Hari ini kita akan memikirkan satu tema penting: apa itu natur seorang yang percaya, seorang pelayan Tuhan. Dalam Alkitab bahasa Indonesia, LAI membagi bagian yang kita baca tadi menjadi 2 bagian. Saya sendiri percaya kedua bagian ini satu kesatuan, tidak ada perbedaan yang harus membaginya demikian jelas karena keduanya disatukan dengan tema yang sama, yaitu hubungan antara tuan dan hamba. Di ayat 13 kesepuluh orang kusta berteriak kepada Yesus, yang dalam bahasa Indonesia: “Yesus, Guru, kasihanilah kami”; tapi bahasa Gerika-nya bukan memakai kata ‘Guru’ melainkan ‘Master’ –”Yesus, Tuan, kasihanilah kami”. Jadi konsep ‘tuan’ menggabungkan kedua bagian Alkitab ini, maka saya percaya Lukas 17 bisa menjadi satu kesatuan yang indah, yang menceritakan tentang Kerajaan Allah dan hidup anak-anak Tuhan di dalam Kerajaan Allah.
Luk 17: 20-37 menceritakan kedatangan Kerajaan Allah. Konsep akhir zaman, konsep Kerajaan Allah, bukanlah sesuatu yang masih akan datang (future). Alkitab mengajarkan Kerajaan Allah itu sudah datang, walaupun juga bisa dikatakan masih akan datang; bahasa teologisnya: ‘the already and not yet coming of The Kingdom of God’. Kita hidup juga sudah di akhir zaman, bukan hidup mengharapkan nanti suatu hari ada akhir zaman dan kita masih jauh dari akhir zaman tersebut. Ayat 21 Yesus berkata bahwa tidak ada orang yang bisa mengatakan ‘Lihat, ia ada di sini atau ia ada di sana! Sebab sesungguhnya Kerajaan Allah ada [sudah hadir] di antara kamu’. Dia kemudian memberikan satu peringatan menggunakan analogi kisah Nuh (ayat 26), bahwa tidak seorang pun bisa mengantisipasi atau tahu kapan Kerajaan Allah akan datang –orang makan dan minum, kawin dan dikawinkan, sampai ketika Nuh masuk ke dalam bahtera, tiba-tiba air bah datang menghabiskan semua di zaman itu. Di ayat 28 Yesus memberikan analogi mengenai Lot; semua orang makan dan minum, membeli dan menjual, menanam dan membangun, sampai ketika Lot keluar dari Sodom, penghakiman Tuhan datang dan membakar habis semua orang di sana.
Kedatangan Kerajaan Allah yang kedua nanti sangat tiba-tiba, dan seperti zaman Nuh, juga zaman Lot, sifat kedatangan tersebut adalah penghakiman; dan tidak ada satu orang pun yang tahu mereka sedang dihakimi saat itu. Ini sangat berbeda dengan umat Tuhan. Umat Tuhan mengenal dan mengetahui rencana Allah. Umat Tuhan tahu apa yang harus mereka lakukan. Umat Tuhan dapat mempersiapkan apabila Kerajaan Allah datang. Kita hidup sebagai orang Kristen di dalam ‘already and not yet’; ‘already’ adalah kedatangan yang pertama, dan ‘not yet’ adalah kedatangan yang kedua dari Kerajaan Allah. Alkitab dalam Lukas 17:1-19 mengajarkan bagaimana orang Kristen harus hidup dalam zaman di antara kedua titik ini, di hadapan Allah dalam Kerajaan Allah yang sudah datang ini dan akan datang ini.
Ayat 1-6 menunjukkan fakta bahwa orang Kristen adalah orang yang masih bisa berdosa, masih bisa bersalah, masih perlu pengampunan. Oleh sebab itu ayat 1-6 mengajarkan bagaimana orang Kristen hidup secara horisontal di dalam persekutuan antara orang-orang percaya. Gereja adalah satu kumpulan yang unik; Gereja bukanlah neraka dan bukan surga. Gereja bukan surga karena Gereja bukan kumpulan orang yang sudah sama sekali tidak bisa berdosa lagi. Gereja juga bukan neraka karena Gereja bukan kumpulan orang yang terus menerus menikmati dosa dan tidak ada kesempatan untuk bertobat lagi.
Kita di dalam Gereja adalah kumpulan orang yang faktanya masih terus bergumul dalam dosa, tetapi dengan satu pengharapan, suatu hari akan dikonformasikan menjadi orang-orang yang sudah tidak bisa berdosa sama sekali lagi. Oleh karena itu, dalam Gereja penting bahwa yang berdosa harus ditegur. Gereja adalah kumpulan orang yang memiliki standar kebenaran/ standar kekudusan, maka orang yang sudah jatuh dari standar harus ditegur. Ini berarti dua hal; yang menegur adalah orang yang sendirinya mengejar kekudusan, yang sendirinya juga tidak bermain-main dalam dosa, yang sendirinya juga mengasihi Tuhan, yang rindu melihat kemuliaan Tuhan dinyatakan dalam Gereja. Di sisi lain, orang yang menegur juga adalah orang yang rela ditegur. Orang yang cuma bisa menegur tanpa mau ditegur, adalah orang yang jauh dari kesempurnaan, orang-orang yang legalis, orang Farisi, yang jauh dari kasih karunia Tuhan. Gereja adalah kumpulan orang yang saling memperhatikan. Bila ada saudara yang berdosa, kita harus menegur; kita pun dituntut untuk hidup kudus dan juga rela ditegur.
Dalam Gereja ada disiplin Gereja. Ini satu hal yang unik, tapi orang zaman ini mungkin merasa bukan sesuatu yang penting. Disiplin Gereja yang paling, paling akhir, adalah meng-ekskomunikasi-kan seseorang dari persekutuan orang percaya, mengucilkan, bahkan mengusir keluar. Pada zaman dulu, 500 tahun yang lalu, dikucilkan Gereja itu menakutkan sekali karena ada satu konsep bahwa tidak ada keselamatan di luar Gereja. Tapi pada zaman ini, kalau orang berdosa ditegur dan terus-menerus tidak bertobat lalu akhirnya tidak bisa tidak dikeluarkan dari gereja, dia tinggal cari gereja sebelah. Gereja yang sejati adalah Gereja yang berani menegur dan mendisiplin anggotanya. Tugas kita sebagai anggota Gereja, bukan cuma saling memperhatikan tapi juga saling menegur, dan mengampuni bila orang tersebut bertobat. Oleh sebab itu di hari Minggu Saudara bukan cuma menikmati ibadah mendengar Firman Tuhan, tapi juga menikmati persekutuan, bahkan juga di hari-hari lain.
Ayat 7-19 bersangkut-paut dengan hubungan orang percaya secara vertikal dengan Tuhannya, dilukiskan dalam hubungan seorang hamba dengan tuannya. Seorang Kristen yang sudah dibebaskan dari dosa bukanlah seorang yang lalu menikmati hidup sebebas-bebasnya seakan-akan dialah tuan atas hidupnya sendiri. Kita hari ini dikondisikan untuk hidup yang akhirnya secara tidak sadar menjadi tuan atas diri kita sendiri. Kita mungkin tidak menganggap diri ateis, setidaknya secara filosofis, yaitu tidak percaya adanya pribadi Tuhan. Tapi seringkali orang Kristen hidupnya menjadi ateis praktis, atau paling sedikit deis secara filosofis, yaitu tahu Tuhan ada tapi tidak campur tangan dalam hidupku, Tuhan ada tapi nun jauh di sana, tidak lagi ada fungsinya atau ada interaksinya di dalam hidupku.
Anak saya di Amerika sekolah di sebuah public school yang cukup konservatif. Tapi ketika saya menghadiri kelulusan anak tersebut, saya melihat satu video yang dibuat angkatan mereka. Dalam video itu ada banyak hal dimasukkan –kata-kata, harapan-harapan mereka, dsb.– dan di situ ada kata-kata “believe in yourself; believe in your own future; you can do it as long as you believe in yourself’. Saudara, ini bukanlah satu kata-kata yang innocent, ini kata-kata yang amat sangat berbahaya.
Memang kita harus percaya bahwa kita berbeda dengan binatang, kita bukan orang-orang evolusionis yang mengatakan manusia itu cuma binatang yang pintar. Kita percaya kita memang memiliki kapasitas-kapasitas yang Tuhan tanamkan, kita adalah unique species yang Tuhan ciptakan, tapi itu bukan berarti kita percaya in myself/ in ourselves. Kita hidup dalam satu zaman yang dikondisikan untuk menjadi otonom, yang membuat kita berpikir bahwa kita bisa hidup mandiri. Seringkali kemandirian seseorang dinilai dari apakah dia masih bergantung kepada orang lain atau tidak. Dan seringkali kemandirian hidup spiritual kita dilihat dari apakah kita bisa lepas dari Tuhan atau masih terus bergantung kepada Tuhan. Itu salah. Justru kemandirian hidup kita di hadapan Tuhan adalah kita semakin bergantung kepada Tuhan. Perikop ini penting karena mengingatkan bahwa kita sebagai orang Kristen tidak mungkin lepas dalam identifikasi kita, antara kita dengan Tuhan. Budak sudah dibeli oleh tuannya, dan karena itu dia tidak mungkin punya identitas lepas dari tuannya, paling banter dia bisa mempunyai nama ‘budak dari tuan A’, itulah identitasnya. “Aku Paulus, budak dari Kristus”, itulah identitas Paulus.
Orang Israel keluar dari tanah Mesir, bukanlah keluar dari perbudakan Mesir lalu hidup sebebas-bebasnya di tanah perjanjian. Tuhan mengatakan, mereka dibebaskan, supaya mereka bisa berbakti melayani Tuhan; “Let My people go, so they can worship Me and serve Me in the wildernes.” Kita memang diciptakan, intinya untuk worship and serve somebody; dan cuma ada 2 pilihan, worship God or not Him. Bisa jadi kita menyembah dan melayani diri kita sendiri.
“Let My people go, so they can worship Me and serve Me in the wildernes”, maksudnya penyembahan kita dan pelayanan kita tidak tergantung bagaimana enaknya kondisi hidup kita. Bahkan di padang gurun, tempat yang sulit sekalipun, kita tetap harus beribadah dan melayani Dia. Worship and serve Him itu tidak menunggu sampai kita hidup enak. Di lain pihak, kalimat Tuhan tersebut maksudnya adalah kita tidak bisa worship and serve God kalau kita masih dalam perbudakan dosa. Engkau harus dilepaskan dari dosa supaya engkau bisa truly worship and serve Him properly and truthfully.
Kata yang dipakai perikop ini –‘tuan dan hamba’– menarik sekali. Dalam bahasa aslinya, ‘doulos’ harus diterjemahkan sebagai budak, bukan hamba. Baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, ada istilah-istilah bahasa Ibrani maupun Yunani untuk kata ‘hamba’ ataupun ‘budak’. Kalau yang dimaksud ‘hamba’, ada perbendaharaan kata yang cukup untuk menuliskan sebagai ‘hamba’; tetapi, yang dimaksud perikop ini sebenarnya ‘budak’. Perjanjian Lama, dalam bahasa Ibraninya kata ‘budak’ muncul lebih dari 1000 kali, baik kata benda maupun kata kerjanya. Dari 1000 kali tersebut, Alkitab King James Version hanya menerjemahkan 1 kali saja menjadi ‘slave’ (budak), sedangkan Alkitab bahasa Indonesia lumayan lebih banyak tapi masih jauh kurang dari 1000 kali. Perjanjian Baru, dalam bahasa Yunani-nya ada 150 kali lebih kata ‘doulos’ muncul, baik kata kerja maupun kata bendanya. King James Version sekali lagi hanya 1 kali menerjemahkan sebagai ‘slave’, LAI menerjemahkan 9 kali sebagai ‘budak’; tetap saja sangat jauh dibandingkan 150 kali. Mengapa demikian? Salah satu kemungkinan besar karena stigma negatif –khususnya orang-orang Barat– mengenai perbudakan. Mereka pernah mengalami satu masa ketika mereka memperbudak, dan perbudakan modern beberapa ratus tahun lalu tersebut jauh lebih kejam dibandingkan perbudakan zaman Greco-Roman; zaman Greco-Roman sendiri sudah sangat menakutkan, jauh dari idealnya free society zaman ini.
Tapi dalam kasus manapun, ada perbedaan yang jelas antara ‘budak’ dan ‘hamba’; paling sedikit 2 hal. Yang pertama, hamba adalah seorang yang hired, yang dipekerjakan (employed). Dia memiliki kebebasan tertentu untuk menentukan apakah dia mau bekerja, bagaimana cara dia mau bekerja, kepada siapa dia mau bekerja. Di sisi lain, seorang budak bukanlah seorang yang hired melainkan owned (dimiliki). Setiap pagi sejak bangun, dia harus bekerja, tidak ada pilihan lain selain bekerja, tidak ada pilihan untuk bekerja kepada tuan yang mana selain kepada tuan yang memiliki dirinya.
Seorang hamba memiliki degree of freedom, sedangkan budak tidak. Oleh karena itu, perbedaan yang kedua adalah: seorang hamba memiliki kebebasan untuk mengejar cita-citanya sendiri. Dia mungkin bekerja untuk mengejar impiannya, untuk untung rugi dirinya. Dalam konteks modern, seorang hamba mirip seorang pegawai, yang memang bekerja untuk untuk tuannya, tapi juga untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi dirinya, keluarganya, dsb. Namun tidak ada budak yang bekerja untuk mengejar impian atau masa depan yang lebih baik bagi dirinya; dia dimiliki tuannya, dia bekerja hanya untuk kepentingan tuannya. Tidak ada yang lain, dan tidak lebih dari itu.
Oleh karena itu, hubungan kita dengan Tuhan bukanlah hubungan antara tuan dan hamba saja, tapi antara budak dengan tuannya yang sudah membeli dirinya. Tentu dalam Injil Yohanes, Yesus mengatakan “Aku tidak menganggap kamu lagi sebagai budak tapi seorang sahabat; budak tidak mengenal isi hati tuannya, tapi Aku sudah memberitahukan kepadamu isi hati/ rencana dari Allah, Bapa-Ku”, tapi tidak salah juga kita menganggap diri kita budak, karena Rasul Paulus pun menganggap dirinya doulos (budak), bukan cuma hamba dari Kristus. Dalam hal ini konsep budak yang kita harus betulkan adalah bahwa ini berbeda dari konsep Greco-Roman yang menganggap budak hanya sebuah properti, bukan pribadi, dan dia tidak punya nilai selain yang dia bisa berikan kepada tuannya. Tuan kita jauh lebih baik daripada itu, bahkan Tuan kita membeli diri kita dengan sesuatu yang paling Dia hargai, yaitu Anak-Nya sendiri mati di atas kayu salib bagi kita.
Tapi, yang penting adalah bagaimana kita menganggap diri kita di hadapan Tuhan? Siapapun yang memiliki kita, dia adalah tuan atas hidup kita. Saya mengenal satu pasangan yang setelah menikah, khususnya setelah punya anak, si istri tidak bisa bekerja. Di Amerika, menitipkan anak di child care atau memanggil orang untuk menjaga anak, itu sangat menghabiskan uang; daripada begitu, si istri memutuskan menjaga anaknya sendiri, hanya suaminya yang bekerja. Karena harus mencukupi kebutuhan yang lebih banyak, laki-laki ini bekerja keras lebih dari 40 jam per minggu, sampai 70 jam per minggu, dan kalau perlu hari Sabtu pun bekerja. Bos-nya mengatakan: “I pay you, salary; I own your life”. Menghadapi situasi ini, dia kesulitan. Sampai taraf tertentu, orang seperti ini adalah orang yang sudah diperbudak oleh semua yang dia perlukan. Siapapun, baik itu orang lain maupun diri kita sendiri yang akhirnya memiliki hidup kita, dia adalah tuan atas hidup kita; dan di luar Tuhan, semua itu adalah idolatry.
The slave doesn’t have his own right, dia semata-mata bekerja untuk untung rugi tuannya. Saya teringat seorang hamba Tuhan, Pendeta Amin Tjung, seorang yang disayangi jemaat-jemaatnya, rekan-rekan kerjanya, keluarganya. Dia seorang yang terus bekerja bagi Tuhan, terus memperhatikan jemaatnya, bahkan sampai tahun-tahun terakhir ketika mengidap kanker di tenggorokannya. Di tahun 2007 dia meninggal. Ayat yang dia ambil untuk dicantumkan dalam berita kematiannya adalah Lukas 17:10 “Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan”. Inilah keunikan seorang yang mengerti dirinya budak, baginya tidak ada jasa apapun yang dia perjuangkan dengan bekerja pada tuannya, tuannya tidak berutang apapun kepada dia.
Dalam perikop selanjutnya kita melihat kontras antara seorang Kristen dengan Tuhan bukan saja digambarkan sebagai budak dengan tuannya, melainkan sebagai seorang kusta. Seorang kusta bisa dikatakan orang yang paling malang, lebih daripada kemalangan apapun. Dia orang yang mati selagi masih hidup. Imamat 13 mengatur bagaimana seorang kusta harus diperlakukan. Mereka harus dikeluarkan dari komunitas umat Tuhan, seperti bangkai yang harus dibuang keluar. Karena penyakitnya, ke mana pun mereka pergi, mereka harus berteriak “najis! najis!”, supaya orang lain bisa menghindar dan tidak bersentuhan dengan dia. Itulah hidup seorang kusta, seorang yang mengalami pembusukan ketika dia masih hidup. Seorang kusta tidak bisa kembali ke komunitasnya, kecuali dia tahir kembali. Ketika tahir pun, dia harus menghadap imam, lalu imam itu harus menyelidiki sampai menemukan dia sudah tidak ada cacat lagi, barulah orang kusta itu bisa kembali.
Orang kusta adalah orang yang sangat kasihan sekali; dan inilah gambaran kita di hadapan Tuhan. Seorang budak masih ada satu nilai yang bisa dipakai untuk menyenangkan tuannya, tapi seorang kusta sama sekali tidak ada nilainya. Mungkin banyak orang berpikir ‘saya bukan budak, saya orang yang mandiri, saya orang yang cukup pandai, cukup pengalaman, saya bisa bersandar pada semua itu, tidak perlu bersandar kepada orang lain; tidak ada tuan atas diriku, saya sendiri tuan yang punya begitu banyak pegawai’. Ini mentalitas tuan. Tapi fakta bahwa tidak ada tuan dalam hidup Saudara, bukan berarti Saudara lebih baik, karena orang kusta pun tidak ada tuan dalam hidupnya, tidak ada tuan yang mau memiliki dirinya, tapi mereka adalah orang yang paling malang, dan lebih malang daripada budak. Fakta bahwa tidak ada seorang tuan dalam hidupmu, tidak membuat engkau jadi orang yang lebih berharga; mungkin engkau orang kusta tersebut. Di sini Tuhan mau mengingatkan kepada kita, bahwa kita bukan cuma hamba/ budak di hadapan Tuan kita, tapi kita seorang kusta yang satu-satunya dapat dilakukan hanyalah beg for mercy.
Dalam Alkitab banyak sekali Tuhan mengkritisi orang kaya atau kekayaan. Tidak ada yang salah dengan kekayaan, yang problem adalah sikap kita terhadap kekayaan. Dalam Perjanjian Lama banyak sekali contoh orang kaya yang diberkati Tuhan. Dalam Perjanjian Baru pun, Gereja mula-mula banyak didukung oleh murid-murid Tuhan yang kaya. Yesus Kristus bukan mengkritik kekayaan tapi mengkritik orang kaya itu sendiri, karena banyak orang yang merasa dirinya kaya –kaya bukan cuma soal uang tapi bisa berbagai hal—kemudian merasa dirinya sudah cukup, tidak usah bergantung pada orang lain, sulit berterima-kasih kepada orang lain, karena dia tidak perlu beg for anything. Orang seperti demikian jauh dari Kerajaan Surga, karena orang-orang dalam Kerajaan Surga adalah orang yang seperti orang kusta, satu-satunya yang dia dapat lakukan cuma beg for mercy. Adakah kita memiliki mentalitas demikian? Jangan-jangan dalam pelayanan kita, tanpa sadar kita mengumpulkan jasa-jasa di hadapan Tuhan.
Yang menarik lagi, satu fakta bahwa di dalam kumpulan orang kusta ini ada orang Yahudi dan orang Samaria. Orang Yahudi membenci orang Samaria, dan sebaliknya. Mereka saling membenci sedemikian rupa sampai tidak pernah bersekutu; dan justru di dalam kemalangan mengalami kusta tersebut, mereka dipersatukan. Ketika kita melihat orang lain berbeda dari kita –entah lebih tinggi atau lebih rendah– lalu kita tidak mau bersekutu, itu artinya kita belum benar-benar merasakan kasih karunia Tuhan. Hanya mereka yang benar-benar merasakan kasih karunia Tuhan, yang bisa merasakan bahwa kita semua sama, hanya beg for mercy di hadapan Tuhan. Orang yang merasa orang lain, atau budaya tertentu, atau adat istiadat tertentu, lebih rendah daripada dirinya, adalah orang yang merasa diri lebih sehat daripada semua yang lain, tapi sebenarnya paling bobrok di hadapan Tuhan, seperti orang Farisi. Orang kusta ini –orang Yahudi dan orang Samaria—ketika kusta, baru tahu bahwa mereka sebetulnya sama-sama saling memerlukan; dan mereka hidup bersama.
Ayat 13 mereka berteriak: "Yesus, Master, kasihanilah kami!", lalu Yesus memandang mereka dan berkata: "Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam.” Ketika diberikan perintah itu, mereka langsung pergi tanpa menunggu dirinya disembuhkan total. Di tengah jalan mereka baru disembuhkan. Iman semacam ini sangat perlu dipuji, karena ini iman yang bukan berdasarkan melihat. Saya bukan mengatakan iman Kristen adalah iman yang tidak perlu bukti, Ibrani menujukkan bahwa iman itu sendiri adalah bukti dari segala sesuatu yang kita harapkan. Ketika mengikuti Tuhan, kita bukan hanya giat melayani Tuhan tapi juga giat taat kepada Tuhan. Seringkali kita lebih taat kepada rasio kita daripada kepada Tuhan; reasoning kita menjadi judge atas perkataan Tuhan, apakah perlu kita ikuti atau tidak.
Iman Kristen adalah iman yang paling masuk akal, yang paling bisa dipertanggungjawabkan. Tapi bukan berarti akal kita menjadi tuan untuk menghakimi segala sesuatu. Orang Kristen harus jadi orang yang kritis, tapi bukan tunduk kepada critical spirit. Kita adalah orang yang paling masuk akal, tapi bukan menjadikan akal itu segala sesuatu. Dalam mengikuti Tuhan, ketaatan kita bukan karena sudah melihat bukti ini dan itu. Ketaatan kita didasarkan kepada personal relationship dengan Tuhan, sejauh mana kita percaya Tuhan yang kita ikuti.
Abraham adalah satu contoh yang unik sekali. Di Kejadian 12 janji Tuhan kepada Abraham, bahwa oleh karena keturunannya, semua bangsa di bumi ini akan diberkati; dan janji tersebut digenapkan dalam Kristus Yesus. Abraham diminta keluar dari bangsanya, dari sanak saudaranya, dari rumah bapanya, ke satu tempat yang akan Tuhan tunjukkan, dan ‘Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, namamu jadi masyhur, dan oleh karena namamu semua bangsa diberkati karena keturunanmu’. Abraham bisa berkata kepada Tuhan, ‘saya mau taat tapi saya mau mengerti dulu apa yang harus saya taati, ke mana saya harus pergi’. Tuhan memang tidak kasih tahu, hanya mengatakan ‘ke tempat yang akan Aku tunjukkan; ikut Aku’. Abraham juga bisa bertanya, ‘bagaimana caranya bisa mendapat keturunan, istriku seorang yang mandul, bagaimana mungkin??’ Tuhan tidak kasih tahu, tapi Abraham langsung taat. Abraham juga bisa bertanya, ‘kapan janji Tuhan itu akan digenapi?’ Faktanya, seumur hidup Abraham, dia tidak pernah melihat dirinya menjadi bangsa yang besar, tidak pernah melihat dirinya menjadi berkat semua bangsa di bumi. Tuhan tidak kasih tahu itu semua, tapi dia taat. Mengapa? Karena walaupun Abraham tidak bisa menjawab semua pertanyaan itu, dia tahu satu hal, kepada Siapa dia percaya.
Ketaatan kita mengikuti Tuhan, seringkali bukan masalah akal atau logika, tapi masalah hati. Di keluarga Pendeta Stephen Tong, ketika masih kecil umur 1-1½ tahun, kami dilatih untuk percaya kepada orangtua. Kami ditaruh di atas lemari yang tinggi, lalu ayah kami itu bilang: “Ayo lompat, percaya ‘gak papa bisa tangkap, papa sayang dan pasti mau tangkap?” Papa bisa tangkap, percaya; papa mau tangkap, percaya; tapi tetap tidak mau lompat, karena kalau jatuh pasti sakit. Lalu didorong sedikit-sedikit, tetap tidak mau lompat. Akhirnya betul-betul didorong dan jatuh, tapi langsung ditangkap oleh beliau. Satu dua kali menangis, tapi lama-kelamaan malah senang dan mau lagi. Apa yang mau saya katakan di sini? Anak-anak itu hidup bersama orangtuanya bertahun-tahun, dia tahu orangtuanya memberi dia makan setiap hari. Tapi fakta itu tidak membuat kita langsung percaya kepada mereka.
Fakta bahwa Saudara puluhan tahun hidup bersama dengan Tuhan, melayani Tuhan, hidup di dalam Gereja dan dilihat orang sebagai seorang pelayan Tuhan yang baik, tidak menjadikan kita otomatis gampang percaya kepada Tuhan. Kapan kita dituntut percaya kepada Tuhan? Seringkali pada saat-saat yang paling kritis yang membuat kita harus melemparkan diri kepada Tuhan, taat kepada Tuhan. Ketaatan tersebut bukan karena kita sudah mengerti, tapi karena kita percaya Siapa yang kita percayai.
Karena iman, Abraham taat (Ibr 11:8). Tidak ada iman yang akhirnya tidak menjalankan suatu ketaatan. Tidak ada satu ketaatan yang tidak berdasarkan pada iman. Abraham pernah diberikan satu ujian oleh Tuhan yang sangat berat. Setelah 25 tahun menunggu, dia akhirnya mendapatkan yang dijanjikan Tuhan, yaitu Ishak. Tapi kemudian belasan tahun kemudian, Tuhan minta Ishak dipersembahkan; dan Abraham taat. Alkitab tidak menulis seperti apa pergumulan Abraham, tapi dia pasti bergumul. Ini adalah anak yang dijanjikan, tapi Abraham tidak mencoba berdebat dengan Tuhan, dia hanya melakukan, karena dia percaya kepada Tuhan. Dan justru ketika dia percaya, keluarlah suatu pengenalan akan Tuhan yang baru, yang sebelumnya tidak pernah dia pelajari.
Dalam hidup kita, kalau kita hanya menuntut untuk mengerti dulu baru menjalankan perintah Tuhan, maka pengenalan kita akan Tuhan akan terus cetek. Tapi kalau kita taat kepada Tuhan karena kita percaya kepada Siapa kita sudah menyerahkan diri, maka pengenalan kita akan Tuhan terus bertambah. Ibr 11:17-19 Karena iman maka Abraham, tatkala ia dicobai [terjemahan yang lebih tepat adalah diuji, bukan dicobai], mempersembahkan Ishak. … Karena ia berpikir, bahwa Allah berkuasa membangkitkan orang-orang sekalipun dari antara orang mati. Dan dari sana ia seakan-akan telah menerimanya kembali. Di Kej 15 Abraham mengenal TUHAN sebagai Allah Pencipta alam semesta, tapi setelah diuji untuk mempersembahkan anaknya, dia baru tahu bahwa TUHAN adalah Tuhan yang membangkitkan orang mati. Konsep kebangkitan tidak ada dalam Taurat (itu sebabnya orang-orang Saduki yang hanya memegang 5 kitab Taurat Musa tidak percaya kebangkitan orang mati; dan memang tidak ditulis di situ). Abraham percaya kebangkitan orang mati. Abraham advanced in his knowledge of God, not only GOD The Creator, but GOD of the resurrection of life. Dari mana dia dapatkan itu? Dari ketaatannya; walaupun belum bisa mengerti, dia taat karena dia percaya Siapa yang dia ikuti.
Kita lebih gampang untuk trust Him daripada thrust ourselves to Him; ini dua kata bahasa Inggris yang hampir sama tapi artinya berbeda sekali. Kita lebih gampang percaya kepada Dia tapi sulit melemparkan diri kita untuk mengikuti Dia. Kita bukan hanya budak yang melayani karena memang seharusnya, tapi kita juga dituntut taat kepada Tuhan karena kita percaya kepada Siapa kita sudah serahkan hidup ini.
Kembali pada Lukas 17, apa yang mau diajarkan Alkitab? Yang pertama, natur dari hidup melayani Tuhan adalah natur bekerja. Kalau kita mengatakan diri kita hamba, bahkan budaknya Tuhan, maka tidak seharusnya ada orang Kristen yang tidak bekerja bagi Tuhan. Saya tidak mengatakan semua harus jadi hamba Tuhan, tapi apapun yang kita kerjakan, kita harus sadar itu bukan untuk untung rugi dan cita-cita diriku sendiri, tapi untuk Tuhanku yang memang memiliki hidupku dan semua talentaku. Seorang Kristen bekerja bukan untuk dirinya sendiri tapi untuk kepentingan Tuannya. Inilah pola anak-anak Tuhan. Seorang anak Tuhan yang baik, hidupnya tidak gampang santai-santai beristirahat, dia selalu berpikir ‘ada pekerjaan apa yang harus saya lakukan untuk Tuanku’.
Pasal 17:7-8 "Siapa di antara kamu yang mempunyai seorang hamba … akan berkata kepada hamba itu, setelah ia pulang dari ladang: Mari segera makan! Bukankah sebaliknya ia akan berkata kepada hamba itu: Sediakanlah makananku. Ikatlah pinggangmu dan layanilah aku sampai selesai aku makan dan minum. Dan sesudah itu engkau boleh makan dan minum.” Ini bukan menunjukkan betapa kejamnya Tuhan kita, karena Tuhan memiliki diri kita bukan dengan harga yang murah melainkan dengan darah Anak-Nya. Ketika membaca perikop ini, kita harus berpikir dari sudut pandang si hamba, bahwa memang belum seharusnya saya selesai bekerja. Seorang pelayan Tuhan itu tidak bersantai-santai sampai seluruh kebutuhan Kerajaan Tuhan dicukupi pada hari itu.
Kita bersyukur Gereja Reformed Injili Indonesia sangat diberkati Tuhan, karena bukan hanya Tuhan berikan Pendeta Stephen Tong yang terus bekerja bagi Tuhan, tapi Tuhan juga bangkitkan begitu banyak jemaat awam yang terus rela bekerja bagi Tuhan di tengah kesibukan keluarga atau pekerjaan. Di tahun 2017 pekerjaan menumpuk, ada 90 lebih event besar yang harus dipersiapkan dengan dana, keringat, dsb., dan besyukur semua bisa lewat karena Tuhan. Gereja ini diberkati Tuhan karena banyak orang yang mau terlibat di dalam pekerjaan Tuhan. Selama hidup masih ada, ada kesempatan; tapi kesempatan itu diberikan bukan up to you, but up to His Own term, kapan pun Dia dapat menarik kesempatan itu. Ada orang bertanya: “Pak David, saya ini tidak banyak talenta; main musik tidak bisa, menyanyi fals, kalau berdiri di atas mimbar gugup, apa yang bisa saya lakukan dalam gereja? Seakan-akan saya tidak ada karunia Tuhan apapun.” Saya katakan kepada dia: “Paling sedikit, kamu punya keringat, punya waktu, yang bisa kamu kembalikan kepada Tuhan.” Tidak mungkin ada seorang yang tidak punya apa-apa sehingga dia tidak bisa bekerja di dalam Kerajaan Tuhan.
KKR regional sampai bulan Maret sudah 380.000 anak dilayani, dan kita menargetkan tahun ini sekitar 1½ – 2 juta anak lagi. Kalau hanya mengandalkan hamba-hamba Tuhan, berapa sih yang bisa kita jangkau? Pendeta Stephen Tong pun dalam 2 ½ tahun KPIN hanya menjangkau 500.000 orang saja. Tapi ketika melibatkan begitu banyak orang-orang awam terjun dalam KKR regional, dilatih berkotbah, dsb. maka setahun bisa menjangkau jutaan orang. Saudara mungkin tidak bisa berkotbah kepada orang-orang universitas atau orang-orang yang lebih tua, tapi paling tidak Saudara bisa berkotbah kepada anak-anak. Kalau itupun tidak bisa, Saudara masih bisa membagikan traktat. Tidak ada satu orang Kristen pun yang bisa santai dalam Kerajaan Tuhan, karena dia tidak merasa dirinya tuan di dalam Kerajaan Tuhan. Kita harus mencari, pekerjaan apa yang bisa kita kerjakan, pekerjaan apa yang bisa kita tambahkan untuk dilakukan bagi Tuan kita. Itulah natur kita sebagai budak, bekerja di ladang Tuhan.
Pasal 17:7-10 menceritakan bahwa kita orang yang tetap diberkati Tuhan karena kita hidup dalam rumah Tuhan. Ketika hidup mengikut Tuhan, ada harga yang harus dibayar, ‘engkau harus menyangkal dirimu dan memikul salibmu setiap hari’, demikian dikatakan Tuhan Yesus. Dan memang seringkali faktanya kita harus mengeluarkan air mata, ada harga yang harus kita bayar. Tapi sesulit-sulitnya mengikuti Tuhan, sesulit-sulitnya melayani, sebanyak-banyaknya air mata yang kita teteskan bagi Tuhan, ada satu kebahagiaan bahwa kita hidup di dalam rumah Tuhan. Budak ini bukan budak yang malang, dia budak yang bersukacita karena dan melayani Tuan dan hidup dalam rumah Tuannya.
Di Palangkaraya kami mengadakan seminar “The Cross and Discipleship”, tema yang sangat penting dalam Kekristenan. Setelah selesai, seorang ibu mendekati saya. Dia tadinya seorang agama lain yang ayahnya cukup terpandang di kalangannya. Setelah menjadi Kristen, keluarganya memutuskan hubungan dengan dia; ibunya mengatakan “mulai sekarang, kamu bukan anakku dan aku bukan ibumu”, suaminya menceraikan dia dan menyuruh anak-anaknya memanggil dia “najis, najis”. Dia dikucilkan keluar, dan dia tadinya yang seumur hidup bergantung kepada orang lain –kepada orangtuanya, lalu kepada suaminya—mulai belajar hidup mandiri. Saya berkata kepada dia: “Ibu tahu harga mengikuti Tuhan, tapi mengapa ibu masih terus mengikuti Tuhan?” Dia katakan: “Saya tidak bisa menyangkal Tuhanku lagi.” Saudara, kita belum bayar harga terlalu banyak dalam mengikuti Tuhan.
Melayani Tuhan mungkin bisa mudah; tapi kalau Saudara harus membayar harga mengikuti Tuhan, itu baru sulit. Namun sesulit apapun, sebanyak apapun kita mencucurkan air mata, waktu kita mengikuti Tuhan, kebahagiaan besar yang menghibur kita adalah fakta bahwa kita hidup di dalam rumah Tuhan kita. Mazmur 84:10 “Sebab lebih baik satu hari di pelataran-Mu dari pada seribu hari di tempat lain; lebih baik berdiri di ambang pintu rumah Allahku dari pada diam di kemah-kemah orang fasik”; tapi budak-budak ini bukan cuma berdiri di pelataran atau di ambang pintu rumah tuannya, mereka hidup bersama dengan tuannya.
Poin yang kedua, hidup dalam Kerajaan Tuhan adalah hidup yang terus-menerus dipenuhi rasa bersyukur. Bersyukur itu sulit, bahkan seringkali lebih sulit daripada melayani Tuhan, lebih sulit daripada menaati Firman Tuhan.
Di dalam perikop ayat 11-19 ini, seakan Tuhan bertemu secara kebetulan dengan 10 orang kusta ini, dan salah satunya orang Samaria. Tentu tidak ada yang ‘tiba-tiba’ dalam konsep Reformed, semuanya adalah rencana Tuhan. Bahkan Tuhan dalam perjalanannya ke Yerusalem sengaja menyisir daerah orang Samaria ini karena ada rencana yang Dia ingin genapkan pada saat itu, untuk bertemu dengan orang-orang kusta, khususnya orang Samaria tsb. Dan Tuhan menyembuhkan kesepuluh orang kusta tersebut. Sejak 5 kitab Taurat selesai dituliskan, tidak ada satu orang Israel pun yang pernah disembuhkan dari sakit kustanya, tapi kali ini Tuhan menyembuhkan 10 orang sekaligus. [Di Perjanjian Lama, 2 orang yang pernah disembuhkan dari kusta: Miryam kakak Musa, tapi ini terjadi sebelum Taurat genap dituliskan; dan Naaman, tapi dia bukan orang Israel (2 Raj 5)].
Saya tidak tahu waktu tepatnya 10 orang kusta itu sembuh; mungkin tidak lama setelah mereka pergi, mungkin di tengah perjalanan, atau mungkin sudah hampir sampai kepada imam. Tapi hanya 1 orang yang kembali, dan Tuhan Yesus berkata: “Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Di manakah yang sembilan orang itu? Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain daripada orang asing ini?” Tidak ada. Mengapa Yesus kaget 9 orang itu tidak kembali? Mengapa sepertinya Dia mengharapkan semuanya kembali? Bukankah harusnya justru Dia mengharapkan semua menjalankan perintah-Nya, menunjukkan diri mereka kepada imam-imam? Bukankah yang tidak kembali berarti sedang menjalankan perintah Tuhan, dan yang kembali yang harusnya diomelin?
Ini menujukkan satu hal, sense of gratitude itu langka. Kita mungkin lebih gampang untuk menjalankan perintah Tuhan, tapi mengambil waktu untuk sungguh-sungguh berterima-kasih kepada-Nya sangat sulit. Kapan terakhir kali kita benar-benar bersyukur kepada Tuhan? Ketika kita makan, perkataan syukur kita pun seringkali mekanis sekali, sesuatu yang kita bisa hafal, menjadi rutinitas belaka. Sense of gratitude seringkali kita sudah lupakan. Andrew Carnegie (pendiri Carnegie Mellon University) adalah seorang filantropis, seorang yang kaya. Sebelum mati, dia memberikan 1 juta dolar kepada seorang kerabatnya; tapi kerabatnya ini bukannya bersyukur malah mencaci-maki, alasannya karena Andrew Carnegie memberikan 365 juta dolar kepada yayasan-yayasan dan hanya memberikan 1 juta dolar kepada dirinya. Samuel Leibowitz, seorang pengacara kriminal yang pernah membebaskan 78 orang kriminal dari hukuman mati kursi listrik, dan tidak ada 1 dari 78 orang itu yang pernah berterima kasih kepada dia.
Saudara, hidup kita adalah hidup yang sulit bersyukur, apakagi ketika kita mendapatkan berkat lalu merasakan berkat itu masih kurang. Kita merasa layak terus mendapat berkat dari Tuhan. Saya kenal seseorang yang bekerja di tempat yang mungkin idaman bagi mayoritas orang, yaitu di Google, dengan gaji yang cukup, tapi dia terus ngedumel karena melihat orang lain diperlakukan lebih baik. Kita lupa bersyukur kepada Tuhan, justru karena sambil melayani sambil merasa pelayanan kita lebih berat daripada pelayanan orang lain, akhirnya kita melayani bukan dengan ucapan syukur tapi dengan hati yang tidak suka. Atau mungkin tanpa sadar kita merebut kesempatan untuk berterima-kasih melalui hal-hal yang sepele. Seorang ibu yang banting tulang mendidik anaknya dari kecil sampai sukses, mungkin akan berkata: “bersyukurlah karena mama sudah bekerja keras bagimu”, tanpa sadar akan kemurahan Tuhan yang terus menopang. Seorang ayah yang bekerja keras menjamin keluarganya, mungkin dengan gampang menepuk dada ‘good job, daddy’ tanpa sadar karunia Tuhan setiap hari dalam keluarga tersebut.
Kita dituntut untuk melayani Tuhan, dan juga kita dituntut untuk berterima kasih kepada Tuhan. Dan kecuali ucapan kita membawa kita bersembah sujud kepada Tuhan melihat kebesaran Dia, kita belum menaruh Tuhan di dalam ucapan syukur tersebut. Kecuali kita seperti orang kusta yang tidak pantas mendapatkan apapun namun mendapatkan the greatest blessing tersebut, kita belum benar-benar tahu apa itu mengucap syukur. Memang 10 orang disembuhkan, tapi hanya 1 orang, orang Samaria itu, yang akhirnya kembali dan memberikan ucapan syukurnya kepada Tuhan. Sembilan orang lainnya memang disembuhkan secara jasmani, tapi mereka berakhir lebih buruk daripada sebelumnya, karena hanya satu orang yang Tuhan katakan: Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau.”
Mari kita menjadi orang Kristen yang terus diingatkan bahwa kita harus bekerja dalam Kerajaan Tuhan; dan bahwa bekerja dalam Kerajaan Tuhan harus terus diiringi dengan ucapan syukur kepada Tuhan. Kedua hal inilah natur seorang pelayan Tuhan yang baik. Mereka yang tidak bekerja, tidak mungkin bisa bersyukur. Mereka yang bekerja, seharusnya dibarengi perasaan bersyukur. Jika tidak, kita belum mengenal artinya menjadi budak Tuhan, hamba Tuhan, anak-anak Tuhan, di dalam Kerajaan Tuhan.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading