Hari ini saya ingin memulai satu seri kotbah yang agak eksperimental, semoga Saudara tidak melihat ini sebagai satu hal yang negatif. Mungkin Saudara datang dengan harapan mendengar pengkotbah yang bisa diprediksi, tapi saya rasa harusnya ada ruang juga untuk kita tidak puas begitu saja dengan yang ada selama ini, lalu terus menggali keragaman dan kelimpahan cara Roh Kudus bekerja. Jadi, kotbah hari ini terdiri dari 2 bagian besar; kotbah dengan cara yang sedikit baru di separuh bagian ke belakang, sementara separuh bagian yang awal saya mulai dengan introduksi mengenai apa yang menjadi semangat dari pendekatan dalam kotbah yang sedikit berbeda ini.
Pertama-tama saya ingin menceritakan lebih dulu pendekatan yang agak eksperimental ini, dan apa alasannya sehingga saya memikirkan hal tersebut. Dalam beberapa minggu terakhir ini, saya menggali beberapa diskusi tentang perbandingan antara bagaimana orang-orang di zaman Alkitab menggunakan Alkitab, dengan cara kita hari ini menggunakan Alkitab. Ada satu tradisi di dalam Alkitab tentang hal ini, yang sepertinya hari ini sudah agak sirna dari tengah-tengah kita, yaitu mereka membaca Alkitab secara keseluruhan, total, sementara penjelasannya justru merupakan hal yang sekunder. Kita hari ini terbalik dengan itu; kita baca sedikit bagian Alkitab, sepotong-sepotong, lalu kita perlu penjelasan yang banyak. Di dalam Alkitab, kita tidak menemukan cara yang seperti ini.
Perlu kita ketahui, pertama kali muncul suruhan dari Tuhan supaya Alkitab dituliskan adalah di Keluaran 17:14 "Tuliskanlah semuanya ini dalam sebuah kitab sebagai tanda peringatan”, atau lebih tepatnya diterjemahkan ‘sebagai sebuah memorial, sesuatu untuk diingat kembali’. Ini perintah pertama di dalam Alkitab yang memerintahkan untuk ditulis, dan ditulisnya sebagai satu memorial, sesuatu untuk diingat kembali. Bagaimana cara diingat kembalinya? Dengan cara dibacakan. Dan yang menarik, yang diperintahkan untuk dituliskan dalam bagian tersebut bukanlah Sepuluh Hukum, melainkan satu cerita tentang Tuhan mengalahkan Amalek lewat bangsa Israel, lewat Musa yang harus menahan tangannya dengan ditopang Harun dan Hur itu. Jadi, yang pertama kali dicatat untuk dicatat adalah sebuah cerita, bukan sebuah prinsip atau doktrin atau perintah praktis mengenai hidup kita, dsb.
Kebiasaan ini muncul terus; dan di Kel. 24:7 ada kisah Musa mengambil kitab perjanjian itu lalu dibacakannya dengan didengar oleh bangsa itu. Selanjutnya dalam Yosua 8:35 dikatakan: Tidak ada sepatah katapun dari segala apa yang diperintahkan Musa yang tidak dibacakan oleh Yosua kepada seluruh jemaah Israel dan kepada perempuan-perempuan dan anak-anak dan kepada pendatang yang ikut serta. Di sini Saudara jangan salah mengerti; yang dikatakan sebagai ‘yang diperintahkan Musa’ (taurat), itu tidak harus dimengerti sebagai perintah dan hukum, karena istilah ‘taurat’ dalam bahasa Ibrani secara sederhana artinya pengajaran –termasuk juga cerita. Dalam Yosus 8 itu juga dikatakan “dibacakannyalah segala perkataan hukum Taurat” (ayat 34) –tradisi seperti yang kita sebut di awal tadi.
Saudara juga menemukan hal ini di 2 Raja-raja 23, salah satu bagian yang paling terkenal, ketika Yosia, raja Yehuda, membuat satu reformasi. Reformasi ini sentralnya adalah dia menemukan gulungan kitab Taurat, lalu ‘Dengan didengar mereka ia membacakan segala perkataan dari kitab perjanjian yang ditemukan di rumah TUHAN itu’ (ayat 2). Ini terus berlanjut di zaman Nehemia dan Ezra. Nehemia 9:2 ‘Sementara mereka berdiri di tempat, dibacakanlah bagian-bagian dari pada kitab Taurat TUHAN, Allah mereka, selama seperempat hari, sedang seperempat hari lagi mereka mengucapkan pengakuan dan sujud menyembah kepada TUHAN, Allah mereka’ –di sini mereka seperempat hari mendengarkan Alkitab dibacakan.
Masuk ke dalam Perjanjian Baru, momen yang dipilih Yesus untuk memulai pelayanan-Nya adalah ketika Kitab Yesaya dibacakan kepada orang-orang di sinagoga tersebut, lalu Tuhan Yesus mengatakan, “Hari ini firman yang kamu dengar telah digenapi”. Dalam kitab Kisah Para Rasul juga ada catatan ketika mereka –misalnya Paulus– diajak masuk ke sinagoga orang Yahudi, lalu sebagai orang baru, dia diundang untuk membacakan kitab suci kepada mereka yang hadir. Para Rasul sendiri dalam surat-suratnya juga meminta agar surat tersebut dibacakan dalam perkumpulan orang Kristen.
Waktu saya menonton film dokumenter mengenai orang-orang Yahudi, satu kali film tersebut menyoroti tentang ibadah mereka. Seandainya dibikin film dokumenter mengenai ibadah orang Reformed di gereja ini, menurut Saudara apa yang kira-kira akan di-highlite? Sudah pasti kotbah, penjelasan tentang Firman Tuhan. Tapi yang menarik, dalam film dokumenter tentang ibadah orang Yahudi tadi, yang jadi pusat adalah pembacaan Alkitab kepada orang-orang yang hadir. Memang seperti dalam kitab Nehemia, bukan cuma pembacaan, tapi juga ada penjelasannya supaya orang tidak salah mengerti –ini cikal bakal ‘kotbah’—tetapi setting yang kita lihat dalam Alkitab, penjelasan tersebut justru sekunder dibandingkan pembacaan Alkitab bersama-sama.
Dalam ibadah kita di sini, kita memang juga membaca Alkitab bersama-sama, misalnya Mazmur; tetapi itu biasanya karena Mazmur gampang dipilah-pilah untuk dibaca sebagai unit-unit kecil, jarang sekali di dalam gereja kita benar-benar membaca satu bagian besar dari Firman Tuhan tanpa berhenti, bahkan bagian yang mungkin tidak terlalu penting baik ada ataupun tidak ada penjelasannya. Di sini kita bisa bertanya-tanya, mengapa dalam Alkitab ada penekanan begitu besar akan pembacaan kitab suci bersama-sama? Apakah semata-mata karena pada waktu itu lebih mudah membacakan dibandingkan menyuruh orang untuk baca, karena memang belum ada percetakan, banyak yang buta huruf, dsb.? Atau memang ada sesuatu yang lebih di sana, yang hari ini kita sudah kehilangan, karena kita sudah jarang punya kesempatan seperti itu?
Seorang teolog mengatakan tentang Gereja hari ini dengan ilustrasi seperti ini: ibaratnya ada satu film panjang seperti trilogi “The Godfather” yang satu filmnya saja 3-4 jam sehingga totalnya 9 jam, orang Kristen hari ini memutar klip-klip yang cuma 2-3 menit dari film tersebut untuk dibahas selama 1 jam. Lalu kalau ada yang mengajak nonton satu film saja, bersama-sama dari depan sampai belakang, itu jadi seperti sesuatu yang tidak masuk akal buat banyak orang Kristen. Beginilah kita menggunakan Alkitab pada hari ini; kita ambil bagian Alkitab sedikit-sedikit –seperti klip yang cuma 2 menit– lalu kita bahas. Akhirnya jarang dari antara kita yang benar-benar menonton filmnya dari depan sampai belakang. Ini aneh. Kalau Alkitab memang satu cerita yang berkelanjutan dari depan sampai belakang, harusnya ada model dan momen dalam hidup kita yang kita menikmati ceritanya, dan bukan cuma menonton klip 2 menit yang dibahas 1 jam.
Hari ini, kebiasaan kita dalam membaca Alkitab jadinya terkunci dalam satu model, yang bisa kita sebut ‘model analitis’. Saudara mungkin pernah mendengar manual cara bersaat teduh, yaitu ada tahap-tahapnya. Pertama, tentu saja Saudara membaca bagian Alkitab, mengamati apa yang Saudara baca. Tahap yang kedua, Saudara menafsir, mengintepretasi, merenungkan apa yang dibaca. Tahap ketiga, Saudara mencari apa aplikasinya bagi kehidupan sehari-hari. Ini model membaca Alkitab yang sangat sering kita gunakan, dan yang kita harapkan setiap pembahasan Alkitab modelnya seperti ini. Ini tidak salah, tapi Saudara bayangkan bahaya apa yang muncul ketika model ini menjadi satu-satunya model dalam kita membaca Alkitab? Jika seperti itu, yang terjadi adalah setiap kali Saudara membaca Alkitab lalu Saudara tidak bisa menemukan apa aplikasinya, Saudara akan merasa ada sesuatu yang salah. Bahkan ketika boro-boro tahu aplikasinya, mengerti yang dibaca pun tidak (ini tahap yang kedua), di situ Saudara langsung merasa ‘ada sesuatu yang salah dengan saya’; atau, Saudara bukan menempatkan kesalahannya pada diri sendiri, tapi menganggap ini bagian yang kering banget, dsb. Tetapi, apakah itu satu-satunya cara kita belajar dari Alkitab? Apakah itu satu-satunya model Alkitab berbicara kepada kita?
Waktu hukum Taurat dibacakan kepada orang Israel di kitab Keluaran, memang mereka berespons “baik, kami akan melakukan apa yang disuruh oleh Tuhan” –respons yang aplikatif, praktis. Yang seperti itu memang ada di Alkitab; tapi bayangkan, ketika kitab Ratapan dibacakan kepada orang Israel, apakah responsnya juga seperti itu? Seandainya kitab Ratapan dibaca dengan model seperti tadi –dibaca, direnungkan, dan cari aplikasinya—bukankah sepertinya tidak terlalu tepat? Ada bagian-bagian Alkitab yang memang bisa diterima sebagai satu prinsip praktis, yang harus kita kerjakan dan taati; tetapi lebih dari itu, ada hal-hal dan pengaruh-pengaruh dari Alkitab yang mungkin datang bukan lewat analisa (analisa menghasilkan poin-poin praktis), tapi juga lewat “menonton” Alkitab, mendengarnya dari depan sampai belakang. Misalnya, kitab Ratapan; apakah pengaruh kitab Ratapan hadir ketika kitab ini dibongkar lalu dikristalisasi, atau justru ketika kita duduk diam dan menonton ratapan tersebut?
Yang saya mau katakan di sini, Alkitab memang bisa diterima sebagai sesuatu yang darinya kita bisa belajar poin-poin untuk kita lakukan, tapi kita juga harus belajar bahwa kadang-kadang Alkitab perlu diterima sebagai sebuah lukisan, sebagai sebuah musik/lagu. Kalau Saudara melihat satu lukisan yang indah, atau yang mengerikan, apa respons yang keluar dari pengalaman tersebut? Tidak harus cuma ‘jadi lukisan ini maknanya bagi hidup saya adalah …” –itu sepertinya jadi agak meleset—tapi Saudara bisa meresponi lukisan tersebut dengan cara yang lain; melihat lukisan itu bisa mempengaruhi dan membentuk hidup Saudara, namun tidak melulu lewat cara analitis praktis tadi, hal itu datangnya sebagai satu respons yang natural.
Contoh tentang film “The Godfather” tadi, ada bedanya antara kita nonton klip yang 2 menit dengan nonton keseluruhan filmnya. Berbeda juga antara kita menontonnya sendirian dibandingkan dengan menonton bersama-sama. Dan inilah pembentukan dari Alkitab yang sepertinya selama ini kita kehilangan, yang Alkitab sebenarnya mau mengisi lewat “pintu” itu tapi kita tidak mengizinkan karena bagi kita itu bukan fungsinya Alkitab. Yang paling bahaya, ketika kita tidak mengizinkan atau tidak menyadari Alkitab juga perlu masuk lewat pintu yang ini, akhirnya dunia yang masuk lewat pintu tersebut, dengan pembentukannya. Waktu Saudara melakukan sesuatu bersama-sama, itu sangat powerful, dan tidak perlu dijelaskan lagi betapa hal itu berdampak bagi Saudara. Hal itu berdampak besar, justru karena Saudara tidak menyadarinya. Dunia kita hari ini –termasuk Saudara dan saya—sudah sangat terlatih menjadi konsumer; kita memang hidup di zaman konsumerisme. Pertanyaannya: bagaimana dunia membentuk Saudara dan saya menjadi seorang konsumer? Apakah karena waktu kita ke mal, pegawai-pegawai mal itu membagikan traktat, yang isinya segudang doktrin dan poin-poin penting mengenai konsumerisme, atau langkah-langkah praktis untuk menjadi seorang konsumer? Tentu saja tidak. Kita tahu dengan jelas, mal dan konsumerisme hari ini sangat membentuk kita –Saudara bisa setuju dengan kalimat berikut ini: “Dulu manusia menciptakan mal, sekarang mal menciptakan manusia”–tapi lewat mana mal dan segala macam konsumerisme itu masuk? Mereka masuk melalui pintu, yang selama ini kita tidak berikan akses kepada Alkitab. Masuk lewat pintu “lukisan” yang tadi itu. Inilah mungkin yang selama ini kita kehilangan, ketika Alkitab hanya kita analisa, kita praktika-kan, tapi bukan diceritakan. Ini satu hal yang saya ingin beritahukan, sementara dunia akhirnya mengisi kita terus-menerus lewat pintu yang itu.
Ada satu ilustrasi dari Tim Keller mengenai hal ini. Hari ini sepertinya makin banyak orang yang menganggap jalan hidup LGBT sebagai sesuatu yang valid. Mengapa bisa begitu? Karena pengaruhnya bukan datang lewat traktat, tapi dari gaya hidup yang kita lakukan bersama-sama dengan orang-orang lain di dunia ini. Tim Keller memberi ilustrasi melalui cerita fiktif berikut ini: ada seorang pria zaman Viking, sekitar tahun 1100-an, dia mengatakan kepada dirinya, “Saya seorang pendekar, maka kalau saya bertemu seorang laki-laki dan saya bunuh dia, itu sesuatu yang sangat positif bagi saya; itulah diriku!” Dan sebagai pendekar, kalau dia bertemu seorang laki-laki lalu seperti ada ‘perasaan’ dengan laki-laki tersebut, dia akan mengatakan pada dirinya, “Huh! Tidak mungkin saya jatuh cinta sama cowok, saya seorang pendekar! Dan pendekar itu pasangannya dengan cewek!” Sekarang bandingkan dengan seorang pria pada hari ini yang lahir dan tinggal di New York. Kalau pria ini merasakan kebencian yang besar terhadap orang lain, dia akan mengatakan, “Saya tidak boleh bunuh dia, membunuh itu salah, ini zaman beradab. Saya tidak boleh bunuh dia, dan dia tidak boleh bunuh saya; itu sesatu yang negatif.” Dan, ketika dia bertemu seorang pria lain lalu punya perasaan-perasaan tertentu terhadap pria itu, maka orang ini akan mengatakan, “Inilah saya. Zaman ini adalah zamannya orang boleh saja explore gaya hidup seperti ini.” Saudara, jadi apa yang berbeda di sini? Baik si pria Viking maupun si pria New York, mereka sama-sama punya “perasaan” terhadap sesama jenis, juga sama-sama punya perasaan benci terhadap musuhnya, tetapi mengapa si pria Viking menghadapinya dengan cara yang begitu berbeda dengan si pria New York? Dari mana pengaruh itu muncul? Mengapa orang bisa dibentuk seperti itu? Bukan karena traktat, bukan karena analisa, bukan karena adanya langkah-langkah tertentu untuk jadi orang yang pro-LGBT atau pro-warrior atau apapun lainnya. Hal itu datangnya lewat cerita yang terus-menerus digaungkan, terus-menerus diberitakan, dan lewat kita melakukannya bersama-sama semua orang di seluruh dunia, lewat konteks/lingkungan di mana kita hidup, tempat yang kita datangi, habit yang kita lakukan, dsb.
Satu contoh lagi, saya pernah mendengar kesaksian seseorang, yang sekarang teolog terkenal, James Smith. Dia cerita, waktu masih remaja dia introvert, dia tidak terlalu bisa merasa “masuk” dalam acara-acara gereja yang happy-happy, acara-acara yang modelnya seakan-akan jadi orang Kristen berarti jadi orang yang happy all the time, yang bisa serta-merta bersuka cita, nyanyi lagu dengan semangat, dsb. Dan dia merasa –saya yakin bukan cuma dia, tapi ada banyak anak remaja yang juga introvert, yang juga mungkin mereka merasakan– ‘bagaimana saya jadi orang Kristen, ya?? kayaknya gambaran orang Kristen itu selalu seperti begini?? yang bisa ikut games dengan senang, yang bisa masuk ke komunitas dengan begitu mudah, yang selalu happy clappy all the time itu??’ Untungnya, satu hari seseorang memberikan kepada James Smith, “Book of Common Prayer” dari tradisi Anglikan, buku pengajaran Alkitab yang di-intisarikan menjadi doa-doa yang boleh dia doakan sepanjang tahun. Hari itu seperti momen matahari mulai bersinar di dalam hidupnya, ketika dia menyadari bahwa ada caranya menjadi orang Kristen tanpa harus jadi ekstrovert, yang dia merasa tidak bisa sama sekali.
Bagaimana gambaran Saudara mengenai orang Kristen yang ideal pada hari ini? Biasanya itu adalah orang-orang yang bisa happy all the time, selalu bisa ikut games, selalu bisa bersuka cita bersama-sama siapapun yang ditemui di gereja, dsb. Pertanyaannya, dari mana gambaran itu dibentuk? Tentu bukan dari traktat, kita tidak pernah mengajarkan seperti itu; itu datangnya dari indra Saudara, dari Saudara melihat, dari kebersamaan itu. Saudara melihat di sini begitu, di sana begitu, di semua tempat kayak begitu, lama-kelamaan Saudara ambil itu sebagai kebenaran dengan tanpa mempertanyakan dan mungkin tanpa sadar. Ini impact-nya besar sekali; dan ini pintu yang mungkin selama ini kita tutup terhadap Firman Tuhan, karena Alkitab bagi kita hari ini jadi sesuatu yang pokoknya untuk direnungkan 2 klip-2 klip dan harus ada nyambungnya dengan kehidupan ‘saya’, bukan suatu tindakan bersama-sama yang kita lakukan bersama-sama dan kita menerimanya bersama-sama.
Saya bukan mengatakan cara yang analitis dan praktis itu sama sekali salah. Saya juga bukan sedang menaikkan model yang baru ini sebagai ‘kata terakhir’ cara pembentukan Roh Kudus dalam hidup kita, tapi saya rasa ada sesuatu yang hilang dalam Kekristenan kalau kita tidak punya aspek yang ini. Bahkan ada bahaya kalau kita tidak menyadari ada pembentukan dalam level yang ini, karena kalau kita tidak membentuk jemaat dalam level yang ini, maka dunia yang akan masuk membentuk kita lewat hal itu.
Itulah introduksinya. Dan hari ini saya ingin mencoba berkotbah kepada Saudara satu bagian Alkitab, tapi tujuannya bukan untuk memberikan satu kesimpulan doktrinal, juga bukan untuk memberikan kepada Saudara satu aplikasi, melainkan untuk membuat Saudara mendengar bersama-sama satu cerita dalam Alkitab, dan membiarkan cerita/gambaran/lukisan itu membangkitkan dalam diri Saudara satu respons yang natural, seperti yang Saudara alami ketika melihat mal, melihat iklan burger, atau menonton satu film. Hal itu yang mungkin agak hilang dalam hidup kita hari ini sebagai orang Kristen. Dalam hal ini tentu saja pertama-tama ada keterbatasan dari berbagai pihak; keterbatasan dari pihak saya yang tidak terbiasa berkotbah dalam mode seperti ini, dan juga ada keterbatasan karena pengaruh konsumerisme yang masuk lewat indra kita, lewat habit kita bersama-sama setiap hari. Harapan saya, kotbah hari ini bisa mejadi satu langkah –langkah yang mungkin super kecil—dalam kita memberikan Alkitab kesempatan untuk membentuk kita lewat pintu yang selama ini kita tutup.
Kita membaca dari Markus 15: 33-41; hari ini saya ingin mengajak Saudara melihat Yesus dari mata Maria Magdalena, dan kita akan coba menceritakan semua hal ini.
Semasa Yesus hidup di dunia, Dia mempunyai 2 macam pengikut. Macam yang pertama, yaitu mereka yang bersama-sama menyertai Yesus ketika Ia berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, berkotbah dan menyembuhkan orang; mereka inilah yang pada akhirnya menyertai Yesus dalam perjalanan terakhir-Nya ke Yerusalem. Tapi dari seluruh Injil, kita tahu ada juga murid/pengikut Yesus yang macam kedua. Mereka ini bukan ikut menyertai Yesus, tapi tinggal di rumahnya sendiri, misalnya keluarga di Betania yaitu Maria, Marta, dan Lazarus. Mereka tidak bepergian mengikuti Yesus, tapi waktu Yesus datang, mereka membuka pintu rumahnya dan menerima Yesus.
Kita akan menyoroti murid-murid kategori yang pertama, yaitu yang menyertai Yesus ke mana pun Ia pergi. Tentunya Saudara di sini langsung mengatakan bahwa mereka itu adalah 12 murid Yesus, orang-orang yang Yesus pilih sendiri untuk mewakili angka simbolik dari 12 suku Israel. Tetapi bukan hanya 12 murid ini yang mengikuti Dia ke mana-mana –yang semuanya laki-laki– melainkan ada juga murid-murid wanita yang ikut menyertai Dia sejak dari Galilea, mengelilingi daerah Palestina bersama Dia, lalu juga menyertai Dia datang ke Yerusalem pada perjalanan terakhir ini. Kita hanya tahu 7 nama dari mereka (bukan hanya dari bagian ini tapi termasuk dari bagian-bagian Injil yang lain, misalnya Lukas 8 dan Yohanes 19), dan kita perlu mengingat mereka, karena 7 wanita ini jarang mendapat spotlight dibandingkan 12 murid pria itu. Yang pertama, Maria ibu Yesus sendiri. Ada juga Maria yang lain, yangmenurut tradisi adalah bibinya Yesus, istri dari Klopas, saudara Yusuf. Ada juga Yohana, seorang wanita bangsawan, istri dari bendaharanya Herodes; kemudian Susana, Salome, Maria ibu Yakobus dan Yoses, dan Maria Magdalena. Kita tidak tahu banyak mengenai mereka, seperti juga banyak dari 12 murid pun yang kita tidak tahu apa-apa tentang mereka. Satu hal yang kita tahu, ketujuh wanita ini hadir dalam peristiwa penyaliban, sementara dari 12 murid Tuhan Yesus yang laki-laki hampir tidak ada seorang pun yang datang.
Dari ketujuh wanita ini, kita paling banyak membaca mengenai Maria ibu Yesus; dan urutan berikutnya adalah Maria Magdalena. Banyak orang Kristen beranggapan Maria Magdalena ini seorang pelacur, tapi Alkitab tidak pernah mengatakan atau mengindikasikan demikian. Jadi apa yang bisa kita ketahui mengenai dia? Kalau kita sedikit tahu mengenai dia, mungkin kita lebih bisa membayangkan dengan lebih jelas, seperti apa Tuhan Yesus yang dilihat lewat mata Maria Magdalena ini.
Seperti juga banyak dari murid-murid Yesus, Maria Magdalena berasal dari Galilea, dari desa Magdala (itu sebabnya disebut Maria Magdalena). Injil memberitahu kepada kita bahwa dia tadinya dirasuk roh jahat. Perlu diketahui juga, kasus-kasus kerasukan di Perjanjian Baru sedikit berbeda dari yang kita lihat pada hari ini. Kalau kita melihat kasus-kasus kerasukan di Perjanjian Baru, kita tidak mendapati bahwa Alkitab mengatakan orang yang kerasukan itu sebagai orang yang berdosa besar; banyak dari mereka hanyalah orang normal yang ditindas di bawah kuasa jahat. Mereka tidak disebutkan sebagai orang fasik atau semacamnya. Juga tidak disebutkan Yesus mengampuni mereka, melainkan menyelamatkan mereka, membebaskan mereka dari roh-roh jahat. Maria dari Magdala adalah salah satunya. Dia dulu dirasuk 7 roh jahat; ini mungkin angka simbolik, yang mengungkapkan betapa totalnya kontrol kuasa gelap atas diri Maria. Mungkin ini berarti Maria Magdalena benar-benar kehilangan segala kontrol atas dirinya. Mungkin ini berarti orang-orang yang mengenal dia sudah tidak bisa melihat sedikit pun sisa diri Maria sebagaimana yang mereka kenal, pada dirinya yang kerasukan; seakan-akan ada sesuatu yang lain, yang mengambil alih hidup Maria Magdalena secara total. Mungkin ini berarti suaranya berubah, tatapannya berubah, dsb.. Kita tidak mau membicarakan fenomenanya, tapi yang lebih penting di sini, bahwa kemudian Yesus hadir dalam kehidupan Maria Magdalena. Dia menyelamatkan Maria Magdalena. Dia membebaskan dan memulihkan. Itu sebabnya Maria Magdalena menjadi salah satu murid/pengikut Yesus.
Di bagian ini, coba kita bayangkan sedikit, bagi Maria Magdalena kira-kira apa maknanya menjadi pengikut Yesus? Mungkin, ketika roh-roh jahat itu meninggalkan dirinya, rasanya seperti seorang tahanan yang akhirnya menghirup kebebasan; dirinya yang selama ini mendekam di sebuah sel sempit dan gelap total, sekarang boleh masuk ke dalam terang, yang bukan cuma menerangi dirinya tapi juga menerangi segala sesuatu yang sekarang dia bisa lihat. Sekarang dia masuk ke dalam suatu terang, yang dia bisa melihat bahwa segala sesuatu di sekitar hidupnya adalah anugerah Tuhan dan kebaikan Tuhan. Mungkin itulah sebabnya dia mengikut Yesus, yaitu karena dia percaya bahwa terang yang masuk dalam hidupnya ini cuma suatu cicipan, suatu fajar yang akan meledak jadi terang yang besar, bukan cuma dalam hidupnya tapi meledak ke dalam seluruh ciptaan. Bukan cuma akan menerangi dan mengusir kegelapan dari hidupnya seorang, tapi terang yang akan menjangkiti seluruh ciptaan dan mengusir seluruh kegelapan alam yang sudah rusak ini. Mungkin itulah yang Maria Magdalena rasakan ketika dia dibebaskan oleh Tuhan Yesus, dan menggerakkan dia untuk mengikut Tuhan Yesus. Dan itulah yang memang dia lihat, karena ke mana pun Yesus pergi, terang dibawa masuk. Bagi mereka yang sakit, kesembuhan. Bagi mereka yang dirasuk roh jahat, kebebasan. Bahkan bagi mereka yang mati, kehidupan. Ke mana pun Yesus dan murid-murid-Nya pergi, kegelapan seakan mundur beberapa langkah, dan terang fajar semakin menguasai hari. Ke mana pun Yesus dan murid-murid-Nya pergi, penjara-penjara Iblis, kekerasan, kerusakan, didobrak, dan tawanan berduyun-duyun keluar. Kuasa penindasan Iblis dikalahkan oleh perintah Yesus yang berkuasa. “Sungguh” –mungkin Maria Magdalena mengatakan—“Kerajaan Allah sudah hadir”. Mungkin itu maknanya menjadi pengikut Yesus, berjalan menyertai Yesus. Tapi sekarang, apa kira-kira maknanya bagi Maria Magdalena ketika dia berdiri di kaki salib Tuhan Yesus, di hadapan Yesus yang tersalib? Bukankah kegelapan itu kembali, seperti kanker yang kembali setelah remisi??
Kita tahu, di Golgota kegelapan banar-benar turun meliputi daerah itu. Tapi, kegelapan yang di luar tersebut, tidak bisa dibandingkan dengan kegelapan yang masuk ke dalam hati Maria Magdalena. Saudara bisa bayangkan betapa tragis, bahkan ironisnya, momen ini bagi Maria Magdalena. Maria melihat Dia, yang bagi-Nya Maria Magdalena telah memberikan hidupnya, telah direnggut. Dia yang adalah puncak segala harapannya, sekarang dihancurkan. Dia yang telah mengalahkan kuasa jahat dari hidupnya, sekarang dikalahkan oleh kuasa jahat. Dia yang telah membebaskan Maria dari segala kekerasan dan penindasan, sekarang Sendirinya menderita kekerasan dan penindasan. Bagi Maria Magdalena, fajar yang dilihatnya selama ini, ternyata mungkin sebuah fajar palsu, karena dalam momen di kaki salib Tuhan Yesus ini kegelapan telah kembali untuk menelan seluruh ciptaan, seperti semula. Kegelapan yang Maria Magdalena alami di Golgota ini bahkan lebih mengerikan dibandingkan kegelapan yang dulu dialaminya di bawah kuasa 7 roh jahat, karena kegelapan yang sekarang ini bukan lagi kegelapan yang bersifat pribadi bagi dirinya sendiri, melainkan kegelapan Yesus. Dan, kalau Yesus bisa mengalami kegelapan, apa harapannya bagi seluruh dunia??
Kita sering menyanyikan lagu “Pandanglah pada Yesus”, di situ ada kalimat yang mengatakan ketika kita memandang kepada terang-Nya, maka dunia ini menjadi redup dan redup dibandingkan terang tersebut. Tetapi sekarang Yesus sendiri masuk ke dalam kegelapan, apalagi dunia?? Ini bukan hanya kegelapan yang berlaku sekarang, tapi suram sekali karena ini adalah kegelapan untuk masa depan. Bagi Maria Magdalena, ini bukan cuma berarti tidak ada harapan buat dirinya, tapi tidak ada harapan bagi seluruh dunia. Terang itu meredup dan meredup, sementara dia melihat Yesus terus sekarat. Dan makin meredup ketika dia mendengar ejekan musuh-musuh Yesus; mereka berteriak “Orang lain Dia selamatkan, tapi diri-Nya sendiri tidak bisa Da selamatkan!”, kalau begitu, Dia tidak bisa lagi menyelamatkan orang lain –sedikit banyak Maria Magdalena tidak bisa membalas kalimat tersebut. Dan pada akhirnya terang itu padam, kegelapan kembali meliputi ciptaan.
Tetapi waktu kita berdiri bersama-sama dengan Maria Magdalena di kaki salib Tuhan Yesus, kita tidak bisa hanya membayangkan nuansa tandus seperti itu; kita perlu menyadari juga bahwa Maria Magdalena bertahan sampai akhir, sebagai murid Yesus yang setia. Dia bertahan di dalam kegelapan dan ketandusan itu. Dia tidak berdaya, tapi dia tetap bertahan. Dia bertahan dalam situasi yang membuatnya tidak tahan. Dia terus menunggu di kaki salib ketika murid-murid pria yang sok macho menghunus pedang itu melarikan diri semua. Maria Magdalena memilih untuk bertahan dalam kegelapan. Bertahan ketika semua harapan telah sirna. Bertahan ketika semua harapan akan datangnya penghiburan, telah habis. Ini berarti dia bertahan di kaki salib Yesus bukan demi alasan lain selain dari kesetiaannya kepada Yesus, yang telah mengasihinya. Dan karena dia bertahan dalam kegelapan, ikut mengiringi tubuh Yesus ke dalam kubur, bahkan kesetiaannya membuat dia kembali ke kubur pagi-pagi lalu mengalami kekecewaan yang lebih dalam lagi karena menemukan tubuh Yesus telah diambil entah oleh siapa, karena itu semua—karena dia bertahan dalam pupusnya harapan, karena dia bertahan dalam kegelapan– maka ketika fajar Paskah tiba, Maria dari Magdala masih tetap bertahan di sana. Dan dia menjadi salah satu, bahkan orang pertama yang menjumpai Yesus yang bangkit dalam terang kebangkitan.
Harapan Maria tidak salah, sungguh fajar yang ia saksikan hadir dalam hidupnya, memang benar adalah fajar bagi seluruh ciptaan. Memang benar ternyata, bahwa kebebasan yang ia alami oleh Yesus, adalah cicipan dari kebebasan besar yang akan diberikan bagi semua manusia dan bagi seluruh ciptaan, dari kuasa gelap. Tapi yang baru sekarang Maria Magdalena sadari adalah: demi membawa terang, Yesus sendiri harus masuk ke dalam kegelapan; untuk membawa kebebasan, Yesus sendiri harus masuk melalui penindasan. Jadi yang riil dalam kehidupan Yesus bukan hanya terang dan pengharapan, tapi juga kegelapan dan belenggu. Yesus sungguh-sungguh bertahan dalam semua kegelapan itu. Allah Bapa meninggalkan Yesus dalam kematian; “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”
Kegelapan di Golgota bukan hanya kegelapan di dalam hati Maria Magdalena. Kegelapan yang Maria Magdalena alami adalah kegelapan diri Yesus. Bukan cuma Maria Magdalena yang bertahan menyertai Yesus dalam kegelapan-Nya, tetapi Yesus-lah yang ternyata dengan rela dan setia masuk dan bertahan dalam kegelapan seluruh ciptaan. Demi apa? Demi terang dan kebangkitan boleh masuk ke dalam seluruh ciptaan. Inilah misteri keselamatan, bahwa Yesus bukan mengusir kegelapan dengan satu kata Firman sebagaimana dalam penciptaan, Yesus mengusir kegelapan secara total dengan cara justru melangkah masuk secara total ke dalam kegelapan. Dia mati tanpa harapan, supaya kita yang tanpa harapan ini boleh disatukan, boleh bertemu dengan Dia, dalam kebangkitan-Nya.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading