Tahun ini Natal jatuh di hari Minggu, 25 Des. Kemarin kita merayakan bersama-sama mengenang di GRII Pusat. Kalau Saudara membaca berita, akhir tahun ini banyak sekali sad news. Saudara boleh pikirkan sad news mana. Banyak sekali, terlalu banyak mungkin sampai kita nggak bisa sebut, semuanya komplit. Either, attack yang ada di Berlin atau semacam pasar kembang api yang meledak di Meksiko, di Turki, lalu Aceh gempa. Yah, di dalam skala yang lebih kecil, teman saya di Singapore, dia bukan orang Reformed, dia dari denominasi lain, tapi kita berteman cukup lama dan dia tiba-tiba message saya di Facebook, “Hai pastor, tolong doakan saya, saya kena pecat, ini dikasih pemberitahuan kira-kira 4 / 5 hari sebelum merayakan Christmas.” Lalu saya respon “so many sad news at the ends of this year.” Lalu kita merayakan, ini gimana ya? Satu sisi merayakan, sisi lain sad news. Kombinasinya bisa macam-macam. Salah satu cara mengkombinasikan adalah pura-pura tidak ada sad news. Itu peduli amat. Mau apa lah, mau sana lah, mau di Berlin, mau di Turki, mau Aceh, kita kan Kelapa Gading tidak apa-apa, ya, kita tetap celebrate dong. Jangan diganggu saya punya kesukacitaan sama kedukacitaan yang ada di sana, itu nggak ada urusannya. Saya lagi mau sukacita, ya saya sukacita; dukacita ya di sana, itu urusannya mereka, mereka dukacita. Ya itu salah satu cara combine juga ya, salah satu cara mengintegrasikan. Meaning: nggak ada integrasi. Lu situ, ya situ; sini, ya sini. Atau bagaimana ya? Memang sulit kan ya, kalau kita mau mengkombinasikan antara satu sisi perayaan, sisi yang lain dukacita. Bagaimana ya merenungkan bagian ini? Mungkin nggak, kita bisa tertawa sekaligus menangis atau menangis sekaligus tertawa? Kan memang nggak bisa.
Ini salah satu berita natal yang terus saya renungkan di dalam bulan-bulan terakhir ini bagaimana kita merenungi Natal di dalam saat seperti ini. Yang pasti, menghilangkan suasana celebration sama sekali di dalam Natal, itu nggak mungkin. Natal juga bukan sesuatu yang kita harus rayakan dengan lamentasi. Lamentasi dan merayakan sekali lagi seperti nggak compatible. Natal itu bukan sesuatu yang kita harusnya commemorate dengan lamentasi/ ratapan. Memang bukan. Berapapun kita sering mendengar kalimat-kalimat yang diberitakan dari mimbar dan tentu saja kita setuju, kita sepakat yaitu bahwa Natal itu pada dasarnya bukan pohon Natal, Natal itu pada dasarnya bukan tukar-tukar kado, Natal bahkan bukan reuni-reuni keluarga saja. Natal it’s not just about giving kado sini dan sana. Betul, Natal itu bukan belanja-belanja dapat diskon, kita dengar banyak sekali kalimat seperti itu. Betul, memang Natal bukan tentang itu tapi itu sama sekali tidak boleh hadir di dalam Natal, ya susah juga. Lebih susah lagi dan lebih aneh lagi kalo Natal itu merataplah. Natal saya musti meratap? Natal, saya musti berdukacita? Natal musti menghilangkan semua aspek sukacita?
Waktu kita baca di dalam Alkitab, kita sendiri juga nggak baca itu. Ada malaikat di surga yang menyanyi, memberikan kabar sukacita itu kepada para gembala. And yet waktu kita membaca, termasuk di dalam Nyanyian Pujian Zakharia, lagi-lagi gambaran paradoks. Paradoks tentang apa? Satu sisi celebration — God’s miracles deed –. Zakharia yang tadinya bisu, sekarang bisa menjadi bicara. Wah, ini perbuatan besar kan ya. Saudara bayangin, bisu, tiba-tiba bisa bicara lagi. Ini satu pekerjaan Tuhan. And yet di sisi yang lain kita membaca ada aspek perenungan kontemplasi –quite pondering– yang nggak bisa digeser juga dari berita natal. Ada malaikat di Surga yang bersorak-sorai lalu waktu gembala-gembala itu datang di hadapan palungan. Mereka kira-kira berdansa-dansa? Kita nggak baca cerita seperti itu. Gambaran yang lebih masuk akal, kalau seandainya kita mendramakan, mereka merenung-lah di situ. Ada satu lagu Jerman yang tua, Bach bikin harmonisasinya. Judul aslinya “Ich steh an deiner Krippen hier” / Saya berdiri di sekitar palunganMu (Paul Gerhardt). Lalu ngapain? Ya merenung. Natal yang cuma ada celebration, natal yang cuma ada sorak-sorai saja, yang cuma dengar suara sorak-sorai tapi nggak ada perenungan, itu menjadi Natal yang sangat dangkal. Tapi di sisi yang lain kita juga tidak mengajarkan kepada Saudara, hilangkanlah semua pohon Natal, tukar kado, bahkan nggak usah reuni-reunian keluarga, nggak usah makan sama sekali, kalau perlu puasa pada hari Natal, begitu ya. Kita nggak mengajarkan itu, itu kekristenan aneh kali ya. Tapi yang kita menekankan kepada Saudara adalah jangan lupa di dalam suasana sukacita, di tengah-tengah gambaran memang banyak pesta/ festive / celebrative jangan lupa contempt break, jangan nggak merenung. Orang yang nggak merenung hidupnya jadi dangkal terus dia sangat tergantung dari stimulus-stimulus luar waktu dia bersukacita.
Satu teolog (pengkhotbah) yang coba untuk bicara kalimat waktu setelah ada Berlin attack itu ya. Dia bilang kalimat yang nggak enak didengar, “sekaranglah kita betul-betul merenungkan itu apa artinya Peace on Earth. Justru semakin relevan kita ngomong Peace on Earth.” Offends bukan ya? “Lu enak sih, keluarga lu nggak ada yang tertabrak di sana. Lu tinggal ngomong peace on earth karena lu memang benar-benar peacefull. Kita ini lagi susah, kayak gini, ada yang mati dsbnya.” Ini bisa bikin orang marah, kalimat seperti ini. Betul peace on earth, yang penuh dengan tandatanya juga. Ini instropeksi juga bagi manusia. Dari sisi Tuhan, Gloria in excelsis Deo, peace on earth kepada mereka yang berkenan kepadanya, kepada mereka yang hidup berkenan kepadanya. Ada tandatanya-nya. Kamu ada peace on earth nggak? Hidup berkenan nggak di hadapan Tuhan?. Lalu nggak ada peace, lalu menyalahkan Tuhan. Kenapa nggak ada peace on earth? Hidup berkenan nggak di hadapan Tuhan? Peace on earth kepada mereka yang hidup berkenan kepadanya atau peace on earth tanda tanya juga di dalam pengertian What kind of peace?. Peace yang seperti apa? Peace kalau semua keluarga reuni komplit, umur panjang. Kalau ada keluarga yang mati jadi nggak peacefull, begitu. Itu your definition of peace. Tadi kita membaca ada 2 anggota keluarga di tengah-tengah kita yang dipanggil Tuhan. Kita masih bisa bicara tentang peace on earth nggak ya? Atau ini menjadi berita, seperti tadi, “lu enak ya, tinggal ngomong aja, nggak ada keluarga yang mati, maka lu bilang peace on earth; gua setengah mati, nggak ada peace di sini”. What kind of peace? Damai sejahtera yang seperti apa yang kita mengerti? Semakin relevan ya, berita Natal.
Saya mengikuti kalender gereja mengatur ayat-ayat Alkitab, minggu ini kotbah apa, minggu ini kotbah apa. Saya mengikuti dari pilihan-pilihan itu dan pada tgl. 24 Des malam, ini bukan untuk 25 Des Nyanyian Pujian Zakharia; tapi ayat Alkitab yang boleh direnungkan, di Christmas Eve’s Service. Saya pakai ayat ini untuk perayaan pada tgl 25 Des hari Minggu pagi, ada matahari. Nggak ada candle light, nggak apa-apa juga. Karena candle light sama seperti pohon Natal, juga bukan substance. Karena Natal kan bukan cuma suasana. Sekali lagi, suasananya kita suruh semuanya minggir, nggak mungkin. Tapi yang pasti Natal bukan cuma sekedar suasana. Tapi banyak orang cari suasana di dalam Natal. Termasuk juga suasana religious, itu yang mengkhawatirkan.
Kita di ASJ (Aula Simfonia Jakarta) juga ada konser, kita ada pilihan mau menyajikan lagu yang seperti apa. Saya bukan judgemental. Tapi kalau kita memilih lagu yang secara konten itu teological deep, ada kedalaman teologis, tapi lagunya kayaknya kurang ada suasana gitu ya, nggak menggigit suasananya, saya nggak berasa kayak ada salju-salju di sini. Lagu sih teologically deep, nggak lihat colorful, kalau saya merem, gelap jadinya, nggak lihat colorful picture. Sebaliknya mungkin orang-orang waktu memasukkan lagu-lagu instrumental. Saya bukan against instrumental music. Pam… pam… pam… ra… ti…di… dam… pam… ti… ri… di… dam…pam…, wah ini Natal. Apa sih yang kamu belajar dari situ?. Nggak ada kata-katanya kok itu. Tlik … tlak… tlik … tuk… tlik.. tlak… tlik… tluk.., ada dokar (Sleigh Ride). Saya nggak usah terusin, Saudara mulai berkembang juga kan imajinasinya. Ya gambaran seperti itu orang cari, gambaran suasana natal tanpa kontemplasi, tanpa meditasi dan very lacking of substancial content. Nggak ada atau katakanlah minim sekali. Maka waktu kita merenungkan bagian tentang paradoks yang ada di dalam Natal; satu sisi sukacita, di sisi yang lain kita nggak bisa tutupi, ya hidup ini ada penderitaan whether di dalam mikrolevel atau makrolevel, di dalam berita headline dunia atau seputar famili saya, keterhilangan dsb-nya.
Saya tertarik dengan lukisan ini. Saya baru sadar bahwa lukisan ini (Nativity with Saints by Ortolano) juga ada kemiripan dengan lukisan yang jauh saya lebih kenal dari Raffaelo (Madonna del Prado/ Madonna of the Meadow). Saya tertarik dengan hadirnya Salib di situ, yang sepertinya nggak cocok di dalam cerita Natal. Sebenarnya terlalu pagi masuk, perspektif Salib. Ada kemiripan dengan Madonna del Prado-nya Rafaello. Bedanya kalau di dalam lukisan ini (Nativity with Saints), dipegang oleh Yohanes Pembaptis, lalu di sini (Madonna del Prado), dua-duanya pegang. Ini bisa multi-tafsir. Waktu dipegang oleh Yohanes Pembaptis, misalnya di dalam bagian ini (Nativity with Saints), mungkin kita bisa tafsir, bukan cuma Yesus yang harus pikul salib,Yohanes Pembaptis-pun juga pikul salib. Or perhaps ini adalah suatu offering, Yohanes Pembaptis mau menyerahkan Salib ini kepada Yesus karena Yesus akan segera pikul Salib. Dan di sini (Lukisan Madonna del Prado) dipegang oleh kedua-duanya, both Yohanes Pembaptis dan Yesus Kristus, sama-sama memikul Salib dan termasuk juga Saudara dan saya. Salib Kristus itu unik, tidak bisa kita pikul. Yesus mati di atas kayu Salib, mengampuni dosa-dosa kita. Nggak ada orang yang bisa melakukan itu. Salib kita bukan Salib itu. Tapi kita nggak lepas dari pada salib kita sendiri.
Poin saya adalah Natal yang penuh dengan sukacita (celebration/festive, mood/ suasana dsbnya), tidak salah. Sekali lagi itu bukan sesuatu yang salah. Tapi jangan kehilangan perspektif Salib. Karena Natal nggak bisa dimengerti tanpa Salib. Demikian juga Salib itu merupakan kontinuasi dari cerita Natal, inkarnasi — gerakan ke bawah –. Yesus ke bawah, ke bawah sampai mana? Sampai neraka. Karena Yesus mengalami siksaan neraka di atas kayu Salib. Itu gerakan inkarnasi. Yesus akrab sekali dengan penderitaan. Yesus sangat akrab dengan apa yang disebut dengan inkarnasi bukan hanya di dalam Natal, tapi di dalam sepanjang kehidupannya adalah perendahan demi perendahan demi perendahan. Jadi sebenarnya nggak harus terlalu sulit meng-combine tadi ya, dukacita-sukacita, sukacita-dukacita. Bagaimana saya musti merayakan Natal juga termasuk dengan berita-berita dukacita yang seperti ini. Bagaimana saya musti mengintegrasikan?
Waktu kita melihat dua-dua lukisan ini, baik dari Rafaello dan juga lukisan yang ada di tangan Saudara (Nativity with Saints), lukisan yang mungkin nggak seterkenal Rafaello, kita melihat di situ ada paradoks ini, pradoks antara sukacita –siapa yang nggak sukacita, anak lahir–, tapi juga ada salib. Sudah mulai sudah ada bayang-bayang Salib — dukacita, penderitaan, lamentasi/ratapan, keterhilangan–, itu sudah hadir di dalam peristiwa Natal sebetulnya. Yesus nggak lama setelah itu, setelah Herodes mendengar, Yesus sudah mau dibunuh. Ini bayi baru lahir, sudah mau dibunuh oleh Herodes. Terus melarikan diri ke Mesir. Berita Natal tidak bisa tanpa cerita ini. Nggak bisa tanpa cerita dukacita itu. Nggak bisa tanpa cerita teror itu. Nggak bisa tanpa cerita kekerasan dsbnya lalu terus kita masuk dalam gambaran utopia. Gambaran-gambaran yang to good to be true, very idealistic. Makanya nggak heran orang lebih suka mendengarkan musik Natal, mungkin bukan mau dapat gambaran realistic tapi gambaran utopia kayak begini — gambaran idealis nggak jelas itu, bagus sih bagus–. Saudara pernah lihat Thomas Kinkade?. Waduh, sangat romantis, kita seperti kepengen ada di sana. Tapi kita cari, tempat kayak gitu ada di mana, di dunia? Mungkin nggak ada. Itu utopia — gambaran damai sejahtera–. Saya bukan against pelukisnya. Tapi beautiful, ada orang seperti ini, mengingatkan kita. Ini semacam sindiran juga tentang kehidupan. Kayak saya kepengen punya rumah yang kayak gini, taman kayak begitu, warna bunga dsbnya, lalu kita membayangkan di dalamnya lagi makan ayam kalkun/turkey lagi Thanksgiving dsbnya dengan reuni keluarga, waduh, kayaknya indah sekali gitu ya. Gambaran kayak begitu, orang suka sekali waktu merenungkan Natal di dalam gambaran-gambaran seperti ini: romantis, idealis dsbnya. Tapi whether itu sesuatu yang realistis atau tidak, it’s another question, itu pertanyaan yang lain lagi.
Kita sudah sering mengkhotbahkan bahwa di dalam Injil Lukas ada paralel yang sangat kuat antara Yohanes Pembaptis dan Yesus. Mulai dari pemberitahuan tentang Kelahiran. Yohanes Pembaptis – Pemberitahuan Tentang Kelahiran Yesus. Lalu kelahiran Yohanes Pembaptis – Kelahiran Yesus Kristus (Injill Lukas). Satu lagi, Nyanyian Pujian Maria, terbalik atau nggak ya? Nyanyian Pujian Maria – Nyanyian Pujian Zakharia, atau terbalik, Nyanyian Pujian Zakharia – Nyanyian Pujian Maria? Yang mana lebih dulu?. Sekali lagi, paralel Yohanes Pembaptis dan Yesus, Yohanes Pembaptis dulu kan ya? Maka pemberitahuan Kelahiran Yohanes Pembaptis – pemberitahuan tentang Kelahiran Yesus, lalu mustinya Nyanyian Pujian Zakharia – Nyanyian Pujian Maria, begitu kan ya? Tapi tidak, Nyanyian Pujian Maria terlebih dahulu. (Saya sudah bahas itu di PA Wanita. Nggak akan mengulang lagi). Nyanyian Pujian Maria, setelah itu Nyanyian Pujian Zakharia. Kenapa nggak Nyanyian Pujian Zakharia dulu, baru Nyanyian Pujian Maria? Kalau betul-betul rapi, harusnya Nyanyian Pujian Zakharia (benedictus) celebrating/ thanksgiving terhadap kelahiran Yohanes Pembaptis. Nyanyian Pujian Maria (magnificat) ini adalah celebrating kelahiran Yesus Kristus. Tapi tidak, yang kita baca adalah Nyanyian Pujian Maria celebrating kelahiran Yesus Kristus, Nyanyian Pujian Zakharia celebrating Yesus Kristus.
Kalau Saudara baca di dalam Nyanyian Pujian Zakharia, itu jelas sekali di dalam first part dalam Nyanyian Pujian Zakharia, itu berkonsentrasi fokusnya ada pada Kristus bukan kepada Yohanes Pembaptis. Yohanes Pembaptis cuma disebut di bagian belakang dan itu pun singkat. Ini sudah menubuatkan, menggambarkan — seperti kita sudah sharing-kan– yang selalu menunjuk kepada Kristus. Panggilan gereja yang seharusnya selalu menunjuk kepada Kristus, mempermuliakan Kristus bukan mempermuliakan diri sendiri, bukan mempermuliakan teologi sendiri, bukan mempermuliakan denomisasinya sendiri dst, dstnya tapi mempermuliakan Kristus. Zakharia di dalam nyanyian pujian yang tadi kita sudah baca bersama-sama, memuji tentang keselamatan yang dari Tuhan, bukan keselamatan oleh Yohanes Pembaptis tetapi keselamatan oleh Yesus Kristus.
Kita sudah pernah mengatakan di PA Pemuda, — ini prinsip integratif– di dalam pujian ada pengajaran. Pengajaran yang baik membawa orang untuk memuji Tuhan. Yang kita baca di dalam Alkitab adalah di dalam pujian, di dalam kuasa pujian, itu kalau Saudara membaca baik di dalam Nyanyian Pujian Maria – Nyanyian Pujian Zakharia, Saudara mendapatkan pengajaran, ini bukan lacking of pengajaran. Ada pengajaran, nggak perlu didualismekan. Di sisi lain, di dalam pengajaran-pengajaran itu seharusnya membawa orang kepada Doksologi. Paulus menulis Surat Roma 11 pasal bahas teologi yang luar biasa kompleks dan sangat dalam. Terakhir dia mengakhiri dengan Doksologi. Ia berhenti dengan doksologi. Paulus tulis teologi Pasal 1 – 11, lalu terus waktu dia bicara Doksologi di akhir Pasal ke 11, dia nggak bilang yang tadi saya ngomong itu kalau dibandingkan dengan Doksologi ini nggak ada artinya seperti jerami, Paulus nggak pernah ngomong itu. Paulus mengintegrasikan, merelasikan antara pengajaran dan pujian.
Lalu di sini kita baca Zakharia, Lukas mengintegrasikan pujian dan pengajaran. Baru di sini kalau kita merenungkan bagian ini, gereja akan menjadi gereja yang diberkati, bukan gereja dualisme. Pengajaran-pengajaran-pengajaran tapi nggak membawa orang kepada Doksologi, nggak ada kekaguman, berhenti di situ saja, nggak membawa orang kepada kekaguman yang lebih dalam akan Tuhan. Nggak ada sense of the presence of God, begitu saja. Tapi di sisi lain, pujian – pujian – pujian masuk ke dalam suasana hati bahkan sampai keluar air mata. Kenapa kamu nangis? Saua tersentuh, tersentuh apa? Tersentuh sesuatu. Apa itu sesuatu? Susah dijelaskan. Sesuatu itu misteri. Kita nggak baca prinsip itu di dalam Nyanyian Pujian Zakharia. Yang kita baca adalah kita bisa mempelajari betul-betul sesuatu itu apa dan kita betul-betul bisa mengartikulasikan dan ini yang harusnya kita pelajari di dalam berita natal.
Lalu apa yang kita sebut salah satu yang pertama adalah gambaran Zakharia yang tetap konsentrasi kepada Yesus Kristus; seluruh Israel? Visi Kerajaan Allah? Dan bukan terbuai, excited dengan kelahiran anaknya sendiri. Ini peristiwa besar loh, Elisabeth itu sudah tua dan mandul. Ini tiba-tiba ada anak lahir. Siapa yang nggak senang? Di dalam keadaan seperti ini, untuk tidak menjadi Narcissistic/lupa diri dengan kelahiran anak yang sudah ditunggu-tunggu, itu susah. Di dalam keadaan seperti ini masih punya visi Kerajaan Allah, itu susah. Nggak percaya? Coba aja, waktu kita birthday kita merayakan, pembicaraan apa sih yang terjadi di sana?. Feeling kita sendiri bagaimana? Ini pertanyaan sederhana, waktu ada birthday, itu seluruh pesta revolve around of you atau around the Kingdom of God?. Kayaknya yang pertama ya? Termasuk juga pendeta ya, nggak perkecualian, kita tidak ada yang kebal. Gampang sekali di dalam gambaran seperti itu, berpusat kepada diri sendiri. Terus kita justified, “saya kan tidak tiap hari, senang-senang kayak begini. Saya nggak tiap hari pesta kayak begini, kalau saya tiap hari ya salah, saya benar-benar Narcissistic habis. Ini kan setahun sekali, nggak papa lah, revolving around me, setahun sekali, kan ada waktu yang lain kok. Sebetulnya Zakharia juga bisa bilang kalimat seperti itu. Kali ini revolve around my family, juga ok dong. Karena Yohanes Pembaptis, Elisabet tua mengandung. Tapi Saudara tidak akan ketemu, saya pikir, lukisan yang menggambarkan gambaran kayak begini yang kehilangan fokus Yesus Kristus. Sejauh pengetahuan saya nggak ada lukisan Elisabet, lalu Zakharia, Yohanes Pembaptis, terus pelukan-pelukan mereka bertiga tanpa ada Yesus Kristus, nggak ada Maria, nggak ada Yusuf, dsbnya. Jadi meaningless. Yohanes Pembaptis so meaningful, posisinya so meaningful di dalam Kerajaan Allah karena Yesus bukan karena dirinya sendiri. Zakharia, waktu memuji Tuhan, itu pujiannya so meaningful karena Yohanes Pembaptis yang meaningful karena Yesus Kristus. Still, Yesus Kristus.
Dan Zakharia, waktu Saudara membaca dia di dalam bagian-bagian pertama, menggambarkan Tuhan itu sebagai pembebas (God as deliverer). Waktu kita merenungkan bagian ini, kita nggak bisa merenungkan tanpa ada presaposisi keterikatan. Ini berita yang nggak relevan untuk orang yang merasa nggak terikat. Kalau Saudara tinggal di Mesir waktu itu ya, orang Israel, terus habis itu dijajah –in bondage–, God as deliverer, wah langsung resonans. Memang kita perlu deliverer tapi sekarang tahun 2016, God as deliverer. Sekali lagi, pertanyaan yang pernah saya lontarkan minggu lalu, bebas dari apa?
Ini pengulangan sekali lagi di dalam berita Natal, waktu di sini dikatakan masih dalam Nyanyian Pujian Zakharia; Zakharia memberitakan tentang knowledge of Salvation pengertian akan keselamatan yaitu Forgiveness of Sin/ Pengampunan Dosa. Pengampunan dosa yang nggak akan menjadi relevan untuk orang-orang yang nggak tertarik untuk bertobat. Bukan karena kita menekankan Sola Gratia (saved by grace). Karena Sola Gratia, yaitu Saved by Grace, memang by grace (Soli by Grace), lalu kalau begitu forgiveness of sin masuk dulu, lu bertobat nggak bertobat pokoknya terima dulu pengampunan dari Tuhan. Nanti setelah kamu terima, kamu toh akhirnya akan bertobat juga. Sudah, terima Yesus dulu saja. Lu mau bertobat, nggak bertobat, terima Yesus, terima pengampunanNya. Setelah itu toh, mudah-mudahan sih kamu bertobat. Kenyataannya tidak bertobat. Orang yang seperti ini akan mengganggap murah pengampunan dosa yang dari Tuhan. Nggak relevan pengampunan. Pengampunan itu cuma untuk orang yang menyesal, untuk orang yang ada repentance. Ada pertobatan sejati baru bicara tentang pengampunan dosa. Kalau dia sendiri nggak merasa berdosa, nggak merasa ada perlu pengampunan. Knowledge of Salvation – Forgiveness of Sin. Apanya yang mau di-forgive? What sin again? Saved from what? Forgiveness of Sin, what sin? Dosa apa? Nggak bisa jawab, orang itu. Karena dia tidak tertarik untuk dibebaskan dari itu.
Lalu masih bicara Forgiveness of Sin, saya paling takut sama orang yang Kristen yang self-righteouss, paling takut. Paling keras hatinya. Saya bukan mau merelativisasi semua dosa. Semua tahu, kalau dalam pembicaraan Pdt. Jadi bahas tentang Seven Deadly Sin. Kalau Saudara baca dalam tradisi Miedival seperti ada rank-nya. You might wonder, Saudara tangkapnya musti dewasa, jangan diputar balik akhirnya menghancurkan dirimu sendiri. Mereka mulai dari lust, terus yang terakhir pride. Itu yang paling-paling menakutkan, pride. Kita bukan bilang lust yang paling bawah itu, ini dosa kecil, nothing, jatuh sesekali nggak papa, tujuh kali pun juga nggak papa. Nggak, saya nggak mengajarkan itu. Kita musti serius every sin. Tapi ada certain rank, yang paling-paling puncak itu namanya pride. Orang self-righteouss, itu dikuasai oleh pride.
Saya baru baca satu quotation dari Rev. Hill –seorang yang sangat diberkati Tuhan, dia seorang revivalist–, dia bilang kalimat seperti ini “the self-righteouss never apologize,” orang self-righteouss itu nggak pernah minta maaf, nggak pernah say sorry karena nggak pernah rasa salah. Yang paling celaka sudah salah, rasa dia di-victimize, itu betul-betul hopeless.
Ada satu orang tulis di Facebook, mungkin bukan Kristen, tapi bagus, mungkin bijaksana dunia. Tapi dia bilang “akan ada waktu, di mana orang yang menyakiti kamu, justru pikir kamu yang sedang menyakiti dia.” Memang dunia ini sudah kacau balau. Orang bersalah kepada kita, malah dia rasa dia yang sedang dijahili. Kan, gendeng. Sudah nggak minta maaf, malah suruh orang lain yang minta maaf. Dia rasa dia yang di-victimize, dia yang jadi korban. Tapi Saudara jangan pakai ini, “memang saya berasa kayak gitu”. Jangan-jangan lu yang orang itu. Lu yang victimize yourself, padahal lu yang melukai orang lain. Lu sendiri menempatkan diri di posisi itu. Sama balik lagi ke situ. Memang, orang itu lebih peka waktu dia disakiti daripada menyakiti orang lain. Selalu gampang rasa diri jadi victim nggak sadar bahwa dia victimize orang lain. Tapi orang Kristen yang seperti ini so self-righteouss, never apologize; balik lagi ke Nyanyian Pujian Zakharia, terus waktu Lukas mencatat, knowledge of salvation, forgiveness of sins, sins apa ya? Sins yang mana? Nggak minta maaf, nggak apologize, nggak ada say sorry dsbnya, nggak ada penyesalan, selalu rasa saya victim, saya adalah orang yang jadi korban. Bukan saja tidak minta maaf tapi malah pikir adalah dia jadi korban. Ini gambaran kayak begini, teknik tinggi sekali karena jadi korban seperti kayak di bawah. Ini tinggi sekali seni keberdosaan seperti ini. Sekali lagi, orang namanya divictimize, itu posisinya yang powerful atau powerless? Powerless kan pasti kan ya, di bawah gitu pasti kan. Nggak ada orang victimize, di atas. Orang yang posisi divictimize, ya di bawah. Waktu di bawah, dia menyatakan bahwa dia itu self-righteouss sebetulnya. Ini di atas, bukan di bawah tapi di dalam fenomena look seperti kelihatan di bawah.
Tapi Yesus menjadi bayi, menjadi kecil. Susah ya melihat kekecilan Yesus karena kita sendiri juga kayaknya susah untuk melihat kekecilan kita. Kita lebih cenderung mau jadi besar daripada jadi kecil. Apa sih urusannya ini? Kayak disambung-sambungi kecil-kecil, besar-besar. Orang nggak bisa melihat kekecilan tanpa perspektif kecil. Saya tertarik sama satu ekspresi bahasa Jerman, mereka suka bilang, kira-kira terjemahannya “di dalam pandangan mata (horizontal) yang sama.” Kita ngerti anak kecil, lihat dari atas, susah perspektifnya; lihat anak kecil dari perspektif matanya dia, sejajar. Ayub waktu dia menderita, itu teman-teman dia, penghiburannya luar biasa, meskipun nggak perfect, ada kelemahan juga, tapi waktu Ayub di dalam lamentasi/ ratapan, itu teman-temannya Ayub duduk bersama dengan dia, mau melihat penderitaan Ayub, bukan dari perspektif atas dia berdiri, Ayub duduk. Melihat dari same horizon.
Ada orang bikin cinematography taruh di Contemporary Museum. Itu orang bikin rekaman, kameranya itu dari angle anak kecil. Waktu ada tembok, dia nggak bisa lihat, waduh nggak enak sekali lihat itu pandangan film. Kok gini ya? Ini apa, itu di balik tembok itu. Lihat orang dewasa melihat ke atas semua. Ini apa-apan kayak begini? Kita nggak biasa dengan nonton film kayak gitu. Kita lebih suka yang ber-eye-view, padahal nggak bisa terbang juga sih sebenarnya. Kita lebih suka yang dari atas, dari gini dsbnya. Look down itu paling gampang, look up itu susah sekali. Tapi look up dari gambaran ini, kalau kita bisa mengerti anak kecil dari perspektif anak kecil, ya itu ngerti. Seperti ngerti anak kecil dari perspektif atas. Allah itu mau mengerti kita dengan menjadi seperti kita, the same level horizon, pandangan mata yang sama karena Dia menjadi bayi, karena Dia menjadi manusia. Ini dari perspektif manusia melihat manusia. Allah menjadi manusia, melihat manusia dari perspektif manusia bukan melihat dari perspektif Allah saja meskipun Allah itu Maha Tahu tapi dari perspektif manusia. Tapi di dalam ke-bayi-an Yesus, di dalam ke-kecilan-nya, kemungilan-nya; kita sendiri jangan-jangan kita yang manusia kita malah nggak ngerti Dia karena kita kehilangan our childlikeness. Ya,ini poinnya, maksud saya. Yesus bayi, nggak bisa dimengerti dengan perspektif orang dewasa dari atas, sudah berhasil, punya banyak achievements, jadi nggak ngerti bayi ini apa poinnya. “Memang sih saya dulu sudah pernah jadi bayi tapi masa itu sudah lewat, and thanks God sudah lewat. Saya nggak bergantung lagi kepada orang lain, sekarang saya bisa berdikari, bukan cuma berdikari; sekarang orang lain yang bergantung dengan saya, lah terus memahami makna Natal, –Yesus, ini Tuhan tapi bergantung dengan manusia– ini gimana ngertinya.” Kita sulit sekali mengerti Natal karena nggak punya same level of eye. Mata kita nggak sejajar.
Tapi jangan kehilangan childlikeness itu, babyness itu, saya nggak bilang cuteness, karena cuteness nggak ada prinsipnya di dalam Alkitab. Nggak terlalu berguna ngomong tentang cuteness. Babyness & Childlikeness, cuma orang childlike itu bisa melihat bayi Yesus. Orang majus, kita percaya mereka melihat di dalam level-nya bayi. Mereka bukan bayi. Gembala-gembala, itu mereka mungkin orang miskin, (Pdt. Stephen baru kotbah), kerja sampai malam, orang sederhana/ biasa mereka lebih gampang lihat Yesus, daripada Herodes yang biasa tinggal di istana, cuma bisa look down, dengan kebencian, dengan disguss, dengan keinginan untuk membunuh, chief priest dsbnya, orang-orang beragama itu banyaknya achievement juga di dalam hal agama; mereka nggak bisa lihat Yesus. Nggak relevan, Yesus untuk orang-orang seperti itu. Nggak tertarik mereka lihat itu. Berita Natal bukan untuk mereka karena mereka nggak punya same horizon. Nggak ada itu dalam kehidupan mereka. Maka sekali lagi, waktu kita kembali kepada cerita Nyanyian Pujian Zakharia. Kita merenungkan apa yang ada di dalamnya, Natal itu apa sih?
Poin terakhir, yaitu rujukan gambaran metafor tentang Sun/ matahari, tentang surya. Ini bukan kebetulan juga hari ini kita perayaan-nya kita tidak bisa ada candle light. Saya kemarin di PRII Harapan Indah menjelaskan keindahannya kenapa kita pakai lilin, candle in the dark. Ya, bukan cuma sekedar nuansa dan suasana, tapi ada teological meaning juga yang bagus kalau kita pakai lilin. Kita nggak ada kemungkinan pake lilin, nggak papa juga, sekarang Sun langsung direct, ini matahari. Kita juga bisa melakukan penjelasan teologis tentang Matahari yang juga tidak ada pada lilin. Ada yang ada pada lilin mungkin nggak bisa dijelaskan kalau kita metafor-nya pake Matahari. Tapi kita juga bisa menjelaskan pake matahari yang nggak ada pada lilin.
Ada beberapa-beberapa yang kita bisa kita katakan tapi saya mau konsentrasi ke satu saja yaitu Maleakhi 4:2. Karena Nyanyian Pujian Zakharia ini arguably dipengaruhi di dalam bayang-bayang dalam tradisi Maleakhi. Kalau Saudara membaca kitab Maleakhi, waktu membicarakan tentang Sun, biasa saudara bicara tentang apa? Metafor Sun. Allah disebut Sun of the Righteoussness. Maksudnya Sun itu apa? Again, kalau kita tafsir langsung secara kreatif yang nggak salah secara biblical, yang tetap teological correct kita bisa bicara misalnya: yah, matahari itu terangnya bukan dari yang lain tapi bersumber terang dari dirinya sendiri seperti Tuhan itu terang dari dirinya sendiri nggak perlu dari yang lain. Kalau kita nggak punya terang dari diri kita sendiri. Itu termasuk dalam metafor Sun. Tapi waktu saudara membaca dalam Maleakhi 4:2 melengkapi Nyanyian Pujian Zakharia, “Tetapi kamu yang takut akan nama-Ku, bagimu akan terbit surya kebenaran (Sun of Righteousness) dengan kesembuhan pada sayapnya. Kamu akan keluar dan berjingkrak-jingkrak seperti anak lembu lepas kandang.” Itu kaitan antara matahari dan kesembuhan. Agak jarang dibahas bagian ini. Tapi kita tahu dalam medis ada banyak penyakit yang sembuh karena matahari tapi jamnya tertentu, katanya. Waktu matahari terbit dari jam 6-8 bukan jam 12 siang yang pasti, bisa gosong. Itu vitamin D dsbnya, bagus untuk ini dan itu bahkan bisa menyembuhkan TBC dstnya. Kaitan antara sun dan penyakit dan kesembuhan, bukan sesuatu hal yang sampai orang tidak bisa mengerti. Medis bisa mengkonfirmasi hal itu. Tapi Alkitab juga mengkaitkan kaitan antara terang dengan kesembuhan.
Manusia di dalam keadaan sakit dan in bondage/ terkurung. Maka waktu Saudara membaca di dalam bagian ini, di dalam bagian Nyanyian Pujian Zakharia di situ dikatakan terang itu giving light to them that sit in the darkness. Orang yang duduk di dalam kegelapan, itu prison/ penjara kalau kita selidiki secara kritik motif. Lagi-lagi bicara tentang bondage. Jadi ini meneguhkan sekali lagi God as deliverer. Dia datang sebagai terang seperti matahari untuk penjara yang gelap itu, terus kemudian ada sinar masuk memberikan terang. Terang supaya apa? Seperti matahari memberikan kepada kita terang supaya Dia boleh guide, “to guide our feet in to the way of peace.” Terakhir, orang yang berjalan di dalam terang ada damai sejahtera yang sesungguhnya. Konflik nggak akan berhenti di dalam dunia ini karena dunia ada di dalam kegelapan. Orang yang di dalam kegelapan ada di dalam konflik nggak mungkin ada di dalam peace. Ini Alkitab, nggak mungkin salah. Kita mengharapkan peace yang seperti apa? Peace yang tanpa terang, itu nggak mungkin menurut Alkitab. Cuma terang yang bisa membawa orang berjalan di dalam jalan damai sejahtera/ the way of peace.
Saya ambil ilustrasi sederhana saja, kita kalau nggak ada lampu, jalan pun nabrak, nabrak orang lah, apa lah. Kita nggak bisa membedakan, nggak ada identifikasi, kita nggak bisa mengenal diri kita sendiri. Mengenal yang di sana juga nggak bisa. Ini sebetulnya siapa? Musuh atau lawan, atau kawan, musuh berapa jauh atau berapa dekat, kawan berapa baik, nggak ada diferensiasi itu, nggak mungkin sama sekali karena nggak ada terang. Cuma orang yang berjalan di dalam terang bisa menikmati apa artinya jalan damai sejahtera. Ada arah, karena ada terang maka ada arah. Karena ada terang baru bisa menunjuk. Saudara pernah menunjuk di dalam kegelapan nggak? Lihat itu, pertama orang sendiri tangannya menunjuk ke mana nggak tahu. Kita sendiri nunjuk apa, juga kita nggak jelas. Nggak ada poin menunjuk apa. Apanya yang ditunjuk. Yang melihat kita nunjuk apa juga nggak ngerti kita sedang menunjuk apa sebetulnya. Di dalam kegelapan nggak ada bahasa yang bisa dimengerti di situ. Kecuali orang hidup di dalam terang, the Sun of righteousness; heal our Soul, body and soul, akan disembuhkan. Penyakitnya apa? Penyakit berjalan di dalam kegelapan, penyakit keterkurungan. Orang yang menikmati kebebasan yang dari Tuhan adalah orang-orang yang betul-betul diberkati oleh Tuhan. Kiranya berita Natal, ada banyak poin yang bisa kita renungkan dari pada Zakharia, boleh kita hayati bukan cuma di dalam suasana Natal ini saja — maksudnya sampai awal tahun– tapi menjadi kehidupan yang nyata di dalam sepanjang umur hidup kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (EL)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading