Hari ini kita melihat satu bagian Firman Tuhan ketika Rasul Paulus mengajarkan hidup secara praktis menjadi seorang Kristen. Ini merupakan bagian dari satu rangkaian yang Paulus berbicara tentang kehidupan sebagai umat Allah –Gereja Tuhan– dengan memperhatikan Israel dalam Perjanjian Lama sebagai peringatan bagaimana seharusnya kita hidup. Kemudian dalam kalimat pertama pasal berikutnya dia mengatakan: “Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus (11:1). Istilah pengikut Kristus diterjemahkan menjadi “Kristen”; dalam bahasa Inggris Christian artinya pengikut Christ (Kristus), seperti juga Platonian artinya pengikut Plato, Aristotelian artinya pengikut Aristotle.
Paulus mengingatkan jemaat untuk memperhatikan hidupnya, melihat bagaimana orang Israel gagal, mereka menjalankan seluruh hidupnya dengan arah yang salah. Orang Israel sebagai umat Tuhan semakin hari makin masuk ke dalam diri, mengikatkan diri ke dalam, meng-eklusifkan diri. Semua itu menjadi arah kebanggaan hidup mereka, “kami umat Allah, kami bangsa yang terpilih, kami kelompok orang yang spesial, berbeda dengan seluruh dunia ini; kami adalah kami”; satu arah yang terus masuk ke dalam. Rasul Paulus mengingatkan untuk hati-hati; kita adalah Gereja Tuhan, seharusnya bukan melihat ke dalam konteks seperti ini, melainkan untuk hidup bagi orang banyak; ayat 24 dikatakan: “hendaklah tiap-tiap orang mencari keuntungan orang lain.” Tiap-tiap orang harusnya mencari keuntungan orang lain, memberikan diri kepada orang banyak/ orang lain dan bukan untuk diri. Di ayat 33 Rasul Paulus juga mengatakan “untuk kepentingan orang banyak.” Inilah 2 arah cara berpikir yang berbeda.
Yang pertama, “apa yang Tuhan berikan kepada saya adalah untuk saya; saya musti bertanggung-jawab baik-baik, hidupi baik-baik, untuk saya”. Contoh sederhana: kalau diberi kepintaran, kita –orang Asia khususnya– sulit sekali punya hati untuk berbagi dengan orang lain, kita tidak punya kebiasaan kerja kelompok. Berbeda dengan di Barat, bagi mereka kerja kelompok, saling berbagi, saling memperingatkan, saling memperkaya, adalah hal yang lumrah. Bagi kita, belajar secara tim artinya “saya belajar dari mereka”, padahal itu juga termasuk “mereka belajar dari saya sehingga saya musti keluarkan apa yang saya tahu”. Keegoisan manusia itu sedemikian, kalau saya punya sesuatu, maka itu untuk saya; kalau saya punya keluarga, maka keluarga saya untuk saya, jangan dipakai berbagi dengan yang lain, pelayanan, dsb. Satu fenomena yang aneh di dalam gereja, waktu seorang masih jomblo, pelayanannya luar biasa; tapi begitu mulai pacaran, waktu pelayanan berkurang; setelah menikah, “bye-bye Gereja, kita musti bertanggung-jawab di dalam keluarga”. Hidup kita makin hari semakin ke dalam. Waktu masih sendiri, hidup kita luas, setelah menikah jadi menyempit, setelah punya anak jadi lebih sempit lagi, seluruh fokus hanya buat anak kita. Kita begitu terfokus ke dalam. Seluruh anugerah Tuhan kita tarik untuk kepentingan diri kita, kalau perlu menarik seluruh dunia untuk diri kita. Itu cara kita berpikir sebagai manusia berdosa. Tapi Alkitab mengajarkan kita untuk memiliki cara berpikir “ke luar”, di dalam tuntunan kebenaran Allah yang memimpin kita. Inilah 2 arah di dalam hidup yang berbeda.
Oleh karena itu Rasul Paulus mengajarkan mereka satu per satu langkahnya, dimulai dari ayat 23 ketika Paulus mengatakan “segala sesuatu boleh”. Anak saya seringkali tanya, “Pa, ini boleh ‘gak? Orang lain boleh, mengapa saya ‘gak boleh?” Rasul Paulus mengatakan “segala sesuatu boleh”, semua yang ada di dalam tubuh Kristus, di dalam Gereja Tuhan, di dalam kebenaran Allah, semuanya itu boleh. Tidak ada pembedaan karena seluruh dunia ini milik Allah. Tapi, bukan segala sesuatu berguna. Tapi, tidak segala sesuatu membangun. Kemudian di pasal 6 ayat 12 dia memakai bahasa yang sama, “Segala sesuatu halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna. Segala sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apapun.” Ini kategori yang ketiga, yaitu: tidak diperhamba. Rasul Paulus mengatakan bahwa semua yang diberikan dalam konteks Gereja Tuhan, dalam konteks kebenaran Allah, semuanya boleh karena memang diberikan, tidak dilarang oleh Tuhan. Tapi hati-hati, ada 3 hal ini yang harus diperhatikan dulu: berguna, membangun, memperhamba.
Satu kali anak saya mengatakan, “Pa, mengapa saya sudah remaja masih tidak boleh dapat handphone? Teman-teman semua punya, bahkan teman-teman yang di gereja –bukan di luar sana– punya iphone, ipad, bisa punya memo yang bisa di-sinkron. ” Itu pergumulan semua anak remaja; tidak ada handphone (smartphone) berarti saya tidak punya eksistensi, “I chat, therefore I am”. Lalu saya tanya, “Buat apa, anak remaja mau sinkron apaan? Itu buat orang yang supersibuk pekerjaannya.” Dia bilang lagi, “Pa, coba bayangkan, kalau kita di gereja yang besar ini Papa sudah mau pulang lalu kami hilang, bagaimana carinya kalau tidak ada handphone?” Saya jawab lagi, “Sederhana saja, kamu ‘kan tahu di mana parkir mobil, ya, tunggu saja. Kamu harus belajar, siapa yang perlu, ya, tunggu.” Kemudian suatu hari ibu saya datang, maka anak ini naik banding ke neneknya. Dia bilang ke neneknya, “Papa itu payah, saya sudah umur segini tidak ada handphone satupun, sampai kalau mepet, Papa pinjamkan handphone-nya, nanti setelah selesai acara diambil kembali.” Dia terus bicara panjang lebar ke neneknya, menakut-nakuti ibu saya, “Bayangkan, kalau kami diculik orang, organnya diambil, bagaimana?” Jelas ibu saya ketakutan karena itu cucu kesayangan. Tidak lama setelah itu, saya pulang ke Medan untuk pelayanan, tinggal di rumah ibu saya. Lalu waktu saya mau kembali, ibu saya menitipkan satu kotak buat anak saya sambil katakan, “Lu jangan ikut campur, ini urusan saya sama dia.” Saya bawa kotak itu pulang. Sampai Jakarta, anak saya langsung tanya, “Pa, titipan nenek mana?” Saya bingung, anak ini ‘gak punya handphone tapi bisa komunikasi dengan neneknya janjian untuk ambil handphone, tapi janjian di gereja untuk tunggu papanya ‘gak bisa. Saya keluarkan kotak titipan neneknya di meja. Ibu saya cuma pikir cucunya perlu handphone, kalau di gereja cari papanya bisa telpon, maka dia belikan handphone yang harganya 200 ribu cuma bisa buat telpon dan kirim SMS, komplit dengan kartu dan pulsanya. Anak saya cuma lihat, lalu, “Yang bener aja, Pa… mbak-mbak di gereja saja ‘gak ada yang pakai ginian, muka saya taruh di mana, Pa?” Maka saya jelaskan kepada dia, itulah masalahnya mengapa saya tidak berikan dia handphone.
Pertama, karena dia betul-betul bukan cari kegunaan; bicara kegunaan, handphone dari neneknya itu kegunaannya buat menelpon, tapi dia menolaknya. Kedua, bicara soal membangun, anak ini mau pakai barang ciptaan manusia untuk membangun diri sebagai manusia peta dan teladan Allah di hadapan Tuhan? Itu tidak mungkin terjadi. Ketiga, handphone dijadikan altar yang manusia beribadah di dalam hidupnya. Kalau kita bicara soal meresponi Firman Tuhan, itu lamanya luar biasa dengan alasan sedang bergumul, padahal sudah tahu itu benar. Tapi terhadap barang ini, response time-nya zero (nol). Setiap kali barang itu berbunyi, jangankan mata, bahkan seluruh jiwa kita ditarik ke sana, ingin segera ke sana. Kalau kita pergi ke gereja dan barang itu ketinggalan, kita putar balik untuk ambil, karena altar saya ketinggalan, saya tidak bisa beribadah, itu seluruh hidup saya, jadi saya harus bawa altar saya ke mana-mana. Sedangkan kalau Alkitab ketinggalan, kita tidak ada masalah. Memang tidak tentu yang bawa Alkitab itu lebih baik, saya hanya membandingkan secara literal, tapi inilah sikap hati kita terhadap barang-barang seperti ini.
Anak saya suatu hari menunggu temannya memberikan satu informasi melalui handphone mamanya. Tapi kemudian setelah selesai berdoa, dia ketiduran. Tiba-tiba handphone mamanya itu bunyi, ting! Langsung anak itu bangun, mau cepat-cepat ambil handphone. Waktu itu saya cegah dia, “Tidur! Hal apa yang bisa begitu penting yang kamu harus baca sekarang juga, yang kalau kamu tidak jawab maka bisa terjadi perang dunia ketiga mematikan miliaran manusia? Tidak ada ‘kan? Jadi, tidur! Besok pagi baru baca. “ Mengapa saya lakukan itu? Untuk melatih dia menumpulkan response time terhadap barang yang sudah kita dewakan dalam hidup ini. Hari ini kita begitu sulit melepaskan barang ini.
Saya termasuk tim pertama yang merancang produk pertama PDA di pertengahan tahun 90-an. Ketika itu saya sedang bekerja di sebuah perusahaan desain IC, lalu seorang klien besar mengajukan ide untuk suatu barang yang bisa mengerjakan berbagai hal, bisa untuk edit dokumen, bisa untuk telpon, bisa ini dan itu. Proyek yang menarik. Di perusahaan tempat saya bekerja itu ada 40 orang lebih yang semuanya ahli IT, dan ada1 orang sosiolog yang juga duduk di sana yang sepertinya setiap hari cuma baca-baca koran, majalah, lihat-lihat internet, lalu pulang. Lalu dalam rapat tentang proyek tadi, orang ini mengatakan, “Kalau membuat sesuatu hanya menjawab kebutuhan orang, kita akan jadi budak orang itu selamanya. Maka kita harus membuat sesuatu yang bisa mengikat orang, sambil kasih tahu dia bahwa ‘kamu butuh’. Waktu dia tidak punya barang ini, dia rasa kurang hidupnya. Waktu barang ini hilang, dia rasa hidupnya hilang sebagian. Waktu dia tidak bawa barang ini, dia rasa ada sesuatu yang ketinggalan dalam hidupnya. Barang itu harus menjadi hidupnya! “ Betapa bahaya sekali kalimat ini. Saya baru mengerti mengapa ada sosiolog duduk dalam satu perusahaan yang mendesain microchip. Hari ini coba kita cek smartphone masing-masing dan jujur, berapa banyak fungsi yang kita benar-benar perlu??
Profesor saya adalah ketua dewan penasehat untuk riset di seluruh Siemens AG. Sampai sebelum saya kembali ke Indonesia, dia masih pakai handphone jadul yang kalau dia lempar, jangankan anjing, gajah pun bisa pingsan saking besarnya handphone itu. Lalu saya tanya kepada dia, “Mengapa tidak ganti handphone? Sekarang zamannya handphone sudah kecil-kecil.” Dia jawab, “Barang paling bodoh itu paling aman, yang paling canggih paling gampang di-hack, dimanipulasi. Kedua, saya orang besar; kalau saya ganti-ganti handphone, merek handphone itu yang harus bayar saya, bukan saya yang pergi beli. Dan kalaupun dia suruh saya pakai, saya harus pikir-pikir dulu. “ Benar juga. Sampai tahun 2003 dia masih pakai handphone jadul itu yang cuma bisa telpon dan SMS, sedangkan kita hari ini jadi orang-orang yang tertipu dan termakan kalimat sosiolog tadi. Mengapa? Karena kita diikat untuk by-pass 3 prinsip ini: berguna, membangun, memperhamba.
Hari ini kalau di rumah kurang garam, lalu pergi mau beli garam, pulangnya bisa bawa 3 kantong belanja. Semua yang perlu dan tidak perlu, kita tidak peduli. Kategori kita hari ini: “Saya mau, maka harus ada. Saya ingin, maka harus ada. Saya rasa perlu, maka itu harus ada”. Rasul Paulus mengatakan segala sesuatu boleh, halal, tapi perhatikan 3 prinsip ini: berguna atau tidak, membangun atau tidak, memperhamba atau tidak. Mungkin setelah kita pulang nanti tiap kali kita mengecek dulu 3 hal ini, kalau semua lolos maka “Oke, sekarang saya boleh lakukan! “ Stop, itu baru poin pertama.
Poin yang kedua: “Jangan seorangpun yang mencari keuntungannya sendiri, tetapi hendaklah tiap-tiap orang mencari keuntungan orang lain” (10:24). Artinya, kalaupun 3 hal dalam poin pertama tadi lolos, fokusnya harus ke luar, membangun orang, berguna bagi orang, tidak memperhamba orang termasuk diri kita sendiri. Bukan untuk kepentingan kita sendiri, tapi untuk kepentingan orang banyak. Kita seringkali menyanyikan “Jadikanlah aku saluran berkat”, tapi secara fakta hidup yang kita cari hanyalah kepentingan diri sendiri; yang paling penting adalah saya! seluruh dunia kebakaran tidak apa asal rumah saya tidak, apapun terjadi tidak apa, asal saya jangan kena. Kalau suatu hari terjadi kerusuhan kita sibuk telpon ke sana ke mari, “Anak saya ada ‘gak? Anak saya gimana?” Lalu kalau sekolahnya jawab, “Tenang, Bu, sudah ada 50 panser untuk jaga di depan.” Maka kita, “O, ya sudah.” Tenang. Tetangga mau dibakar atau diapain, peduli amat, padahal kalau memang itu berbahaya berarti itu bahaya bagi seluruh kota. Keegoisan inilah yang membuat Rasul Paulus mengajak kita untuk melihat tidak kepada diri melainkan ke luar. Hidup kita dijadikan wadah menerima anugerah Tuhan untuk disalurkan kepada yang lain, bukan untuk diri kita sendiri. Jangan seorang pun mencari untuk dirinya (bahasa aslinya tidak ada kata ‘keuntungan’), tapi hendaklah tiap-tiap orang mencari untuk orang lain. Carilah 3 prinsip di atas tadi, yang bisa dikerjakan semaksimal mungkin, bagi orang lain, bukan untuk diri sendiri.
Yang ketiga, ayat 25-30 Rasul Paulus mengatakan kalau kamu mau makan, makan saja. Zaman itu ada daging dijual di pasar yang proses pemotongannya melalui kuil; ada tanda-tanda ritual kuil di atas daging itu. Ini seperti kalau hari-hari besar tertentu, tetangga kami di Medan ada sembahyang, lalu setelah itu kami dibagi makanan seperti babi panggang, atau lainnya. Suatu kali ibu saya tanya, “Boleh makan ‘gak?” Tentu saja boleh. Tapi ibu saya kemudian bilang, “Bukankah itu sudah di-sembahyangin?” Dalam hal ini, Rasul Paulus mangatakan tetap boleh makan, tapi kalau orang yang melihatnya mempunyai satu keberatan hati nurani, dalam arti dia mempunyai iman tertentu tentang hal itu, maka jangan kita makan. Kalau orang itu mengatakan kepadamu, “Makanlah, supaya dewaku memberkatimu”, maka jangan kita makan. Karena, ketika kita makan lalu kita diberkati, maka itu akan memperkokoh “iman” orang itu. Hidup kita fokusnya bukan lagi makanan ini saya suka atau tidak suka, melainkan melihat bahwa yang saya kerjakan ini mempunyai efek terhadap yang lain; jangan sampai karena yang saya lakukan –saya makan ini– itu memperteguh “iman” orang yang di luar sana itu.
Dulu waktu kami memulai persekutuan mahasiswa FIRES, satu kali kami bertanya kepada Pak Tong, “Pak Tong, kami perlu memperhatikan apa di dalam pelayanan pemuda dalam konteks Reformed Injili?” Beliau memberikan contoh yang tidak masuk akal sampai kami debat cukup lama, katanya: “Perhatikan anak muda jangan berfoya-foya, jangan biarkan mereka merokok, jangan berdansa, hati-hati jangan biarkan mereka dengan gampangnya pergi nonton bioskop lalu menjadikan itu alat yang meng-konfirmasikan gaya hidup pemuda yang lain. “ Saya pikir-pikir ini ribet sekali. Mengapa saya tidak boleh nonton? Salah saya apa? Saya tidak merampok untuk pergi nonton, saya beli tiket. Saya juga tidak nonton film porno, saya nonton film biasa. Lalu mengapa tidak boleh? Yaitu karena ini sudah menjadi satu gaya hidup pemuda, sehingga ketika pemuda Kristen juga nonton maka pemuda di luar sana akan mengatakan, “Apa bedanya kami dengan pemuda Kristen, bukankah orang Kristen juga melakukannya?” Inilah yang dimaksudkan Rasul Paulus, bahwa hidup kita bukan masalah boleh atau tidak boleh, semuanya boleh, tapi hati-hati, ketika hidup kita dalam perjalanan detailnya dipakai oleh setan untuk meng-konfirmasikan hidup yang tidak benar, celakalah hidup kita.
Ketika kita mau menjadi berkat bagi orang lain tapi akhirnya hidup kita dipakai oleh setan, justru untuk meng-konfirmasikan perjalanan hidup yang salah, itulah kecelakaan besar. Waktu saya masih kecil, nenek saya suka sekali membelikan baju buat cucu-cucunya menjelang Imlek, seorang bisa mendapatkan 2-3 baju. Lalu kira-kira 3 hari sebelum Imlek dia mulai bagikan. Setelah terima baju, kami lalu bilang “terimakasih”, tapi dia menahan, “Jangan pergi dulu, cari yang paling bagus, yang kamu paling senang. “ Lalu kami pilih-pilih dan keluarkan baju yang paling disenangi, tapi ternyata malah baju itu diambil kembali. Nenek saya itu seorang penganut Budha yang sangat taat, dia bahkan tidak pernah memukul nyamuk yang sedang menggigitnya. Kemudian baju yang paling kami senangi tadi diambilnya, dibawa ke Vihara, lalu distempel belakangnya besar sekali, warna merah, dan dikembalikan kepada kami dengan pesan, “Jangan dicuci bajunya ya, hari pertama Imlek dipakai, supaya damai sepanjang tahun ini. “ Bagi saya sebagai orang Kristen tidak ada masalah hanya jadi jelek saja bajunya. Tapi problemnya bukan itu, ada problem yang lebih mendasar yaitu problem teologis: kalau saya pakai, dan sepanjang tahun hidup saya baik-baik, kira-kira nenek saya rasa apa? Tuhan yang memberkati saya, atau dewanya? Dalam hal inilah yang Rasul Paulus mengajarkan kita tentang menjadi orang Kristen secara praktis, perhatikan hidupmu menjadi kesaksian bagi orang lain, bukan masalah boleh-tidak boleh.
Maka hal yang keempat, Rasul Paulus mengatakan: Aku menjawab, “Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah. Janganlah kamu menimbulkan syak dalam hati orang, baik orang Yahudi atau orang Yunani, maupun Jemaat Allah” (ayat 31-32). Seringkali kita merasa bahwa yang saya lakukan itu benar, mengapa tidak boleh? Rasul Paulus mengatakan, “Lakukan, tapi untuk Tuhan bukan untuk dirimu. Lakukan untuk kemuliaan Tuhan, makan minum pun untuk kemuliaan Tuhan, bukan untuk dirimu. Jangan memunculkan syak / batu sandungan / kesulitan di dalam hidup orang sehingga mereka tidak bisa melihat yang benar di dalam hidup mereka.” Seringkali kita tidak memperhatikan hal ini, kita hanya tahu pokoknya yang saya lakukan ini benar, salah saya di mana? saya punya motivasi benar, saya tidak peduli yang lain.
Di kantor saya waktu di Jerman, ada seorang yang jenius, umur 26 tahun sudah doktor. Maka saya pikir orang pintar ini perlu diajak ke gereja –dia memang KTP-nya Kristen– tapi selalu tidak bisa karena setiap Minggu jadwal dia main bola dari jam 6 pagi sampai siang, lalu pergi makan, pulang jam 2 siang lalu tidur. Kebaktian di gereja saya jam 5 sore, masih keburu harusnya. Tapi dia tidak mau juga, alasannya nanti di gereja malah tidur. Terus menerus tidak berhasil, sampai suatu hari dia mengatakan satu kalimat: “Gini deh, kita barter. Pagi kamu ikut saya main bola, sore itu juga saya ikut kamu pergi ke gerejamu. “ Saya jawab, “Tidak. “ Kejadian itu terjadi setelah saya berusaha ajak dia bertahun-tahun sehingga mungkin kita pikir ‘mengapa tidak, main bola saja sekali ini supaya dia datang ke gereja dan dengar Firman’. Tapi saya justru menolak. Dia lalu tanya, “Mengapa?” Saya katakan, “Kalau saya ikut kamu pagi main bola, sore bukan cuma kamu tapi saya juga tidur di gereja. “ Lalu dia tertawa, katanya, “Kalau kamu bilang ‘mau’, justru saya tidak datang karena itu berarti begitu gampangnya demi saya datang, kamu me-relatifkan dan meng-kompromikan ibadahmu yang sore hari, yang berarti Tuhanmu bisa digeser sesuai kondisi, yang berarti Tuhanmu itu tidak ada artinya. “ Natal berikutnya dia datang ke gereja, dan dia mengatakan, “Jarang melihat orang Kristen yang tidak gagal di dalam tawar menawar. “
Kita seringkali gagal di dalam hal ini. Kita pikir kompromi sedikit tidak apa, asal saya bisa dapatkan orang. Iblis itu tidak pernah dagang rugi. Kita kasih ujung kuku, dia akan telan seluruh badan; tidak bakal kita kasih ujung kuku lalu kita bisa tarik lagi keluar. Kita pikir ‘saya mundur sedikit supaya orang bisa dimenangkan, supaya saya bisa bawa dia ke gereja’. Tapi titik tempat posisi kita berdiri untuk bertahan di hadapan Tuhan, kalau itu sudah dikompromikan, maka orang tidak lagi bisa melihat kemuliaan Allah. Inilah kegagalan orang Kristen.
Satu kali dalam sejarah mencatat, urusan makan minum yang tidak diperhatikan banyak orang, telah memakan kira-kira 6 juta jiwa, bahkan secara ofisial 12 juta jiwa. Seorang bapak menikah, dan mempunyai seorang anak perempuan. Lalu istrinya mengambil seorang keponakan perempuan untuk tinggal di rumahnya sebagai teman main anaknya. Tak lama kemudian istri ini meninggal dunia. Si bapak lalu mengambil keponakan tadi menjadi istri kedua; dia melahirkan seorang anak laki-laki. Anak laki-laki ini sejak kecil minder karena teman-temannya selalu mengejek, “Koq mamamu memanggil papamu ‘paman’?” Dia sendiri juga bingung, kalau melihat dari sisi mamanya, maka papa itu kakeknya; kalau dilihat dari sisi papanya, maka mama itu kakaknya. Kalau melihat dari sisi mamanya, maka kakaknya ini musti dipanggil ‘bibi’, tapi kalau melihat dari sisi papanya, maka mamanya ini musti dipanggil ‘kakak’. Kekacauan ini membuatnya sulit berdiri sebagai seorang manusia di tengah-tengah kehidupannya. Singkat cerita, mamanya meninggal, kemudian dia melarikan diri dari rumah. Papanya seorang keturunan Yahudi. Di tengah-tengah kehidupan sebagai gelandangan, satu hari di bawah kolong jembatan bersama gelandangan-gelandangan yang lain, dia sedang menunggu gereja di seberang membuka pintu untuk bagikan makanan gratis, sup encer dengan roti yang keras. Sementara itu dia melihat di sisi jalan yang lain ada hotel bintang lima, dan di dalam restorannya terlihat keluarga-keluarga Yahudi elit sedang makan minum . Makanan mereka begitu banyak. Ketika itu Jerman dalam situasi krisis luar biasa setelah perang, sampai dicatat bahwa untuk beli 1 keping roti mereka perlu 1 gerobak uang (perbandingan 1 USD kira-kira 5 trilyun DM pada waktu itu). Dalam kondisi seperti itu, orang-orang Yahudi mencetak uang dan mereka jadi orang yang kaya-raya. Mereka makan-makan dengan mewahnya, sisa makanannya dilemparkan kepada anjing. Maka si anak muda ini, yang namanya Adolf dan kita kenal sebagai Hitler, begitu geram dan kemudian menetapkan dalam hatinya satu hal: aku bukan Yahudi, aku benci Yahudi. Di kemudian hari dia masuk tentara, ikut berperang, mendirikan partai, kemudian mengambil alih parlemen, mengambil alih kepresidenan, menjadikan diri kanselir sekaligus presiden, menjadi führer, dan membunuh 6 juta orang Yahudi. Itu semua dimulai dari mana? Dimulai dari orang-orang yang makan dan tidak sadar, kalau ditegurpun mereka akan mengatakan, “Kami makan dengan membayar, kami tidak merampok, tidak mengambil uang orang lain, semua dari hasil jerih payah, salahku di mana?” Tapi tuntutan Allah nanti akan sampai kepada mereka. Ini adalah kaitan sejarah umat manusia satu dengan yang lainnya.
Seringkali kita tidak memperhatikan yang kita lakukan. Kita hanya tahu, saya lakukan ini karena saya senang, karena saya diterima, supaya orang melihat saya hebat. Bukan itu, tapi bagaimana hati kita diluruskan di hadapan Tuhan. Makan dan minum untuk kemuliaan Tuhan. Makan dan minum bukan untuk menimbulkan batu sandungan di hati orang tapi untuk menjadikan satu kemuliaan bagi Tuhan. Kita tidak makan tidak ada masalah, makan pun tidak ada masalah, tapi penting bagaimana di dalam seluruh konteks yang ada, kita belajar hidup yang benar.
Maka yang terakhir, Paulus katakan dalam hal yang kelima: Sama seperti aku juga berusaha menyenangkan hati semua orang dalam segala hal, bukan untuk kepentingan diriku, tetapi untuk kepentingan orang banyak, supaya mereka beroleh selamat (ayat 33). Hidup melihat kepada kepentingan orang banyak, supaya mereka beroleh selamat, karena itu “Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus” (11:1). Kristus datang inkarnasi menyelamatkan umat manusia, itu tidak ada plus point-nya buat diri-Nya; bukan dengan menyelamatkan umat manusia lalu Dia tambah mulia. Di dalam kekekalan Allah menetapkan Dia harus datang inkarnasi, mati di atas kayu salib, dan dua rasul mencatat “Dia taat, bahkan taat sampai mati di atas kayu salib”. Kalimat ini kita baca dengan sangat datar, Oya, Kristus mati di atas kayu salib, ya, sudah. Tapi bagi pembaca mula-mula, setiap kali mereka membaca “taat sampai mati di atas kayu salib”, mereka merinding. Ada satu perasaan yang sangat tidak enak, karena semua orang yang disalibkan itu mengalami penderitaan yang besar sekali dan rasa malu yang besar sekali. Dalam catatan sejarah, semua yang disalibkan itu disalibkan secara telanjang; tidak terkecuali Tuhan kita, Yesus Kristus. Kitab Injil pun memberikan indikasi itu; setelah Yesus disalibkan, prajurit-prajurit membuang undi dan mengambil kain-Nya. Saya cari dalam setiap lukisan di Eropa, saya cari dalam setiap ukiran yang ada, tapi saya belum pernah menemukan lukisan atau ukiran Kristus yang disalibkan telanjang. Kita tidak berani menggambar-Nya demikian, itu satu bukti rasa malu yang demikian besar, Pencipta langit dan bumi disalibkan telanjang demi kita yang tidak akan menambahkan sedikit pun nilai di dalam keberadaan-Nya! Kita adalah musuh-Nya, tapi Dia melakukan itu. Inilah yang Rasul Paulus ingin bawakan di dalam puncak seluruh hidup seorang Kristen, menjadi pengikut Kristus.
Kita hari ini hanya tahu bagaimana saya, saya, dan saya. Tapi menjadi orang Kristen adalah berbicara tentang membangun Kerajaan Allah, yang Tuhan inginkan biarlah aku kerjakan, bukan untuk diriku, tapi untuk seluruh Kerajaan Allah. Banyak orang mengatakan, “Saya tidak perlu belajar tentang Kristus (SPIK Kristus dalam Alam Semesta, Sejarah, dan Gereja)”, alasannya sudah terlalu tua, kira-kira sudah tahu, sudah cukup, dst., itu berarti hanya kita pikir di dalam keberadaan diri sendiri. Kita perlu belajar, supaya satu hari ketika KKR Regional tidak sembarangan memberitakan Injil, waktu jadi guru Sekolah Minggu tidak sembarangan mengajar anak cucu kita, dan lebih celaka lagi, tidak sembarangan mengajar anak cucu kita sendiri. Banyak orang Kristen cuma tahu kalau anaknya di sekolah nilainya merah, mereka akan pukul setengah mati atau kasih les sampai nilainya bagus. Tapi kalau tidak mengerti Firman Tuhan, “Aah… tidak apa-apa, toh nanti Tuhan mahakasih. Sudah percaya Yesus, puji Tuhan. “ Hati-hati. Tuhan Yesus mengatakan, “Bukan semua orang yang memanggil nama-Ku, itu umat-Ku. Bukan semua yang memanggil ‘Tuhan, Tuhan’ adalah umat-Ku”. Bahkan di Matius 7 Tuhan Yesus memberikan perumpamaan tentang orang yang berteriak ketika Tuhan Yesus mengatakan “Enyahlah kamu sekalian pembuat kejahatan”, mereka mengatakan, “Bukankah kami melakukan mujizat demi nama-Mu? Bukankah kami menyembuhkan demi nama-Mu?” Mereka bukan sembarangan melakukan mujizat dan menyembuhkan , tapi itu dilakukan di dalam nama Tuhan. Namun Tuhan katakan, “Enyahlah.”
Rasul Paulus mengaitkan bagian ini dengan Israel, karena justru di Israel yang lama ketika seluruh umat Tuhan berpikir “mereka pasti semuanya selamat”, Tuhan katakan “yang diselamatkan hanya sedikit”. Dan mereka tidak pernah sadar, karena mereka merasa mereka baik-baik saja dan nabi palsu terus berteriak “damai, damai”; hanya satu dua nabi yang Tuhan bangkitkan yang mengatakan “celakalah kamu, celakalah kamu”, lalu mereka mengatakan itu bohong. Itulah penyesatan di dalam Israel. Mengapa Rasul Paulus mengangkat cerita ini di dalam konteks Israel yang lama dikaitkan dengan Gereja sekarang? Karena hari ini pun kita sama, seluruh hidup kita, kita tahu di dalam hati kita yang paling dalam bahwa kita tidak ingin Tuhan yang paling penting dalam hidup kita; yang paling penting adalah diri kita, keluarga kita, usaha kita; yang paling kita inginkan adalah kenyamanan diri kita. Itu yang kita inginkan sampai kita mengatakan, “Tidak apa-apa, tidak apa-apa, Tuhan tetap mengasihimu, kamu pasti masuk surga”. Itulah nabi palsu yang kita bangkitkan bagi diri kita sendiri.
Mari kita sekali lagi membaca Firman Tuhan dengan identifikasi yang benar. Kita seringkali salah baca. Ketika baca Injil waktu Yesus mengecam orang Farisi “ular beludak”, kita berpikir ya, mampus kamu ular beludak, karena saya adalah murid Yesus, padahal yang dibicarakan itu kita, kitalah ular beludak itu, persis seperti orang Farisi. Waktu dibicarakan tentang anak yang hilang, kita terus pikir yang hilang itu si anak bungsu. Bukan! Kita seperti si anak sulung itu yang tidak sadar dirinya hilang, karena ketika itu Tuhan Yesus sedang bicara dengan orang Farisi, “Kamu terhilang, tapi kamu ‘gak sadar”, dan mereka betul-betul tidak sadar. Inilah yang terjadi pada kita hari ini juga.
Mari kita sekali lagi ketika mengatakan bahwa kita adalah pengikut Kristus –menjadi seorang Kristen– kita kembalikan seluruh hidup kita, renungkan di hadapan Tuhan, benarkah hidup saya memancarkan teladan Kristus di dalamnya? Jikalau tidak, apa yang bisa saya jamin bahwa saya adalah pengikut Kristus? Hanya dengan mengatakan “saya percaya Yesus” ? Matius 7 mengatakan, jangankan sudah percaya Yesus, bahkan sudah melakukan mujizat dan menyembuhkan demi nama Yesus pun, tetap Tuhan katakan, “Enyahlah kamu pembuat kejahatan!” Lalu apa yang bisa kita jamin bahwa saya pasti masuk surga? Mari kita renungkan sekali lagi. Jikalau benar kita adalah pengikut Kristus, maka seluruh teladan, nilai yang Tuhan nyatakan dalam diri-Nya itu, boleh muncul dalam hidup kita, mengubah hidup kita, memper-tuhan-kan Tuhan di dalam seluruh hidup kita, kita hanya melihat kepada kehendak Allah yang harus digenapkan dalam seluruh hidup kita, dan bukan punya kita yang paling penting. Mari kita belajar mengejar nilai ini dalam hidup kita sehingga mempunyai satu kejujuran di hadapan Tuhan. Bukan mengatakan “aku mengasihimu, Tuhan” tapi sambil mengatakan “aku tahu sih, Engkau itu maha pemurah, saya boleh suka-suka saya”.
Ada satu makalah, terjemahan literalnya “Komunitas Pembohong Terbesar Sepanjang Sejarah Manusia”. Dia mengatakan bahwa orang Kristen dari zaman ke zaman setiap Minggu berteriak “aku mengasihi Engkau Tuhan, Engkaulah satu-satunya dalam hidupku!” tapi keluar dari gereja yang paling pertama dipikirkan adalah perutnya. Memang kalimat ini kurang ajar, tapi juga fakta. Semua orang di gereja mengatakan “Engkaulah Tuhanku”, tapi begitu keluar dari gereja, akulah yang paling penting, anakku, keluargaku, itu yang paling penting, Tuhan boleh di geser; kesenanganku, liburanku, sukacitaku tidak boleh digeser; Tuhan boleh tunggu, saya tidak boleh tunggu; Tuhan nanti saya bagikan waktuku, tapi saya harus yang terbesar. Mari kita belajar dalam prinsip yang terakhir ini: Kristus memberikan diri-Nya secara total, maka dalam Kekristenan ketika berbicara tentang ibadah kepada Tuhan, tentang hidup yang diberikan kepada Tuhan, itu bukan soal “berapa banyak yang sudah engkau berikan, melainkan berapa banyak yang kau tahan buat dirimu”.
Dalam perumpamaan seorang janda yang memberikan 2 keping uang, Tuhan memuji si janda itu karena itulah seluruhnya yang ada pada dia. Orang Farisi boleh memberikan beratus kali lipat, tapi itu tidak seluruhnya. Maka dalam hidup Kekristenan, pertanyaan ini yang paling utama harus kita pikirkan: Berapa banyak yang kita pertahankan untuk diri kita, yang tidak dikuasai oleh Tuhan, yang bukan difokuskan untuk menyatakan kemuliaan Tuhan, yang dengan egois kita katakan “itu milikku, jangan diatur oleh Tuhan”, berapa banyak? Di situlah yang menentukan berapa rusaknya kita nantinya. Mari kita bertobat di hadapan Tuhan, menjadi orang Kristen sejati, mengembalikan seluruh fokus hidup kita untuk dipersembahkan kepada Tuhan. Setiap yang kita kerjakan, yang kita fokuskan, yang kita inginkan, adalah untuk menjadi berkat dari Tuhan bagi semua orang, untuk membawa semua orang kembali melihat kepada Bapa dan beroleh selamat.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading