LAI memberi judul Yohanes 9 ini “Orang yang Buta Sejak Lahirnya”. Bagian ini dalam alkitab LAI, dan sesuai juga dengan terjemahan bahasa Inggris, diberikan pemenggalan dari ayat 1 sampai 7 yang cukup padat, sementara ceritanya sampai dengan ayat 41. Untuk hari ini kita akan membahas sampai ayat 7 saja. Cerita ini ada perbedaan detail dengan cerita tentang orang buta yang disembuhkan yang ada dalam Injil sinoptik.
LAI biasa memberikan catatan di bawah judul perikopnya, yang menunjukkan apakah perikop tersebut ada paralelnya dalam Injil yang lain atau tidak. Pasal 9 ini Saudara tidak mendapati catatan paralelnya baik di Lukas, Markus, ataupun Matius, sehingga bagian ini sangat khusus Injil Yohanes. Dan biasanya bagian-bagian seperti ini sangat penting dalam mengerti profil teologi kitab tersebut –dalam hal ini Injil Yohanes. Bagian ini adalah satu demonstrasi konkret berita yang diumumkan Yesus tentang diri-Nya sendiri sebagai terang dunia –“Akulah Terang dunia”—yaitu dengan satu tanda/ mujizat orang buta yang disembuhkan dari kebutaannya. Sebagaimana sudah sering ditekankan, ketika kita membaca tulisan Yohanes, di situ bukan soal fisik saja –tadinya buta jasmani lalu bisa melihat secara jasmani– melainkan dalam pengertian membawa kita untuk masuk ke dalam pengertian rohani. Jadi yang mau dikatakan bukan cuma urusan kebutaan jasmani, tapi lebih penting lagi adalah kebutaan rohani.
Waktu kita membicarakan tentang kebutaan rohani, kita jangan melihatnya secara hitam putih ‘buta atau tidak buta’, lalu kalau kita tidak buta berarti kita melihat jelas, sedangkan kalau kita buta berarti kita tidak melihat sama sekali. Dalam Injil sinoptik, ada orang yang buta tapi telinganya begitu peka, dia mendengar Yesus lewat lalu berteriak “Anak Daud kasihanilah kami!” Jadi dia ini buta tapi bisa mendengar dengan jelas, buta tapi punya penglihatan rohani. Atau contoh klasiknya, orang sering mengatakan bahwa Fanny Crosby itu buta, tapi dia salah satu orang yang sangat melihat kemuliaan Tuhan dengan jelas di dalam kebutaan jasmaninya. Yesus terang dunia, barangsiapa berjalan bersama dengan Dia, di dalam Dia, tidak berjalan di dalam kegelapan.
Ayat 1, Waktu Yesus sedang lewat, Ia melihat seorang yang buta sejak lahirnya. Yesus melihat; yang dilihat oleh Yesus yaitu orang buta sejak lahirnya. Orang buta itu tidak bisa melihat Yesus, karena dia buta. Yesus yang tidak buta, Dia melihat, dan yang dilihat oleh Yesus adalah orang yang buta sejak lahirnya. Tentu kita bilang diri kita tidak buta; bahkan kita mengatakan ‘bukan saja saya tidak buta secara jasmani, saya pun tidak buta secara rohani, karena saya sudah celik di dalam Kristus’. Tetapi apa yang kita lihat? Dalam hidup sehari-hari apa yang kita lihat? Yesus tidak buta, Dia terang dunia, dan Dia melihat orang buta sejak lahirnya. Itu yang dilihat oleh Yesus. Ada orang yang waktu melihat, dia lihat mobil, lihat kekayaan orang lain, lihat gedung besar, lihat arsitektur yang megah, lihat orang yang kaya, lihat orang yang berpengaruh, lihat orang berdasarkan ras, lihat orang berdasarkan agama, dan seterusnya. Orang-orang itu melihat tapi tidak melihat seperti orang yang tidak buta, melihat tapi sebetulnya mirip orang yang buta.
Yesus melihat seorang yang buta sejak lahirnya. Ada satu belas kasihan dalam diri Yesus yang tidak ada bahkan pada murid-murid-Nya. Waktu Yesus melihat, Dia melihat penderitaan manusia. Waktu Yesus melihat, Dia melihat orang-orang yang hopeless dan helpless, yang tidak ada pertolongan dalam kehidupannya kecuali Tuhan yang menolong dia. Itulah yang dilihat oleh Yesus. Kita bilang kita tidak buta, dan harap Gereja ini juga tidak buta. Apa yang dilihat oleh Gereja? Apa yang Gereja ingin dunia ini melihat? Apa yang kita lihat? Apa yang Saudara dan saya lihat?
Yesus ini sedang lewat –lewat artinya dari sini mau ke sana—Yesus bukan sengaja mau pergi besuk orang buta, Dia hanya lewat saja. Dia lewat, mau pergi ke mana? Tentu saja ke Yerusalem. Yesus sejak lahir, perjalanan-Nya adalah menuju Yerusalem, Dia mau mati di sana. Dan dalam perjalanan lewat, lewat, dan lewat itulah Yesus melihat orang yang buta sejak lahirnya. Alangkah kontrasnya penglihatan Yesus dengan murid-murid-Nya. Ayat 2, Murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya: "Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orangtuanya, sehingga ia dilahirkan buta?" –diskusi, analisa, analisa, dan analisa. Memang kita orang Reformed sangat menekankan rasio, tapi waktu kita menekankan rasio, pembelajaran, dsb., itu bukan berarti lalu Saudara harus memotong sama sekali your heart, your emotion, your feeling, your compassion, your mercy, sehingga itu semua tidak jalan, dan kita cuma bicara diskusi analitis, dsb. Yang seperti ini, adalah orang sakit sebetulnya. Ini bukan seperti Yesus, ini orang yang sakit, orang yang cacat. Tidak peduli berapa dalam Saudara punya teologi, tidak peduli berapa tajam Saudara punya kemampuan logika, analisa, dsb., semua tidak ada artinya kalau seperti begini. Ini bukan sesuatu yang mempermuliakan Tuhan. Coba lihat yang dilakukan murid-murid, mereka bilang "Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orangtuanya,… “, orang buta itu dijadikan obyek diskusi, obyek studi kasus untuk pembelajaran teologi tertentu. Apa tidak ‘sakit’ orang-orang seperti ini? Saudara dan saya juga tidak kebal dengan penyakit seperti begini, yaitu waktu kita jadi terlalu rasional. Betul kita harus sangat rasional, tapi kalau Saudara rasional lalu tidak ada belas kasihan, tidak ada compassion, yang ada diskusi, analisa, dsb., ini gambaran spiritualitas yang aneh sekali.
Apa sebenarnya yang murid-murid perdebatkan? Mereka mengatakan, "Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orangtuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” Pertanyaan seperti ini bukan pertanyaan sembarangan. Pertanyaan ini menunjukkan mereka orang yang sangat mengenal firman Tuhan. Dalam tradisi Kitab Ulangan dikatakan bahwa orang yang tidak taat kepada Yahweh, dia akan mengalami masalah, bencana, kutukan, dalam kehidupannya; dan itu sampai kepada generasi ke-3 dan ke-4 dari orang-orang yang menjauhi Yahweh. Jadi pertanyaan murid-murid ini bukan tidak ada dasarnya. Tetapi biasanya orang yang membaca bagian itu, dia lupa kalau Kitab Ulangan juga mengatakan bahwa Tuhan menunjukkan belas kasihan kepada mereka yang taat, kepada ribuan generasi. Ribuan generasi dibandingkan 3-4 generasi, apa artinya, namun pikiran orang lebih tertuju pada yang 3-4 generasi dibandingkan ribuan generasi. Mengapa orang waktu baca Alkitab bisa seperti begini, lalu jadi seperti perlu ada pematahan kutuk, dsb.? Memang mereka bisa pakai teologi Kitab Ulangan, bahwa orang ini buta jangan-jangan karena dosa orangtuanya, lalu kutukannya masuk kepada dia, karena dikatakan sampai generasi ke-3 dan ke-4.
Atau mungkin bukan pakai teologi Kitab Ulangan, tapi teologi Yehezkiel. Yehezkiel mengatakan, “Sesungguhnya Tuhan berkata, seseorang itu menanggung dosanya sendiri, bukan dosa orang tuanya” –in tension dengan teologi Kitab Ulangan. Tapi konteks Yehezkiel adalah orang-orang Israel yang dalam pembuangan, dan dalam keadaan tersebut mereka mempunyai keturunan yaitu anak-anak yang lahir sudah di dalam pembuangan. Keturunan ini merasa, ‘Tuhan ini bagaimana?? kita lahir sudah di pembuangan, yang salah itu siapa, coba??’ Lalu mereka bikin satu peribahasa yang dilagukan: “Papa saya makan manisan –misalnya mangga muda—gigi saya ngilu”. Itu peribahasa yang sangat menyindir, luar biasa sarkastik, maksudnya sarkastik terhadap Yahweh –‘Lu yang bener aja, yang berdosa ‘kan papa mama gua, kakek nenek gua, gua lahir sudah di pembuangan, lalu apa ini, coba?? Katanya Lu, Tuhan yang adil, mana keadilannya?? Saya lahir-lahir sudah di keadaan pembuangan, jadi dia yang makan mangga muda tapi gigi saya yang ngilu, lucu kalau begini’. Maka di situ Tuhan lalu bilang, “Stop! Jangan bicara kalimat seperti itu lagi di Israel; sesungguhnya orang menanggung dosanya sendiri, bukan dosa orangtuanya”, bahwa retribusi itu urusan individual, bukan urusan dari nenek moyang di atasnya.
Jadi dalam pertanyaan ini –"Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orangtuanya”—kalau yang berbuat dosa orangnya sendiri, itu berarti mengikuti teologi Yehezkiel, sedangkan kalau orangtuanya, itu berarti mengikuti teologi Kitab Ulangan. Hal ini jadi studi kasus yang menarik bagi murid-murid Yesus; tidak ada doa, tidak ada introspeksi, tidak ada belas kasihan, tidak ada pikiran ‘mengapa ini bisa terjadi, mungkinkah Tuhan sedang memberi peringatan’, dsb., tapi yang ada adalah theological discussion. Saya agak merasa helpless dengan perkembangan teologi Reformed yang seperti ini, sangat tidak menjanjikan. Jangan kita kehilangan bagian itu lalu jadi seperti murid-murid yang diskusi, diskusi, dan diskusi. Yesus melihat seorang yang buta sejak lahirnya, tapi apa yang dilihat murid-murid? Yang dilihat murid-murid adalah potensi diskusi teologi –mari kita menganalisa, mari kita melihat dari perspektif teologis ini kira-kira karena apa, saya juga ingin tahu posisi teologis Yesus di mana, apakah Dia lebih Deuteronomistis, atau Dia mengikuti teologi Yehezkiel dalam hal ini; ini menarik untuk diperdebatkan. Boleh saja menarik, tapi itu menarik yang tidak mengubah hidup, tidak ada poinnya sama sekali, belajar teologi seperti ini untuk apa??
Maka kemudian Yesus menjawab: "Bukan dia dan bukan juga orangtuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia” (ayat 3). Memang jawaban ini tidak harus selalu bisa kita pakai, namun ini salah satu cara menjawab waktu pembicaraan penderitaan selalu dikaitkan dengan dosa –dosa menghasilkan penderitaan, penderitaan karena dosa– sebagaimana sekarang pun ada pengajaran yang seperti ini. Saya seringkali mengatakan kepada Saudara, waktu kita menderita, waktu kehidupan kita banyak kesulitan, memang ada baiknya kita introspeksi terlebih dahulu, jangan cepat-cepat bilang “Yesus bilang ‘penderitaan tidak ada hubungannya dengan dosa, dosa tidak ada hubungannya dengan penderitaan’”. Di bagian lain adakalanya Yesus meng-afirmasi kaitan antara dosa dan penderitaan. Waktu ada orang-orang Israel yang tertimpa menara, dan orang-orang yang darahnya dicampur dengan darah binatang oleh Pilatus lalu dipersembahkan sehingga merupakan satu kekejian, Yesus mengatakan kalimat: “Kamu pikir dosamu lebih kecil daripada dosa orang-orang itu; kamu pikir karena mereka mengalami seperti itu berarti dosa mereka lebih besar daripada dosa-dosamu”. Berarti dalam kalimat tersebut Yesus meng-afirmasikan kaitan antara penderitaan dan dosa, sedangkan di bagian ini tidak. Oleh sebab itu kita musti melihat keseluruhan Alkitab. Tidak bisa kita cuma melihat satu ayat lalu kita bikin teologi berdasarkan satu ayat tertentu itu, kita musti melihat gambaran yang lebih utuh.
Meski demikian, dalam bagian ini memang betul ada ketidakcukupan (inadequacy) kalau kita selalu melihat penderitaan seseorang pasti berkaitan dengan dosa. Dalam hal ini, Kitab Ayub sudah membicarakannya. Teman-teman Ayub memojokkan dia berdasarkan teologi Deuteronomistis, dalam pengertian orang yang taat akan diberkati Tuhan, orang yang tidak taat akan kena kutukan, bencana, dsb. Teman-teman Ayub bersikeras bahwa Ayub harus mengaku dosanya, karena kalau tidak ada dosa, mana bisa hidupnya berantakan seperti ini, jadi pasti ada dosa. Sampai sekarang pun masih ada pengajaran seperti begini; ini seperti orang yang tidak belajar Kitab Ayub, atau bagaimana?? Kita tahu, dalam Kitab Ayub jawabannya tidak sesederhana itu, tidak selalu orang benar tidak menderita, orang benar pun bisa menderita.
Pengajaran yang mengatakan bahwa orang menderita itu pasti karena ada dosa, maka selanjutnya hanya ada 2 pilihan, antara disebabkan oleh dosanya sendiri atau oleh dosa orang tuanya. Kalaupun gambaran seperti ini betul, akhirnya cuma bisa mengajak kita untuk melihat ke belakang, kita jadi tidak move on ke depan. Kalau kita dalam keadaan sakit, kita ingin tahu juga penyebabnya apa. Orang lain bisa memberikan semacam diagnosa bahwa kita sakit itu karena ini dan itu, lalu kita berusaha menghindari hal-hal itu supaya tidak sakit lagi. Tapi kalau seorang dokter cuma bisa memberitahukan penyebabnya dan tidak bisa memberitahu pengharapan ke depan, apa artinya?? ‘Saya analisa ya, kamu dalam keadaan seperti ini karena begini, begini, begini, di situ persoalanmu; saya ini ahli menyelidiki sebab musabab, kalau kamu tanya penyebabnya apa, bisa tanya saya, tapi kalau tanya jalan keluarnya, jangan tanya saya, saya tidak tahu, saya cuma menjelaskan penyebab saja’– apakah Kekristenan seperti ini? Kita dalam keadaan menderita, sebabnya yaitu karena manusia sudah jatuh ke dalam dosa; kita semua tahu. Tapi lalu apa? ‘Kamu musti tahu ya, keadaan menderita seperti ini karena Adam diciptakan pada mulanya dalam keadaan kesucian positif, tapi dia memilih untuk jatuh dalam dosa’ –lalu sudah sampai di situ saja; itukah Kekristenan? Itu bukan Kekristenan. Gambaran seperti ini sangat parsial. Maka Yesus mengatakan: "Bukan dia dan bukan juga orang tuanya”.
Ada saatnya untuk tidak menggubris soal sebabnya apa dan akibatnya apa, itu sudah tidak terlalu penting, tapi yang penting adalah sekarang mulai dari keadaan ini untuk bagaimana bertobat, bagaimana mengalami pemulihan, bagaimana disembuhkan, bagaimana mengalami pertolongan Tuhan; jadi soal bagaimana ke depannya. Itu yang Yesus katakan. Terus membicarakan yang ke belakang, itu jadi tidak ke mana-mana, akhirnya cuma jadi penjelasan-penjelasan belaka tapi tidak ada perubahan setelah itu. Misalnya ada air menetes di ruangan ini, lalu saya menjelaskan, ‘ini mungkin karena ada daun-daun rontok berterbangan lalu jatuh ke talang, sehingga menyumbat talang, talang jadi buntu, air tidak bisa mengalir lewat talang lalu jadi bocor ke mana-mana, itulah penyebab tetesan-tetesan ini’; dan sampai di situ saja, tidak tahu bagaimana memperbaiki, tidak tahu solusinya, cuma tahu ada daun di talang. Kalau seperti itu, penjelasan tadi untuk apa?? Inilah yang dipikirkan murid-murid Yesus tadi.
Seandainya misalnya Yesus menjawab, ‘begini ya, murid-murid-Ku, posisi Saya, terus terang, di teologi Yehezkiel ya’; lalu setelah itu orang ini bagaimana? Orang ini tetap buta! Cuma dijelaskan posisinya Yesus di Yehezkiel, itu saja. Setelah itu nasib orang ini tetap sama, tetap buta. Apakah penjelasan soal asal muasal dosanya dari mana, yaitu dari orang itu sendiri menurut teologi Yehezkiel, akan menolong dia keluar dari butanya? Tentu tidak. Cuma sekedar tahu ‘ini menurut Yehezkiel karena dosanya sendiri, bukan seperti diajarkan Kitab Ulangan’, tapi lalu apa? Tidak ke mana-mana. Jangan kita jadi orang Kristen yang terus-menerus menganalisa dan menganalisa saja.
Kalau Saudara pergi ke Berlin, di situ ada Humboldt University, satu universitas yang penting sekali di Jerman. Waktu Jerman pecah jadi 2, universitas ini jatuh ke tangan komunis, maka yang diagung-agungkan di sana adalah pujangga-pujangga komunis; dan di lobby tempat masuk universitas ini dipasang tulisannya Karl Marx; padahal yang mengajar di sana bukan cuma Karl Marx tapi ada juga Hegel, Schleiermacher, Einstein, Max Planck, dan orang-orang besar lainnya yang pernah ada di sana –bukan cuma Karl Marx. Di situ Karl Marx mengatakan kalimat seperti ini: “Filsuf selalu berusaha untuk melakukan penafsiran terhadap dunia ini; mereka mengajar kita bagaimana kita melihat, menafsir dunia, tapi sebetulnya yang penting bukanlah bagaimana menafsir dunia, melainkan bagaimana mengubah dunia”. Itulah janji Karl Marx, janji Marxisme; dan kita tahu akhirnya gagal. Karl Marx cuma memberikan penafsiran yang lain lagi, dan gagal pula. Tapi paling tidak dalam kalimat tersebut memberikan satu peringatan untuk kita, lu don’t keep discussing, keep analysing, keep interpreting, tapi akhirnya lu tidak mengubah apa-apa sebetulnya, lu cuma pintar mikir, cuma pintar ngomong, tapi bahkan tidak peduli dengan orang buta ini, dia tetap saja buta; setelah tahu Deuteronomistis, tahu Yehezkiel, lalu apa??
Yesus mengatakan, “Bukan dia dan bukan juga orangtuanya”; maksud-Nya: kita tidak diskusi teologi di sini, kita tidak berpikir faktor ke belakang itu –sebabnya apa dan mengakibatkan apa—Yesus bilang, “Tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.” Penderitaan yang terjadi dalam kehidupan kita, penderitaan yang terjadi di negara kita, pertanyaannya adalah: pekerjaan Allah yang mana yang mau dinyatakan di dalam kita, di dalam Gereja kita, di dalam negara kita? Waktu mengalami pergumulan dalam kehidupan keluarga, kita musti tanya: pekerjaan Allah yang mana yang mau dinyatakan di dalam keluarga kita? Bukan terus-menerus diskusi penyebabnya apa –itu boleh saja—tapi itu sangat ada keterbatasannya, tidak bisa menolong banyak juga, cuma tahu penyebabnya lalu mungkin lain kali kita menghindar dari itu. Tetapi Yesus mengajak kita untuk berpikir ke depan, bahwa ada pekerjaan Allah yang mau dinyatakan di sini, di dalam dia. Tidak relevan tanya penyebabnya apa –dia sendiri atau orangtuanya—kita tidak bicara ke situ tapi kita mau melihat ke depan; dan ke depan Yesus mau menyatakan pekerjaan Allah di dalam orang buta ini, sebagaimana Yesus juga mau menyatakan pekerjaan Allah di dalam kehidupan Gereja kita, di dalam kehidupan Saudara dan saya. Apakah kita siap dengan ini? Atau kita tetap terus-menerus diskusi ke belakang, bicara kesulitan-kesulitan disebabkan oleh apa di belakang, menjadi orang-orang yang tidak pernah move on, tidak pernah bisa bergerak?
Yesus mengatakan di ayat 4: “Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku, selama masih siang; akan datang malam, di mana tidak ada seorang pun yang dapat bekerja.” Ada urgensi di sini, jangan buang-buang waktu, jangan terus cuma diskusi yang akhirnya tidak mengubah apa-apa; Karl Marx pun memperingatkan ini. Jangan cuma interpretasi dan lagi-lagi menyajikan sekedar interpretasi saja, tapi tidak mengubah dunia, ayo bekerja, ayo bergerak. Apa kontribusi kita kepada masyarakat, kepada Gereja, kepada dunia, kepada lingkungan? Waktunya mendesak. ‘Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku, selama masih siang’ –selama masih ada waktunya. Selama masih ada kesempatan untuk kita bisa memberitakan Injil, untuk mengajak orang datang beribadah, selama masih ada kesempatan untuk datang mempelajari firman Tuhan, untuk datang ke persekutuan doa, untuk melayani, selama masih ada kesempatan untuk hidup baik-baik dengan keluargamu, mencintai istri, suami, anak-anakmu, menghormati orangtuamu –selama ada kesempatan, selama hari masih siang—lakukanlah itu, karena hal ini tidak selama-lamanya.
Anne Frank, seorang remaja pada zaman Nazi yang akhirnya tertangkap, menulis buku harian dan dia pernah mengatakan: “Dead people receive more flowers than living ones because regret is stronger than gratitude” (Orang mati menerima lebih banyak bunga daripada orang hidup karena penyesalan lebih kuat daripada rasa syukur). Ini bijaksana yang luar biasa tinggi dari seorang anak remaja, yang mungkin bukan Kristen tapi bisa berpikir seperti ini. Penyesalan itu selalu lebih besar, tapi waktu orangnya masih ada, kita tidak mengasihi dia, tidak menghormati dia. Waktu orangnya sudah tidak ada, kita ke kuburan, kita menangis tersedu-sedu sampai teriak-teriak. Yang teriak paling keras biasanya yang paling tidak berbakti, karena dia pikir dengan air mata satu ember bisa menebus kesalahan puluhan tahun tidak hormat pada orang tuanya; sementara yang tenang, tidak keluar air mata, mungkin dialah anak yang berbakti, sehingga dia sudah rela orangtuanya pergi, toh dia sudah menjalankan bagiannya selama orangtuanya masih hidup. Bekerjalah selama hari masih siang, jangan menyesal, jangan terlambat. Terlambat, terlambat, dan terlambat, lalu taruh bunga di kuburan, itu tidak bisa dinikmati orang yang sudah mati, percuma, orang-orang yang sudah mati tidak bisa menikmati lagi pelayanan kita.
Yesus mengatakan, selama hari masih siang, mari kita bekerja. Tidak selama-lamanya hari itu siang, ada waktunya hari menjadi malam, orang sulit sekali memberitakan Injil. Di Cina, Tuhan pernah membangkitkan orang-orang besar sepeti John Sung, Wang Mingdao, Andrew Gih, dsb. Mereka dalam kuasa Tuhan menggerakkan kebangunan rohani, banyak orang yang kemudian percaya, sampai ke Asia Tenggara, dan juga termasuk Indonesia. Setelah itu, komunis masuk Cina, seakan membabat semua yang sudah dikerjakan sebelumnya. Kita bisa berpikir seperti ini: sudah bagus-bagus ada kebangunan rohani, ada pekerjaan Tuhan yang dinyatakan, tapi akhirnya hanya untuk dihancurkan periode berikutnya; jadi seperti sia-sia menabur, sudah ditabur lalu dihancurkan. Tapi kita bisa melihat cara sebaliknya: justru karena Tuhan sudah melihat akan terjadi penganiayaan untuk orang-orang percaya, maka iman mereka dikuatkan terlebih dahulu; orang-orang seperti John Sung, Wang Mingdao, Andrew Gih, dsb., mempersiapkan masa penganiayaan sebetulnya. Kita tidak tahu dengan Indonesia, yang kita tahu sekarang masih ada kesempatan, jangan tidak tahu kalau sekarang masih ada kesempatan. Sekarang masih ada kesempatan bersaksi, masih ada kesempatan memberitakan Injil, masih ada kesempatan untuk mengajak orang percaya Yesus. Tapi apakah ada kesempatan selama-lamanya? Kita tidak tahu. Yang kita tahu adalah selama masih siang, mari kita mengerjakan pekerjaan Bapa yang mengutus Anak.
Yesus mengatakan, “Selama Aku di dalam dunia, Akulah terang dunia” (ayat 5). Mengapa siang? Yaitu karena ada terang dunia. Ini bukan soal siang yang berarti ada matahari jasmani; Yohanes dengan lincah waktu bicara hal-hal yang kelihatan, masuk ke dunia yang tidak kelihatan; yang dimaksud dengan ‘siang/ malam’ di sini adalah pengertian rohani. Dikatakan ‘selama masih siang’, waktu itu masih siang, karena Yesus masih ada di dalam dunia, Dia terang dunia. Saudara mungkin bilang, ‘lho bukannya Dia sudah terangkat ke surga, jadi kita sekarang zaman kegelapan dong?? berbahagialah murid-murid pada saat itu, masih siang, Yesus ada di sana’. Saudara jangan lupa, Yesus bilang “kamulah garam dunia, kamulah terang dunia”, kalau kita memang benar-benar garam dan terang. Selama orang percaya –orang Kristen—masih ada di dunia, di Jakarta, di Kelapa Gading, ini berarti hari masih siang. Betapa luar biasa posisi seperti ini; ini posisinya Kristus, yang sekarang diserahkan kepada Saudara dan saya.
Yesus terangkat ke surga, lalu apakah berarti dunia gelap? Yesus bilang ‘tidak; kamulah garam, kamulah terang dunia’. Ini berarti kita melanjutkan eksistensi Kristus. Paulus mengatakan bahwa kita ini tubuhnya Kristus (the body of Christ); kita –Saudara dan saya—yang sekarang menyambung eksistesi Kristus itu. Dan sekarang ini masih siang, karena kita adalah terang seperti Kristus yang adalah terang dunia. Tapi hal ini tentu menyisakan pertanyaan, apakah kita betul-betul sadar identitas kita ini adalah terang dan garam? Kalau garam sendiri kehilangan asinnya, kalau terang sendiri menjadi redup dan bukan lagi terang, jadi mau berharap apa lagi?? Kita tidak bisa mengharapkan terang dari kegelapan. Logis saja, itu tidak bisa. Lalu siapa yang bisa diharapkan bercahaya, kalau bukan orang-orang percaya, yang percaya kepada Yesus Kristus yang adalah terang dunia?? Siapa yang bisa diharapkan, kalau bukan orang-orang Kristen?? Jadi di mana persoalannya? Persoalannya ada pada orang Kristen. Persoalannya ada pada kita, yang tidak cukup menerangi dunia ini. Mari kita introspeksi.
Yesus mengatakan, “Selama Aku di dalam dunia, Akulah terang dunia”, dan sekarang Yesus begitu mempercayai Saudara dan saya, Dia menyerahkan itu kepada kita –“kamu garam dan terang dunia”—lalu Dia terangkat ke surga. Tapi kita tidak bisa bilang, ‘Lu enak aja, main tinggalin kita’. Yesus bukan ‘enak saja’, Dia mati di atas kayu salib. Dia sudah menjalankan bagian-Nya sampai selesai. Dia sudah mengerjakan yang Dia bisa kerjakan, yang Dia bisa korbankan, sampai yang terakhir yaitu nyawa-Nya sendiri. Yesus sudah menggenapkan semuanya; sekarang Saudara dan saya, kita adalah garam dan terang dunia. Selama orang Kristen masih ada di dunia dan berfungsi sebagai terang, berfungsi sebagai garam, maka masih siang. Ini heran dan ajaib, bahwa di mana pun orang Kristen berada, di situ adalah siang. Waktu ada tempat yang gelap, lalu orang Kristen menjejakkan kakinya di situ, maka di situ siang. Ini mirip sekali dengan waktu orang Israel diserahkan Tanah Kanaan, tapi kita bukan mau mendapatkan berkat-berkat materi, itu gambaran Perjanjian Lama. Dalam Perjanjian Lama dikatakan, ‘sejauh tanah yang diinjak kakimu, tanah itu Kuberikan kepadamu’; lalu kita bilang ‘saya juga mau kalau injak-injak tanah, lalu itu jadi properti saya’, kalau seperti itu, berarti Saudara pikirannya masih berkat materi ala Perjanjian Lama. Tapi kalau Saudara belajar dalam prinsip ini, janji yang sama masih berlaku, yaitu selama masih ada orang Kristen yang Tuhan Yesus harapkan jadi garam dan terang dunia, maka di mana pun mereka berada, di mana pun mereka menjejakkan kakinya, di situ harusnya adalah siang karena kita terang dunia.
Siang itu tergantung terang dunia; terang dunia itu pertama-tama Yesus, dan setelah itu dipercayakan kepada Saudara dan saya –garam dan terang dunia. Mari kita terus bekerja, mari kita terus memancarkan terang yang dari Tuhan. Tapi jangan lupa, kita ini reflektor seperti bulan, bukan sumber terang. Bulan tidak bercahaya dari dirinya sendiri, tidak seperti matahari yang bercahaya dari dirinya sendiri. Tuhan bercahaya dari diri-Nya sendiri, Dia bukan reflektor, Dia sumber terang, Dia terang itu sendiri. Sedangkan Saudara dan saya cuma bisa memantulkan terang yang kita terima dari Tuhan; maksudnya hiduplah kudus. Kita ini seperti cermin yanhg harus dilap, dibersihkan; kalau tidak bersih maka sinar yang masuk tidak bisa terpancar karena terlalu kotor lalu akhirnya orang tidak bisa melihat pancaran terang karena hidup kita tidak kudus, tidak suci.
Waktu kita bicara tentang garam dan terang dunia, kalau boleh sedikit memasukkan Matius, itulah kualitas yang dimaksud dalam Sabda Bahagia (8 kalimat “berbahagialah …”) dalam Injil Matius. Dan yang paling dekat dengan ‘garam dan terang’ yaitu seperti dikatakan terakhir, “Berbahagialah mereka yang dianiaya karena Aku”. Mereka yang menderita karena Kristus, itulah garam dan terang. Waktu kita mencintai, kita akan menderita; itu pasti. Tapi waktu kita kurang mencintai, kita cuma diskusi teologis ala para murid seperti di bagian ini, bagaimana kita bisa jadi garam dan terang?
Ayat 6, Setelah Ia mengatakan semuanya itu, Ia meludah ke tanah, dan mengaduk ludahnya itu dengan tanah, lalu mengoleskannya pada mata orang buta tadi. Dalam kepercayaan Yudaisme, dari literatur-literatur kita tahu bahwa ludah memang dianggap punya semacam kekuatan yang menyembuhkan. Sedemikian gaib konsepnya sampai ada rabi-rabi yang melarang hal ini, karena dianggap sesuatu yang takhayul, dan akhirnya jadi lebih bergantung kepada ludah daripada kepada Tuhan. Menariknya di sini, Yesus juga pakai ludah, seakan membangkitkan kepercayaan ini kembali tapi dalam pengertian inilah penyembuh yang sesungguhnya. Namun yang lebih menarik, selain ludah, di bagian ini juga disebutkan tentang tanah –Yesus meludah ke tanah, mengaduk ludah-Nya dengan tanah. Ini mengingatkan kita pada Kejadian 2:7, Tuhan Allah membentuk manusia dari debu tanah. Manusia diciptakan dari tanah, lalu di sini Yesus meludah ke tanah; ini bicara tentang ‘re-creation’. Irenaeus memberikan satu kutipan yang indah: “That which the artificer, the Word, had omitted to form in the womb, he supplied in public that the works of God might be manifested in him” –apa yang kurang di dalam rahim ibu, yaitu matanya buta berarti tidak terbentuk dengan sempurna, sekarang diselesaikan Tuhan di depan publik, maksudnya menyatakan “Saya ini Pencipta”. Yesus ini terang dunia, dan jangan lupa, bahasa ‘terang’, ‘gelap’, adalah bahasa teologi penciptaan. Waktu Yesus meludah, mencampurnya dengan tanah, lalu mengoleskannya pada mata orang buta itu, Dia mau menyatakan ‘inilah, Sang Pencipta ada di sini, yang menyempurnakan ciptaan, yang melakukan re-creation’. Mengapa? Karena dalam ciptaan yang pertama, orang lebih suka hidup dalam kegelapan, dalam penipuan diri, dusta, kebohongan, ketidak-jujuran, dalam self-defense mechanism, dalam keadaan yang tidak ada compassion, tidak ada belas kasihan, dsb. Sekarang Yesus datang menyatakan terang, Yesus ingin membangkitkan, Yesus ingin mencelikkan, supaya kita boleh berjalan di dalam terang, di dalam kebenaran.
Ayat 7, Yesus berkata kepadanya: "Pergilah, basuhlah dirimu dalam kolam Siloam. " Siloam artinya: "Yang diutus." Waktu Alkitab memberi keterangan seperti ini, selalu ada maknanya. Alkitab tidak pernah sekedar memanjang-manjangkan tulisan. Waktu Alkitab menambahkan satu kalimat ‘Siloam artinya “Yang diutus” ‘, apa yang mau disampaikan kepada kita? Orang yang familiar dengan Perjanjian Lama akan teringat cerita tentang Elisa yang mengutus Naaman ke Sungai Yordan. Naaman diutus pergi ke Sungai Yordan lalu disembuhkan dari sakit kustanya. Kita tahu, Elisa adalah tipologi yang menunjuk kepada Yesus Kristus, sebagaimana Elia adalah tipologi Yohanes Pembaptis. Maka di sini Yesus mau menunjukkan bahwa inilah penggenapannya, yang lebih komplit, lebih penuh, lebih pleroma daripada yang dilakukan Elisa terhadap Naaman; di sini Yesus mengutus orang buta ini ke Siloam –ada motif air yang sama, satunya sungai, satunya kolam—seperti Elisa mengutus Naaman. Namun juga, kalimat “Yang diutus” dalam pengertian yang lain, menyatakan bahwa Yesuslah yang diutus oleh Bapa. “Siloam artinya ‘yang diutus’, dan yang ada di sini adalah Spiritual Siloam”, demikian dikatakan Chrysostom. Yesuslah sebenarnya yang diutus, bukan Siloam itu. Yesus sendiri adalah Siloam, yang diutus dari Bapa. Diutus ke mana? Dia datang menghampiri umat Israel, umat manusia. Dan kalau kita teruskan, orang buta ini juga bisa menjadi orang yang diutus; inilah posisi Saudara dan saya, yang seharusnya seperti Kristus, diutus oleh Bapa ke dalam dunia.
Apa sebenarnya artinya seseorang yang tadinya buta lalu dicelikkan? Pertama, dia bisa melihat bahwa dirinya adalah yang diutus; diutus untuk disembuhkan terlebih dahulu. Kedua, dia bisa melihat bahwa yang mengutus dirinya adalah Dia, Yang diutus –The Sent One, sent by The Holy Father—yaitu Yesus Kristus, Sang Anak. Ketiga, dia melihat bahwa dia sendiri seharusnya diutus; ini berbeda dengan pengutusan yang pertama. Pengutusan yang pertama berarti dia diutus untuk disembuhkan, jadi benefit-nya untuk dia sendiri; sedangkan pengutusan yang ketiga, waktu Tuhan mengutus kita ke dalam dunia masuk ke tengah-tengah serigala. Lalu, waktu Saudara pergi ke dalam dunia, apa yang Saudara lihat? Kemungkinan cari uang sebanyak-banyaknya dan bagaimana jadi orang yang makin lama makin kaya makin mapan? Kalau itu yang kita lihat, berarti kita buta, kita seperti belum dicelikkan. Itu sebabnya di sini bukan masalah hitam putih.
Kalau bicara hitam putih, saya yakin sebagian besar dari kita yang disini setidaknya akan mengatakan: “Saya bukan buta, saya sudah dicelikkan di dalam Yesus Kristus”; tapi betulkah kita sudah benar-benar dicelikkan oleh Yesus Kristus? Betul jawabannya, tapi apa yang Saudara dan saya lihat? Apakah kita melihat diri kita sebagai yang diutus ke tengah-tengah dunia untuk menemukan orang-orang buta yang lain, seperti Yesus yang lewat saja namun Dia juga bisa melihat orang buta ini, yang sejak lahirnya di dalam keadaan tidak bisa keluar dari persoalannya? Apakah ini yang kita lihat?
Kiranya Tuhan memberkati kita, kiranya Tuhan menolong kita, kiranya Tuhan memberikan kepada kita kepekaan, kiranya Tuhan memberikan kepada kita penglihatan sebagaimana Tuhan melihat.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading