membicarakan seks dengan perasaan kagum dan perasaan ajaib, bukan dengan gaya vulgar. Yang menarik adalah ayat lanjutannya, karena Alkitab tidak kebablasan, Alkitab tidak langsung berpindah ke arus sebaliknya bahwa ‘seks itu baik, jadi rayakanlah dengan siapapun, kapanpun, di manapun’; ayat selanjutnya mengatakan seperti ini: “Inilah jalan perempuan yang berzinah: ia makan, lalu menyeka mulutnya, dan berkata: Aku tidak berbuat jahat.” Maksudnya apa? Ini gambaran perzinahan, bahwa perzinahan itu tidak ada ajaib-ajaibnya, perzinahan itu seperti makan lalu menyeka mulut karena kotor, lalu, “Terus kenapa?? ‘Gak ada salahnya ‘kan? ‘Gak ada salahnya dan ‘gak ada ajaib-ajaibnya juga, ‘kan seks itu nafsu, seperti nafsu makanlah, jadi ya, makanlah, habis makan seka mulut, apa salahnya sih??” Itulah gambaran seks dalam budaya sekuler, bahwa seks itu jangan dihalangi, jangan dibatasi dalam pernikahan saja, karena seks itu cuma nasfu, ‘lu nafsu makan, ya makan; lu nafsu seks, ya nge-sekslah, apa salahnya sih?? Habis makan, seka mulut, aku ‘gak berbuat apa-apa, kenapa sih??’ Saudara lihat, bagian ini disengaja banget mengkontraskan dengan bagian sebelumnya tadi. Jadi, alasannya seks dibatasi dalam Alkitab, adalah justru supaya ada keajaiban yang dijaga itu. Bukan untuk merampok Saudara dari kenikmatan, melainkan karena di luar itu tidak ada kenikmatannya.
“Ah, masa’ sih, Pak, bukannya air curian lebih nikmat? Jadi sukacita seks itu yang terbaik dinikmatinya, ya di luar pernikahan, daripada dengan orang yang itu-itu lagi. Boring.” Saudara, bahkan orang bule sekuler pun tahu hal ini, kalau Saudara lihat adegan-adegan film ketika seorang pria bertemu seorang wanita malam-malam, lalu mereka hook up, lalu mereka tidur, lalu salah satu dari mereka pagi-pagi mengendap-endap ambil baju dan keluar pelan-pelan; pertanyaannya, kapan pernah adegan ini digambarkan secara positif? Kapan?? Tidak pernah ‘kan; dan itu film orang bule yang bikin. Jadi Saudara bisa menyadari, sebenarnya realitasnya tidak seperti itu. Realitasnya justru Alkitab menjaga hal ini dengan segala macam larangan karena Alkitab menganggap hal ini begitu positif. Saudara tahu, inilah problemnya dari penyembahan berhala, bahwa penyembahan berhala itu selalu tragedi. Bukan cuma dosa, tapi tragedi. Kenapa? Karena salah pakai; harusnya sesuatu itu bisa lebih, tapi ya ampun, sayang banget, cuma dipakai buat begitu tok.
Saudara, ini sebabnya para rasul begitu anti dengan dosa seksual, bukan karena kita sedang meng-akses sesuatu yang lebih, yang terlarang, yang sebenarnya lebih asik –bukan itu–melainkan karena di mata para rasul, itu berarti kita sedang menggunakan suatu benda yang kudus (sacred object), bahkan benda yang paling kudus di atas dunia ini, cuma buat memuaskan nafsu! Dosa seksual merupakan skandal besar dalam Perjanjian Baru, bukan karena para rasul itu orang-orang prudish –orang-orang yang kalau menghitung 1-6 dalam bahasa Jerman, 1 = eins (dibaca: ayns), 2= zwei (dibaca: svay), 3 = drei (dibaca: dray), 4 = vier (dibaca: fi: Ir), 5 = fünf (dibaca: fünf), 6 = sechs (dibaca:zeks), maka pas angka 6 tutup mulut– para rasul bukan orang-orang seperti itu. Alasannya mereka merasa dosa seksual merupakan skandal besar, adalah karena otot manusia, kakinya, tangannya, tubuhnya, adalah benda-benda materi ciptaan Tuhan yang lebih sakral dari semuanya, bahkan dari baki tempat air Baptisan dan cawan-cawan perjamuan! Kalau kita memalingkan muka terhadap pengajaran Alkitab mengenai bagaimana menggunakan tubuh secara tepat, itu adalah seperti Saudara mengambil roti hosti dan anggur perjamuan lalu menjadikannya snack sore –atau lebih celakanya Saudara pakai untuk upacara sihir kejawen.
Dalam beberapa tradisi, roti dan anggur Perjamuan mendapatkan perhatian khusus; dan juga saya pernah mengalaminya di GRII meski mungkin ini tidak terlalu ditekankan. Ketika itu dalam salah satu acara NREC kalau tidak salah, Pak Tong mengadakan Perjamuan Kudus. Karena ini acara untuk youth, kami juga tidak terlalu yakin seberapa banyak yang akan mengambil roti dan anggur, jadi kami menyediakannya berlebih. Ternyata yang mengambil tidak sebegitu banyak, maka sisanya cukup banyak. Yang menarik, kami sebagai panitia disuruh minum semua sisa anggur Perjamuan dan makan rotinya, karena tidak boleh dibuang. Anggur Perjamuan adalah anggur yang sakral, yang sudah di set apart, dikhususkan, untuk mewakili dan melambangkan Tuhan kita. Benda-benda sakral itu patut mendapatkan perhatian yang lebih. Dalam tradisi yang lain, anggur itu boleh dibuang, tapi tidak dibuang di wastafel melainkan dicurahkan ke tanah, maksudnya bahwa dengan begitu jadi tidak waste.
Demikian juga konsepnya sama, mengenai kenapa kita menjaga tubuh kita dari dosa, dan termasuk juga kenapa kita hari ini melakukan maintenance atas tubuh kita. Kenapa sikat gigi, kenapa kita memandikan tubuh kita, kenapa kita mengajaknya olahraga? Pekerjaan-pekerjaan maintenance ini bukanlah sesuatu yang menghalangi kerohanian kita, ini bukan suatu chores yang harus dilakukan, yang sebenarnya kita tidak mau lakukan; justru ini adalah suatu tindakan seorang Kristen yang rohaniah karena dia melihat dan menjalankan hidupnya –tubuh dan jiwa–sesuai arah Roh Allah. Itulah yang namanya rohaniah.
Tish Warren cerita, dalam jabatannya sebagai seorang pastor, dia paling senang menjalankan kebaktian pemberkatan rumah. Yang menarik, hal yang dilakukan dalam tradisi ketika orang pindah rumah baru, mereka menjalani ruangan demi ruangan dan mendoakan setiap ruang yang mereka masuki; mereka memberkati toilet, ranjang, sofa, dll. (bagi kita, ini hal yang sangat aneh, karena kita sedikit banyak adalah orang-orang yang anti dengan materi; namun sebenarnya mungkin bagus juga kalau ada cara yang oke untuk melakukan hal ini, hanya saja sekarang ini tidak dulu). Warren lalu cerita, salah seorang temannya yang juga seorang pastor, waktu melakuan pemberkatan rumah seperti ini, setiap kali mereka masuk ke Kamar Mandi, somehow orang-orang yang mengikutinya lebih perhatian terhadap kalimat-kalimat berkat dari si pastor. Mungkin karena ruang tersebut lebih sempit, lebih bergaung juga, maka orang tidak terlalu mau ngomong, tapi mungkin juga karena mereka ingin mendengar bagaimana si pastor mengaitkan Tuhan dengan ruangan dalam rumah yang kelasnya paling rendah. Teman Warren ini sering kali berdoa memberkati cermin di Kamar Mandi, dan mengatakan kira-kira seperti ini: “Kiranya ketika penghuni rumah menggunakan cermin ini, mereka melihat gambar-gambar Allah yang dikasihi oleh Allah tersebut; kiranya mereka tidak melihat tubuh mereka sebagaimana dunia melihat mereka, melainkan menurut realitas siapa sesungguhnya mereka di dalam Kristus, sebagaimana Allah Bapa melihat mereka.” Teman Warren ini cerita, ketika dia mengucapkan doa tadi di ruangan tersebut, ada orang-orang yang menangis, dan mereka ini biasanya para ayah yang punya anak-anak wanita. Mereka menangis karena rindu agar anak-anak wanita bisa melihat dirinya seperti itu, melihat diri bukan menurut standar dunia yang tidak realistis, yang dibombardir melalui IG dan sosmed, melainkan melihat dirinya sebagaimana Allah Bapa melihat mereka.
Saudara, ini tidak gampang. Kita tahu dari kitab Kejadian, memiliki tubuh berarti hal itu datang sepaket dengan rasa malu. Adam dan Hawa menyadari mereka telanjang, maka mereka berusaha menutupinya. Mereka menyembunyikan diri dari satu sama lain, dan dari Allah. Memang, ada sesuatu mengenai memiliki tubuh, yang rasanya memalukan. Harus sikat gigi, karena kalau tidak maka mulut bau. Kita kentut, proses badani yang sangat normal, namun kentut itu tabu untuk dilakukan, bahkan di rumah sendiri pun adakalanya tidak boleh. And yet, Saudara melihat Allah kita tidak kabur dari ini semua. Menghadapi Adam dan Hawa, Dia tidak kabur jauh-jauh dan tutup hidung, tapi malah mendekat dan memberikan mereka pakaian supaya rasa malu mereka boleh ditangani. Tidak berhenti sampai di sini, Ia lalu berinkarnasi; dan dalam inkarnasi, Ia tidak cuma masuk ke dalam kemuliaan tubuh manusia, melainkan masuk sepaket dengan semua maintenance-nya, semua rasa malunya. Saudara percaya tidak, Tuhan Yesus juga mengompol waktu bayi? Dan yang pasti, Yesus pun menutupi kemaluannya dengan pakaian.
Tapi lihat, karena Yesus masuk dengan ketubuhan yang utuh seperti itu –kelahiran, hidup, kematian, kebangkitan tubuh– maka kita yang sekarang dikatakan ‘berada di dalam Dia’, telah mengenakan Kristus; Galatia 3:27, “kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus.” Paulus tidak sembarangan pakai kalimat ini, Paulus kayaknya sedang memikirkan satu hal, bahwa rasa malu dari dosa, rasa malu dari ketubuhan kita, yang tidak bisa ditutupi oleh Adam dan Hawa dengan cawat-cawat yang mereka bikin itu, pada akhirnya telah diselesaikan selama-lamanya melalui Kristus. Inilah tubuh kita, yang telah Tuhan berikan dan ciptakan, dan yang telah ditebus. Mari kita mulai menghidupi kebenaran ini.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading