Kita akan membahas tema “misi”. Outline-nya simpel saja; yang pertama: apa artinya ‘misi’, yang kedua: apa tanda-tanda misi yang sejati.
Saudara tidak akan menemukan istilah ‘misi’ di bagian Alkitab yang kita baca ini, tapi hal tersebut sebetulnya muncul dua kali. ‘Misi’ adalah istilah dari bahasa Latin, missio, dan merupakan terjemahan dari istilah yang muncul dua kali di ayat 18, “Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia” —mengutus. Inilah esensi misi.
Misi berarti Saudara diutus atau dikirim untuk sesuatu. Dalam bahasa Inggris, ada istilah jadul mengenai surat yang dikirim, yaitu missive; juga ada istilah jadul tentang kedutaan besar, yaitu mission, misalnya Mission of Italy artinya Kedutaan Italia, Mission of Malaysia artinya Kedutaan Malaysia, dst. Di dalam kedutaan ada duta besar (dubes); dan dubes adalah seseorang dengan misi, seseorang yang dikirim/diutus untuk sesuatu. Seorang dubes diutus untuk menunjukkan di negara lain, seperti apa negara mereka sesungguhnya, untuk jadi perwakilan yang akurat bagi negara/pemerintah dan rakyat mereka. Demikianlah Yesus juga diutus untuk hal ini; di ayat 6 Tuhan Yesus mengatakan bahwa Dia datang untuk menyatakan nama Bapa, untuk menunjukkan/menyatakan Bapa, menjadi perwakilan yang akurat bagi Bapa-Nya. Inilah misi. Selain itu ada alasan yang kedua, yang kita baca di ayat 19: “Aku menguduskan diri-Ku bagi mereka, supaya mereka pun dikuduskan dalam kebenaran.” Dia datang untuk membuat umat yang terpecah-pecah menjadi kembali utuh, Dia datang untuk memulihkan umat yang berdosa. Intinya, seorang misionaris dikirim untuk mewakili si pengirim, menunjukkan si pengirim, demi kebaikan orang yang kepadanya mereka dikirim, untuk menguduskan mereka. Ini dua hal yang muncul di dalam misi. Di sini sekali lagi Saudara lihat, Kekristenan modelnya adalah kaca spion, ada 3 pihak —saya dikirim, mewakili Siapa, demi siapa.
Hari ini salah satu kesulitan kita dalam hal misi adalah: kita mungkin merasa bermisi itu hanya untuk beberapa tipe orang Kristen, tipe-tipe orang yang super confident. Bayangan kita, orang yang bermisi (misionaris) adalah orang yang berani mendatangi orang lain dan mengatakan, “hidup kamu selama ini salah, kamu harus ikut cara hidup yang benar”. Menjadi orang yang bermisi, seakan-akan gambarannya adalah orang yang sangat yakin pada diri sendiri, sampai bisa suruh-suruh orang lain mengikuti mereka. Dan, ini mungkin cocok dengan gambaran misionaris-misionaris yang Saudara baca dalam cerita-cerita tentang misionaris, yang seringkali fokusnya jadi ke misionarisnya, selalu misionarisnya yang jadi keren. Tapi ini salah kaprah, karena seorang misionaris tidak pernah menaruh dirinya di spotlight. Seorang misionaris adalah sebagaimana dua hal yang kita katakan tadi, yaitu mengenai ‘Siapa’ yang mengirim dia, atau mengenai ‘siapa’ yang kepadanya mereka dikirim. Seorang misionaris bukan urusan mengenai dirinya begini atau begitu, tapi orang yang justru sedang fokus kepada pihak yang lain.
Contoh sederhananya, bayangkan tentang seseorang yang Saudara kasihi dan Saudara tahu dia ada semacam gejala penyakit yang tersembunyi, yang dulu pernah juga jadi penyakit Saudara. Saudara tahu gejala penyakit ini tersembunyi, tapi bisa berbahaya. Saudara tahu jalan keluarnya juga, karena sudah pernah mengalaminya; dan Saudara juga tahu orang yang menderita penyakit ini biasanya tidak sadar bahwa dia sakit, sehingga tidak akan percaya begitu saja kalau diberitahu. Di sini apa yang akan Saudara lakukan? Saudara akan mulai membangun sebuah case, menyusun argumen dengan baik-baik dan tenang. Saudara akan mulai percakapan dengan tepat, tidak langsung dengan mengatakan, “Hei, lu pokoknya begini ya,” tapi mulai dengan membicarakan kondisi Saudara dulu, “Aku mau cerita, ya; dulu aku pernah begini-begini.” Inilah bermisi.
Misi bukan terjadi karena Saudara melihat kepada diri Saudara, kehebatan Saudara, kepercayaan diri Saudara, lalu baru Saudara cari-cari mangsa di luar sana. Itu bukanlah gambaran seorang misionaris. Misi terjadi karena Saudara melihat ke luar terlebih dahulu; Saudara menyadari Ada yang mengirim Saudara dan ada orang-orang yang kepadanya Saudara dikirim. Itulah fokus seorang misionaris. Misi terjadi karena orang menyadari ada keperluan/kebutuhan, baru kemudian mereka memperlengkapi diri untuk mengisi kebutuhan tersebut. Itulah bermisi. Kalau dilihat seperti ini, maka sederhananya misi adalah gabungan ketika Saudara memiliki kebenaran dan kasih –bukan rasa percaya diri yang berlebihan. Kalau Saudara hanya ada kebenaran tapi tidak ada kasih, tentu tidak ada misi; dan kalau Saudara cuma ada kasih tapi tidak ada kebenaran, maka tidak ada misi juga. Misi adalah kedua-duanya. Misi, bukanlah orang-orang fanatik yang ke sana kemari mencari target dengan lidah menjulur seperti anjing ngeces kelaparan. Misi, bukan dilakukan oleh orang-orang yang sempit yang hanya fokus kepada diri mereka; kalau pun Saudara mau pakai istilah ‘sempit’, maka misi itu sempit dalam arti terfokus, seperti mengalirkan air melalui selang yang kecil yang keluarnya intens. Itulah misi. Kasih, memang intens; apalagi ketika orang yang Saudara kasihi nyawanya terancam.
Kenapa saya berusaha melukiskan misi seperti ini? Yaitu supaya Saudara menyadari bahwa misi bukanlah porsi orang-orang tertentu saja dengan temperamen mereka yang tertentu itu, orang-orang yang bernafsu cari target, atau orang-orang yang begitu berkharisma. Bukan itu. Misi itu simpel; Saudara melihat ada kebutuhan, dan Saudara tahu kebenaran. Kalau Saudara melihat misi seperti ini, maka artinya semua orang dalam hidup mereka, bermisi. Ini poinnya. Saudara tidak bisa menghindari bermisi dalam hidup ini, karena Saudara selalu bermisi dalam hidup ini. Saudara mengatakan diri Saudara bukan misonaris?? Sekarang ini istri saya sedang mengandung, dan begitu jemaat tahu, ada banyak sekali yang datang kepada saya memberitahu tips-tips mengenai kehamilan. Mengapa bisa begitu? Karena Saudara berbekal kebenaran dan kasih; Saudara care terhadap saya, Saudara melihat saya ada kebutuhan, dan Saudara punya sesuatu yang bisa di-share. Ini misi. Misi yang jelas-jelas ada. Dan, semua orang melakukan misi seperti ini. Saudara tentu mengerti maksudnya, tidak ada orang di dunia ini yang tidak bermisi. Itu sebabnya beda Kekristenan dengan yang lain bukanlah bahwa Kekristenan ada misi, sementara yang lain tidak ada; baik orang Kristen maupun orang lain di seluruh dunia sebenarnya sedang melakukan misi terus-menerus. Siapa di antara kita yang tidak pernah fokus kepada sesuatu, merasa ada kebutuhan dan kita punya sesuatu untuk mengisi kebutuhan tersebut lalu kita bermisi? Siapa yang tidak pernah melakukan ini?? Itu sebabnya semua dari kita adalah misionaris; pertanyaannya: apa misinya?
Apa misinya, inilah yang menjadikan berbeda antara misi Kekristenan dengan misi-misi lain. Kalau di dunia ini hanya dengan berbekal sedikit kepedulian plus sedikit informasi, Saudara sudah bisa bermisi ke mana-mana, maka sebagai orang Kristen yang dibekali kasih dan kebenaran, harusnya kira-kira apa yang terjadi? Itu sebabnya panggilan untuk bermisi adalah bagus untuk kita bisa berefleksi dan mencek diri kita. Pertanyaan klasik orang Calvinist dan juga Lutheran: dari mana kita tahu bahwa diri kita diselamatkan, dari mana kita tahu bahwa diri kita adalah bagian dari Kerajaan Allah. Ada banyak cara pendekatan untuk pertanyaan seperti itu, tapi kalau kita melihat bagian ini, salah satu cara mendiagnosanya adalah: apakah Kekristenan bagimu adalah hal yang privat, atau tidak; apakah bagimu Kekristenan tidak lagi bisa di-keep untuk dirimu sendiri, atau tidak. Kalau Saudara merasa diri tidak mampu, merasa diri tidak cukup, namun ada sesuatu dalam dirimu yang membuat Saudara tidak lagi bisa mengatakan ‘Kristus hanya untukku saja’, maka itulah jiwa seorang misionaris Kristen.
Dalam bagian yang kita baca tadi, Yesus mengatakan, sebagaimana Bapa mengutus, maka Ia sekarang mengutus murid-murid-Nya. Ini berarti, kalau Saudara mau tahu seberapa mirip atau seberapa dekat Saudara dengan Kristus, Saudara perlu melihat bahwa Kristus adalah Seseorang yang bermisi, dengan demikian jika Saudara dekat dengan Dia, Saudara juga akan makin mirip seperti Dia, artinya Saudara bukan memikirkan mengenai dirimu, kemampuanmu atau ketidakmampuanmu, tapi seperti Kristus Saudara akan melupakan dirimu dan mengingat/berfokus kepada orang-orang di sekitarmu. Itulah misi. Misi adalah berarti Saudara dikirim, diutus; dengan demikian fokusnya tidak pernah mengenai dirimu, tapi fokusnya kepada orang-orang di sekitarmu. Misi lahir ketika kebenaran dan kasih bersatu. Itu hal yang pertama.
Sekarang kita masuk ke hal kedua, yaitu: bagaimana kita mengenali misi yang sejati? Tadi dikatakan bahwa misi bukan eksklusif hanya ada dalam Kekristenan, semua orang toh sebenarnya juga bermisi, jadi bagaimana kita bisa membedakan antara misi-misi Kristen dengan misi-misi yang lain?
Ada 3 hal dalam misi; yang pertama, mengenai dampaknya: misi Kristen yang sejati, pertama-tama dampaknya adalah membawa sukacita. Yohanes 17 tadi bicara mengenai misi Kristus, dan kita membaca di ayat 13, “Tetapi sekarang, Aku datang kepada-Mu dan Aku mengatakan semuanya ini sementara Aku masih ada di dalam dunia, supaya penuhlah sukacita-Ku di dalam diri mereka.” Di bagian lain yang juga membicarakan misi Kristus, yaitu Ibrani 12:2, dikatakan: ‘Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang —inilah misinya, yaitu– memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah.’ Di sini terjemahan LAI memang agak membingungkan, kesannya Tuhan Yesus memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, seakan-akan Yesus harusnya bersukacita tapi Dia ganti dengan memikul salib; tapi perkataan ‘ganti’ dalam teks aslinya bukan dalam arti ‘ditukar’ melainkan ‘demi’ –‘memikul salib demisukacita yang disediakan bagi Dia’. Maksudnya, misi yang mendatangkan sukacita bagi orang-orang-Nya maupun bagi diri-Nya. Tapi tidak selesai sampai di situ, ayat berikutnya adalah yang sebenarnya Tuhan Yesus hadapi: ‘Ingatlah selalu akan Dia, yang tekun menanggung bantahan yang sehebat itu terhadap diri-Nya dari pihak orang-orang berdosa, supaya jangan kamu menjadi lemah dan putus asa’ (ayat 3).Sekarang kalau kita gabungkan yang dikatakan dalam surat Ibrani dan Injil Yohanes: Bapa mengutus Anak-Nya ke dalam dunia untuk menanggung bantahanterhadap diri-Nya dari pihak orang-orang berdosa, untuk menggantikan dosa manusia, untuk mati; dan reaksi Tuhan Yesus terhadap panggilan/misi ini, dikatakan bahwa Dia melakukannya demi sukacita, dan supaya Saudara dan saya berbagian dalam sukacita. Aneh ya.
Dampak pertama misi yang sejati adalah sukacita. Apakah sukacita adalah hal pertama yang Saudara bayangkan akan dapatkan ketika Saudara melakukan misi? Kayaknya tidak. Mungkin dalam bayangan Saudara yang pertama muncul sebagai dampak misi yang sejati adalah penganiayaan, perselisihan, perpecahan, dst., tapi ternyata bagi Alkitab lain. Memang semua hal itu ada, orang yang mau taat kepada Tuhan akan menderita, dsb., tapi ternyata bukan cuma itu. Dalam bagian ini Alkitab sedang mengatakan, kalau Saudara merasa hidupmu kurang sukacita, mungkin itu karena Saudara kurang bermisi. Kita mungkin heran, karena kita tidak mengerti apa itu sukacita. Saya mau tanya, apakah sukacita terbesar dalam hidupmu selama ini? Dan datangnya dari mana? Coba Saudara ingat-ingat. Apakah sukacita-sukacita terbesar dalam hidupmu datang ketika dirimu menjadi fokus, atau ketika dirimu menjadikan sesuatu yang lain sebagai fokus? Yang mana yang mendatangkan sukacita-sukacita terbesar dalam hidupmu?
Ada satu tipe sukacita yang kita lebih familiar, yaitu ketika kita jadi pusat perhatian. Kita menang lomba, misalnya. Kita bersepeda begitu rupa, sudah sangat capek, harus saingan sama orang-orang, dsb., lalu akhirnya bisa menang, dan begitu kita menang semua orang bertepuk tangan, semua orang melihat kepada kita, kita jadi fokus perhatian –dan itu memang ada nikmatnya. Tapi ada tipe sukacita sejati yang lain, yang bukan terjadi ketika kita jadi pusat perhatian, melainkan ketika kita memusatkan perhatian kepada sesuatu. Contoh paling gampang, naik Gunung Bromo pagi-pagi dengan kedinginan dan musti ngantuk-ngantuk bangun pagi, gelap-gelapan, dsb., lalu sampai atas Saudara melihat secercah cahaya dari ufuk timur, matahari terbit, maka apa yang terjadi? Saya pernah mengalami ini, dan yang terjadi adalah sukacita, saya melupakan diri saya. Sukacita yang datang karena saya melupakan diri saya dan saya terfokus kepada satu hal yang lebih penting daripada hidup saya.
Saudara, manusia memang tidak diciptakan seorang diri, dalam arti manusia tidak diciptakan hanya bagi diri mereka sendiri. Saudara butuh sukacita? Saudara butuh misi. Manusia butuh misi untuk mempunyai hidup yang lebih hidup. Ada ikatan yang sangat erat antara sukacita dan misi; Yesus mengatakan ‘Aku bermisi, maka Aku bersukacita; Aku mengutus kalian seperti Bapa mengutus Aku’; mengapa? ‘Supaya sukacita-Ku penuh dalam kamu, supaya kamu bisa merasakan sukacita yang sama’. Ini ikatan yang dekat, yang seringkali kita lupakan. Anak-anak tahu hal ini sejak kecil, hanya saja semakin dewasa kita semakin pikun dan lupa akan hal ini. Saudara perhatikan, anak-anak kecil senang sekali dengan kisah-kisah petualangan; dan kisah-kisah petualangan yang terbaik tidak pernah cuma tentang orang jalan-jalan tok, petualangan yang seru seringkali adalah ketika si tokoh hero terpaksa harus pergi, terutus harus pergi –bermisi– bukan karena mereka merasa diri mampu, bukan karena semua orang mengakui mereka jago, tapi karena ada sesuatu yang mendorong mereka, yang lebih kuat daripada semua keberatan atau keterbatasan mereka, untuk mereka pergi. Itulah cerita petualangan yang paling menarik, dan semua anak senang dengan cerita seperti ini. Itu sebabnya kalau Saudara tanya anak kecil umur 6-7 tahun, yang belum jadi orang-orang sinis seperti kita, “Kamu waktu besar nanti mau jadi apa?” tidak ada yang pernah menjawab, “Aku nanti paling-paling mau kerja kantoran di manalah; aku paling nongkrong seharian di depan komputer ngerjain Excel”. Tidak ada yang seperti itu. Mereka selalu mimpi besar, jadi ini, jadi itu; dan selalu tokoh-tokoh yang mereka sebut adalah tokoh-tokoh yang mengubah dunia, yang berdampak, yang bermisi. Mereka membaca masa depan mereka dalam kacamata misi. Mungkin inilah sebabnya anak-anak kecil jauh lebih bersukacita daripada kita. Waktu kita mulai dewasa, kita mulai jadi orang-orang yang makin sempit fokusnya, makin mikirin diri sendiri, keluarga sendiri, kebahagiaan sendiri, kenyamanan sendiri. Kalau mau jujur, inilah yang sebenarnya pelan-pelan menggerus sukacita kita.
Kita sudah sering mendengar ada beda antara happines dan joy, happines bukan joy, kebahagiaan bukan sukacita. Mengapa bisa ada perbedaan seperti ini? Karena sukacita-sukacita terbesar dalam hidupmu seringkali terjadi ketika Saudara menemukan ada sesuatu yang sangat indah, sangat agung, sangat berharga, yang lebih berharga daripada kebahagiaanmu. Sukacita seringkali muncul justru ketika Saudara menemukan sesuatu yang baginya Saudara rela menyerahkan kebahagiaan Saudara. Itu sebabnya kebahagiaan dan sukacita tidak sama. Sebaliknya, ketika hidupmu isinya hanya demi kebahagiaanmu, demi kenyamananmu, demi dirimu, tidak heran Saudara tidak bersukacita. Itu karena Saudara tidak berdampak di dunia, karena Saudara tidak punya sesuatu yang Saudara anggap begitu indah hingga Saudara rela menyerahkan hidupmu dan kebahagiaanmu, Saudara hanya punya dirimu sendiri; dan ketika hanya dirimu yang kau miliki, itulah momen di mana engkau sesungguhnya memiliki nothing. Paling celaka kalau Saudara bertemu dengan manusia-manusia seperti ini.
Saudara mungkin tahu saya suka gowes. Komunitas gowes itu isinya banyak orang-orang kaya karena sepeda yang bagus memang mahal-mahal sekali. Waktu Saudara gowes bersama mereka, Saudara lihat hidup mereka itu punya everything; mobil banyak, rumah minimum 4 lantai dengan lantai ke-5 yang jadi taman tempat nyantai, kantor di rumahnya menghadap taman dengan kolam ika, dst. Waktu Saudara ke rumah mereka, Saudara diperlihatkan betapa segala sesuatu yang manusia ingin miliki, ada di sana. Saudara berdecak kagum. Tapi waktu Saudara mulai spend waktu bersama mereka, Saudara mulai melihat ada yang aneh, dan bukan cuma saya yang melihat ini. Kalau Saudara bersepeda, Saudara bisa hemat tenaga dengan cara manggandul di belakang orang; dan orang-orang kaya yang sudah cukup berumur itu tentu tidak sekuat kami-kami yang muda, jadi mereka selalu menggandul di belakang. Tidak masalah juga. Tapi ada satu hal yang lucu, ketika tiba di jembatan (di PIK tempat kami bersepeda ada dua jembatan yang pasti dilewati) mereka tiba-tiba keluar barisan, ngebut, nanjak sekuat tenaga, seakan-akan untuk dilihat orang, lalu setelah itu balik lagi ke barisan, tanya-tanya ‘kamu tadi heart rate berapa waktu nanjak’ –dan sengaja tanya ke anak-anak muda yang masih pemula, yang tidak terlalu kuat. Dan, kalau anak-anak muda ini tidak sanggup mengikuti sehingga putus dari barisan, orang-orang itu seakan-akan harus mendeklarasikan ke seluruh dunia, “Si A itu putus!” Mau apa sebenarnya?? Ini orang-orang yang punya everything, tapi seperti haus pengakuan. Tentu saja tidak semua orang kaya seperti ini, tapi kalau orang miskin melakukannya, mungkin kita tidak terlalu bingung. Yang kita bingung, tidak jarang sifat kayak begini kita temukan justru pada orang-orang yang paling kaya; justru orang-orang seperti ini yang paling haus signifikansi. Kenapa? Mungkin ada beberapa orang kaya yang memang fokus tertingginya adalah diri mereka, yang memang terbiasa hidup dikelilingi orang-orang yang eksis hanya demi dirinya, yang kebahagiaan dan kenyamanan dirinya selalu nomor satu; dan dalam momen seperti itu, momen mereka memiliki segala sesuatu, ternyata mereka justru paling terasa hampa, kosong, nothing. Kenapa nothing? Karena nothing to sacrifice for.
Saudara, manusia tidak didesain untuk jadi pusat alam semesta; manusia diciptakan untuk mengorbit sesuatu yang lain. Ketika Saudara mengutamakan kebebasan dari segala sesuatu, ‘saya tidak mau mengorbit apapun, saya tidak mau menyerahkan kebahagiaan saya demi apapun’, akhirnya Saudara juga bebas dari sukacita, bebas dari misi. Saudara tidak mau menyangkal diri, maka Saudara tidak punya diri. Tidak heran Yesus Kristus mengatakan, “Barangsiapa berusaha menyelamatkan nyawanya, akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, akan mendapatkannya”. Manusia tidak bisa hidup bagi dirinya sendiri; manusia perlu misi. Inilah yang pertama; misi yang sejati, tandanya adalah sukacita.
Yang kedua, misi yang sejati itu penuh dengan kekudusan. Kembali ke teks yang kita baca, di sini ada struktur ‘sandwich’ (dua hal yang sama mengapit sesuatu yang penting yang di tengah). Kita perhatikan ayat 17,18, dan 19. Ayat 17 dan 19 bicara hal yang sama, yaitu kekudusan. Ayat 17: “Kuduskanlah mereka dalam kebenaran“; ayat 19: “Aku menguduskan diri-Ku bagi mereka, supaya mereka pun dikuduskan dalam kebenaran” –ada kekudusan di ayat 17 dan ada kekudusan di ayat 19. Lalu di tengahnya, ayat 18: “Sama seperti Engkau telah mengutus Aku —misi– ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia”. Jadi ayat 17 ‘kudus’, ayat 19 ‘kudus’, lalu di tengah-tengahnya ‘utus’; ayat 17 pengudusan, ayat 19 pengudusan, di tengah-tengahnya pengutusan. Kenapa Tuhan Yesus membungkus pengutusan dengan bicara mengenai pengudusan? Karena ada hubungan yang erat antara pengutusan dengan pengudusan; bahkan keduanya tidak boleh dipisahkan. Ketika kita memisahkan keduanya, inilah yang seringkali jadi problem.
Misi, tanpa kekudusan, jelas problematik –kita sudah bisa membayangkannya; tapi kenapa kekudusan juga seringkali jadi problem? Yaitu karena tidak dilakukan demi misi. Semua orang Kristen tahu bahwa mereka dipanggil untuk hidup kudus –menyerupai Kristus, punya buah roh–tapi yang jarang dibicarakan adalah kenapa di Alkitab ada panggilan untuk hidup kudus, apa tujuannya hidup kudus. Dalam hal ini, apa jawabannya? Sudah pasti bukan untuk mendapatkan keselamatan; kita percaya bahwa kita diselamatkan bukan karena kekudusan kita. Lalu jadi apa jawabannya? Mungkin kita mengatakan karena kekudusan itu baik untuk diri kita, bahwa kita didesain untuk hidup kudus, jadi kita menjalankan hidup kudus demi kebaikan kita sendiri. Jawaban ini memang tidak salah, tapi kesannya egois banget; itu sebabnya kita memberi jawaban yang kedua: saya mau hidup kudus karena saya bersyukur kepada Tuhan, itu bentuk ketaatan saya kepada Tuhan. Benar juga; tapi ini kerohanian “cermin” dan bukan kerohanian “kaca spion”. Hanya ada 2 pihak di sini, Tuhan dan Saudara; lalu di mana tempatnya dunia? Kalau Saudara melihat ayat yang kita baca tadi, Tuhan Yesus memberitahukan bahwa hidup kudus itu demi dunia ini. Di ayat 18 Tuhan Yesus mengatakan, “Seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia” –ada 3 pihak di sini–“demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia” –ada 3 pihak lagi.
Ketika Tuhan Yesus mengutus kedua belas murid-Nya ke dunia –misi– apakah Tuhan Yesus bikin pelatihan PI dulu? Waktu Tuhan Yesus mengatakan, “seluruh otoritas di langit dan di bumi telah diberikan kepada-Ku”, apakah Dia mengatakan ‘maka Aku ajarin kamu bikin e-brochure yang bagus, bagaimana jadi seorang tele-evangelist yang hebat, bagaimana strateginya kalau mau KKR lapangan terbuka, bagaimana khotbah yang baik, bagaimana balance antara poin dan ilustrasi dan aplikasi khotbah’?? Tidak. Tuhan Yesus mengutus dua belas murid-Nya bukan dengan manual penginjilan; Dia mengutus dengan kekudusan —dan dunia dijungkirbalikkan.
Kita hari ini punya lebih banyak jemaat –tidak cuma dua belas– apakah dunia berubah karena kita? Kenapa dunia tidak dijungkirbalikkan oleh karena kita? Mungkin karena kita punya manual penginjilan tapi kita tidak punya kekudusan. Saudara lihat, itulah caranya Injil menyebar di Gereja-mula-mula; dalam Kisah Para Rasul, cerita tentang bagaimana Injil menyebar adalah cerita kekudusan yang menyebar, satu hidup kudus yang melahirkan hidup-hidup lain yang juga kudus. Omong-omong, ini tentunya bukan berarti pelatihan penginjilan untuk KKR tidak penting; tentu saja penting, Saudara perlu diperlengkapi. Tapi saya cukup yakin, pelatihan KKR yang baik tidak pernah cuma fokus pada teknik khotbah tapi juga karakter sang pengkhotbah.
Beberapa tahun lalu kita pernah membahas tentang turunnya Roh Kudus, bahwa Lukas memang dengan sengaja menarik kemiripan-kemiripan antara turunnya Roh Kudus di Perjanjian Baru dengan turunnya Sepuluh Hukum Taurat di Perjanjian Lama, karena Hari Raya Pentakosta awalnya adalah Hari Raya Panen Pertama dan merangkap hari peringatan turunnya Hukum Taurat di Gunung Sinai. Intinya, kalau Saudra mau mengerti turunnya Roh Kudus di dalam Perjanjian Baru, Saudara perlu membacanya dengan kacamata turunnya Sepuluh Hukum Taurat. Ketika kita kembali ke Perjanjian Lama dan membaca kalimat pembukaan (preambul) Sepuluh Hukum Taurat tersebut, Tuhan mengatakan demikian: “Jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan … “ –bukan akan selamat dan masuk surga– tapi: “Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus”. Apakah artinya kerajaan imam? Imam adalah pengantara –imam adalah kaca spion. Sebagaimana sejak awal Abraham diberkati untuk menjadi saluran berkat, maka waktu Tuhan memberikan Sepuluh Hukum kepada Israel, itu sesungguhnya bukan hanya demi kebaikan Israel tapi supaya oleh satu bangsa ini semua bangsa di bumi diberkati –mereka disuruh menjadi imam. Ini imam yang bukan cuma anak-anak Harun tapi satu bangsa; dan kalau satu bangsa jadi imam, maka jemaatnya adalah seluruh dunia. Sepuluh Hukum memang khusus diberikan bagi Israel, tapi demi kebaikan semua bangsa. Relasi antara Allah dengan umat-Nya –cermin— tidak pernah berhenti hanya pada umat-Nya saja, tapi selalu punya arah ke luar kepada yang bukan umat-Nya —kaca spion. Jadi, Saudara dipanggil untuk hidup kudus demi misi; itulah alasannya Saudara dipanggil untuk hidup kudus. Saudara tidak boleh memisahkan keduanya.
Hal ini terlebih lagi ketika kita mengingat esensi kekudusan Kristen, yaitu bukan soal perilaku yang suci, bersih, higienis, melainkan perilaku yang berbeda; bahwa kekudusan adalah soal kekhususan, berbeda, dipisahkan. Barang yang khusus, memang biasanya kualitasnya lebih tinggi, tapi dalam hal ini tekanannya tidak cuma di situ; sifat khusus bukan terutama soal dia lebih baik daripada yang lain, tapi terutama bahwa dia ini bukan yang lain, beda daripada yang lain. Dengan demikian tujuannya Sepuluh Hukum diberikan kepada Israel, tujuannya Roh Kudus diberikan kepada kita, bukanlah terutama untuk membuat bangsa Israel atau Gereja jadi lebih baik daripada yang lain –tentu saja ada aspek seperti tersebut tapi bukan itu tujuannya– tujuannya adalah supaya mereka bisa dibedakan dari bangsa-bangsa yang lain. Lebih lanjut, nuansa ‘beda’ di Alkitab bukanlah untuk membuat orang merasa Saudara aneh lalu menghindari Saudara, “ih.., orang itu beda, lain banget”; tujuan ‘beda’ di Alkitab adalah seperti iklan-iklan mengatakan “tampil beda”, yang maksudnya membuat orang lain waktu melihat Saudara jadi tertarik kepada Saudara dan mendekat kepada Saudara. Kalau Saudara melihat kompetisi pasar HP, sebenarnya hardware maupun software-nya tidak beda-beda amat. Hampir semua HP zaman sekarang pakai Android atau IOS, hampir semua processor-nya Qualcomm atau Snapdragon dsb., hampir semua pakai Corning Gorilla Glass, tapi lihat perjuangan dari masing-masing merek untuk tampil beda, tampil khusus. Demi apa? Demi untuk menarik. Inilah yang dimaksud ‘beda’ dalam Alkitab; Saudara dipanggil untuk hidup kudus demi untuk menarik orang lain, demi menjadi kaca spion.
Di sini Saudara lihat ketimpangan banyak orang Kristen; waktu hari ini kita belajar Sepuluh Hukum, belajar mengenai buah roh, kita pikir tekanannya di mana? ‘Ya, itu untuk kebaikan kamu si pelaku hukum’ –jawaban yang tidak salah, tapi egois banget. Level yang kedua, ‘O, itu demi Tuhan Si Pemberi Hukum, sebagai rasa syukurmu’ –jawaban yang lebih baik sedikit karena tidak terlalu egois, dan juga aspek ini memang tidak salah. Tetapi, ketika Saudara kembali kepada perkataan Si Pemberi Hukum, Saudara menemukan dimensi yang baru, jangan-jangan melakukan Sepuluh Hukum dan memiliki buah roh itu ujungnya bukan demi Si Pemberi, bukan demi si pelaku, tapi demi si penonton; bukan si ‘I’, bukan Si ‘Thou’, tapi demi kebaikan si ‘them’. Tujuannya kita disuruh taat, tujuannya kita disuruh hidup kudus, ternyata tidak pernah berhenti pada diri kita, dan bahkan –ini yang mengagumkan– tidak pernah berhenti pada diri Tuhan, tapi selalu berhenti demi orang lain, demi bangsa lain yang bukan umat Si Pemberi Hukum –demi misi. Di mana Saudara bisa menemukan hal seperti ini kalau bukan di Alkitab?
Inilah penggenapan panggilan Allah kepada Abraham. Apa yang Allah panggil untuk Abraham lakukan? Yaitu: ‘Aku mau mengubahmu, hai Abraham tapi bukan demi dirimu sendiri, dan juga bukan demi diri-Ku, Aku mengubahmu demi mereka; Aku menyelamatkanmu, Aku memilihmu, supaya melalui engkau seluruh kaum di muka bumi ini mendapatkan berkat’. Inilah tujuan Sepuluh Hukum diberikan, inilah tujuan Roh Kudus dicurahkan. Tujuan Allah menjalin relasi dengan umat-Nya, adalah tidak pernah tanpa dimensi ‘yang bukan umat-Nya’. Sejak awal Allah memilih, mengkhususkan Israel, mengkhususkan Gereja, adalah bukan demi Israel tok, atau demi Gereja tok, tapi demi seluruh dunia, demi segala bangsa. Saudara lihat betapa amazing rencana Tuhan ini; Tuhan menyuruh umat-Nya hidup beda, Tuhan menyuruh umat-Nya hidup terpisah, tapi tujuannya hidup beda dan terpisah adalah supaya mengundang orang luar masuk. Di satu sisi ada eksklusifitas –jangan hidup seperti dunia, harus hidup eksklusif– di sisi lain, hidup eksklusif itu justru supaya inklusif, supaya mengundang orang luar masuk. Lucu ya. Dan, inilah misi Kristen. Misi Kristen dan kekudusan Kristen tidak pernah berlawanan, tidak pernah terpisah, selalu jadi satu.
Saya mungkin pernah sharing di tempat ini atau di tempat lain mengenai Profesor Tim Mackie, seorang profesor Alkitab, pendiri Bible Project di internet yang sangat terkenal itu. Dia pernah ditanya ‘apa buktinya Alkitab adalah firman Tuhan?’ Dia ini seorang profesor Alkitab, dia sangat jago menunjukkan kepada kita kebenaran-kebenaran dalam Alkitab, bukan saja bahwa Alkitab itu benar tapi juga bahwa Alkitab itu indah. Tapi waktu dia ditanya pertanyaan tadi, dia tidak membuka Alkitab, dia menunjuk kepada Gereja; dia mengatakan: “Saya percaya Alkitab adalah firman Tuhan karena saya melihat kesaksian hidup umat Tuhan, Gereja, yang meyakinkan saya untuk melihat Alkitab sebagai Firman Tuhan –karena umat Tuhan hidup atas dasar Alkitab”. Lucu ya. Mungkin Saudara tidak pernah membayangkan jawaban seperti ini; dan mungkin Saudara sebagai orang-orang yang ada di dalam teologi tradisional konservatif ada kecenderungan tidak suka jawaban seperti ini. Ditanya ‘apa buktinya Alkitab adalah firman Tuhan’, kita kepinginnya buka Alkitab dong, back to the Bible, perlihatkan di Alkitab ada buktinya sendiri, ada sesuatu yang kita bisa keluarkan dari Alkitab untuk membuktikan inilah firman Tuhan, bukti yang objektif! Kita mengatakan, “Koq sebagai bukti, disuruh lihat kelakuan orang?? Subjektif sekali dong, karena yang lihat bisa beda, orang-orang yang dilihat juga bisa beda —subjektif sekali! Harusnya dari Alkitab sendiri!”
Apalagi kalau bicara soal kanonisasi; seperti ada keengganan untuk mengakui adanya campur tangan Gereja dalam menentukan kanon, kepinginnya kanon adalah suatu daftar yang keluar dari surga, bukan karena Gereja memilih, bukan karena manusia. Tapi kita sudah membahas panjang lebar bahwa Tuhan justru bekerja lewat manusia koq, karena manusia itu image of God. Dalam urusan kanon, Saudara tidak bisa menghindari fakta bahwa Gereja ada terlebih dulu sebelum ada kanon. Faktanya, isi tulisan Perjanjian Baru hadir melalui Gereja, bukan?? Ketika Tuhan Yesus naik ke surga, Dia tidak memberikan kepada mereka kanon Perjanjian Baru lalu mendirikan Gereja di atas kanon Perjanjian Baru; ketika Tuhan Yesus naik ke surga, Dia mendirikan Gereja –manusia–lalu barulah dari Gereja tersebut keluarlah Injil Matius, Markus, Lukas, Yohanes, Kisah Para Rasul, surat-surat Petrus, Paulus, dan lain-lain. Lalu bagaimana dengan Perjanjian Lama, Saudara pikir Perjanjian Lama beda? Tidak. Sama juga seperti Perjanjian Baru, Orang-orang Yahudi meng-atribut-kan kitab-kitab pertama Perjanjian Lama kepada Musa, tapi umat Allah sudah dipanggil jauh sebelum Musa (Abraham sudah jadi umat Allah jauh sebelum Musa). Perjanjian Lama bukan ada lebih dulu, lalu baru ada umat Tuhan; ‘Pada mulanya Allah menciptakan Alkitab’, lalu setelah itu semuanya keluar –tidak demikian. Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi, lalu menciptakan manusia dan memanggil sebagian dari mereka keluar menjadi umat-Nya, dan baru kemudian belakangan ada firman Tuhan yang tertulis. Jadi, kalau Saudara lihat bahwa Tuhan pertama-tama memakai umat-Nya/Gereja-Nya lebih dulu, baru menghasilkan Firman Tuhan, maka kenapa kita sulit menerima bahwa bukti kebenaran/keabsahan Alkitab sebagai firman Tuhan itu juga datang melalui kehidupan dan kekudusan umat Tuhan dan Gereja-Nya?
Kembali kepada cerita Tim Mackie. Waktu orang mengatakan kepadanya, “Bisa tidak perlihatkan kepada saya sesuatu dalam Alkitab yang membuat saya yakin Alkitab ini firman Tuhan?” Tim Mackie malah menutup Alkitabnya, dan mengatakan: “Saya melihat Gereja, sekumpulan orang-orang di dunia ini yang aneh, yang hidup beda, yang hidup terpisah dengan orang lain, yang tidak hidup menurut cara-cara duniawi, yang hidup di dalam dunia tapi bukan dari dunia. Saya tidak mengerti kenapa ada orang-orang seperti ini; dan waktu saya selidiki ternyata mereka hidup dari Alkitab. Inilah yang meyakinkan saya bahwa Alkitab itu firman Tuhan”. Saudara jangan salah tangkap saya, tapi silakan kalau Saudara bisa menemukan di dalam Alkitab ada bukti objektif –yang kedap air, kedap ateis, kedap idiot, yang bersinar-sinar– sehingga semua orang bisa melihat dan tidak bisa menyangkal.
Intinya pola yang Tim Mackie katakan ini sinkron dengan model kekudusan yang kita lihat di dalam Alkitab, kekudusan yang selalu berhubungan dengan misi. Kenapa bisa melihat Alkitab itu kudus, yaitu karena melihat kekudusan dalam umat yang hidup dari Alkitab. Kekudusan dan misi –tidak ada jalan lain. Itu sebabnya hari ini kita tidak pernah dipanggil untuk hidup kudus hanya demi hidup kudus; kekudusanmu hari ini selalu ada demi orang lain, demi umat Tuhan, demi umat yang sekarang ini bukan umat Tuhan. Inilah yang akan menyelesaikan begitu banyak problem dalam hal kekudusan, karena kalau orang hidup kudus demi orang lain, maka ini tidak mungkin kekudusan yang sok suci, ‘Huh.. kami beda, kami ‘gak minum alkohol, kami ‘gak main game, kami ‘gak jalan-jalan, dsb.” –tidak ada kekudusan seperti itu dalam kekudusan yang selalu demi orang lain ini. Dan, mungkin inilah sebabnya selama ini kita tidak pernah hidup kudus, yaitu karena kita tidak menyadari tujuan hidup kudus; atau kekudusan kita selama ini cuma jadi kekudisan di mata dunia karena kita hidup kudus demi diri dan bukan demi orang lain.
Ada satu serial TV yang pada dua musim pertamanya si tokoh utama hidup begajulan, tidak bermoral, kejam, main hakim sendiri, bunuh orang tanpa peduli. Pada dua musim pertama ini ceritanya dia mencari istrinya yang sudah lama hilang entah ke mana, orang bilang sudah mati, tapi dia percaya masih hidup dan dia mencari terus. Di musim kedua, dia akhirnya berhasil ketemu dengan istrinya yang ternyata masih hidup, dan ternyata punya anak hasil diperkosa musuh bebuyutannya. Kacau. Dia lalu ingin membawa kabur istrinya itu dan meninggalkan anak haram tersebut. Tapi istrinya tidak mau karena bagaimanapun juga itu anaknya. Dia berusaha terus mengajak istrinya pergi, dan istrinya terus saja tidak mau. Di akhir musim kedua, dia ketahuan oleh musuh bebuyutannya, yang lalu mendatangi dia; dan dalam satu insiden, istrinya mati. Tapi sebelum mati, istrinya berpesan kepada dia: “Jangan tinggalkan anak itu” –lalu mati. Serial TV tersebut belakangan ini baru muncul musimnya yang ketiga; dan tokoh utama tadi masih tetap kasar, tapi seperti ada sisi yang lebih lembut, lebih bisa tahan diri, ada sesuatu yang sedikit berubah. Waktu dia bertemu dengan anak itu, dia bisa main bersama. Ini seorang yang tidak bisa didekati orang, tapi anak itu –anak hasil perkosaan musuh bebuyutannya itu– bisa datang memeluk dia, dan dia pun balas memeluk. Koq bisa kayak begini, apa yang berubah? Kemudian ada satu tokoh lain muncul, seseorang yang sudah mengenal dia sejak lama dan tahu semua busuk-busuknya; dia mengatakan, “Kamu sekarang berubah; dan aku tahu kamu berubah bukan karena dirimu, kamu berubah karena seseorang”. Siapa kira-kira? “Kamu berubah demi anak itu.” Apakah ini, Saudara? Inilah kekudusan yang datang melalui misi, kekudusan yang datang demi orang lain. Alkitab mengatakan, Saudara kurang sukacita, berarti Saudara kurang bermisi. Alkitab mengatakan, Saudara hidup kurang kudus, berarti Saudara juga kurang bermisi.
Terakhir, apa karakter misi yang sejati? Misi memang membawa sukacita, misi memang membawa hidup yang kudus –kudus yang sejati– tapi misi bukan datang dari dua hal ini. Dari mana misi datang? Inilah hal yang ketiga: misi datang karena perjumpaan dengan Kristus. Teks tadi mengatakan, “Sebagaimana Bapa mengutus Aku, sekarang Aku mengutus mereka”, maka dasar dari misi murid-murid Tuhan Yesus dan juga kita, datang karena perjumpaan dan pengutusan oleh Yesus Kristus. Lalu bagaimana caranya Tuhan Yesus mengutus kita? Dalam hal ini saya akan share dari khotbah di Persekutuan Remaja kemarin.
Kami kemarin membahas mengenai Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya. Peristiwa itu mengejutkan dan membawa kekaguman banyak orang, karena memang ada banyak alasan. Misalnya, bahwa ini menunjukkan kerendahan hati Tuhan Yesus, karena kita tahu Dia Anak Allah yang menjadi manusia; dan bukan cuma menjadi manusia, tapi bahkan membasuh kaki murid-murid-Nya. Bukan cuma itu, bagian ini juga bicara mengenai penerimaan dan pengampunan Yesus, karena dalam peristiwa tersebut Tuhan Yesus juga membasuh kaki Yudas si pengkhianat, juga Petrus si penyangkal, bahkan semua murid-murid yang lain yang Dia tahu hanya bisa lari terbirit-birit meninggalkan Dia sendirian ketika pemerintah datang bawa satpol PP. Tapi, ada alasan ketiga peristiwa ini mengejutkan dan mengagumkan –yang saya juga baru tahu– yang bukan cuma karena Siapa yang membasuh dan siapa yang dibasuh, tapi apa yang sedang dialami oleh Sang pembasuh kaki ini. Kalau kita sedang ada problem dalam hidup, ada satu masalah yang pelik yang tidak bisa selesai hari ini juga, biasanya kita jadi gagal fokus, terfokus pada masalah lalu yang lainnya jadi tidak fokus. Kita jadi bisa lupa makan, jadi bisa lupa orang bicara apa, bisa jalan tidak lihat ada mobil, main game pun tidak enjoy, nonton TV tidak bisa menikmati, dst. Itu baru urusan ada masalah, lebih parah lagi kalau Saudara sedang menderita. Waktu menderita, orang biasanya jadi self-centered, semuanya fokus ke diri, dan menginginkan orang lain juga fokus ke dirinya. Saya mau tanya, kapan Tuhan Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya? Yaitu malam sebelum Dia disalibkan; dan ini bukan suatu kecolongan —happy-happy basuh kaki, eh, besoknya ditangkap– bukan demikian. Tuhan Yesus sudah berkali-kali memperingatkan murid-murid-Nya bahwa Dia akan ditangkap, disiksa, dan dibunuh. Tuhan Yesus tahu ini akan terjadi di dalam pasal tersebut, dan Dia sudah tahu siapa yang akan mengkhianati-Nya. Tuhan Yesus juga tahu, kematian ini bukanlah sesuatu yang akan Dia hindari, ini sesuatu yang Dia tidak bisa hindari karena memang Dia datang untuk mati demi dosa dunia. Saudara bayangkan, kalau menghadapi problem sepele saja Saudara bisa gagal fokus, apalagi kalau malam ini Saudara tahu besok akan menghadapi penghakiman Tuhan atas dosa, dan itu bukan dosamu sendiri, bukan dosa satu orang, tapi dosa seluruh dunia, maka apa yang akan terjadi?? Namun yang kita lihat dalam peristiwa pembasuhan kaki itu, bukan Tuhan Yesus yang terbengong-bengong, yang suntuk; yang kita lihat adalah: Dia bangkit, dan Dia membasuh kaki para murid-Nya.
Saudara, pembasuhan kaki murid-murid itu adalah sesuatu yang hanya akan Saudara lakukan ketika fokus Saudara benar-benar sepenuhnya murni bagi orang lain. Ini pekerjaan yang rendah. Saudara perlu melupakan dirimu dan hanya mengingat kebutuhan orang lain, baru Saudara mau melakukan hal ini. Pada malam Tuhan Yesus akan disalibkan, pada malam Tuhan Yesus menghadapi penyaliban esok hari, yang ada di benak-Nya adalah ‘apa yang dibutuhkan murid-murid-Ku, apa yang akan membuat mereka lebih nyaman’. Meskipun Tuhan Yesus menghadapi maut, meskipun Dia sedang menghadapi satu masalah besar –ini adalah masalah yang amat besar, Dia bergumul di taman Getsemani sampai keringat-Nya mengucur seperti darah– dalam momen ini fokus perhatian-Nya hanya kepada mereka, kebutuhan murid-murid-Nya, kenyamanan murid-murid-Nya. Bukankah ini amazing?? Inilah Allah yang hati-Nya adalah bagi kita, Allah yang tidak ada egoisme sama sekali, Allah yang arah hati-Nya senantiasa ke luar.
Kenapa Saudara bisa bermisi? Apa yang menggerakkanmu untuk bisa bermisi ke luar seperti ini? Kalau kita mau bermisi, tapi kita selalu fokus kepada diri, pada keterbatasan diri, pada kesulitan diri –‘aduh, saya sulit, bagaimana khotbah ke anak-anak, bagaimana bisa beli tiket, bagaimana bisa ambil cuti’, dsb. –apa yang bisa membuat kita melupakan semua ini dan hanya terfokus bagi orang lain? Hanya sejauh Saudara berjumpa dengan Dia yang pada malam itu menghadapi maut tapi hati-Nya tetap mengarah ke luar. Ke luar ke mana? Kepada Saudara dan saya. Mungkin Saudara bilang, “Pak Jethro salah, Tuhan Yesus tidak membasuh kaki saya, Dia membasuh kaki kedua belas murid-Nya”. Ya, memang benar Tuhan Yesus tidak membasuh kakimu dengan air. Tuhan Yesus membasuh dosamu dengan darah-Nya.
Sebagaimana Bapa telah mengutus Anak, sekarang Anak mengutus kita ke dalam dunia. Saudara mau menjawab panggilan ini? Jangan lihat kepada dirimu, lihatlah kepada Anak Allah.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading