Kita melanjutkan pembahasan kitab Kidung Agung. Ini adalah khotbah-khotbah terakhir, dan kita akan segera menutup rangkaian ekspositori kitab Kidung Agung ini. Kita akan mulai dari pasal 7:10, sebagaimana menurut banyak komentator, pemenggalannya di sini. Ini adalah perkataan dari mempelai wanita, dan tema-nya tentang musim semi, bukan cuma dalam pengertian harfiah (literal) tapi juga dalam pengertian simbolis atau metaforis seperti biasanya, dalam kaitan musim semi sebagai musim cinta.
Ayat 10: “Kepunyaan kekasihku aku, kepadaku gairahnya tertuju.” Di sini ada istilah ‘kepunyaan kekasihku aku’, suatu bahasa yang dekat sekali dengan bahasa covenantal, menyatakan bahwa pernikahan adalah hubungan kovenan/ hubungan perjanjian (covenantal relationship). Hubungan perjanjian sering kali dikontraskan dengan model hubungan kontraktual, yang sewaktu-waktu boleh dibubarkan. Hubungan perjanjian juga dikontraskan dengan hubungan hierarkis, hubungan ‘penindasan’ (oppressive relationship), hubungan yang ultra-patriarkhal, dsb. Hubungan perjanjian dikontraskan dengan kedua hubungan tersebut yang sifatnya duniawi. Di dalam hubungan covenantal, misalnya dalam pernikahan, suami dan istri saling memberi dirinya, ada mutualitas (mutuality); sementara hubungan hierarkis adalah hubungan searah, yang di atas mempergunakan yang di bawah, bahkan bisa memeras yang di bawah, sedangkan yang di bawah tidak pernah mungkin bisa mempergunakan ataupun menikmati yang di atas –karena hubungan hierarkis ini cuma satu arah. Hubungan kontraktual mungkin ada semacam mutualitas, tapi mutualitas yang tidak ada objektifnya, sewaktu-waktu boleh dibubarkan, sewaktu-waktu boleh dihentikan, kalau tidak lagi win-win solution, kalau tidak lagi saling membahagiakan misalnya. Itulah tipikal hubungan kontraktual, sedangkan dalam hubungan covenantal tentu ada kesetiaan (faithfulness), ada stamina/ ketekunan (perseverance), ada ketabahan (endurance), dan sudah pasti kedua mempelai itu saling menyerahkan dirinya untuk dinikmati satu sama lain. Itu sebabnya di bagian ini Saudara mendapati kalimat ‘kepunyaan kekasihku aku’; dan sebaliknya pun tentu benar, ‘kekasihku kepunyaan aku’. Ini tipikal dalam bahasa kovenan, Yahweh /TUHAN mengatakan kepada umat-Nya, “Isarel adalah umat-Ku, dan Aku adalah Allah mereka”; di sini ada saling memberi diri dan saling menikmati.
“Kepunyaan kekasihku aku, kepadaku gairahnya tertuju” —kalimat bagian belakang ini adalah arah sebaliknya. Waktu dikatakan ‘kepunyaan kekasihku aku’, ini berarti mempelai perempuan memberi dirinya kepada mempelai laki-laki; tapi kemudian ada arah sebaliknya, ‘kepadaku gairahnya tertuju’. Di sini terjemahan bahasa Indonesia memakai kata ‘gairah’, terjemahan bahasa Inggris memakai istilah ‘desire’ (‘his desire is for me’). Istilah ‘gairah/desire’ ini bisa kita bandingkan dengan Kejadian 3:16 untuk dapat mengerti artinya; ‘Firman-Nya kepada perempuan itu: “Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu” –perempuan akan berahi kepada suaminya, dan suaminya akan berkuasa atas perempuan ini. Hal ini seringkali dikontraskan dengan yang ditulis dalam Kidung Agung. Keil, seorang commentator, mengatakan bahwa yang dikatakan Kidung Agung sebenarnya merupakan reverse declaration dari Kej. 3:16. Maksudnya, di dalam Kej. 3:16 yang terjadi adalah desire to dominate (‘ia akan berkuasa atasmu’), satu realisme teologis di dalam kehidupan pernikahan, dan memang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari. Suami/istri memang kadang-kadang bisa saling menguasai, ada ego yang tidak mau kalah, suami mau menguasai istri tapi istri juga mau menguasai suaminya. Pengertian ini juga didukung oleh Kej. 4:7 dalam cerita tentang Kain dan Habel –meskipun lain konteksnya. Di situ juga dipakai istilah ‘berkuasa’; perkataan Tuhan kepada Kain: “Apakah mukamu tidak akan berseri, jika engkau berbuat baik? Tetapi jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya.” Dari kedua ayat yang menggunakan istilah ‘desire’ ini, Kej. 3:16 dan Kej. 4:7, Saudara bisa mendapatkan bahwa yang dikatakan Kidung Agung 7 sebenarnya adalah pembalikannya, ini adalah penebusannya, ini adalah kabar baiknya. Alih-alih keinginan ego yang saling menguasai, mendominasi, dsb., di sini yang terjadi adalah laki-laki dan perempuan saling memberi dirinya; yang tadinya saling mencari dominasi/penguasaan, di sini mencari mutualitas.
Dari perspektif fallen nature atau sinful nature, yang terjadi dalam pernikahan manusia adalah kehidupan yang mau saling menguasai. Bahkan sebenarnya bukan cuma dalam hubungan pria-wanita tapi juga dalam hubungan manusia dengan manusia lainnya –siapa yang bisa jadi pemimpin/ bos/yang menguasai, dan siapa yang bisa dikuasai– tetapi di dalam Kerajaan Allah, narasinya berbeda, desire-nya bukan lagi untuk saling menguasai/mendominasi, melainkan desire untuk saling memberi diri dimiliki oleh yang lain. Di sinilah Saudara melihat karya penebusan terjadi. Dalam konteks yang lebih luas, misalnya kehidupan jemaat dan juga masyarakat, hubungan narasi Kerajaan Allah ini terjadi waktu orang tidak lagi tertarik untuk mendominasi, tapi lebih tertarik menyerahkan diri untuk bisa dinikmati oleh sesamanya. Itulah yang dikatakan dalam Kidung Agung; termasuk juga di dalam perjanjian Baru, ketika dikatakan, “Laki-laki tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi istrinya”, dan sebaliknya. Ini gambaran yang indah. Sekali lagi, kita tahu cerita penebusan ini terjadi, pada waktu manusia tidak lagi ingin saling mendominasi dan saling menguasai melainkan saling menyerahkan dirinya.
Selanjutnya ayat 11: “Mari, kekasihku, kita pergi ke padang, bermalam di antara bunga-bunga pacar!”; dalam variasi bahasa Inggrisnya: “Come, my beloved, let us go out into the field and lodge in the villages.” Tadi kita mengatakan bahwa hubungan di sini adalah hubungan covenantal, dan ini bukan hubungan yang saling mendominasi, bukan hubungan yang saling menguasai, melainkan hubungan yang saling menyerahkan diri, maka kata ajakan ‘mari’ (come) ini indah. Di sini Saudara harus membacanya dalam konteks hubungan yang saling menyerahkan diri, bukan hubungan yang mau menguasai. Kalau dibaca dalam hubungan yang mau menguasai, “Come my beloved!”, jadi kalimat imperatif, “Lu datang ke sini! Awas kalau lu ‘gak datang; gua cocok hidung lu, mau ‘gak mau lu harus ikut, kalau tidak, cerai!” –misalnya demikian. Jadi kacau. Ini namanya hubungan yang saling mendominasi. Tetapi kalimat dalam Kidung Agung ini tidak demikian maksudnya.
Omong-omong, ini kalimat imperatif, tapi mengapa yang bicara perempuan, seakan-akan perempuan koq perintah-perintah? Di sinilah persoalannya; isunya bukan soal apakah boleh dari mulut perempuan keluar kalimat imperatif, tapi soal hubungan yang saling mendominasi. Di dalam hubungan yang saling menyerahkan diri, ada kalimat imperatif pun tidak masalah. Kalimat ‘mari, kekasihku … ‘ ini dibaca sebagai satu ajakan/ undangan/bujukan, dan bukan pemaksaan apalagi dominasi –tidak tepat kalau dibaca seperti itu. Sering kali dalam kehidupan ini kita tidak bisa mendengar kalimat “ajakan”; waktu dengar kalimat ajakan, kita over sensitive jadi merasa seperti kalimat perintah, seperti disuruh-suruh. Mengapa bisa seperti itu? Karena tidak ada hubungan cinta, karena tidak ada hubungan yang saling menyerahkan diri, karena tidak ada hubungan covenantal yang saling memiliki, yang ada hubungan dominasi, hubungan yang saling menguasai, hubungan ultra-hierarchical. Kalau seperti ini, ajakan sehalus apapun bisa bikin orang tersinggung karena tidak rela diperintah-perintah, merasa dizolimi, merasa diperas, ditindas, dsb. –karena tidak ada hubungan covenantal. Kalau ada hubungan covenantal, kalimat “mari, kekasihku, kita pergi ke padang, bermalam di antara bunga-bunga pacar”, meskipun yang mengatakan mempelai wanita, mempelai laki-laki tidak harus sensitif mendengarnya. Bahkan sekalipun ini semacam kalimat “order”, kalimat ini bukan dibaca dalam hubungan yang saling menguasai; bukan urusan power, melainkan bicara dalam konteks kasih mutual, saling mengasihi, saling memiliki.
“Mari, kekasihku, kita pergi ke padang, bermalam di antara bunga-bunga pacar!” Istilah ‘padang’ di sini maksudnya bukan padang gurun, bukan hutan rimba yang liar, tapi lebih mirip gambaran tanah yang terbuka, yang di Israel biasanya berada di daerah perbukitan. Di dalam setting ini, kedua mempelai bukan cuma berduaan, tapi ada kontak dengan sesama manusia yang lain, mungkin dengan pasangan-pasangan yang lain, dengan keluarga-keluarga lain beserta anak-anak dan orangtuanya, bahkan juga dengan binatang-binatang. Lalu apa yang bisa kita renungkan dari kalimat puitis seperti ini? Mungkin kita bisa menarik pelajaran, bahwa keintiman cinta itu bukan di dalam gambaran privacy yang eksklusif sedemikian rupa, cari tempat yang tidak boleh ada orang lain sama sekali, seolah-olah seluruh dunia hanya milik mereka berdua; yang seperti itu, tidak cocok dengan gambaran ‘padang’ di bagian ini. Kita mengharapkan ‘padang’ ini adalah satu gambaran yang bukan cuma ada mereka berdua, tapi juga orang-orang lain dari segala usia, bahkan binatang-binatang. Inilah gambaran pernikahan dalam Kerajaan Allah, bukan pernikahan dalam kerajaan mereka berdua. Ini tentang life enrichment.
Ayat 11 ini kalau kita baca dalam bahasa Inggris ada sesuatu yang tidak muncul di dalam bahasa Indonesianya; dalam bahasa Inggris dikatakan: “Come, my beloved, let us go out into the field and lodge in the villages.” Memang dalam hal ini bahasa Indonesia memilih varian naskah yang lain, ‘among the henna plants’, yaitu di antara bunga-bunga pacar; dan bunga-bunga pacar ini adanya di villages (desa-desa). Waktu dikatakan ‘villages’, gambarannya romantis; satu gambaran yang mengangkat nuansa kehangatan, jauh dari hiruk-pikuk kota besar dengan segala perdagangannya. Ini satu gambaran yang indah. Berbeda dari gambaran kota besar, village tidak dikelilingi oleh benteng. Jadi, ketika masuk dalam pernikahan, pertama-tama mereka bukan cuma berdua saja, apalagi kemudian bikin pagar tembok, benteng, yang semua orang tidak boleh masuk; ini adalah satu kehidupan yang meskipun masuk ke dalam intimasi cinta, tapi juga rela berjumpa dan dijumpai manusia-manusia lain karena mereka berada di padang, dan padangnya pun tidak ada bentengnya. Dengan demikian, kehidupannya bukan cuma terbuka terhadap orang-orang di village tersebut, tapi juga bagi orang-orang dari luar village. Kita bisa belajar dari keindahan dari gambaran ini, bahwa pernikahan yang sehat adalah pernikahan yang terbuka. Tentu saja ini jangan ditafsir ngawur; saya bukan mengatakan terbuka dalam arti boleh ada orang kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh, dst.; tentu bukan itu maksudnya, melainkan dalam pengertian accessible, bukan sangat eksklusif sampai orang lain tidak bisa masuk. Dalam batas tertentu bahkan kita bisa bicara tentang kerentanannya (dari gambaran village yang tidak ada bentengnya), bahwa pernikahan itu rentan (vulnerable); bukan cuma vulnerable terhadap pasangannya, tapi juga terhadap yang di luar. Namun jangan lupa, meskipun tidak ada benteng, ada nuansa yang lain yang diangkat dari gambaran village ini, yaitu kehangatan.
Ayat 12: “Mari, kita pergi pagi-pagi ke kebun anggur dan melihat apakah pohon anggur sudah berkuncup, apakah sudah mekar bunganya, apakah pohon-pohon delima sudah berbunga! Di sanalah aku akan memberikan cintaku kepadamu!” Ada dua motif di sini, yaitu anggur dan delima. Anggur itu memabukkan, dan cinta itu memabukkan –dalam arti yang baik tentunya. Ada juga gambaran ‘kebun anggur’, suatu gambaran yang juga dipakai dalam Perjanjian Lama, bukan cuma dalam konteks hubungan suami istri atau dua mempelai, tapi juga dalam hubungan yang lebih luas untuk menggambarkan Israel yang dituntut berbuah oleh Tuhan. Delima, karena banyak bijinya, merupakan simbol kesuburan (fertility) atau fruitfulness. Di dalam pengertian hubungan suami istri, bagian ini tentu bisa dibaca dalam pengertian erotik –dan memang itu arti literal-nya– yaitu bicara tentang kamar tidur, tempat mereka menikmati hubungan cinta, cinta yang memabukkan sebagaimana dikatakan ‘anggur yang memabukkan’. Dan di dalam hubungan seks yang memang dikehendaki oleh Tuhan itu, yang suci, yang kudus, tentu saja tidak terpisahkan dari kemungkinan memiliki keturunan –itu sebabnya ada gambaran buah delima; sangat berkaitan dengan motif kesuburan, fruitfulness, dsb.
Kalau kita boleh menafsir secara rohani dalam hubungan Kristus dan jemaat, maka sama seperti dalam hubungan suami istri, sang suami mengingini istrinya, melihat apakah istrinya bisa memberikan sukacita, maka pertanyaan reflektifnya bagi jemaat adalah: di dalam hubungan cinta dengan Kristus, di dalam pengertian rohani, apakah kehidupan kita sebagai komunitas Kristen juga memberikan sukacita bagi Tuhan? Di sini kita bukan hanya merenungkan apakah Tuhan adalah sukacita kita –memang seharusnya Tuhan adalah sukacita kita–tapi di dalam konteks saling memiliki, apakah kita –Saudara dan saya– juga adalah sukacitanya Tuhan. Di dalam covenantal relationship, yang terjadi timbal balik: Tuhan adalah sukacita kita, tapi kita sebagai umat Allah seharusnya juga adalah sukacitanya Tuhan. Inilah makna di dalam motif ‘anggur’, karena anggur dan minyak di dalam Perjanjian Lama bicara tentang sukacita, tentang pesta, perayaan, dsb. Lalu apa artinya buah delima dalam pengertian spiritual? Mirip sekali dengan anggur dan kebun anggur tadi, apakah Saudara dan saya ini jemaat yang subur, berbuah, atau mandul? Apakah kita ini berbuah lebat sehingga Tuhan puas, sehingga Tuhan bersukacita karena kehidupan umat-Nya? Itulah tafsiran rohani yang bisa kita baca dari ayat 12, “Mari, kita pergi pagi-pagi ke kebun anggur dan melihat apakah pohon anggur sudah berkuncup, apakah sudah mekar bunganya, apakah pohon-pohon delima sudah berbunga!” Ini ajakan dari mempelai perempuan kepada mempelai laki-laki, untuk menikmati bersama buah yang sudah siap untuk dituai.
Ayat 13: “Semerbak bau buah dudaim; dekat pintu kita ada pelbagai buah-buah yang lezat, yang telah lama dan yang baru saja dipetik. Itu telah kusimpan bagimu, kekasihku!” Ada hal lain lagi yang diangkat di sini, yaitu buah dudaim. Istilah ini Saudara temukan di dalam Kejadian 30, dalam cerita Lea yang berusaha membeli cintanya Yakub dengan memberikan Rahel buah dudaim. Ini cerita yang menyedihkan sekali, Yakub mencintai Rahel tapi kurang mencintai Lea. Dan di dalam Kejadian 30:14-16 ada cerita tentang Rahel yang seharusnya malam itu giliran tidur dengan Yakub, tapi kemudian Lea memberikan buah dudaim kepada Rahel, yang mandul itu (buah dudaim dipercaya bisa mendatangkan kesuburan), sehingga malam itu Yakub bisa “dibeli” untuk tidur dengan Lea. Inilah gambaran yang keluar waktu kita membaca ‘buah dudaim’. Ceritanya sangat tragis, cinta pun harus dibeli seperti ini; tapi di dalam Kidung Agung, sebagaimana tadi ketika dibandingkan dengan Kejadian kita membaca ada reversal/redemptive reading, demikian juga bagian ini boleh kita mengerti sebagai pembalikan, satu kabar baik. Yang tadinya buah dudaim digunakan secara keliru oleh Lea untuk membeli cintanya Yakub, di ayat 13 ini mempelai perempuan bukan berusaha membeli cinta mempelai laki-laki dengan buah dudaim itu, tidak ada yang perlu dibeli, tidak ada saingan juga. Tidak ada family disfunction dalam cerita ini, yang ada adalah hubungan covenantal yang sehat.
“Semerbak bau buah dudaim; dekat pintu kita ada pelbagai buah-buah yang lezat, yang telah lama dan yang baru saja dipetik”; bukan cuma buah dudaim, ada juga buah-buah yang lain yang lezat. Saya tertarik dengan gambaran ‘yang telah lama dan yang baru saja dipetik’; apa artinya ada buah-buah yang telah lama dan yang baru saja dipetik? Di dalam hubungan cinta, mulai dari pacaran lalu makin intim, tentu sudah ada yang bisa dinikmati, sudah ada semacam keintiman yang boleh terjadi; tetapi, sampai pada pernikahan, harus tetap ada yang baru yang belum pernah di-explore. Seharusnya, sejalan dengan keintiman yang terjadi secara jiwa sejak pasangan itu pacaran sampai kemudian masuk ke pernikahan, terjadi juga keintiman fisik. Janganlah keintiman fisik mendahului keintiman jiwa sedemikian rupa, sehingga ketika menikah sudah tidak ada lagi ‘buah yang baru dipetik’, semuanya sudah di-explore, sudah terjadi pre-marital sex, dsb., tidak ada lagi yang baru, tidak ada lagi yang bisa membuat klimaks karena sudah tahu semuanya. Saudara perhatikan di bagian ini, ada yang lama, ada yang baru dipetik, yang segar, yang baru sekarang dinikmati. Memang ada yang lama, yang sudah terjadi dan memang boleh terjadi, tetapi ada yang baru.
Kalau kita boleh meneruskan cerita ini, demikian juga dalam pernikahan yang sehat, yang diberkati Tuhan, seharusnya selalu ada ‘buah yang baru’, meskipun istilah ini tidak melulu ditafsir sebagai keintiman fisik saja, melainkan dalam arti yang bisa lebih luas. Di satu sisi, masih bisa menghargai keintiman dari hal-hal yang sudah biasa dinikmati –ini ‘buah yang telah lama’– tapi juga ada kebaruan, ada yang baru yang di-explore. Ini penting untuk pernikahan, karena jika tidak ada, pernikahan itu akan jadi pernikahan yang membosankan, monoton, tidak ada lagi yang baru yang menyegarkan –karena semuanya kategori ‘yang lama’, ini lagi, ini lagi– akhirnya orang bosan dan mulai lirik-lirik yang lain. Mengapa demikian? Karena tidak ada tension antara yang lama dan yang baru. Di dalam pernikahan perlu dialektik lama-baru, baru-lama; tentu bukan sepenuhnya baru, tapi juga tidak semuanya lama, ada yang lama dan ada yang baru. Selanjutnya dikatakan, “Itu telah kusimpan bagimu, kekasihku”; jadi selalu ada yang baru yang bisa disajikan untuk menyegarkan pasangannya. Ini sesuatu yang indah, kenikmatan yang baru (new delicacy) yang boleh dinikmati pasangannya.
Sekarang kita masuk pasal 8, ada motif yang baru lagi di sini. Ayat 1: “O, seandainya engkau saudaraku laki-laki, yang menyusu pada buah dada ibuku, akan kucium engkau bila kujumpai di luar, karena tak ada orang yang akan menghina aku!” Seperti kita sudah pernah bahas, ada beberapa kali mempelai laki-laki digambarkan jadi saudara laki-laki. Kalau kita tidak mengerti konteksnya, kita pikir ini koq malah mengajarkan incest (pernikahan sedarah daging) yang justru dilarang, dsb.; tapi ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan incest. Pada zaman itu, mungkin sedikit mirip dengan budaya Timur kita sampai sekarang, mencium pasangan di depan umum itu tabu. Kita yang di dalam budaya Timur, kalau mau bermesraan dengan pasangan, silakan melakukannya di rumah, bukan di transportasi umum, atau lapangan sepak bola, atau perempatan jalan, dsb. Demikian juga pada zaman itu; dan bahkan bukan cuma pacar, suami istri pun kalau mencium di depan umum tetap dianggap tidak pantas (inappropriate). Laki-laki dan perempuan yang bolehmencium di depan umum adalah yang ada hubungan saudara. Mencium saudara laki-laki atau perempuan di tempat umum, itu oke, karena memang adiknya atau kakaknya sendiri; tapi kalau bukan kakak atau adik, mencium di tempat umum jadi sesuatu yang tabu. Itu sebabnya mempelai perempuan tadi mengandaikan pasangannya adalah saudara laki-lakinya, ‘seandainya engkau saudaraku laki-laki, yang menyusu pada buah dada ibuku, akan kucium engkau bila kujumpai di luar’ —sesuatu yang tidak mungkin jika bukan saudara laki-laki. Maksudnya, ini adalah suatu keintiman yang dia ingin share.
Kita perlu membaca hal ini secara positif; bahkan juga dalam pengertian spiritual. Keintiman dengan Tuhan, adalah sesuatu yang kita rindu untuk share ke publik, bukan sesuatu yang kita mau menghayatinya in private. Ini adalah sesuatu yang betul-betul menggairahkan sehingga kita mau mempersaksikannya –bukan mempertontonkan (showing off)– karena ini sesuatu yang indah, yang orang lain boleh ikut menikmatinya. Saudara jangan membaca bagian ini dalam pengertian negatif, bahwa ini orang yang tidak sensitif, ‘apa ‘gak tahu kalau saya ini jomblo, malah mau cium-ciuman di depan publik kayak begini, sengaja mau iris-iris hati saya’ –jangan dibaca ke sana, bukan itu maksudnya. Ini adalah di dalam pengertian keintiman cinta demikian menggairahkan, dan dia ingin share kepada publik, dia ingin mengumumkan bahwa mereka saling mencintai. Demikian juga hubungan cinta kasih kita dengan Kristus, seharusnya juga diumumkan secara terbuka. Ini bukan sesuatu yang privat yang Saudara dan saya harus menutup-nutupinya, apalagi malu kalau ketahuan masyarakat non-Kristen, melainkan sesuatu yang harusnya membuat kita bangga, lalu kita mau mempersaksikan sehingga orang lain ikut menikmatinya, dan mudah-mudahan di dalam anugerah Tuhan mereka juga bisa percaya kepada Yesus Kristus, serta masuk juga ke dalam cerita cinta yang telah kita alami.
Ayat 2: “Akan kubimbing engkau dan kubawa ke rumah ibuku, supaya engkau mengajar aku. Akan kuberi kepadamu anggur yang harum untuk diminum, air buah delimaku.” Kembali di sini muncul motif ‘anggur’ dan ‘delima’. Dalam motif ‘anggur’ berarti mempelai perempuan menjadikan dirinya sumber sukacita bagi pasangannya; sementara ‘buah delima’ menyatakan ‘aku adalah perempuan yang subur, bukan perempuan yang mandul’. Sekali lagi, dalam pengertian spiritual kita juga boleh mengundang Tuhan, “Tuhan, datanglah ke kebunku, dan petiklah buah-buah yang ada di sini, karena jemaat milik-Mu ini adalah jemaat yang berbuah, jemaat yang Engkau bisa nikmati buahnya, jemaat yang engkau boleh bersukacita di dalamnya. Ini bukan jemaat yang tandus, bukan jemaat yang iri hati, bukan jemaat yang saling meninggikan diri, selfish, egois, yang cuma memperhatikan kepentingannya sendiri; ini bukan jemaat yang baper, yang semuanya gampang tersinggung satu sama lain, yang hanya memperhatikan perasannya sendiri. Bukan demikian; yang seperti itu adalah jemaat yang mandul, jemaat yang tidak berbuah. Jemaat yang berbuah adalah jemaat yang boleh dinikmati oleh Kristus. Ini satu encouragement. Membaca cerita seperti ini, membangkitkan gairah kerohanian kita untuk juga bisa melakukan hal yang sama, mengundang Kristus berjalan di kebun anggur kita, kalau kita juga ada buahnya.
Tadi kita mengatakan, di sini ada gambaran gairah cinta yang mau di-share secara publik; namun demikian, ayat 2 ini bukan berarti tidak ada tempat privat sama sekali. Di sini ada istilah ‘rumah ibuku’ –“akan kubimbing engkau dan kubawa ke rumah ibuku, supaya engkau mengajar aku”– dan Richard Hess menafsir ini dengan ‘the room where the female lover was conceived’ (ini adalah kamar tempat sang mempelai perempuan dulu dilahirkan). Dengan demikian allusion-nya menunjuk pada love making dan the joys of sexual pleasure –dan tentu saja ini privat. Jadi ada keintiman yang boleh di-share, dan memang perlu di-share, bisa diketahui publik dan tidak perlu ditutup-tutupi, namun itu tidak meniadakan adanya hal-hal yang hanya bisa dinikmati secara eksklusif. Sexual pleasure adalah sesuatu yang sangat eksklusif, bukan sesuatu yang Saudara bisa share ke mana-mana, bukan sesuatu yang Saudara bisa lakukan berganti-ganti orang. Ini adalah cinta kasih eksklusif antara istri dan suami, suami dan istri –dan hanya mereka berdua. Jadi saudara melihat dalam gambaran ini, di satu sisi ada hubungan yang intim yang di-share ke luar, di sisi lain ada hubungan intim yang dinikmati secara pribadi oleh kedua mempelai tersebut.
Terakhir, ayat 3 dan 4: “Tangan kirinya ada di bawah kepalaku, tangan kanannya memeluk aku. Kusumpahi kamu, puteri-puteri Yerusalem: mengapa kamu membangkitkan dan menggerakkan cinta sebelum diingininya?” Saudara tentu tahu, ayat 4 ini semacam refrein, dan pemenggalannya memang di sini.
Di ayat 3, di dalam fantasi/imajinasi mempelai perempuan –yang tidak harus dimengerti secara negatif sebagai mimpi-mimpi tidak realistis di siang hari bolong yang akhirnya mengecewakan– dia melihat betapa dirinya dicintai oleh mempelai laki-laki. Mempelai laki-laki menyentuh dan memeluknya, ‘tangan kirinya ada di bawah kepalaku, tangan kanannya memeluk aku’. Tangan kiri dan tangan kanan ini menyatakan keyakinan mempelai perempuan, bahwa dirinya diterima, dikasihi, dipeluk oleh mempelai laki-laki. Kalau kita tafsir secara spiritual, demikian juga jemaat yang sehat, jemaat yang mempunyai cinta kasih, adalah jemaat yang punya keyakinan kuat bahwa dia dikasihi di dalam Kristus, bahwa Kristus mendekap dan memeluknya –dan dia mengimajinasikan ini, imajinasi yang sehat yang dibangun berdasarkan prinsip firman Tuhan. Tanpa imajinasi ini, tanpa penghayatan ini, tanpa perenungan ini, kita akan jadi jemaat yang tidak sehat, jemaat yang karena tidak yakin akan cinta kasih Tuhan akhirnya mencari-cari cinta di tempat yang lain. Itu namanya melacur. Jemaat yang berusaha mengesankan atau mencari perhatian manusia-manusia, jemaat yang mau dipandang dan dihargai oleh manusia, adalah jemaat yang pemahamannya akan cinta kasih Kristus tidak cukup. Kalau jemaat mengerti bahwa dia begitu dicintai di dalam Kristus, oleh Kristus, maka dia tidak membutuhkan pujian-pujian dari luar sana; hal seperti itu jadi sesuatu yang kita tidak butuhkan lagi. Mengapa? Karena cinta kasih Kristus begitu sempurna untuk Saudara dan saya.
Saudara membaca di ayat 3, mempelai laki-laki itu so secure; mempelai perempuan ini adalah mempelai perempuan yang secure, dalam pengertian yang sehat –jangan dibaca ‘over convidence’. Saudara bayangkan, berapa susahnya perempuan yang rasa tidak aman (insecure), dan berapa susahnya Gereja yang insecure. Mengapa bisa insecure? Seperti dikatakan tadi, karena tidak merasa dikasihi, tidak merasa dipeluk, tidak merasa dicintai, sehingga akibatnya terus-menerus berusaha untuk membeli cinta, seperti Lea membeli cinta Yakub. Betapa Lea seperti tidak bisa mendapatkan cintanya Yakub, sampai-sampai musti membelinya dengan buah dudaim yang diebrikan kepada Rahel untuk bisa tidur dengan Yakub malam itu. Ini cerita yang sedih, tragedi. Cerita seperti ini tidak seharusnya terjadi dalam kehidupan jemaat dan Kristus, tidak seharusnya terjadi dalam kehidupan wanita-wanita Kristen, tidak seharusnya terjadi dalam kehidupan istri-istri Kristen. Mengapa? Karena ada keyakinan dikasihi, dicintai, dipeluk.
Terakhir, ayat 4: “Kusumpahi kamu, puteri-puteri Yerusalem: mengapa kamu membangkitkan dan menggerakkan cinta sebelum diingininya?” —yang adalah refrein. Kita sudah pernah menafsir refrein seperti ini, dan saya tidak akan mengulangi. Ketika refrein diulang, ini sebetulnya adalah refrein yang sama tapi ada perkembangan. Meskipun kalimatnya sama, tapi gerakannya makin lama makin intim, hubungan mempelai wanita dan mempelai pria makin lama makin masuk ke intimacy yang main dalam. Dengan demikian waktu refrein ini dikatakan, di awal kita menafsir ini sebagai peringatan untuk jangan terlalu cepat, biarlah cinta bertumbuh secara alamiah, jangan memaksakan dan kemudian hangus oleh hawa nafsu sebelum pernikahan; ‘jangan engkau menggerakkan cinta sebelum diingininya’. Tapi waktu kalimat tersebut dikatakan di sini, sekarang ada perbedaan; tadinya ‘jangan engkau menggerakkan cinta sebelum diingininya’, sekarang ‘mengapa kamu membangkitkan danmenggerakkan cinta sebelum diingininya’. Ada sedikit nuansa di sini; tadinya adalah peringatan supaya jangan diterjang karena belum menikah, tapi kemudian waktu di dalam pernikahan, jadi ada alasan mengapa membangkitkan dan menggerakkan cinta. Jadi ini masuk ke intimacy yang lebih dalam. Richard Hess mengomentari seperti ini: “This statement here also brings the female out of the fantasy of her lover as brother to the reality of her lover beside her”; yang tadinya fantasi/imajinasi itu lebih indah daripada realitas, sekarang dalam pergerakan cinta yang makin lama makin dalam, realitas ini jadi lebih indah daripada imajinasi/fantasi. Imajinasi mempelai wanita tadi adalah ingin menjadikan pasangannya sebagai saudara laki-laki yang boleh dicium di depan umum; namun apa artinya mencium di depan umum tapi bukan suami yang bisa dinikahi?? Jadi di sini seperti disadarkan untuk masuk ke dalam realitas, dan realitas ini tidak kalah indah: ‘ini bukan saudaramu laki-laki; memang kamu tidak bisa mencium dia sembarangan di tempat umum, tapi kamu boleh menikahinya, kamu boleh merayakan cinta dengan dia, karena dia bukan saudaramu laki-laki, dia adalah suamimu; nikmatilah dia sebagai suamimu, terimalah dia sebagai suamimu yang mencintai engkau, yang tangan kirinya di bawah kepalamu dan tangan kanannya memeluk engkau.’
Sekali lagi, waktu kita membaca bagian ini secara puitis, ada hal-hal yang kita bisa pahami baik secara literal dalam hubungan suami istri, hubungan cinta, bahkan keintiman fisik sexual intercourse termasuk di dalamnya; tapi juga ada pengertian spiritual, pernikahan antara Kristus dan jemaat-Nya.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah(MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading