Kita melanjutkan seri “bagaimana membaca kisah penciptaan”. Alasan kita membahas ini, adalah karena pada zaman ini ada semacam ketegangan antara sains modern dengan iman Kristen. Banyak orang menganggap ini 2 hal yang saling bertentangan, saling either/or –Saudara harus memilih salah satu dan membuang yang lain. Sebaliknya ada juga orang-orang yang tidak setuju, mereka mencoba mengharmoniskan ketegangan antara dua hal ini, salah satunya dengan membuat Alkitab sebagai sumber segala “pseudo” sains, sumber penemuan-penemuan yang akhirnya kurang bisa dipertanggungjawabkan. Cara lain, yaitu arah sebaliknya, berusaha membuat Alkitab “cocoklogi” dengan sains modern –dan itu juga tidak menghormati Alkitab.
Dalam pembahasan kita, yang kita lakukan adalah kembali ke teksnya, dan mencoba membacanya sebagaimana orang zaman itu membacanya. Ini suatu posisi kerendahan hati, posisi yang berarti kita menyadari bahwa di satu sisi Alkitab ditulis bagi kita tapi bukan kepada kita; Alkitab ditulis kepada orang-orang zaman itu, dengan cara berpikir zaman itu, di tengah kebiasaan-kebiasaan dan budaya zaman itu. Oleh sebab itu, kalau kita mau membaca Alkitab dan mengertinya dengan tepat, kita perlu menyelidiki bukan saja arti kata-nya, tapi juga bagaimana konteks budaya zaman itu, dan apa makna kata tersebut bagi mereka. Contohnya: di Menado, waktu Saudara makan, dan orang tanya “ikan-nya apa”, maksudnya adalah “lauk-nya apa” [bukan ikan jenis apa, sebagaimana orang Jakarta mengerti istilah ‘ikan’] –ikan=lauk, dalam bahasa mereka. Ini baru urusan antara kita dengan orang di Menado –dalam zaman yang sama, posisi geografis yang tidak jauh berbeda, dan bahasanya pun sama—apalagi antara kita dengan orang-orang Israel pada zaman Perjanjian Lama ditulis. Itu sebabnya kita perlu kembali ke makna kata tersebut, bagi orang-orang pada waktu itu.
Kita perlu keluar dari ilusi bahwa sebuah kata atau istilah mempunyai arti yang universal dan berlaku sepanjang zaman. Kalau Saudara membuka kamus keluaran tahun 2020 dan kamus keluaran tahun 1900, Saudara akan menemukan banyak definisi yang berbeda di antara keduanya, karena memang begitulah bahasa. Bahasa itu cair (fluid), bukan sesuatu yang bertahan sepanjang masa dan berlaku universal. Kamus tidak mencatat suatu definisi yang universal dan berlaku sepanjang zaman; kamus mencatat penggunaan istilah tersebut pada masa ketika kamus itu diterbitkan. Sama seperti itu, waktu kembali ke Alkitab, kita juga harus menyelidikinya secara demikian, tidak cukup menyelidikinya menurut makna zaman kita hari ini saja. Inilah dasarnya.
Jadi, waktu kita mau mengerti Alkitab, kita coba berpikir seperti orang zaman itu berpikir. Ini sebenarnya merupakan kontinuitas dari yang dilakukan para reformator, yang pada zaman reformasi mengatakan semboyan “back to the Bible” (Latin: ad fontes, kembali ke yang asli). Seperti kita ketahui, orang-orang di zaman Abad Pertengahan waktu menyelidiki Alkitab, mereka tidak memakai Alkitab bahasa asli melainkan Akitab bahasa Latin, yang adalah terjemahan. Dalam hal ini, langkah pertama yang dilakukan Calvin, Luther, dkk., adalah kembali ke bahasa asli; dan perkembangan studi Biblika sekarang melanjutkan pola ini –bukan cuma kembali ke bahasa asli tapi juga ke konteks aslinya, bukan cuma meneliti arti istilah dalam bahas aslinya tapi juga budaya di balik istilah tersebut. [Salah satu sumber yang dipakai dalam pembahasan hari ini adalah buku “The Lost World of Genesis One”, karya John H. Walton].
Dalam pembahasan sebelumnya, kita mempelajari 2 istilah, “mencipta” dan “eksistensi” –apa arti kedua istilah ini bagi orang-orang zaman tersebut, dan apa perbadaan maknanya dengan yang kita mengerti pada hari ini. Hari ini, kita mengerti istilah tersebut terutama dalam aspek material –mengenai terciptanya sebuah barang, materinya, prosesnya, detik-detik pertamanya, bahan dasarnya, mekanismenya, dst.; sedangkan orang zaman itu menggunakan kedua istilah tersebut dengan mengacu pada aspek yang lain. Mereka bukan terutama membicarakan ‘bahan ini terjadinya bagaimana, atau bahannya apa’ melainkan ‘bahan ini dijadikan untuk apa’ –fungsinya dan bukan materinya, tujuannya dan bukan cuma bahannya. Ini mirip seperti anak muda hari ini waktu mengatakan “gua ‘gak eksis”, maksudnya bukan jadi hantu, tapi jadi seperti hantu—bicara fungsi, bukan materi; maksudnya mereka tidak berdampak, ‘gak ngefek, keberadaannya ‘gak ngaruh secara fungsional, tidak ada gunanya, tidak ada yang peduli.
Kita juga sudah membahas, bagaimana jika ketika Kejadian 1 bicara mengenai Allah mencipta, aspek fungsional inilah yang dibicarakan, bukan aspek materialnya; bahwa ketika Allah menciptakan benda-benda penerang, tekanannya bukan bahwa Dia memproduksi sebuah bola gas yang berpijar sehingga menjadi sumber cahaya, melainkan bahwa Dia sedang memanggil, memberikan peran dan tujuan bagi benda-benda penerang ini, sehingga mereka bisa berfungsi dan berelasi, mendukung kehidupan manusia. Dan sepertinya memang demikian, karena ketika Allah menjadikan, Dia mengatakan “biarlah benda-benda ini jadi penanda musim, masa, dan waktu” –bicara fungsi, relasi, tujuan.
Kita juga sudah membicarakan, bahwa mungkin Kejadian 1 bukan bicara tentang pembangunan sebuah rumah, melainkan pengaturan sebuah rumah tangga; cerita terciptanya sebuah home, dan bukan cuma sebuah house. Kalau ditanya “rumah lu kayak apa”, Saudara bisa menceritakan bangunannya, ataupun rumah tangganya. Tapi menariknya, kalau pun Saudara menceritakan tentang bangunannya, hampir tidak pernah berhenti dalam urusan materialnya saja; Saudara membicarakan materialnya sebatas ada kaitannya dengan fungsi, misalnya “rumah gua dari batu, itu sebabnya waktu musim dingin kita tetap hangat” –bicara fungsi. Kita selalu mengarah ke fungsi, tidak pernah berhenti pada urusan materinya saja. Itu sebabnya ketika Kejadian 1 bicara tentang apa Allah lakukan dalam mengatur yang sudah jadi, di situ penuh dengan istilah “memisahkan”, “menamai”, yang adalah tindakan kreasional –tetapi ini tindakan kreasional dalam mencipta sebuah rumah tangga. “Ini Kamar Tidur Utama, itu Toilet” –tindakan menamai– lalu sang ibu berfirman “biarlah terpisah kamar anakku yang laki-laki dari kamar anakku yang perempuan” –menjadikan fungsi, dan dengan demikian membawa keteraturan, menciptakan peran, mendukung kehidupan.
Kembali ke isu ketegangan dengan sains modern, hal ini harusnya tidak jadi ketegangan, karena sains modern bicara “house” –bahannya, materialnya, proses bikinnya—sedangkan Alkitab mungkin tidak bicara yang sama, sehingga tidak seharusnya dibenturkan. Bukan berarti yang sains bicarakan tidak penting –tentu tetap penting dan silakan Saudara pelajari– tapi yang saya mau katakan adalah: bahwa Kejadian 1 tampaknya bukan terutama membahas aspek yang itu, fokusnya bukan pada urusan material melainkan fungsional –bukan soal “rumah” tapi “rumah tangga”-nya.
Hari ini kita membahas lebih spesifik, yaitu mengenai hari pertama sampai dengan hari ketiga. Saudara bisa menikmati kotbah ini seperti halnya cerita detektif, seakan-akan kita sedang investigasi, seperti seorang detektif yang berusaha membaca sebuah tempat kejadian perkara, dan menemukan hal-hal yang mungkin tersembunyi di depam mata. Kita akan membahas hari-hari pertama, kedua, dan ketiga, dalam Kejadian 1.
Hari pertama, Kejadian 1: 3-5, Berfirmanlah Allah: “Jadilah terang.” Lalu terang itu jadi. Allah melihat bahwa terang itu baik, lalu dipisahkan-Nyalah terang itu dari gelap. Dan Allah menamai terang itu siang, dan gelap itu malam. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari pertama.
Pertanyaan yang akan kita lancarkan adalah: apakah penciptaan hari pertama –juga kedua dan ketiga– ini bicara mengenai manufaktur material, atau bicara mengenai urusan fungsional; jadi di sini pertanyaannya, apakah yang sedang diciptakan di hari pertama ini? Memang benar, yang diciptakan jelas adalah terang. Tapi Saudara jangan puas hanya dengan menemukan bahwa istilah ‘owr dalam bahasa Ibrani, ekuivalennya dalam kamus bahasa Indonesia adalah istilah ‘terang’; Saudara harus bertanya, apa maknanya bagi orang-orang zaman itu, bagaimana mereka mengerti yang namanya ‘terang’, dan apa bedanya dengan kita hari ini mengerti ‘terang’.
Hari ini, kalau kita bicara tentang ‘terang’, maksudnya adalah sebuah benda/materi, karena kita tahu cahaya adalah sebuah materi, yaitu partikel-partikel foton (photon). Jadi adalah normal kalau kita mengira waktu Tuhan menciptakan terang, artinya Dia menciptakan foton. Tapi mungkin yang dimaksud di Kejadian 1 berbeda, karena orang di zaman itu sudah pasti tidak memikirkan foton dan kecepatan cahaya karena mereka belum tahu hal-hal itu. Kalau kita menyelidiki dokumen-dokumen yang menunjuk pada istilah ‘terang’ di zaman itu, mereka menggunakan istilah ‘terang’ bukan untuk mengacu pada suatu benda, melainkan suatu kondisi/keadaan. Hari ini pun kita masih ada aspek seperti itu; kalau saya mengatakan “ruangan ini terang”, artinya saya sedang mengatakan suatu kondisi; bukan bahwa ruangan ini dipenuhi foton, melainkan efek/kondisi yang ditimbulkan dari foton tersebut. Pertanyaannya, apa yang dimaksud dengan ‘terang’ di Kejadian 1 ini?
Di ayat 5, muncul kalimat yang mengatakan Allah menamai terang itu sebagai ‘siang’, dan gelap sebagai ‘malam’. Sekarang mulai ada tanda-tanda, bahwa di sini sepertinya bukan seperti yang kita pikirkan. Mengapa Allah menamai terang itu ‘siang’, dan bukan dinamakan ‘terang’ saja? Mengapa gelap dinamakan ‘malam’, dan bukan dinamakan ‘gelap’ saja? Sepertinya, ada hubungan antara konsep ‘terang’ mereka dengan siang, dan antara konsep ‘gelap’ mereka dengan malam. Kalau ‘terang’ itu sebuah kondisi, dan bukan partikel-partikel foton, di sini Saudara mulai menangkap apakah siang itu dan apa hubungannya dengan kondisi terang, apakah malam itu dan apa hubungannya dengan kondisi gelap, yaitu bahwa ‘siang’ adalah sebuah periode terang (suatu durasi dengan kondisi terang) dan ‘malam’ adalah sebuah periode gelap (suatu durasi dengan kondisi gelap). Mungkin inilah yang mereka maksudkan; bukan soal ada atau tidak adanya foton, bukan bicara mengenai ‘terang’-nya, tapi mengenai ‘waktu’-nya.
Berbekal pengertian ini, kita mundur ke ayat 4: Allah melihat bahwa terang itu baik, lalu dipisahkan-Nyalah terang itu dari gelap. Dalam hal ini, kalau Saudara bersikeras pakai kacamata ‘material’, bahwa Kejadian 1 ini bicara mengenai bahan-bahannya, ayat ini jadi sangat bermasalah. Kalau terang dimengerti sebagai foton, Saudara akan kesulitan melihat ayat ini masuk akal, karena terang itu ada foton sementara gelap tidak ada foton, sehingga apa yang perlu dipisahkan?? Jadi aneh. Tetapi kalau Saudara pakai kacamata ‘fungsional’, ayat ini jadi masuk akal, karena Saudara melihat terang dan gelap bukan lagi soal ada foton dan tidak ada foton, melainkan sebagai suatu periode waktu yang ada terang dan suatu periode waktu yang ada gelap. Allah memisahkan periode waktu terang dari periode waktu gelap, berarti Allah mengatur, membuat aturan, membuat tempatnya masing-masing. Dan, jikalau istilah ‘terang’ dan ‘gelap’ di ayat 5 dan 4 bukan bicara mengenai foton tetapi mengenai waktu/periode, maka ketika Allah menciptakan ‘terang’ di ayat 3, berarti Dia menciptakan ‘periode terang’. Dengan demikian, yang sedang dibawa ke dalam eksistensi di hari pertama, bukanlah foton melainkan waktu itu sendiri.
Jadi, hari pertama berbicara mengenai Allah menciptakan fungsi yang namanya ‘waktu’. Allah memisahkan terang dari gelap, mengatur siklus antara terang dan gelap, dan dengan demikian menciptakan suatu basis untuk orang zaman itu mengerti adanya ‘waktu’.
Coba Saudara berpikir seperti orang-orang zaman kuno, dalam observasi mereka, apakah fenomena alam itu? Yang paling jelas, itu membuat mereka menyadari keberadaan waktu, yaitu pergantian siang dan malam, siklus antara terang dan gelap. Ini menjelaskan mengapa di ayat 5 lebih dulu muncul istilah ‘petang’, kemudian baru istilah ‘pagi’; “Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari pertama.” Dalam bayangan mereka, kondisi sebelum penciptaan adalah kegelapan; bukan cuma air saja, tapi juga ‘gelap gulita menutupi samudra raya’. Kemudian Allah menciptakan periode terang, lalu memisahkan periode terang dari periode gelap, menamakan yang satu sebagai ‘siang’ dan yang lain sebagai ‘malam’. Dengan demikian inilah momen dimulainya ‘waktu’, dari malam menjadi pagi. Ini suatu tindakan kreasional, tapi tekanannya bukan pada pengadaan terang, melainkan penciptaan fungsi dari terang, yaitu untuk memberikan tanda dalam hal ‘waktu’.
Penafsiran seperti ini juga membereskan pertanyaan soal kronologi, karena orang banyak bertanya mengapa di hari pertama Tuhan menciptakan terang, tapi baru di hari ke-4 menciptakan matahari. Hal ini cuma bermasalah kalau Saudara pakai kacamata sains modern (kacamata ‘material’), tidak peduli urusan fungsinya, hanya peduli fakta materialnya. Tetapi kalau Saudara pakai kacamata ‘fungsional’, ini sama sekali tidak jadi masalah, karena penciptaan terang di sini bukan bicara mengenai pengadaan bahan/materi-nya melainkan penciptaan suatu fungsi dari terang, yaitu waktu. Tidak heran, di hari ke-4 dikatakan bahwa benda-benda penerang itu fungsinya menjadi penanda waktu, penanda musim, tahun, bulan, dan hari. Jadi, Alkitab memang beroperasi dalam mode yang lain dibandingkan sains modern. Pertanyaan-pertanyaan dalam sains modern berbeda dari pertanyaan-pertanyaan dalam Alkitab.
Hari kedua, Kejadian 1: 6-8, Berfirmanlah Allah: “Jadilah cakrawala di tengah segala air untuk memisahkan air dari air.” Maka Allah menjadikan cakrawala dan Ia memisahkan air yang ada di bawah cakrawala itu dari air yang ada di atasnya. Dan jadilah demikian. Lalu Allah menamai cakrawala itu langit. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari kedua.
Ini adalah bagian yang paling dirasa tabrakan dengan sains modern, karena konsep ‘cakrawala’ menurut pengertian kita hari ini adalah atmosfir, uap, gas, sesuatu yang dapat ditembus; sedangkan orang zaman Timur Dekat Kuno melihat cakrawala sebagai benda padat, sehingga bisa menahan air. Coba Saudara berpikir sebagaimana orang zaman itu berpikir –yang memang tidak benar, tapi menurut observasi mereka begitulah keadaannya. Zaman itu, mereka melihat air turun dari atas, maka kesimpulannya ada air di atas. Tapi mereka melihat juga bahwa air tersebut tidak selalu turun, berarti ada yang menahannya; dan yang bisa menahan air tentunya sesuatu yang bersifat padat. Jika ada sesuatu yang padat di atas sana, berarti ada yang menopangnya; lalu mereka pikir, apakah itu? Waktu mereka melihat gunung, mereka berkesimpulan gunung itulah penopang langit; gunung itu seakan tiang-tiang yang menopang tenda ‘langit’. Membaca hal ini, kita mengatakan ini pengertian yang sangat ketinggalan zaman, bagaimana mungkin yang seperti ini masih bisa relevan dengan makna di zaman kita?? Tentu masih bisa, kalau Saudara melihat bahwa ini bukan bicara soal materialnya; tujuan Kejadian 1 bukan memberikan kepada kita geografi atau astronomi mengenai langit, melainkan membicarakan suatu fungsi –lewat bahasa-bahasa yang seperti itu.
Jadi, apakah fungsi adanya cakrawala sebagaimana yang diciptakan di hari ke-2? Ada 2 hal. Fungsi pertama adalah memberikan ruang untuk manusia bisa hidup; dengan memisahkan air yang di atas dengan air yang di bawah, Tuhan menciptakan suatu ruang untuk manusia bisa hidup. Tapi ada hal kedua yang lebih penting; bagi orang-orang di zaman kuno itu, fungsi utama cakrawala/langit adalah untuk mengatur hujan, karena cakrawala itu menahan supaya air yang di atas tidak langsung turun semuanya. Dengan demikian, fungsi cakrawala pada zaman itu adalah suatu fungsi yang hari ini kita namakan sebagai ‘cuaca’.
Dalam dunia kuno –dan sampai hari ini juga—salah satu fungsi yang paling diperlukan orang adalah pengaturan cuaca, khususnya pengaturan hujan. Hujan terlalu sedikit, tidak ada yang bisa tumbuh; hujan terlalu banyak, semua mati. Ini sangat riil. Dengan demikian, penciptaan cakrawala/langit sangat berorientasi pada fungsinya; yang mau dikomunikasikan di sini adalah bahwa fungsi itu dari Tuhan, bukan soal wujud bendanya. Pada dasarnya, yang diungkapkan di sini bukan untuk memberikan kepada kita informasi ilmiah mengenai langit dan atmosfir; tujuan bagian ini memakai bahasa-bahasa tentang alam seperti ini adalah untuk mengomunikasikan hal yang lain, yaitu fungsi di balik itu, yang diciptakan Tuhan. Allah Alkitab adalah Allah yang Allah yang memberikan keteraturan –dalam hal ini, keteraturan yang membawa kehidupan– Allah Alkitab adalah sumber dari fungsi ‘cuaca’. Inilah hari ke-2.
Hari ketiga, Kejadian 1: 9-13, Berfirmanlah Allah: “Hendaklah segala air yang di bawah langit berkumpul pada satu tempat, sehingga kelihatan yang kering.” Dan jadilah demikian. Lalu Allah menamai yang kering itu darat, dan kumpulan air itu dinamai-Nya laut. Allah melihat bahwa semuanya itu baik. Berfirmanlah Allah: “Hendaklah tanah menumbuhkan tunas-tunas muda, tumbuh-tumbuhan yang berbiji, segala jenis pohon buah-buahan yang menghasilkan buah yang berbiji, supaya ada tumbuh-tumbuhan di bumi.” Dan jadilah demikian. Tanah itu menumbuhkan tunas-tunas muda, segala jenis tumbuh-tumbuhan yang berbiji dan segala jenis pohon-pohonan yang menghasilkan buah yang berbiji. Allah melihat bahwa semuanya itu baik. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari ketiga.
Bagian ini juga bagian yang paling problematik kalau Saudara membaca dengan kacamata ‘material’ (kacamata sains modern), karena di hari ke-3 ini boleh dibilang Tuhan tidak menjadikan apa-apa. Ada 2 hal yang Tuhan lakukan di sini. Pertama, Dia bukan menciptakan daratan, tapi hanya mengatur sehingga tampak tanah kering dari tengah-tengah air; di sini Dia tidak menciptakan sesuatu dari nol. Yang kedua, bukan hanya membuat daratan muncul, Tuhan juga menyuruh tanah menghasilkan tanaman; Tuhan bukan menciptakan tanaman. Jadi ini bukan menghasilkan sesuatu dari nol, bukan soal mengadakan sesuatu bahan material. Banyak penafsir bingung di bagian ini, ‘koq bisa bagian ini masuk ke dalam kisah penciptaan, sementara tidak ada barang yang diciptakan’ –waktu mereka masih pakai kacamata ‘material’. Tapi sekarang Saudara sudah menangkap solusinya, bahwa dengan memakai kacamata yang lain, Saudara melihat bagian ini bukan sebagai cerita mengenai asal-muasal materi, melainkan cerita asal-muasal fungsi. Kalau seperti itu, jadi tidak ada masalah; Tuhan tidak mengadakan material baru di hari ke-3, itu tidak masalah, yang kita perlu tanya adalah “fungsi baru apa yang Tuhan bawa ke hari ke-3 ini”. Dan, kita melihat itu jelas sekali dalam tindakan-Nya memisahkan dan menamai.
Pemisahan dan penamaan adalah tindakan kreasional (tindakan kreatif dalam segi fungsional). Misalnya, arsitek gereja ini berfirman “biarlah terpisah bagian untuk piano dan bagian untuk organ, bagian untuk pengkotbah dan bagian untuk song leader”; itu adalah tindakan membawa keteraturan, tindakan menciptakan peran tempat ini, panggilan dari bagian-bagian ini. Dalam hal ini, fungsi apa yang sedang Tuhan ciptakan di hari ke-3? Kita melihat 2 hal yang mungkin kita rasa ‘gak nyambung, tetapi waktu Saudara memakai kacamata ‘fungsional’, Saudara dapat melihat dua hal ini sangat nyambung. Yang pertama, pemisahan daratan dari lautan; yang kedua, tumbuhnya tumbuh-tumbuhan. Sekarang coba Saudara berpikir seperti orang zaman itu, baru Saudara akan menyadari di mana koneksinya.
Kalau kita mengintip mitologi Mesir Kuno, ada satu hal yang mirip; dalam mitologi penciptaan mereka, ada mitos tentang munculnya tanah kering dari air, sebagai hal yang sangat penting. Ini merefleksikan realita yang dialami petani-petani Mesir, yaitu setiap tahun air Sungai Nil membanjir, dan mendekati musim menabur, air itu surut lalu tanah kering muncul. Tanah yang muncul dari air ini sangat subur, dan itulah tanah yang mereka pakai untuk bercocok tanam serta menumbuhkan tanaman, dan dengan demikian mereka bisa mendapatkan makanan. Jadi, inilah caranya orang zaman itu berpikir. Mereka bukan bicara soal benua, samudra, daratan yang muncul dari laut, vulkanisme dasar laut, dsb. Ini hanya merefleksikan pengalaman dunia kuno terhadap siklus tanah, yang muncul dari banjir, menjadi tempat untuk mereka bisa menanam, dan ada siklus tanaman yang tumbuh, keluar bijinya, lalu dari biji kecil itu entah bagaimana bisa keluar tanaman yang sama lagi, dst., dst. Ini satu hal yang menakjubkan bagi mereka, yang membuat mereka mengatakan “inilah providensia dari para dewa”, yang membuat manusia bisa survive. Sekali lagi, ini bicara ‘fungsi’, fungsi dari hal-hal dalam alam semesta –dalam hal ini, fungsi produksi makanan. Inilah hari ketiga.
Sekarang coba kita simpulkan hari pertama, kedua, sampai ketiga. Ada kacamata yang luar biasa berbeda di sini. Hari pertama jadi bukan bicara soal penciptaan benda yang namanya foton, melainkan mengenai Allah yang menciptakan basis dari yang kita sebut ‘waktu’. Hari kedua, bukan terutama bicara penciptaan benda yang namanya langit itu, yang berupa kubah padat atau atmosfir, atau apapun, tapi mengenai Allah yang menciptakan basis dari ‘cuaca’. Hari ketiga bukan soal penciptaan benua, samudra, dsb., ataupun soal buah-buahan dan tanaman, melainkan tentang Allah yang menciptakan basis bagi makanan, dan dengan demikian juga bagi kehidupan. Saudara lihat, ketiga fungsi ini –waktu, cuaca, dan makanan—adalah dasar dari kehidupan itu sendiri.
Ketiga hal ini juga kita temukan dalam mitologi-mitologi orang kuno, dan ketiganya menempati posisi yang sangat menonjol dalam mitologi mereka. Kalau kita mengintip Papyrus Insinger (salah satu dokumen arkeologi yang sangat tua mengenai mitologi orang Mesir Kuno), tentang penciptaan, orang-orang Mesir menuliskan mengenai dewa mereka demikian: “Ia menciptakan hari, bulan, dan tahun; ia menciptakan musim panas dan musim dingin; ia menciptakan makanan, keajaiban yang timbul dari padang”. Kalau kita mengintip Enuma Elish (mitologi Babilonia Kuno), mereka juga seperti itu; waktu menuliskan tentang penciptaan yang dilakukan oleh Dewa Marduk, mereka mengatakan: “Marduk menciptakan malam dan siang” (baris 38-40); Marduk menciptakan awan, hujan, angin, dan kabut (baris 47-52); Marduk yang menimbun tanah dan menggunakan air untuk basis dari pertanian (baris 53-58)”. Tiga fungsi ini bukan cuma muncul dalam mitologi-mitologi asing –kalau cuma itu, kita tidak bakal terlalu peduli—tapi ternyata di dalam Alkitab, tiga hal ini digaungkan kembali, yaitu dalam cerita Nuh, hanya saja selama ini kita tidak melihatnya.
Sebagaimana Saudara tahu, dalam pasal 6-8 kitab Kejadian ada krisis besar, yaitu dosa manusia yang membuat Allah menghukum dunia dengan air bah. Sekali lagi Saudara perlu ingat, ‘air bah’ ini bukan sekedar banjir; bahasa mengenai air yang kembali menutupi bumi ini, mempunyai lapisan makna yang lebih dalam, bahwa Allah, melalui air bah, bukan cuma sedang bikin banjir, tapi Dia sedang menganulir ciptaan. Dia bukan sedang menganulir eksistensi materi ciptaan, Dia menganulir keteraturan fungsinya, yang tadinya telah Dia berikan bagi air, daratan, dan semua lainnya. Dunia dihukum dengan cara dikembalikan ke dalam keadaan nonfungsional, keadaan sebelum penciptaan, ketika air menutupi seluruh bumi; pemisahan antara air yang di atas dan yang di bawah dicabut, sehingga semuanya langsung banjir. Ini mirip seorang ibu menghadapi kedua anaknya yang bertengkar karena masing-masing merasa kamar saudaranya lebih enak dan mau tukar. Lalu si ibu mengatakan, “Sudah! Mulai hari ini tembok dijebol, kamar kalian jadi satu, ‘gak ada pemisahan lagi, rasain tidur bareng!” Inilah yang terjadi. Bukan mereka diusir, disuruh tidur di luar, melainkan pencabutan pengaturan yang sudah dibawakan sebelumnya.
Sekarang bandingkan dengan bagaimana selama ini kita membaca cerita Nuh. Biasanya yang kita peributkan adalah urusan material. Banjirnya lokal atau global? Kapan terjadinya? Kapal Nuh itu nyangkutnya di mana? Ini missing the point! Alkitab tidak mau bicara bagian itu, Akitab sedang bicara sesuatu yang lain, pakai gaya bahasa yang lain. Ibaratnya saya mengatakan “Pak Tong seperti singa”, lalu Saudara tanya “singanya jenis apa, di mana, jumlah rambut surainya berapa”, dst., itu konyol, karena bukan sedang bicara hal-hal seperti itu.
Yang paling menarik adalah ketika Allah mengembalikan keteraturan setelah semua urusan air bah beres, yaitu ketika Dia menyurutkan air (di sini Saudara harusnya ingat pembicaraan kita tadi dan langsung menangkap apa maknanya), ketika tanah kering kembali muncul dari air (Saudara juga bisa langsung menangkap bahwa ada makna yang lebih dalam di sini), lalu Allah memberikan berkatnya bagi Nuh dan janji-Nya: “Selama bumi masih ada, takkan berhenti-henti musim menabur dan menuai, dingin dan panas, kemarau dan hujan, siang dan malam“ (Kejadian 8:22). Perhatikan: “musim menabur dan menuai”, ini bicara makanan; “dingin dan panas, kemarau dan hujan”, ini bicara cuaca; “siang dan malam”, ini bicara waktu. Saudara lihat, tiga hal ini kembali muncul! Tapi sekarang muncul dalam urutan yang terbalik. Ini bukan kebetulan, ada satu makna yang lebih dalam di balik itu semua, bahwa tiga fungsi itu kembali diberikan dari Tuhan.
Jadi, pada dasarnya message dari kitab Kejadian adalah: kalau Saudara mau melihat karya penciptaan yang paling penting, yang paling menakjubkan, dari Sang Pencipta, Saudara tidak akan menemukannya dalam hal bagaimana Allah mengadakan bahan-bahan dasar alam semesta, bagaimana Allah memanufaktur material-material yang Dia jadikan, melainkan di dalam bagaimana Allah mengatur bahan-bahan tsb., sehingga mereka punya fungsi, teratur, berelasi satu dengan yang lain, sehingga mereka mendukung kehidupan. Berarti, kitab Kejadian bukan cuma bicara mengenai apa itu dunia, melainkan apa identitas dunia. Bukan cuma memberitahu kita bahwa Allah itu berkuasa, melainkan juga bahwa Dia berbijaksana. Bukan cuma memberitahu bahwa Dia mampu mencipta, tapi bahwa Dia menciptakan untuk mengasihi. Inilah yang lebih penting –dan kita selalu lupa—bahwa fungsi selalu lebih penting daripada bahan.
Ada satu film, judulnya Prometheus; film ini bercerita mengenai manusia menemukan peninggalan alien-alien, yang konon menciptakan manusia. Alien-alien ini sebelumnya pernah datang ke bumi, menciptakan manusia, lalu meninggalkan, tapi menyisakan pesan berisi alamat mereka. Manusia menemukan pesan itu dalam gua-gua arkeologi, lalu mereka membuat kapal berteknologi tinggi untuk pergi ke planet yang ditunjukkan alamat tersebut. Dalam perjalanan menuju planet itu untuk menemukan penciptanya, mereka membawa ciptaan mereka sendiri yaitu sebuah robot, lebih tepatnya seorang android. Si robot ini bertanya kepada salah seorang manusia, “Kenapa, sih, kamu mau pergi mencari penciptamu?” Si manusia, seorang ilmuwan –yang ketika itu sedikit mabuk—menjawab, “Ya, saya cuma ingin tanya, kenapa dia mencipta saya.” Si robot berpikir sebentar lalu mengatakan, “Kamu cari penciptamu, karena mau tanya kenapa dia menciptamu; sekarang saya mau tanya kamu, kenapa kamu mencipta saya?” Si ilmuwan –yang agak mabuk– mengatakan, “Ya, karena kita bisa! Memangnya perlu alasan apa lagi selain itu??” –kamu ‘kan cuma robot, peduli setan kamu mau apa, pokoknya kita bisa, ya, kita lakukan. Robot itu terdiam, lalu dia mengatakan, “Coba bayangkan, kalau kamu sampai ke planet itu, bertemu penciptamu, lalu kamu tanya pertanyaan itu dan dia menjawab jawaban yang sama seperti kamu katakan barusan, perasaanmu bagaimana??”
Bertemu pencipta, dan pencipta mengatakan alasannya menciptakan kita adalah “iseng, kurang kerjaan; ya, gua bisa, emang kenapa?!”, bagaimana perasaan kita? Saudara lihat di sini, apa yang sedang dijawab di Kejadian 1? Bukan sekedar bahwa Saudara diciptakan, tapi mengapa Saudara diciptakan –dan Saudara melihat jawabannya seperti apa.
Kalau kita melihat hari pertama, kedua, ketiga tadi, ketika Tuhan menciptakan waktu, menciptakan cuaca, menciptakan produksi makanan –yang semuanya merupakan basis kehidupan manusia—maka ini seperti Saudara sedang berulang tahun lalu banyak hal seputar ulang tahun Saudara yang diceritakan. Mama membuat Saudara mengingat apa yang terjadi sebelum Saudara dilahirkan –dia menceritakan asal-muasal Saudara. Tapi yang dia ceritakan bukan soal berapa berat Saudara waktu lahir, dsb. –itu bukan yang terutama– yang dia ceritakan seperti ini: “Tahu tidak, beberapa bulan sebelum kamu lahir, papamu keliling kota cari ranjang bayi yang terbaik, lalu dia beli. Tapi kemudian dia rasa kurang bagus, dia kembalikan ke toko, tukar dengan yang lebih baik. Tapi dia tetap ‘gak puas, dia kembalikan ke toko lagi tapi kali ini tokonya ‘gak mau terima, jadi dia menanggung kerugian –dan ‘gak masalah bagi dia. Dia cari lagi, beli lagi, cari lagi, beli lagi, sampai dapat yang terbaik buat kamu”.
Kalau Saudara mendengar cerita seperti itu, apa perasaanmu? Itulah yang kita ingin dengar. Dan itulah hari pertama sampai ketiga. Tuhan sedang memberikan cerita, betapa sebelum kita lahir, kita ini begitu dicintai. Allah kita menyediakan segala sesuatu yang perlu, untuk Saudara bisa hidup –waktu, cuaca, makanan. Ini mungkin sesuatu yang kita paling perlu dengar, bahwa Tuhan kita bukan cuma mampu, Tuhan kita itu mencintai. Tuhan Saudara bukanlah Tuhan yang cuma mencipta, tapi Tuhan yang berbijaksana. Waktu Saudara mendengar hal seperti ini, Saudara jadi tenang; Saudara tahu, Tuhanmu tidak bego. Lihat karya Tuhanmu yang menciptakan, bukan cuma melihat Dia mampu mencipta, Dia berkuasa, tapi lihatlah bijaksana-Nya dalam mengatur semua ini. Ini satu hal yang perlu kita dengar, bahwa message-nya berpusat pada hal ini.
Kita selama ini salah kaprah; kita datang kepada Kejadian 1 tapi kita mencari hal yang lain –urusan material, cerita detik-detik pertama terjadinya alam semesta, rekaman CCTV terjadinya bumi. Semua itu missed the point! Akhirnya kita mendapat berkat yang sangat miskin. Ini seperti orang yang sangat rumit menyelidiki mata –terbuatnya dari apa, bagaimana bisa ada mata, materialnya apa, proses terbentuknya bagaimana—tapi lupa untuk kagum bahwa lewat semua itu kita bisa melihat! Contoh lain, orang yang terlalu sibuk dengan bahan-bahan makanan, apa bumbunya, bagaimana mekanismenya, di mana membelinya, dsb., sampai akhirnya dia mati kelaparan karena lupa makan! Bodoh sekali. Tapi itulah kita, waktu kita salah datang kepada Alkitab.
Apa pelajaran yang bisa kita tarik dari semua ini? Seorang pendeta Episkopal mengatakan, bahwa yang paling dia kagumi dari Alkitab, adalah bahwa Alkitab membawa dia masuk ke suatu cerita, yang dia bukanlah tokoh utamanya. Saudara, kita perlu punya sikap seperti ini. Kita perlu belajar bertanya pertanyaan yang tepat, ketika datang kepada Alkitab, bertanya bukan bagaimana Alkitab relevan buat kita, melainkan bagaimana kita bisa relevan bagi Allah Alkitab.
Kita sering berpikir, bahwa yang namanya kembali ke Alkitab berarti kita berusaha mencari di Alkitab hal-hal yang adalah keinginan kita, kebutuhan kita, kehausan kita akan urusan-urusan kita hari ini. Urusan politik tentang memilih gubernur, harus cari dari Alkitab. Urusan sains modern mengenai umur bumi tua atau muda, harus cari dari Alkitab. Kita ingin sekali Alkitab bisa menyentuh isu-isu kontemporer hari ini, kita bahkan kadang-kadang menuntut Alkitab memberikan jawabannya, padahal semua isu-isu tersebut belum tentu –dan sepertinya memang bukan—tujuan penulisnya pada waktu Alkitab ditulis. Menuntut Alkitab memberikan jawaban-jawaban bagi zaman kita sekarang, berarti menempatkan diri dan kepentingan kita sebagai pusat dari kisah-kisah di Alkitab –dan Alkitab tidak didesain untuk itu. Alkitab tidak didesain dengan Saudara sebagai tokoh utamanya. Alkitab justru begitu indah ketika Saudara menyadari diri Saudara bukanlah tokoh utamanya.
Apakah ini berarti Alkitab jadi tidak relevan buat zaman kita hari ini? Tentu saja tidak begitu. Alkitab sudah pasti sangat relevan buat zaman ini, juga bagi zaman sebelumnya, dan bagi zaman sesudah ini. Tetapi ada banyak pertanyaan dan keingintahuan kita hari ini yang tidak relevan dengan Alkitab. Kita perlu menyadari bahwa relevansi Alkitab bagi zaman ini, dan relevansi Alkitab bagi keingintahuan kita, adalah dua hal yang berbeda. Sayur sangat relevan bagi tubuh manusia, tapi seringkali tidak relevan dengan keinginan manusia. Lukisan atau musik yang baik, literatur yang agung, adalah sangat relevan bagi kehidupan manusia, tapi seringkali kita yang tidak merasa itu relevan. Ini dua hal yang berbeda –dan kita tahu itu. Celakanya, ketika datang kepada Alkitab, kita seringkali terbalik, dan juga menuntut terbalik. Coklat bukan saja tidak relevan, tapi juga berbahaya bagi seorang pengidap diabetes; kalau penderita diabetes mengatakan “coklat ini sangat relevan buat saya, saya mau cari dokter yang bisa beri saya resep coklat 500 mg, dimakan 3xsehari”, dan ketika tidak ketemu, lalu dia bilang “ini buktinya, dokter tidak relevan buat hidupku”, itu bodoh sekali. Tapi bukankah kita seringkali datang kepada Alkitab –kepada Gereja– dengan cara demikian?
Kalau kita bicara soal makanan, kita bisa jelimet sekali —makanan ini belinya yang bagus di sini, tokonya kayak begini, makanan ini lebih wangi kalau dibikinnya begini karena mekanismenya kayak gini, dst., dst. Tapi jarang sekali saya menemukan orang Kristen bicara seperti ini: “Pak, Alkitab itu tidak bisa sembarangan dibaca, ada beberapa pendekatan penafsiran; yang ini lebih bertanggung jawab, yang itu tidak. Alkitab lebih baik diginiin, bukan digituin, alasannya ini dan ini”. Mengapa kalau urusan makanan bisa cerewet sekali, tapi urusan Alkitab tidak? Dalam urusan Alkitab, yang sering terjadi adalah orang mengatakan, “Aduh, pusing, Pak. Sudahlah, ‘kan orang cuma mau makan, cuma mau kenyang, kenapa sih, harus bikin pusing sejuta topan badai?? Pokoknya ‘kan kenyang, ‘gak usah dipusingin datangnya dari mana, masaknya gimana”, dst. Reaksi yang lain, mengatakan, “Sudahlah, Pak, ini jalan keluarnya: ambillah Alkitab ini dari tangan kami, tidak ada gunanya kami dapat Alkitab masing-masing, karena untuk membacanya sampai mengerti dan tidak salah, supaya tidak menyalahgunakan Alkitab, berarti harus jadi ahli seperti Bapak. Membaca Alkitab itu harus kembali ke konteks asli, budaya pada waktu itu, sedangkan kami ini mengerti bahasa aslinya saja tidak, apalagi belajar konteks asli. Para reformator itu salah, Pak; memang benar orang Katolik yang bersikeras hanya para ahli yang boleh baca Alkitab, karena kalau seperti ini bahaya, kami salah mengerti semuanya. Kami ‘gak ngerti tentang hari pertama, kedua, ketiga tadi itu, sampai Bapak terangin.” Ini dua ekstrim.
Saudara, para reformator itu tidak salah, karena yang mereka lakukan bukan hanya menaruh Alkitab di tangan semua orang, tapi juga menulis entah berapa ribu tafsiran mengenai Alkitab, yang di situ mereka menjelaskan, bagian ini artinya begini, bukan begitu, dsb. –dan itu untuk konsumsi masyarakat. Adalah kesimpulan yang salah kalau kita mengatakan “semua orang boleh membaca Alkitab berarti semua orang sanggup membacanya langsung”. Kalau kita berasumsi “Alkitab diberikan kepada semua orang, jadi semua orang tidak perlu lagi belajar membaca Alkitab”, itu asumsi yang salah. Hari ini Saudara boleh memilih makanan sendiri, tapi itu bukan berarti Saudara tidak perlu belajar membedakan makanan yang sehat dan makanan yang bahaya. Ini seperti kalau Pendeta Stephen Tong mengundang secara terbuka bagi semua orang nonton konser gratis, itu bukanlah karena mereka bisa langsung mengerti, meainkan karena dirasa semua orang harus belajar. Anak yang sekolah SD bisa jadi ada yang tidak naik kelas, tapi kita tetap bersikeras dan menuntut semua anak boleh sekolah SD. Gereja dan Alkitab juga demikian.
Itu sebabnya pengkotbah yang baik bukan yang isi kotbahnya 100% aplikasi, tapi yang kotbahnya mengajak Saudara masuk ke dapur, memberitahu bukan cuma kesimpulan-kesimpulannya, tetapi alasannya dia sampai pada kesimpulan tersebut. Bukan cuma bicara mengenai apa isi Alkitabnya, tapi juga bagaimana membacanya. Kesimpulan bahwa ‘kalau semua orang bisa membaca Alkitab, berarti Alkitab itu gampang’, itu ngawur sekali. Kita musti perangi itu. Kalau Saudara perhatikan sejarah Gereja, sejak awal iman Kristen adalah iman yang mendidik. Gereja pada abad-abad pertama adalah tempat yang luar biasa mengagumkan, karena mereka mengajar ibu-ibu dan anak-anak wanita –yang pada waktu itu adalah warganegara kelas dua—untuk dapat membaca, supaya mereka bisa membaca Alkitab. Mengapa? Karena iman Kristen adalah iman yang percaya bahwa Alkitab bukan milik sekumpulan elit. Gaya kotbah eksposisi sebenarnya diadopsi dari universitas –tempat elit—yang mereka pakai untuk membahas teks-teks para filsuf seperti Plato, Sokrates, dsb.; dan para reformator menggunakannya di Gereja, memberikan pengajaran Alkitab kepada sebanyak mungkin orang. Saudara, problemnya bukan pada para reformator, tapi pada Saudara dan saya. Kita mau melihat hal ini sebagai hak istimewa (privilege), atau beban (burden)? Itu saja.
Solusi praktis menghadapi Alkitab yang sulit dibaca, bukanlah dengan me-museum-kan Alkitab dan tidak usah baca Alkitab; solusinya sederhana, Saudara bisa ikut PA. Tentu tidak harus PA, tapi intinya Saudara harus keluar dari bubble-mu, Saudara tidak bisa cuma datang ke Alkitab, baca buku-buku teologi, mendegarkan kotbah-kotbah yang menurut-mu relevan, menurut-mu bagus, karena itu bukan Alkitab –dan yang kita dapatkan miskin sekali dari yang Alkitab janjikan.
Jadi, setiap kali Saudara bertemu dengan Allah yang membenturkan diri-Nya denganmu, seperti hari ini, Saudara perlu bersukacita, karena berarti Tuhan yang Saudara temukan bukanlah tuhan hasil proyeksi keinginanmu, tapi Tuhan yang riil. Kalau Saudara tidak pernah bentur dengan Tuhan, jangan-jangan itu tuhan hasil proyeksi keinginanmu, tuhan yang selalu mengakomodasi, mengayomi, mencintai apapun yang terjadi; tuhan yang selalu sesuai dengan bayangamu, itu bukan Tuhan, itu adalah dirimu sendiri. Kalau Saudara sekarang merasa ini satu hal yang membentur saya, dan saya tahu ini benar, saya tahu Alkitab bicara seperti itu, maka Saudara perlu bersukacita, karena ini berarti Saudara menemukan Tuhan yang riil.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading