Kalau kita akan membaca ayat demi ayat dan memberikan komentar sebetulnya cerita ini secara flow, secara alur sudah cukup jelas dari ceritanya, tetapi kita ingin coba untuk menggali bagian tertentu yang tidak otomatis memberikan satu message yang jelas untuk kita. Mungkin diantara semua injil, yang paling menekankan kontras gambaran Yesus dan Pilatus itu adalah injil Yohanes, Yohanes kan suka memakai istilah from below, from above, dari bawah, dari atas, Yesus tentu saja digambarkan sebagai yang datang dari atas, Dia bukan berasal dari dunia ini, tetapi dari atas, bahkan murid-murid dari Yesus sendiri dikatakan bukan dari dunia ini, tetapi juga dari atas, bukan dari benih yang fana, tetapi dari benih yang kudus, yang dilahirkan kembali oleh Roh Kudus. Lalu Pilatus digambarkan mewakili kuasa yang dari bawah, di dalam perjumpaan itu kita melihat satu gambaran yang sangat ironi, dimana Yesus yang datang dari atas, untuk sementara seperti terlihat lebih rendah dari Pilatus yang datang dari bawah. Di situ kuasa manusia seperti diizinkan, diperbolehkan oleh Tuhan untuk menang sementara waktu, mengalahkan kuasa Yesus yang adalah Allah di dalam perjumpaan antara Yesus dan Pilatus, kita membaca kontras seperti demikian di dalam injil Yohanes. Tetapi waktu kita membaca di dalam injil Lukas, ada satu profil khusus yang terutama ditekankan oleh injil Lukas yaitu gambaran relasi antara the church, gereja dengan state, negara, khususnya di dalam hal ini yaitu pemerintahan Romawi. Itu digambarkan jadi satu keadaan yang tidak harus tensioner, kita tahu banyak penggambaran yang tensioner kan ya? Tegang, terutama kita tahu di dalam gereja mula-mula, memang betul orang-orang percaya, orang kristen mula-mula itu dianiaya oleh pihak pemerintahan Roma, tetapi kita membaca misalnya di dalam Roma 13, bagaimana Paulus mengatakan, bagaimanapun pemerintahan itu berasal dari Tuhan dst., ada gambaran yang cenderung positif.
Di dalam alkitab kita mendapati dua profil ini, hubungan antara church dan state, sebenarnya di dalam alkitab kita juga banyak membaca paradoks-paradoks seperti ini yang harus kita baca saling complement satu dengan yang lain, tidak harus kita baca sebagai sesuatu yang kontradiksi. Kalau kita hanya berpikir one sided, satu sisi saja, kita akan kesulitan membaca alkitab, karena kita akan cenderung baca, kalau begini berarti tidak boleh begitu dan akhirnya tidak mendapatkan kelimpahan alkitab. Hubungan antara gereja dan negara, itu satu hubungan yang kompleks, satu hubungan yang kadang bisa baik, tetapi di dalam saat-saat tertentu memang bisa frontal, khususnya waktu negara menyalahgunakan kuasa yang diberikan oleh Tuhan untuk menekan orang-orang beragama atau bisa juga terjadi sebaliknya yaitu orang-orang beragama yang memanipulasi agamanya untuk merusak negara dst., sehingga di situ hubungan menjadi saling meng-instrumentalisasi satu dengan yang lain.
Tetapi sekali lagi gambaran ini tidak selalu demikian dan khususnya yang dihadirkan oleh Lukas, itu menghadirkan gambaran church and state yang tidak harus berada di dalam ketegangan. Sehingga waktu kita membaca termasuk di dalam cerita Pilatus dan Yesus, di sini Pilatus cenderung digambarkan positif, meskipun betul juga waktu kita membaca, bukan sepenuhnya positif dalam arti bahwa akhirnya keburukan, kelemahan atau bahkan dosa dari Pilatus tidak dihadirkan lagi, tidak, itu menjadi satu penggambaran Pilatus yang sangat tidak kritis. Cerita tentang Pilatus di dalam konteks ini, profil dari teologi Lukas yang melihat hubungan antara church and state itu tidak harus menjadi satu hubungan yang saling berlawanan atau bermusuhan, tidak harus selalu demikian. Dalam bagian ini sebetulnya yang menjadi peran yang menuduh Yesus itu terutama adalah mereka atau orang banyak, the crowd, maksudnya ingin melibatkan seluruh pembaca dari injil Lukas untuk terlibat di dalam cerita ini. Sebetulnya ini satu perspektif yang sukup signifikan kalau kita membandingkan dengan Matius, di situ kita lebih mendapati peran yang sangat aktif dari pemimpin-pemimpin agama, yang menjadi dalang dari rencana penyaliban Yesus. Tetapi dalam perikop ini yang kita baca adalah banyak orang, yang disebut dengan istilah mereka semua, mereka semua ini termasuk juga adalah saudara dan saya, kita sendiri juga ada di dalamnya. Dalam arti bahwa di dalam keberdosaan kita, kita juga terlibat di dalam penyaliban ini di dalam pengertian mistikal bukan historikal terlibat.
Penggunaan dari kata mereka dalam ayat 2, mereka mulai menuduh Dia, mereka memberikan tuduhan beberapa hal ini yaitu bahwa Yesus ini dianggap sebagai seseorang yang menyesatkan, tuduhan kedua, Dia digambarkan juga sebagai seseorang yang anarkis terhadap sistem pemerintahan Roma yaitu dengan mengajarkan melarang membayar pajak kepada kaisar dan tuduhan ketiga adalah bahwa Dia menyebut diriNya Kristus atau Mesias yaitu Raja, tiga tuduhan ini. Semua fitnah yang dikemas sedemikian rupa itu harus certain ada kebenarannya, semua fitnahan adalah bohong, sulit untuk berhasil, demikian kita membaca dalam cerita ini. Fitnah yang dilontarkan tidak sepenuhnya salah, ada certain kebenaran di dalamnya, tetapi terus kemudian dipelintir dan menggunakan istilah yang agak rancu, supaya orang bebas menafsir sendiri dan diharapkan untuk mendapatkan tafsiran yang akhirnya keliru.
Bagian pertama waktu Yesus dikatakan penyesat atau ayat bagian bawah dikatakan, orang yang menghasut rakyat, menarik apa yang dilakukan Yesus yang bisa membawa Dia pada tuduhan ini, penyesat. Yesus memang betul dalam pengertian Dia mempengaruhi rakyat, Dia melakukan tindakan belas kasihan, memberitakan tentang Kerajaan Allah, menyembuhkan orang-orang sakit, melenyapkan kelemahan, memberikan pengharapan kepada orang-orang yang patah semangat, lalu mengusir setan dsb., tetapi malahan Dia dituduh sebagai penyesat. Kita yang biasa hidup di dalam keadaan status quo, orang yang biasa hidup di dalam keadaan anti progress, konservatifisme atau tradisionalisme yang keliru, akan menganggap semua orang yang mendatangkan perubahan itu sebagai penyesat. Yesus bukan penyesat, tetapi yang menjadi realita adalah ini orang-orang Yahudi yang sangat bangga dengan tradisi dan kebudayaan mereka yang sudah sangat berakar itu, dan mereka takut menghadapi perubahan yang dikerjakan oleh Yesus di tengah-tengah bangsa ini. Orang yang terus-menerus menolak perubahan akan mudah sekali menuduh orang lain itu penyesat, orang lain yang dituduh penyesat, sebetulnya orang itu sendiri atau kelompok itu sendiri yang tidak mau berubah. Manusia memang ada dalam satu sikap yang aneh, certain ironi di dalam dirinya karena satu sisi dia menginginkan adanya kesegaran di dalam hidupnya, tetapi sisi yang lain dia menolak perubahan, karena perubahan itu bisa membuat orang insecure.
Kalau masuk ke dalam perubahan, kita kan harus terus bergantung kepada yang di luar diri kita, kalau ada perubahan kita merasa tidak mampu untuk kontrol perubahan. Kita lebih suka satu keadaan yang tenang, stabil, status quo, tidak perlu ada perubahan, kenapa? Karena saya bisa prediksi, bisa kontrol, bisa kalkulasi semuanya, lalu saya bisa mempersiapkan diri sebaik-baiknya, tetapi kalau ada perubahan akhirnya kita sendiri kalang kabut menghadapi perubahan itu, lalu dengan mudah sekali kita berkata, yang menghadirkan perubahan ini adalah penyesat. Intinya adalah kelompok itu sendiri merupakan satu kelompok yang tidak mau berubah, kelompok yang terus-menerus mau di dalam keadaan yang lama itu sehingga setiap kali ada perubahan, lalu dituduh sebagai penyesatan. Sampai sekarang hal ini tetap relevan, termasuk untuk bangsa kita di Indonesia, ada orang-orang yang merasa tidak nyaman dengan adanya perubahan, meskipun sebetulnya yang dilihat adalah perubahan ke arah yang lebih baik, tetapi orang-orang lebih suka di dalam keadaan status quo seperti dulu, masih lebih mudah dikendalikan. Yesus sendiri adalah orang yang mendatangkan perubahan dan Dia sendiri dituduh sebagai seorang penyesat, ini adalah bangsa yang tegar tengkuk, bangsa yang tidak suka berubah, yang memberhalakan tradisi, kebiasaan, adat istiadat dan kebudayaan mereka.
Kedua, Yesus dituduh dilarang bayar pajak kepada kaisar, nah ini jelas satu fitnah, karena kita tahu di dalam cerita yang sudah pernah kita bahas Yesus tidak melarang orang membayar pajak kepada kaisar, bahkan kalau kita mau mencari konklusi, sebetulnya jawabannya ya atau tidak, Yesus cenderung menjawab ya, meskipun jawabannya bukan ya secara simplisistik. Tetapi Yesus juga mengingatkan mereka bahwa kamu bukan hanya perlu memberikan kepada kaisar apa yang menjadi bagian kaisar, tapi dirimu sendiri yang juga adalah milik Allah, kamu perlu memberikan dirimu kepada Allah, sebagaimana di dalam uang itu ada icon kaisar karena itu milik kaisar, demikian kamu adalah icon, gambar rupa Allah, image rightness of God dan kamu perlu menyerahkan dirimu kepada Tuhan. Dan bahwa di situ Allah merelativisasi kaisar, tetapi Yesus tidak pernah melarang orang untuk membayar pajak kepada kaisar, ini satu fitnahan, satu dusta yang bagaimanapun caranya dikerjakan oleh orang-orang untuk menciptakan satu profile yang salah terhadap Yesus, supaya akhirnya tujuan mereka tercapai yaitu mereka ingin Yesus cepat-cepat dibinasakan saja.
Saya ingin mengkaitkan bagian ini dengan menciptakan image yang keliru dengan gambaran di dalam dunia kita yang sangat dipenuhi oleh gambaran-gambaran image yang kita tidak jelas, itu sebetulnya benar atau tidak. Satu sisi kita bersyukur dengan adanya media sosial, tetapi media sosial juga sering menyajikan image-image yang tidak karuan dan orang tidak peduli apakah itu correspond to reality atau tidak, dan orang cenderung langsung terbawa, pokoknya percaya dulu. Nah ini terjadi baik di dalam level grass root maupun sampai di dalam dunia akademik dsb., sama saja, dan kita tidak ada lagi kemampuan, tidak ada kekuatan untuk cek, sebetulnya validitas, keberanan yang dikatakan di dalam blog-blog, youtube benar atau tidak? Atau orang sebetulnya bisa bicara apa saja, habis itu kita cenderung percaya, melarang membayar pajak kepada kaisar, bicara apa saja tentang Yesus, dasarnya apa, tidak ada kutipan, pokoknya ngomong saja? Lalu atas nama, saya boleh dong ngomong tentang orang lain, saya boleh dong ngomong tentang kekristenan, saya berpendapat tentang Yesus boleh dong? Saya berpendapat tentang teologi reformed terserah saya, atas nama kebebasan pribadi lalu menghadirkan image-image yang tidak jelas sebetulnya ini realitas atau bukan?
Bahkan seorang Pilatus pun tidak termakan begitu saja, tetapi saudara dan saya hidup di dalam dunia media sosial mudah sekali terprovokasi lalu kita mengikut langsung, kalau orang bilang begini lalu kita percaya dan menganggap itu sebagai kebenaran. Pilatus pun tidak sekonyol itu, waktu kita membaca di dalam bagian ini, khususnya tujuan yang ketiga, waktu Yesus dikatakan, Dia adalah Kristus, ya memang betul, Dia itu adalah Raja, betul juga, memang Yesus adalah Raja, bukan hanya Raja orang Yahudi bahkan Raja dari seluruh alam semesta ini. Kalimat raja itu menjadi sesuatu yang sangat sensitif untuk telinga Pilatus, dia tidak terlalu tertarik bicara tentang penyesatan atau bicara tentang membayar pajak, isu itu terlalu kecil untuk Pilatus. Tetapi waktu disebut Yesus adalah Raja, Pilatus tanya kepada Yesus, Engkaukah Raja orang Yahudi? Pilatus tidak langsung terhasut, seorang pemimpin harus berhati-hati untuk tidak mudah termakan isu seperti ini, saudara dan saya waktu kita bertumbuh menjadi dewasa, salah satu yang harusnya terjadi dalam kehidupan kita adalah ya kita tidak harus terlalu mudah termakan gosip atau pencitraan image-image yang tidak tentu correspond dengan realitas, di sini harus ada verifikasi.
Istilah raja itu kan sangat kaya, sangat spectrum, apa yang dimaksud raja di sini? Waktu mereka mengatakan Yesus sebagai Raja, tentu saja mereka certain punya motivasi dengan mengatakan kalimat itu, kata raja yang sensitif untuk kedengaran di bawah orang-orang kaisar, termasuk Pilatus, mereka mengharapkan satu muatan politis di dalam istilah raja itu. Sehingga di situ Pilatus langsung melihat benturan, oh raja, kaisar, berarti pemberontakan, karena Israel juga sudah sering ingin melakukan pemberontakan, ada orang yang coba untuk jadi mesias, membuktikan diri mereka sebagai mesias, lalu memimpin, menggalang satu perlawanan terhadap pemerintahan Romawi, istilah raja sengaja dihadirkan. Yesus memang adalah Raja, tetapi Dia bukan Raja dalam pengertian politis seperti ini, bukan, Raja yang memerintah di dalam keadilan, Yesus adalah Raja, Imam dan Nabi, khususnya waktu dikatakan dengan istilah Raja, mengikuti konsep kingship, kerajaan seperti di dalam PL yaitu bagaimana seseorang yang menjalankan fungsi raja memerintah dengan adil, menguasai alam semesta ini dengan adil, menjalankan righteousness itu terutama di dalam pengertian raja.
Menarik kalau kita membahas tentang teologi raja, khususnya di dalam konsep PL, tentu saja masih berlaku didalam PB, di situ tidak terlalu berkaitan dengan penguasaan manusia kepada manusia yang lain, itu konsep imamat rajawi, setiap orang adalah raja. Waktu kita membaca Kejadian, manusia yang diciptakan sebagai image and rightness of God, itu di dalam pengertian terutama kaisar dan raja yang betul-betul punya kuasa besar, itu disebut sebagai orang yang punya image and rightness of God, tetapi Kejadian kemudian mengatakan bahwa itu bukan cuma raja, semua orang pada dasarnya adalah diciptakan sebagai image and rightness of God, berarti setiap orang adalah raja. Engkau memahkotai manusia itu, menciptakan dia hampir sama seperti Allah, yang dimaksud di situ adalah semua manusia, bukan satu manusia, bukan hanya Daud, lalu kalau semua raja, mana rakyatnya, siapa yang diperintah? Di dalam konsep alkitab, terutama created in the image of God, ideologi raja itu berkaitan dengan bagaimana manusia itu bisa menguasai ciptaan yang lebih rendah, jadi dia raja terhadap ciptaan yang lebih rendah dan terhadap sesamanya dia tidak kemudian seperti menjalankan fungsi raja, meskipun kita tahu di dalam dunia bisa ada order seperti itu, ada yang memimpin dan ada yang dipimpin. Tetapi terutama di sini kaitan tentang raja yaitu bagaimana manusia bisa memerintah seperti Allah, mewakili Allah, memerintah kepada ciptaan yang lebih rendah, itu yang dimaksud dengan manusia yang berbuat adil.
Kalau kita benturkan ini dengan kebudayaan kita yang sekarang, yang terjadi adalah manusia justru berusaha untuk menjadi raja terhadap sesamanya, manusia gagal menguasai ciptaan yang lebih rendah, manusia gagal untuk bersikap adil, tetapi yang terjadi adalah eksploitasi alam habis-habisan, manusia bukan menguasai alam, tetapi lebih mirip dikuasai oleh alam di dalam keserakahannya. Dan manusia bukan lagi menjalankan penguasaan terhadap alam yang lebih rendah, tetapi manusia berusaha untuk menjalankan penguasaan terhadap sesamanya. Konsep raja seperti ini tidak ada hubungannya dengan diciptakan di dalam gambar dan rupa Allah seperti yang dikatakan di dalam kitab Kejadian. Yesus adalah Raja di dalam pengertian Dia memerintah dengan adil, Dia menjalankan keadilan di dalam kehidupanNya, Dia berbelas kasihan kepada sesamanya dan Dia menguasai ciptaan, menguasai alam di dalam pengertian Yesus adalah Raja. Dan ini tidak ada hubungannya dengan konsep raja yang disodorkan oleh orang-orang Yahudi, yang supaya kemudian Pilatus menjadi terhasut, bukan konsep raja itu sebetulnya, tetapi sekali lagi, di sini memakai istilah yang sengaja ambigu, lalu setelah itu ya kalau bisa diharapkan Pilatus menjadi terjebak. Tetapi Pilatus tidak terjebak, karena dia bertanya kepada Yesus, Engkaukah Raja Yahudi? Yesus menjawab, engkau sendiri mengatakannya. Kalimat yang sama dengan yang dikatakan kepada tua-tua Yahudi, imam-imam kepala dan ahli Taurat waktu mengatakan Yesus Anak Allah (ayat 70), Yesus mengatakan, engkau sendiri mengatakan bahwa Akulah Anak Allah.
Pilatus mempunyai reaksi yang sama sekali berbeda dengan mahkamah agama ini, bagi Pilatus ketika Yesus mengatakan, engkau sendiri mengatakannya, berarti bukan seperti yang dituduhkan, darimana kita tahu Pilatus tidak terjebak dan tahu bahwa jawaban ini sebetulnya lebih kearah tidak dari pada ya? Karena dalam ayat 4 Pilatus mengatakan, aku tidak mendapati kesalahan apapun pada orang ini, Pilatus tidak terjebak dengan sodoran profile raja seperti yang dihadirkan oleh banyak orang, lalu kemudian dia menjadi gelisah, jadi terhasut dan kemudian dia segera membunuh Yesus, ternyata tidak terprovokasi sama sekali. Berarti Pilatus bisa membedakan apa yang dituduhkan oleh orang banyak ini tentang Yesus dan bagaimana Yesus mengerti tentang diriNya sendiri. So far so good kita melihat dalam bagian ini bagaimana Pilatus memiliki certain bijaksana dan dia masih ada hati nurani yang tidak mudah terhasut. Tetapi desakan dari bawah itu sangat kuat, waktu kita membaca, bahwa ajaran Yesus katanya menghasut rakyat, ajaran apa yang menghasut rakyat? Menurut mereka ya ajaran baru, ajaran yang tidak biasa, ajaran-ajaran yang sulit didengar, ajaran-ajaran yang keras, karena mereka tidak mau menerima perubahan, maka ajaran itu yang dianggap sebagai hasutan.
Lalu di sini dikatakan, ya Dia sudah mulai dari Galilea dan sekarang sudah sampai ke sini, waktu Pilatus mulai mendengar istilah Galilea, dia langsung bilang, kalau begitu sebetulnya ini bukan urusan saya, ini urusannya Herodes, itu kan wilayahnya dia, dia mulai buntu juga, karena orang-orang ini keras kepala juga, sudah dikasih tahu tidak ada salahNya, masih ngotot, ya sudah saya serahkan saja kepada Herodes. Di sini Pilatus melepaskan diri dari tanggung jawab dan ini sudah mulai menjadi bagian awal cerita kejatuhan Pilatus, sebetulnya dia tetap bisa menyelesaikan bagian ini, maksudnya sebagai porsi yang dipercayakan kepada dia, bukan hanya oleh orang banyak ini, tetapi oleh Tuhan sendiri. Pilatus mulai play save, kalau begitu ya Herodes saja, posisi saya juga terancam kalau terus berurusan dengan orang-orang keras kepala seperti ini. Ya seperti kita kadang-kadang sungkan ketemu orang, apalagi kalau di dalam saat konflik, aah kamu saja yang menghadapi dia, saya mendoakan dari belakang saja, sedikit mirip dengan Pilatus kan?
Nah kita membaca di dalam perikop berikutnya, perjumpaan Yesus dengan Herodes, ada perbedaan dengan perjumpaan Yesus dengan Pilatus, menyatakan bahwa kejernihan hati nurani Herodes dan hati nurani Pilatus juga berbeda. Ini penggambaran tentang hati nurani Herodes, yang hati nuraninya sudah betul-betul rusak sampai Yesus tidak tertarik untuk melakukan percakapan apa-apa dengan dia, sementara Yesus masih berkomunikasi kan dengan Pilatus? Tetapi di sini tidak ada komunikasi sama sekali, di sini waktu kita membaca, persoalan yang paling dalam di dalam kehidupan Herodes, pertama, fenomenal dia kelihatan sangat girang, dalam bahasa Indonesia kata girang konotasinya mungkin agak negatif (kalau saudara mengerti apa yang saya maksud), not even pakai istilah senang, tapi istilah girang, apa sebetulnya? Kegirangan yang tidak jelas sudah pasti bukan kesenangan yang kudus, sudah pasti bukan sukacita, tetapi girang, girang kenapa? Girang karena Herodes sudah lama sekali ingin melihat Yesus dan dia sudah sering mendengar tentang Yesus, lalu dia mengharapkan apa? Mengharapkan supaya Yesus melakukan tanda, menarik, kebebalan orang sampai sebegini bebalnya.
Istilah tanda di dalam akitab, khususnya di dalam injil, itu dipakai bergantian dengan istilah mukjizat, tanda itu maksudnya mukjizat, di sini Herodes mengharapkan Yesus melakukan mukjizat. Mukjizat itu adalah tanda, teologi tanda, mungkin yang membahas paling jelas adalah Yohanes, melebihi dari pada Lukas, tetapi di sini Lukas juga memakai vocabulary yang sama yaitu tanda. Tetapi dari injil Yohanes kita tahu ada orang yang mengenal Yesus itu melalui tanda terlebih dahulu, kita tahu tanda kan? Tanda itu maksudnya petunjuk, kalau ada panah bertuliskan toilet, itu namanya tanda toilet itu di sana, tidak ada orang yang sedemikian konyol begitu dia lihat tanda karena bertuliskan toilet, kemudian dia kencing di situ, itu hanya tanda, toiletnya ada di sana. Semua tanda waktu dipahami dengan benar itu harus berfungsi sebagai tanda yang menunjuk kepada realitas yang ditunjuk oleh tanda tersebut, sederhana sekali kan ya? Nah sekarang Yesus sudah ada di sini, Yesus yang ditunjuk oleh tanda ada di depan mata Herodes dan Herodes minta tanda, ini kan konyol? Ada orang yang realita sudah ada di depan mata tetapi tetap mau lihat tanda, something absurd dan spiritualitas seperti ini sampai sekarang ternyata juga tidak banyak berbeda.
Ada orang yang tidak tertarik untuk mengenal Yesus itu pribadinya siapa, tidak paduli, yang penting saya mendapatkan pengalaman tanda, pengalaman mukjizat itu lebih penting untuk saya. Yesus itu mau Raja, Nabi atau siapalah, penyesat atau mungkin orang benar, saya tidak peduli, yang saya peduli adalah saya mengalami tanda. Dan agaknya ini juga bukan yang pertama kali, waktu Yesus memberi makan lima ribu orang, itu kan tanda lima roti dua ikan, lalu dimultiplikasi sampai orang-orang kenyang, setelah itu tanda menuju kepada pribadi Yesus dan berikutnya Yesus mengajarkan, Akulah Roti hidup, tanda menuju kepada Yesus Kristus yang adalah Roti hidup itu tadi. Roti yang kamu makan dan membuat kenyang, itu hanya tanda, sekarang lihatlah realitanya, Aku adalah Roti hidup, tetapi mereka bilang, ini apa sih? Ajaran kanibalisme, Dia bilang, dagingNya benar-benar makanan, darahNya betul-betul minuman, dsb., kita tidak tertarik dengan yang itu, ini apa sih? Lebih baik Dia memberkati lagi saja, setiap hari kita tidak usah belanja, setiap kali kita bertemu Yesus, Dia akan menyediakan mulai dari sarapan sampai makan malam, lalu kita menjadi senang, tidak usah bicara tentang diriNya itu siapa, kita tidak tertarik. Orang tertarik tanda, tertarik mukjizat, tetapi orang tidak tertarik Yesus itu sebetunya siapa?
Herodes ini lebih lagi, di sini tidak bisa lebih konyol lagi, seperti mengulangi kejadian lima ribu orang diberi makan dan kenyang. Kita melihat di dalam penggarapan penulisan Yohanes, terjadi struktur seperti ini berulang-ulang, waktu Yesus membangkitkan Lazarus, mukjizat itu dilakukan sebagai tanda, lalu setelah itu Yesus memperkenalkan diriNya, Akulah kebangkitan dan hidup, tetapi setelah Yesus mengatakan kalimat ini bukannya orang percaya, tapi orang mulai bersekongkol untuk membunuh Yesus. Jadi orang hanya mau tandanya saja, tetapi setelah itu tidak mau menerima Yesus itu siapa, seperti Herodes di sini, kerjakan kepada saya tanda, lah orangnya sudah ada di situ kok kamu masih minta tanda, ini aneh sekali? Kalau kita pergi jalan-jala ke satu kota, kita sudah ada di menara eifel, lalu kita minta peta, petanya mana? Ini orang konyol, lah sudah ada di situ untuk apa lagi minta petanya? Tetapi ada jenis kekristenan yang seperti ini, kekristenan yang tidak bisa dimengerti, yang mencari tanda, tanda, tetapi tidak peduli sebetulnya Yesus itu siapa? Tidak ada ketertarikan, sudah melihat tanda dan girangnya karena melihat tanda bukan karena melihat Yesus. Lalu Yesus bagaimana? Apakah bikin tanda? Yesus jadi ikutan konyol kalau bikin tanda, Yesus tidak bikin tanda.
Nah kalau kita melihat teologi tanda di dalam PB khususnya di dalam kitab injil, memang ada orang-orang yang mengenal Yesus melalui tanda, kemungkinan itu ada, jadi kita tidak boleh exclude sama sekali, karena kalau kita exclude, Yesus sendiri juga jadi salah dong bikin mukjizat, betul tidak? Yesus bikin mukjizat, ada pandangan ekstrim mengatakan bahwa pengenalan akan Yesus itu tidak boleh melalui tanda sama sekali, tetapi kalau demikian, Yesus sendiri berarti melakukan provokasi dengan melakukan mukjizat? Berarti Dia sengaja menyesatkan orang, pandangan seperti ini tidak bisa diterima. Ada dua pandangan ekstrim, satu pandangan yang memutlakkan tanda dan membuang Yesus, yang kedua adalah kita ini sudah dewasa, tidak perlu tanda, karena kita bisa langsung lihat realitanya, lalu kita menjadi skeptis sama sekali dengan segala macam tanda, segala macam mukjizat, lalu kita katakan itu semua palsu, karena yang penting adalah pengenalan akan siapakah Yesus, ini dua pandangan yang ekstrim. Waktu kita membaca injil Yohanes, kita mendapati ada orang-orang yang mengenal Tuhan melalui tanda, tetapi buktinya bahwa itu adalah pengenalan yang benar yaitu ditandai dengan waktu Yesus membawa orang itu kepada diriNya, orang itu menerima pengenalan itu. Tetapi waktu seseorang mengalami tanda, mengalami mukjizat, waktu Yesus membawa orang itu kepada diriNya sendiri, lalu orang itu menolak, nah ini yang kacau, di sini berarti tanda kehilangan artinya, padahal seharusnya tanda itu menuju kepada pribadi Yesus.
Di sisi yang lain, alkitab sendiri mengatakan ada orang-orang yang mengenal Yesus tidak perlu tanda, memang betul, jadi tanda juga tidak mutlak, tetapi juga tidak mutlak tidak boleh ada, tidak, boleh ada, tapi juga bukan harus ada dan juga bukan harus tidak ada. Pandangan tentang mukjizat ini jelas di dalam firman Tuhan, Yesus sendiri pernah mengatakan, kalau kamu tidak lihat tanda kamu tidak mau percaya, maksudnya Yesus mau mengatakan, kenapa percaya harus selalu tergantung tanda? Lalu di dalam perjumpaan dengan Tomas, Tomas meminta semacam tanda juga kan ya? Dan Yesus mengakomodasi tanda itu meskipun tandanya itu bukan mukjizat dalam pengertian apa ya, tetapi tandanya itu lubang yang ada di lambung, sebelum saya melihat itu, saya tidak akan percaya, Yesus memberikan tanda itu betul-betul dan akhirnya Tomas percaya, tetapi kemudian Yesus mengatakan, berbagialah mereka yang tidak melihat (tanda) namun percaya. Tuhan membawa manusia itu berbeda-beda, ada yang dibawa melalui tanda, tapi akhirnya masuk juga kepada pengenalan akan Yesus Kristus, kita tidak perlu gelisah dengan itu, tapi ada juga orang yang dibawa langsung masuk kepada pengenalan Yesus Kristus tanpa harus melalui tanda atau mukjizat. Itu dua-dua di dalam cara dan bijaksana Tuhan, kita tidak perlu judgmental satu dengan yang lain.
Tetapi yang menjadi persoalan adalah waktu seseorang menjadi seperti Herodes, orangnya sudah ada di depan, dia masih minta tanda, dia tidak tertarik dengan pribadi Yesus, yang dia lebih tertarik adalah tanda yang dilakukan oleh Yesus. Maka sangat wajar dalam bagian ini kalau kita membaca, Yesus tidak memberikan tanda sama sekali, untuk apa? Orang ini tidak tertarik untuk mengenal siapa Yesus, di sini malahan dia mengolok-olok dan bukan hanya dia, tapi juga pasukan-pasukannya menista dan mengolok-olok Yesus. Yang mereka lakukan adalah mengenakan jubah kebesaran, kurang ajar sekali, Herodes mendapati dirinya seperti mau mengatakan, saya kan raja, kalau kamu kan raja orang Yahudi kenyataannya kan tidak, ini kan Raja palsu, sekarang raja asli memberikan Kamu jubah, silahkan pakai. Kenyataannya Herodes adalah raja yang palsu, Yesus yang Raja asli, kan ya? Hati-hati dengan orang yang berusaha untuk melakukan profiling terhadap orang lain, sepertinya dia ada di atas, seperti Herodes di sini, dia lupa bahwa dia sendiri sedang di profile oleh Tuhan. Sebetulnya dalam bagian ini kita melihat bahwa Herodes tidak ada kesempatan untuk mengenal siapa Yesus, bukan hanya tidak ada kesempatan untuk mendapatkan tanda, tetapi juga termasuk untuk mengenal Yesus itu siapa.
Bagian terakhir, kembali kepada Pilatus, hati nurani Pilatus masih bekerja, dia mengatakan beberapa kali sampai kepada yang ketiga, dalam ayat 22, dia berkata, kejahatan apa sebenarnya yang dilakukan oleh Orang ini, tidak ada suatu kesalahan pun yang kudapati padaNya setimpal dengan hukuman mati? Jadi aku akan menghajar Dia dan melepaskanNya. Sebetulnya dihajarpun Yesus tidak layak, kita juga bisa tanya kepada Pilatus, sebetulnya kejahatan apa yang sudah dilakukan Orang ini, sehingga Dia patut untuk dihajar? Ya tidak ada juga, karena Yesus tidak melakukan kejahatan apapun, tetapi kita melihat di sini bagaimana Pilatus mulai toleransi, di sini integritas Pilatus diuji oleh Tuhan sendiri, bagaimana dia menyelesaikan persoalan adil dan tidak adil ini? Tetapi dia sendiri tidak menjalankan fungsi keadilan sebagai raja, dia malahan melempar tanggung jawab ke Herodes, akhirnya dikembalikan lagi oleh Tuhan kepada Pilatus, Pilatus tidak bisa melarikan diri dari tanggung jawab ini. Waktu kita membaca dalam bagian ini, Pilatus gagal, akhirnya kita tahu Pilatus memutuskan tuntutan mereka dikabulkan. Coba kita perhatikan, mulai dari toleransi, sudahlah Herodes saja, ini bukan bagian saya, eh dibalikin lagi, Tuhan masih memberikan kesempatan untuk Pilatus memainkan peran secara benar, tetapi kemudian Pilatus kompromi, katakutahn terhadap teriakan-teriakan yang makin lama makin kencang dan dia sudah tahu bahwa bangsa ini sangat ahli membuat kerusuhan, daripada saya terancam, lebih baik saya mengabulkan permintaan mereka. Oh sebentar, saya coba Barabas, ya dia memakai segala macam cara supaya itu gagal, tetapi kalau kita perhatikan motivasinya yang terdalam bukan mau menyelamatkan Yesus, bukan, tetapi dia ketakutan kepada posisinya sendiri. Karena pada akhirnya dia menyerahkan Yesus juga untuk disalibkan.
Pilatus kompromi dari yang kecil-kecil sampai akhirnya dia berkata, okelah dihajar saja, tetapi dengan masuk kesitu, akhirnya dia menjadi bagian dari orang banyak ini, the crowd, yang berteriak-teriak, Pilatus akhirnya jadi dikuasai oleh orang banyak. Harusnya Pilatus menjalankan kuasanya sebagai orang yang berotoritas untuk menguasai banyak orang ini, untuk menyatakan keadilan, tetapi di sini kita mendapati satu gambaran ordo yang kacau, orang banyak menyetir Pilatus, lalu Pilatus menyerahkan Yesus. Seperti mengulangi apa yang terjadi di dalam Kejadian 3, harusnya Tuhan yang menguasai Adam, Adam memimpin Hawa, lalu Hawa menguasai ular, tetapi yang terjadi adalah ular menguasai Hawa, Hawa memimpin Adam dan Adam kalau bisa menguasai Allah, di sini ordo-nya jadi kacau. Pilatus jadi termakan melalui kompromi, toleransi kecil-kecilan, tidak sadar, orang suka memakai ilustrasi, katak yang diletakkan di atas air yang pelan-pelan dipanaskan, sampai akhirnya dia mati, tapi kalau kita memasukkan katak hidup ke air yang panas mendidih, ya dia pasti akan langsung loncat, dia tahu itu air panas. Tapi kalau katak hidup diletakkan di air yang pelan-pelan dipanaskan airnya, dia tidak sadar lagi bahwa terjadi pelan-pelan, kompromi, kompromi, toleransi, lalu setelah itu, lihat dia tidak bisa ke luar lagi.
Di sini ada ujian integritas untuk Pilatus, juga untuk saudara dan saya, Tuhan bukan tidak memberikan kesempatan, Tuhan memberikan kesempatan, sudah dilempar kepada Herodes, dikembalikan lagi kepada Pilatus, Tuhan masih menuntut bagaimana Pilatus harus bertanggung jawab, tapi Pilatus tidak menjalankan tanggung jawabnya. Menurut tradisi, banyak orang percaya bahwa setelah Pilatus pensiun, lalu dia pergi ke daerah Alpen (kalau sekarang Swiss), di situ ada satu kota dan di situ ada satu gunung yang diberi nama mount Pilatus. Menurut tradisi, mungkin legenda, kita tidak tahu, Pilatus setelah pensiun dia jadi gila, setiap hari cuci tangan, saya tidak salah, saya tidak salah, karena guilty feeling-nya tidak pernah selesai, dia tidak mendapatkan pengampunan dari Tuhan. Kita tidak tahu cerita ini benar atau tidak, tetapi anyway ini ilustrasi yang bagus juga, kalaupun tidak betul-betul historis. Seseorang yang tidak pernah bisa berdamai lagi dengan dirinya sendiri, karena pada saat ini seharusnya dia dituntut untuk mengekspresikan keadilan, yang ada di sini adalah Raja di atas segala raja, memberikan kepada Pilatus sebagai raja kecil sekali, tetapi di sini Pilatus tidak menjalankan fungsi keadilan. Akhirnya dia menyerahkan Yesus untuk diperlakukan semau-maunya oleh orang banyak itu. Saudara dan saya, kita juga dituntut untuk menjalankan integritas kita, bagaimana kita menjaga integritas ini, kita ada pilihan, either kita takut kepada orang banyak atau kita takut akan Tuhan, bukan takut kepada orang banyak. Amin.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (AS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Jemaat Kelapa Gading