Ini adalah bagian terakhir dari pasal 16, sebelum pasal 17 tentang Doa Yesus.
Kalau kita membaca bagian ini, kita akan mendapati bahwa Yesus sebenarnya sedang menunjuk kepada kebangkitan. Di ayat 25 dikatakan: “Semuanya ini Kukatakan kepadamu dengan kiasan. Akan tiba saatnya Aku tidak lagi berkata-kata kepadamu dengan kiasan, tetapi terus terang memberitakan Bapa kepadamu”. Ayat ini tidak boleh dibaca dengan pengertian bahwa sebelum bangkit Yesus tidak terus terang dalam memberitakan Bapa, melainkan dalam pengertian bahwa tanpa kebangkitan, pengajaran yang diberikan Yesus tidak bisa dimengerti murid-murid-Nya secara sempurna. Itu sebabnya dikatakan “akan tiba saatnya”; saat itu adalah saat kebangkitan. Tidak ada orang yang bisa mengerti penderitaan Kristus, tidak ada orang yang bisa mengerti salib, tidak ada orang yang bisa mengerti penganiayaan dan penolakan yang diterima Yesus, tanpa perspektif kebangkitan. Sama seperti kita tidak bisa mengerti iman kita tanpa perspektif salib, demikian juga kita tidak bisa mengerti iman kita tanpa perspektif kebangkitan. Kita jangan lupa, Injil ini memang ditulis setelah kebangkitan, Injil ini bukan ditulis setiap hari seperti agenda atau diary, tapi ditulis setelah Yesus bangkit, dan mereka mengerti.
Sebelum Yesus bangkit, pengajaran-pengajaran Yesus itu jadi seperti kiasan, yang mereka coba untuk mengerti, tapi juga tidak sanggup untuk mengerti, karena mereka belum melihat big picture secara keseluruhan. Ini satu gambaran yang langsung kita bisa menghayatinya, karena di dunia ini banyak hal yang sulit kita mengerti sebelum kita melewati hal tersebut, lalu melihat ke belakang dan baru bisa mengerti apa yang sebetulnya terjadi –dan itu pun tetap di dalam keterbatasan. Dengan demikian prinsip ini penting, bahwa tanpa kebangkitan, tidak bisa mengerti kematian; tanpa kebangkitan, tidak bisa mengerti penderitaan; tanpa kebangkitan, bahkan tidak bisa mengerti apakah kita ini sudah mengerti dengan benar atau tidak.
Tanpa kebangkitan, kita sendiri juga bisa salah mengerti diri, salah mengenal diri, seperti murid-murid di sini. Waktu murid-murid di sini berpikir mereka sekarang sudah mengerti, sebetulnya Yesus tahu bahwa mereka belum mengerti; Saudara dapat melihatnya dari tanggapan Yesus di di ayat 31 setelah mereka mengatakan “sekarang Engkau terus terang berkata-kata dan Engkau tidak memakai kiasan”. Sebelumnya, Yesus mengatakan “akan tiba saatnya Aku tidak lagi berkata-kata kepadamu dengan kiasan”, lalu dalam pembicaraan ini –yang cuma beda beberapa detik—murid-murid sudah mengatakan “lihat sekarang Engkau terus terang berkata-kata dan Engkau tidak memakai kiasan”. Jadi murid-murid pikir, sekarang inilah saatnya mereka mengerti, sekarang inilah saatnya Yesus tidak bicara dengan kiasan lagi. Maka kemudian Yesus menanggapi: “Percayakah kamu sekarang?” Tanda tanya dalam kalimat ini bukan dalam pengertian Yesus tersentuh atau terharu bahwa akhirnya murid-murid bisa mengerti juga sekarang, tapi ini sebetulnya kalimat teguran, mengingatkan mereka ‘kamu belum mengerti sebetulnya, tapi kamu rasa kamu mengerti, kamu itu belum percaya sungguh-sungguh dalam hal ini, tapi kamu merasa kamu percaya’. Yesus tahu dengan persis apakah mereka mengerti atau tidak mengerti, apakah dalam hal ini mereka tahu bahwa mereka sungguh-sungguh percaya dan tidak lagi ada yang terselubung di mata mereka atau tidak, dst. Tetapi itu bukan permasalahannya; dalam bagian ini, salah satu poin yang indah waktu kita membaca cerita-cerita seperti ini, yaitu bahwa Gereja bukan dibangun dari orang-orang yang berpotensi, yang hebat, berbakat, percaya, imannya teguh, dsb. Gereja dibangun dari orang-orang seperti murid-murid ini, yang tidak mengerti, yang tidak jelas imannya, sehingga fokus kita bukan pada Yohanes, Petrus, Yakobus, dan murid-murid yang lain, fokus kita ada pada Kristus. Mereka itu bisa dipakai untuk menggerakkan pekerjaan Tuhan, semata-mata karena Kristus, bukan karena mereka ini memenuhi syarat (qualified) –tidak ada yang qualified di bagian ini. Ini cerita yang terus-menerus diulang di dalam Firman Tuhan.
Ada satu kutipan yang bagus dari D. A. Carson untuk bagian ini: “It is part of the character and genius of the Church that its foundation members were discredited men; it owed its existence not to their faith, courage, or virtue, but to what Christ had done with them; and this they could never forget”. Coba perhatikan Petrus, coba perhatikan Yohanes, mereka ini bukan orang-orang yang qualified, yang imannya teguh dan punya keberanian, bajik, dsb.; jadi bukan karena mereka, melainkan karena Kristus mengerjakan pekerjaan-Nya melalui mereka. Memang Yohanes ada waktu di kayu salib, tapi bukan berarti dia tidak ada kelemahan; Yohanes sendiri mencatat kelemahannya, bagaimana dia berubah dari orang yang gampang sekali marah dan balas dendam menjadi seorang yang penuh cinta kasih, bukan karena dirinya sendiri melainkan karena pekerjaan Kristus dalam kehidupannya. Mereka ini bukan orang-orang yang sangat khusus, yang sementara orang banyak tidak bisa mengerti dan menerima Kristus, lalu mereka ini kelompok orang-orang yang sangat loyal kepada Kristus –karena kenyataannya tidak juga. Jadi ini adalah satu bagian yang menyatakan kemuliaan Kristus, dan menyatakan ketidaksanggupan manusia.
Yesus bilang di ayat 26, “Pada hari itu kamu akan berdoa dalam nama-Ku. Dan tidak Aku katakan kepadamu, bahwa Aku meminta bagimu kepada Bapa”. Perhatikan prinsip ini: Yesus adalah Anak Tunggal Bapa, Dia satu-satunya yang punya akses kepada Bapa; tapi Dia kemudian bersukacita karena bisa memberikan akses kepada Bapa itu, bagi murid-murid-Nya. Prinsip inklusif ini tidak dimengerti oleh dunia, karena dunia menikmati akses esklusif; kalau saya kenal sama seseorang yang adalah orang penting, ya, lebih baik saya tidak share dia kepada orang lain supaya orang lain juga kenal dia, karena nanti saya jadi orang yang tidak terlalu signifikan. Dalam cara pikir dunia, kalau kita punya akses dengan orang penting –orang penting apapun—kita menikmati akses itu, dan kita tidak senang kalau orang lain juga punya akses itu; kalau bisa, kita membatasi semua akses orang lain dalam hal ini. Murid-murid Yesus pun berpikir seperti ini terhadap Yesus; waktu ada pengemis buta teriak-teriak, murid-murid berlaku seperti bodyguard-nya Yesus, mereka menyuruh orang itu diam, jangan mengganggu Yesus, dsb., seakan-akan mereka murid-murid yang sangat penting yang musti menyertai Yesus dan menjaga supaya tidak semua orang bisa datang kepada Yesus (tidak punya akses kepada Yesus). Mereka tidak mengerti Pribadi Kristus. Di bagian ini sangat jelas bahwa Yesus bersukacita waktu murid-murid-Nya bisa meminta langsung kepada Bapa. Dia tidak bilang ‘jangan lupa Saya, ya, Saya mediatornya; kamu harus selalu ingat Saya, Saya yang kenalin lu kepada Bapa’. Yesus tidak bicara kalimat seperti itu; kalimat itu tidak ada karena itu bukanlah jiwanya Kristus.
Kita bisa merenungkan bagian ini bukan saja secara individual, tapi juga secara komunal (Gereja). Gereja kita ini menikmati akses khusus terhadap Tuhankah? Lalu, kalau orang lain mau belajar kebenaran berarti harus selalu lewat kita? Atau bagaimana? Saya bisa melanjutkan terus, terus, dan terus tentang bagian ini, tapi kalau kita mengenal Kristus dengan benar, harusnya itu mempengaruhi semua aspek. Ini bukan pengenalan akan Kristus yang kemudian jadi sesuatu yang abstrak, lalu kita tidak tahu musti ngapain, akibatnya apa, konsekuensinya apa, dsb. Kita tidak tertarik belajar teologi yang disintegrated kayak begini karena tidak mengubah manusia. Pengenalan teologi yang tidak mengubah manusia, itu sesuatu yang tidak berguna. Mungkin bukan teologinya yang salah, tapi cara belajar kita yang salah, cara kita mengerti Firman Tuhan yang salah. Tetapi di bagian ini kita melihat Yesus bilang “Pada hari itu kamu akan berdoa dalam nama-Ku. Dan tidak Aku katakan kepadamu, bahwa Aku meminta bagimu kepada Bapa” (ayat 26), jadi bukan Yesus lagi yang mewakili mereka meminta kepada Bapa, sekarang mereka bisa langsung meminta kepada Bapa. Dan tidak perlu dikatakan, kalau Yesus saja bilang “tidak usah minta lewat Saya, bisa langsung minta kepada Bapa”, apalagi minta melalui orang-orang suci, itu lebih tidak masuk akal lagi.
Kalau kita mengenal bagian ini, Yesus mau membawa setiap orang untuk memiliki akses langsung kepada Bapa. Itu adalah keinginan hati-Nya, dan itu juga keinginan hati Bapa; keinginan Bapa dan keinginan Anak adalah satu. Yesus mengatakan di ayat 27, alasannya bukan lagi Anak yang meminta kepada Bapa bagi murid-murid, adalah: “sebab Bapa sendiri mengasihi kamu, karena kamu telah mengasihi Aku dan percaya, bahwa Aku datang dari Allah”. Anak dan Bapa itu satu. Saudara melihat di sini, tidak ada iri hati, kecemburuan, atau rasa ketidakamanan (insecure).
Di dalam Pribadi Tritunggal, sungguh-sungguh tiga dan sungguh-sungguh satu. Satu di dalam satu hal, dan tiga di dalam hal yang lain. Tetapi kalau kita merenungkan kehidupan manusia, kita tidak mendapati kehidupan yang seperti Tritunggal. Pribadi manusia penuh dengan persaingan, penuh dengan rasa insecure, dsb., sedangkan Yesus yang adalah Mediator, Dia bersukacita kalau Dia bisa mempertemukan dua pihak yang di-mediasi. Yesus bersukacita ketika bisa mempertemukan orang berdosa kepada Allah Yang Mahakudus. Dalam hal ini, Yohanes Pembaptis seperti Yesus, dia juga bersukacita bisa mempertemukan orang-orang dengan Kristus; dia memediasi orang-orang, yang adalah murid-muridnya sendiri, untuk bisa datang langsung kepada Kristus.
Yesus mendorong murid-murid untuk minta kepada Bapa, Dia bilang “Aku tidak akan minta bagimu kepada Bapa”. Itu bukan karena Yesus sudah terlalu capek lalu tidak mau lagi, lalu ‘sekarang kamu urus urusanmu sendiri, Saya tidak mau memediasi lagi, sampai sini saja pekerjaan Saya’, melainkan di dalam pengertian bahwa Yesus mau membawa mereka ke dalam relasi kasih yang intim dengan Bapa. Yesus berkata “kamu telah mengasihi Aku”; dan waktu Yesus dikasihi oleh murid-murid-Nya, Dia tidak menerima kasih itu bagi diri-Nya sendiri. Bagi Yesus, mengasihi diri-Nya berarti mengasihi Bapa. Dia mengembalikan kasih yang Dia terima, kepada Bapa. Ini prinsip yang indah. Kalau kita bisa mengerti ini, maka waktu kita dikasihi, kita bukan lalu ge-er karena dikasihi melainkan bisa mengembalikan kasih yang kita terima itu kepada Tuhan. Kalau kita memberitakan Injil lalu ditolak, maka bukan kita yang ditolak, mereka itu menolak Kristus; Yesus bilang “mereka sesungguhnya menolak Aku” –penolakan itu dikembalikan kepada Kristus, tidak jadi sesuatu yang personal. Tetapi waktu kita belajar ayat ini, bukan cuma penolakan yang seperti itu, cinta kasih atau penerimaan pun sama. Penerimaan itu tidak kita anggap personal –diterima dengan ge-er– melainkan dikembalikan kepada Bapa.
Kembali ke ayat 27, “Bapa sendiri mengasihi kamu, karena kamu telah mengasihi Aku dan percaya, bahwa Aku datang dari Allah”. Fakta bahwa murid-murid-Nya mengasihi Yesus, dan Yesus tidak mengambil kasih itu bagi diri-Nya sendiri melainkan mengembalikannya kepada Bapa, inilah artinya kesatuan Anak dengan Bapa. Pribadi dalam Tritunggal tidak pernah menujuk kepada dirinya sendiri, sementara kepribadian di dalam dunia manusia sangat menunjuk kepada dirinya sendiri (self-referential) –segala sesuatu adalah tentang kita, kembali kepada kita, untuk kita, kita yang diterima, kita yang ditolak, kita yang dikasihi, kita yang dibenci– semua tentang kita. Tetapi Yesus tidak seperti itu. Dia mengembalikannya kepada Bapa. Inilah kepribadian yang Dia mau share, supaya kita belajar, karena kita ini created after the image of God! Kita ini diciptakan menurut gambar rupa Allah Tritunggal; Allah Tritunggal adalah modelnya kita. Dan di bagian ini kita bisa membaca seperti apa Allah Tritunggal itu; murid-murid mengasihi Yesus, dan Dia tidak lupa diri lalu menikmati sendiri cinta kasih penerimaan murid-murid-Nya, melainkan Dia melihat bahwa ini adalah kasih kepada Bapa juga, karena mengasihi Yesus berarti juga mengasihi Bapa. Yesus mengasihi mereka, Yesus mengatakan “Bapa sendiri juga mengasihi kamu”, dan Yesus juga bersukacita bahwa mereka bisa punya akses langsung kepada Bapa yang mengasihi mereka, bukan cuma mengasihi Anak. Bapa bukan cuma mengasihi Yesus, Bapa juga mengasihi murid-murid ini.
Kita juga bisa membahas kaitan ayat 26 dan 27 ini, pengertian bahwa Allah mengasihi kita, adalah yang menjadi dasar kita meminta kepada Bapa. Kalau kita percaya Tuhan itu mengasihi kita, kita bisa berdoa kepada-Nya. Ayat 26 tadi dikatakan tentang langsung meminta kepada Bapa, lalu ayat 27 dikatakan “sebab Bapa mengasihi kamu”, dengan demikian, pemahaman akan Bapa yang mengasihi kita itulah yang mendorong kita untuk berdoa. Kalau kita berdoa dengan tidak ada pemahaman atau pengertian bahwa Bapa yang memelihara kita, mungkin kita tetap bisa berdoa, tapi doa orang yang penuh dengan kekuatiran. Kita mungkin pernah ada pengalaman dengan seseorang yang minta tolong dan dia terus mengulang-ulang sampai 17 kali, itu membuat kita sangat terganggu. Kita sudah tahu, dan memang akan menolong, tapi dia mengingatkan lagi, mengingatkan lagi, membombardir dengan WA misalnya. Orang seperti ini mengganggu, dia tidak percaya bahwa kita betul-betul mau menolong. Memang manusia tidak sepenuhnya bisa dipercaya, tapi gambaran ini saya pakai sebagai ilustrasi; waktu kita datang kepada Tuhan tapi kita tidak digerakkan oleh pemahaman cinta kasih Tuhan, maka kita berdoanya jadi berdoa dengan penuh kekuatiran, seperti orang nervous, orang yang panik, karena kita pikir kita musti membangunkan Tuhan, menyadarkan Tuhan yang sepertinya tidak segera bertindak, dst., dst. Namun, kalau kita membaca ayat ini –ayat 26 mendahului ayat 27—pemahaman tentang Allah yang mengasihi kita adalah dasar yang menjadi alasan kita bisa minta kepada Bapa.
Ayat 28, “Aku datang dari Bapa dan Aku datang ke dalam dunia; Aku meninggalkan dunia pula dan pergi kepada Bapa.” Kalimat ini jelas, bahwa Yesus datang dari Bapa dan kembali kepada Bapa. Ini bicara tentang inkarnasi, dan bicara tentang Dia akan mati, kemudian bangkit, dan naik ke surga, kembali kepada Bapa. Tapi sampai di bagian ini, murid-murid sebetulnya tidak mengerti. Mereka belum mengerti bahwa Yesus akan mati, bangkit, lalu naik ke surga, dalam pengertian kembali kepada Bapa. Meski begitu, di ayat 29 murid-murid berkata, “Lihat, sekarang Engkau terus terang berkata-kata dan Engkau tidak memakai kiasan.” Murid-murid menanggapi perkataan Yesus, bahwa Dia datang dari Bapa dan akan kembali kepada Bapa, tapi apakah betul mereka mengerti bahwa itu maksudnya inkarnasi, lalu Yesus akan mati, lalu bangkit, dan akan naik ke surga kembali kepada Bapa? Sepertinya tidak. Kalau kita membaca dari tafsiran, mereka pun berpendapat sama. Kadang-kadang kita seperti murid-murid ini, kita terlalu cepat menganggap diri sudah mengerti kehendak Tuhan, menganggap pemahaman kita sudah benar, kita sudah melihat the big picture, padahal sebetulnya belum.
Ayat 30, murid-murid itu melanjutkan: “Sekarang kami tahu, bahwa Engkau mengetahui segala sesuatu dan tidak perlu orang bertanya kepada-Mu. Karena itu kami percaya, bahwa Engkau datang dari Allah.” Tapi Yesus kemudian menjawab: “Percayakah kamu sekarang?” (ayat 31). Yesus tidak ada motivasi untuk menggoncangkan iman mereka, Yesus cuma bicara apa adanya –realisme teologis– “kamu pikir kamu sudah percaya? Kamu pikir kamu sudah mengerti semuanya?” Ini ironis, karena ayat 30 murid-murid itu bilang“sekarang kami tahu, bahwa Engkau mengetahui segala sesuatu dan tidak perlu orang bertanya kepada-Mu” –ini kalimat yang betul, pengenalan yang tepat– berarti murid-murid tahu bahwa Yesus mengetahui segala sesuatu, termasuk juga Yesus tahu bahwa mereka sekarang ini sebenarnya sudah tahu atau belum. Memang Yesus mengetahui segala sesuatu, termasuk juga Yesus mengetahui keadaan mereka pada saat itu apakah sungguh-sungguh sudah percaya, mengerti dengan jelas apa yang akan terjadi dalam diri Kristus, atau belum –bagian itu termasuk bagian yang Yesus juga tahu.
Mereka percaya Yesus datang dari Allah. Itu betul. Dalam hal ini kita juga tidak boleh berpikir terlalu hitam putih yang harus salah satu, percaya atau tidak percaya. Mereka ini ada pengertian/pemahaman yang sebagian memang betul, tapi bukan pemahaman yang komprehensif atau sudah komplit, maka kehidupan murid-murid perlu terus-menerus bertumbuh, sebagaimana Saudara dan saya juga perlu bertumbuh. Kalimat yang murid-murid katakan, “Engkau datang dari Allah”, adalah kalimat yang betul, tidak salah, tapi seberapa dalamkah mereka mengerti kalimat ini sebagaimana yang Yesus katakan di ayat 28?? Jadi, ketika Yesus mengatakan kalimat di ayat 31 ini, “Percayakah kamu sekarang?”, itu bukan dalam arti seperti orang sudah menggebu-gebu, sudah percaya, sudah berusaha mengerti, lalu Yesus siram dengan air dingin. Bukan itu. Di sini Yesus mau mempersiapkan mereka untuk menghadapi saat-saat yang sulit.
Ayat 32, “Lihat, saatnya datang, bahkan sudah datang, bahwa kamu dicerai-beraikan masing-masing ke tempatnya sendiri dan kamu meninggalkan Aku seorang diri. Namun Aku tidak seorang diri, sebab Bapa menyertai Aku.” Ayat 32 ini bukan di dalam nuansa Yesus menghina iman mereka, ‘kamu orang-orang yang overconfidence, cuma ngomong tok’, melainkan bahwa Yesus mau menyadarkan mereka, mengantisipasi mereka akan keadaan sulit yang akan datang –dan mereka juga tetap belum bisa sadar. Meski begitu, Yesus sangat sabar membimbing murid-murid-Nya sampai mereka mengerti. Bagian ini, kalau kita terapkan dalam dunia pendidikan pun, banyak hal yang kita bisa belajar.
Kadang-kadang waktu kita memberitahu seseorang, berdiskusi dengan dia, mau membina dia, adakalanya kita tahu orang ini sebenarnya tidak mengerti. Tetapi kalau kita tidak sabar, lalu entah bagaimana pokoknya dia harus mengerti secepatnya sekarang, kita jadi masuk ke dalam perdebatan yang dikuasai ego; akhirnya jadi urusan ego kita sendiri, karena orang itu sebetulnya belum mengerti. Kalau Yesus di bagian ini kehilangan kesabaran, apa jadinya?? Misalnya Yesus lalu bilang, “begini, begini, begini lho … masa’ kayak begini masih ‘gak ngerti juga?! Saya kasih tahu sekali lagi ya … “, dst., akhirnya Saudara melihat gambaran Yesus yang emosional, yang tidak ada self-control, dsb., yang bukan Yesus di dalam Alkitab. Tetapi kita tidak melihat gambaran Yesus yang seperti itu; yang kita lihat, Yesus tetap mengatakan apa yang perlu Dia katakan, dan Dia tahu murid-murid tetap tidak mengerti juga –namun setidaknya Yesus sudah mempersiapkan. Yesus sudah mengatakan hal-hal untuk mempersiapkan, dan bahwa waktu Dia memperkatakan lalu orang yang menerima perkataan-Nya itu belum bisa mengerti, Yesus tahu itu –sebagaimana yang dikatakan murid-murid-Nya di ayat 30, “Engkau mengetahui segala sesuatu dan tidak perlu orang bertanya kepada-Mu”. Yesus mengetahui segala sesuatu. Yesus tahu pertumbuhan kita sampai di mana, dan makanan apa yang kita bisa cerna atau kita belum bisa cerna. Yesus tahu semuanya itu; tidak ada yang Yesus tidak tahu.
Meski demikian, kita membaca di ayat 32, Yesus mempersiapkan mereka, “kamu dicerai-beraikan masing-masing ke tempatnya sendiri; kamu meninggalkan Aku seorang diri”. Ini kontras dengan kalimat murid-murid sebelumnya, “sekarang kami tahu, bahwa Engkau mengetahui segala sesuatu dan tidak perlu orang bertanya kepada-Mu. Karena itu kami percaya, bahwa Engkau datang dari Allah“; karena kalau Yesus datang dari Allah, ya, jangan ninggalin Yesus dong, masakan ninggalin Orang yang datang dari Allah, ‘kan ‘gak masuk akal?? Tetapi di sini Yesus mengatakan ‘kalimat kamu bahwa Aku datang dari Allah, itu betul, tapi kamu belum betul-betul mengerti artinya apa; kamu akan meninggalkan Aku seorang diri’. Memang dalam bagian ini kalau Saudara bandingkan dengan Injil sinoptik, tidak ada kalimat Petrus yang dicatat demikian: “sekalipun mereka semua meninggalkan Engkau, aku tidak akan meninggalkan Engkau!”, meski demikian, Yesus mengatakan “kamu meninggalkan Aku seorang diri”.
Kalimat Yesus di ayat 31 tadi, “percayakah kamu sekarang?” Yesus tahu segala sesuatu. Yesus tahu mereka percayanya seberapa dalam. Kalau percayanya mereka betul-betul sangat berakar, mereka tidak akan meninggalkan Yesus seorang diri. Tapi Yesus tahu, bahwa Dia akan ditinggalkan seorang diri. Namun kemudian Dia mengatakan tentang dirinya bahwa Dia tidak seorang diri, “sebab Bapa menyertai Aku”. Saudara lihat, dalam pelayanan-Nya, Yesus tidak ada kekecewaan, tidak ada discouragement, meskipun ada ribuan alasan untuk itu. Mengapa? Karena hubungan Anak dan Bapa ini tidak bisa digoncang –“Bapa menyertai Aku”.
Di dalam pelayanan kita bisa dikasihi, diterima, ditolak, disalah mengerti; lalu kalau kita terlalu peka dengan urusan-urusan ini, kita tidak mungkin bisa melayani dengan baik. Mengapa? Karena kita tidak melihat diri kita di dalam penyertaan Bapa, sebaliknya kita melihat diri kita ini diterima atau ditolak, murid-murid kita mengerti atau tidak, mengertinya parsial atau sepenuhnya, loyal atau tidak, dsb., dan akhirnya kita terjebak dalam urusan-urusan seperti ini sehingga kita tidak bisa melayani dengan baik. Coba kita melihat kehidupan Yesus Kristus; Yesus tahu dengan pasti bahwa orang-orang ini akan meninggalkan dirinya, lalu apakah Dia kecewa? Dia sangat punya alasan untuk kecewa; ini bagaimana, sih? Saya sudah menghabiskan waktu dengan mereka bertahun-tahun, koq masih begini?? Orang normal tentunya akan kecewa, tapi Yesus mengatakan, “Namun Aku tidak seorang diri, sebab Bapa menyertai Aku”.
Saudara tidak boleh menafsir ayat ini seakan-akan Yesus bilang ‘Saya sih ‘gak perlu kamu ya, kamu mau menginggalkan, ya, tinggalkan saja, memangnya kamu siapa?? Yang penting Aku dengan Bapa’. Pasti bukan itu artinya. Yesus mengasihi mereka, mereka mengasihi Yesus (Yesus sendiri mengatakan bahwa mereka mengasihi Dia), jadi ada cinta kasih –bukan tidak ada cinta kasih– tetapi di dalam keterbatasan itu, mereka tetap ketakutan dan akan meninggalkan Yesus seorang diri. Lalu Yesus bagaimana? Yesus bilang, “Aku tidak seorang diri, sebab Bapa menyertai Aku”. Ini kalimat sederhana tapi amat penting; Aku tidak seorang diri, Bapa menyertai Aku. Kita berharap ini menjadi nyata dalam kehidupan Saudara dan saya, sehingga pelayanan kita tidak diombang-ambingkan melihat keadaan, misalnya ada banjir, orang tidak datang, dsb., lalu kita menjadi kecewa karena merasa sepertinya orang kurang cinta Tuhan.
Kita tidak diombang-ambingkan keadaan-keadaan itu. Kita tidak diombang-ambingkan urusan orang suka sama saya atau tidak suka sama saya, orang mengerti saya atau salah mengerti saya; mengapa? Karena Yesus mengatakan “Bapa menyertai Aku”. Kalimat ini harusnya menjadi kalimat yang terjadi dalam kehidupan Saudara dan saya, “Bapa menyertai kita, seperti Bapa menyertai Anak”. Ini adalah hal yang sangat penting. Ini juga satu hal yang kita percaya menjadi kekuatan serta penghiburan, sehingga Yesus bisa tetap sabar dan mencintai murid-murid-Nya.
Terakhir, ayat 33, “Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya kamu beroleh damai sejahtera dalam Aku.” Perkataan Yesus di ayat 32 tadi seperti kabar buruk; memang kabar buruk tapi realistis, dan lebih baik realistis daripada kabar baik yang bohong. Kalau orang sakit kanker stadium 4, lebih baik dikasih tahu daripada kita bilang dia tidak kenapa-kenapa, karena itu kabar baik yang palsu. Ayat 32 ini memang realistis, tapi kabar buruk untuk semuanya; kabar buruk untuk Yesus, kabar buruk untuk murid-murid juga karena mereka pasti tidak senang mendengar kalimat seperti itu —masakan kita dianggap orang-orang yang akan meninggalkan Dia seorang diri, kita kayaknya ‘gak jahat-jahat amat kayak gitu—karena mereka belum tahu kekuatan tekanan yang akan dialami. Mereka overconfidence dalam hal ini, yaitu dalam menanggapi kesulitan-kesulitan di dalam pelayanan. Dan ayat 33 sangat penting, karena motivasi Yesus tadi bukan untuk memberitakan kabar buruk, melainkan realisme teologis apa adanya, dan tujuannya yaitu seperti dikatakan di ayat ini yaitu “supaya kamu beroleh damai sejahtera dalam Aku”. Jadi, goal-nya adalah supaya waktu murid-murid mengalami itu, mereka tetap beroleh damai sejahtera di dalam –dan hanya di dalam– Kristus. Waktu mereka nanti tercerai berai, itu sudah diantisipasi oleh Yesus, tapi Yesus mengatakan kalimat tersebut, yang memberitahukan terlebih dahulu, adalah supaya murid-murid-Nya beroleh damai sejahtera di dalam Yesus.
Damai sejahtera tidak bisa dipisahkan dari pengenalan akan diri yang gagal, yang unqualified dan discredited; itu semua termasuk damai sejahtera yang asli. Kalau kita sadar bahwa kita ini tidak mampu, itu termasuk dalam pengertian damai sejahtera. Di ayat 32 ini, kalau saya sederhanakan, Yesus ibaratnya mengatakan “kamu ini orang-orang gagal”, atau kalau pakai istilah yang lebih langsung, lebih to the point, dan mungkin juga lebih kasar (ini bukan kalimatnya Yesus): “Saya kasih tahu ya, sesungguhnya kamu itu pengecut” –itu maksudnya– “karena kamu akan lari semuanya, kamu akan meninggalkan”. Inilah faktanya, yang Yesus juga pasti tidak senang mengatakannya. Ini bukan kalimat yang Yesus bersukacita mengatakannya, karena Yesus tidak ada motivasi menjelek-jelekkan mereka, tapi inilah faktanya, ‘kamu pengecut, kamu akan lari meninggalkan Aku’. Namun itu bukanlah akhir dari pembicaraan Yesus; Yesus mengatakan di ayat 33, “Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya kamu beroleh damai sejahtera dalam Aku.” Betapa luar biasa. Yesus berurusan dengan orang-orang pengecut, orang-orang yang tidak loyal, tapi Yesus masih tetap merangkul mereka, menarik mereka, dan Dia bilang “damai sejahtera di dalam Aku” —nanti kamu akan mengalami ini, dan pada mulanya kamu akan melarikan diri, kamu akan ketakutan, tetapi pada akhirnya tetap akan dipelihara oleh Tuhan dalam damai sejahtera yang ada di dalam Kristus.
Sekali lagi, damai sejahtera itu dikaitkan dengan pemahaman bahwa kita ini adalah orang-orang yang gagal, yang tidak bisa setia kepada Tuhan, yang tidak beriman cukup, yang percayanya pas-pasan, yang tidak mencukupkan diri dengan penyertaan Bapa tapi sebaliknya lebih sering diombang-ambingkan oleh situasi, dst., dst. Kalau kita menyadari ini, kita bisa mengatakan “damai sejahtera di dalam Kristus”. Damai sejahteranya Kristus diiberikan bukan karena kita memenuhi syarat (qualified) untuk mendapatkan damai sejahtera. Ini bukan suatu barang untuk orang-orang elit; ini adalah sesuatu yang diberikan Kristus untuk para pecundang (losers), seperti Saudara dan saya. Tapi, damai sejahtera dalam hal apa? Mengapa kita bisa mendapatkan damai sejahtera itu? Jawabannya ada di dalam kalimat Yesus yang terakhir, “Dalam dunia kamu menderita penganiayaan –dalam dunia, kamu ada pergumulan, kamu ada penderitaan, kamu ada penganiayaan, kamu ada kesusahan, air mata, dsb.; ini realisme teologis– kamu dicerai-beraikan masing-masing ke tempatnya sendiri, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia” (ayat 33b).
Yesus telah mengalahkan dunia. Ini kalimat kemenangan (triumphant). Yesus bukan mengalahkan dunia dalam pengertian secara personal Dia sendiri saja yang sudah mengalahkan dunia, lalu bilang ‘Saya sih sudah mengalahkan dunia, sekarang tergantung kamu, kamu sendiri mau mengalahkan dunia seperti Saya atau tidak?’ Kalau begini, jadi kayak spiritualitas peneladanan/imitasi, yang mungkin spiritnya Pelagian; seakan-akan jadinya Yesus punya kekuatan! Dia mengalahkan dunia, Dia tidak takluk pada penderitaan! maka Saudara harus seperti Kristus, juga mengalahkan dunia! Yang seperti ini, bukan Kekristenan; ini lebih mirip bidat Pelagian, karena Yesus hanya dilihat sebagai role model yang kita semua harus meneladani. Persoalannya, tidak ada orang yang bisa meneladani Kristus! Semua orang bangkrut secara rohani, tidak ada satu orang pun yang bisa meneladani Kristus. Kalau Yesus cuma jadi role model, bagaimana mungkin?? Yesus saja sudah bilang “kamu semua akan meninggalkan Aku”. Kita bersama dengan Yesus saja tidak bisa, lalu mau mengalahkan dunia seperti Yesus?? Itu omong kosong, tidak mungkin.
Itu sebabnya kita tidak bisa mengerti kalimat ini dalam pengertian Yesus memberikan peneladanan saja. ‘Aku sudah mengalahkan dunia, kamu coba lebih keras lagi, seperti Saya, Saya saja bisa masakan kamu ‘gak bisa??’ –yang seperti itu bukan agama Kristen, juga bukan pengenalan yang benar akan Kristologi. Hal ini adalah peperangan drama kosmik yang tidak bisa diselesaikan oleh siapa pun, kecuali diselesaikan oleh Kristus. Dunia ini seperti suatu kuasa yang terus-menerus berperang melawan kuasa Tuhan, dan Yesus sudah menaklukkan itu. Yesus sudah mengalahkan dunia, sehingga dunia itu –meminjam bahasanya Paulus waktu bicara tentang maut—tidak ada lagi kekuatan sengatnya. Dunia tidak punya lagi kuasa untuk membuat murid-murid-Nya akhirnya akan jatuh, kalah, dan mengikuti dunia; dunia tidak punya kekuatan itu.
D. A. Carson mengatakan kalimat yang bagus tentang hal ini: “Nor does the verb rendered ‘overcome’ merely refer to a personal overcoming, the preservation of personal integrity in the face of protracted opposition“. Maksudnya, ayat ini bukan sedang menyatakan bahwa Yesus ini Pribadi yang bisa bertahan mengalahkan dunia, dalam pengertian Dia berhasil menjaga integritas personalnya –meski ini tidak salah—lalu dimengerti dalam pengertian yang cuma personal, bahwa Yesus jadi role model untuk kita jadi seperti Yesus, lalu ‘kamu sekarang tinggal mengikuti Yesus, seperti Yesus mengalahkan dunia maka kamu harusnya juga bisa mengalahkan dunia kalau kamu mencoba dan mencoba lebih keras lagi’. Selanjutnya kata D. A. Carson: “Rather, the verb indicates victory, Jesus has conquered the world, in the same way that he has defeated the prince of this world. Jesus’ point is that by his death he has made the world’s opposition pointless and beggarly.” Sekali lagi, by his death Jesus has made the world’s opposition pointless and beggarly. Dunia mau mengalahkan Kristus, itu percuma, karena Yesus sudah menang dan Dia sudah mengalahkan dunia, sehingga dunia kehilangan sengatnya –meminjam bahasanya Paulus—tidak bisa mengalahkan murid-murid Kristus. Ini adalah pondasi damai sejahtera kita.
Damai sejahtera kita bukanlah karena kita nanti harus bisa berjuang seperti Kristus berjuang, lalu Gereja kita juga harus jadi Gereja yang berjuang seperti Kristus berjuang; yang seperti itu, kedengarannya lebih seperti Pelagian, bukan Kristen. Yang dikatakan di sini adalah bahwa dunia tidak sanggup lagi menelan Gereja, dunia tidak sanggup mengalahkan orang Kristen; mengapa? Karena Yesus sudah mengalahkannya terlebih dahulu. Ini membuka satu jalan kemenangan bagi kita, orang-orang pengecut ini, yang tidak bisa berperang sendiri dan yang tidak mungkin menang, yang tahunya cuma ketakutan, ketakutan, dan ketakutan, yang tahunya cuma panik, panik, dan panik. Kita, orang-orang seperti ini, tetap ada pengharapan, tetap ada damai sejahtera, karena apa? Karena Kristus telah mengalahkan dunia. Karena Kristus sudah menang. Inilah sumber damai sejahtera kita.
Sumber damai sejahtera kita bukanlah karena kita kuat, karena kita punya kebajikan-kebajikan, karena kita seperti Yesus, dsb. –bagaimanapun teori-teori peneladanan itu menarik—melainkan karena apa yang Yesus sudah mengerjakan bagi kita. Solus Christus.
Kiranya Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading