Tema-tema kotbah akhir tahun biasanya berkisar pada rasa syukur, mengingat anugerah Tuhan, dsb., maka kotbah tentang Yunus ini, saya pikir merupakan satu bahan yang akan mengajak kita dengan sangat tajam mengingat Tuhan dan belas kasihan-Nya bagi kita. Saya harap ini menjadi satu kotbah penutup tahun yang pas, untuk kita mengakhiri tahun ini dengan rasa syukur. Kita akan membahas Yunus pasal 4, dan kita akan melihat 2 bagian besar: yang pertama, reaksi Yunus terhadap pertobatan Niniwe; yang kedua, reaksi Tuhan terhadap reaksinya Yunus.
Bagian yang akan kita bahas hari ini adalah pasal terakhir kitab Yunus, yang merupakan klimaks. Kisah Yunus adalah kisah seorang nabi pada satu zaman, yang bisa di-ibaratkan ketika Indonesia dijajah Jepang dengan segala kekejamannya, lalu Tuhan memanggil nabi bangsa Indonesia ini –yang adalah seorang patriot—untuk pergi mengabarkan Injil ke Tokyo. Itu sebabnya nabi ini kabur ke New Zealand, tapi di tengah-tengah perjalanan, Tuhan mencegah dia dengan badai. Dan, nabi ini tidak menyerah begitu saja; waktu seisi kapal sudah tahu bahwa dialah biang kerok terjadinya badai, dia bukannya minta ampun tapi malah minta mereka melempar dirinya ke dalam badai. Pada titik ini, mungkin banyak dari kita menganggap ini tindakan heroik mengorbankan diri bagi seisi kapal; tapi ada juga yang membaca sebaliknya, bahwa ini justru merupakan tindakan Yunus yang seakan mengatakan ‘lebih baik aku mati daripada pergi ke Niniwe, lebih baik aku tenggelam daripada disuruh kembali’ –dalam hal ini kita tidak tahu mana yang benar. Tanda tanya.
Berikutnya, Tuhan ternyata juga tidak gampang menyerah; waktu Yunus dilempar ke laut, Tuhan mengirim seekor ikan besar untuk menelan Yunus bulat-bulat dan membawanya kembali ke darat. Selagi di dalam perut ikan, Yunus menulis satu doa, yang sekali lagi sering kita lihat sebagai doa pertobatan, sampai kita mulai menyadari bahwa dalam doa tersebut tidak ada pengakuan dosa, tidak ada permohonan ampun. Jadi apakah doa ini sungguh doa pertobatan sejati? Orang yang sudah kabur dari Tuhan lalu berdoa tapi doanya tidak ada permohonan ampun sama sekali? Tanda tanya.
Setelah itu, di pasal 3 Yunus kembali disuruh ke Niniwe, dan sepertinya kali ini dia taat. Dia masuk ke kota Niniwe, dan mengkotbahkan satu kotbah yang cuma terdiri dari 5 kata dalam bahasa Ibrani. Di titik ini, banyak orang membacanya sebagai kotbah yang ideal (bandingkan kotbah saya sampai sini sudah 800 kata di Microsoft Word). Tapi apa benar ini kotbah ideal? Kotbahnya hanya mengatakan bahwa Niniwe akan ditunggangbalikkan dalam 40 hari, tapi tidak memberitahu kenapa alasannya, tidak memberitahu apakah ada jalan keluar dan pengharapan. Dan yang paling celaka, di kotbah tersebut tidak diberitahu Siapa “dewa” yang ngamuk ini. Jadi apa benar ini kotbah ideal, atau justru sabotase, yaitu kotbah yang didesain bukan untuk mempertobatkan orang tapi justru untuk mengunci nasib Niniwe sehingga mereka tidak bisa bertobat, karena tidak tahu musti bertobat kepada siapa dan bagaimana caranya bertobat, dst.? Tanda tanya.
Selain itu, di kisah ini disebut juga bahwa lebar kota Niniwe sejauh 3 hari perjalanan kaki, sementara Yunus dikatakan baru masuk sehari dan dia sudah berkotbah. Sekali lagi, di sini kita tidak tahu apakah ini berarti dia rajin, sudah mulai kotbah sebelum sampai tengah kota lalu terus menjalaninya, atau justru dia malas, belum sampai tengah kota sudah berkotbah lalu berhenti? Tanda tanya.
Selanjutnya, kota Niniwe ternyata betul-betul bertobat, dari raja yang paling atas sampai rakyat yang paling bawah, bahkan dikatakan lembu sapi dan kambing domba pun puasa. Dari sinilah kita kemudian masuk ke pasal 4, dan sekarang kita melihat semua tanda tanya yang tadi mulai terbongkar, bahwa sebenarnya Yunus itu heroik atau penjahat, dia bertobat sungguh-sungguh atau pura-pura bertobat, dia taat dan memberikan kotbah yang ideal atau dia cuma pura-pura taat dan kotbahnya adalah sabotase rohani. Yang mana yang benar, sekarang mulai terkuak, karena kita melihat reaksi Yunus terhadap pertobatan Niniwe.
Seandainya di pasal 1 dia mengorbankan diri bagi para pelaut, maka apa seharusnya reaksi dia terhadap pertobatan Niniwe? Kalau di pasal 2 pertobatannya sungguh sejati, maka apa seharusnya reaksi dia terhadap pertobatan Niniwe? Kalau di pasal 3 dia sungguh memberikan kotbah yang ideal, maka apa seharusnya reaksi dia terhadap pertobatan Niniwe? Lalu apa reaksi yang kita baca di pasal 4 waktu Yunus melihat pertobatan Niniwe? Ayat 1 mengatakan bahwa Yunus marah –amat sangat marah. Di ayat 1 kalimat dari LAI terlalu halus, dikatakan ‘hal ini –bahwa Niniwe bertobat dan Tuhan mengurungkan niat-Nya mendatangkan malapetaka—mengesalkan hati Yunus’, tapi kalimat aslinya mengatakan ‘hal ini adalah jahat di mata Yunus’. Jadi, yang Tuhan lakukan itu adalah jahat (evil) di mata Yunus –inilah surprise ending-nya. Ini membuat kita terhenyak dan harus membaca ulang kejadian-kejadian di pasal 1, 2, dan 3, dengan perspektif yang baru, mirip seperti ketika Saudara menonton film dengan surprise ending, lalu Saudara menonton ulang, melihat film itu dengan kacamata yang berbeda, dan Saudara baru sadar bahwa ending film itu sebenarnya sudah ada hint-hint-nya sejak awal.
Jadi, sekarang kita mulai menyadari, jangan-jangan kisah Yunus bukanlah kisah nabi yang kabur lalu bertobat, lalu taat, lalu dia jatuh lagi, tapi sebaliknya kisah ini mengatakan tentang nabi yang kabur (pasal 1), yang pura-pura bertobat (pasal 2), yang pura-pura taat (pasal 3), dan terakhir di pasal 4 ketahuan jati dirinya –dia ngamuk ketika Tuhan membawa pertobatan dan melihat itu sebagai hal yang jahat. Dengan demikian, dari awal sampai akhir, Yunus itu penjahat. Kalau Saudara masih kurang yakin, coba lihat bagaimana dia digambarkan di pasal 4; apa yang menyebabkan Yunus marah? Mengapa pertobatan Niniwe dan tindakan Tuhan yang tidak jadi menghancurkan itu merupakan sesuatu yang jahat dan keji di mata Yunus? Apa akarnya? Coba Saudara lihat perkataan Yunus sendiri di ayat 2-3: ‘Dan berdoalah ia kepada TUHAN, katanya: “Ya TUHAN, bukankah telah kukatakan itu, ketika aku masih di negeriku? Itulah sebabnya, maka aku dahulu melarikan diri ke Tarsis, sebab aku tahu, bahwa Engkaulah Allah yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia serta yang menyesal karena malapetaka yang hendak didatangkan-Nya. Jadi sekarang, ya TUHAN, cabutlah kiranya nyawaku, karena lebih baik aku mati daripada hidup.”
Jadi, Yunus marah, bukan karena dia salah mengerti Tuhan. Yunus marah, bukan karena dia memiliki doktrin yang ngawur. Yunus marah, justru karena dia mengenal Tuhan –dan dia menganal Tuhan dengan tepat. Perhatikan kalimatnya: “… aku tahu, bahwa Engkaulah Allah yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia serta yang menyesal karena malapetaka yang hendak didatangkan-Nya” –aku tahu, Kamu sifatnya begini, itu sebabnya aku marah! Kalimat-kalimat yang dikatakan Yunus tentang sifat Allah ini, bukan dari dirinya sendiri tapi dari Firman Tuhan. Pada dasarnya kalimat tersebut adalah ayat emasnya Perjanjian Lama, Yohanes 3:16-nya Perjanjian Lama. Inilah ayat yang berulang kali dikutip sepanjang Perjanjian Lama oleh umat Tuhan, ketika mereka memuji Dia. Contohnya, Mazmur 103: 8-10 “TUHAN adalah penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih setia. Tidak selalu Ia menuntut, dan tidak untuk selama-lamanya Ia mendendam. Tidak dilakukan-Nya kepada kita setimpal dengan dosa kita, dan tidak dibalas-Nya kepada kita setimpal dengan kesalahan kita”, dst. Mengapa kalimat ini sangat populer? Karena kalimat ini sesungguhnya datang dari mulut Allah sendiri, ketika Dia memproklamasikan diri-Nya di depan Musa (Keluaran 34) –kalimat ini adalah mengenai Allah sendiri. Dengan demikian, ironi di sini adalah bahwa akar kemarahan Yunus disebabkan bukan karena dia salah mengerti Tuhan, melainkan justru dia sangat jelas tahu siapa itu Tuhan, dan seperti apa Dia sesuai Firman Tuhan mengenai diri-Nya sendiri. Ironis sekali, kalimat yang orang lain pakai untuk memuji Tuhan, Yunus pakai untuk mendakwa Tuhan. Apa dakwaannya? Yaitu bahwa Allah Yahweh bersikap seperti Allah Yahweh. Di sinilah diri Yunus terbongkar lebar; dan kita, sebagai pembaca, baru menyadari alasan sesungguhnya di balik kaburnya dia di pasal 1. Itu bukanlah karena Yunus rasis, meski mungkin dia rasis. Itu bukanlah karena Yunus dendam atas apa yang orang Niniwe pernah lakukan terhadap bangsanya. Problem utama Yunus ternyata bukanlah dengan orang Niniwe, problem utama Yunus adalah dengan Allahnya, dengan sifat Allahnya. Allah yang mengasihi musuh-musuhnya. Allah yang hati-Nya ternyata cukup luas bagi penjahat-penjahat di dunia ini. Allah yang pengasih dan penyayang.
Kita bisa refleksi sedikit; banyak orang berpikir agama itu problematik, karena yang namanya “Allah” selalu menghakimi, selalu ada standar, ada saringan dan tidak semua orang boleh masuk, tidak semua orang selamat tapi ada yang masuk neraka, dst. Inilah yang digembar-gemborkan sebagai problem agama hari ini, bahwa hal-hal inilah yang mengakibatkan terjadinya kekerasan. Intinya, orang mau mengatakan supaya agama jangan bicara penghakiman dan dosa saja, tapi bicara kasih saja. Dan di kisah ini Saudara baru tahu, kalau Allah mengasihi, memangnya itu tidak bikin problem?? Problem Yunus bukan karena Allah punya saringan, bukan karena soal siapa yang Allah taruh di luar, melainkan karena soal siapa yang Allah masukkan, yang Allah tarik, yang Allah kasihi –itulah justru problem Yunus. Kitab Yunus membuka mata kita untuk menyadari, bahwa kasih Allah pun bisa jadi problem bagi manusia berdosa, yaitu ketika kasih Allah ternyata melampaui pikiran kita dan jatuh juga kepada orang-orang yang menurut kita tidak pantas dikasihi, ketika Tuhan mengasihi musuh-musuh. Inilah yang pertama, mengenai akar kemarahan Yunus.
Yang kedua, di ayat 3 waktu dia marah, dia minta mati; “Jadi sekarang, ya TUHAN, cabutlah kiranya nyawaku, karena lebih baik aku mati dari pada hidup.” Ini bukan cuma mau mati, tapi minta mati. Ini gambaran orang yang super egois, yang mau mati pun suruh orang lain membunuh dirinya. Di sini ada indikasi bahwa memang inilah sifat Yunus; di pasal 1 waktu Yunus minta dilempar ke laut, jangan-jangan dia memang mau bunuh diri tapi polanya tetap sama, dia suruh orang lain yang melempar dirinya, tidak mau lompat sendiri. Inilah yang kedua, yaitu dampak kemarahan Yunus.
Yang ketiga, kita melihat seperti apa kemarahannya digambarkan, yaitu kemarahan yang super munafik. Yunus marah karena orang lain menerima anugerah meskipun tidak pantas menurut dia, sementara dia sendiri juga menerima anugerah yang sama. Kalimat Tuhan yang tadi –“Tuhan itu penyayang, pengasih, …”—pertama muncul di Keluaran 34, dalam konteks lembu emas di pasal 32. Ketika itu orang Israel baru saja diberikan Sepuluh Hukum, yang jelas mengatakan tidak boleh menyembah berhala, lalu langsung di pasal berikutnya mereka bikin lembu emas dan menyembahnya. Tuhan ngamuk dan mau menghabisi mereka, tapi Musa berdoa bagi mereka sebagai pengantara, maka Tuhan mengurungkan niat-Nya mendatangkan malapetaka bagi orang Israel. Kemudian Tuhan memproklamasikan diri-Nya, ‘Akulah TUHAN yang penyayang dan pengasih, yang mengurungkan niat untuk mendatangkan malapetaka’. Ini berarti, seandainya Tuhan bukanlah Tuhan yang demikian, maka hari itu Israel lenyap –dan Yunus tidak bakal ada. Bahwa Yunus eksis, semata-mata adalah karena Tuhannya adalah Tuhan penyayang dan pengasih, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia-Nya, dan yang urung menimpakan malapetaka kepada orang-orang yang dikasihi-Nya. Yunus adalah penerima kasih anugerah itu, tapi waktu Tuhan menyuruhnya jadi saluran augerah bagi orang lain, dia menolak. Ini seperti pasien BPJS yang demonstrasi kepada pemerintah ketika orang lain menerima BPJS.
Ada satu ilustrasi dari Cornelius Van Til; dia pernah suatu kali naik subway, dan melihat seorang bapak menggendong anak perempuannya, dan anak perempuan itu nabokin papanya. Van Til mengatakan seperti ini: satu-satunya alasan anak itu bisa nabokin papanya adalah karena papanya sudah, dan sedang, menopang dia terlebih dahulu. Itulah dosa manusia, dan itulah kasih Allah. Itulah diri Allah, dan itulah kemunafikan manusia. Itulah bagaimana Yunus di pasal 4, bagaimana dia bereaksi terhadap pertobatan Niniwe dan anugerah Tuhan. Pertanyaan berikutnya, bagaimana Tuhan berespons terhadap orang seperti ini? Dan bagaimana Saudara akan meresponi orang seperti ini?
Mengenai reaksi Tuhan terhadap Yunus, kita bisa pikirkan beberapa hal. Yang pertama, kita akan memikirkan dahulu apa yang bukan reaksi Tuhan. Di Matius 18 Tuhan Yesus pernah memberikan perumpamaan seorang hamba yang berutang 10.000 talenta kepada rajanya. Ini jumlah yang terlalu besar, karena pemerintah Romawi dengan segala kejayaannya pun kasnya tidak sampai 10.000 talenta. Si hamba ini mengatakan kapada raja ‘beri sedikit waktu’; tapi apa pengaruhnya?? Ini utang yang tidak mungkin terbayar. Sang raja akhirnya mengampuni utang si hamba, jelas karena anugerah. Si hamba ini punya seorang kawan, sesama hamba, yang berutang kepadanya 100 dinar –jumlah yang sangat mungkin dilunasi karena 100 dinar sama dengan gaji 100 hari kerja, namun ketika kawannya mengatakan kalimat yang sama, ‘beri sedikit waktu’, hamba ini tidak terima lalu menjebloskan dia ke penjara tanpa ampun. Ketika sang raja mendengar hal ini, apa responsnya kepada hamba tersebut? Dia mengatakan: “Hai hamba yang jahat! Seluruh utangmu kuhapuskan karena engkau memohon kepadaku, bukankah engkau seharusnya mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?!” Maka marahlah raja itu dan menyerahkan si hamba kepada algojo-algojo sampai ia melunaskan seluruh utangnya. Ini respons yang tepat.
Perumpamaan ini ada kemiripan dengan kisah Yunus, karena Yunuslah si hamba itu. Tapi juga ada perbedaan yang amat sangat tajam, karena dalam kisah Yunus, Allah tidak merespons Yunus sebagaimana raja tadi berespons terhadap hambanya. Allah tidak bersikap seperti raja tersebut, Dia tidak memvonis Yunus, Dia tidak mengatakan, “Hai nabi yang jahat!” Lalu apa yang jadi reaski Tuhan terhadap Yunus? Kita melihat ayat 4 dan ayat 9, Tuhan hanya bertanya, “Yunus, layakkah engkau marah karena pohon jarak itu?” –Tuhan bertanya.
Sebenarnya, apa yang Allah sedang lakukan dengan meresponi Yunus seperti ini? Di dalam Alkitab, ada beberapa kali kisah yang di dalamnya Allah bertanya kepada manusia. Adam ditanya “kamu di mana”. Kain ditanya “adikmu di mana”. Apa yang Tuhan sedang lakukan ketika Dia bertanya kepada manusia? Sudah pasti bukan untuk mencari tahu sesuatu dari manusia, tapi sebenarnya untuk membawa manusia ke dalam pengetahuan. Tujuan Allah bertanya, adalah untuk menyadarkan manusia akan kebenaran, menarik mereka kembali ke realita untuk mengerti realita diri Allah dan diri mereka sendiri. Ini paling jelas ketika Tuhan bertanya kepada Ayub. Ayub kena malapetaka, lalu sepanjang ceritanya dia menantang untuk bisa bertemu dengan Tuhan, supaya dia bisa bertanya kepada Tuhan, pertanyaan yang krusial itu, yang adalah pertanyaan semua orang yang menderita, pertanyaan “mengapa Tuhan?” Dan, Tuhan menjawab dengan bertanya. Tuhan menanyai Ayub, jelas bukan untuk mencari tahu sesuatu dari manusia, tapi justru untuk membuat manusia jadi tahu sesuatu.
Sampai di sini Saudara sudah mengerti, tapi mungkin Saudara bertanya, ‘bukankah ini berarti Tuhan itu sadis, nyecer, sudah tahu jawabannya tapi tetap tanya’. Tapi tidak. Coba Saudara bandingkan dengan perumpamaan Tuhan Yesus tadi, Saudara akan mulai bisa melihat bahwa pertanyaan-pertanyaan Tuhan kepada manusia justru satu bentuk belas kasihan. Adam harusnya dibinasakan, tapi Tuhan meresponinya dengan bertanya. Kain telah menumpahkan darah adiknya sehingga darahnya seharusnya ditumpahkan, tapi Tuhan berespons dengan pertanyaan. Perhatikan, di Kejadian 3 Tuhan bertanya kepada Adam, lalu Adam pakai kesempatan itu untuk menyalahkan Hawa; Tuhan bertanya kepada Hawa, lalu Hawa pakai kesempatan itu untuk menyalahkan ular; setelah itu apakah ular ditanya? Tidak. Ular langsung dihukum. Jadi, apa artinya pertanyaan Tuhan? Pertanyaan Tuhan adalah belas kasihan. Pertanyaan Tuhan adalah anugerah. Ketika Tuhan bertanya, itu bukan demi informasi, juga bukan demi melampiaskan amarah. Alasan dan tujuan Tuhan bertanya bukanlah demi dan bagi diri-Nya, melainkan demi dan bagi diri kita. Pertanyaan Tuhan memang membongkar, menusuk, menabok –itu benar—tapi pada saat yang sama, pertanyaan Tuhan sifatnya selalu melibatkan, membuka dan bukan menutup, menarik datang dan bukan mendorong pergi. Inilah caranya Tuhan meresponi Yunus. Inilah caranya Tuhan meresponi dosa-dosa kita. Apakah Saudara mulai bisa melihat anugerah yang terjadi di sini?
Di bagian berikutnya, pohon jarak ditumbuhkan, bikin Yunus senang, dan esoknya pohon itu mati sehingga Yunus kepanasan lalu minta mati untuk kedua kalinya. Di sini kita mungkin berpikir Tuhan itu pintar, mau banting orang tapi diangkat dulu, sehingga jatuhnya lebih sakit. Tapi tidak demikian. Coba Saudara lihat tujuan Tuhan di ayat 6, Tuhan menumbuhkan pohon itu untuk menghibur Yunus dari kekesalan hatinya. Di bagian ini, seperti banyak bagian yang ambigu yang menimbulkan tanda tanya dalam kitab ini, sebenarnya dalam bahasa aslinya ada permainan kata yang membuat kita bisa membacanya dalam 2 makna berbeda. Pembacaannya bisa seperti yang ditulis LAI, yaitu untuk menghibur, tapi istilah aslinya bisa berarti ‘menyelamatkan’; sementara kata ‘kekesalan hati’ di ayat ini persis memakai istilah yang sama dengan di ayat 1, yang secara harafiah berarti kejahatan (evil). Dengan demikian kalimat ini berarti bahwa semua ini Allah lakukan untuk menyelamatkan Yunus dari kejahatan yang telah bersarang di hatinya, bukan sekedar menghibur Yunus dari kekesalan hatinya saja. Dengan kata lain, urusan pohon jarak ini bukan sekedar Tuhan mau memberikan satu pelajaran kepada Yunus, ‘biar kapok, memang nabi kurang ajar!’, melainkan untuk menyelamatkan dia dari kejahatan hatinya.
Perhatikan logikanya; pada dasarnya, Tuhan mau mendidik Yunus untuk punya belas kasihan (compassion). Istilah compassion berasal dari con (artinya bersama-sama) dan passio (artinya hasrat, atau juga bisa diartikan penderitaan); orang yang compassionate adalah orang yang bisa bersama-sama merasakan hasrat orang lain, penderitaan orang lain, kesulitan orang lain, kesedihan orang lain. Dengan demikian, yang Tuhan lakukan atas pohon jarak ini adalah mengajar Yunus untuk punya belas kasihan (compassionate heart), dengan cara mengajak Yunus merasakan hatinya Tuhan. Sebagaimana Yunus sedih dan sayang atas pohon jarak itu, demikianlah di sini Tuhan mau mengatakan seperti itulah hati-Nya terhadap orang-orang Niniwe. Kalau kamu saja bisa sayang dengan tanaman, yang kamu tidak siram, yang kamu tidak tanam, yang kamu baru kenal sehari, mengapa kamu tidak bisa mengerti perasaan-Ku atas manusia ciptaan-Ku, yang 120.000 banyaknya ini, yang tidak bisa membedakan tangan kanan dengan tangan kiri –lalu sedikit humor—dan sapi-sapinya yang banyak itu?
Saudara lihat yang Tuhan lakukan, Dia mengajak Yunus untuk punya compassion terhadap orang Niniwe, tapi bukan dengan merasakan penderitaan orang Niniwe; Dia mengajak Yunus untuk punya compassion itu dengan merasakan penderitaan Tuhan bagi Niniwe, kesedihan Tuhan bagi Niniwe, rasa sayang Tuhan bagi Niniwe. Demi tujuan apa semua ini Tuhan lakukan kepada Yunus? Demi Niniwe-kah? Tidak; karena Niniwe sudah beres urusannya. Jadi demi apa? Ayat 6, demi menyelamatkan Yunus. Saudara sadar apa yang terjadi di sini? Mungkin kisah Yunus sebenarnya bukan tentang Allah sedang memakai Yunus untuk menyelamatkan bangsa lain –setidaknya bukan cuma itu—tapi Allah sedang memakai keselamatan Niniwe untuk menyelamatkan Yunus.
Hari ini, ketika orang mengadakan konferensi yang membahas tema misi atau penginjilan kepada bangsa-bangsa lain, kitab Yunus hampir selalu jadi acuan utama, karena kitab ini memperlihatkan sisi Allah yang mencintai bangsa-bangsa lain di luar Israel –dalam hal ini, Niniwe. Kalau Saudara menelusuri Alkitab, memang kitab ini unik, karena secara umum pembicaraan soal bangsa lain di Perjanjian Lama adalah tentang penghakiman. Maka tidak heran kitab Yunus yang bicara soal bangsa lain dengan nada berbeda ini jadi “laku” untuk konferensi misionaris. Masalahnya, sejauh yang kita tahu, kitab Yunus tidak beredar di Niniwe atau Asyur; kitab Yunus ditulis kepada Israel, kepada umat Tuhan –inilah target pendengarnya. Seandainya inti kisah Yunus adalah tentang kasih Allah bagi Niniwe, kitab ini harusnya cukup berhenti di pasal 3 saja karena tujuannya telah tercapai, Niniwe bertobat, tidak perlu lagi pasal 4. Kalaupun pasal 4 ada, sedikit saja, bahwa Yunus marah, minta mati, dikasih, selesai urusan. Tetapi, keberadaan pasal 4 mengingatkan kita, bahwa yang justru jadi tema utama bukanlah mengenai anugerah Allah bagi bangsa-bangsa lain—meski itu ada; anugerah yang terutama, yang paling besar, yang jadi pusat perhatian kitab ini, bukan berhenti pada kisah Allah dengan Niniwe melainkan kisah Allah dengan Yunus. Bukan terutama bicara mengenai anugerah Allah kepada bangsa lain yang bertobat, tapi justru anugerah Allah bagi umat-Nya senidri yang munafik, yang tegar tengkuk, yang telah menerima anugerah tapi tidak sudi jadi saluran berkat bagi bangsa lain. Itulah justru klimaksnya, ending ceritanya.
Apa yang paling mengagumkan dari kitab ini? Bahwa Tuhan mau bertahan dengan Yunus. Seandainya kita jadi Tuhan, kitabnya berakhir di pasal 1 ayat 3; ayat 1 datanglah Firman Tuhan kepada Yunus, ayat 2 Yunus kabur, ayat 3 badai menerjang dan Yunus mati, the end. Tapi kitab Yunus adalah mengenai bagaimana ketika Yunus kabur, Tuhan mengejar dia. Ketika Yunus berdoa doa palsu, Tuhan tetap menyelamatkan dia. Ketika Yunus pura-pura taat berkotbah, Tuhan tetap memakai dia. Ketika Yunus marah karena hatinya tercengkeram kejahatan, Tuhan berdialog dengannya, mengajak Yunus untuk mengerti isi hati-Nya. Kitab ini bicara mengenai anugerah Tuhan bagi Yunus, si degil, si nabi egois, si munafik. Paralel yang paling jelas, kalau Saudara bandingkan ini dengan perumpamaan Yesus mengenai anak yang hilang. Orang selalu menganggap yang jadi cerita utama dari kisah itu adalah mengenai relasi kasih anugerah antara sang bapa dengan anak yang bungsu, yang pergi meninggalkan ayahnya, lalu bertobat. Ini salah. Tim Keller mengingatkan kita, klimaks dari kisah tersebut justru ketika kisahnya beralih kepada cerita tentang sang bapa dengan anak yang sulung, bagaimana sang bapa meresponi anak sulung ini –yang hatinya keras itu, yang munafik itu, yang badannya tidak pergi meninggalkan rumah tapi hatinya pergi lebih jauh daripada adiknya– dengan kasih.
Oleh sebab itu, kitab Yunus memberikan 2 implikasi bagi kita. Yang pertama, membuat kita mengenal siapakah Yunus; Yunus itu umat Allah, Israel, Saudara dan saya, yang berkali-kali kabur dari panggilan Tuhan, yang ketika berdoa seringkali doa palsu, yang ketika taat sebenarnya bukan sungguh-sungguh taat tapi cuma tidak ada pilihan, yang sendirinya sudah menerima anugerah tetapi menolak ketika disuruh menjadi saluran anugerah bagi penjahat-penjahat di dunia ini. Mungkin Saudara mengatakan ‘O, saya tidak seperti Yunus, saya tidak segitunya, saya tidak sehancur itu’ –dan inilah perangkap kitab Yunus. Saudara merasa diri lebih baik daripada Yunus, Saudara merasa diri tidak sehancur Yunus, tapi itulah Yunus. Yunus yang merasa diri lebih baik daripada Niniwe, yang merasa tidak sehancur penjahat-penjahat dalam dunia ini. Kitab Yunus ini kitab jebakan. Kita kira ini sebuah jendela untuk kita mempelajari tentang seorang Yunus, yang bisa kita tertawakan dan hina-hina, Yunus yang mau bunuh diri sendiri tapi suruh orang lain yang beli Baygon-nya, dst. Tapi pada akhirnya, kitab ini membalik jendela menjadi sebuah cermin, persis seperti ketika Nabi Natan datang kepada Daud. Daud pikir Nabi Natan menunjukkan sebuah jendela mengenai seorang kaya yang jahat, yang mencuri domba satu-satunya milik orang miskin, yang “patut dihukum mati” kata Daud, untuk kemudian Natan menunjukkan “itulah kamu”. Siapakah Yunus? Israel, umat Tuhan, Saudara dan saya. Dosa Yunus adalah dosamu dan dosaku. Tapi itu juga berarti, pengharapan Yunus adalah juga pengharapanmu dan pengharapanku. Allah Yunus adalah Allahmu dan Allahku.
Kitab Yunus tidak berhenti di situ. Implikasi yang pertama dari kitab Yunus, membuat kita menyadari ini bukan bicara mengenai Yunus, tapi mengenai siapa diri kita. Tapi juga bukan terutama itu, pada akhirnya kitab Yunus ini terutama menunjuk pada diri Allah dan belas kasihan-Nya bagi Saudara dan saya, compassion-Nya bagi kita. Allah mendidik Yunus untuk punya compassion, dengan mengajak Yunus merasakan hasrat hati Tuhan, penderitaan hati Tuhan. Belas kasihan itu muncul ketika orang bisa bersama merasakan penderitaan orang lain. Inilah sebabnya kita yakin Tuhan punya compassion untuk kita, karena belakangan di Perjanjian Baru Tuhan bukan cuma mengajak umat-Nya merasakan penderitaan-Nya, Dia sendiri datang menjelma jadi daging dan darah, merasakan penderitaan kita, perasaan kita, kesulitan kita, pergumulan kita. Inilah sebabnya waktu Tuhan Yesus dibaptis oleh Yohanes dan Yohanes protes ‘Kamu tidak perlu dibaptis, Kamu sudah sempurna, harusnya Kamu yang membaptis aku’, Yesus mengatakan ‘tidak, tetap baptis Saya, karena Aku datang untuk menjadi seperti kalian’. Yohanes mengatakan ‘Kamu beda’ –memang beda—tapi ‘Aku sekarang datang untuk menjadi sama, untuk merasakan perasaanmu,untuk mejalani apa yang engkau jalani, untuk dibaptis sebagaimana engkau dibaptis, untuk menderita penderitaanmu’. Dan setelah baptisan, Dia dicobai, sebagaimana manusia dicobai. Setelah Dia menang atas pencobaan, Dia masuk melayani, dan Dia ditolak, sebagaimana manusia ditolak. Yesus menjadi begitu sama dengan kita, sehingga sampai hari ini masih banyak orang yang meragukan apakah Dia benar-benar Allah.
Allah yang kita sembah bukanlah Allah yang tidak mengalami apa yang kita alami, yang tidak tahu perasaan dan penderitaanmu. Kita menyembah Allah yang compassionate, yang berbelas kasihan, karena Dia menderita sebagaimana kita menderita. Ibrani 4: 15 ‘Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa.’ Namun belas kasihan Tuhan paling nyata bukan dalam kehidupan-Nya melainkan dalam kematian-Nya, karena dalam kematian Yesus, Allah bukan cuma menderita bersama umat-Nya tapi juga menderita bagi umat-Nya. Pertanyaannya, umat-Nya yang mana? Umat-Nya yang seperti Yunus, yang egois, yang munafik, yang buta, yang keras hati. Paulus mengatakan, kita telah diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya selagi kita masih menjadi musuh-Nya.
Kita dipanggil seperti Yunus. Kita dipanggil untuk mengabarkan belas kasihan Tuhan karena kita telah menerima belas kasihan Tuhan –dan ini pun kita gagal. Tapi lihatlah Yesus; Yesus mengabarkan belas kasihan Tuhan, justru karena Dia telah menerima keadilan Tuhan, penghakiman Tuhan yang seharusnya buat kita. Inilah sebabnya Yesus hidup sebagaimana Dia hidup; Dia bisa menerima para pelacur dan pemungut cukai –hari itu mereka inilah yang dicap sebagai penjahatnya. Hari ini kita kita tidak melihat pelacur dan pemungut cukai sebagai penjahatnya; bagi kita, penjahatnya adalah orang-orang Farisi, yang sok beragama, yang arogan, yang sok suci, yang self-righteous. Tapi tahukah Saudara, Injil memperlihatkan bahwa orang-orang ini pun masuk ke dalam kategori orang-orang yang mendapat belas kasihan Tuhan. Di atas kayu salib, ketika Tuhan Yesus mengatakan “Bapa, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”, siapa kira-kira yang Dia maksudkan? Pelacur? Pemungut cukai? Tidak, melainkan mereka yang menyalibkan Dia, yang mengolok-olok dan menghina Dia. Sejauh inilah kedalaman belas kasihan Tuhan, bahkan lebih jauh daripada yang kita kira. Dan ini cukup bagi semua, bahkan cukup bagi Saudara dan saya.
Jadi, pertanyaannya ada dua. Yang pertama, dalam menutup tahun ini, Saudara dapat memakai waktu untuk merenungkan anugerah Tuhan bagi Saudara; bukan anugerah yang Saudara sudah tahu, tapi anugerah yang selama ini Saudara tidak sangka-sangka, anugerah yang lebih luas dan lebih dalam, dan pergi lebih jauh dari apa yang Saudara kira, bahwa Allahmu mengejarmu seperti Dia mengejar Yunus. Apakah ini adalah Allahmu? Yang kedua, untuk Saudara melihat tahun yang mendatang, jikalau Saudara sungguh mengenal Allah yang seperti ini, Allah yang compassion, yang berbelas kasihan; jikalau Saudara mengatakan diri Kristen, pengikut Kristus, murid Tuhan yang sedemikian compassionate, seberapa kita sendiri merasakan perasaan-Nya, kesedihan-Nya, belas kasihan-Nya, rasa sayang-Nya, bagi ciptaan di dunia ini? Dan itu bukanlah hanya kepada ciptaan-ciptaan-Nya yang cute, yang menarik, yang baik-baik, tapi juga bagi yang jahat, yang egois, yang keras kepala, yang munafik. Seberapa?
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading