Waktu kita menghadapi Natal, ada satu kecenderungan untuk mengerti Natal sebatas permukaannya dan tidak mengerti hal yang lebih di dalamnya, yang ada lebih di bawah. Ini hal yang lumayan lumrah, yang kita bisa mengerti, karena masa-masa Natal seperti ini bukanlah satu masa yang merangsang kita untuk berpikir; ini masa yang penuh dengan nostalgia. Waktu datang ke perayaan Natal, kita ingin melihat, mendapatkan, dan mencari hal-hal yang pernah kita lihat, kita dapatkan, atau kita alami, mungkin dalam perayaan Natal ketika kita masih kecil atau ketika kita bertumbuh sebagai orang Kristen; kita seperti mengharapkan ada nostalgia. Itu sebabnya kita ingin ada drama, ada paduan suara, ada pohon Natal, juga candle light. Saya bukan mengatakan semua itu salah dan lebih baik dibuang saja, problemnya bukan terutama pada barang-barang tersebut; saya cuma ingin mengajak kita menyadari bahwa waktu seperti ini adalah waktu yang seringkali nostalgic, bukan waktu untuk berpikir. Bukan cuma itu, faktor yang kedua adalah karena ini adalah masa-masa liburan; kita sudah penat setahun bekerja, dan inilah masa-masa yang badan dan otak kita mulai shut down, bukan masa untuk berpikir.
Itulah sebabnya hari ini saya mengajak untuk berpikir mengenai Natal. Berpikir sebenarnya tidak selalu melelahkan dan membosankan. Saudara tentunya tahu permainan sulap; permainan sulap setidaknya bisa dinikmati dalam 2 tingkat. Tingkat pertama, tingkat yang permukaan, Saudara bisa menikmati pertunjukan trik-trik sulap yang membuat kita berdecak kagum. Namun ada juga level kedua dalam menikmati sulap, yaitu ketika trik-trik sulap tersebut bukan cuma dipertunjukkan tapi juga dijelaskan. Ada satu acara TV yang bukan cuma memperlihatkan trik sulapnya, tapi setelah itu juga dijelaskan caranya untuk bisa seperti itu; dan bagi saya, di situ justru ada kenikmatan yang lebih dalam, ada keseruan yang lebih tinggi ketika kita diajak berpikir.
Itu sebabnya hari ini kita membahas teks ini, satu teks yang tidak umum dipakai untuk kotbah Natal. Alasan kita memakai teks yang ini, karena teks-teks yang lain biasanya menunjukkan peristiwa Natal –gembala, orang majus, malaikat, palungan, dsb.—sedangkan teks ini bukan cuma menunjukkan peristiwa yang terjadi, tapi sesungguhnya menjelaskan kepada kita apa yang terjadi. Bukan cuma mengatakan bahwa Natal itu terjadi, tapi menjelaskan apa artinya ketika hal-hal tersebut terjadi, mengapa harus ada Natal, apa tujuannya Natal, –“Mengapa Yesus Datang?”
Sampai di sini, mungkin Saudara mengatakan, ‘Bukankah jawabannya sangat jelas, yaitu supaya kita percaya kepada Dia, supaya kita diselamatkan’. Ini tentunya bukan jawaban yang salah; paling tidak, ini adalah bagian yang sangat penting dari jawabannya, sangat krusial juga; bahkan sebelum kita maju lebih lanjut kepada jawaban yang lebih limpah, saya akan mengingatkan dan sedikit mengeksplorasi hal ini karena ada dalam bagian yang kita baca tadi.
Di ayat 1, Tuhan Yesus disebut sebagai Firman hidup; di ayat 2 lebih ditekankan lagi, bahwa Dia-lah hidup kekal itu sendiri, Dia-lah Sang Hidup yang ada bersama-sama dengan Bapa yang telah dinyatakan itu. Yohanes bukan mengatakan Dia itu pembawa hidup, Yohanes tidak mengatakan bahwa Dia itu yang akan memberikan hidup dan Dia bukan hidup itu sendiri, Yohanes mengatakan “Kristus-lah hidup itu sendiri”. Kalau kita pakai satu analogi, itu seperti “Kristus bukan si penjual jeruk, Dia-lah jeruknya”. Itulah yang kira-kira Yohanes katakan di bagian ini. Saudara tentu menangkap perbedaannya; bahwa kalau Saudara mendapatkan Dia, itu berarti mendapatkan hidup kekal dan bukan si penjualnya, itu berarti mendapatkan harta karunnya dan bukan cuma petanya.
Kalau kita mempelajari perkataan para nabi atau imam dari kitab-kitab suci agama-agama besar lain, Saudara akan menemukan bahwa kepercayaan mereka pada dasarnya seperti ini: “lakukan A dan B, jangan lakukan X dan Y, maka kamu akan selamat”. Dengan kata lain, mereka menunjukkan kepada kita jalan kepada hidup kekal, “lewatilah jalan ini, ini jalannya tapi bukan hidup kekal itu sendiri, dan yang pasti, kami –para pembawanya—juga bukan hidup kekal itu sendiri”. Dalam hal ini, boleh dikatakan bahwa pemimpin-pemimpin agama yang lain lebih rendah hati daripada Tuhan Yesus, karena mereka tidak pernah mengaku-aku diri “sayalah jalannya, sayalah hidup kekal itu sendiri”. Mereka hanya menunjukkan jalan kepada hidup kekal. Sedangkan di bagian ini, Yohanes mengatakan, bahwa mengenal Yesus bukanlah cuma mendapatkan semacam arahan kepada hidup kekal, melainkan mengenal hidup kekal itu sendiri. Di Injil Yohanes pasal 14, Yesus tidak mengatakan “Akulah jalan kepada kebenaran dan hidup”, Yesus mengatakan “Akulah jalan, kebenaran, dan hidup”. Hal ini menjawab sebagian dari pertanyaan “mengapa Yesus datang”.
Seorang jemaat mengajak temannya ikut Pemahaman Alkitab, tapi temannya menolak, karena bagi dia jadi orang Kristen yang penting bukan belajar doktrin, yang penting hidup baik saja. Jemaat tadi tanya kepada saya, bagaimana menghadapi orang seperti ini. Sederhana saja, jawabannya adalah kita perlu menyadarkan dia bahwa kalimat dia pun sebuah doktrin –doktrin yang mengatakan “jadi orang Kristen tidak perlu belajar doktrin, hanya perlu hidup baik-baik”. Celakanya, itu sebuah doktrin yang tidak disadari telah melawan Alkitab, karena doktrin tersebut menyatakan ‘saya diselamatkan bukan oleh anugerah, melainkan karena saya hidup baik-baik’. Ironisnya, orang yang memegang prinsip seperti ini cuma ada 2 kemungkinan. Pertama, jadi orang yang hidupnya dipenuhi ketakutan, rasa insecure, karena senantiasa tidak merasa cukup baik hidupnya, sehingga selalu mempertanyakan ‘saya ini selamat atau tidak?’ Yang kedua justru kebalikannya, jadi orang yang sangat sombong, cenderung menghina orang lain, merasa diri cukup baik, merasa diri mampu hidup baik –dan ini justru membuktikan dia bukan orang yang baik.
Kembali ke bagian ini, Tuhan Yesus bukan mengatakan bahwa Dia adalah jalan kepada hidup kekal, melainkan hidup kekal itu sendiri; itu adalah karena kita tidak sanggup menjalani hidup baik tersebut. Dia datang untuk melakukan yang kita memang tidak sanggup untuk melakukannya sendiri. Itu sebabnya Dia datang sebagai hidup kekal, dan bukannya datang membawa jalan kepada hidup kekal. Dalam hal ini, kedatangan Kristus menelanjangi kebobrokan manusia. Kalau kita tidak mengakui bahwa manusia tidak mampu menyelamatkan dirinya, berarti kita sedang menyangkal alasan Yesus datang ke dunia ini. Mengapa Dia perlu datang dan bukannya menyuruh kita yang datang kepada Dia? Mengapa Dia datang sebagai jalan, kebenaran, dan hidup kekal itu sendiri, dan bukannya menunjukkan kepada kita jalan kepada hidup kekal? Karena kita tidak sanggup melakukannya sendiri –di sini kedatangan Tuhan Yesus menelanjangi kita.
Sebagian besar dari kita sudah tahu, bahkan sudah percaya, bahwa kedatangan Tuhan Yesus membuktikan kita diselamatkan bukan karena perbuatan baik melainkan karena karya Yesus yang dilimpahkan kepada kita atas dasar anugerah. Sekarang kita akan melanjutkan; kalau begitu, mengapa Yesus datang? Untuk menyelamatkan kita? Memang itu bagian yang sangat penting dari jawabannya, tetapi kalau kembali ke 1 Yohanes, Saudara akan menemukan satu hal, bahwa sepertinya keselamatan bukanlah alasan terutama Yesus datang. Keselamatan memang bagian dari jawabannya, tapi bukan yang terutama. Ini bukan pendapat saya semata; Yohanes tidak berhenti di ayat 2, Yohanes tidak hanya mengatakan bahwa Tuhan Yesus adalah Firman hidup, tapi ada lanjutannya. Di ayat 3, Yohanes menunjukkan tujuannya Firman hidup itu datang –“Apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar itu, kami beritakan kepada kamu juga, supaya kamu pun beroleh persekutuan dengan kami. Dan persekutuan kami adalah persekutuan dengan Bapa dan Anak-Nya, Yesus Kristus”.
Kalau kita perhatikan baik-baik kalimat tersebut, itu berarti tujuan Natal –tujuan Sang Firman hidup datang—adalah demi sebuah persekutuan. Tujuannya bukan semata-mata untuk kita diselamatkan, tapi untuk kita beroleh persekutuan dengan Dia. Kalimat sederhananya begini: “Natal berarti Allah membayar harga yang sedemikian besar, bukan hanya demi Saudara dan saya selamat, tetapi demi Dia bisa mendekatimu, demi Dia bisa datang kepadamu”. Itulah yang namanya persekutuan. Kedatangan Allah bukan hanya untuk melepaskan kita dari dosa dan maut, kedatangan-Nya adalah untuk mengikat kita kepada Dia dalam sebuah persekutuan. Di sini kita bisa mengatakan, bahwa Allah tidak puas hanya diyakini, Allah tidak puas hanya dipercaya, Allah tidak puas hanya menjadi penyelamat, Dia menghendaki sesuatu yang lebih dari itu, dan hal inilah yang menyebabkan Dia datang. Saya suka memakai formulasi seorang teolog, sbb.: kedatangan Kristus bukan hanya sebuah deklarasi yang mengatakan ‘kamu boleh pergi’ –seperti seorang hakim mengatakan kepada tersangka– melainkan sebuah deklarasi yang mengatakan ‘silakan masuk’. Ada beda yang jelas dalam hal ini. Atau kalimat yang lebih jelas lagi: Dia bukan datang mendekat untuk menyelamatkanmu, Dia menyelamatkanmu supaya Dia boleh mendekatimu.
Mungkin Saudara sekarang mengatakan, “Oke, pak, saya mengerti, Dia datang bukan terutama untuk menyelamatkan, ada satu tujuan yang lain di balik itu, yaitu untuk beroleh persekutuan dengan kita, untuk datang kepada kita, untuk mengikat kita. Maksudnya bukan cuma supaya kita selamat, tapi supaya kita taat juga; jadi bapak mau bilang supaya kita jadi orang Kristen jangan cuma yakin doang, percaya doang, tapi harus taat perintah-Nya juga.” Saudara, sama seperti keselamatan, tentu saja ketaatan juga penting; tetapi itu pun bukan yang terutama. Tuhan Yesus datang bukan terutama demi ketaatan Saudara. Bagaimana bisa? Jawabannya sederhana, yaitu karena sebelum Tuhan Yesus datang pun, Allah Alkitab sudah harus ditaati. Sebelum Anak Allah menjelma jadi manusia pun, Allah Bapa sudah sepantasnya ditaati. Lagipula, bukankah lebih mudah bagi kita menaati Allah jikalau Ia tidak menjelma jadi manusia?
Kalau Saudara perhatikan, seandainya yang paling penting bagi Allah adalah ketaatan kita, tentunya akan jauh lebih efektif kalau Dia bertahan sebagaimana adanya Dia dalam Perjanjian Lama, yaitu Allah yang tidak berbentuk, yang kalau muncul agak mengerikan, yang kalau datang maka bumi bergetar, yang ketika hadir selalu muncul api dan asap, yang ketika beraksi maka negara super power seperti Mesir pun porak-poranda. Bukankah lebih mudah untuk menaati Allah yang seperti ini? Tetapi kalau Dia menjadi manusia, berarti Allah itu sekarang bisa dicubit; Allah menjadi manusia berarti Dia jadi lembek. Jadi mengapa Allah menjadi manusia? Mengapa Yesus datang? Tidak ada jawaban lain yang bisa menjelaskan, kecuali bahwa Dia datang untuk bersekutu dengan kita, berelasi dengan kita.
Satu analogi yang menarik dalam hal ini, yaitu ketika kita melihat matahari. Waktu Saudara melihat matahari, tidak boleh lama-lama karena matahari sangat terang; dan saking terangnya, kalau Saudara melihat selama 5 menit saja, non stop, setelah itu Saudara tidak bisa melihat apa-apa lagi. Kemuliaan matahari terlalu besar bagi mata kita, mata kita tidak sanggup menerimanya, dan retina kita akan gosong. Jadi, untuk kita bisa melihat matahari, kita memerlukan sesuatu, yaitu yang disebut filter. Filter adalah sesuatu di antara Saudara dan si matahari. Kalau Saudara melihat foto-foto hasil observasi matahari dari NASA atau badan-badan astronomi lainnya, gambarnya keren-keren. Mereka memakai filter, dan filternya benar-benar gelap sehingga membuat matahari jadi sangat gelap. Ketika matahari dijadikan gelap seperti itu, barulah kita bisa melihat aktifitas-aktifitas yang terjadi –Saudara melihat foto matahari yang ada bintik-bintiknya, ada solar flare-nya, juga aktifitas-aktifitas plasma yang bermain-main di permukaan matahari. Yang menarik, semua itu baru kelihatan –kita baru bisa mengenal karakter matahari– justru ketika matahari itu diselubungi/ ditutupi dengan filter. Sebaliknya ketika kita melihatnya secara langsung, kemuliaan matahari tersebut justru akan membutakan kita, membuat kita tidak bisa melihat sama sekali.
Satu lagu Natal yang sangat terkenal, “Hark! The Herald Angels Sing”, Charles Wesley penulisnya, di situ dia mengatakan: “Veil'd in flesh, the Godhead see”, bahwa Allah, ketika diselubungkan dalam daging, itulah yang membuat kita sanggup melihat Dia –satu hal yang lucu. Biasanya, sesuatu yang diselubungkan jadi tersembunyi, tapi di sini Allah diselubungkan dengan daging maka barulah kita bisa mengenal Dia. Sama seperti matahari, Allah harus diselubungkan dalam daging karena itulah satu-satunya cara untuk kita bisa mengenal Dia tanpa membakar retina kita. Musa pernah minta untuk melihat kemuliaan Tuhan, dan Tuhan menolak, “Jangan, Musa, nanti kamu mati, karena kamu tidak sanggup melihat kemuliaan-Ku”. Tetapi dalam Injil Yohanes pasal 1 ayat 14, Yohanes mengatakan ‘Firman itu telah menjadi manusia, diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya’. Ini bukan kalimat sembarangan. Dalam kalimat ini, Yohanes seakan mengatakan kepada Musa: “Musa, tahu tidak, apa yang kamu tidak dapatkan, akhirnya kami dapatkan, kami bisa melihat Dia”. Mengapa bisa? Yaitu karena Dia datang.
Mengertikah Saudara sekarang, mengapa Yesus datang, mengapa Dia harus menjadi manusia? Apakah semata hanya supaya Dia lebih dipercayai, lebih diyakini? Tentu tidak. Kalau hanya kepercayaan dan keyakinan yang Dia inginkan, Dia cukup mengirimkan kitab suci dan nabi-nabi, Dia tidak perlu hadir sendiri. Buktinya, toh agama-agama besar yang lain cuma ada kitab suci, nabi-nabi, imam-imam mereka; mereka tidak pernah melihat Allahnya secara langsung, dan mereka tetap percaya! Jadi kalau cuma itu tujuannya, Dia tidak perlu hadir. Dengan demikian, waktu Dia menjadi manusia, pasti tujuan utamanya bukan untuk diyakini/ dipercayai –meski itu penting. Lalu apakah untuk ditaati? Tidak. Kalau cuma itu tujuan-Nya yang utama, Dia tidak perlu hadir, bahkan lebih baik Dia tidak menjelma jadi manusia tapi bertahan dalam bentuknya di Perjanjian Lama yang penuh asap, api, gempa bumi, yang bahkan orang seperti Musa pun tidak sanggup untuk melihat kemuliaan-Nya tanpa meleleh. Kita lebih gampang menaati Allah yang seperti itu. Justru ketika Dia menjadi manusia, itu memberi ruang untuk kita tidak terlalu harus takut-takut banget dengan Allah yang seperti ini. Jadi, tidak ada jawaban lain selain yang Yohanes berikan tadi; “Mengapa Yesus datang?” yaitu untuk dikenal, untuk bersekutu dengan kita, untuk mendekat kepada kita. Istilah Imanuel (Allah beserta kita) berarti bukan cuma kehadiran secara badan; dalam pengertian orang Ibrani, ‘menyertai’ berarti ada relasi, ada hubungan, ada pengenalan, ada persekutuan.
Saudara, apa yang kita lihat dari kehidupan Yesus? Bijaksana Allah, kasih Allah, keadilan Allah. Semua itu secara konsep bukan baru muncul di dalam kehidupan Yesus; kita sudah tahu semua itu sejak Perjanjian Lama. Tetapi, di dalam Perjanjian Lama kita menerima itu semua secara menakutkan, bahkan boleh dibilang berlebihan. Waktu Allah menurunkan Sepuluh Hukum di Gunung Sinai, Dia menyuruh Musa membatasi langkah orang Israel. Ini bukan karena Dia kejam melainkan karena kasih Allah, karena kalau mereka lewati batas mereka akan mati –‘Karena Aku mengasihi kamu, tolong jaga jarak mereka, supaya mereka tidak mati’. Allah dalam Perjanjian Lama tidak bisa didekati. Tetapi di dalam kedatangan Yesus, seakan Allah mengatakan: ‘Aku tidak bisa memperlihatkan diri-Ku secara utuh karena kamu pasti mati, tetapi sekarang dalam Kristus Yesus akhirnya Aku bisa mendekati kamu, kamu bisa mendekati Aku. Sekarang ketika Aku mau menyatakan kasih-Ku, Aku tidak perlu lagi menyatakannya dengan cara menjaga jarak, Aku bisa menyatakannya dengan sentuhan.’ Tuhan Yesus mengatakan, “Biarlah anak-anak itu datang kepada-Ku” –Musa tadinya tidak sanggup datang kepada Tuhan, sekarang anak-anak bisa menghampiri Tuhan.
Saudara, mengapa ada perintah ke-2 dalam Sepuluh Hukum yang melarang umat Allah membuat suatu gambar dengan tujuan menyembahnya? Kalau kita perhatikan baik-baik perintah tersebut, di situ tidak pernah dikatakan bahwa kita tidak boleh punya gambar Allah dan menyembah gambar Allah. Bukan itu yang dilarang, karena bagaimana mungkin kita bisa mengenal Allah kalau kita tidak punya gambar Allah, kalau kita tidak punya akses untuk melihat Allah. Yang dilarang bukan memiliki gambar-Nya, bukan menyembah gambar-Nya; yang dilarang adalah kita membuat sendiri gambarnya, karena Allah sendirilah yang telah membuat gambar itu, satu-satunya gambar yang bisa mewakili diri Allah. Pertama, itu adalah Saudara dan saya –manusia dikatakan sebagai gambar dan rupa Allah. Tapi kita gambar yang sudah rusak. Itu sebabnya Allah memberikan kepada kita gambar yang baru, yang sempurna, yaitu Yesus Kristus, gambar Allah yang tidak kelihatan –sebagaimana deklarasi Paulus di Surat Kolose.
Jadi, tujuan Tuhan Yesus datang ke dunia bukan terutama untuk lebih diyakini/ dipercayai, bukan terutama untuk lebih ditaati, bahkan bukan terutama untuk menyelamatkan Saudara dan saya. Dia bukan datang mendekat untuk menyelamatkan Saudara dan saya; Dia menyelamatkan kita supaya Dia bisa mendekati kita. Itulah tujuan akhirnya.
Sekarang, apa implikasinya dalam kehidupan ‘saya’ jikalau Allah mendekati kita, menyertai kita, dan berelasi dengan kita? Untuk menjawab ini, saya mengajak Saudara berpikir sebentar. Ketika manusia sedang benar-benar menderita, biasanya muncul satu perasaan yang hampir universal. Ini bukan perasaan sakit, karena tidak semua penderitaan ada perasaan sakit, tapi bisa juga perasaan malu, dsb. Perasaan yang hampir selalu ada ketika kita benar-benar menderita, adalah perasaan kesepian. Kalau hidup kita sedang di atas, nyaman, sukses, kita sepertinya tidak sulit untuk berelasi dengan orang lain, kita merasa dunia terbuka bagi kita. Tapi ketika kita sedang berada di bawah, tersiksa, terhimpit, kita cenderung menyatakan: “Saya sendirian, tidak ada yang mengerti saya, benar-benar sendirian”.
Dalam penderitaan seperti ini, ketika orang datang menghibur, kita bahkan tidak mau menerima penghiburannya karena kita merasa orang yang menghibur ini tidak mengerti perasaan saya. Ketika orang datang memberikan solusi yang tepat pun, kadang kita tidak mau terima, tidak mau dengar, dan tidak mau lakukan; kita tidak mau dengar selama orang tersebut tidak senasib dengan kita. Itulah perasaan yang selalu muncul ketika kita menderita –kesepian, sendiri. Itu berarti, secara psikologis hal yang paling kita perlukan waktu menderita bukanlah sebuah solusi –solusi diberikan pun kalau tidak ada solidaritas, itu tidak ada gunanya– dalam penderitaan kita mengharapkan orang yang mengatakan: “aku tahu perasaanmu, aku pernah mengalami hal yang kira-kira sama”. Ketika kalimat itu muncul, barulah kita melunak, membuka telinga untuk mendengarkan; dan dalam momen seperti ini, kadang-kadang tanpa orang tersebut memberikan solusi pun, kita sudah merasa terhibur. Dan yang lucu, ketika kita menderita, seringkali kita sebanarnya sudah tahu solusinya, sudah tahu yang harus kita lakukan, tapi kita tidak mau melakukannya sampai kita menemukan ada orang yang solider dengan kita, sampai kita menemukan persekutuan dengan seseorang yang tahu perasaan kita. Itulah yang benar-benar menyembuhkan.
Ini berarti melalui Natal kita mengetahui satu hal: Allah bukan menjadi manusia saja, tetapi Dia mengalami kondisi kemanusaan itu sendiri. Dia lahir di palungan, berarti sejak lahir Dia tahu yang namanya penolakan, kemiskinan, pengucilan. Belakangan, Dia tahu rasanya dikhianati. Dia tahu rasanya ditinggalkan. Dia pernah mengalami penderitaan, disiksa, difitnah. Dia bahkan pernah mencicipi maut –hal yang kita belum pernah alami. Dengan demikian, ketika Saudara dan saya menderita dan Allah datang mendekati kita, Dia bukan Allah yang datang terutama untuk memberikan kata-kata mutiara. Dia adalah Allah yang sanggup mengatakan dalam kalimat-Nya yang pertama: “Aku bisa mengerti perasaanmu, karena aku pernah mengalami hal yang sama”. Itulah persekutuan.
Saudara, inilah implikasi yang sangat besar dalam hidup kita. Bahwa Dia pernah menderita, tidak langsung memberikan kepada kita jawaban atas penderitaan kita –memang tidak. Ada banyak hal yang menyakitkan, mengecewakan, yang hari ini kita alami dan kita tidak tahu jawabannya, tidak tahu alasannya, bahkan mungkin sampai kita mati. Tetapi sekali lagi kita harus ingat bahwa memang bukan itu yang paling kita perlukan. Bahwa Dia menderita, itu tidak memberitahu kepada kita ‘mengapa kita menderita’. Kita mungkin tidak bisa tahu, mengapa Allah yang berdaulat itu mengizinkan kita mederita. Tetapi, bahwa Dia pernah menderita, itu memberitahu kepada kita satu hal yang paling perlu, yaitu: bukan ‘alasan’ kita menderita, melainkan ‘yang bukan alasan’ kita menderita. Inkarnasi Yesus memberitahu kita satu hal, yaitu: Dia mengizinkan penderitaan terjadi dalam hidup Saudara dan saya, bukan karena Dia tidak mengasihimu, bukan karena Dia tidak mengerti isi hatimu, bukan karena Dia tidak tahu rasanya menderita. Ini satu kekuatan bagi kita. Ini berarti ketika kita menderita, satu hal yang membuat kita menyadari makna Natal, bahwa Allah datang untuk bersekutu dengan kita, bahwa Allah pernah mengalami hal yang kita alami, adalah kalaupun Saudara tidak pernah menemukan orang yang mengalami apa yang Saudara alami, Saudara bisa menemukannya di dalam diri Tuhan, Saudara tidak pernah benar-benar sendirian. Itu implikasi yang pertama. Bukankan ini penghiburan yang luar biasa?
Suatu kali saya harus berkotbah dalam penguburan seorang teman. Dia masih sangat muda, umurnya sekitar 23-24 tahun, meninggal karena kanker. Kalau Saudara datang ke acara kedukaan seorang anak menguburkan orangtuanya, memang sedih, tapi masih lumrah. Namun kalau itu tentang seorang ayah yang menguburkan anaknya, Saudara mau menghibur apa?? Ada banyak hamba Tuhan ngawur, mereka pakai perkataan seperti ini: “Bapak, anakmu mati sangat muda, tapi ini anugerah Tuhan, karena mungkin sepuluh tahun lagi anakmu jadi penjahat, jadi Tuhan ambil dia hari ini”. Perkataan itu sama sekali tidak menghibur! Jadi bagaimana menghiburnya? Kedatangan Yesus benar-benar membuat hal ini jadi nyata bagi kita, Allah pernah mengalami hal ini, sehingga hal yang paling menghibur yang dapat kita katakan kepada sang orangtua bukanlah bahwa kita mengerti perasaannya, tetapi bahwa “Allah mengerti perasaanmu, karena Allah juga pernah menguburkan Anak-Nya yang tunggal.” Ini tidak memberikan solusi, tidak membangkitkan si anak jadi hidup kembali, tetapi betapa solidaritas/ persekutuan ini begitu kuat luar biasa dalam kita menghadapi penderitaan. Kalau tidak ada ini, kalau tidak ada inkarnasi, kalau Yesus tidak datang untuk mendekati kita dan untuk mengalami yang namanya menjadi manusia, apa yang bisa menghibur kita dalam situasi seperti ini??
Tentu tidak semua dari kita bakal menguburkan anak kita, jadi itu hanyalah penghiburan yang cuma sekali-kali. Mungkin Saudara mengatakan, “Saya punya problem pergumulan yang lebih sederhana: doa tidak dijawab; lalu apa penghiburannya?” Saudara, lihatlah kehidupan Tuhan Yesus. Saudara akan menemukan bahwa Tuhan Yesus tahu rasanya doa yang tidak terjawab; bahkan mungkin lebih parah, karena kalau kita doa tidak dijawab mungkin doanya memang ngawur, tetapi Tuhan Yesus adalah manusia yang sempurna, dan Dia berdoa “kalau bisa cawan ini lalu daripada-Ku”. Kesempurnaan hidup harusnya diganjar dengan kehidupan, bukan dengan cawan murka Allah, sehingga kita bisa mengatakan bahwa ada dasarnya Tuhan Yesus berdoa ‘kalau boleh cawan ini lalu’. Tetapi 3 kali Dia berdoa, dan tidak ada jawaban. Allah tahu rasanya doa yang tidak dijawab Allah –ini hanya ada di Kekristenan. Kalau tidak ada inkarnasi, kalau Tuhan tidak datang , kalau Yesus tidak datang, tidak ada penghiburan untuk hal ini.
Jadi jelas, yang namanya solidaritas/ persekutuan berarti pengertian. Itu sebabnya Ibrani 2: 17-18 mengatakan: Itulah sebabnya, maka dalam segala hal Ia harus disamakan dengan saudara-saudara-Nya, supaya Ia menjadi Imam Besar yang menaruh belas kasihan dan yang setia kepada Allah untuk mendamaikan dosa seluruh bangsa. Sebab oleh karena Ia sendiri telah menderita karena pencobaan, maka Ia dapat menolong mereka yang dicobai. Bahwa Allah datang kepada kita, itulah yang membuat kita sanggup menghadapi penderitaan dalam dunia ini. Ini solidaritas yang bukan dari manusia belaka tapi dari diri Allah sendiri.
Tapi ada implikasi yang kedua, karena yang namanya berelasi/ bersekutu selalu ada timbal balik. Ketika Saudara menyertai saya, otomatis berarti saya juga menyertai Saudara. Kalau Saudara menemani saya pergi ke satu tempat, otomatis saya juga sedang menemani Saudara ke tempat itu. Dengan demikian, implikasi yang kedua adalah: ketika Allah menyertai kita, otomatis berarti kita sedang menyertai Dia. Kita tidak bisa disertai oleh Allah kalau kita menolak untuk menyertai Allah. Ini satu hal yang jarang sekali orang Kristen bicarakan. Orang Kristen sering sekali berdoa ‘kiranya Tuhan menyertaiku, memimpinku, ada besertaku’, tetapi berapa banyak yang berdoa ‘saya mau menyertai Tuhan; ke mana Tuhan pergi, saya mau pergi; yang Tuhan cintai, aku mau cinta; yang Tuhan benci, aku mau benci’?
Implikasi yang pertama tadi mungkin membuat kita begitu kaget dan sadar, ‘O, ternyata Allah begitu luar biasa’; tapi jangan lupa bukan cuma itu. Kehidupan Kristen bukan cuma kehidupan yang mengatakan ‘saya menderita, Tuhan juga pernah menderita lho, saya doanya tidak dijawab, Tuhan doa-Nya juga pernah tidak dijawab lho, betapa luar biasa penyertaan Tuhan kepadaku’, tapi ada sisi yang sebaliknya, ada sisi menyertai bersama-sama. Tuhan menderita, kapan kita menderita? Tuhan mengalami semua penistaan, kapan kita dinista? Ini aspek yang sama pentingnya dalam Natal, dan inilah aspek yang kita sering lupa, atau mungkin sengaja melupakan. Benar bahwa tujuan Tuhan Yesus datang untuk mendekat kepada Saudara, tapi ujungnya juga sama, yaitu ketika Dia mendekat kepada Saudara, menyertai Saudara, Saudara tidak mungkin tidak menyertai Dia, Saudara tidak mungkin tidak mendekat kepada Dia. Dan apakah itu artinya? Seperti apakah kehidupan yang menyertai Tuhan? Lumayan mengerikan.
Coba kita melihat yang terjadi dalam Alkitab ketika Allah datang menyertai manusia; paling gampang dari Matius 1, ketika Allah datang menyertai Maria dan menyertai Yusuf. Menurut Saudara, apakah mereka merasa senang? Yang muncul adalah perasaan malu dan bingung. Apakah yang terjadi kemudian Maria dan Yusuf mengalami penerimaan? Tidak. Mereka mendapatkan penolakan. Apakah mereka mendapatkan penghormatan? Di satu sisi iya, tapi mereka juga mendapatkan pengucilan. Zaman Maria dan Yusuf waktu itu, sangat kencang budaya ‘honour shame’ (budaya malu); dalam budaya malu cuma ada 2 pilihan: tahu malu atau dipermalukan. Kota tempat mereka tinggal itu kota kecil, semua orang saling kenal. Dan semua orang juga bisa menghitung dari sejak mereka menikah sampai lahir anak yang namanya Yesus itu berapa bulan –tidak sampai 9 bulan– jadi cuma ada 2 kemungkinan, mereka melakukan itu di luar nikah, atau Maria suka ‘jajan’. Jadi ketika Allah datang menyertai mereka, efeknya adalah mereka ternista seumur hidup, mereka tidak mungkin dianggap setara lagi dalam komunitas kota tempat tinggalnya, selalu dianggap rendahan dan rusak. Hal ini bukan cuma menimpa orangtua tersebut tapi juga anaknya, buktinya ketika Tuhan Yesus suatu hari kembali ke Nazaret, kampung halaman-Nya, orang-orang mengatakan, “Bukankah ini anaknya Maria?” Pada zaman itu, ketika garis patriakhal sangat penting, seseorang tidak pernah disebut anak mamanya melainkan anak papanya; jadi waktu Tuhan Yesus disebut anaknya Maria, alasannya jelas: mereka tahu Dia bukan anaknya Yusuf. Itu berarti, ketika menjadi orang yang disertai Tuhan, isi hidup kita bukan cuma kembang yang wangi tapi juga pengalaman-pengalaman seperti ini –penolakan, penistaan, pengucilan, perasaan malu dan kebingungan.
Di Matius 2, karena Yesus datang menjadi bayi, yang terjadi adalah pembantaian bayi massal oleh Herodes. Mengapa bayi-bayi itu dibunuh? Yaitu karena satu alasan sederhana: persekutuan –karena ada kesamaan antara bayi Yesus dengan bayi-bayi yang lain itu.
Kembali tentang Yusuf, ketika dia menikah dengan Maria, Saudara bayangkan pembicaraan dengan teman-temannya bakal seperti apa! “Aduh, Bro, ini apaan? Tapi gua percaya sama lu, lu ‘gak hamilin dia, jadi berarti Maria itu suka jajan, dan lu tetap mau menikah sama dia?? Dia ‘gak setia sama lu, lu tetap mau menikah dengan dia, itu berarti lu segitu insecure-nya, lu ‘gak ada harga diri?? Wanita masih banyak!” Lalu Yusuf mungkin mengatakan, “Eh, dengar ya, ini bukan gua, ini bukan dia, ini Roh Kudus yang membuat dia bisa hamil; Malaikat kasih tahu saya!” Dan Saudara bisa bayangkan adegan berikutnya, teman-teman Yusuf bengong beberapa detik lalu tertawa habis-habisan.
Saudara mau menjadi orang Kristen? Saudara mau menjadi orang yang disertai Allah? Saudara mau menyertai Allah? Itu berarti di mana pun Saudara berada –di lingkaran keluarga, pekerjaan, bahkan gereja– Saudara akan bertemu dengan orang-orang yang tidak akan bisa mengerti Saudara, yang tidak akan mau mengerti Saudara, dan Saudara tidak tahu harus bagaimana untuk membuat mereka mengerti. Itu berarti kita harus berani meresikokan reputasi yang sudah kita bangun bertahun-tahun. Tidak selesai sampai di sini, bukan cuma menerima penolakan, pengucilan, dan menanggung malu, tapi yang pasti ketika kita menyertai Tuhan, itu berarti kita kehilangan kontrol atas hidup kita.
Sebenarnya hanya sedikit hal-hal dalam hidup kita yang memang kita kontrol. Tapi kalau Saudara menerima Tuhan, datang kepada Tuhan, kalau Dia datang kepadamu, menyertaimu, kalau Saudara menyertai Dia, maka hal yang sedikit itu pun akan direnggut kontrolnya dari Saudara dan saya. Dalam kisah kelahiran Tuhan Yesus, ada satu hal yang seringkali terlewat dari perhatian kita, yaitu dalam perkataan Malaikat kepada Yusuf. Kalimat yang paling mengejutkan di situ mungkin bukan soal Yusuf disuruh menikahi Maria, tapi ketika Malaikat mengatakan bahwa Yusuf harus menamai anaknya itu “Yesus”. Hal ini mungkin bagi kita biasa-biasa saja, bagus juga kalau ada Malaikat datang memberitahu nama anak kita, sebagai orangtua jadi tidak perlu susah-susah cari nama. Tapi sebenarnya tidak juga. Seandainya Saudara punya anak, lalu ada orang lain memaksa suruh menamakan ini dan itu, Saudara tentu tidak mau. Mengapa? Karena Saudara merasa ‘hak untuk menamakan anak itu adalah hak saya, otoritas saya, hal itu harusnya di bawah kontrol saya’. Kalau zaman sekarang saja Saudara merasa seperti itu, apalagi di zaman itu, ketika seorang anak dianggap properti orangtuanya. Menamai anak –atau menamai orang—itu artinya otoritas orang tersebut terhadap orang yang dinamai. Itu sebabnya di Alkitab Allah berulang-kali menamai dan menamai kembali orang-orang dalam umat-Nya. Abram menjadi Abraham, Yakub menjadi Israel, Simon menjadi Kefas. Alasannya jelas bukan estetika, alasannya bahwa itulah tanda otoritas Allah atas orang tersebut. Itu berarti yang Malaikat katakan kepada Yusuf adalah: ‘bukan cuma kamu kehilangan kontrol soal siapa yang kamu nikahi, tapi kamu juga kehilangan kontrol atas Anak tersebut, kamu tidak akan memiliki Anak tersebut, Dia bukan milikmu, engkau milik-Nya’.
Saudara, Natal berarti Allah mengatakan: “Jika Aku menyertaimu, otomatis kamu juga menyertaiku; tidak mungkin kamu mendapatkan penyertaan-Ku kalau kamu tidak menyertai-Ku juga”. Ini berarti Tuhan mengatakan: “Kamu mau penyertaan Saya? Itu berarti kamu tidak ada otoritas atas Saya; Saya yang ada otoritas atasmu.”
Satu aplikasi yang sederhana, ketika kita mengatakan “akhir tahun, masa liburan, saya mau pakai untuk liburan, bukan untuk–misalnya ke NREC”, ketika kita mengatakan “saya mau bayar perpuluhan sesuai suasana hati saya”, ketika kita mengatakan “saya mau pacaran sama siapa, itu urusan saya”, ketika kita mengatakan “saya mau datang kebaktian telat berapa lama, itu bukan urusanmu”, ketika kita mengatakan “saya mau cek HP berapa kali waktu mendengarkan kotbah, itu terserah saya”, sadarkah Saudara bahwa semua kalimat itu adalah usaha kita untuk menamai Allah?
Jadi mengapa Tuhan Yesus datang? Dia datang terutama bukan untuk keselamatan; Dia menyelamatkanmu demi bisa datang mendekatimu, bukan mendekatimu demi bisa menyelamatkanmu. Dia datang untuk menyertaimu, itu berarti kalau kita disertai-Nya, tidak mungkin tanpa kita menyertai-Nya; dan kita harus bayar harga. Dia datang bukan untuk kepercayaanmu, Dia datang bukan demi ketaatanmu, Dia datang demi-mu, demi engkau dan saya. Dan untuk itu, Dialah yang terlebih dahulu membayar harganya. Dia mengosongkan diri-Nya, pertama-tama dari kemuliaan-Nya, terakhir dari nyawa-Nya sendiri. Kita melihat bahwa menyertai Tuhan, implikasinya adalah kita kehilangan kontrol. Tapi Tuhan Yesus sudah terlebih dahulu menyertai kita; dan Dia bukan cuma kehilangan kontrol, Dia menyerahkan kontrol atas hidupnya.
Dengan demikian, pertanyaan terakhir bukan lagi “mengapa Yesus datang”, melainkan “mengapa Saudara dan saya datang”. Mengapa kita datang? Untuk apa, demi apa? Natal itu apa bagi Saudara? Seringkali Natal itu untuk kita dapat suasana; itukah juga Natal bagi kita hari ini? Apakah kita puas dengan Natal sebatas itu? Mungkin kita mengatakan, “Tidak koq, saya orang Reformed, saya mau belajar, saya mau mengetahui, saya mau melihat dengan lebih dalam apa arti Natal”; dan hari ini Saudara belajar bahwa ternyata Allah pun tidak puas hanya dengan sebatas itu. Pertanyaannya adalah: Apa yang Saudara dan saya lakukan dalam Natal ini, yang membuat kita bukan cuma lebih mengerti Dia, tapi lebih mendekat dengan Dia, lebih menyertai Dia, lebih membuat kita beroleh persekutuan dengan Dia? Apa yang kita lakukan dalam masa Natal ini yang membuat kita lebih mencintai yang Dia cintai, membenci yang Dia benci, mengalami yang Dia alami? Mungkin Saudara mengatakan, ‘Pak, tapi ikut NREC juga tidak pasti membawa kita ke penyertaan seperti itu, tidak pasti membuat kita lebih bersekutu dengan Allah juga, lagipula sseringkali yang dibicarakan konsep melulu’. Memang benar, tapi pertanyaannya, lalu apa yang Saudara lakukan yang Saudara anggap lebih membuat Saudara bersekutu dengan Allah? Itu yang harus Saudara pertanyakan.
Saudara, sering di antara kita bertanya, bagaimana kita mempersaksikan Tuhan kepada dunia –apakah hanya dengan PI pribadi? Tentu tidak. Ada banyak cara lain. Memang tidak semua orang dipanggil untuk mempersaksikan Tuhan lewat kata-kata, tapi semua dari kita dipanggil untuk mepersaksikan iman melalui hidup kita. Dan salah satu caranya adalah Saudara hidup bukan mengikuti kelender dunia, tapi mengikuti kalender Gereja Tuhan. Dunia ini punya kalender. Kalau Saudara ke mal, maka bulan Desember itu bulan diskon, bulan liburan; ada waktu-waktunya, tidak setiap kali muncul ini dan itu. Dan Gereja punya kalendernya sendiri.
Dalam kalender Gereja, misalnya bulan Maret dan April momen untuk merenungkan penderitaan Tuhan, merenungkan pengorbanan Kristus di atas kayu salib. Bulan Desember momen untuk merenungkan dan menantikan kedatangan Tuhan ke dunia. Akhir tahun momen untuk bersyukur atas penyertaan Tuhan selama setahun. Awal tahun momen untuk meminta pimpinan Tuhan. Masing-masing ada waktunya. Itu sebabnya GRII selalu ada Kebaktian Akhir Tahun dan Kebaktian Awal Tahun, karena itu adalah bentuk tindakan konkrit Gereja yang menyatakan dirinya bukan sedang menyertai dunia, melainkan sedang menyertai Tuhan –dan salah satu bagian kalender gereja GRII adalah NREC. Memang kalender gereja tidak sempurna, tapi kembali ke pertanyaan awal: kalau Saudara tidak ikut kalender gereja yang ini, Saudara ikut kalender yang mana? Kalendermu sendiri? Mengapa kalendermu lebih Alkitabiah dibanding kalender Gereja Tuhan, apa dasarnya?
Hari ini banyak anak muda mau cinta tapi tidak mau pernikahan; kalaupun mau menikah, harus bikin perjanjian pisah harta dulu. Cinta sih cinta, tapi tidak rela meresikokan dompet, tidak rela berbagi kekuasaan atas uang, atas waktu, lalu tetap menyediakan jalan keluar kalau situasi jadi sulit. Ini pastinya bukan relasi, atau setidaknya bukan relasi cinta. C. S. Lewis mengatakan orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang aneh, yang hanya mau merasakan nikmatnya makanan di lidah tapi tidak rela makanan itu masuk dan dicerna lalu jadi bagian dari tubuh. Ketika kita melihat orang-orang seperti ini, mudah bagi kita untuk memandang rendah, tapi marilah kita refleksi diri kita sendiri. Kita semua kepingin anugerah Tuhan, kita semua kepingin pengertian Firman Tuhan, belajar kebenaran-kebenaran Tuhan, kita semua menginginkan penyertaan Tuhan dalam keluarga kita, kita semua menginginkan penyertaan dan pimpinan Tuhan dalam hidup sehari-hari, tetapi apakah kita menginginkan Tuhan atau tidak?
Panggilan untuk menyertai Tuhan, apakah adalah kabar baik dalam hidupmu, atau kabar buruk? Bagi Tuhan Yesus, panggilan itu adalah kabar baik. Itu sebabnya Dia mau. Itu sebabnya Dia memberikan diri-Nya. Itu sebabnya Dia datang. Itulah, mengapa Yesus datang. Mengapa Saudara dan saya datang?
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading