Hari ini hari ulang tahun gereja, maka kita mengadakan family worship. Ini adalah minggu ke-13 setelah Minggu Trinitatis, yang adalah minggu pertama setelah Pentakosta; dan temanya adalah tentang mengasihi sesama. Itu sebabnya tadi kita membaca perumpamaan “Orang Samaria yang baik hati” dari Lukas 10 yang sangat terkenal; namun hari ini kita akan merenungkan satu bagian firman Tuhan yang juga bisa dikaitkan dengan topik “mengasihi sesama” ini –di dalam gambaran yang agak negatif– yaitu dari Kejadian pasal 4, cerita Kain dan Habel. Di bagian ini ada satu kalimat terkenal yang diucapkan Kain, yang sebetulnya menggambarkan problem dalam kehidupan manusia; salah satu persoalan dalam kehidupan manusia adalah persaudaraan, bukan hanya persahabatan tapi persaudaraan. Waktu kita merenungkan bagian ini, tentu kita juga bisa merenungkannya dari perspektif Gereja (orang percaya), yang bukan kebetulan kita di sini dipanggil sebagai saudara seiman. Di dalam Perjanjian Lama kita mendapatkan gambaran keluarga yang disfungsi, gambaran keluarga yang bukan ideal melainkan agak kacau balau; dan itu sudah dimulai sejak cerita pertama, sejak cerita Adam dan Hawa yang punya anak Kain dan Habel.
Omong-omong nama “Kain” mempunyai arti yang indah, diambil dari kata kanah, yang artinya to get atau to create; dengan demikian arti ‘Kain’ sebagai seorang anak pertama adalah bahwa dia menjadi gambaran kemungkinan yang cerah di masa yang akan datang. Sementara “Habel”, artinya adalah uap, nothingness; dan betul saja dia akhirnya dibunuh, somehow seperti menggenapi namanya. Tapi kalau kita melihat dalam perspektif Perjanjian Baru, ternyata ada pembalikan; Habel disebut orang yang beriman, sementara Kain dianggap sebagai representasi kejahatan. Inilah yang mau kita renungkan. Mungkin kita akan lebih banyak merenungkan Kain daripada Habel. Habel ini orang baik, sementara Kain orang jahat; dan yang lebih nyambung dengan Saudara dan saya itu adalah Kain, bukan Habel, karena Habel lebih nyambung dengan kehidupan Yesus Kristus.
Di dalam Perjanjian Lama Kejadian pasal 4, setelah kejatuhan di dalam dosa, betul saja ternyata bukan tidak ada akibatnya. Saudara lihat di sini, relasi keluarga pun jadi berantakan, terjadi pembunuhan. Urusan persaudaraan, yang harusnya diharapkan bisa saling bahu-membahu, saling mencintai, saling mengasihi, saling melindungi –terutama yang besar melindungi yang kecil– ternyata di dalam Perjanjian Lama kita membaca sering kali ada problem “anak sulung”. Kita tahu dalam dunia modern ada problem “anak bungsu”, tapi di dalam Kitab Suci ada problem “anak sulung”, Ismael terhadap Ishak, Esau terhadap Yakub, saudara-saudaranya Yusuf terhadap Yusuf, dan di bagian ini Kain terhadap Habel. Ada apa ya, dengan anak sulung? Tentu bukan berarti semua anak sulung pasti nasibnya akan jadi seperti Kain, tapi bahwa Tuhan sengaja bekerja membalik. Dalam Perjanjian Lama yang seharusnya diberkati atau mendapatkan berkat hak kesulungan adalah anak sulung, bukan anak bungsu; anak sulung dipercayakan lebih banyak karena dia anak sulung, tapi sering kali anak sulung ini tidak menjalankan perannya/panggilannya, bukan menjadi seorang penjaga bagi sesamanya –dan sesama yang paling dekat adalah saudaranya sendiri– tapi menjadi pembunuh, sebagaimana di bagian ini. Ada kebencian dalam kehidupan Kain.
Dalam hal ini saya sangat sependapat dengan Brueggemann. Dia mengatakan, kalau bicara tentang pembunuhan, bahwa pembunuhan itu salah, tidak perlu Alkitab untuk memberitahu karena semua orang juga tahu; bahkan katakanlah seandainya tidak ada Sepuluh Hukum pun, orang di dunia ini tahulah bahwa membunuh itu jahat. Hal ini somehow tidak terlalu perlu Alkitab, hati nurani manusia tahu bahwa membunuh itu tidak oke. Poinnya, kita jangan menafsir bagian ini hanya sebatas moralitas. Kisah Kain dan Habel ini bukan suatu jalan cerita untuk menjadikan kita anak-anak yang tidak terlalu nakal; “Hai anak-anak, jangan nakal, baik-baiklah, jadilah orang yang baik”, dsb., menurut saya tidak cukup kalau kita menafsir seperti itu. Kita musti menafsir secara teologis, bukan dalam batasan moralitas belaka –meskipun tentu saja moralitas termasuk– mengenai apa sebetulnya yang jadi akibat dari kebencian/pembunuhan yang dilakukan oleh Kain ini, yaitu bahwa dia berurusan dengan Tuhan sendiri.
Kekristenan bukan sekadar bicara moralitas, soal bagaimana jadi anak yang lebih baik, yang sopan, yang tidak kurang ajar, dsb., tapi bagaimana berelasi secara benar dengan Allah. Apa gunanya menjadi orang yang baik, yang berbakti kepada orangtua, yang loyal, tidak kurang ajar, sopan, dsb., tapi sebetulnya tidak ada relasi dengan Allah?? Esau adalah orang yang seperti itu. Esau itu pintar masak, dan dia kayaknya tahu bagaimana berbakti kepada orangtuanya. Kita, orang Timur, suka sekali dengan anak yang berbakti, yang tidak kurang ajar, dsb. Kita tidak kebal terhadap favoritisme, kita lebih senang dengan anak yang menurut, yang tidak kurang ajar, sedangkan anak yang kurang ajar, yang keras, yang diberitahu tetap ndablek, keras kepala, dsb., tidak mungkin jadi favorit. Kita bisa punya kecenderungan seperti itu, lalu kita menjadikan cerita loyalitas –loyalitas kepada kita sebagai orangtua– mengatasi narasi cerita Injil, mengatasi kabar baik itu sendiri. Kita tidak terlalu peduli apakah anak kita punya relasi yang benar dengan Tuhan atau tidak, kita lebih senang menikmati kalau anak kita sopan kepada saya, tidak kurang ajar kepada saya, dsb. Esau adalah orang yang lumayan berbakti kepada orangtua, tidak seperti Yakub yang tidak jelas apa kerjanya dan somehow kayaknya kurang maskulin; Esau lebih membanggakan. Tapi Saudara baca dalam cerita itu, seperti apa relasi Esau dengan Allah? Seperti apa selera rohaninya??
Dalam cerita Kain dan Habel, kita musti membacanya juga dalam perspektif “akibat”, yang akhirnya Kain tuai karena dia membiarkan dosa menguasai dirinya. Bagian ini lumayan sulit waktu kita baca, kita bisa menafsir secara keliru. Ceritanya sebenarnya cukup sederhana; ada dua anak, yang sulung dan yang bungsu, Kain dan Habel. Dikatakan di sini Habel adalah penggembala kambing domba, Kain petani. Kemudian keduanya mempersembahkan sebagian dari hasil mereka, yang mengusahakan tanah mempersembahkan hasil tanah, yang jadi gembala mempersembahkan korban domba; dan salah satunya diterima, satunya lagi ditolak. Begitulah ceritanya. Yang satu diterima, satunya lagi ditolak; pertanyaannya, kenapa ya? Sebagai manusia, kita cenderung tanya, kenapa ditolak?? Di sini kita bisa berspekulasi macam-macam alasannya Kain ditolak dan Habel diterima; dan biasanya waktu kita mencari hal ini, kita mencarinya dalam hal kualitas kebaikan yang ada pada manusia, kita mencari-cari ‘apa yang lebih baik pada Habel, yang tdiak ada pada Kain’? Kenapa Habel diterima dan Kain ditolak, pasti karena Habel ini ‘gak nakal, pasti karena Kain lebih kurang ajar, pasti karena Habel lebih menyenangkan, pasti karena Kain … dst., dst. Saudara, menggambarkan Tuhan demikian, itu seperti Tuhan yang didikte oleh manusia, seakan-akan Tuhan adalah Tuhan yang berespons terhadap apa yang dilakukan manusia. Kalau saya baik-baik, kalau saya belajar, kalau saya rajin, Tuhan suka; kalau saya nakal, Tuhan tidak suka. Tuhan tunggu saya, apakah saya nakal atau rajin, dan Tuhan bergerak sesuai dengan apa yang saya lakukan. Tapi itu bukan yang dikatakan di sini.
Waktu Saudara membaca bagian ini dengan hati-hati, setelah bicara tentang persembahan, tiba-tiba saja dikatakan ‘TUHAN mengindahkan Habel dan korban persembahannya itu, tetapi Kain dan korban persembahannya tidak diindahkan-Nya’ (ayat 4b-5a).Seakan-akan itu sesuatu yang out of nowhere, dan kalau Saudara cari alasannya, tidak ada di sini. Lalu ada teolog yang menafsir, “O, itu karena Tuhan lebih suka gembala daripada petani”. Aneh sekali tafsiran kayak begini, kalau saya teruskan lagi jadi: ‘Tuhan lebih suka gembala daripada petani, karena gembala menyediakan daging, tapi petani menyediakannya sayur, membosankan sekali, brokoli kayak begitu, mana bisa menyenangkan, ya harus daging dong, masa sayur lagi sayur lagi, bikin darah tinggi karena kepingin daging dilarang-larang; petani itu tidak ada tempat dalam Kerajaan Allah’ –jadi absurd banget. Tafisran kayak begini luar biasa absurd. ‘Ya, karena Israel ‘kan bangsa penggembala, Israel ‘kan bukan petani, yang petani ‘kan bangsa lain, maka Tuhan senang Israel,; jadi yang benar sudah pasti Habel-lah, bukan Kain, karena Kain ‘kan petani. Salah sendiri kenapa dia pilih jadi petani, mustinya dia jadi gembala’ –lucu sekali intepretasi seperti ini. Benar-benar lucu. Apa benar jadi petani itu satu pekerjaan yang bukan dari Tuhan?? Apa mengolah tanah itu salah, dan harusnya jadi orang yang sembelih-sembelih begitu?? Sekali lagi, itu tafsiran yang terlalu pintar, tapi tidak terlalu menolong. Lalu Saudara di sini tanya lagi, ‘jadi apa dong jawabannya? kenapa Kain ditolak, kenapa Habel diterima?’ Jawabannya ada pada Tuhan sendiri. Tuhan menerima persembahan orang yang Dia mau terima; Tuhan menolak persembahan orang yang Dia tidak mau terima.
Mengerti hal ini, sulit; kenapa? Karena kita terbiasa mendikte Tuhan, kita maunya konsep yang mendikte Tuhan: ‘kalau saya berbuat sesuatu, maka Tuhan akan berespons terhadap apa yang saya kerjakan’. Kalau saya doanya lebih panjang maka Tuhan akan lebih memberkati; kalau saya lebih ‘gak nakal maka Tuhan akan lebih senang, dst., seakan-akan Tuhan didikte oleh kehidupannya kita. Tetapi tidak demikian, Saudara. Tuhan itu Tuhan yang berdaulat. Dia, Tuhan yang bebas. Dia menentukan siapa yang Dia mau terima, siapa yang Dia tolak. Tuhan yang ada di dalam Alkitab adalah Tuhan yang memilih. Berbahagialah kita, kalau kita ini diberikan kesempatan untuk bisa mendengar firman Tuhan. Adik-adik berbahagia, kalau mendapatkan kesempatan datang ke Sekolah Minggu dan mendengarkan firman Tuhan, karena hal itu tidak diberikan kepada semua orang. Adik-adik berbahagia, kalau kita bisa mengenal Tuhan Yesus Kristus, kalau kita dilahirkan dalam keluarga Kristen, karena hal itu tidak diberikan kepada semua orang. Adik-adik berbahagia, kalau punya orangtua yang memperhatikan kerohanianmu, karena tidak semua orangtua memperhatikan kerohanian anak-anaknya.
Jadi bagaimana? Tuhan jadinya absurd, dong, kalau kayak begini? Tuhan main pilih tanpa ada alasannya, random banget, suka-suka; siapa yang Dia mau terima, Dia terima, siapa yang Dia tidak mau terima, Dia tidak terima?? Jangan-jangan Tuhan lempar dadu mungkin, ganjil atau genap, kalau ganjil berarti Kain karena dia anak pertama, kalau genap berarti Habel karena dia anak kedua?? Tidak, Saudara. Tuhan tidak lempar dadu. Dari perspektif Saudara dan saya, mungkin kita pikir Tuhan ini random, semena-mena mengambil keputusan tanpa ada pertimbangan sama sekali, tapi waktu kita membaca di bagian berikutnya, ternyata tidak juga. Tuhan itu sangat reasonable dalam keputusan-Nya, meskipun sering kali kita tidak bisa menyelami. Namun demikian, pertama-tama kita musti mulai dari kedaulatan Tuhan, sebelum kita membicarakan dari perspektif bawah –dalam hal ini,dari perspektif Kain.
Tuhan menolak persembahan Kain, lalu Kain dikatakan jadi sangat panas, mukanya muram –dalam terjemahan lain dikatakan ‘mukanya turun’. Mukanya muram, jadi tidak menyenangkan sama sekali. Tuhan juga sepertinya tidak happy lihat muka seperti itu, kurang memancarkan kemuliaan Tuhan; makaTuhan berkata kepada Kain, “Mengapa hatimu panas dan mukamu muram?” –kenapa mukamu panjang–“ Apakah mukamu tidak akan berseri, jika engkau berbuat baik?” Inilah Saudara, perhatikan: “Apakah mukamu tidak akan berseri, jika engkau berbuat baik?” Sederhana sebetulnya ayat ini; orang yang berbuat baik, mukanya akan berseri. Fakta bahwa Kain mukanya muram, itu berarti dia tidak berbuat baik, dia berbuat jahat. Saudara lihat di sini, pilihan Tuhan itu, meskipun tadi kita mengatakan bukan didikte oleh manusia, tapi bukan berarti tidak ada pertimbangannya sama sekali, Tuhan bukan se-random yang kita pikir. Tuhan bukan melakukan keputusan seenak-enaknya Dia, ‘gak ketebak banget. Mungkin memang bisa tidak ketebak, bisa unpredictable dari yang kita pikirkan, tetapi waktu kita baca, ternyata bukan tidak ada penjelasannya di sini. Kain tidak berbuat baik; dan dalam keadaan itu, dosa sudah mengintip di depan pintu; “Apakah mukamu tidak akan berseri, jika engkau berbuat baik? Tetapi jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu.”
Bagian ini memang rumit kalau kita baca dari perspektif teologi sistematika, seakan-akan maksudnya ‘tidak berbuat baik itu belum dosa??” Pertanyaan ini rumit; dan karena rumit, saya tidak bahas hari ini. Tetapi Saudara melihat di bagian ini, sepertinya dibedakan antara ‘dosa yang sudah mengintip di depan pintu’ dengan ‘tidak berbuat baik’. Kenapa ada bagian seperti ini? Apakah berarti ‘tidak berbuat baik’ yang sebelumnya itu, bukan dosa? Sekali lagi, ini pertanyaan-pertanyaan yang tidak terlalu mudah untuk dijawab, tapi mungkin juga tidak terlalu penting untuk dipersoalkan. Yang lebih penting adalah: apa yang Tuhan harapkan di dalam keadaan seperti ini? Sebetulnya kalau Saudara bisa melihat, Kain yang tidak berbuat baik itu masih diberikan kesempatan untuk bertobat. Dan ini yang lebih penting daripada membicarakan soal apakah waktu dia tidak berbuat baik itu sudah merupakan dosa atau bukan, apakah juga bisa berbuat baik karena toh manusia sudah jatuh di dalam dosa, bukankah ada original sin, dst., dst. Rumit sekali pertanyaan kayak begini, dan penulis Kejadian 4 kayaknya tidak tertarik untuk mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan teologi sistematika itu.
Yang kita baca di sini, Tuhan bilang, “Apakah mukamu tidak akan berseri, jika engkau berbuat baik?” Ini undangan sebetulnya; satu undangan untuk berbuat baik. Tuhan masih memberikan kesempatan kepada Kain untuk berbuat baik, sehingga mukanya tidak perlu muram; karena orang yang kurang/tidak berbuat baik, mukanya muram, seperti yang terjadi pada Kain. Orang yang tidak berbuat baik, bukan berarti dia cuma terus berada di situ, cuma dalam keadaan muka yang muram, tetapi bahwa dosa mengintip di depan pintu. Dosa digambarkan seperti binatang yang siap menerkam, yang keinginannya menerkam dan membinasakan manusia, sedikit dipersonifikasi di dalam bagian ini: “… dosa sudah mengintip di depan pintu, ia sangat menggoda —ada keinginannya, ada godaannya— tetapi engkau harus berkuasa atasnya”.
Menarik waktu Tuhan mengatakan ‘engkau harus berkuasa atasnya’, ada sedikit perdebatan dalam commentary mengenai bagian ini. Kalau pakai istilah ‘engkau harus berkuasa atasnya’, berarti itu suatu kalimat perintah, ‘you must’; tapi sebenarnya ada terjemahan yang lain, yang mungkin agak kuno, yang pakai istilah ‘you shall rule’. Apa bedanya ‘you shall’ dengan ‘you must’? Dalam ‘you shall’, ada nuansa janji, bahwa bukan cuma ‘engkau harus’ tapi juga ‘niscaya engkau akan’. Jadi ini adalah suatu undangan yang juga berlaku untuk Kain, ‘dosa memang sudah mengintip, siap menerkam dan meneggelamkan kamu, tapi kamu bisa berkuasa atasnya’. Engkau seharusnya bisa berkuasa atasnya, itulah maksudnya ‘you shall’. Kalau ‘you must’, ini suatu bentuk perintah, yang kalau dibaca dari perspektif ‘original sin’ jadinya Tuhan kayak meledek, Dia sudah tahu Kain tidak bakal bisa tapi masih disuruh juga, seperti mempermainkan saja. Seakan-akan Tuhan bilang, “Engkau harus menguasainya”, lalu Tuhan bisaik-bisik sendiri, “Tidak mungkinlah dia bisa menguasainya, apa sudah lupa cerita Kejadian 3?? ‘gak ada itu yang namanya menguasai”. Saudara, kita tidak boleh membaca cerita ini dari perspektif teologi sistematika itu, nanti bisa kacau pembacaannya, akhirnya kita tidak mendapatkan message-nya, kita dapatnya poin yang sama lagi dan sama lagi. Saya bukan menentang teologi sistematika, tapi ada tempatnya untuk itu; dan bagian ini kita tidak boleh baca dalam perspektif dogmatis seperti itu. Lalu apa message-nya? Message-nya adalah: Tuhan masih memberikan undangan kepada Kain, ‘apakah mukamu tidak akan berseri jika engkau berbuat baik’, masih bisa koq berbuat baik, bisa diperbaiki. Jadi, apa alasannya Yahweh menolak, kita tidak terlalu jelas, tidak bisa diselidiki juga, dan tidak perlu diselidiki; yang perlu kita tahu, ada kemungkinan untuk bertobat, Tuhan memberi kemungkinan untuk mengoreksi diri. Inilah yang lebih penting, daripada mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan tadi.Tetapi Kain tidak bertobat, Kain malah membiarkan dosa yang mengintip di depan pintu itu masuk, pintunya dibuka dan Kain mempersilakannya masuk, dia bersekutu dengan dosa.
Kain membiarkan dosa masuk ke dalam ruang hatinya, masuk ke dalam rumahnya, dan setelah itu dia mengajak Habel pergi ke padang. ‘Padang’ ini motif menarik kalau di dalam Alkitab. Kita bisa membacanya dari perspektif Perjanjian Baru; dalam cerita perumpamaan ‘anak yang hilang’, si sulung waktu tahu adiknya pulang dan bapanya kemudian membuat pesta untuk adiknya itu, dia pergi ke ladang, tidak mau masuk. Dia pergi ke padang, pergi ke luar; apa artinya? Artinya menolak brotherly fellowship, penolakan terhadap persekutuan. Saya tidak mau makan dengan orang itu, saya tidak mau bersekutu dengan dia, biarkan saya di luar sini. Saya mau tetap ada di padang (atau di ladang), saya tidak mau masuk. Karena apa? Karena di rumah ada orang itu. Saya tidak mau semeja dengan dia, saya tidak mau makan bareng dia, dia itu orang berdosa. Saya ’kan orang benar, saya ‘kan bukan seperti adik saya yang menghabiskan uang untuk pelacur-pelacur, foya-foya menghabiskan uang, mabuk-mabukan, dsb.; saya ‘kan bukan orang seperti itu, saya tidak mau semeja dengan dia, tidak ada yang namanya persekutuan dengan dia. Saya mau sendiri di sini —sendiri di padang. Dalam cerita Kain ini memang dia tidak sendiri, tapi ini lebih parah daripada sendiri, dia habisi Habel. Kalau di dalam cerita ‘prodigal son’, setidaknya si kakak sulung hanya menolak persekutuan tapi tidak membunuh, tapi di bagian ini lebih parah lagi, Kain membunuh Habel. Dia seharusnya menjadi seorang kakak, penjaga, bersekutu dengan adiknya, melindungi adiknya, namun dia bukan saja tidak melindungi tapi justru membunuh Habel. Membunuh karena kebenciannya, karena dia membiarkan dosa yang mengintip di depan pintu itu masuk dan menguasai kehidupannya, padahal Tuhan sudah berkata, “… ia sangat menggoda engkau” –dosa itu sangat menggoda– “tetapi engkau seharusnya berkuasa atasnya” –engkau seharusnya menguasainya, you shall rule. Tetapi Kain tidak demikian, dan yang terjadi adalah Kain dikuasai oleh dosa. Berikutnya, ketika mereka berada di padang –mereka seperti bersama-sama, serumah, sama-sama ada di padang, tapi sebetulnya yang ada hanyalah kebencian– Kain memukul Habel, adiknya itu, lalu membunuh dia.
Kemudian Tuhan berkata kepadanya, “Di mana Habel, adikmu itu?” Saudara, kita tahu waktu Tuhan tanya ‘di mana’, itu bukan berarti Tuhan perlu diberitahu, Tuhan itu mahatahu, Dia pasti tahu Habel ada di mana dan bahwa Habel sudah dibunuh oleh Kain; tapi ini satu pertanyaan yang meminta pertanggungjawaban, menguji apa yang ada di dalam hati Kain. Lalu jawab Kain, “Aku tidak tahu! Apakah aku penjaga adikku?” Dalam hal ini, sebetulnya memang iya; tapi kalimat ini persoalannya di mana, kenapa dia mengatakan kalimat ini? Saya tidak tahu, saya tidak mau tahu, saya ‘kan bukan penjaga adikku. Saya ‘kan bukan penjaga sesamaku. Gerejaku ‘kan tidak mengurusi gereja yang lain, itu ‘kan urusannya masing-masing, kita ‘kan bertanggung jawab atas diri sendiri, bukan mengurusi yang lain. Waktu Kain pakai istilah ‘penjaga’, maksudnya adalah: ‘yang penjaga ‘kan Engkau, Tuhan; jelas sekali ‘kan dalam Perjanjian Lama yang adalah Penjaga Israel itu Tuhan ‘kan, masa Kain?? Itu posisinya Tuhan, masa saya disuruh campur posisinya Tuhan??’ Kadang-kadang Saudara dan saya juga bisa pakai model seperti ini, hal yang sebetulnya Tuhan undang kita untuk terlibat dalam pekerjaan-Nya, kita bilang, “Lho, Tuhan, itu ‘kan pekerjaan-Mu; itu ‘kan Engkau harusnya yang mengerjakan, ngapain saya dilibatkan seperti ini? Penjaga, itu ‘kan urusan-Mu, bukan urusanku. Engkau ‘kan yang harusnya menjaga, kenapa jadi saya sekarang yang harus menjaga??” Yang seperti ini, orang yang tidak melihat pekerjaan Tuhan yang dipercayakan dalam kehidupannya. Dia melempar begitu saja kepada Tuhan, dia tidak mau tahu, ‘menjaga orang lain, itu ‘kan urusannya Tuhan, bukan urusan saya’.Saudara, ini hari ulang tahun gereja ke-23; kita juga bisa pakai ayat ini untuk dihayati secara eklesiologis. Jangan sampai di ulang tahun yang ke-23 ini kita mirip Kain, “Aku ‘gak tahu urusannya gereja lain apa, ‘gak tahu urusannya orang lain apa; bukannya Engkau yang menjaga, Tuhan? Apakah aku penjaganya mereka?? Sudah repot banget, masih disuruh jagain yang di luar sana, itu ‘kan bukan urusannya saya??” Ada narasi seperti ini di dalam Kitab Suci. Ini minggu ke-13 setelah Minggu Trinitatis, seharusnya kita bicara tentang mengasihi sesama, tapi cerita yang kita baca ini, cerita yang agak gelap dan pesimistis kalau melihat keadaan
manusia seperti itu.
Posisi Saudara dan saya kayaknya lebih cocok di posisinya Kain daripada posisi Habel. Posisi Habel itu posisi yang gampang untuk kita mengindetifikasikan diri ke sana. Kita ini seperti Daud waktu mendengar Nabi Natan mengatakan ada seorang yang kaya mau bikin pesta dan ada seorang miskin yang hanya punya satu domba, lalu Daud bisa-bisanya mengidentifikasikan dirinya pada si miskin daripada si kaya, padahal dia lebih cocok mengidentifikasikan diri pada posisi yang kaya itu. Bahkan terlepas dari dia merampok dan mengambil Betsyeba –meski itu satu hal– dia itu betul-betul sangat diberkati Tuhan, tapi dia lebih suka mengidentifikasikan dirinya di dalam posisi korban (victim). Jangan-jangan waktu kita membaca cerita Kain dan Habel, kita sama juga, ‘sayalah Habel-nya, saya yang dijahili, saya kayaknya dibenci, saya yang di-iri hati, saya memang orang susah’, dsb. Mentalitas ‘korban’ kayak begini, membuat kita tidak bertumbuh, karena kita salah mengidentifikasikan diri, salah menaruh posisinya. Sekali lagi, Habel kayaknya yang lebih mirip Kristus; Saudara dan saya lebih mirip Kain sebetulnya. Kain itu, ada di posisi Saudara dan saya; Saudara dan saya ada di posisi Kain. Inilah keadaan manusia setelah jatuh ke dalam dosa; diberi kesempatan oleh Tuhan untuk bertobat, bukannya bertobat tapi malah makin jatuh dan makin jatuh, makin membiarkan dosa menguasai, padahal Tuhan sudah bilang, “… tetapi engkau harus berkuasa atasnya”, you shall rule –dan gagal di bagian ini.
Tuhan kemudian berfirman, “Apakah yang telah kauperbuat ini? Darah adikmu itu berteriak kepada-Ku dari tanah. Maka sekarang, terkutuklah engkau, terbuang jauh dari tanah yang mengangakan mulutnya untuk menerima darah adikmu itu dari tanganmu.” Inilah nasib dari orang yang membiarkan dosa menguasai kehidupannya, yaitu apa? Sederhana saja: terkutuk. Berarti ini bukan urusan moral, ini persoalan hubungan manusia dengan Tuhan. Terkutuk itu maksudnya apa? Maksudnya, di dalam relasi Allah dengan orang tersebut bukanlah relasi yang memberkati tapi yang keluar adalah kutukan, penghukuman. Ini sangat menakutkan. Tidak peduli orang ini pekerjaannya berhasil, tidak peduli orang ini keluarganya bahagia, tidak peduli apapun lainnya, yang terjadi adalah kalau Tuhan sudah menyatakan kutukan, selesailah kehidupan orang itu. Dan, ini adalah posisi Saudara dan saya sebetulnya, karena kita tidak jauh beda dari Kain.
Ayat 12: “Apabila engkau mengusahakan tanah itu, maka tanah itu tidak akan memberikan hasil sepenuhnya lagi kepadamu; engkau menjadi seorang pelarian dan pengembara di bumi.” Menjadi seorang pelarian dan pengembara, berarti tidak ada resting point; apapun yang dikerjakannya, dia rasa gelisah terus, dia tidak diberi karunia untuk menikmati, dia terus-menerus lari. Ada satu lukisan dari Fernand Cormon, “Cain flying before Jehovah’s Curse”, menggambarkan Kain yang melarikan diri dari Yahweh (lukisannya ada di Musée d’Orsay di Paris). Pelukisnya tidak terlalu besar, tidak seperti pelukis-pelikis impresionis yang lain, tapi itu lukisan yang sangat menarik, yang menggambarkan kegelisahan Kain yang terus-menerus bergerak, tidak ada tempat peristirahatan, karena terusir dari hadapan Tuhan. Tidak ada berkat untuknya, yang ada adalah kutukan.
Namun, dalam keadaan seperti ini Kain pleading kepada Tuhan, dia mencoba berelasi lagi dengan Tuhan, dia mengatakan: “Hukumanku itu lebih besar dari pada yang dapat kutanggung. Engkau menghalau aku sekarang dari tanah ini dan aku akan tersembunyi dari hadapan-Mu, seorang pelarian dan pengembara di bumi maka barangsiapa yang akan bertemu dengan aku, tentulah akan membunuh aku.” Apa artinya ‘pelarian dan pengembara’? Yaitu yang tersembunyi dari hadapan Tuhan, yang tidak melihat wajah Tuhan, yang Tuhan tidak menghadapkan wajah-Nya kepadanya.
Di sini Kain berdialog dengan Yahweh, pleading kepada Yahweh, lalu Tuhan menjawab (ayat 15): “Sekali-kali tidak! Barangsiapa yang membunuh Kain akan dibalaskan kepadanya tujuh kali lipat.” Kemudian TUHAN menaruh tanda pada Kain, supaya ia jangan dibunuh oleh barangsiapa pun yang bertemu dengan dia. Lalu Kain pergi dari hadapan TUHAN dan ia menetap di tanah Nod, di sebelah timur Eden. Saudara melihat dalam cerita ini Tuhan menaruh tanda; dan tanda ini somehow ada aspek ganda di dalamnya. Tanda ini secara sekaligus di satu sisi menyatakan bahwa Kain adalah seorang yang bersalah di hadapan Tuhan dan patut menerima hukuman, tapi di sisi yang lain tanda ini juga menyatakan adanya pemeliharaan Tuhan, bahkan anugerah dan kasih karunia. Sulit ya, untuk memahami ini. Satu tanda, sekaligus menandakan pengukuman/kutukan yang diterima oleh Kain karena Kain membiarkan dosa menguasai kehidupannya, namun juga menyatakan belas kasihan, menyatakan anugerah dari Tuhan. (Sampai di sini Saudara jangan menanyakan pertanyaan yang aneh itu ‘jadi sebetulnya Kain orang pilihan atau bukan sih; Kain masuk surga atau tidak?’ Teologi itu urusannya bukan cuma masuk surga atau masuk neraka, teologi itu terutama urusannya adalah: bagaimana kita mendapatkan Kristus di dalam cerita-cerita ini). Apa yang mau dikatakan di sini? Bahwa satu tanda, namun bermakna ganda seperti ini –sekaligus kutukan dan anugerah– itu apalagi kalau bukan salib Kristus.
Tadi kita mengatakan bahwa Habel sebetulnya adalah posisinya Kristus, Habel lebih mirip Kristus, Kain lebih mirip Saudara dan saya; tetapi waktu kita melihat bagaimana Allah menyatakan kasih-Nya, Dia ternyata mengutus Anak-Nya untuk menduduki posisi Kain –yang dikutuk itu– posisi Kain yang terusir dari hadapan-Nya. Kristus mengambil posisi itu, posisinya Saudara dan saya; Saudara dan sayalah yang seharusnya terusir dari hadapan Tuhan, karena kita membiarkan dosa menguasai kita. Tetapi, Bapa menyerahkan Anak-Nya sendiri, dibuat menjadi dosa, sehingga Dia terkutuk di atas kayu salib; dan dari tanda itu, tanda salib itu, mengalir anugerah, mengalir kasih karunia.
Di salib, kita melihat gambaran both guilt and grace, penghukuman/kutukan tapi juga sekaligus berkat dan anugerah keselamatan. Gambaran dua sisi seperti ini, juga seharusnya menyertai kehidupan bergereja. Di dalam pengertian apa? Di dalam pengertian pembalikan yang dilakukan oleh Tuhan, karena Saudara dan saya dipanggil untuk mengikut Kristus.Bukan dengan terlalu cepat memosisikan diri di posisi Habel, posisi korban, ‘saya adalah orang benar itu, saya adalah yang dijahati’, dsb., melainkan pertama-tama dengan merefleksikan diri dalam posisi Kain, lalu melihat bagaimana Kristus sudah menggantikan kita, dan sesudah itu berjalan bersama dengan Kristus. Apa artinya berjalan bersama dengan Kristus? Yaitu bahwa kita akan bertemu dengan Kain-kain yang lain, Kain-kain yang penuh dengan kebencian itu. Tapi cerita Injil tidak berhenti disini, bukan? Cerita Kain tidak berhenti pada kutukannya; ada pemeliharaan Tuhan, ada kasih karunia. Siapa tahu, Kain-kain itu akan diubah menjadi Habel. Siapa tahu, Kain-kain itu akan ditebus juga oleh Kristus. Mari berharap seperti itu, selagi kita terus bertumbuh dalam kehidupan kita, dan bukan menghindari orang-orang yang nyebelin itu. Tidak mau masuk, ‘saya di ladang saja, saya tidak mau bersekutu dengan dia, dia tidak pantas jadi saudara saya, itu bukan saudara seiman, kayaknya dia belum lahir baru!’ Hati-hati, Saudara; kalau seperti itu, berarti kita tidak mengerti Injil Kristus. Orang yang mengerti Injil Kristus, dia tahu bahwa Yesus mengambil posisi Kain, padahal Dia bukan di situ posisinya.
Sekali lagi, kalau ada dalam cerita ini yang lebih mirip Kristus, itu pasti Habel, bukan Kain. Tetapi, Kristus bukan mengidentifikasikan diri-Nya di dalam posisi Habel; meski tidak salah juga kita bilang ‘Habel adalah tipologi Kristus’, tetapi di dalam rencana Allah, yang Dia ambil adalah posisi Kain. Lalu bagaimana dengan Saudara dan saya? Kita memang sudah dari semula di dalam posisi Kain, kita ini orang yang penuh dengan kebencian. Tapi tidak berhenti di sini, waktu Tuhan memberikan anugerah, waktu Tuhan memberikan keselamatan, waktu kita dikuasai oleh kuasa Injil, seharusnya kita rela mengambil posisi ini, posisi yang tidak enak ini, bukan karena kita memang di situ melainkan karena cinta, karena kasih persaudaraan. Lalu Saudara bisa tergeser ke dalam posisi Habel, yang dijahati, bahkan mungkin dibunuh –kalau layak menjadi martir– atau kalaupun tidak, tetap dipanggil untuk menderita. Perjalanan Gereja di dalam menjadi berkat, tidak ada jalan lain kecuali jalan penderitaan ini, seperti yang dialami oleh Kristus, yang sudah diumpamakan dalam cerita Habel. Lalu panggilannya apa? Memenangkan “Kain”, memenangkan anak-anak sulung itu, yang tidak mau masuk, yang terus saja di luar, yang merasa benar sendiri, yang hatinya dikuasai oleh kebencian, yang tidak melakukan perbuatan baik, yang menolak untuk bertobat, dst., dst. Itulah panggilan Gereja, panggilan Saudara dan saya.
Kiranya Tuhan menggerakkan kita dengan cinta kasih Kristus.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading