Pembicaraan tentang ‘hormat’ atau ‘kemuliaan’ di dalam kehidupan manusia merupakan salah satu bagian yang penting, apalagi dalam kebudayaan Timur sangat mementingkan ‘hormat’ ini (terjemahan bahasa Inggris dipakai kata ‘honor’ atau ‘glory’). Kita seringkali mengaitkan kebutuhan untuk dihormati dengan dignitas diri. Orang mencari hormat dengan berbagai macam sarana; dan sarana ini mungkin sebetulnya bukan tujuan/goal dalam kehidupannya, hanya semata untuk bisa mendapatkan hormat dari orang lain. Orang mencari kekayaan karena dia pikir dengan kekayaanlah dia akan mendapatkan hormat dari manusia (sesamanya). Mungkin juga bukan soal kekayaan, orang seringkali juga pasang ‘status’ begini begitu di facebook untuk bisa lebih mendapatkan hormat dari orang lain (kalau zaman dulu pasang foto sedang jabat tangan dengan presiden atau jendral ini itu di ruang tamu). Kita mengaitkan ‘hormat’ dengan dignitas atau kewibawaan, bahkan mungkin juga dengan identitas; lalu di sini kita membaca Yesus yang adalah manusia sempurna, manusia sejati sama seperti kita, mengatakan kalimat: “Aku tidak memerlukan hormat dari manusia” (ayat 41).
Dalam hal ini kembali saya tekankan, ada banyak kalimat yang dikatakan Yesus yang kita bisa menghayatinya dari perspektif kemanusiaan-Nya, bukan hanya dari perspektif keilahian-Nya. Maksudnya begini, akan jadi alasan/ dalih yang tidak berguna kalau kita tafsir: Ya, pastilahYesus tidak memerlukan hormat dari manusia karena Dia sendiri Tuhan; tapi kita ini manusia, kita perlu itu. Tafsiran yang keliru. Justru yang mau dikatakan adalah: karena Yesus –yang adalah manusia sejati– tidak memerlukan hormat dari manusia, maka kita sebagai manusia harusnya mengikuti Yesus, yang adalah manusia juga. Ini aplikasi langsung. Dalam bagian lain Yesus mengatakan “Barangsiapa melayani Aku, dia dihormati oleh Bapa”. Sama dengan itu, Yesus tidak memerlukan hormat dari manusia karena Dia sendiri bukan mencari hormat itu dari manusia,melainkan mendapatkannya dari Bapa-Nya. Kehormatan yang diberikan Bapa kepada Sang Anak itu cukup, bukan kehormatan yang masih perlu ditambah-tambahkan oleh manusia.
Ini tentu saja juga tidak bisa ditafsir ‘kalau begitu kita tidak perlu menyembah Dia dong, ‘kan Yesus sendiri mengatakan seperti itu’. Dalam terjemahan bahasa Inggris (ESV, NASB) dikatakan: “I do not receive glory from people/men”; terjemahan ini lebih sulit lagi karena seakan kalau begitu kita do not need to glorify Him karena katanya Yesus tidak menerima glory dari manusia (people/men). Pastinya bukan itu yang dimaksud, melainkan dalam pengertian Yesus tidak membutuhkan hormat itu (persis seperti dalam terjemahan bahasa Indonesia), bukannya kita tidak boleh memberi segala kemuliaan kepada Yesus yang adalah Allah. Ini konsisten dengan kalimat sebelumnya yang mengatakan bahwa Yesus tidak memerlukan kesaksian manusia, kesaksian dari Bapa-Nya itu cukup, tapi toh kesaksian dari manusia ada juga (dari Yohanes Pembaptis,murid-muridnya, dll. ).
“I do not receive glory from people” –Saya tidak perlu menerima hormat dari manusia itu– tidak seperti dewa-dewa palsu itu. Dalam mitos Yunani, dewa-dewa Yunani sangat memerlukan hormat dari manusia karena jika manusia tidak menyembah mereka, kalau dewa-dewa itu tidak dihormati, tidak dibuatkan kuil, tidak ada pengikutnya, dsb. maka kekuatannya jadi memudar dan lama kelamaan jadi lemas. Konsep seperti ini bagi kita konyol, tapi inilah konsep yang lebih established; sebaliknya konsep yang di dalam Alkitab justru tidak biasa. Koq bisa ya, bukankah dewa membutuhkan manusia, manusia membutuhkan dewa; saling membutuhkan?? Jawabannya: tidak. Manusia yang selalu membutuhkan Tuhan, Tuhan tidak pernah membutuhkan manusia.
Dalam kebudayaan Timur dengan honor and shame culture-nya yang sangat terkenal, seiring dengan beranjaknya usia makin tua kita bisa makin sensitif kalau tidak dihormati. Hati-hati dengan sindrom senioritas ini. Orang yang belum terlalu tua tapi sensitif kalau orang tidak menghormati, dia itu jiwanya tua sekali. Orang jadi sensitif kalau tidak dihormati, karena dia menaruh dignitas dirinya pada kehormatan yang dari manusia. Tapi Yesus bebas dari kebutuhan dihormati manusia, Yesus tidak dipenjarakan oleh gila hormat itu. Kalau Yesus sensitif di dalam bagian ini, Dia bisa depresi karena kehidupan pelayanan-Nya diwarnai penolakan demi penolakan, orang tidak menghormati-Nya, dsb. Yesus tetap melayani mereka, mengasihi mereka, mengajar mereka, karena Yesus memang tidak memerlukan hormat dari manusia. Bukan berarti kalau orang menghormati lalu kita buang muka, karena Yesus pun tidak demikian, melainkan bahwa motivasi kehidupan-Nya bukan diarahkan untuk mendapatkan hormat dari manusia, sebab hormat itu datang dari Bapa. Dan Alkitab mengatakan barangsiapa melayani Yesus, dia dihormati oleh Bapa. Dignitas itu datang waktu kita melayani Tuhan.
Saya bukan mengatakan karena orang tidak memerlukan hormat dari manusia, berarti semua kehormatan manusia itu sama. Tidak begitu. Alkitab tidak mengajarkan itu. Kehormatan setiap manusia jelas tidak sama, di dalam hal ini. Yesus mengatakan “Barangsiapa melayani Aku, dia dihormati oleh Bapa”; perhatikan: yang melayani Yesus yang dihormati oleh Bapa. Di sini kita bicara tentang ‘hormat’ dalam pengertian yang spesifik; dan waktu kita mau membedakan siapa yang lebih dihormati, itu tidak berarti diskriminasi, karena hormat itu suatu konsep nilai. Di situ tidak bisa tidak ada penilaian. Dalam hal ‘mengasihi’, kita musti mengasihi semua orang; table fellowship itu untuk semua orang; hospitable itu untuk semua orang. Tapi ‘menghormati’ tidak bisa equal kepada semua orang, Bapa pun tidak equal menghormati setiap orang, barangsiapa melayani Anak, Dia dihormati oleh Bapa. Dalam hal ini kita tidak bicara ‘kehormatan’ dalam pengertian general –dalam pengertian yang umum tentu saja semua manusia, siapapun dia, punya dignitas karena diciptakan menurut gambar rupa Allah sehingga ada kehormatan itu di dalam dirinya– tapi di sini kita bicara hormat dalam pengertian yang lebih khusus.
Waktu kita hidup di dalam dunia, kita juga tidak bebas dari pencobaan mencari hormat, sehingga kalau kita mengarahkan hidup kita pada kebutuhan hormat dari manusia ini, fokus kita bisa bergeser. Kita akan mencari aktifitas-aktifitas –kalau dalam gereja pelayanan-pelayanan– yang bisa lebih mendapatkan hormat daripada yang kurang mendapatkan hormat. Banyak orang lebih mau tampil di depan karena lebih ada hormat, tidak tertarik melakukan bagian yang tidak ada yang melihat. Saya bukan mengatakan semua orang yang tampil di depan itu gila hormat, karena tidak tentu juga, tapi waktu kita dikendalikan oleh ‘mencari hormat dari manusia’ maka kehidupan kita gampang sekali bergeser. Gereja juga tidak kebal dari penyakit ini; ada pekerjaan-pekerjaan yang kelihatan bisa lebih dipuji, dan kita tergoda untuk lebih mengerjakan pekerjaan seperti itu sehingga kita akhirnya bergeser waktu menjalankan panggilan Tuhan. Begitu juga dalam kehidupan pekerjaan Saudara sehari-hari; kalau kita mencari hormat dari manusia, kita bisa bergeser dari panggilan kita lalu membenci pekerjaan-pekerjaan yang seperti kurang diakui manusia. Memang tentu perlu ketekunan waktu mengerjakan ini; dan di sini Yesus adalah model dalam kehidupan kita. Waktu hidup di dunia, Yesus juga punya perseverance, tidak memerlukan hormat dari manusia karena hormat/kemuliaan itu adalah dari Bapa.
Kemudian di ayat 42 disambung dengan kalimat “Tetapi tentang kamu, memang Aku tahu bahwa di dalam hatimu kamu tidak mempunyai kasih akan Allah.” Ini seakan bergerak ke kategori yang lain, mengapa mereka tidak memberi hormat kepada Yesus. Kalau kita baca keseluruhan konteks, pergerakannya adalah: memang Yesus tidak membutuhkan hormat dari manusia, tapi seharusnya mereka menghormati Yesus, dan nyatanya mereka tidak memberi hormat kepada Yesus, tidak memuliakan Yesus, tidak menerima-Nya; dan Yesus mengatakan kalimat tadi. Jadi di sini asimetris: dari sisi manusia, jangan gila hormat dari manusia karena hormat itu datang dari Bapa, dan Bapa memberi hormat kepada mereka yang melayani Anak; tapi di sisi kita, kita musti belajar untuk menghormati orang lain. Dalam Kekristenan banyak asimetri seperti ini. Saudara mungkin mengatakan ‘tidak adil kalau kayak begitu, saya tidak perlu hormat tapi musti menghormati orang lain, lama-lama garing dong, capek musti menghormati terus’. Tapi waktu Saudara melihat kehidupan Kristus, Saudara akan mendapatkan asimetri yang sama, jadi kita mengikut Yesus saja. Orang-orang sezaman Yesus tidak menghormati Dia padahal harusnya mereka menghormati, meskipun Yesus tidak memerlukan hormat dari mereka. Pertanyaannya: mengapa mereka tidak menghormati Yesus? Kata Yesus: “di dalam hatimu, kamu tidak mempunyai kasih akan Allah”.
Ada kaitan sangat erat antara love and respect. Ada satu buku tentang pernikahan dengan prinsip sangat biblikal, “Love and Respect”, penulisnya Dr. Eggerich. Buku ini bicara tentang perbedaan antara kebutuhan pria dan kebutuhan wanita, kebutuhan suami dan kebutuhan istri. Alkitab mengatakan “hai suami, kasihilah istrimu”, lalu “istri-istri, hormatilah suamimu”; jadi kebutuhan pria adalah kehormatan dan kebutuhan wanita adalah cinta/kasih. Ada perbedaan di sini. Ini tentu bukan berarti ‘kalau begitu suami sama sekali tidak membutuhkan cinta, cuma perlu respek’, karena istri juga harus belajar mengasihi suami. Ketika Alkitab mengatakan perbedaan yang khusus ini, bukan untuk dimengerti secara kapling-kapling, tapi mungkin mirip di dalam pengertian Tritunggal waktu kita mengatakan “ketiga Pribadi itu mencipta, ketiga Pribadi itu menebus, ketiga Pribadi itu mewahyukan” dan juga bisa mengatakan “ Bapa mencipta, Anak menebus, Roh Kudus mewahyukan”. Waktu kita katakan ‘Roh Kudus mewahyukan’ bukan berarti Bapa tidak mewahyukan sama sekali; dan sama seperti itulah waktu kita katakan ‘kebutuhan wanita dikasihi, kebutuhan pria dihormati’. Setidaknya dari prinsip firman Tuhan itu, ada kaitan tidak terpisahkan antara hormat dan kasih, kasih dan hormat. Keduanya bukan bertentangan apalagi berseberangan, melainkan tidak bisa dipisahkan.
Yesus mengatakan: “di dalam hatimu, kamu tidak mempunyai kasih akan Allah”. Waktu seseorang tidak mempunyai kasih kepada Allah, dia akan cari hormat bagi dirinya sendiri –alias gila hormat– atau dia tidak sanggup untuk menghormati yang pertama Tuhan, berikutnya sesama manusia. Kasih itu mencakup banyak hal, termasuk juga respek. Waktu kita mengasihi, kita menghormati. Kita menghormati karena kita mengasihi. Waktu seseorang tidak bisa respek orang lain, itu sebetulnya menyatakan di dalam hatinya mungkin kurang cinta kasih akan Allah, karena orang yang mengasihi Allah tahu bagaimana menghormati dan dibebaskan dari mencari hormat bagi diri. Yesus dipenuhi akan kasih Allah –kasih Bapa-Nya– dan Dia tidak mencari hormat dari manusia. Dia bebas dari itu, karena kasih dari Bapa-Nya cukup. Saudara dan saya diundang untuk masuk dalam kehidupan yang seperti ini, kehidupan yang tidak mencari hormat, kehidupan yang bisa berfokus untuk menghormati/memuliakan Tuhan, karena kita tidak mencari hormat bagi diri kita sendiri.
Ayat 43: “Aku datang dalam nama Bapa-Ku dan kamu tidak menerima Aku; jikalau orang lain datang atas namanya sendiri, kamu akan menerima dia”. Inilah kalau orang tidak ada kasih akan Allah di dalam hatinya, dia jadi bisa salah menerima orang, salah memberi hormat, salah mengagumi, salah ikut orang. Yesus datang, tidak diterima; tapi orang lain datang atas namanya sendiri –maksudnya mencari hormat bagi dirinya sendiri– lalu kamu menerima dia. Inilah gambaran dunia kita. Dunia kita bersaing untuk dapat hormat paling tinggi lalu semua orang ikut dia, dan kalau kita tidak ikutan menghormati, kita bisa celaka, jadi kita musti baik-baik cari muka kepada orang yang terhormat. Kita insecure kalau tidak ikut menerima dia, kehidupan kita jadi berantakan kalau tidak menghormati orang yang terhormat itu, kemudian semua basa-basi dikerahkan ke sana. Inilah yang menjadi musuh Kekristenan, ketika kita akhirnya tidak bisa peka terhadap orang-orang yang sederhana. Kita cenderung tunduk-tunduk kepada orang yang penting, tapi kita tidak punya kepekaan untuk menghormati orang yang biasa. Inilah dunia yang menghasilkan manusia-manusia oportunis, manusia yang tidak bisa berelasi dengan bebas. Mengapa? Alkitab mengatakan: “di dalam hatimu kamu tidak mempunyai kasih akan Allah”. Dan akhirnya kacau; Yesus datang, Dia ditolak; pengajar-pengajar palsu yang mempermuliakan diri datang, mereka diterima, dan hidup orang Israel seperti sangat bergantung kepada pemimpin-pemimpin agama itu. Kalimat ini, “Aku datang dalam nama Bapa-Ku dan kamu tidak menerima Aku; jikalau orang lain datang atas namanya sendiri, kamu akan menerima dia”, sebetulnya kalimat teguran, kalimat deskripsi yang menyatakan kerusakan dunia kita, kerusakan lingkungan Saudara dan saya sampai sekarang; tidak ada yang berubah.
Ayat 44: “Bagaimanakah kamu dapat percaya, kamu yang menerima hormat seorang dari yang lain dan yang tidak mencari hormat yang datang dari Allah yang Esa?” Kalimat ‘bagaimana kamu dapat percaya’ artinya ini menghalangi kepercayaan kita kepada Allah, merusak iman, yaitu waktu kita gila hormat satu dengan yang lain, kita menerima hormat seorang dari yang lain, kita mencari hormat bagi diri kita sendiri dari manusia bukan dari Allah yang Esa, dan kita menikmati kehidupan seperti itu. Lalu kita mengatakan ‘saya menghormati atasan saya dan musti tunduk-tunduk, tidak apa, asal tahu saja saya menuntut hormat dari bawahan saya’; jadi mirip sistem perploncoan. Di dalam kebudayaan kita, ada banyak hal kita ditekan dari atas lalu mungkin secara tidak sadar kita menekan orang yang di bawah. Orang yang studinya susah sekali, ketika sudah berhasil dia pasang tarif mahal sekali, alasannya ‘dulu saya disiksa, sekarang giliran saya menyiksa orang lain’. Inilah konsep dunia tentang keadilan/fairness. Tapi Kekristenan tidak bicara konsep keadilan seperti ini. Kekristenan bicara asimetri, artinya: saya belajar untuk menghormati Tuhan dan sesama, tapi saya tidak mencari hormat dari manusia. Kalau Saudara kerja di perusahan ditekan dari atas tapi Saudara masih bisa baik dan tidak menyalah-gunakan kuasa kepada karyawan yang di bawah, maka Saudara betul-betul orang Kristen, asimetri, tidak mengikuti teorinya dunia. Kita akan rusak iman kepercayaannya kalau kita menghidupi kehidupan yang saling mencari dan menerima hormat satu dari yang lain, sesama manusia; dan akhirnya masuk pada like and dislike, ‘barangsiapa menghormati saya, saya akan menghormati dia; yang kurang menghormati, saya jadi kurang senang kepada dia’. Dalam Perjanjian Lama, di Kitab Ester, ada Haman yang kepadanya semua orang hormat, hanya satu orang tidak hormat yaitu Mordekhai. Haman jadi sebel sekali pada Mordekhai, ‘ini orang kurang ajar, semua orang hormati saya cuma Mordekhai satu-satunya yang tidak; apa dia tidak tahu saya siapa!’ Saudara tidak akan mendapati gambaran seperti ini di dalam pribadi Yesus, adanya di dalam diri Haman, orang jahat yang akhirnya dibinasakan Tuhan itu. Itulah kehidupan orang duniawi. Tapi, berapa banyak dalam kehidupan kita –termasuk orang-orang Kristen– juga menghidupi kehidupan yang mencari hormat seperti ini? Akhirnya kita jadi tidak bebas melayani Tuhan, cuma mencari mukanya sendiri, melayani wajahnya sendiri.
“Mencari hormat yang datang dari Allah yang Esa”, inilah integritas, karena Allah itu tidak terlihat. Allah membalas mereka yang melakukan di tempat-tempat yang tidak diketahui orang, yang mencari hormat dari Allah yang Esa. Di sini ada penyaliban daging, karena waktu melakukannya, daging kita sakit. Tapi tidak apa, biarkan sakit, karena bukankah sudah dipaku di atas kayu salib bersama dengan Kristus, bahkan kalau perlu –dan memang harus– mati sekalian. Mencari hormat yang datang dari Allah yang Esa saja seperti dalam kehidupan Yesus,bukan berarti kita menolak semua orang yang menghormati kita, tapi intinya bukan motivasi kita untuk mencari hormat dari manusia. Dan barulah di situ kita bisa memiliki iman kepercayaan yang benar, karena tadi Yesus mengatakan ‘bagaimanakah kamu dapat percaya, kamu yang menerima hormat seorang dari yang lain dan yang tidak mencari hormat yang datang dari Allah yang Esa?’ Pemimpin-pemimpin agama juga rentan dengan hal ini. Saudara dan saya pun rentan. Waktu orang mulai pelayanan, gampang sekali menghayati ketidak-layakan. Tapi setelah lama dalam pelayanan, bisa bergeser, kehilangan perasaan ketidak-layakan lalu jadi mengejar hormat, dan mulai masuk dalam gambaran ‘saya layak dihormati’ karena sudah ada track record-nya –track record kesetiaan, track record pelayanan– lalu pelan-pelan jadi sombong tanpa sadar. Menurut ayat ini, hal itu merusak iman kita. Apa aplikasinya kalau kita betul-betul menerapkan ayat ini dalam kehidupan kita –“mancari hormat dari Allah yang Esa’– termasuk waktu bergumul memilih studi ataupun waktu kita bekerja,? Yaitu bukan mengejar bagian-bagian yang dihormati manusia tapi mencari hormat yang datang dari Allah.
Pemimpin-pemimpin agama bisa mengaburkan kemuliaan Allah sendiri. Kalau tidak berhati-hati, Saudara dan saya juga berpotensi untuk mengaburkan pandangan orang dari melihat kemuliaan Kristus. Waktu kita mencari kehormatan kita sendiri, kita menghalangi pandangan orang kepada Kristus, akhirnya seluruh pembicaraan jadi personal, sangkut-pautnya soal hormat kepada saya atau tidak hormat kepada saya. Bahkan kita membaca di bagian ini, Musa pun –yang tidak salah apa-apa– juga bisa terbawa-bawa dalam kehormatan yang salah. Di sini Yesus menghadirkan nama Musa. Orang Israel itu sangat menghormati Musa, mungkin sedemikian menghormatinya sampai tidak melihat kehormatan Kristus. Kehormatan Musa pun jadi menghalangi kemuliaan Kristus. Tapi persoalannya bukan ada pada Musa, Musa juga sudah mati sejak dulu, Musa tidak melakukan bagian itu. Orang Israel-lah yang mencari kehormatan Musa, lalu berharap Musa juga menghormati mereka. Inilah cara pikir dunia, ‘saya sudah menghormati Musa sebagai yang paling besar di antara Israel, maka Musa juga seharusnya menghormati saya’. Siapa pun bisa jadi penghalang orang melihat kemuliaan Kristus, dan di sini Musa yang jadi penghalang. Persoalannya bukan ada pada Musa, Musa tidak salah apa-apa dalam hal ini, tapi merekalah yang meresepsi Musa dengan salah. Kita musti hati-hati, kalau kita meresepsi secara salah orang-orang yang dipakai Tuhan yang sangat diberkati Tuhan, orang-orang itu bisa jadi penghalang kita untuk melihat Kristus. Kita melihat kehormatan mereka terlalu besar sampai akhirnya tidak bisa melihat kemuliaan Kristus. Ini kecelakaan di dalam iman Kristen; Yesus mempertanyakan iman mereka, “bagaimana kamu dapat percaya?” –imanmu itu sebetulnya bagaimana? bagaimana kamu dapat percaya? imanmu rusak kalau begitu. Yesus –Terang itu– menelanjangi. Inilah salah satu kegelapan, yaitu kemuliaan pembesar-pembesar/pemimpin-pemimpin agama, bahkan juga Musa yang sudah tidak ada bersama mereka.
Ayat 45: “Jangan kamu menyangka, bahwa Aku akan mendakwa kamu di hadapan Bapa; yang mendakwa kamu adalah Musa, yaitu Musa, yang kepadanya kamu menaruh pengharapanmu”. Yesus ditolak, Musa diterima. Tapi yang mereka terima itu bukan Musa yang asli melainkan Musa yang ada di dalam pikiran mereka sendiri. Inilah betapa kasihannya orang-orang dunia. Orang kaya dan pejabat-pejabat dihormati, padahal mungkin orang menghormati uangnya bukan orangnya. Bukan berarti semua selalu begitu, kita percaya masih ada anugerah Tuhan, masih ada orang-orang yang tulus dan waktu menghormati betul-betul menghormati; tapi banyak sekali ketidak-tulusan waktu orang menghormati yang punya pangkat, yang punya uang, dsb. Kalau seseorang mulai meninggalkan orang kaya waktu bangkrut dan tidak berguna lagi, artinya orang tadi hanya bersikap oportunis waktu menghormati. Lalu kalau orang yang dihormati seperti itu merasa senang dihormati, betapa bodohnya. Sebetulnya bukan dia yang dihormati tapi uangnya, hartanya; orang mendekati dia bukan karena cinta. Kasihan sekali orang seperti ini, merasa punya banyak teman padahal sangat kesepian, lalu hidup dalam pembacaan realita yang ilusif tidak sesuai kenyataan. Ini menipu. Seperti itulah orang-orang Israel di bagian ini; mereka pikir, ‘bukan saja tidak mungkin Musa tidak menerima kita, Musa itu mendoakan kita’. Dan Yesus mengatakan: “Tidak; Musa akan mendakwa kamu”. Ini kontras antara kalimat yang keluar dari mulut Yesus dengan pengharapan orang-orang Israel.
Di dalam peristiwa lembu emas, Musa jadi intercessor (perantara) yang mendoakan orang Israel. Membaca bagian ini, orang Israel lalu membangun pengharapan bahwa nanti pada akhir zaman di hari penghakiman, mereka akan dihakimi oleh Yahweh, dan Musa akan tampil di situ seperti waktu peristiwa lembu emas Musa membujuk hati Tuhan (ada bukti-bukti tentang ini dalam literatur Yudaisme), lagipula dalam Perjanjian Lama Tuhan pernah meng-konfirmasikan 2 orang pendoa syafaat paling besar yaitu Musa dan Samuel. Jadi orang Israel percaya sekali pada hari penghakiman pasti mereka akan ditolong oleh Musa, Musa akan menjadi pembelanya. Tapi Yesus mengatakan ‘tidak; Musa tidak akan menjadi pembelamu, Musa malah akan mendakwa kamu’. Mengapa? Karena yang mereka terima itu bukan Musa yang asli, tapi Musa menurut maunya mereka. Musa yang asli menunjuk kepada Kristus. Inilah kebahayaan waktu kita menghormati orang secara keliru, kita jadi tidak melihat orang tersebut secara sesungguhnya. Alkitab ini sarat dengan dimensi pengenalan diri, psikologi, dsb. ; orang yang menghormati manusia secara salah, akhirnya yang dilihat olehnya bukan orang itu sendiri tapi orang yang dia ciptakan di dalam kepalanya sendiri. Persis seperti di sini. Mereka menghormati Musa, sangat menjunjung tinggi Musa, tapi yang mereka kenal adalah Musa yang di dalam pikirannya sendiri bukan Musa yang asli. Musa yang asli geleng-geleng kepala melihat ini. Musa tidak akan menikmati penghormatan seperti itu, karena dia sendiri menunjuk kepada Kristus.
“Jangan kamu menyangka, bahwa Aku akan mendakwa kamu di hadapan Bapa; yang mendakwa kamu adalah Musa, yaitu Musa, yang kepadanya kamu menaruh pengharapanmu” –ini berharap kepada manusia bukan kepada Tuhan. Berharap kepada orang-orang yang punya power itu, baik di dalam keuangan, jabatan, kemiliteran, atau bahkan di dalam keagamaan –orang-orang yang punya “kesalehan plus”– semuanya termasuk di sini. Kita tidak membutuhkan tambahan/advantage kesalehan dari para orang kudus itu, karena mereka sendiri juga punya cacat cela. Hanya Yesus; Solus Christus.
Yesus kemudian mengatakan: “Sebab jikalau kamu percaya kepada Musa –kalau iman mereka betul, didasarkan pada pengajaran Musa–, tentu kamu akan percaya juga kepada-Ku, sebab ia telah menulis tentang Aku” (ayat 46). Orang-orang yang sangat diberkati Tuhan sepanjang sejarah, siapapun mereka mereka, waktu kita belajar dari mereka, kita dapat menguji resepsi kita. Kita tidak menguji spiritualitas mereka dalam hal ini, anggaplah mereka sudah lulus ujian, mengajarkan yang betul. Kita tidak mempertanyakan spiritualitas orang-orang seperti Musa, dan termasuk Maria, termasuk Petrus, Paulus, mereka ini sudah lulus; demikian juga orang-orang besar yang dipakai Tuhan sepanjang sejarah Gereja termasuk para reformator. Anggaplah mereka ini mengajarkan sesuatu yang betul dan kita mau belajar yang betul, tapi yang kita perlu cek –ujiannya– adalah spiritualitas kita, bukan spiritualitas mereka. Waktu kita membaca tulisan mereka, mempelajari kehidupan mereka, belajar dari mereka, lalu kita semakin percaya kepada Yesus Kristus, itu artinya spirualitas kita beres. Tapi kalau spiritualitas kita tidak beres, maka waktu kita belajar Calvin kita jadi makin lama makin kagum kepada Calvin, makin mencari kehormatan Calvin. Ini kacau, tidak beres. Kalau Saudara belajar Teologi Reformed lalu makin lama makin kagum, kagum, dan kagum kepada Teologi Reformed dan mati-matian berjuang untuk itu, pertanyaannya: Kristus-nya ada di mana? Ini mirip seperti orang Israel, mereka juga berpikir seperti itu, ‘Musa, Musa, Musa! Kita berjuang untuk pengajaran Musa!’ tapi lalu Yesus mengatakan ‘Musa itu berbicara tentang Aku’.
Yang kita pelajari dari orang-orang saleh itu adalah mereka bicara tentang Kristus; maka kalau kita tidak dibawa kepada Kristus, kalau kita tidak menemukan kelimpahan kekayaan yang ada pada Kristus, artinya resepsi kita bagaimanapun salah, kekanak-kanakan. Anak kecil itu tidak mengerti artinya bergantung kepada Tuhan, dia belajar bergantung kepada Tuhan melalui bergantung kepada orangtuanya. Saudara tidak bisa mengajar anak umur 2 tahun ‘kamu jangan bergantung kepada Papa, kamu makan minum musti bergantung kepada Tuhan’. Ya memang betul kalimat teologisnya, tapi mereka anak kecil, mereka tidak mengerti, mamanya yang harus masakin bubur kalau tidak mereka akan mati. Mereka bisanya melihat manusia, dari situ mereka belajar melihat artinya Bapa yang di surga, melalui orangtuanya yang tidak sempurna seperti Saudara dan saya. Kehidupan kita kalau bertumbuh, kita tidak melihat Musa, tidak melihat Petrus, Paulus, Calvin, Luther, dsb. tapi kita melihat Kristus di dalam kehidpan mereka. Sedangkan anak-anak selalu kagumnya kepada manusia lebih dahulu, oke-lah ada masanya untuk itu; tapi kalau kita bertumbuh makin matang harusnya tidak begitu terus. Orang yang terus kagum kepada manusia tapi tidak ketemu kemuliaan Kristus, dia tidak bertumbuh sebetulnya. Lebih celaka lagi kalau orang yang dikagumi juga diam-diam menikmati kekaguman itu; ini sama-sama spiritualitasnya bermasalah. Musa memang sudah tidak bersama mereka, kita percaya dia tidak akan bahagia dengan kekaguman itu karena waktu menulis, dia menunjuk kepada Kristus; dikatakan di bagian ini: “sebab ia telah menulis tentang Aku”.
Ayat 47 “Tetapi jikalau kamu tidak percaya akan apa yang ditulisnya, bagaimanakah kamu akan percaya akan apa yang Kukatakan?" Bagian ini mirip profil teologi Lukas yang sangat ditekankan dalam Injil Lukas, yaitu bahwa kepercayaan kepada Kristus melalui kepercayaan kepada Kitab Suci. Kitab Suci Perjanjian Lama itu bersaksi tentang Kristus; penolakan terhadap kitab suci adalah penolakan terhadap Kristus. Dalam cerita Lazarus dan orang kaya, Lazarus berada di pangkuan Abraham dan orang kaya itu dalam kebinasaan di neraka. Lalu orang kaya itu mengatakan ‘suruhlah orang-orang yang sudah mati datang kepada saudara-saudaraku, kasih tahu mereka supaya mereka bertobat’. Tapi dijawab: ‘kalau mereka tidak percaya yang tertulis di kitab-kitab nabi-nabi, maka ada orang yang bangkit dari antara orang mati pun (Yesus maksudnya), mereka tetap tidak akan percaya’. Penolakan terhadap Kitab Suci sama dengan penolakan terhadap Kristus. Penolakan terhadap apa yang sudah dinyatakan secara tertulis (wahyu yang tertulis), adalah penolakan terhadap Kristus, karena Kristus disaksikan oleh Kitab Suci. Masalahnya adalah mereka sendiri tidak percaya akan apa yang ditulis oleh Musa; di sinilah persoalannya. Yesus sedang membongkar dan menelanjangi kegelapan yang ada di hati manusia, hati kita.
Waktu kita belajar dari tulisan orang-orang kudus, waktu kita belajar dari kotbah-kotbah mereka yang dipakai Tuhan luar biasa itu, lalu kita tidak melihat kepada Kristus, menurut Yesus itu berarti kita salah baca. Pembacaan kita ngawur; belajarnya salah. Kalau kita belajarnya betul, orang-orang itu mengarahkan kita kepada Kristus. Tapi waktu kita belajar dari tulisan mereka dan malah kagum kepada orang itu sendiri, artinya kita belajarnya salah. Ayat tadi mengatakan “tetapi jikalau kamu tidak percaya akan apa yang ditulisnya — kamu tidak percaya akan yang ditulis Musa– bagaimanakah kamu akan percaya akan apa yang Kukatakan?" Maksudnya, ‘Musa menulis tentang Aku, kalau kamu tidak bisa menerima Aku, Kristus, berarti kamu salah belajar Musa; dan kamu bukan cuma menolak Aku, kamu juga menolak Musa sebetulnya; kamu pikir kamu menerima Musa, menghormati Musa, padahal kamu bukan sedang menghormati Musa, kamu sedang menolak Musa juga karena Musa mengajar tentang Kristus’.
Mari kita belajar dalam kehidupan ini, kehidupan yang seperti Kristus sendiri. Kalau kita boleh dipakai Tuhan, kita belajar mengarahkan orang kepada Kristus. Memang kita tidak bertanggung-jawab atas resepsi orang yang salah tentang pengajaran kita –kecuali pengajarannya keliru– tapi kita bertanggung-jawab bahwa yang kita ajarkan, kita katakan, kita saksikan tentang Kristus adalah kesaksian yang benar. Di sisi yang lain, waktu kita belajar dari orang lain kita perlu hati-hati. Bukan berarti kita tidak boleh belajar dari orang lain, tapi waktu kita belajar dari orang lain itu yang mengarahkan tulisan/perkataannya kepada Kristus, mari kita juga belajar melihat Kristus karena mereka mengarahkan kita ke sana. Kalau kita tidak melihat Kristus, jadi kabur semuanya, akhirnya jadi masalah personal, yang besar bukan Kristus tapi pribadi-pribadi manusia. Dunia kita ini sudah cukup dipenuhi dengan cerita hidup seperti ini, yang besar itu manusia-manusia, bukan Tuhan. Lalu kita, orang Kristen, datang dengan alternatif yang lain; kita mengatakan: “Solus Christus”.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)