Minggu lalu kita melihat kasih terhadap Allah sebagai sebuah perintah yang dalam konteks Ulangan 6:4 merupakan sebuah undangan relasi antar personal. Diiringi dengan kehadiran Allah yang sedemikian nyata, janji-janji berkat yang mengikutinya. Relasi Allah-Israel ini pada perkembangannya menjadi satu-satunya hal besar yang disematkan dalam identitas Israel. Mereka tidak memiliki sejarah sebagai bangsa yang besar, nenek moyang mereka adalah pasangan tua yang mandul, dan dihiasi dengan beberapa wanita mandul lainnya dalam generasi para bapa leluhur. Mereka bukan bangsa yang kuat, berdaulat ekonomi, ataupun terkenal karena kepandaiannya; mereka hanyalah budak di Mesir. Mereka bukan bangsa yang kuat secara militer, mereka perlu mengingat bagaimana mereka gemetar ketakutan ketika diperhadapkan dengan kota berkubu dan orang-orang besar di Kanaan. Namun diatas segalanya, mereka memiliki status penting; bukan secara internal dalam kualifikasi diri mereka, namun secara eksternal, yaitu TUHAN semesta alam yang mau berrelasi menjadi Allah mereka, menjadi Bapa mereka. Dalam ikatan relasi sedemikian Allah memberikan perintah bagi mereka untuk mengasihi Allah.
Terkadang dalam hidup keseharian kita, kita lupa menghayati bahwa status yang kita peroleh secara pasif inilah status terpenting kita. Kita dimiliki Allah, milik kepunyaan-Nya. kita lebih sering bergantung pada status aktif kita, kita kuat, kita berkuasa, kita kaya, dan jika kita sebaliknya dari kualifikasi-kualifikasi tersebut kita merasa tersisih. Bayi dari seorang jendral bintang 5 adalah seorang bayi biasa, rentan terhadap penyakit, tubuhnya sangat lemah. Untuk melakukan kekerasan terhadap bayi ini sangat mudah, namun status pasif bayi tersebut, yaitu sebagai seorang anak jendral menghindarkannya dari serangan orang luar. Inilah status Israel, mereka milik Allah; Firaun dan tentaranyapun harus berakhir tenggelam menjadi konsumsi para penghuni lautan ketika berani bertindak keras terhadap Israel. Inilah juga status pasif yang kerap kita lupakan. Semua hal yang melekat pada diri kita saat ini bisa lenyap kemudian, entah itu kekuasaan, kekayaan, kesehatan; namun bahwa kita dimiliki oleh Allah menjadi status yang akan senantiasa menyertai kita, terpujilah ALLAH.
Namun dalam sejarah Israel, mereka mengalami bahwa dosa-dosa mereka meretakkan relasi tersebut; Allah menceraikan mereka, Allah tidak dapat tahan lagi oleh dosa-dosa mereka. Namun dalam kitab para nabi telah dijanjikan bahwa Allah akan kembali mengasihi mereka, Allah akan memulihkan relasi tersebut. Dan tentu saja, Allah akan kembali menyukai kasih bangsanya. Dalam konteks sedemikian tidak heran bahwa bagi bangsa Israel yang terjajah, yang merasa bahwa Allah masih jauh dari mereka; seruan untuk mengasihi Allah menjadi seruan yang sedemikian penting, perintah mengasihi Allah adalah perintah yang mereka hayati secara eskatologis, perintah yang menyatakan bahwa Allah kembali berkenan kepada mereka.
Seorang suami yang marah terhadap istrinya yang selingkuh merasa begitu jijik kepadanya; istri menunjukkan tanda-tanda pertobatan; melayani dan memasak dengan setia selama bertahun-tahun, namun sang suami sama sekali tidak mau menyentuh masakannya karena sakit hati dan konsep kesuciannya. Istrinya begitu sedih, dan akhirnya karena alasan ekonomi, daripada masakan terus dibuang dia mulai berhenti memasak. Suatu hari suami meminta masakan yang enak untuk dia makan. Ini akan menjadi sebuah perintah, namun perintah yang sangat menyejukkan bagi sang istri, perintah yang berarti bahwa dia sudah diampuni, dia diterima kembali. Perintah untuk mengasihi Allah adalah perintah sedemikian; mereka terus mendoakan perintah ini sehari dua kali (hingga saat ini) dan berharap Allah kembali kepada mereka.
Perjanjian Baru membawa kabar baik ini; Yesus, sang Imanuel, Allah beserta kita telah datang, berdiri dan berjalan diantara umat-Nya. Injil Matius menyatakan dengan tegas bahwa Yesus sungguh mengasihi umat Israel, Dia menangisi Yerusalem, namun Israel, menolak-Nya. Pengharapan ratusan tahun telah datang dan mereka menolak-Nya, keselamatan dan kabar baik mereka tolak; akibatnya mereka tertinggal. Diskursus tentang mengasihi Allah menjadi demikian menakutkan dalam Injil Matius ketika kalimat undangan (dengarlah hai orang Israel…) dihilangkan oleh Matius; perbincangan tentang kasih beredar disekitar wacana, dan sistem legal jauh dari urusan keselamatan, kerajaan sorga (seperti yang diungkapkan oleh Markus). Mengasihi dalam tataran wacana sungguh merupakan satu hal yang sangat melelahkan; dalam pengalaman keseharian kita jika kita berusaha untuk menyatakan bahwa kita mengasihi pasangan, atau anggota keluarga yang lain hanya dalam tataran wacana tentu akan menyebalkan.
Mengasihi Allah dalam Ulangan 6 sekali lagi kita lihat dalam tataran kasih yang bersifat relasional dan personal; kasih seperti ini akan menimbulkan kepuasan keluar dari diri kita sendiri dan memusatkan pada pribadi yang kita kasihi. Ketika kita melihat wajah ceria anak kita yang memainkan boneka yang kita berikan, kita sendiri tidak senang dengan boneka, namun diri anak kita tersebut menjadi sukacita kita. Berbeda jika kita berfokus kepada sistem legal, kita puas pada diri kita sendiri yang sudah menjadi orang tua yang memenuhi kewajiban standar untuk membelikan anak kita boneka; kepuasannya adalah pada pencapaian kita sendiri. Orang Farisi melakukan banyak hal, bereka berdoa, berpuasa, membayar perpuluhan dengan ketat, namun terlepas dari relasi personal dengan Allah. mereka sangat disibukkan dengan “patuh dan tidak melanggar” 613 butir pemaparan Taurat, dan lupa mendongakkan kepala menengadah kepada pribadi yang lain dari diri mereka sendiri, yaitu pribadi Allah. Kita orang Kristen sama sekali tidak imun akan hal ini; kita melakukan KKR, berdoa, memberikan diakonia, bersalaman di hari Minggu, berkhotbah, menyanyi; pendek kata menyelesaikan beragam aturan yang ada dalam check list agenda kerohanian kita; ketika selesai kita puas sendiri akan diri atau kelompok atau gereja kita. Kerohanian sedemikian cukup dekat dengan orang Fairis; bersama mereka kita lupa menengadahkan kepala kita dan melihat apakah Pribadi Allah disukakan atas tindakan kita.
Secara jelas kita melihat dalam kitab Injil ini bahwa orang-orang Yahudi telah gagal dalam pengikutan mereka akan Allah, salah kaprah. Mereka mengharapkan Allah yang dijanjikan dalam Perjanjian Lama, sama seperti kita; mereka percaya pada Allah Abraham, Ishak, Yakub, seperti kita, namun ketika penggenapannya datang mereka menolak-Nya. Lalu sering kali kita melihat jika demikian siapa yang akhirnya berhasil, siapa yang akhirnya menerima Tuhan Yesus; dan kita menjawab: orang-orang Kristen, gereja Tuhan.
Namun Injil Matius memberikan kepada kita gambaran yang lain. Berkenaan dengan kegagalan umat Israel, ternyata gereja Tuhan tidak lebih baik. Yesus memiliki 12 murid, sebuah angka yang sangat khas, nyaris mustahil umat Yahudi tidak melihatnya. Yesus, dalam potret Injil Matius digambarkan sebagai Musa kedua, atau Yosua kedua; dua nama yang saling bertautan karena dalam kedua tokoh ini janji besar Allah digenapi; eksodus besar dari Mesir dan pendudukan tanah Kanaan yang dijanjikan Allah. Yosua (Yesus) Perjanjian Baru, yang juga digambarkan seperti Musa kedua, dengan eksodus kedua – kembali dari pembuangan – dengan 12 murid. Sulit untuk tidak membayangkan Musa/Yosua dengan 12 suku Israel. Keberadaan Yesus seperti menegaskan Musa/Yosua yang baru, dengan 12 suku Israel yang baru; ketika yang lama (diwakili oleh para tetua Yahudi, ahli Taurat, pejabat Yerusalem, orang-orang Farisi) telah gagal, maka yang baru ini akan sukses. Namun kisah yang kita baca ternyata bukan demikian. Ketika Yesus ditangkap; para murid melarikan diri, hanya tersisa Petrus yang mengikuti dalam jarak tertentu. Namun ketika identitas Galileanya terbongkar, diapun tak kuasa untuk tidak menyangkal dan mengutuk Yesus. Sebuah kegagalan yang tidak lebih baik dari orang-orang Farisi.
Ketika orang Farisi diperhadapkan dengan kasih terhadap Allah secara konkrit dalam Yesus Kristus mereka gagal; dan kini para pembaca Injil ini dikejutkan dengan kisah bahwa ternyata Petrus, perwakilan 12 murid, sang representatif Israel yang baru ternyata juga gagal. Dalam hidup kita, kita bisa melihat bahwa pengikutan kita kepada Tuhan sama sekali bukan jalan mulus. Kita tidak berjalan gagah dari satu kesuksesan demi kesuksesan rohani, mungkin kita sering gagal dalam membaktikan kasih kita kepada Allah. Kita tertatih-tatih dalam jalan ini; Petruspun menangis keluar dengan sedihnya. Apakah kita masih memiliki tangisan seperti ini??? Jika kita masih memiliki tangisan, tangisan macam apa yang hadir dalam diri kita???
Matius mengisahkan Injilnya dengan kejutan dan sekaligus kesedihan, namun sangat realistis. 12 murid digambarkan sangat berbeda dari orang-orang Farisi. Ketika orang-orang Farisi berkumpul, mereka hendak mencobai dan menjatuhkan Yesus; hal yang sangat berbalik dari murid-murid Yesus. Mereka berkumpul dan menyatakan kesetiaan mereka kepada Yesus. Ketika Yesus mengatakan bahwa gembala akan dipukul, mereka akan terguncang dan tercerai berai (26:31). Namun para murid berespon bahwa mereka akan tetap setia. Gembala dipukul, sebuah kondisi yang sangat berat, agaknya Petrus menyadari beratnya kondisi tersebut. Maka dengan realistis dia memandang para murid yang lain (yang dalam benaknya agaknya tidak sekuat dia); meski para murid yang lain akan meninggalkan Yesus, namun Petrus berkomitmen untuk tidak melakukannya. Menjawab Yesus, Petrus bahkan menyatakan bahwa dia rela mati bagi Kristus. Murid-murid yang lain juga tidak ketinggalan menyatakan komitmen mereka. Kondisi memang berat kedepan, mereka mulai sadar, Petrus juga menyadari hal ini, namun dia akan terus mengikut Yesus.
Murid-murid Yesus ternyata bukan orang buta utopis, keadaan mungkin berat, namun mereka berkomitmen akan setia mengikuti Yesus. Bukankah hal ini juga sering terjadi dalam diri kita; kita juga tahu bahwa mengikut Yesus bukan semata-mata enak, kita menolak teologi sukses yang mengajarkan bahwa mengikuti Yesus berarti kekayaan dan kesehatan, kesuksesan dsb. Mengikut Yesus berarti memikul salib, menyangkal diri; kita tahu akan hal ini. Namun yang mungkin kurang kita sadari adalah bahwa ternyata para murid dan Petrus terkhusus ternyata bukan asing akan hal ini. Yesus telah memperingatkan mereka. Meski ada dalam pengharapan Mesianis yang bersifat militeristik dan politis terhadap Yesus; namun beberapa pertentangan dengan para pembesar yang telah terjadi beberapa waktu belakangan tentu akan membuat para murid mulai sedikit memperhitungkan peta kekuatan lawan. Mereka telah menginjakkan kaki di Yerusalem, agaknya mendapatkan simpati yang cukup lumayan dari masyarakat.
Namun beberapa kali perjumpaan dengan para petinggi dan golongan yang berpengaruh di Yerusalem akan membuat mereka mulai berhitung. Jika gembala terpukul tentu situasi akan sulit; sedikit banyak mereka juga akan mempertimbangkan kondisi tersebut. Namun mereka adalah pengikut Kristus, mereka tahu bahwa kedepan akan mengalami banyak tantangan, dan mereka tidak mundur. Sebuah sikap yang kita harapkan, dan mungkin juga pernah kita janjikan (dalam lagu) dihadapan Tuhan.
Yang ternyata mereka belum sadari adalah bahwa keadaan menjadi terlalu sulit bagi mereka. Mereka tahu akan ada tantangan dan kesukaran, namun mereka tidak menyangka akan sesukar ini. Sering kehidupan kekristenan kita juga diperhadapkan dengan situasi sedemikian; kita memang bukan penganut teologi sukses, kita tahu harus ada penyangkalan diri, namun bukan seberat dan semengejutkan ini. Situasi seperti ini datang tanpa memberikan kita peringatan untuk bersiap. Dan kitapun melihat bagaimana mereka terjatuh. Petrus tampak akan memenuhi janjinya, ketika rekan-rekannya kabur saat Yesus ditangkap, Petrus tinggal tetap. Meski mengikuti hanya dari jauh, setidaknya dia tidak kabur. Komitmen yang cukup menjanjikan.
Sayangnya ketika orang-orang dalam berbagai golongan, mulai budak perempuan, budak, dan orang banyak hadir diantara Petrus, Petrus justru mengingkari pengenalannya akan Yesus secara terbuka, diiringi dengan sumpah dan kutukan. Sang batu karang terguncang dan melakukan tindakan diluar dugaan. Petrus telah mengikrarkan komitmen yang bukan sekedar wacana, kita percaya bahwa dia benar-benar hendak dengan serius mengikut Tuhan Yesus bahkan sampai menyerahkan nyawanya. Sebuah komitmen yang tampaknya masih ragu untuk kita ikrarkan sementara ketersinggungan kecil sudah mampu membuat kita pindah gereja. Namun komitmen dan kesungguhan Petrus ternyata tidak cukup; dia harus mendapati dirinya tersedu-sedu dalam kegagalan. Kegagalan yang tidak berbeda jauh dari baik orang Farisi bahkan Yudas. Petrus, sang batu karang ternyata luruh diterpa badai yang terlampau keras, bisa kita bayangkan diri kita yang mayoritas sama sekali bukan karang.
Namun kita bersyukur, ditengah sejarah kegagalan umat Allah baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru; kita melihat ada perbedaan besar bagi orang Kristen. Dalam perikop setelah penyangkalan Petrus ini kita melihat Yudas, yang menjual Yesus. Yudas telah menjalankan proses standar Yahudi. Dia berdosa, menyesal, pergi kepada para imam dan mengaku dosa. Disini kita melihat perbedaan besar; Yudas, orang Farisi, para imam berkutat pada bait suci Yerusalem sebagai pengharapan mereka. Namun Matius mencatat bahwa Petrus teringat perkataan Yesus (75). Inilah yang kita miliki. Ditengah realita pahit kegagalan kita, kita tahu bahwa kita dimiliki oleh Kristus. Petrus pernah dihardik sebagai setan, tercebut di lautan karena kegagalannya untuk bertahan dalam iman, dan saat ini dia terjerembab demikian dalam; menyangkal dengan bersumpah dan mengutuk bahwa dia pernah mengenal Yesus. Namun dia berada dalam dekap pemeliharaan Allah dalam Kristus.
Terkemudian kita melihat jejak Petrus yang diabadikan melalui 2 suratnya yang demikian memberkati gereja, pun catatan tradisi yang mengisahkan tentang bagaimana dalam kesetiaan Patrus mati martir dengan disalibkan terbalik. Petrus terjatuh namun kembali bangkit, menyangkali pengenalannya akan Yesus; namun dalam Kis 4 mencatat bahwa bukan dihadapan budak perempuan, melainkan dihadapan mahkamah agama Petrus mengaku dan bersaksi tentang Yesus dengan sangat berani. Sekali lagi, hal ini bukan menyaksikan kekuatan istimewa gereja dibandingkan orang-orang Farisi, namun pemeliharaan Tuhan yang menuntun umat-Nya dalam Yesus Kristus.
Terkadang pemeliharaan Allah dalam hidup kita seperti kita batasi dalam urusan material semata; kita lupa bahwa pengikutan kita terhadap Tuhan juga sering terseok-seok; kita memerlukan pemeliharaan Tuhan dalam Tuhan Yesus tidak kurang akan hal ini. Dan sebagai gereja Tuhan kita menantikan bahwa apa yang kita kerjakan dihadapan Tuhan, apapun hal itu; kegiatan gerejawi ataupun non gerejawi, ketika kita mendongakkan wajah kita menghadap Allah kitapun melihat Dia disenangkan; dan keluar dari diri kita kepuasan kitapun terletak pada kepuasan Tuhan. Kiranya tuhan yang memelihara dan menguatkan kita.
GOD be praised!!!
Ringkasan khotbah ini sudah diperiksa oleh pengkhotbah (KK)
Gereja Reformed Injili Indonesia Jemaat Kelapa Gading