Minggu sebelumnya sudah kita bahas Lukas 17 bagian terakhir tentang kedatangan Kerajaan Allah dan konteks pada saat itu murid-murid mulai kecewa, mungkin tidak sedikit juga yang akhirnya mulai menjadi sinis, dan sarkastik karena mereka losing hope. Wah sepertinya Yesus ini berbohong, katanya Yesus mau datang kembali, mana, ini sudah tahun berapa, paling saya berpikir hanya satu tahun, ini sudah berapa tahun tidak datang-datang, jangan-jangan Dia tidak datang kembali, lalu mereka mulai mencurigai, jangan-jangan cerita tentang kebangkitan juga bohong, itu hanya cerita yang diciptakan oleh murid-muridNya, buktinya Dia belum datang sampai sekarang. Lalu Lukas menguatkan mereka dengan perumpamaan yang sudah kita baca, perumpamaan tentang doa, ini satu perumpamaan yang sangat fokus, kita tahu ada perumpamaan yang bisa ditafsir, ada banyak message di dalamnya seperti perumpamaan anak yang hilang.
Bagian yang sudah kita baca ini message-nya sederhana dan saya pikir kita juga tidak perlu keliru untuk mengindentikkan hakim yang lalim ini dengan Tuhan sendiri, karena Yesus sendiri mengatakan hakim ini memang hakim yang lalim. Ini bukan melakukan satu identifikasi bahwa hakim yang lalim itu ya seperti Tuhan sendiri, kalau begini ya jadi kacau, begitu ya? Argumentasi yang dipakai di sini adalah argumentasi klasik, seperti yang seringkali dipakai yaitu argumentasi from lesser to greater, maksudnya kalau hakim yang lalim saja bisa melakukan seperti ini, apalagi Bapamu yang di sorga. Dalam bagian ini kita juga melihat metode yang sama from lesser to greater, hakim yang lalim ini, hakim yang tidak memperhatikan tentang keadilan, tentang righteousness, pengalaman hidup sehari-hari di Indonesia juga sepertinya tidak terlalu banyak berbeda dengan gambaran seperti ini. Kenapa? Karena yang datang adalah seorang widow, janda, janda itu punya apa sih? Tidak bisa membalas kebaikan, tidak bisa melakukan gratifikasi, tidak punya cukup uang, karena ini adalah kaum yang terpojok, kaum marjinal, kaum yang seringkali disingkirkan, yang mudah sekali dipandang sebelah mata.
Lukas termasuk salah satu penginjil yang mengangkat kelompok-kelompok yang seperti ini, janda, orang miskin, perempuan-perempuan, anak-anak kecil, orang Samaria, orang yang selalu dihina, dsb. Kita harus hati-hati, jangan masuk ke dalam paranoia dihina, nanti kita bisa menjadi orang yang akhirnya bukan mencari kemuliaan Tuhan, tetapi mencari kemuliaan kita sendiri. Dan indeed pengalaman seperti ini bukan satu pengalaman yang menyenangkan, seorang janda, karena orang ini tidak punya apa-apa, bukan orang kaya, tidak punya posisi, lalu setelah itu dilewatkan begitu saja oleh hakim itu. Tetapi ada sesuatu yang lebih di dalam diri janda ini, dia punya perseverance, dia punya ketekunan, dia memiliki stamina untuk terus menerus minta di dalam gambaran ini, sampai akhirnya hakim itu sendiri menjadi jengkel, terganggu dan kalau kita membaca di dalam catatan ini, kan motivasi hakim yang akhirnya membenarkan dia? Bukan motivasi yang mulia, motivasi yang egois, “kalau begini terus ya jadi mengganggu saya, akhirnya saya sendiri kehabisan waktu dan nanti suatu saat jangan-jangan dia menyerang saya, kalau begitu ya cepat-cepat dibenarkan saja, dan kasus ditutup, dst.” Motivasi hakim itu adalah motivasi yang tidak benar, motivasi yang menguntungkan diri sendiri, at least kita melihat akhirnya bagaimana perseverance itu menang.
Nah berbicara tentang perseverance, tentang ketekunan, fighting spirit, sekali kagi, ini bukan sesuatu yang uniquely christian, seperti ooh kalau seperti kepercayaan-kepercayaan yang lain ya tidak usah agama, ideologi-ideologi yang tidak berkaitan dengan agama juga bisa mengajarkan ketekunan, mengajarkan fighting spirit, mengajarkan kepada kita supaya terus menerus berjuang, pokoknya berjuang terus sampai jadi, sampai akhirnya orang lain kalah dan menyerah, itu tidak necessary christian, tidak unik sama sekali. Saya setuju kalau kita mengatakan, kalau hanya bicara tentang ini, semua ajaran yang lain sepertinya juga setuju, memang kita tidak boleh lose hope, kita jangan discourage, semua orang harus terus berharap. Kalau hanya berbicara tentang jangan kehilangan harapan, saya pikir ini tidak unik sebagai ajaran alkitab dan kalau pengharapan hanya berhenti di dalam konsep seperti ini saja, mungkin kita seringkali kecewa. Lebih baik saya sinis, sarkastik, indifferent, tidak peduli, lalu tidak perlu punya pengharapan apa-apa, karena saya tahu di dalam dunia ini tidak ada sesuatu yang bisa diharapkan, dan akhirnya kejadian, dunia ini terlalu kejam. Saya tidak mau mengikuti teori yang penting berharap-berharap yang akhirnya keliru, toh sudah berharap, oh tidak saya tidak mau dikecewakan seperti itu.
Tetapi alkitab tidak mengajarkan seperti itu, tidak mengajarkan supaya kita hanya sekedar berharap, asal nanti kecewa itu urusan belakangan, yang penting berharap dulu. Alkitab mengajarkan ketekunan di dalam kaitan kebergantungan dan penantian kita akan Yesus Kristus, ini pengharapan yang sifatnya personal, bukan pengharapan sekedar berharap, tetapi pengharapan relasional, berharap Tuhan suatu saat akan indicate, akan membela, membenarkan hak-ku. Memang kita sangat sulit menghayati bagian seperti ini. Ada perbedaan orang yang terus-menerus berharap di dalam ketekunan karena tidak langsung melihat konfirmasi dari Tuhan, tetapi dia terus berharap, tidak berhenti berharap, di situ, orang itu sendiri karakternya dibentuk dan tentu saja lebih dari pada karakter, kepribadiannya semakin lama semakin serupa dengan Yesus Kristus. Ada perseverance, orang yang terus-menerus bergantung kepada Tuhan, yang terus-menerus berelasi dengan Tuhan di dalam keadaan apapun, jadi bukan solusi oriented, kapan saya keluar dari permasalahan ini dst., hanya konsentrasi kepada jalan keluarnya.
Tuhan tidak terlalu tertarik memberikan itu kepada kita, karena buat Tuhan, itu urusan yang mudah sekali, tinggal membalikkan tangan sudah selesai, kita mau apa sih? Kita sakit, Tuhan hanya membalikkan tanganNya, kita akan sembuh, itu terlalu mudah untuk Tuhan, kalau Tuhan mau sembuhkan, ya pasti Tuhan sembuhkan, mudah sekali, dst. Tetapi yang Tuhan jauh lebih tertarik adalah bagaimana membuat kita menyerupai Kristus dan salah satu karakter yang ada pada Kristus adalah perseverance, terus-menerus tekun, tidak pernah losing hope, despite so many difficulties, suffering yang Dia sendiri experience di dalam kehidupan ini. Kebergantungan, ketekunan ini yang ingin Tuhan ciptakan di dalam kehidupan kita lebih daripada sekedar merubah situasi kehidupan kita, banyak agama berpikir seperti ini, seolah-olah urusan kita datang ke tempat ibadah untuk mendapatkan solusi daripada kehidupan kita, kekristenan tidak terkecuali. Kalau kita tidak hati-hati, akhirnya kita hanya seperti orang yang beragama dan bukan kembali kepada ajaran alkitab, oh saya datang ke geraja kenapa? Karena saya minta pertolongan Tuhan supaya anak saya diberkati Tuhan, supaya hidup saya tidak susah dll.
Lalu apa bedanya dengan orang yang datang ke gunung Kawi, kan doanya juga begitu, hanya bagian terakhirnya yang diganti, “dalam nama Yesus”. Coba perhatikan, secara spirit tidak ada bedanya, tidak ada permohonan bagaimana orang datang kepada Tuhan supaya dia boleh hidup lebih mengasihi, menyenangkan dan mempermuliakan Tuhan, itu doa yang berbeda, tapi orang datang hanya untuk kebutuhan pribadi saja, bukan salah memang ada tempatnya, tetapi “saja”, datang hanya untuk kepentingan pribadi saja. Apakah orang seperti itu sedang beribadah kepada Tuhan? Atau sebetulnya dia sedang beribadah kepada dirinya sendiri? Apakah dia sedang menyembah Allah atau dia sedang menyembah kebutuhan pribadinya sendiri? Tuhan sih tidak terlalu penting, yang lebih penting adalah solusi persoalan kehidupan saya, itu yang saya sembah, itu yang saya cari dan kejar, sebetulnya bukan Tuhan yang saya cari.
Seorang janda di dalam gambaran ini adalah orang-orang yang begitu susahnya, mereka tidak ada dukungan apa-apa, hanya bisa bergantung kepada Tuhan. Memang di dalam cerita ini tidak terlalu jelas, tetapi ini diasumsikan kepada pembaca Lukas, bahwa mereka semua mengerti yang disebut janda itu seringkali gambarannya adalah seperti ini. Kita boleh asumsi sebelum dia mendatangi hakim ini lagi dan lagi, pasti sebelumnya dia sudah berdoa kepada Tuhan, dia bergantung kepada Tuhan supaya Tuhan yang akhirnya membela haknya. Dan justru di dalam keadaan ketidakmungkinan ada sesuatu yang bisa dia harapkan, akhirnya dia jadi orang yang hanya bisa berharap kepada Tuhan. Bersyukur kalau di dalam kehidupan kita ada saat dimana kita betul-betul tidak bisa lagi berharap kepada apapun kecuali kepada Tuhan, karena yang seringkali kita katakan kita berharap kepada Tuhan itu hanya setengah-setengah, kalau tidak seperempat atau seperenambelas, begitu kan ya? Karena kita bilang kita berharap kepada Tuhan, tetapi bergantung kepada Tuhan plus yang lain-lain, uang, kekuasaan, koneksi dll., seringkali kebergantungan kita itu tidak sempurna dihadapan Tuhan.
Kekristenan tidak tertarik membicarakan Tuhan yang kemudian kalau namaNya kita panggil kita selalu luput dari penderitaan, kesulitan, sakit penyakit dsb., gambarannya bukan seperti itu. Tetapi Tuhan yang menjanjikan di dalam segala situasi kehidupan kita (kalau kita hidup benar dihadapan Tuhan), Tuhan akan menyertai, menghibur dengan kehadiranNya, even dalam saat kematian pun, Tuhan ada di sana. Ada satu tulisan dari Mortman yang mengatakan, ketika ada banyak orang digantuang, lalu pertanyaan klasik itu muncul, Tuhan ada dimana ketika orang-orang benar digantung, kenapa bukan orang-orang jahat yang digantung? Dimana-mana ada ketidakadilan, katanya Tuhan maha adil, dimana Tuhan itu? Lalu Mortman menuliskan, kamu tanya Tuhan ada dimana? Tuhan ada di sana, ditiang gantungan bersama dengan orang-orang yang digantung itu. Mungkin gambaran kita yang keliru tentang Tuhan, Tuhan yang selalu harus menyelamatkan saya dari segala penderitaan, sakit penyakit, kebangkrutan dsb., gambaran Tuhan yang keliru kita ciptakan sendiri, menciptakan dari proyeksi kita pribadi. Tetapi sekali lagi, di dalam perikop ini yang kita pelajari adalah bagaimana janda ini akhirnya di dalam ketekunannya mendapatkan pertolongan dan Tuhan mendengar.
Whether solusinya seperti yang dia pikirkan atau tidak, itu bukan hal yang terlalu penting, salah satu misteri yang dicatat dalam alkitab adalah Petrus, Yakobus dipenjara, lalu waktu orang-orang kristen berdoa, di dalam bijaksana Tuhan Petrus dibebaskan dari penjara, diluputkan dari kematian pada saat itu, tetapi Yakobus dibiarkan mati, lalu bagaimana, apakah kita bisa mendikte Tuhan? Tidak bisa Tuhan Yakobus juga harus dibebaskan dari penjara, seperti Petrus itu baru Engkau maha adil, maha kuasa, iya itu adalah yang kita mau, kalau begitu kita yang jadi Tuhan, bukan Tuhan yang jadi Tuhan. Ini misteri tidak bisa dijelaskan, kenapa Tuhan melakukan ini? Kita tidak bisa sepenuhnya memberikan penjelasan yang sangat clear sampai semua orang yakin, tapi di situ kita belajar untuk taat.
Salah satu temptation di dalam kehidupan kita adalah orang itu menjadi indifferent, acuh tak acuh, makanya di dalam ayat 8 muncul pertanyaan dari Yesus Krisus, kalau Anak Manusia datang, apakah Dia mendapati iman di bumi? Dalam pemilu yang lalu ada mungkin 30% atau lebih yang golput, itu angka yang tinggi sekali, lalu kenapa orang-orang itu golput? Kemungkinan besar ada banyak orang yang indifferent, aah sudahlah saya tidak usah memillih, saya memilih apa pun sudah tidak ada pointnya, tidak ada yang bisa diharapkan, saya sudah losing hope terhadap pemerintahan. Ada banyak orang yang akhirnya menjadi indifferent karena dunia kita memang bukan dunia seperti yang kita bayangkan, jadi dunia kita diwarnai oleh society yang mencibir. Di gereja juga seperti itu, orang-orang yang losing hope dan discourage, kalau kita berbicara tentang sesuatu yang baik, aaah sudahlah, itu gombal, saya tidak mau melihat itu, yang ada adalah semuanya bejat, semua orang adalah penipu, termasuk pemimpin-pemimpin gereja, semunya penipu, tidak ada yang benar, lalu kita masuk di dalam sarkasme seperti itu.
How different, betapa berdeda dengan janda ini, kalau janda ini mau punya pilihan seperti itu, dia sangat punya banyak alasan untuk sarkastik, memang semua hakim di dunia ini tidak ada yang bisa diandalkan, semuanya mengecewakan, tidak ada satu pun yang memperjuangkan keadilan dan kebenaran, janda ini punya banyak alasan untuk mengeluarkan kalimat seperti itu. Tetapi sekali lagi, orang yang tidak bisa berharap kepada sesamanya, itu kegagalan berharap dengan Tuhan, orang yang gagal berharap terhadap sesamanya, itu adalah salah satu bentuk kegagalan berharap kepada Tuhan. Kita pasti percaya kedaulatan Tuhan, Ayub belajar hal ini di dalam kehidupannya, bagaimana dia merelasikan penderitaannya sebagai sesuatu yang dia terima dari tangan Tuhan, bukan dari orang Kasdim, bukan dari orang yang merampok itu, juga bukan dari istrinya, tetapi dari tangan Tuhan. Ayub tidak minta Tuhan menghajar orang-orang Kasdim itu, tidak, orang-orang itu tidak menjadi penting bagi kehidupan Ayub, tetapi dia merelasikan itu dihadapan Tuhan, dia berkata, ini Engkau yang memberikan dan mengizinkan, lalu dia bertanya kepada Tuhan, mengapa Tuhan?
Orang yang kehidupannya terus-menerus di dalam relasi horizontal, kecewa secara horizontal, dia tidak akan bertumbuh, memang di situ Tuhan sepertinya jadi aman, seperti tidak salah, ini bukan Saya loh ya, hakim itu yang salah, hakim itu yang terus menolak kamu, bukan Saya, maunya Saya sih membebaskan kamu, tapi hakimm itu yang jahat, lalu bagaimana? Kalau gambaran Tuhan seperti ini kan jadi rather menakutkan, karena sepertinya Tuhan adalah Tuhan yang tidak mampu, Tuhan yang tidak berdaulat, yang tidak maha kuasa, jelas ini bukan gambaran Tuhan yang ada di dalam alkitab. Lalu mengapa orang lebih suka kecewa terhadap manusia, jangan-jangan kita ada certain gambaran spiritualitas stoik yang tidak berani kecewa kepada Tuhan, kalau kecewa kepada Tuhan itu bahaya loh, kalau saya sarkastik kepada Tuhan bahaya, lebih baik saya sarkastik kepada manusia. Saya bukan mau mengajarkan kita menjadi sarkastik kepada Tuhan, jangan salah tangkap, tetapi point saya adalah as long kita masih terus kecewa di dalam relasi horizontal, kita tidak pergi kemana-mana, kita tidak bertumbuh, kita hanya lompat-lompat di tempat, tetapi tidak ada perkembangan apa-apa, karena kita tidak ada relasi dengan Tuhan.
Sekali lagi, janda ini di dalam ketertekanannya (pasti terluka, pasti sakit ditolak begini terus, bisa self pity, iyalah…, memang saya ini siapa, hanya orang miskin, janda, makanya saya selalu tidak dianggap, yang dianggap itu kan hanya orang-orang pintar, orang-orang kaya dsb.), dia bisa masuk ke dalam self pity seperti ini, tetapi dia menolak untuk menghidupi ideologi self pity ini. Dia bergantung kepada Tuhan-nya, akhirnya Tuhan mendengarkan mereka, adakah Yesus akan mendapati iman di bumi? Adakah Yesus akan mendapati courage di bumi ini? Adakah Yesus akan mendapati pengharapan di bumi ini? Bukan sekedar berharap, berharap seperti tulisan di atas tadi, tetapi hope yang relasional, karena kita percaya Tuhan kita adalah Tuhan yang berdaulat. Tuhan membenarkan orang-orang pilihannya, yang siang malam berseru kepadaNya, berseru di dalam ketekunan, tidak ada hentinya. Lalu apa kaitannya dengan perikop berikutnya?
Memang dua-duanya berbicara tentang prayer, doa, tetapi kalau kita melihat di dalam observasi yang lebih detail, ada motif yang lainnya juga mempersatukan kedua perikop ini, seperti ditulis di dalam salah satu commentary, dua-duanya bicara tentang Allah yang membenarkan, Allah yang vindicate, vindicate janda ini yang terus-menerus berseru kepadaNya, tetapi kemudian juga Allah yang vindicate pemungut cukai, di sini ada gambaran orang Farisi, pemungut cukai yang datang berdoa. Di sini message-nya sangat sederhana yaitu bahaya dari merasa diri benar dihadapan Allah, sebetulnya bukan dihadapan Allah, tetapi secara komparasi dengan orang lain. Seperti ada dukungan alkitab kalimat doa dari orang Farisi ini, dalam Mazmur 17 yang kita baca tadi, ya Allah aku mengucap syukur kepadaMu, ini formal yang umum pada saat itu. Aku bersyukur kepadaMu, lalu dia mendaftarkan keberhasian dia di dalam menjaga tuntutan Taurat, itu doa yang common pada saat itu. Dalam Mazmur 17 dan Mazmur yang lain ada doa, kalau Engkau menguji kedalaman hatiku, pasti Engkau tidak mendapati kejahatan, mirip, ini mengharapkan God vindication, Tuhan kalau Engkau melihat di dalamku, Engkau tidak akan mendapati kejahatan, aku hidup bersih dihadapanMu dsb.
Lalu kita bertanya, apa salahnya doa orang Farisi ini? Kan mazmur 17 dan Mazmur yang lain juga ada doa-doa seperti itu? Jadi apa bedanya dengan orang Farisi? Ooh ada bedanya, bedanya dimana? Bedanya adalah kita perhatikan di dalam konteks Mazmur 17, itu keadaan orang yang situasi persecuted, dikejar-kejar, orang Farisi ini tidak sedang dikejar-kejar. Jadi ada beda, kita di dalam penganiayaan, keadaan seperti janda ini, dijahati orang, lalu kita berdoa seperti itu dihadapan Tuhan dengan keadaan kita kaya raya, sukses, dst., lalu saya berdoa seperti itu. Ada beda waktu kita sakit, tidak ada pengharapan, lalu kita minta kepada Tuhan untuk berbelaskasihan kepada saya, dengan kita segar, sehat, makmur dsb., lalu kita berdoa minta Tuhan berbelaskasihan kepada kesehatan saya, ya pasti ada bedanya. Mungkin minta belaskasihan, tapi dalam hati ya tidak terlalu perlu juga sih, tapi bahaya kalau saya tidak bergantung sama Tuhan dan menurut khotbah di Kelapa Gading harus bergantung sama Tuhan meskipun sudah sehat, tetapi bergantungnya akhirnya jadi bergantung yang basa-basi, jadi ada bedanya.
Doa orang Farisi ini, doa orang beragama ini adalah doa orang congkak, doa yang mengatakan kecongkakannya khususnya waktu dia banding-banding dengan orang lain. Sebetulnya dia tidak sedang berdoa, karena orang yang berhadapan dengan orang lain dia bisa menang secara moral, oh dia pezinah, dia perampok, dia pencuri, saya tidak, saya memang bukan orang sempurna, saya orang berdosa juga, tapi lebih baik daripada mereka. Orang-orang seperti ini tidak pernah berelasi dengan Allah, mereka takut berhadapan dengan Allah, karena begitu berhadapan dengan Allah, dia pasti langsung ditelanjangi bahwa dia adalah orang yang bobrok, jahat dan keji. Orang Farisi ini secara fenomena kelihatan seperti sedang berdoa, bukan, tapi sedang berkhotbah, kita harus hati-hati, kalau doa jangan khotbah, kalau khotbah ya khotbah, kalau doa ya doa, ada orang yang khotbah, sebetulnya khotbahnya itu isinya doa, bukan sedang bicara kepada Allah, tetapi dia mau mengajar orang lain.
Sebetulnya orang Farisi ini bukan sedang bicara dengan Allah, tetapi dengan pemungut cukai, “ya Allah aku mengucap syukur kepadaMu karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah , bukan juga seperti pemungut cukai ini”, tidak bisa lebih jelas lagi kan ya? “Bukan seperti pemungut cukai ini“, ini doa buka suara, kalau doa tutup suara, coba Lukas tahu dari mana, begitu kan ya? Jadi kita harus hati-hati dengan doa buka suara kita ya, jangan jadi doa buka suara supaya orang lain dengar apa yang saudara doakan, berdoa masing-masing dihadapan Tuhan, ini tidak take it for granted, orang berdoa ternyata tidak harus berbicara kepada Allah, ada orang yang di dalam doa berbicara kepada sesamanya, bukan berbicara kepada Allah.
Sekali lagi yang pertama, orang Farisi ini berada di dalam setting yang berbeda dengan keadaan Daud waktu menaikkan Mazmur 17, yang kedua, kita akan mendapati di sini struktur kompetitif yang sangat kuat. Struktur kompetitif pemungut cukai orang Farisi, saya lebih baik daripada kamu, oh saya sih dihadapan Allah memang orang berdosa, saya bukan Tuhan, saya tidak sempurna, tetapi kalau dibandingkan dengan kamu atau orang itu ya lain lah. Agama bisa membawa kita ke dalam keadaan seperti ini kalau kita tidak hati-hati, agama apapun, termasuk kekristenan, termasuk gereja kita sendiri kalau kita tidak hati-hati, masuk ke dalam kenikmatan kompetitif seperti ini. Aneh ya, manusia seperti mau mengkonfirmasikan identitasnya itu berdasarkan kemenangan di dalam kompetisi, itu aneh sekali, karena kita bukan mendapatkan identitas kita dengan cara seperti itu, tetapi dunia kita terus-menerus membawa kita ke dalam culture seperti itu yaitu saya mendapati diri saya sendiri ini rangking berapa? Di dalam kaitan dengan orang lain saya ini ada di atasnya atau di bawahnya? Kita tahu sih, kita tidak selalu paling di atas, iya kan? Tetapi kita berharap, kita bukan yang paling bawah, begitu kan?
Anak-anak kecil waktu mereka beranjak besar mulai masuk sekolah bersama-sama dengan teman-temannya, mereka langsung melakukan profiling teman-temannya dan profiling diri sendiri, waktu mereka masuk ke dalam society mereka langsung mengukur, saya ini rangking berapa? Oh kalau saya pukul-pukulan sama dia, saya pasti kalah, dia badannya lebih besar, tetapi kalau yang ini saya bisa bully, yang ini saya bisa kerjain, dia tidak mungkin bisa membalas karena saya di atasnya dia. Anak-anak kecil ini siapa yang mengajarkan hal seperti ini kepada mereka? Sudah ada system penalaan seperti itu dan kita orang dewasa tidak jauh berbeda, kita profiling orang juga seperti itu, orang ini di atas saya, nah kalau orang ini bisa saya tekan karena saya lebih powerful daripada dia, saya ada di atas dan kamu ada di bawah. Tetapi kalau sama orang yang ini kita agak baik-baik sedikit, meskipun sebetulnya kita tidak terlalu setuju juga, tetapi apa daya, dia punya power lebih besar daripada saya. Society kita sudah diwarnai dengan profiling competitive seperti ini, seolah-olah kita tidak punya pilihan yang memang harus menilai seperti itu, tetapi inilah yang mencelakakan manusia, karena manusia tidak pernah berelasi dengan Allah.
Gambaran seperti ini begitu menarik keseluruhan energi kita, sampai kita tidak ada lagi energi untuk berhadapan dengan Allah secara pribadi, yang disebut doa itu sebetulnya bukan doa, tetapi merupakan satu penyataan identitas yang dibangun berdasarkan komparasi dengan orang lain. Celaka sekali orang Farisi ini dan sangat menyesatkan kalau kita membahas di dalam kalimat seperti ini. Tidak ada dosa yang paling dibenci oleh Yesus, yang paling ditelanjangi, yang paling dibongkar kecuali self righteousness ini, self righteousness bukan berati pemungut cukai tidak ada dosanya, tidak, pemungut cukai juga ada dosa, tetapi self righteousness dan masuk begitu subtle di dalam keagamaan, merasa lebih baik, merasa lebih suci, merasa lebih bermoral, merasa lebih mengenal Allah, merasa lebih alkitabiah daripada orang lain. Justru hal ini menjauhkan dia dari Allah yang sejati. Kenapa manusia suka membangun spirit keagamaan yang seperti ini? Ya karena salah satu persoalan di dalam diri kita yang paling rusak itu bukan perzinahan, bukan cinta uang, serakah tetapi salah satu manusia yang tidak bisa hindari itu adalah dosa kesombongan, dosa kecongkakan.
Kita tidak senang kalau kelemahan kita dibicarakan oleh banyak orang, kalau kebaikan kita dibicarakan oleh banyak orang, kita lagi lewat, seperti pura-pura tidak mendengar, tetapi mondar-mandir di situ terus, ambil kopi, biskuit, tetapi intinya mau mendengar orang ngomong apa tentang dirinya, senang juga ya ada penghiburan. Tapi kalau orang membicarakan kelemahan kita, waduh, mondir-mandir juga sambil mencatat, awas ya suatu saat akan saya balas, kita terganggu sekali. Martyn Lloyd Jones pernah memberikan satu contoh untuk menilai kita lemah lembut atau tidak, yaitu waktu kita berdoa, kita berdoa dihadapan Tuhan, kita selalu katakan bahwa kita ini rendah, kita ini orang berdosa, tetapi begitu orang lain bicara kalimat yang sama kepada saya, kita langsung protes, ini kan disintegritas? Kalau kita sendiri bicara sama Tuhan bahwa saya ini berdosa, saya punya kelemahan, coba kalau orang lain yang berdoa seperti itu, lalu kita mendengar, trus kita berdoa, Tuhan tolonglah orang disebelah saya yang berdosa dan penuh dengan kelemahan ini. Sangat tidak sabar, lama-lama akhirnya kita jadi tidak berdoa lagi, pelan-pelan kita jadi mendengarkan orang disebelah kita, sebetulnya dia bicara apa ya tentang saya? Apalagi di gereja kita berdoanya buka suara sampai semua orang mendengar.
Kita kesulitan kalau orang lain mem-profile kita low tetapi kita sendiri secara munafik seperti berpura-pura mem-profile diri kita so low dihadapan Tuhan dan waktu orang lain katakan kalimat yang sama, kita merasa sangat terganggu, Martyn Lloyd Jones bilang itu namanya kelemahlembutan, is that gentleness, itu being gentle, meekness atau sebetulnya meekness yang palsu? Apa sih bedanya pemungut cukai ini dengan orang Farisi? Ya tidak berbeda, kalau mau dikatakan ya dia juga bukan orang yang lebih baik, sama, kita jangan salah mengerti, di sini seperti seolah-olah pemungut cukai mempunyai kualitas tertentu, akhirnya Tuhan Yesus tertarik atau Allah tertarik, yang akhirnya lebih membenarkan dia, bukan. Kalau seperti itu ya tidak ada cerita yang mengejutkan juga, kita sudah tahu siapa hero-nya, hero-nya selalu orang miskin, selalu orang susah, selalu janda dan yang salah selalu orang kaya, selalu orang yang punya power, selalu gereja, selalu orang yang hirarkinya diatas, yang benar selalu orang yang di bawah dst., kalau seperti ini ya marxisme bukan alkitab.
Lukas bukan seorang penganut marxis, bukan, pemungut cukai ini juga adalah orang yang berdosa, dengan jelas di sini digambarkan bahwa dia adalah orang yang jelas akan dosanya, dia tidak berani menengadah ke langit, dia memukul dirinya dan berkata, kasihanilah aku orang berdosa ini. Ini pintu yang sempit, yang tidak semua orang akan melihat, ada orang yang suka lewat pintu yang lebar, pintu yang lebar itu apa? Saya datang dengan keagamaan saya, saya tidak merampok, saya bukan orang lalim, bukan pezinah, bukan pemungut cukai, saya datang dengan kebaikan-kebaikan saya dihadapan Tuhan, ini pintu yang lebar, pintu yang dibangun oleh manusia. Tetapi manusia menghindari pintu yang sempit ini, pintu yang sempit itu apa? Yaitu saya datang sebagai orang berdosa dihadapan Tuhan, itu perlu humility, perlu kerendahan hati untuk menyatakan bahwa saya betul-betul adalah orang berdosa, orang yang tidak bisa memenuhi Taurat, orang yang tidak bisa mengikuti perintah Tuhan, gagal, tidak lebih baik daripada orang lain.
Coba kita perhatikan dalam bagian ini, tidak ada banding-banding dengan orang Farisi, mana ada dia mengatakan, misalnya, Tuhan aku bersyukur meskipun aku bukan seperti orang Farisi ini yang tidak merampok dsb. Pemungut cukai ini tidak mempunyai kualifikasi apa-apa, dia datang di dalam kebangkrutan rohani, helpless dan hopeless, tidak ada kebaikan, lalu dia datang hanya mengharapkan belas kasihan Tuhan. Inilah jantung hati daripada kekristenan, datang sebagai pengemis dihadapan Tuhan, orang yang bangkrut secara spiritually, Tuhan, saya tidak mampu melakukan apa-apa, bukan datang dengan berkata, Tuhan jangan lupa balas kebaikan saya, saya sudah berdermawan, saya sudah hidup suci, balaslah kebaikan saya, ini pintu yang lebar. Orang-orang seperti ini tidak mengenal dirinya, dirinya itu siapa bukan di dalam perspektif relasinya dengan Allah waktu dia berhadapan dengan Allah, bukan, tetapi dia mengenal dirinya dengan banding-banding terhadap orang lain. Identitas manusia bukan dibangun dengan cara seperti ini.
Manusia dalam kehidupannya hanya menaikkan apa yang baik dalam kehidupannya dan menyembunyikan apa yang bobrok dalam kehidupannya. Dengan cara seperti ini lalu kita berpikir bahwa kita bisa mengelabui Tuhan, saya kuatir kalau orang-orang yang pelayanan itu, setelah itu menjadi satu kompensasi keengganan mereka dibentuk oleh Tuhan, khususnya di dalam kelemahan-kelemahan tertentu yang kita tahu bahwa itu memang adalah kelemahan, lalu kita kompensasi dengan pelayanan. Saya melayani kok, saya ikut KKR dimana-mana loh…., saya rajin datang ke persekutuan doa loh….., tetapi ada satu kelemahan yang tidak mau dirubah sama Tuhan, terus dipertahankan dan dia kompensasi dengan yang lain supaya kelihatan…., ya siapa sih yang tidak punya kelemahan, semua orang kan punya kelemahan, kamu jangan lihat kelemahan saya, lihat kelebihannya dong, kelebihannya kan banyak juga, jadi jangan lihat kelemahannya. Kalau kita jangan seperti itu, tetapi kita harus melihat kelemahan kita, karena kelebihan itu biarkan saja dilihat oleh Tuhan, dilihat oleh orang lain, tidak usah mengumumkan, kita sendiri harusnya lebih melihat kelemahan, bagaimana kita berubah dan bagaimana kita keluar dari kelemahan tersebut.
Pemungut cukai ini tidak ada yang bisa disetor kepada Tuhan, peka sekali, mungkin karena dia pemungut cukai, seorang yang biasa menerima setoran dan waktu mau memberikan kepada Tuhan, saya tidak ada apa-apa yang bisa disetor, tidak ada sesuatu yang baik yang bisa saya sampaikan kepada Tuhan dan saya juga tidak tertarik bicara dengan orang Farisi ini, tidak ada gunanya juga, untuk apa? Saya tahu, pada dasarnya manusia itu harus berdiri seorang diri dihadapan Tuhan, bukan mengumumkan dirinya dihadapan banyak orang. Orang ini dibenarkan karena inilah Yesus mengatakan, Aku datang untuk orang yang sakit, orang sakit yang perlu dokter, orang sehat tidak perlu dokter, Saya datang untuk orang berdosa, Saya bukan datang untuk orang suci, kalau kamu merasa dirimu sudah suci, ya saudara tidak perlu Yesus, betul, tetapi sebetulnya ini adalah sindiran. Karena orang suci itu tidak ada, kecuali orang yang menipu dirinya sendiri, tidak ada orang yang tidak memerlukan Yesus Kristus, yang tidak memerlukan pengorbananNya di atas kayu salib, tidak ada. Yang ada adalah orang yang menipu diri dengan mengatakan, oh saya tidak perlu korban pengampunan, penebusan seperti itu, karena saya bisa datang sendiri dihadapan Allah dengan kebaikan-kebaikan yang suda saya lakukan di dalam kehidupan saya. Dan saya percaya doktrin yang diajarkan di dalam perikop ini adalah jantung di dalam kekristenan, mulai daripada kebangkrutan.
Seperti Mahatma Gandhi, seorang yang sangat dipengaruhi oleh ajaran Yesus Kristus, tetapi dia kemungkinan besar, seumur hidupnya tidak pernah mengaku percaya sebagai orang kristen, kenapa? Karena dia terlalu kecewa kepada orang-orang Inggris yang katanya murid-murid Kristus, tetapi menurut Gandhi tidak pernah melakukan apa yang diajarkan oleh Yesus Kristus. Tetapi kalau kita perhatikan, pembacaan Gandhi tentang khotbah dibukit, bagian yang pertama saja sudah tidak mengerti yaitu berbahagialah orang yang miskin dihadapan Allah, berbahagialah orang yang menyatakan bangkrut rohani dihadapan Allah, Gandhi tidak mengerti kalimat ini. Kalau dia mengerti, maka dia tidak akan berkata, orang Inggris itu tidak bisa melakukan ajaran Kristus (saya yang melakukan), saya lebih kristen daripada orang-orang yang mengaku kristen, karena saya merenungkan khotbah di bukit setiap hari, saya melakukan ajaran Kristus. Berbahagialah orang yang miskin dihadapan Allah, dia tidak mengerti kalimat itu, dia merasa dirinya kaya dihadapan Allah, lebih successful daripada orang-orang Inggris, yang miskin menurut dia dihadapan Allah, karena tidak bisa menjalankan sabda di bukit. Wah betapa menipunya jalan agama, sangat-sangat menipu, padahal jelas sekali, berbahagialah orang yang miskin dihadapan Allah, yang bangkrut dihadapan Allah, yang tidak ada sesuatu yang bisa dia bawa kehadapan Allah, jantung hati dari kekristenan. Kita ini sangat sulit untuk membebasakan diri dari komparasi ini, pemungut cukai ini bukan dibenarkan karena dia punya certain kualitas yang lebih baik daripada orang Farisi, dua-duanya telanjang dihadapan Tuhan, yang satu telanjang dan mengakui bahwa dia telanjang, yang satunya juga telanjang tetapi dia membias diri dengan pakaian-pakaian keagamaan, yang pasti Tuhan tidak tertipu dengan itu, karena Tuhan langsung melihat ke dalam hati manusia.
Kita yang sudah percaya, kita orang-orang yang mengaku kristen ini, kita dipanggil untuk terus-menerus menjalani kehidupan yang menghayati kebangkrutan rohani seperti ini, maksudnya apa? Betapa banyaknya kita melihat ada orang-orang yang mulai di dalam perasaan ketidaklayakan, mulai dengan kebangkrutan rohani, lalu pelan-pelan kita menjadi kristen mulai menikmati….., dan mulai jatuh di dalam persoalan power, persoalan financial yang dipercayakan Tuhan dalam kehidupannya, di dalam jabatan, posisi dll., pelan-pelan akhirnya merasa bahwa dia yang layak, orang lain itu yang kurang layak. Racun seperti ini masuknya subtle, pelan-pelan dan setan cukup sabar untuk menunggu, bisa bertahun-tahun menabur benih seperti itu, merubah kita dari perasaan tidak layak, akhirnya pelan-pelan menjadi layak dan kalau bukan saya siapa lagi, ya memang saya yang paling qualified, yang lain tidak ada yang sebaik saya. Lalu kita mulai menghayati kelayakan kita, akhirnya pelan-pelan berubah menjadi Farisi, tadinya pemungut cukai, lalu bergeser jadi orang Farisi dan pergeseran itu kita tidak sadar, tiba-tiba kita sudah di sana, tiba-tiba kita suka komparasi diri kita dengan orang lain, gereja kita dengan gereja lain, agama kita dengan agama lain, dst.
Tanpa kita sadar, kita bukan memegahkan Yesus Kristus, kita memegahkan agama kita sendiri, beware, tidak ada satu orang-pun yang kebal dengan hal ini, pengalaman setan itu ribuan tahun, umur kita berapa? Tidak ada orang yang bisa melawan kelincahan daripada setan, kecuali kita kembali lagi seperti pemungut cukai, datang dengan apa adanya dihadapan Tuhan. Lalu Tuhan berjanji, orang-orang seperti ini, Yesus datang untuk mereka, Yesus datang untuk orang-orang sakit seperti ini, mati di atas kayu salib menyelesaikan semua tuntutan keagamaan, tuntutan Taurat secara sempurna yang tidak bisa dilakukan oleh siapapun. Menggantikan kita yang berdosa dan mengaruniakan itu sebagai satu kado kepada kita yang percaya di dalam namaNya, kalau kita tidak tertarik lagi dengan berita salib, ada yang salah dalam kehidupan kita. Kiranya Tuhan memberkati kita semua. Amin.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (AS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Jemaat Kelapa Gading